pak ibe urban n rural
DESCRIPTION
mjgtkhrvcmj,hTRANSCRIPT
PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pembangunan masyarakat dan pemberdayaan rakyat tidak mungkin dipisahkan dari arena dan
konteks di mana ia beroperasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari strategi dan program
pembangunan kesejahteraan sosial (PKS). Untuk memperjeias proses dan dimensi pemberdayaan
masyarakat, bab permulaan ini mendiskusikan konsepsi dan beberapa isu mendasar mengenai PKS yang
akan dilanjutkan dengan kajian mengenai pekerjaan sosial pada bab kedua.
Kesejahteraan Sosial
lstilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang
kegiatan masyarakat internasional (Suharto, 1997). PBB memberi batasan kesejahteraan social sebagai
kegiatan kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan
keluarga dan masyarakat. Definisi ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau
bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga
pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi
terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.
Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial juga telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang Rl Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, misalnya, merumuskan kesejahteraan sosial sebagai: Suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial, material maupun spiri,tual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebail<-baiknya bagi diri,
keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak a tau kewajiban man usia sesuai dengan
Pancasila.
Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang di dalamnya
memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap
kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. lni berarti, kesejahteraan
sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan system sosial di Indonesia (Suharto,
2002; Swasono, 2004). Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut
faham "Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model "Negara Kesejahteraan Partisipatif"
(participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah Pluralisme
Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian
dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (socialsecurity), meskipun dalam
operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat. Dengan demikian, .kesejahteraan sosial memiliki
beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan
sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:
1 . Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,
rohaniah dan sosial.
2. lnstitusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi
kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.
Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi
pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat
mendasar seperti makanan, pakaian, peru mahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti
ini menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tuju,;:l
(end) dari suatu kegiatan pembangunan. Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didefinisikan sebagai arena atau domain
utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah arena tempat dokter berperan
atau pendidikan adalah wilayah di mana guru melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan
kesejahteraan sosial sebagai arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atau wahana atau
alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan (Suharto, 2004).
Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas pengorganisasian dan
pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung
(disadvantaged groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (social protection) baik
yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial
yangbersifatformal adalah berbagai skema jaminan sosial (social security) yang diselenggarakan oleh
Negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social assisstance) dan asuransi sosial (social
insurance), semisal tunjangan bagi orang cacat atau miskin (social benefits atau doll), tunjangan
pengangguran (unemployment benefits), tunjangan keluarga (family assisstance yang di Amerika dikenal
dengan nama TANF atau Temporary Assisstance for Needy Families). Beberapa skema yang dapat
dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro,
arisan, dan berbagai skema jaring pengaman sosial (social safety nets) yang diselenggarakan oleh
masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Pengertian kesejahteraan sosial sebagai suatu aktivitas biasanya disebut sebagai usaha
kesejahteraan sosial (UKS). Dalam skala dan perspektif· makro, UKS ini pada intinya menunjuk pada apa
yang di. Tanah Air dikenal dengan nama pembangunan kesejahteraan sosial (PKS). Perlu dijelaskan di
sini bahwa konsep mengenai pembangunan kesejahteraan
sosial merupakan istilah khas di Indonesia. Di negara-nega lain, seperti di AS, Selandia Baru, lnggris atau
Australia, konsep mengenai social welfare development kurang dikenal. Dalam benak publik di negara-
negara tersebut, istilah welfare (kesejahteraan) sudah mencakup makna UKS atau PKS.
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi
berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah
dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 1997). Tujuan PKS
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang rnencakup:
1. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan
masyarakat, terutama kelompokkelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat
memerlukan perlindungan sosial.
2. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang
menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
3. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihanpilihan kesempatan sesuai
dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi
berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah
dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 1997). Tujuan PKS
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang rnencakup:
1. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan
masyarakat, terutama kelompokkelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat
memerlukan perlindungan sosial.
2. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang
menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
3. Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihanpilihan kesempatan sesuai
dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
Ciri utama PKS adalah komprehensif dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan senantiasa
menempatkan penerima pelayanan (beneficiaries) sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun
kolektivitas, yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun, prioritas
utama PKS adalah kelompokkelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya yang
terkait dengan masalah kemiskinan. Sasaran PKS yang biasanya dikenal dengan nama Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) antara lain
meliputi orang miskin, penyandang cacat, anak jalanan, anak yang mengaiami perlakuan salah (child
abuse), pasangan yang mengalami perlakuan salah (spouse abuse), anak yang d i perdagangkan a tau d i
lacu rkan I komu n itas ad at terpenci I (KA n I serta kelompok-kelompok lain yang mengalami masalah
psikososial, disfungsi sosial atau ketunaan sosial.
Pembangunan Nasional
Apabila fungsi pembangunan nasional disederhanakan, maka ia dapat dirumuskan ke dalam tiga
tugas utama yang mesti dilakukan sebuah negarabangsa (nation-state), yakni pertumbuhan ekonomi
(economi growth), perawatan masyarakat (community care) dan pengembangan manusia (human
development). Fungsi pertumbuhan ekonomi mengacu pada bagaimana melakukan "wirausaha" (misalnya
melalui industrialisasi, penarikan pajak) guna memperoleh pendapatan finansial yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan pembangunan. Fungsi perawatan masyarakat menunjuk pada bagaimana merawat
dan melindungi warga negara dari berbagai macam risiko yang mengancam kehidupannya (misalnya
menderita sakit, terjerembab kemiskinan atau tertimpa bencana alam dan sosial). Sedangkan fungsi
pengembangan manusia mengarah pada peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia yang menjamin
tersedianya angkatan kerja berkualitas yang mendukung mesin pembangunan. Agar pembangunan
nasional berjalan optimal dan mampu bersaing di pasar global, ketiga aspek tersebut harus dicakup secara
seimbang.
Sebagaimana diilustrasikan Gambar 1 .1, pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk menjalankan
perawatan masyarakat dan pengembangan manusia. Namun demikian, fungsi perawatan masyarakat dan
pengembangan manusia juga memiliki posisi yang penting dalam konteks pembangunan nasional. Kedua
fungsi tersebut diperlukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi sehingga dapat berjalan secara
berkelanjutan (sustainable).Apabila pertumbuhan ekonomi diibaratkan kepala dalam tubuh Sebagaimana
diilustrasikan Gambar 1 .1, pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk menjalankan perawatan masyarakat
dan pengembangan manusia. Namun demikian, fungsi perawatan masyarakat dan pengembangan
manusia juga memiliki posisi yang penting dalam konteks pembangunan nasional. Kedua fungsi tersebut
diperlukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan
(sustainable). Apabila pertumbuhan ekonomi diibaratkan kepala dalam tubuh.
Fungsi perawatan masyarakat dan pengembangan manusia inilah yang sebenarnya merupakan
substansi dari pembangunan sosial yang menopang pembangunan ekonomi. Berbagai studi memberi
pesan yang san gat jelas bahwa negara yang kuat dan sejahtera adalah negara yang memperhatikan
pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memiliki komitmen menjalankan pembangunan sosial (Suharto,
2004). Laporan tahunan UNDP, Human
Development Report, yang kini menjadi acuan di berbagai negara di dunia, secara konsisten menunjukkan
bahwa pembangunan sosial mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak
memperhatikan pembangunan sosial tidak akan bertahan lama (tidak berkelanjutan). lni sejalan dengan
ternuan pakar ekonomi pemenang Nobel1998, Amartya Sen. Sen dengan sempurna membuktikan bahwa
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidaklah otomatis. Agar berjalan positif dan
berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi harus ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah
yang pro pembangunan social (SuhJrto, 2005).
Ketiga fungsi negara-bangsa di atas juga sering dijadikan dasar dalam menyusun portofolio
departemen/kementerian negara dan lembaga pemerintahan. Di hampir semua negara di dunia, struktur
pemerintahan selalu memiliki lembaga-lembaga yang mencakup sedikitnya ketiga fungsi negara-bangsa
ini. Misalnya, untuk menjalankan fungsi pertumbuhan ekonomi dibentuk Departemen Keuangan dan
Departemen Perindustrian. Sementara itu, untuk menjalankan fungsi perawatan masyarakat dan
pengembangan manusia, dibentuk Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Kesejahteraan Sosial,
dan Departemen Pendidikan.
Dalam struktur pemerintahan di Tanah Air, lembaga pemerintah yang berperan dominan dalam
PKS adalah Departemen Sosial, sebagaimana Departemen Kesehatan lebih dominan dalam pembangunan
kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional dalam pembangunan pendidikan, dan Departemen Agama
dalam pembangunan agama. Keempat departemen di atas berada di bawah payung dan kendali langsung
Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian, karena arti kesejahteraan rakyat di sini
mengacu pada konsep pembangunan sosial yang mencakup arti luas dan meliputi aspek kesehatan,
pendidikan, dan agama, maka daiam arti sempit, Departemen Sosial sesungguhnya adalah Departemen
Kesejahteraan Sosial. Bersama departemen-departemen lain, ia terlibat dalam pembangunan sosial,
namun konsentrasinya secara khusus melaksanakan PKS.
Sebagaimana dijelaskan dalam konsep welfare pluralism di atas, Negara bukanlah satu-satunya
aktor dalam PKS. Masyarakat juga terlibat dalam PKS, baik dalam pelaksanaan berbagai program
maupun pendanaannya. Lembaga non pemerintah yang menyelenggarakan PKS adalah masyarakat, yang
biasanya dilaksanakan melalui organisasi-organisasi sosial (Orsos) dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bergerak di bidang UKS dalam skala lokal, nasional maupun internasional, seperti lembaga
social lokal (Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga/PKK), Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia, Save the Children VVorld Vision, dan lain lain.
Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Banyak arti yang diberikan pada istilah PKS (Suharto, 2005b). Karenanya, tidak mudah
merumuskan fokus PKS secara tegas. PKS seringkali menyentuh, berkaitan, atau bahkan, selintas,
bertumpang-tindih (over/aping) dengan bidang lain yang umumnya dikategorikan sebagai pembangunan
sosial, semisal kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Lebih dari itu, makna sosial tidak jarang diartikan
secara luas sebagai, misalnya, kegiatan kesukarelawanan, hiburan, rekreasi, sesuatu yang bersifat non-
fisik atau non-ekonomi.
Merujuk pada definisi welfare dari Howard Jones (1990), tujuan utama PKS yang pertama dan
utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam berbagai manifestasinya. "The achievement of social
welfare means, first and foremost, the alleviation of poverty in its many manifestations" Uones,
1990:281 ). Makna "kemiskinan dalam berbagai manifestasinya" menekankan bahwa masalah kemiskinan
di sini tidak hanya menunjuk pada "kemiskinan fisik", seperti rendahnya pendapatan (income poverty)
atau rumah tidak layak huni, melainkan pula mencakup berbagai bentuk masalah sosial lain. yang terkait
dengannya, seperti anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia, pelacuran, pengemisan, pekerja
migran, termasuk di dalamnya menyangkut masalah kebodohan, keterbelakangan, serta kapasitas dan
efektivitas lembaga-lembaga pelayanan sosial pemerintah dan swasta (LSM, Orsos, institusi lokal) yang
terlibat dalam penanggulangan kemiskinan.
Penjelasan Spieker (1995 :5) mengenai konsep welfare juga niembantu mempertegas substansi
PKS dengan menyatakan bahwa welfare (kesejahteraan) dapat diartikan sebagai "well-being" atau
"kondisi sejahtera". Namun, welfare juga berarti 'The provision of social services provided by the state'
dan sebagai 'Certain types of benefits, especially means-tested social security, aimed at poor people.'
Artinya, PKS menunjuk pada pemberian pelayanan sosial yang dilakukan oleh negara atau jenis-jenis
tunjangan tertentu, khususnya jaminan sosial yang ditujukan bagi orang miskin. Seperti halnya
pengalaman di negara lain, maka PKS memfokuskan kegiatannya pada tiga bidang, yaitu: pelayanan
sosial (social services/ provisions), perlindungan sosial (social protection), dan pemberdayaan
masyarakat (community/social empowerment). Ketiga fokus kegiatan tersebut dilakukan dengan berdasar
pada kebijakan atau strategi yang bermatra pencegahan, penyembuhan dan pengembangan.
Pendekatan
Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Social Work and Social Welfare,
ada tiga pendekatan dalam PKS, yaitu perspektif re- · sidual, institusional, dan pengembangan. Ketiga
perspektif tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk model welfare state (negara kesejahteraan)
yang merupakan basis pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya pemberantasan kemiskinan di
negara-negara demokratis. Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai "a form of society characterised
by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a
guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system
of production" (Spieker, 1988:77). Meski dengan model yang berbeda, lnggris, Amerika Serikat,
Australia dan Selandia Baru serta negara-negara di Eropa Barat termasuk penganut welfare state. Negara-
negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka
bukan negara demokratis maupun kapitalis (Spieker, 1978; 1995).
Pendekatan Residual
Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan sosial baru perlu diberikan hanya apabila
kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat,
seperti institusi keluarga dan ekonomi pasar. Bantuan finansial dan sosial sebaiknya diberikan dalam
jangka pendek, pada masa kedaruratan, dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali. Di Amerika Serikat, program-program Bantuan Publik
(public assistance), seperti Supplemental Security Income (SSI), General Assistance, Medicaid, Food
Stamps, Housing Assistance, dan Aid to Families with Dependent Children (AFDC) -kini menjadi
Temporary Assistance f0r Needy Families (TANF) (Chambers, 2000), adalah beberapa contoh program
residual dalam penanggulangan kemiskinan.
Perspektif residual sangat clipengaruhi ideologi konservatif (berasal dari kata kerja "to comerve",
''memelihara" atau "mempertahankan") yang cenderung menolak perubahan (Parsons et.al., 1994;
Zastrow, 2000). Menu rut ideologi ini tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan
dampak negatif, ketimbang positif. Dalarn konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa
pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap bekerjanya pasar. Daripada mengatur bisnis dan
industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar bebas
adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan individu. Welfare state
yang berwajah rudimentary, selektivitas dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian diyakini oleh
para residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam sistem kesejahteraan sosial suatu negara (lihat
Spieker, 1995; Suharto, 2005c).
Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan korban" atau blaming
the victim approach. Masalah sosial, termasuk kemiskinan, disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu
dan karenanya menjadi tanggungjawab dirinya, bukan sistem sosial. Metoda pekerjaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial melibatkan pendekatan klinis dan pelayanan langsung yang ditujukan untuk
membantu orang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Program-program pengentasan kemiskinan
yang bergaya jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah "anak kandung" faham residual.
Penerima pelayanan sosial dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri
atau bahkan penyimpang (deviant) (Parsons et.al., 1994).
Pendekatan lnstitusional
Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan social sebagai charity for
unfortunates, pendekatan institusional melihat system dan usaha kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang
tepat dan sah dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Program
pengentasan kemiskinan eli AS yang berbentuk Asuransi Sosial (social insurance), semisal Old Age,
Survivors, Disability, and Health Insurance (OASDHI); Medicare; Unemployment Insurance; clan
Workers' Compensation Insurance aclalah manifestasi clari pembangunan kesejahteraan sosial yang
berbasis penclekatan insitusional. Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang percaya
bahwa perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parsons et.al., 1994;
Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi . pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang
adil dan setara di antara berbagai kepentingan. Karena negara dipandang merefleksikan kepentingan-
kepentingan warganya melalui · perwakilan perwakilan kelompok, maka pemerintah dibenarkan untuk
mengatur dan memberikan pelayanan sosial. Perspektif ini sangat mendukung model welfare state yang
bersifat universal. Program-program pemerintah, termasuk program kesejahteraan sosial dipandang
penting untuk memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan secara luas dan berkelanjutan. Seperti dinyatakan
Zastrow (2000:14), para penganut faham liberal meyakini bahwa " ... government regulation and
intervention are often required to safeguard human rights, to control the excess of capitalism, and to
provide equal chances for success. They emphasize egalitarianism and the rights of minorities."
Menariknya, sikap seperti ini justru berbeda dengan faham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang
cenderung niendukung pasar bebas, globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut para politisi
dari kalangan konservatis.
Selain dipengaruhi ideologi liberal, perspektif institusional juga dekat dengan ideologi radikal.
Dalam konteks ini, perspektif institusional termasuk dalam gugus pendekatan "yang menyalahkan sistem"
(blaming the system approach) (Parsons, et.al., 1994). lndividu dan kelompok dipandang sebagai warga
negara yang sehat, aktif dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu.
Melainkan, produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas, sexist dan rasis yang kemudian
membentuk sistem kapitalis. Metoda pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-program
pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan strukturstruktur kesempatan. Tiga bentuk program
pemerintah yang umum ditekankan oleh pendekatan institusional meliputi: penciptaan distribusi
pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta; dan penyediaan "barangbarang publik" tertentu
(pendidikan, kesehatan, peru mahan sosial, rekreasi), yang tidak dapat disediakan oleh pasar secara
efisien (Parsons et.al., 1994).
Pendekatan Pengembangan
Selama bertahun-tahun telah terjadi perdebatan seru antara penganut ideology liberal/institusional
dengan penganut ideologi konservatif/residual. Kaum institusional mengkritik pendekatan residual
sebagai perspektif kesejahteraan sosial yang tidak sejalan dengan prinsip kewajiban negara (state
obligation). Negara wajib menyediakan bantuan jangka panjang dan terstruktur kepada konstituen
mereka, terutama kelompok lemah, miskin dan kurang beruntung (disadvantegd groups) yang tidak
mampumemenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dan adekuat. Skema bantuan sosial residual yang
mensyaratkan test penghasilan (means-tested approach) dikritik sebagai sistem kesejahteraan sosial yang
melahirkan stigma dan poverty trap kepada para penerimanya.
Skema pelayanan sosial means-tested umumnya hanya diberikan kepada orang miskin yang
memiliki pendapatan tertentu atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan. Misalkan garis
kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp.1 00.000 per bulan. Maka hanya orang yang berpendapatan di
bawah garis kemiskinan itulah yang berhak menerima pelayanan sosial. Akibatnya, skema ini
menimbulkan stigma, karena penerima pelayanan sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak
mampu. Apabila orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah, katakanlah Rp.11 0.000
per bulan, secara otomatis dia harus melepaskan bantuan sosial yang diterimanya. Kondisi ini sering
memaksa para penerima pelayanan untuk tetap tidak bekerja, terutama jika upahnya hanya lebih sedikit
dari standar kemiskinan. Situasi seperti inilah yang kemudian disebut sebagai "jebakan kemiskinan",
karena orang miskin terpaksa atau dipaksa untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebaliknya, kelompok residual juga tidak henti-hentinya mengkritik pendekatan institusional.
Pendekatan ini dipandangtelah melahirkan model welfare state yang boros, tidak ekonomis dan
menciptakan ketergantungan kepada pemerintah yang berkuasa. Para penerima pelayanan sosial menjadi
malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.
Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam buku Social Development:
The Developmental Perspective in Social Welfare (1995) menawarkan pendekatan alternatif, yakni
perspektif pengembangan (developmental perspective) yang memadukan aspek-aspek, positif dari
pendekatan residual maupun institusional (Zastrow, 2000). Perspektif pengernbangan ini sering disebut
juga sebagai pendekatan pembangunan sosial yang oleh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai "a
process of planned social change designed to promote the well-being of population as a whole in
conjunction with a dynamic process of economic development."
Perspektif pengembangan sejalan dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia
mendukung pengembangan program-program kesejahteraan sosial, peran aktif pemerintah, serta peiibatan
tenaga-tenaga profesional dalam perencanaan sosial. Menurut Midgley (2005: 205): Selain memfasilitasi
dan mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah juga seharusnya memberikan kontribusi langsung
pada pembangunan social lewat bermacam kebijakan dan program sektor publik. Perspektif institusional
membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggungjawab untuk mengatur usaha pembangunan
sosial dan mengharmoniskan implementasi dari berbagai pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi
seperti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap harus dikoordinasikan pada tingkat nasion a I.
Mereka juga mempekerjakan tenaga spesialis yangtelah terlatih dan terampil untuk mendukung
tercapainya tujuan pembangunan sosial.
Pendekatan pengembangan juga tidak menentang ideologi konservatif dan pendekatan residual,
karena menyatakan bahwa pengembangan program- program kesejahteraan sosial tertentu akan memiliki
dampak positif terhadap ekonomi (di AS, politisi aliran konservatif umumnya menolak program-program
kesejahteraan sosial karena dipandang akan membawa dampak negatifterhadap pembangunan ekonomi)
(Zastrow, 2000:15). Lni sejalan dengan ide Tittmus (1974), "Mbahnya" kebijakan sosial dan pekerjaan
sosial lnggris, yang berpendapat bahwa kesejahteraan sosial adalah "the handmaiden of the process of
production." Agar terus hidup dan berjaya, masyarakat harus memiliki beberapa piranti untuk memelihara
keteraturan, mempertahankan perubahan, menciptakan angkata:1 kerja yang kuat dan terampil, serta
mereproduksi dirinya sendiri untuk masa depan. Sistem kesejahteraan sosial memiliki fungsi untuk
mempromosikan investasi social semacam ini (Spieker, 1988; 1995). Menurut Costa Esping-Andersen,
kebijakan sosial di Swedia telah mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja dan tidak
hanya sekadar merespon kebutuhan social (Midgley, 1995).
Dalam buku sebelumnya, The Social Dimensions of Development: Social Policy and Planning in
the Third World, Hardiman dan Midgley (1982) berpendapat bahwa penanganan masalah sosial di Dunia
Ketiga seharusnya lebih difokuskan kepada kemiskinan, karena merupakan masalah dominan dan.
mempengaruhi permasalahan sosial lainnya. Namun, mengingat kemiskinan di negara berkembang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara~negara industri maju, maka strategi yang digunakan
di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh karena itu, selain menyatukan
dua perspektif dan ideologi kesejahteraan sosial yang tadinya berlawanan, perspektif pengembangan juga
muncul sebagai reaksi terhadap tiga strategi peningkatan kesejahteraan sosial, yakni filantropi sosial,
pekerjaan sosial dan administrasi sosial, yang dianggap Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan
residual dan program-program sosial yang bersifat remedial dan kuratif.
Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis, yang seringkali digunakan para pekerja sosial di
negara-negara maju, dipandang Midgley kurang tepat jika digunakan dalam menangani kemiskinan.
Sebagai ilustrasi, kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat individual, seperti
kesehatan yang buruk, kecacatan fisik, kecacatan mental, masalah emosional, alkoholisme,
penyalahgunaan narkoba (Zastrow, 2000) dan karenanya cocok jika ditangani dengan metode casework
atau terapi individu dan konseling. Sedangkan kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-
faktor struktural, semisal KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) atau sistem pendidikan, kesehatan dan
jaminan sosial yang kurang memadai. Midgley mengusulkan bahwa selain memerlukan program-program
penguatan sosial dan ekonomi dalam skala masyarakat, penanggulangan kemiskinan perlu pula didukung
o!eh kebijakan ekonomi dan sosial pada skala nasional (Hardiman dan Midgley, 1982; Midgley,
1995; lihat Suharto, 2005b).
Isu-isu Pembangunan Kesejahteraan Sosiai
Di negara-negara yang kapitalis dan bahkan atheis sekalipun, selalu ada perlindungan sosial dari
pemerintah untuk mencegah kaum lemah terpinggirkan oleh derap modernisasi dan industrialisasi. Di
Indonesia, selain PKS diamanatkan secara tegas oleh konstitusi, jumlah PMKS masih sangat besar.
Mereka umumriya merupakan "kelompok termiskin dari yang miskin" (the poorest of the poor). Pada
tahun 2002, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah
sekitar 17,6 persen dan 7,7 persen. lni berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia
berkumpul, 18 orang di antaranya adalah orang miskin. Dan jika kelompok fakir miskin ini kita
kategorikan sebagai PMKS, maka dari 18 orang miskin tersebut, 8 orang di antaranya adalah PMKS
(BPS dan Depsos, 2002:9).
Lemahnya Visi
Meskipun demikian, terdapat kesan kuat bahwa para politisi dan pembuat keputusan di Indonesia
masih belum memiliki visi PKS yang tegas. Sebagai contoh, anggaran pemerintah untuk PKS masih
sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran untuk pembangunan sosial lainnya. Pertanyaannya,
mengapa para politisi dan pembuat kebijakan di Indonesia tidak memiliki visi yang jelas mengenai PKS?
Jika dipetakan, sedikitnya ada tiga isu yang menjelaskan kondisi ini. Pertama, pandangan mengenai
pentingnya PKS seringkali terjegal oleh mainstream pemikiran ekonomi yang kapitalistik. lndikator-
indikatorekonomi makro seperti pertumbuhan GNP, investasi, dan perluasan kesempatan kerja dijadikan
parameter utama dan citra keberhasilan pembangunan. Kondisi sejahtera kemudian direduksi menjadi
sekadar kemakmuran ekonomi. Kesejahteraan dianggap akan tercipta dengan sendirinya jika
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi .mungkin. Mekanisme pasar bebas dan "trickle down effects"
diyakini sebagai "tangan-tangan tidak kelihatan" yang akan mengatur beroperasinya pembangunan
nasional secara optimal, meskipun kenyataannya tidak terbukti. Pada saat pemerintahan SBY baru
terbentuk, para ekonom dan pemlkir kapitalisme "buru-buru" mengangkat isu bahwa pemerintah harus
ramah pasar. Padahal yang tepat, pasarlah yang harus ramah pemerintah. Terlebih, pasar harus ramah
rakyat.
Kedua, komitmen terhadap pembangunan seringkali masih bersifat jangka pendek
berdasarkan .kalkulasi ekonomi sederhana. Kegiatan pembangunan hanya dilihat dari seberapa besar
kontribusinya terhadap APBN. Artinya, jika pemerintah mengeluarkan anggaran untuk pembangunan
sebesar satu miliar, maka pemerintah harus memperoleh return yang lebih besar dari satu miliar. Karena
PKS tidak dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara dalam waktu singkat, maka tidak
mengherankan
kalau sebagian besar penguasa ogah-ogahan mengurusi masalah ini. Sayangnya, pandangan seperti ini
telah merasuk pula ke para politisi dan pembuat keputusan di daerah. Dengan otonomi daerah, kini
semakin banyak Pemda yang mampu meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Namun, kurang
bersemangat mengatasi "PAD" (Permasalahan Asli Daerah). Dana Pemda untuk PKS sebagian besar
banyak yang mengandalkan kucuran anggaran dari pemerintah pusat melalui dana dekonsentrasi.
Pengelolaan ekonomi "rabun jauh" (miopia) seperti ini mirip dengan ekonomi "kakilima" yang sederhana.
Pagi hari pergi ke pasar membawa dagangan senilai Rp.1 00.000, sore hari pulang ke rumah dengan
membawa uang Rp.150.000. Padahal mengelola negara lebih kompleks, memerlukan wawasan yang lebih
luas dan berpandangan ke depan. lnvestasi tidak mesti dalam bentuk ekonomi jangka pendek, melainkan
pula investasi sosial jangka panjang.
Ketiga, PMKS yang menjadi sasaran utama PKS adalah kelompok masyarakat yang memiliki
bargaining position yang rendah. Mereka tidak memiliki sumber dan akses yang dapat menyuarakan
aspirasi politiknya. Walhasil, meskipun kitab suci, ajaran moral dan LJU menekankan pentingnya
pembelaan terhadap mereka, para penguasa lebih tertarik pada kelompok-kelompok kuat yang memililiki
uang dan jaringan. Terlebih di negeri yang penuh dengan KKN, para penguasa lebih berminat
berhubungan dengan orang yang memiliki uang melimpah guna menjalin deal-deal, yang saling
menguntungkan. Secara guyon, lagu heroik yang tadinya berbunyi "maju tak gentar, membe/a yang
benar" bisa diplesetkan menjadi "maju tak gentar, membela yang besar" .
Program Strategis
lsu lain yang hangat dibicarakan adalah menyangkut akuntabilitas (accountabiity) program PKS
(Suharto, 2005a). Sejalan dengan rnenguatnya semangat kompetisi dan efisiensi, perencanaan program
PKS baik pada tingkat nasional maupun daerah semakin dituntut untuk lebih akuntabel (accountable).
Artinya, dampak PKS harus terukur secara jelas. Dalam bahasa politik, wacana ini seringkali
diungkapkan dengan pernyataan bahwa "program PKS harus bersifat strategis". Sebagai suatu bidang atau
sector pembangunan yang melibatkan program dan pelayanan sosial yang "tidak kelihatan" (intangible
services), PKS memerlukan parameter yang jelas dalam menentukan apakah program PKS bersifat
strategis, kurang strategis atau tidak strategis. Secara konseptual, parameter untuk menentukan
kestrategis- an PKS dapat diringkas dalam akronim "FIT-V" yang merupakan kepanjangan dari Factor,
Impact, Trend, dan Value (Gambar 1 .4):
1. Factor (faktor): Apakah program PKS causally accountable? Artinya, apakah program PKS
merupakan faktor penentu yang mampu mengatasi masalah publik yang menyangkut orang banyak (key
factor to problem solving)?
2. Impact (dampak): Apakah program PKS socially and economically profitable? Apakah program PKS
bermanfaat atau berdampak pada peningkatan kesejahteraan publik?
3. Trend (kecenderu ngan): Apakah program PKS globally and nationally visible? Apakah program PKS
sejalan dengan kecenderungan global dan nasional?
4. Value (nilai): Apakah program PKS culturally acceptable? Apakah program PKS sesuai dengan nilai-
nilai dan harapan-harapan cultural yang berkembang pada masyarakat?
Pemahaman mengenai program strategis ini selain akan membantu memudahkan penentuan
prioritas program PKS, juga dapat meningkatkan daya saing program PKS dibandingkan dengan program
pembangunan lainnya. Para politisi dan pembuat keputusan lebih tertarik kepada program PKS yang
strategis.
Visi dan Misi Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Pertanyaannya, apa saja yang perlu dilakukan agar PKS memenuhi criteria strategis di atas?
Sedikitnya ada tiga agenda besar yang perlu dilakukan (lihat Kotak 1 .1 tentang visi dan misi
pembangunan kesejahteraan social yang diusulkan penulis masuk ke dalam Rencana Strategis Depsos ke
depan): Pertama, tugas PKS perlu direkonstruksi atau diluruskan kembali (rebounding) agar lebih jelas
dan terukur. Sebagai langkah awal, reformulasi visi PKS merupakan keharusan. Kita bisa berkaca pada
visi lembaga bisnis seperti Nokia yang dengan jelas menyatakan "connecting people" atau maskapai
penerbangan Lion Air yang dengan gagah berkata "we make people fly". Sejalan dengan tiga fokus PKS,
yakni pelayanan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat, visi PKS dapat mengacu
pada tiga kegiatan pokok tersebut, katakanlah, menjadi "melayani, melindungi, dan memberdayakan
masyarakat". Dengan visi ini, PKS dapat merumuskan core business-nya secara terukur sehingga
memiliki "merek. dagang" (trade-mark) yang mudah dikenal oleh masyarakat luas.
Kedua, mengarusutamakan disiplin dan profesi pekerjaan sosial ke dalam kebijakan dan program
PKS. Seperti halnya profesi keguruan yang menjadi "tuan rurnah" di bidang pendidikan atau profesi
kedokteran di bidang kesehatan, maka PKS perlu pula menetapkan pekerjaan sosial sebagai "tuan rumah"
dan basis profesionalisme yang menerangi setiap konsep dan strateginya. Sebagian besar kebijakan dan
program PKS belum didasari oleh konsep-konsep pekerjaan sosial. Melainkan hanya begitu saja dicomot
dari ilmu-ilmu sosiallain yang seringkali kurang relevan. Sejalan dengan ini, PKS perlu mengedepankan
pekerja sosial profesional sebagai profesi utama di bidang kesejahteraan sosial. Seperti guru dan dokter,
para pekerja sosial profesional ini adalah lulusan perguruan tinggi jurusan kesejahteraan sosial atau
pekerjaan sosial yang dihasilkan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia, Universitas
Padjadjaran, serta perguruan tinggi negeri dan swasta lain yang tersebar di Indonesia. Tanpa ada kejelasan
profesionalisme seperti ini, PKS akan terus-menerus dipandang sebagai lembaga "biasa-biasa saja" yang
kegiatannya dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Ketiga, agar tidak sekadar dipandang sebagai sektor pembangunan yang hanya menangani
"sampah sosial" atau "piring kotor", PKS tidak hanya terpusat pada kegiatan rowing (mendayung) dalam
"perahu" pembangunan nasional, melainkan harus pula terlibat dalam aktivitas "steering"
(menyetir) "perahu" pembangunan nasional, dalam bentuk perumusan kebijakan sosial di tingkat makro.
PKS perlu menggeser sasaran tembaknya dari sekadar menangani problema sosial di tingkat hilir menjadi
menangani problema sosial di tingkat hulu. Misalnya, lembaga-lembaga yang bergerak di bidang PKS
seperti ~epsos dapat memulainya dengan menjadi lembaga audit sosial yang bertugas memberi peringatan
dini kepada lembaga lain yang memproduksi kebijakan dan program yang merugikan kesejahteraan
masyarakat. Kalau Kementerian Lingkungan Hidup dapat memberi alarm soal polusi dan kerusakan
lingkungan, maka Depsos juga harus mampu merancang parameter yang mampu memberi peringatan dini
soal"polusi sosial" dan "kerusakan sosial" akibat kegiatan industri atau pembangunan yang dilakukan oleh
pihak lain.