palinologi pp
DESCRIPTION
mata kuliah palinologiTRANSCRIPT
PALINOLOGI Palinologi adalah studi
tentang polen dan spora. Berasal dari kata palunein
yang berarti serbuk sari, tepung atau debu.
POLEN adalah serbuk berwarna kuning, yang
dihasilkan dari bunga (Angiosperm dan Gymnosperm). SPORA adalah serbuk yang dihasilkan oleh
Pteridophyta dan tumbuhan tingkat rendah (seperti ganggang, jamur, lumut, dsbnya).
Menurut Morley (1990), palinologi adalah
studi tentang modern polen dan spora, serta mikrofosil organik yang terdiri dari polen, spora dan organisme mikroskopis beserta sisa-sisanya yang secara kimiawi sama.
Palinologi dibagi menjadi 2 group (Morley, 1990): AKTUOPALINOLOGI Studi morfologi modern polen dan spora untuk taksonomi tanaman. Kegunaan lain: Melissopalinologi (asal-usul madu), kriminologi dan forensik, arkeologi dan penyerbukan. PALEOPALINOLOGI Studi mikrofosil organik yang ditemukan dalam preparat batuan sedimen. Umumnya akan lebih sering dijumpai polen dan spora, tapi mungkin juga ditemui mikrofosil organik tipe lain, terutama pada batuan Pre-Mesozoikum dan lingkungan laut.
Fosil-fosil polen.
Fosil-fosil polen.
Fosil-fosil spora.
SIFAT-SIFAT POLEN DAN SPORA Resisten terhadap pengrusakan dibandingkan dengan bagian lain
dari tumbuhan, sehingga mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi fosil.sehingga mudah ditransport dan diendapkan seperti partikel sedimen lainnya. perhitungan statistik.
Ukurannya sangat kecil (< 200 mikron), rata-rata 20-100 mikron,
Produksinya besar/banyak, sehingga memungkinkan dilakukan Bentuknya khas, sehingga mudah dibedakan antara satu dengan
lainnya (dalam tingkat Famili, Genus ataupun Species.
SEJARAH PALINOLOGI di INDONESIA Polak (1933) adalah orang pertama yang melakukan
studi kandungan polen pada gambut Holosen dari berbagai lokasi di Jawa dan Sumatra. Polak (1949) membuat pengamatan stratigrafi detil dan kandungan polen di Rawa Lakbok, Jawa Tengah. Morley (1976), Flenley (1979), dll, juga melakukan pengamatan di Indonesia.
Alat dan Bahan yang Diperlukan
Paleopalinologi digunakan untuk 4 tujuan utama:1. Geokronologi 2. Korelasi 3. Paleoekologi/biostratigrafi 4. Geokimia hidrokarbon
1. Geokronologi / Penentuan Umur Dengan mengambil referensi waktu absolut atau pola
zonasi dari grup fosil lain, seperti foraminifera dan nannofosil. Dapat diketahui dengan mengenali palinomorph yang telah diketahui range umurnya.
Korelasi biozona-biozona foraminifera planktonik, calcareous nannoplankton dan palinomorph NEOGEN (Rahardjo dkk, 1994, dimodifikasi oleh LEMIGAS, 1994).
2. Korelasi Berdasarkan perubahan kumpulan lokal. Memungkinkan korelasi dengan jarak beberapa
kilometer atau skala antar benua.
A. Korelasi dengan menggunakan perubahan jumlah kelompok takson.
B. Korelasi dengan menggunakan jumlah takson maksimum.
3. Paleoekologi Interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan
karakter dan kuantitas kumpulan palinomorph. Perubahan kumpulan palinomorph merefleksikan perubahan vegetasi, sebagai respon perubahan lingkungan atau iklim.
Perbandingan prosentase kelimpahan Polen/Spora, Dinoflagellate, Foraminifera dan Nannoplankton.
4. Geokimia Hidrokarbon Studi maturasi (kematangan) batuan induk. Fluorescence
di bawah sinar ultraviolet dari sedimen yang telah dipanaskan, memberi index warna pada dinding polen dan spora. Dengan demikian, level maturasi dapat diketahui. Tipe kerogen menentukan tipe dan jumlah hidrokarbon
dari batuan induk.
Klasifikasi Botani (Polunin, 1990)A.
SchizophytaCyanophyceae (ganggang biru)
B.
Thallophyta
Perkembangbiakan dengan sporaC.
Chlorophyceae (ganggang hijau) Dinophyceae (termasuk Dinoflagellatae) Rhodophyceae (ganggang merah) Fungi (cendawan)
Bryophyta
Hepaticae (lumut hati) Musci (lumut daun)
D.
PteridophytaEquisetinae (ekor kuda) Lycopodiinae (paku kawat) Filicinae (paku benar)
Perkembangbiakan dengan polen
E.
SpermatophytaGymnospermae (tumbuhan biji terbuka) Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)
Gymnospermae Mempunyai bakal biji yang lahir tanpa penutup pada organ-organ mirip daun (sisiksisik kerucut). Gamet jantan dan gamet betina terbentuk pada daun-daun yang terkumpul menjadi kerucut-kerucut terminal. Biasanya tumbuhan ini gemuk, pendek dan tidak bercabang, contoh Pakis haji (Cycas rumphii).
Simplifikasi siklus hidup dari coniferous Gymnosperm.
Angiospermae Merupakan tumbuhan dengan bunga
yang sesungguhnya. Merupakan golongan dengan evolusi tertinggi. Bijinya terdapat dalam bakal buah. Setelah pembuahan bakal buah menjadi buah. Mempunyai kelopak, mahkota, benang sari, serta satu atau beberapa daun buah yang terletak di pusat yang menghasilkan bakal buah.
Simplifikasi siklus hidup dari Angiosperm.
Morfologi Polen dan Spora, dilihat dari:1. Struktur (lapisan dinding polen) 2. Sculpture (pahatan) 3. Tipe, jumlah dan posisi aperture 4. Bentuk butir
1. Struktur Terdiri 3 lapisan: extexine, endexine dan intine. Extexine dan endexine tersusun oleh
sporopollenin, dan tahan terhadap asam dan basa. Intine larut dalam asam dan basa, jadi tidak terlihat pada fosil.
Extexine dibagi menjadi 4 komponen:
sculpture, tectum, columella dan foot layer. Jika tectum hadir di atas columella dan
Ilustrasi dari lapisan dinding polen Angiospermae (Faegri, 1956; Faegri and Iversen, 1964).
menerus, maka disebut tectate. Jika menerus hanya sebagian disebut semitectate. Jika tectum absen disebut intectate. Jika exine tidak mempunyai struktur internal disebut atectate.
Kenampakan exine bagian luar Gymnosperm
biasanya spongy (seperti bunga karang/alveolar). Dinding spora lebih sederhana dan tidak mempunyai columella.
2. Sculpture Variasi morfologi pada permukaan tectum. Gambar di samping: tipe-tipe sculpture
(Moore dan Webb, 1978).A.
B.
Warna terang menandakan daerah yang tinggi, warna gelap menandakan daerah yang rendah atau lubang. Sculpture yang menonjol keluar.
Deskripsi tipe-tipe sculpture (Moore dan Webb, 1978).
3. Tipe, jumlah dan posisi aperture Mempunyai 2 fungsi: Melalui aperture, pembuluh polen muncul untuk membuahi stigma bunga betina. Melalui aperture, dinding polen dapat melebar atau berkontraksi untuk
mengakomodasi variasi kelembaban dan mencegah biji kering.
Susunan aperture Posisi butiran dalam sel ibu, dimana umumnya butiran tersusun dalam satu grup
tetrahedral.
Ada 2 tipe aperture: colpus dan pore. Colpus: aperture berbentuk ellips, perbandingan panjang dan lebar > 2. Butiran yang
memiliki colpus disebut colpate. Pore: berbentuk bulat atau sedikit ellips, perbandingan panjang dan lebar < 2. Butiran yang memiliki pore disebut porate. Butiran dengan colpus dan pore dalam aperture yang sama disebut colporate.
Posisi aperture dalam mother cell (sel ibu) (Moore dan Webb, 1978). A. Butiran tetrahedral. Proximal pole paling dekat dengan pusat tetrat, distal pole paling jauh. Polar axis adalah garis yang menghubungkan proximal dan distal poles. B. Aperture pada pandangan equatorial dan polar.
Tipe-tipe pollen berdasarkan jumlah dan susunan aperture. Contohcontoh ditunjukkan dalam pandangan polar dan equatorial.
4. Bentuk butir Bentuk polen dan spora dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial.
Bentuk butir berdasarkan rasio polar dan equatorial.
Aplikasi palinologi untuk studi facies. DASAR: Keterkaitan antara tumbuhan, iklim dan
lingkungan.
Pembagian zona tumbuhan (van Steenis, 1935): Alpine Zone Subalpine Zone Montane Zone Submontane zone Tropical Zone Colline subzone/ Hill zone
: > 4150 m : 2400-4150 m : 1000-2400 m::
1000-1500 m500-1000 m
: 0-1000 m
Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) Hutan subalpine/Hutan kabut (3000-4000 m) Pohon rapat, jenisnya sedikit. Ericaceae, Rapanca, Polysma, Potentilla.
Hutan hujan pegunungan tinggi (1500-3000 m)
(Upper montane rain forest) Pohon rapat, ukuran besar. Jenis pohon sedikit. Banyak tumbuhan epifit. Podocarpus, Phyllocladus, Tristania, dll.
Hutan hujan pegunungan rendah (500-1500 m)
(Lower montane rain forest) Pohon rapat, jenisnya banyak. Podocarpus, Pinus, Pometia, Quercus, dll.(bersambung)
(sambungan)
Hutan Rawa Air Tawar (Freshwater Swamp Forest) Terbentuk pada genangan air tawar. Kaya mineral, pH>6. Permukaan air tidak tetap. Campnosperma, Nessia, Pandanus, Shorea, Timonius, Lophophetalum, Elaeocarpus.
Hutan Rawa Gambut (Peatswamp Forest) Lapisan gambut tebal. Tumbuhan mirip hutan rawa air tawar. Shorea, Campnosperma, Elaeocarpus, Salacca, Durio, Dryobalanops.
Hutan Pantai (Beach Forest) Dipengaruhi pasang-surut laut. Energi gelombang tinggi. Lebih dikenal dengan istilah Formasi Baringtonia, terdiri dari Baringtonia,
Casuarina equisetifolia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus, Terminalia catappa.
Hutan Mangrove (Mangove Forest) Dipengaruhi pasang-surut laut. Energi gelombang rendah. Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Xylocarpus, Oncosperma, Nypa.
Mangrove Saenger, 1983: Komunitas tumbuhan yang terdapat di daerah
pasang-surut yang terlindung, khas daerah tropis dan subtropis.
Surianegara, 1987: Hutan yang tumbuh pada lingkungan
berlumpur di alluvial pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang-surut air laut. Pasokan sedimen klastik halus dari darat. Salinitas. Energi gelombang. Iklim.
Pembentukan mangrove dipengaruhi oleh:
Selain itu, Morley (1977) in Sulaeman (1996), juga membagi beberapa zona vegetasi:
APPLIKASI PALINOLOGI pada SEQUENCE STRATIGRAPHY
Karakteristik Palinomorph dalam perubahan muka air laut
The composition of palynomorphs indicates the changes of sea level, so that they can be used to differentiate systems tracts. Morley (1995) described typical palynomorphs character which correspond with particular systems tract as follows: LOWSTAND SYSTEMS TRACT During a relative sea-level fall the position of the shoreline moves basinward, resulting in erosion and incision along the coasts. The extent of mangrove would be minimum and the development of freshwater swamp is restricted to incised valleys. Lowstand sediments are characterized by the low quantity of coastal palynomorphs, but increase in pollen from well-drained inland settings. During the lowstand wedge phase, the extent of coastal swamp would be maximum, especially where the deposition takes places in a ramp, as opposed to a shelf-break setting, and it would be possibly reflected by an increase of mangrove and freshwater swamp palynomorphs in marine depositional setting. When the sediments during this stage are transported by mass flow processes, the palynomorphs which derived from terrestrial sediments would be transported into the deep water setting, so that the terrestrial palynomorphs become incorporated into marine sediment. TRANSGRESSIVE SYSTEMS TRACT During the sea-level rise, the brackish, mangrove-dominated lower coastal plain becomes very widespread due to an extensive flooding. This would result in a marked increase of mangrove palynomorphs quantity in marine sediments such as dinoflagellate cysts, compared to those in lowstand systems tract. The increase would be particularly well marked in shelf-break setting, following the transgressive surface. The palynomorphs have lowest accumulation at the maximum flooding surface. HIGHSTAND SYSTEMS TRACT When the highstand prograded, the upper delta plain expanded, and the environment are dominated by freshwater and alluvial swamps. The lower delta plain tends to remain well developed. When the deposition takes place proximal to the lower delta plain, the quantity of mangrove palynomorphs will be very low.
Applikasi Palinologi dalam Sequence Stratigrafi
Well Name : MSU-2.Interv al Scale : 3220' - 4090' : 1:1500 Chart date: 14 September 2000
Palynology chart of MSU-2 well.*1
LEMIGAS, Biostratigraphy Division. Jakarta, IndonesiaPr oje ct : MSU -2A C har t : msu 2-2 a
Marine*2 *3 *2 *3
AA
Back Mangrov e Pollen% within discipline (100mm=100%) Palinofasies filtered
LEMIGAS.
Chronostratigraphy
Lithostratigraphy
BioZone.
Back mangrove (Lower tidal deltaic plain-proximal)
Mangrove (Lower tidal deltaic plain-distal))
Discoidites novaguineensis
Upper tidal deltaic plain (distal)
Camptostemon aff. Excocaria type Zonocostites ramonae Acrostichum spp.
Florschuetzia trilobata
Oncosperma sp. Florschuetzia levipoli Discoidites acutus
Dinoflagellate cysts
Age
Gamma Log0 (API)
Deep Induction2000
200 0.2 (ohm m/m)
32 20
32 20
32 20
3220.00' CU :
Occurrence of Florschuetzia trilobata, F. levipoli
32 20
3220.00-3230.00' CU 3240.00' CU 2 .61 .61 5 .61
3250' 3300' 3350' 3400'
Florschuetzia levipoli
Upper part of Early Miocene
3280.00' CU 3300.00' CU
1 1
1 4
1 1
1 1
1 2
1
TST
33 80
33 80
3380.00' CU :
First appearance of F. levipoli
3380.00' CU
19
1
.75
3420.00-3425.00' CU
13 13 8 12 3 2 2 2 4 12 14 4 4 7 1 6
3450' 3500' 3550' 3600' 3650' 3700' 3750' 3800' 3850' 3900' 3950' 4000' 4050'40 90 40 90 40 90
HST34 70
3450.00-3460.00' CU 3470.00' CU 3490.00' CU 3520.00' CU 3550.00' CU 3570.00' CU 3590.00' CU
HST35 20
LOWER SIHAPAS
35 90
HST
TST
TST
Lower part of Early Miocene
3640.00' CU
2
6
Florschuetzia trilobata
3680.00' CU37 00
11 1 4 3 3 1 11 1 3
5 18 8 3
3700.00' CU 3730.00' CU 3740.00' CU
HSTTST37 80
TST
3810.00' CU
14
38 30
LST
TST/HST
38 90
3890.00' CU
2
2
2
9
39 40
3940.00' CU 3970.00' CU
1
1
15
1 12
7 12 12
39 90
LST
LST
4030.00-4032.00' CU
6
2
12
4090.00' CU :
Occurrence of Florschuetzia trilobata
40 90
4090.00' CU
Chenopodipollis aff.2
Comments
Formation
Sequence
Avicennia type
Samples
Depth
Delta front
Zone
Pro delta
Barren
Well Name : MSU-4.Interv al Scale : 3250' - 3910' : 1:1500 Chart date: 14 September 2000
Palynology chart of MSU-4 well.*1
LEMIGAS, Biostratigraphy Division. Jakarta, IndonesiaPr oje c t : MSU -4A C har t : MSU -4a
M arine*2 *2
AA
Back M angrov e Pollen% within discipline (100mm=100%)
LEM IGAS.
Chronostratigraphy
Lithostratigraphy
BioZone.
Back mangrove (Lower tidal deltaic plain-proximal)
Mangrove (Lower tidal deltaic plain-distal))
Discoidites novaguineensis
Upper tidal deltaic plain (distal)
Zonocostites ramonae Acrostichum spp.
Age
Gamma Log0 (API)
Deep Induction2000
200 0.2 (ohm m/m)
3250'
Upper part of Early Miocene
32 60
32 60
32 60
3260.00' CU :
Occurrence of Florschuetzia trilobata, F. levipoli
32 60
3260.00' CU
3300' 3350' 3400' 3450' 3500' 3550' 3600' 3650' 3700' 3750' 3800' 3850'
Florschuetzia levipoli
3300.00' CU
TST
33 90
33 90
3390.00' CU :
First appearance of F. levipoli
3390.00' CU
HST T ST34 90
3450.00' CU
LOWER SIHAPAS
HST
Lower part of Early Miocene
35 60
Florschuetzia trilobata
35 90
HST36 20
TST
3560.00' CU
3620.00' CU 3630.00' CU
TST
37 15
TST/HST LST
36 82
3682.00' CU
3730.00' CU 3750.00' CU
37 90
38 60
LST
3900'
39 10
39 10
39 10
TST
3870.00' CU
3910.00' CU :
Occurrence of Florschuetzia levipoli
39 10
3910.00' CU
Florschuetzia trilobata
Discoidites pilosus Florschuetzia levipoli
Dinoflagellate cysts
Comments
Formation
Sequence
Avicennia type
Samples
Depth
Delta front
Zone
Pro delta
Barren
Korelasi paleoenvironment.
Perkembangan delta.