p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · melalui “kemandirian anggaran” p.3...

16
Vol. IV, Edisi 11, Juni 2019 Kegalauan Pemerintah dalam Penerapan Pajak Pelaku e-Commerce p. 7 ISO 9001:2015 Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685 Bantuan Sosial ke Depan Ramah Terhadap Penyandang Disabilitas p. 12 Penguatan Sistem Pendukung Lembaga Perwakilan Melalui “Kemandirian Anggaran” p. 3

Upload: others

Post on 27-Jan-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

Vol. IV, Edisi 11, Juni 2019

Kegalauan Pemerintah dalam Penerapan Pajak Pelaku

e-Commercep. 7

ISO 9001:2015Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685

Bantuan Sosial ke Depan Ramah Terhadap Penyandang

Disabilitas p. 12

Penguatan Sistem Pendukung Lembaga Perwakilan Melalui

“Kemandirian Anggaran”p. 3

Page 2: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

2 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Kegalauan Pemerintah dalam Penerapan Pajak Pelaku e-Commercep.7

MELALUI penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang Perlakukan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, pemerintah mencoba mengatur mekanisme pengenaan pajak terhadap pelaku e-commerce. Akan tetapi sebelum resmi diberlakukan, Menteri Keuangan kemudian mencabut PMK tersebut karena dianggap menimbulkan pro kontra di kalangan pelaku usaha. Seharusnya pemerintah tidak terburu-buru dalam langkah pencabutan PMK tersebut, karena menunjukkan kesiapan yang kurang matang serta menimbulkan ketidakjelasan dalam menentukan kebijakan perpajakan e-commerce khususnya bagi pelaku usaha.

Bantuan Sosial ke Depan Ramah Terhadap Penyandang Disabilitas p.12

SAAT ini Indonesia mulai menuju pada perlindungan sosial terintegrasi dan menyeluruh. Guna menjalankan mandat konstitusi dalam memberikan perlindungan bagi seluruh warga negara tersebut, Pemerintah melalui TNP2K mengusulkan bantuan sosial ke depan yang difokuskan salah satunya untuk penyandang disabilitas, karena bantuan sosial penyandang disabilitas saat ini memang masih belum masif.

Penguatan Sistem Pendukung Lembaga Perwakilan Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3

Kritik/Saran

[email protected]

Dewan RedaksiRedaktur

DahiriRatna Christianingrum

Martha CarolinaRendy Alvaro

EditorAde Nurul Aida

Marihot Nasution

SEJAK amandemen UUD 1945, Indonesia memiliki 3 lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraannya yakni MPR, DPR dan DPD. Setiap lembaga perwakilan ini memiliki kewenangan yang berbeda namun saling beririsan satu sama lain. Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugasnya, dibentuklah Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR, Setjen DPR dan Setjen DPD. Untuk menciptakan keseimbangan ketatanegaraan antara eksekutif dan legislatif, kinerja lembaga perwakilan perlu diperkuat. Salah satunya melalui penguatan sistem pendukung lembaga perwakilan.

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E.,

M.Si.Pemimpin Redaksi

Dwi Resti Pratiwi

Page 3: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

3Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Penguatan Sistem Pendukung Lembaga Perwakilan Melalui “Kemandirian Anggaran”

oleh Adhi Prasetyo*)

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya dimanakah hubungan antara penguatan

sistem pendukung lembaga perwakilan melalui “kemandirian anggaran” dengan APBN? Sebagai gambaran, apabila nantinya lembaga perwakilan memiliki “kemandirian anggaran”, misalnya secara eksplisit menyebutkan besaran persentase anggaran dalam APBN atau pemerintah hanya sekedar memberikan pertimbangan dalam setiap anggaran yang diajukan oleh lembaga perwakilan, hal ini tentu saja akan mempengaruhi postur APBN.Untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan optimal, lembaga perwakilan harus dilengkapi dengan fasilitas pendukung kerja yang memadai, serta kemandirian dalam menjalankan tugas dan mengatur organisasi kelembagaannya. Terlebih karakteristik dan pola kerja sistem lembaga perwakilan berbeda dengan pemerintah. Sebagai contoh karakteristik pegawai sistem pendukung lembaga perwakilan tentu lebih mengandalkan keahlian untuk mendukung tugas anggota dewan, dan hal ini berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya yang lebih bersifat administratif, dimana mempunyai sifat penyerahan, pelimpahan dan penugasan. Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Fahri Hamzah menyampaikan dalam kamar yudikatif,

bahwa panitera lebih kuat dibanding hakim sendiri1. Sementara itu, di DPR RI sistem pendukungnya justru lemah. Untuk mewujudkan lembaga perwakilan yang kuat, diperlukan sekretariat lembaga perwakilan yang benar-benar kuat, minimal setingkat menteri.Sebagai upaya mewujudkan parlemen modern yang mengedepankan penggunaan sistem teknologi informasi sehingga dapat meningkatkan dukungan dan partisipasi publik terhadap kewenangan DPR. DPR mempunyai gagasan dan rencana besar, dimana langkah tersebut sudah dituangkan ke dalam dokumen Blue Print Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019. Tulisan ini akan membahas bagaimana penguatan sistem pendukung lembaga perwakilan khususnya di bidang penguatan anggaran yang ada di dalam dokumen tersebut, agar mampu membantu penguatan sistem pendukung lembaga perwakilan dalam mewujudkan parlemen modern.Menuju “Kemandirian Anggaran”Terdapat lima bidang yang menjadi fokus dalam upaya penguatan sistem pendukung lembaga perwakilan, sebagaimana tercantum dalam dokumen Blue Print Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019 (Gambar 1). Dimana penataan kelima bidang tersebut pada sistem pendukung lembaga perwakilan tentu saja membutuhkan dukungan

AbstrakSejak amandemen UUD 1945, Indonesia memiliki 3 lembaga perwakilan

dalam sistem ketatanegaraannya yakni MPR, DPR dan DPD. Setiap lembaga perwakilan ini memiliki kewenangan yang berbeda namun saling beririsan satu sama lain. Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugasnya, dibentuklah Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR, Setjen DPR dan Setjen DPD. Untuk menciptakan keseimbangan ketatanegaraan antara eksekutif dan legislatif, kinerja lembaga perwakilan perlu diperkuat. Salah satunya melalui penguatan sistem pendukung lembaga perwakilan. Namun demikian, dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia tersebut diperlukan beberapa penguatan dukungan salah satunya melalui kemandirian anggaran.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]) Disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR

primer

Page 4: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

4 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

anggaran. Namun sangat disayangkan bahwa MPR, DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan memiliki alokasi anggaran yang minimal. Padahal setiap tahun masyarakat terus menuntut agar kinerja lembaga perwakilan lebih maksimal. Sebagai contoh DPR sebagai lembaga perwakilan yang memiliki fungsi anggaran untuk memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden), hingga saat ini belum mampu memiliki kemandirian anggaran. Kemandirian sendiri bukan berarti kebebasan, namun membedakan pola dan memiliki mekanisme sendiri.Jika melihat ke belakang, sebenarnya DPR RI pernah mempunyai kewenangan menentukan anggarannya sendiri yaitu melalui UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 huruf g disebutkan, bahwa untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya maka DPR RI mempunyai hak

menentukan anggaran DPR di samping mempunyai hak keuangan/administrasi (Pasal 33 Ayat 4 Huruf c). Tetapi dalam perjalanannya, hak itu belum pernah dijalankan. Anggaran DPR tetap saja berada dalam kontrol pemerintah. Hal ini diperparah dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD. Dalam UU tersebut, ketentuan hak menentukan anggaran DPR RI hilang, sehingga yang ada hanyalah DPR RI mempunyai hak keuangan/administrasi (Pasal 28 huruf h). Begitu juga UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD Dan DPRD tidak mengatur mengenai hak menentukan anggaran DPR RI (Saefuloh, 2016). Melalui UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD, lembaga perwakilan kembali mencoba menggapai asa dalam memiliki kemandirian anggaran sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (1) dan pasal 75 ayat (1) yang menjelaskan, bahwa dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, MPR dan DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam pasal 6 ayat (2), pasal 75 ayat (2), pasal 250 ayat (2) menjelaskan pula bahwa MPR, DPR dan DPD dalam menyusun program dan kegiatannya untuk memenuhi kebutuhannya, MPR, DPR dan DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk dibahas bersama.Namun anehnya ketika UU tersebut sudah disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014 dan diundangkan pada tanggal yang sama, pada September 2015 pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla nampaknya kurang setuju dengan wacana otonomi anggaran DPR. Jusuf Kalla mengatakan, bahwa pemerintah pun harus mendapatkan persetujuan DPR jika hendak menggunakan anggaran, legislatif dan eksekutif, serta sebaiknya bekerja sama dalam menyusun anggaran yang bersumber dari penerimaan pajak. Jika kita melihat kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara diatur dalam bab II UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa

Gambar 1. Fokus Penguatan Sistem Pendukung Lembaga Perwakilan

Sumber: Blue Print Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019 ,diolah

Page 5: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

5Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tersebut diatur bahwa kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara dapat digambarkan dalam bagan berikut:

pada tanggal 23 Mei 2007 dengan Komisi XI menolak usulan tersebut dengan alasan keuangan negara tetap domain pemerintah. Jika UU No. 17 Tahun 2003 direvisi, maka sama saja bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Keuangan Negara dirasa sudah cukup mengakomodasi kewenangan tiap lembaga tinggi negara dan diwadahi dengan mendelegasikan kepada pemerintah.Di Indonesia sendiri hingga saat ini menurut catatan penulis ada dua instansi yang memiliki kemandirian anggaran yaitu BPK dan OJK yang lahir setelah UU Keuangan Negara disahkan dan masing-masing instansi memiliki karakteristik berbeda dalam kemandirian anggaran seperti sebagai berikut:a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

memiliki kebebasan dan kemandirian dalam anggaran dijabarkan dalam UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK pasal 35, dimana disebutkan anggaran BPK dibebankan pada bagian anggaran tersendiri dalam APBN. Anggaran tersebut diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Kemudian hasil pembahasan tersebut disampaikan pada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN. Artinya anggaran BPK bersifat independen, karena BPK merencanakan sendiri anggarannya yang disampaikan langsung kepada DPR, selaku pengambil keputusan tentang anggaran negara. Selanjutnya, penentuan anggaran yang diajukan BPK tersebut dialokasikan dalam satu mata anggaran tertentu. Namun jika kita melihat penjelasan di atas, kemandirian BPK masih bersifat kemandirian terbatas karena walaupun anggaran BPK dialokasikan tersendiri dalam APBN, BPK masih mengikuti standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

b. Pada Bab VIII Rencana Kerja dan Anggaran UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dijelaskan bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN, anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan OJK ditetapkan berdasarkan standar yang wajar

Gambar 2. Pendelegasian Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara

Sumber: KemenkeuDari Gambar 2 terlihat, Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan pengelolaan keuangan negara memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan, Menteri/Pimpinan Lembaga (misal: Setjen DPR RI sebagai pengelola anggaran DPR), Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah). DPR dan DPD memiliki keinginan untuk melakukan perubahan UU No. 17 Tahun 2003 yang kemudian dimasukkan ke dalam agenda Prolegnas 2007, dan hingga saat ini revisi UU tersebut tetap masuk ke dalam Prolegnas 2015-2019. Dalam revisi UU tersebut, lembaga perwakilan menghendaki pengelolaan keuangan negara disebar ke seluruh lembaga tinggi negara Eksekutif (pemerintah), Legislatif (DPR dan DPD) dan Yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk menindaklanjuti amandemen UUD 1945 (Paramita, 2016). Namun Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan, di dalam rapat

Page 6: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

6 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan APBN, pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan sistem remunerasi. Kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai standar biaya,

proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Dari penjelasan tersebut artinya OJK benar-benar memiliki kemandirian anggaran seutuhnya karena mampu mengatur standar tersendiri melalui Peraturan Dewan Komisioner dan tidak terikat terhadap standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

RekomendasiKemandirian anggaran merupakan sebuah hal yang mutlak diperlukan oleh lembaga perwakilan dalam menciptakan check and balances dengan pemerintah. Hal ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi anggota parlemen periode 2019-2024 karena pemerintah tentu tidak akan rela melepas sebagian kewenangannya dalam kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Revisi UU Keuangan Negara menurut penulis akan menempuh jalan panjang, untuk itu dalam rangka mewujudkan kemandirian anggaran, sebelum merevisi UU Keuangan Negara yang akan memakan waktu cukup lama. Lembaga perwakilan bisa mengambil langkah yang lebih moderat dengan melakukan revisi UU MD3. Dalam hal kemandirian anggaran, revisi tersebut bisa mencontoh UU OJK, dimana OJK mendapat dana dari APBN namun dalam standar biaya tidak terikat terhadap standar biaya pemerintah. Kemudian disebutkan juga bahwa masing-masing lembaga perwakilan memiliki kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan sendiri anggaran dengan pertimbangan dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Serta dalam revisi UU dapat ditambahkan frasa secara tegas dan mengikat tenggang waktu paling lambat kemandirian anggaran dapat dijalankan.Dengan memiliki kemandirian anggaran tentu saja akan menimbulkan perubahan pengelolaan keuangan negara dari yang semula setjen lembaga perwakilan beralih kepada ketua lembaga perwakilan seperti halnya OJK dimana ketua dewan komisioner OJK bertanggung atas pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan oleh OJK, yang juga bersumber dari APBN. Namun sebelum menuju kemandirian anggaran lembaga perwakilan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh lembaga perwakilan. Diantaranya adalah mempersiapkan sistem pendukung menjadi lebih profesional berbasis kinerja, khususnya di bidang pengelolaan keuangan yang akuntabel dan transparan agar lebih siap dalam mengelola kemandirian anggaran. Dan yang paling utama, membangun komunikasi dengan pemerintah sehingga tercipta kesepakatan politik. Hal ini penting karena erat kaitannya dengan kemampuan keuangan negara.

Daftar PustakaSekjen dan BK DPR RI. 2018. Edisi Kedua Blue Print Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019, Jakarta, Tahun 2018Saefuloh, A. Ahmad, Otonomi Parlemen Menuju Kemandirian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pusat Kajian Anggaran, 2016Berita Satu. Pemerintah Mentahkan Wacana Otonomi Anggaran DPR https://www.beritasatu.com/nasional/303982/

pemerintah-mentahkan-wacana-otonomi-anggaran-dpr Hukum Online.com. Menteri Keuangan Tolak Revisi UU Keuangan Negara. https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16780/menteri-keuangan-tolak-revisi-uu-keuangan-negara/Paramita, Rastri. 2016. Otonomi Pengelolaan Keuangan di Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Buletin APBN Edisi , Vol. I Februari 2016. Pusat Kajian Anggaran

Page 7: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

7Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Di era digital yang serba praktis saat ini, perkembangan teknologi secara tidak langsung

mengubah gaya belanja masyarakat yang dulu tradisional menjadi belanja online. Hal tersebut mendorong industri e-commerce menjadi salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia. Pemerintah juga sudah mengakui bahwa e-commerce merupakan salah satu tulang punggung perekonomian negara (Kemenkeu, 2018). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan dalam 10 tahun terakhir nilai transaksi e-commerce meningkat 17 persen dengan total jumlah usaha 26,2 juta unit (idEA, 2019). Hal itu sejalan dengan Riset Google dan Temasek yang masuk dalam laporan ekonomi SEA 2018 menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia tahun 2018 mencapai USD27 miliar atau sekitar Rp391 triliun. Artinya, angka tersebut menunjukkan kontribusi transaksi digital Indonesia sebesar 49 persen (Warta Ekonomi, 2019). Di Indonesia ada tiga start-up e-commerce yang paling sering dikunjungi dan masuk dalam kategori unicorn yaitu Tokopedia, Lazada dan Shopee yang telah berkontribusi dalam perkembangan transaksi e-commerce di Asia Tenggara.

Nilai transaksi e-commerce Indonesia menjadi yang tertinggi untuk kawasan Asia Tenggara dengan nilai sebesar USD1,8 miliar pada tahun 2015. Angka tersebut menunjukkan peningkatan 94 persen di tahun 2018 sebesar USD12,2 miliar dan diprediksi pada tahun 2025 akan meningkat sebesar USD53 miliar. Melihat tren pertumbuhan e-commerce tersebut dapat berpotensi menambah penerimaan negara khususnya dari sektor pajak.

Kegalauan Pemerintah dalam Penerapan Pajak Pelaku e-Commerce

oleh Dahiri*)

Laras Lintang Asmoro**)

AbstrakMelalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018

tentang Perlakukan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, pemerintah mencoba mengatur mekanisme pengenaan pajak terhadap pelaku e-commerce. Akan tetapi sebelum resmi diberlakukan, Menteri Keuangan kemudian mencabut PMK tersebut karena dianggap menimbulkan pro kontra di kalangan pelaku usaha. Seharusnya pemerintah tidak terburu-buru dalam langkah pencabutan PMK tersebut, karena menunjukkan kesiapan yang kurang matang serta menimbulkan ketidakjelasan dalam menentukan kebijakan perpajakan e-commerce khususnya bagi pelaku usaha.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

sekunder

Gambar 1. Nilai Transaksi e-Commerce di Asia Tenggara

Sumber: Katadata, 2019; diolah

Page 8: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

8 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Masalah yang menjadi sorotan adalah belum adanya kejelasan mekanisme penerapan pajak terhadap sektor e-commerce. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pelaku usaha konvensional. Jika dalam hal ini semua orang yang mampu ataupun tidak mampu ketika melakukan transaksi secara konvensional dikenakan pajak, sedangkan mereka yang melakukan transaksi melalui internet yang biasanya berpenghasilan menengah ke atas tidak dikenakan pajak. Oleh karenanya di awal Januari 2019, Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan terkait pengenaan pajak terhadap e-commerce yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) (disingkat PMK 210). Akan tetapi belum resmi diberlakukan, Menteri Keuangan (Menkeu) kemudian menarik kembali PMK tersebut dengan alasan guna melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar kementerian/lembaga. Penarikan tersebut juga dikarenakan adanya pro dan kontra antar pelaku usaha, baik itu pelaku usaha konvensional ataupun e-commerce. Kegalauan tersebut menimbulkan pertanyaan dalam hal ketegasan pemerintah dalam penerapan pajak e-commerce, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur secara jelas mengenai transaksi e-commerce.Awal Penerbitan PMK 210 Hingga Alasan PencabutanMelalui Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) Tahun 2017-2019 guna mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi berbasis elektronik, Pemerintah mengatur langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan transaksi yang berbasiskan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Mengacu pada road map e-commerce tersebut, pada awal Januari 2019 pemerintah menerbitkan PMK 210 yang rencana akan diberlakukan pada 1 April

2019. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), alasan dibentuknya PMK tersebut adalah guna menciptakan rasa keadilan atau level playing field yang sama antara pelaku industri konvensional dengan pelaku industri e-commerce serta melindungi masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen yang melakukan transaksi digital. Dalam PMK 210 menerangkan penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik dimana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli. Pelaku usaha dalam kategori over the top juga dapat dikatakan sebagai penyedia platform marketplace.Dalam PMK 210 (Gambar 2) sebenarnya Pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi para pelaku usaha e-commerce. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas Pajak), Hestu Yoga Saksama

Sumber: PMK nomor 210/PMK.010/2018, diolah

Gambar 2. Pokok-Pokok PMK 210

Page 9: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

9Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

menegaskan dalam PMK 210 mengatur penyedia platform marketplace dan pelaku usahanya. Untuk perlakuan perpajakannya juga tidak ada yang berbeda dalam hal tarif, objek dan subjek pajak antara pelaku usaha konvensional dengan pelaku e-commerce. PMK 210 hanya mencakup aturan terkait tata cara dan prosedur pemajakan yang bertujuan untuk memudahkan proses administrasi dan mendorong kepatuhan pajak bagi para pelaku e-commerce. Akan tetapi sebelum akhirnya diberlakukan, pada akhir Maret 2019, Menkeu kemudian mencabut PMK 210 tersebut dengan alasan perlunya melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar kementerian/lembaga. Dengan pencabutan PMK tersebut, perlakuan pajak bagi pelaku usaha konvensional ataupun e-commerce mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini yang memiliki penghasilan mencapai Rp4,8 miliar menggunakan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.Pro dan Kontra PMK 210Pajak memang selalu menjadi isu yang sensitif. Dalam konteks perpajakan, pesatnya pertumbuhan e-commerce menimbulkan kecemburuan bagi pelaku usaha konvensional karena sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur jelas terkait industri digital tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang pelaku usaha konvensional, mereka harus bersaing dengan pelaku e-commerce yang belum dikenakan pajak. Hal tersebut menimbulkan level playing field yang tidak seimbang diantara pelaku usaha. Selain itu, pelaku e-commerce dan aktivitas transaksi digital yang dilakukan masih sulit untuk dilacak. Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) menyatakan fenomena ekonomi digital seperti transaksi e-commerce berpotensi mengakibatkan aktivitas ekonomi yang belum tercatat sehingga sulit dikenakan pajak atau yang lebih dikenal dengan shadow economy.

Jika shadow economy terus terjadi, maka Pemerintah sebagai regulator akan semakin sulit menghitung skala kegiatan transaksi didalamnya yang tidak transparan dan berpotensi mengakibatkan kebocoran pajak yang dapat merugikan negara. Seharusnya Pemerintah tidak langsung mencabut aturan PMK 210 tersebut karena dengan diberlakukan PMK 210, Pemerintah bisa menambahkan basis data pajak melalui ketentuan PMK 210 yang mengatur kepemilikan NPWP.Di sisi lain, ketika dikeluarkannya PMK 210 pelaku e-commerce merasa keberatan. Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, menyatakan ada hal-hal yang perlu dikaji ulang dalam kebijakan PMK 210, seperti kewajiban bagi pelaku usaha untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dimana pelaku usaha yang ada dalam marketplace itu mayoritas adalah UMKM yang fokusnya masih kepada pengembangan bisnis usaha. Dengan adanya ketentuan tersebut dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan usaha. Akan tetapi, sebenarnya Pemerintah sudah menjawab kekhawatiran tersebut bahwa NPWP tidak diwajibkan. Pelaku usaha dan penyedia jasa cukup memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang selama ini sudah dimiliki seluruh penduduk kepada penyedia platform marketplace. Selain itu, pihak pelaku e-commerce juga merasa kesulitan dalam melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.Keberatan lainnya dari pelaku e-commerce terkait ketentuan administrasi yang diatur dalam PMK 210 berpotensi mendorong pelaku usaha untuk pindah ke media sosial dalam mempromosikan barangnya. Hal ini dikarenakan masih minimnya kontrol pada media sosial. Oleh karenanya pelaku e-commerce juga menginginkan perlakuan yang sama terhadap pelaku usaha di media sosial.

Page 10: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

10 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

RekomendasiMelihat kondisi bisnis e-commerce yang terus berkembang di Indonesia dan pergerakannya yang dinamis, oleh karenanya perlu kehati-hatian dalam menentukan kebijakan bagi e-commerce. Langkah Pemerintah dalam mencabut PMK 210 tersebut menunjukkan kesiapan yang kurang matang dan terbilang “plin-plan” dalam menentukan kebijakan. Oleh karenanya penulis merekomendasikan agar pemerintah tegas dalam menerbitkan peraturan perundangan atau kebijakan terkait perlakuan perpajakan bagi pelaku e-commerce dengan memperhatikan karakteristik dari pelaku usaha digital. Adapun catatan yang perlu diperhatikan pemerintah dalam menerbitkan peraturan tersebut, yaitu: pertama, dalam menetapkan kebijakan, Pemerintah harus memperhatikan pelaku usaha yang akan dipungut pajak dengan memberikan kemudahan administrasi dan tidak memberikan cost ataupun tarif pajak baru yang memberatkan pelaku usaha baik itu konvensional ataupun e-commerce. Hal itu juga dikarenakan masih sulitnya dalam menggali informasi terkait transaksi yang dilakukan pelaku e-commerce. Dengan demikian implementasi penetapan tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce akan sulit (DDTC, 2019). Kedua, perlu adanya kerjasama antar pemerintah dengan para pelaku usaha digital dalam kategori over the top (Google, Youtube, Facebook, dsb) dan pelaku usaha marketplace lainnya agar bersedia melakukan transparansi data terkait transaksi e-commerce kepada pemerintah. Ketiga, perlu adanya sosialisasi dan koordinasi yang baik antara Kementerian/Lembaga dalam ketentuan terkait kebijakan e-commerce nantinya. Terakhir, pentingnya sinergitas dengan kebijakan lain yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi digital. Penulis mengakui industri e-commerce terbilang kompleks dan terjadi di lintas negara, akan tetapi jika aturan pelaksanaannya tidak segera diterbitkan, implementasi dari ketentuan yang mengatur e-commerce akan sulit terwujud. Oleh karenanya Pemerintah harus segera menetapkan aturan yang jelas terhadap pelaku e-commerce terkait transaksi yang berhubungan dengan e-commerce.

Daftar PustakaAnjani, Margaretha Rosa dan Budi Santoso. 2018. Urgensi Rekonstruksi Hukum e-Commerce di indonesia. Semarang. Jurnal Law Reform Volume 14 No. 1.CNN Indonesia. 2019. Menkeu Tak Wajibkan Pedagang e-Commerce Punya NPWP dan NIK. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190116162619-532-361326menkeu-tak-wajibkan-pedagang-e-commerce-punya-npwp-dan-nik. tanggal 12 Juni 2019DDTC. 2019. Soal Aksi Sepihak Pajak Ekonomi Digital. Diakses dari https://news.ddtc.co.id/soal-aksi-sepihak-pajak-ekonomi-digital-ini-kata-robert-pakpahan-16110 tanggal 19 Juni 2019

idEA. 2019. Pasar Idea 2019 Hadir Untuk Pertama Kalinya di Indonesia. Diakses dari https://www.idea.or.id/berita/detail/pasar-idea-2019-hadir-untuk-pertama-kalinya-di-indonesia tanggal 13 Juni 2019 Katadata. 2019. Kontribusi e-Commerce Ke PDB Diproyeksi Rp2.305 triliun pada 2030. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2019/02/12/kontribusi-e-commerce-ke-pdb-diproyeksi-rp-2305-triliun-pada-2030 tanggal 12 Juni 2019Katadata. 2019. Transaksi e-Commerce Asia Tenggara Diproyeksi Mencapai Rp1469 Triliun Pada 2025. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/30/trasaksi-e-commerce-asia-tenggara-diproyeksi-mencapai-rp-1469-triliun-pada-2025. tanggal 13 Juni 2019

Page 11: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

11Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Kementerian Keuangan. 2019. Ini Alasan Diterbitkan PMK 210 Tentang e-Commerce. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-alasan-diterbitkan-pmk-210-tentang-e-commerce/ tanggal 11 Juni 2019Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-Commerce).Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map

e-Commerce) Tahun 2017-2019.Warta Ekonomi. 2019. Ekonomi Digital Sebabkan Kebocoran Pajak. Diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read222346/pengamat-ekonomi-digital-sebabkan-kebocoran-pajak.html tanggal 12 Juni 2019WartaEkonomi. 2019. Pertumbuhan e-Commerce Pesat di Indonesia. Diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read216302/pertumbuhan-e-commerce-pesat-di-indonesia.html tanggal 13 Juni 2019

Page 12: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

12 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Perlindungan sosial adalah seluruh upaya yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi,

dan menangani risiko dan tantangan sepanjang hayat (siklus hidup) dari guncangan dan kerentanan sosial (Cain, 2009; TNP2K, 2018). Perlindungan sosial di Indonesia terbagi menjadi dua macam. Pertama, perlindungan sosial yang bersifat kontribusi. Artinya peserta penerima manfaat turut berpartisipasi mengeluarkan iuran, contohnya jaminan kesehatan. Kedua, perlindungan sosial bersifat non-kontribusi atau selanjutnya disebut bantuan sosial. Itu berarti penerima manfaat tidak perlu mengeluarkan biaya kontribusi, contohnya adalah bansos rastra, program keluarga harapan, dan bantuan pangan non tunai.Saat ini Indonesia mulai menuju perlindungan sosial terintegrasi dan menyeluruh dalam upaya pengentasan kemiskinan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melakukan analisis arah perlindungan sosial ke depan untuk mengusulkan proposal dan strategi sistem perlindungan sosial untuk tahun 2020-2024. Salah satu yang diusulkan ialah perlindungan sosial untuk penyandang

disabilitas. Penyandang disabilitas pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rendah, berpendidikan rendah, tidak memiliki penghasilan, terisolasi, dan dianggap sebagai beban keluarga (Adioetomo, Mont, & Irwanto, 2014). Senada dengan TNP2K (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Penyandang disabilitas termasuk ke dalam kelompok yang paling rentan.Perlindungan sosial untuk penyandang disabilitas bisa dalam bentuk kontribusi maupun non-kontribusi. Namun banyak juga penyandang disabilitas yang secara ekonomi belum bisa berpartisipasi dalam perlindungan sosial kontribusi, maka negara harus hadir memberikan perlindungan sosial non-kontribusi atau selanjutnya disebut bantuan sosial. Itu artinya, pemerintah memperbesar porsi anggaran untuk penyandang disabilitas yang bersumber dari APBN. Upaya tersebut dalam rangka menjalankan mandat konstitusi bahwa negara harus hadir dalam menyediakan perlindungan sosial yang melindungi seluruh warganya khususnya penyandang disabilitas.Pada akhirnya tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran bantuan sosial penyandang disabilitas ke depan serta

AbstrakSaat ini Indonesia mulai menuju pada perlindungan sosial terintegrasi

dan menyeluruh. Guna menjalankan mandat konstitusi dalam memberikan perlindungan bagi seluruh warga negara tersebut, Pemerintah melalui TNP2K mengusulkan bantuan sosial ke depan yang difokuskan salah satunya untuk penyandang disabilitas, karena bantuan sosial penyandang disabilitas saat ini memang masih belum masif. Untuk menyempurnakan kebutuhan program bantuan sosial khususnya disabilitas tersebut, ke depan pemerintah perlu memperhatikan formulasi besaran dana dengan tetap memperhatikan ketepatan sasaran program, dan integrasi program bantuan sosial penyandang disabilitas dengan lapangan pekerjaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara Swiss.

Bantuan Sosial ke Depan Ramah Terhadap Penyandang Disabilitas

oleh Martha Carolina*)

Tio Riyono**)

sekunder

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Page 13: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

13Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

bagaimana untuk menyempurnakan program tersebut agar bisa mencapai tujuan pembangunan.Bantuan Sosial Penyandang Disabilitas Indonesia Saat iniIndonesia memiliki Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). UU tersebut menyampaikan bahwa bantuan terhadap penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai bentuk belas kasih namun lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Sehingga penyandang disabilitas harus diperlakukan sebagai subjek dalam pembangunan nasional setara dengan mereka yang non-disabilitas (Setiawan, et al., 2017). TNP2K menggunakan data SUPAS 2015 menghitung jumlah penyandang disabilitas pada tahun 2015 mencapai 246.636.175 (9 persen dari populasi) dan jumlah penyandang disabilitas berat sebanyak 4.612.138 (2 persen dari populasi) (Larasati, Huda, et al., 2017). Sampai saat ini, Program Keluarga Harapan (PKH) sudah menjangkau 50.000 penyandang disabilitas berat (TNP2K, 2018). Pada tahun 2018 lalu, ada sekitar 118.382 penyandang disabilitas yang memperoleh bantuan sosial dari program PKH dan 2,6 persen-nya merupakan penyandang disabilitas berat (Larasati et al., 2017).Saat ini, penyandang disabilitas mayoritas berada pada kategori usia mendekati lansia, yaitu berada pada rentang 50-59 tahun (Gambar 1). Itu artinya dalam beberapa tahun ke depan, penyandang disabilitas mulai banyak memasuki usia lansia. Hal ini perlu diperhatikan karena ketika sudah menginjak usia lansia maka akan bertambah masalah baru, yaitu produktivitas yang semakin menurun. Karena itu, perlu adanya percepatan program perlindungan sosial termasuk bantuan sosial kepada penyandang disabilitas.Sampai saat ini, Indonesia sudah melakukan berbagai upaya dengan

meluncurkan program bantuan sosial penyandang disabilitas sejak tahun 2006, yaitu program Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB). Bantuan diberikan untuk penyandang disabilitas berat. Besaran bantuannya ialah senilai Rp3.600.000/tahun (Integrasi Layanan Rehabilitasi Sosial, 2019). Namun program tersebut diberhentikan pada tahun 2017 dan digabungkan dengan Program Keluarga Harapan (PKH).PKH hingga saat ini sudah memasukkan komponen penyandang disabilitas ke dalam salah satu komponen penerima manfaat dengan tetap mengutamakan penyandang disabilitas berat. Keluarga yang memiliki penyandang disabilitas berat maka akan diberikan tambahan bantuan sebesar Rp2.000.000/tahun.Bantuan sosial penyandang disabilitas saat ini memang masih belum masif, namun beberapa permasalahan bantuan sosial secara umum di Indonesia diharapkan tidak dialami pada program bantuan sosial penyandang disabilitas ke depan. Bantuan sosial untuk penyandang disabilitas ini tidak hanya dapat menurunkan kemiskinan, namun juga harus bisa memperbaiki ketimpangan. Direktur lembaga penelitian SMERU Dr. Asep Suryahadi, menyatakan bahwa bantuan sosial selama ini sudah cukup efektif dalam menurunkan kemiskinan, namun hanya saja belum jika untuk menurunkan ketimpangan (Hendriyana, 2018). Selain itu masih terdapat pekerjaan rumah lainnya, misalnya dari

Gambar 1. Jumlah Individu dengan Disabilitas Kategori Sedang/Berat di

Indonesia, Berdasarkan Kelompok Usia

Sumber: TNP2K, 2018

Page 14: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

14 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

sisi ketepatan waktu penyaluran dan besaran bantuan tidak memadai (Acosta, 2017; Amir et al., 2019). Untuk besaran dana yang kurang, pemerintah harus benar-benar mengkalkulasi bantuan yang sesuai supaya anggaran bantuan sosial tidak hanya membebani fiskal atau bahkan hal tersebut bisa berkontribusi pada kenaikan tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial (Boston, 2019).Bantuan Sosial Penyandang Disabilitas Ke DepanTNP2K menganalisis serta mengusulkan rekomendasi kebijakan bantuan sosial ke depan yang komprehensif mencakup Anak (0-18 tahun), usia kerja termasuk disabilitas (19-59 tahun), serta lansia (lebih dari 60 tahun). Disabilitas dan lansia merupakan hal baru dalam roadmap bantuan sosial nanti. Meskipun program untuk disabilitas dan lansia sebelumnya sudah ada, seperti ASPDB dan ASLUT atau bahkan menjadi komponen dalam program PKH namun bantuan sosial nantinya akan lebih difokuskan.Ke depan, bantuan sosial untuk penyandang disabilitas diutamakan untuk penyandang disabilitas anak dan penyandang disabilitas berat. Dua kelompok tersebut dinilai paling rentan (TNP2K, 2018) meskipun masih terdapat beberapa bantuan untuk disabilitas sedang. Nilai awal Bantuan/Tunjangan Disabilitas diusulkan sama jumlahnya dengan dana bantuan lansia, yaitu Rp300.000 per individu per bulan. Angka ini setara dengan nilai manfaat program sejenis di negara-negara lain. Sekali lagi bahwa bantuan sosial tersebut untuk memberikan mereka hak untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan produktivitas sama seperti non-penyandang disabilitas. Bantuan ini juga diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga dengan anggota penyandang disabilitas hingga 44 persen.Indonesia bisa mencontoh negara lain yang sudah berhasil menerapkannya. Salah satunya ialah Swiss sebagai

negara “Welfare State”. Meskipun Swiss dan Indonesia jauh berbeda dalam hal tingkat kesejahteraan maupun karakteristik demografi, setidaknya Swiss dapat memberikan gambaran bagaimana memulai sistem perlindungan sosial untuk penyandang disabilitas.Bantuan Sosial Penyandang Disabilitas di SwissSalah satu negara yang berhasil menerapkan program bantuan sosial seperti usulan TNP2K ialah Swiss. Berdasarkan Global Prosperity Index, Swiss menempati urutan ke-4 sebagai negara paling sejahtera dengan skor 79,07. Dari mulai program bantuan sosial untuk anak-anak, disabilitas, hingga lansia.Swiss membangun itu semua dimulai pada tahun 1948. Bonoli (2019) mengungkapkan perjalanan panjang serta bertahap yang dilakukan Swiss sampai menjadi negara seperti saat ini yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Swiss memulainya dengan meluncurkan program pensiun hari tua pada 1948. Selanjutnya meluncurkan program asuransi untuk penyandang disabilitas pada 1960. Program ini dimulai dengan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus menyediakan kantor khusus untuk melayani administrasi asuransi sekaligus pelayanan kesehatan khusus penyandang disabilitas di tiap pemerintahan daerah. Selain itu, penyandang disabilitas didorong untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Swiss memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan upah minimum sebagai standar hidup yang berkualitas. Namun pada akhirnya, negara harus mendorong mereka masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Kantor cabang harus saling berkoordinasi untuk memperkecil asimetris informasi penyediaan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas. Sehingga pada akhirnya, mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas.

Page 15: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

15Buletin APBN Vol. IV. Ed. 11, Juni 2019

Daftar PustakaAcosta, P. (2017). Sistem Bantuan Sosial Indonesia: Reformasi Berjalan Baik, Namun Masih Banyak Pekerjaan Lain. Diakses dari https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/sistem-bantuan-sosial-indonesia-reformasi-berjalan-baik-namun-masih-banyak-pekerjaan-lain, tanggal 14 Juni 2019 Adioetomo, S. M., Mont, D., & Irwanto. (2014). Persons With Disabilities in Indonesia. (September), 216.Amir, H., Utomo, W., Marlina, I., Nugroho, A., Wibowo, G., Waristi, F. V., Soedirman, U. J. (2019). Ringkasan Kajian Spending Review Program Pengentasan Kemiskinan: Evaluasi Efektivitas Program Bansos. Badan Kebijakan Fiskal.Bonoli, G. (2019). Social Security Policy. In Swiss Public Administration (pp. 309–322). Springer.Boston, J. (2019). Redesigning the welfare state. Policy Quarterly, 15(1).Cain, E. (2009). Social protection and vulnerability, risk and exclusion across the life-cycle.Hendriyana, A. (2018). Program

RekomendasiMenilai perkembangan bantuan sosial penyandang disabilitas hingga saat ini serta melihat program bantuan sosial dari negara Swiss maka penulis coba menyampaikan rekomendasi yang dapat menyempurnakan kebutuhan program bantuan sosial ke depan. Pertama, pemerintah harus mereformulasi besaran dana bantuan sosial penyandang disabilitas dengan tetap memperhatikan ketepatan sasaran program. Kedua, integrasi program bantuan sosial penyandang disabilitas dengan lapangan pekerjaan seperti yang dilakukan di Swiss. Hal tersebut bisa meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dan dapat mempercepat penurunan tingkat kemiskinan.

Bantuan Sosial Harus Efektif Kurangi Ketimpangan. Diakses dari http://www.unpad.ac.id/2018/03/program-bantuan-sosial-harus-efektif-kurangi-ketimpangan, tanggal 13 Juni 2019Integrasi Layanan Rehabilitasi Sosial. (2019). Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas: Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB). Diakses dari https://intelresos.kemsos.go.id/ew/?module=Program+Dis&view=aspdb, tanggal 19 Juni 2019Larasati, D., Huda, K., Cote, A., Rahayu, S. K., & Siyaranamual, M. (2017). Ringkasan Kebijakan: Perlindungan Sosial Inklusif bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia.Setiawan, H. H., Pudjianto, B., Astuti, M., Murni, R., Husmiati, & Syawi, M. (2017). Disabilitas Berat: Pengaruh Peran Keluarga Terhadap Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Berat. Jakarta: Puslitbangkesos Kementerian Sosial Ri.TNP2K. (2018). Sistem Perlindungan Sosial Indonesia Ke Depan: Perlindungan Sosial Sepanjang Hayat Bagi Semua. Diakses dari http://www.tnp2k.go.id/download/42778181129 SP Full Report ENG-web.pdf

Page 16: p. 3berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/... · Melalui “Kemandirian Anggaran” p.3 Kritik/Saran puskajianggaran@dpr.go.id Dewan Redaksi Redaktur Dahiri Ratna Christianingrum

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

e-mail [email protected]