revitalisasi pasar rakyat: upaya menggerakkan perekonomian...

16
1 Mampukah Rp401.220 Memotret Kemiskinan di Indonesia? p. 03 Revitalisasi Pasar Rakyat: Upaya Menggerakkan Perekonomian Rakyat p. 9 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685 Vol. III, Edisi 16, Agustus 2018

Upload: dangkhuong

Post on 19-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

Mampukah Rp401.220 Memotret Kemiskinan di Indonesia? p. 03

Revitalisasi Pasar Rakyat:

Upaya Menggerakkan Perekonomian

Rakyat p. 9

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RIwww.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685

Vol. III, Edisi 16, Agustus 2018

2

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.Pemimpin RedaksiRobby Alexander SiraitRedakturJesly Yuriaty PanjaitanRatna ChristianingrumMartha CarolinaAdhi Prasetyo S. W.Rendy AlvaroEditorDahiriMarihot Nasution

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Mampukah Rp401.220 Memotret Kemiskinan di Indonesia?

p.3

JUMLAH kemiskinan di Indonesia turun ke level 9,82 persen pada Maret 2018 ini, dari yang sebelumnya 10,12 persen pada September 2017 lalu. Namun, yang menarik adalah bahwa parameter yang dipergunakan BPS dalam mendefinisikan kemiskinan yakni Rp 401.220/kapita/bulan dinilai masih terlalu rendah dan belum mencerminkan realita yang ada. Apabila kita membandingkan parameter tersebut dengan parameter yang dipergunakan World Bank, serta Kebutuhan Hidup Layak (KHL), memang terlihat bahwa parameter yang digunakan BPS tersebut masih lebih rendah dari keduanya.

Revitalisasi Pasar Rakyat: Upaya Menggerakkan Perekonomian Rakyat

p.9

PASAR rakyat sebagai basis ekonomi rakyat memiliki potensi yang besar dan mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat. Namun, sampai saat ini pasar rakyat memiliki citra yang kumuh, becek, dan bau. Sementara itu, seiring dengan adanya persaingan global pada saat ini berdampak pada semakin maraknya pasar modern di Indonesia seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket yang memiliki kesan yang lebih nyaman dibandingkan dengan pasar rakyat.

Update APBN

[email protected]

p.2

Penerimaan Negara pada RAPBN 2019

Dewan Redaksi

Kritik/Saran

1

Update APBNPenerimaan Negara pada RAPBN 2019

Sumber: Kemenkeu, 2018

Perkembangan Penerimaan Negara (miliar)

Pendapatan Negara dan Hibah pada Rancangan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran (RAPBN) 2019 diproyeksikan sebesar Rp2.142,5 triliun yang meliputi penerimaan perpajakan sebesar Rp1.781,0

triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp361,1 triliun, dan Hibah sebesar Rp0,4 triliun. Pendapatan Negara dan Hibah di tahun 2019 menunjukkan kenaikan 12,6 persen dari perkiraannya di tahun 2018, bahkan naik 38,2 persen dari Pendapatan dan Hibah di tahun 2014, sebesar Rp1.550,5 triliun. Pendapatan negara juga mengalami perkembangan yang positif selama periode tahun 2014 - 2018, dimana rata-rata pertumbuhannya mencapai 5,3 persen per tahun. Secara nominal realisasi pendapatan negara meningkat dari Rp1.550,5 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp1.903,0 triliun pada tahun 2018. Pendapatan negara tersebut terdiri dari pendapatan dalam negeri dengan kontribusi rata-rata sebesar 99,5 persen dan penerimaan hibah dengan kontribusi rata-rata sebesar 0,5 persen pada periode 2014-2018. Dalam APBN tahun 2018, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.894,7 triliun atau meningkat 13,7 persen dari tahun 2017. Selama periode 2014-2017, pendapatan negara mencatat pertumbuhan rata-rata sebesar 2,4 persen. Seiring dengan perbaikan aktivitas ekonomi domestik maupun global, target pendapatan negara pada tahun 2018 diperkirakan meningkat 0,4 persen dari target dalam APBN 2018 menjadi sebesar Rp1.903,0 triliun. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh membaiknya indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi dari sebesar 5,05 persen (2017) menjadi diproyeksikan sebesar 5,2 persen (2018), dan peningkatan aktivitas ekonomi serta perdagangan. Di samping itu, peningkatan penerimaan perpajakan juga merupakan dampak dari berbagai kebijakan perpajakan yang telah dilakukan antara lain keberhasilan pelaksanaan kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) tahun 2016-2017, implementasi keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, maupun extra effort yang telah dilakukan berupa peningkatan pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan.

2

Mampukah Rp401.220 Memotret Kemiskinan di Indonesia?

oleh Ratna Christianingrum*)

Riza Aditya Syafri**)

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Pada Maret 2018 lalu, BPS merilis angka kemiskinan Indonesia yang turun ke single digit, yakni

9,82 persen terhadap total penduduk Indonesia atau sebesar 25,95 juta jiwa. Terdapat penurunan 0,2 persen jika dibandingkan pada periode September 2017 lalu, dimana angka kemiskinan sebesar 10,12 persen atau 26,58 juta jiwa. Jumlah penurunan penduduk miskin sebesar 633,2 ribu jiwa dalam dua periode tersebut.

Berbagai pihak menanggapi mengenai data yang diungkapkan BPS tersebut, mulai yang optimis, hingga yang memandang skeptis atas data yang diungkapkan BPS. Dari pihak yang optimis, Pemerintah melalui Kementerian Sosial bahkan menargetkan angka kemiskinan akan turun menjadi 9 persen pada 2019, melalui berbagai Program Pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan lainnya. Sementara beberapa pengamat ekonomi beranggapan bahwa penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia “semu”, serta rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Anggapan tersebut lantaran adanya kenaikan signifikan dalam penyaluran Bansos pada TW I 2018 yakni tumbuh 87,6 persen, sedangkan pada TW I 2017 hanya tumbuh sebesar 3,39 persen. Sementara itu, Program Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada TW I 2018 tersalurkan sesuai jadwal, dimana untuk Rastra sendiri penyalurannya mencapai 99 persen lebih. Namun, yang menarik dari penurunan kemiskinan tersebut, di luar faktor-

AbstrakJumlah kemiskinan di Indonesia turun ke level 9,82 persen pada Maret 2018 ini,

dari yang sebelumnya 10,12 persen pada September 2017 lalu. Namun parameter yang digunakan BPS dalam mendefinisikan kemiskinan yakni Rp 401.220/kapita/bulan dinilai masih terlalu rendah dan belum mencerminkan realita yang ada. Apabila kita membandingkan parameter tersebut dengan parameter yang dipergunakan World Bank dan KHL memang terlihat bahwa parameter yang digunakan BPS tersebut masih lebih rendah dari keduanya. Padahal, parameter dalam pengukuran kemiskinan tersebut cukup penting peranannya dalam menentukan keberhasilan program-program pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Untuk itu, perlu sekiranya bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan mengkaji kembali garis kemiskinan yang mereka gunakan.

Gambar 1. Data Penduduk Miskin Menurut Populasi dan Presentasenya

Sumber: BPS, diolah

3

faktor yang menyebabkan turunnya angka kemiskinan, adalah parameter yang dipergunakan dalam perhitungan Angka Garis Kemiskinan (AGK) yang dikeluarkan BPS. Dalam rilisnya tersebut, BPS menggunakan AGK rata-rata nasional sebesar Rp401.220/kapita/bulan atau Rp13.374/kapita/hari. Dengan demikian, orang-orang dengan pengeluaran di bawah angka tersebut dikategorikan sebagai orang miskin. Pertanyaannya, apakah penggunaan AGK tersebut sudah tepat digunakan sebagai parameter yang mampu memotret kemiskinan yang sesungguhnya?Realistiskah Angka Rp401.220 Sebagai Garis Kemiskinan?Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam & lingkungan hidup, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (Bappenas, 2004). Jika berangkat dari definisi tersebut, seharusnya AGK merupakan nilai kumulatif minimal atas pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Saat ini BPS menggunakan AGK nasional rata-rata sebesar Rp401.220 per kapita/bulan. Dari sisi besaran, penetapan AGK sebenarnya belum mampu memotret kemiskinan yang sesungguhnya. Angka tersebut masih terlalu kecil sebagai ukuran kemiskinan satu orang penduduk Indonesia. Ada beberapa hal yang mendasari parameter AGK yang digunakan masih belum mampu merepresentasikan keadaan sesungguhnya dari orang miskin.

Pertama, AGK BPS lebih rendah dibandingkan AGK Bank Dunia. World Bank (2017), mengkategorikan kemiskinan berdasarkan pengeluaran per kapita seseorang. Orang dengan pengeluaran perkapita <$1.9/hari dikategorikan sebagai Extreme Poor, <$3.1/hari dikategorikan sebagai Moderate Poor, <$5.50/hari sebagai Vulnerable, < $15/hari sebagai Economically Secure, >$15/hari sebagai Middle Class. Perhitungan pengeluaran tersebut dikonversi dengan menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) dari sisi konsumsi yakni sebesar Rp5.073 untuk tahun 2017. Jika kita membandingkan antara AGK yang dipergunakan BPS dengan AGK yang dipergunakan World Bank pada Tabel 1, akan terlihat bila AGK di Indonesia lebih rendah. AGK kita hanya lebih tinggi dibandingkan dengan extreme poor. Sedangkan dengan batas minimal Moderate Poor dan Vulnarable lebih rendah.Di samping itu, dalam laporan yang sama World Bank juga menggambarkan struktur populasi Indonesia jika dilihat dari sisi pengeluaran. Dengan menggunakan AGK World Bank, terlihat bahwa pada tahun 2015 saja masih ada sekitar 30 – 35 persen dari populasi Indonesia masuk dalam kategori miskin. Padahal, pada saat yang sama, survei yang dilakukan BPS menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 11,13 persen pada September 2015. Meski begitu, tren penurunan kemiskinan memang cukup signifikan terlihat selama periode 2002 – 2015.Jika kita merujuk pada gambar 2, masih terdapat sekitar 30 persen penduduk yang masih rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan. Penduduk rentan miskin adalah orang-orang yang dapat sewaktu-

Tabel 1. AGK Versi World Bank

Sumber: World Bank, OECD, diolah

4

waktu menjadi miskin karena berbagai faktor. Oleh sebab itu, sudah selayaknya orang-orang dalam kategori ini pun diperhitungkan sebagai orang miskin, dan layak mendapatkan manfaat dari program-program pemerintah. Mengacu pada data World Bank tersebut, masih sekitar 60 persen atau 153 juta penduduk miskin dan rentan miskin, sedangkan baru sekitar 40 persen atau 102 juta penduduk yang telah bebas dari kemiskinan.Kedua, AGK jauh lebih rendah dibandingkan dengan KHL. Perpres No. 78 Tahun 2015 mendefinisikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL sendiri memiliki 7 komponen seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Kemudian, apa kaitan KHL dengan kemiskinan? KHL dipergunakan dalam penentuan besaran upah minimum buruh pada suatu wilayah, yang mana jika upahnya di bawah KHL dapat diasumsikan hidupnya menjadi tidak layak. Dengan kata lain, KHL juga dapat dijadikan parameter apakah seorang buruh miskin atau tidak.Jika kita membandingkan parameter antara Garis Kemiskinan BPS dengan KHL, memang terdapat beberapa

perbedaan. Dari sisi pangan misalnya, BPS menggunakan konsumsi minimal 2.100 kalori/hari untuk tidak dikategorikan miskin, sedangkan KHL menggunakan 3.000 kalori/hari untuk dikategorikan hidup layak. Untuk tidak dikatakan miskin seseorang memerlukan pengeluaran untuk makanan minimal sebesar Rp296.302/bulan versi BPS, dan Rp523.654/bulan versi KHL di tabel 2. Dengan menggunakan angka perhitungan berdasarkan KHL, AGK sebesar Rp401.220 belum mampu mencukupi kebutuhan pangan seseorang untuk dapat dikatakan hidup layak. Ketiga, dengan menggunakan perhitungan pada Tabel 2, mari coba kita hitung berapa jumlah pengeluaran suatu keluarga untuk dikatakan hidup layak? Dengan asumsi dalam suatu keluarga setidaknya terdapat 3 orang, maka untuk dapat hidup layak dari sisi pangan mereka setidaknya harus mengeluarkan Rp1.570.962/bulan. Padahal, jika kita bagi lagi angka Rp1.570.962/bulan tersebut, seorang anggota keluarga hanya boleh menghabiskan Rp17.455/hari atau Rp5.818/sekali makan (asumsi 3 kali sehari). Sekarang, jika kita bandingkan dengan rata-rata UMP di Indonesia dari 34 Provinsi, yakni sebesar Rp2.198.068, untuk pengeluaran makan saja sudah lebih dari 71 persen alokasi pendapatan seorang kepala keluarga dihabiskan untuk makanan. Bagaimana dengan kebutuhan sandang dan papannya? Serta 4 komponen lain dalam perhitungan KHL? Dari perhitungan sederhana itu saja, dapat memperlihatkan bahwa seorang kepala keluarga dengan penghasilan UMP dan tanggungan 2 orang agaknya masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Bagaimana dengan AGK yang hanya Rp401.220/kapita/bulan?Keempat, AGK lebih rendah dibandingkan rata-rata upah buruh tani per bulan. Per Maret 2018, rata-rata upah nominal buruh tani sebesar Rp51.598/hari atau sebesar Rp1.135.156/bulan (asumsi hari kerja 22 hari). Jika kita membandingkan upah buruh tani per bulan tersebut dengan AGK yang sebesar Rp401.220 per kapita/bulan, maka seolah-olah dapat disimpulkan buruh tani di Indonesia telah bebas dari kemiskinan. Padahal tidak demikian.

Gambar 2. Persentase Kemiskinan Terhadap Total Populasi di Indonesia

Versi World Bank

Sumber: World Bank, diolah

5

Menurut Penelitian Sugiarto et.al. (2015) menyebutkan bahwa sebagian besar diantara penduduk miskin di pedesaan adalah petani. Kelima, AGK lebih rendah dibandingkan rata-rata upah buruh pekerja kasar. Per Agustus 2017, rata-rata upah buruh pekerja kasar sebesar Rp2.322.669/bulannya, angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan AGK. Dengan menggunakan acuan tersebut, seharusnya buruh pekerja kasar sudah terbebas dari kemiskinan. Namun, faktanya apakah demikian? Sulit untuk mengamini bahwa buruh pekerja kasar Indonesia sudah terbebas dari kemiskinan.Dampak Penggunaan Parameter Angka Kemiskinan Yang Kurang SesuaiSaat ini, baik Pemerintah Indonesia maupun Internasional, tengah berupaya untuk mengentaskan kemiskinan. Pemerintah dengan berbagai program yang saat ini tengah berjalan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Beras Sejahtera (Rastra), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan lainnya berupaya untuk mengentaskan kemiskinan dengan memberdayakan dan menjaga daya beli masyarakat miskin. Di Indonesia, parameter yang dipergunakan dalam pemberian program-

program pengentasan kemiskinan adalah Basis Data Terpadu (BDT). Meskipun menggunakan acuan yang berbeda dengan AGK, BDT sendiri bersumber dari data yang sama dengan AGK, yakni Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS, yang artinya basis data yang dipergunakan antara AGK dan BDT sebenarnya sama. Hanya saja, dalam BDT jumlah yang diperhitungkan memang lebih tinggi, dimana BDT memperhitungkan 40 persen masyarakat dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia atau setara dengan 92 juta jiwa menurut perhitungan terakhir BDT pada 2015. Tingginya angka yang diperhitungkan dalam BDT, lantaran dalam perhitungannya memasukkan jumlah orang miskin dan rentan miskin dalam perhitungannya sehingga mencapai 92 juta jiwa pada tahun 2015. Jika kita bandingkan, angka tersebut memang sudah di atas perhitungan jumlah orang miskin di Indonesia berdasarkan AGK yang hanya 25,95 juta jiwa sehingga seolah-olah efektivitas program-program pengentasan kemiskinan tersebut tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi, jika kita bandingkan dengan data World Bank, pada saat yang sama di tahun 2015, terdapat sekitar 60 persen orang miskin dan rentan miskin, atau sekitar 153 juta jiwa. Jika diperbandingkan dengan data World Bank yang menggunakan parameter yang sama yakni miskin dan rentan miskin, maka

Tabel 2. Perbandingan Pengeluaran Pangan Berdasarkan Perhitungan BPS dan KHL

Sumber: BPS; Kementan; Hargapangan.id; Permenaker No. 13 Tahun 2012, diolah

6

jumlah yang diperhitungkan dalam BDT menjadi terlalu kecil. Sehingga, parameter yang digunakan baik AGK maupun BDT sekiranya perlu untuk dikaji dan evaluasi kembali, agar program pengentasan kemiskinan benar-benar menyasar orang miskin secara keseluruhan.Selain itu, perbedaan parameter yang dipergunakan antara AGK dengan BDT akan mengakibatkan kesulitan dalam melakukan evaluasi berbagai program pengentasan kemiskinan. Berbagai program-program pemerintah yang ditujukkan untuk pengentasan kemiskinan yang ditandai dengan penurunan kemiskinan menggunakan BDT (40 persen penduduk dengan kesejahteraan terendah) sebagai basis datanya. Di sisi lain, penurunan kemiskinan sebagai indikator keberhasilan berbagai program tersebut diukur dengan menggunakan AGK. Perbedaan kedua parameter ini akan menyulitkan Pemerintah, DPR RI maupun masyarakat untuk menilai dan mengevaluasi sejauh mana efektivitas program-program pengentasan kemiskinan tersebut. Terlepas dari perbedaan antara kedua parameter antara AGK dengan BDT, parameter yang dipergunakan dalam perhitungan jumlah alokasi atas program-program pemerintah tersebut tetap harus dikaji kembali. Karena, dengan parameter tersebut, hanya akan ada beberapa kelompok miskin yang tersentuh dalam program-program penanggulangan kemiskinan, sementara kelompok lainnya yang semestinya masih tergolong miskin, tidak dapat tersentuh dalam program-program pemerintah tersebut, dan pada akhirnya program-program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah menjadi tidak maksimal dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh dalam implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2017, dengan jumlah orang miskin yang dihitung dengan menggunakan parameter tersebut, dan syarat-syarat penerima PKH, baru 6 juta

keluarga yang memperoleh manfaat.Bagaimana jika sesuai dugaan pada subbab sebelumnya, bahwa parameter dalam penetapan kemiskinan terlalu rendah, sehingga belum mencerminkan realita kemiskinan yang ada? Implementasi PKH yang semestinya memperhitungkan seluruh populasi orang miskin, namun jika dihitung dengan parameter yang belum mencerminkan populasi keseluruhan orang miskin, maka jumlah orang miskin yang akan mendapatkan program ini pun tidak akan mencerminkan populasi orang miskin sesungguhnya, yang pada akhirnya berimbas pada tidak maksimalnya program tersebut dalam mengentaskan kemiskinan.Di samping itu, dalam perhitungan besaran manfaat yang diberikan pun biasanya menggunakan AGK sebagai acuannya. Menurut Bank Dunia, pemberian PKH akan memberikan dampak terhadap pengurangan kemiskinan jika besarannya antara 16-25 persen dari pengeluaran. Dengan baseline AGK yang terlalu rendah, maka manfaat PKH terhadap perannya dalam mengentaskan kemiskinan akan menjadi kurang optimal.Sehingga dapat disimpulkan, untuk dapat mengentaskan kemiskinan secara keseluruhan, pemerintah perlu menggunakan parameter yang tepat, yang mampu merepresentasikan kemiskinan. Agar program-program yang dilakukan dalam pengentasan kemiskinan dapat berjalan efektif.

Gambar 5. Perkembangan Jumlah KPM PKH Tahun 2014-2017 dan Rencana 2018

Sumber: Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kemenkeu

7

Daftar PustakaBPS. 2017. Rata-rata harga eceran beberapa jenis barang 2011-2016. Diakses tanggal 20 Agustus 2018 dari https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/10/06/953/rata-rata-harga-eceran-nasional-beberapa-jenis-barang-2011-2016.html.BPS. 2018. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018. Berita Resmi Statistik No. 57/07/Th. XXI, 16 Juli 2018.Hargapangan.id. Diakses pada 20 Agustus 2018 dari.

RekomendasiDari beberapa uraian dan penjelasan di atas, mendorong kepada satu rekomendasi agar Pemerintah dapat mengevaluasi dan mengkaji kembali penggunaan AGK yang digunakan saat ini, karena: pertama, AGK di Indonesia masih rendah, dan dianggap belum dapat merepresentasikan jumlah orang miskin sesungguhnya yang ada di Indonesia;Kedua, AGK yang ideal hendaknya dapat meng-capture seluruh golongan masyarakat miskin. Di luar dari indikator kemiskinan yang dipergunakan BPS, agaknya masih banyak kelompok yang seharusnya masuk dalam kategori miskin, namun tidak diperhitungkan dalam kategori miskin menurut BPS. Hal ini penting, agar seluruh elemen masyarakat yang seharusnya masuk kategori miskin, dapat memperoleh manfaat yang sama atas program-program pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Ketiga, peranan AGK cukup penting, mengingat bahwa angka tersebut selain dipergunakan untuk menghitung jumlah orang miskin, juga dipergunakan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Untuk itu, demi menjamin bahwa program-program yang direncanakan dan dilaksanakan pemerintah dapat mengentaskan kemiskinan secara efektif, maka AGK yang dipergunakan juga harus tepat.

Hikmat, R. Harry. 2017. Pengelolaan Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan Yang Lebih Berkualitas. Kementerian Keuangan, Indonesia.Kementerian KetenagaKerjaan. 2012. Permenaker No. 13 Tahun 2012, Indonesia.Kementerian Pertanian. 2017. Rata-rata harga barang pedesaan. Diakses tanggal 20 Agustus 2018.World Bank. 2017. Balancing Act. World Bank East Asia and Pacific Economic Update Oktober 2017.

8

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan

Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, pengertian pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, terminologi dari “pasar tradisional” beralih menjadi “pasar rakyat”. Salah satu wujud dari ekonomi kerakyatan yang paling mendasar adalah pasar rakyat, dimana transaksi ekonomi dilakukan oleh rakyat secara swadaya dengan mengelola

sumber daya ekonomi yang tersedia seperti sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dan lain sebagainya. Pasar rakyat sebagai basis ekonomi rakyat memiliki potensi yang besar dan mampu menggerakkan roda perekonomian. Selain itu, pasar rakyat mempunyai peran strategis dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data BPS per Februari 2018 menunjukkan bahwa sektor perdagangan mampu menyerap sebesar 18,35 persen dari total tenaga kerja Indonesia atau menempati urutan kedua setelah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menampung sekitar 30,46 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Melalui berbagai fungsi dan peran strategis yang dimiliki, pasar rakyat menjadi salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dengan peran strategis yang dimiliki, sayangnya masih banyak permasalahan yang ditemui oleh pasar rakyat.

Revitalisasi Pasar Rakyat: Upaya Menggerakkan Perekonomian Rakyat

oleh Rendy Alvaro*)

Ervita Luluk Zahara**)

AbstrakKeberadaan pasar rakyat merupakan salah satu wujud dari ekonomi kerakyatan

yang paling mendasar dimana transaksi ekonomi dilakukan oleh rakyat secara swadaya dengan mengelola sumber daya ekonomi yang tersedia seperti sektor pertanian, peternakan, makanan, kerajinan dan lain sebagainya. Pasar rakyat sebagai basis ekonomi rakyat memiliki potensi yang besar dan mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat. Namun, sampai saat ini pasar rakyat memiliki citra yang kumuh, becek, dan bau. Sementara itu, seiring dengan adanya persaingan global pada saat ini berdampak pada semakin maraknya pasar modern di Indonesia seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket yang memiliki kesan yang lebih nyaman dibandingkan dengan pasar rakyat. Selain adanya permasalahan bangunan fisik dan menjamurnya pasar modern saat ini, terdapat permasalahan internal atau masalah manajemen di pasar rakyat yang perlu dibenahi. Sehingga dibutuhkan revitalisasi pasar yang tepat agar pasar rakyat menjadi lebih tertata, bersih dan sehat, serta dapat meningkatkan pelayanan dan akses yang lebih baik kepada masyarakat sekaligus menjadikan pasar rakyat sebagai penggerak perekonomian daerah.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

9

gerai ritel modern melonjak dari 11.927 unit pada tahun 2007 menjadi 36.000 unit pada tahun 2015, dengan minimarket sebagai segmen yang berkembang paling pesat di sektor tersebut. Pada periode yang sama, jumlah pasar rakyat menurun dari 13.550 pada tahun 2007 menjadi 12.000 pada tahun 2015. Pesatnya pembangunan pasar modern tersebut dapat menggusur keberadaan pasar rakyat sebagai salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah sebenarnya sudah membuat peraturan terkait penataan pasar. Misalnya mengenai lokasi pembangunan pasar modern, dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 sudah ditentukan bahwa lokasi pendirian wajib mengacu pada tata ruang kota, termasuk zonasinya dan mempertimbangkan jarak keberadaan pasar rakyat yang telah ada. Namun kenyataannya, banyak dijumpai lokasi pendirian pasar modern yang justru berdekatan dengan pasar rakyat.

Meskipun demikian, penurunan jumlah pasar rakyat tersebut tidak hanya disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan pasar modern. Suryadarma, et al (2007) menjelaskan bahwa pasar rakyat di Indonesia memang mengalami penurunan, akan tetapi penyebab penurunan minat pada pasar rakyat di Indonesia yang sering kali dikaitkan dengan banyaknya kompetisi dari pasar modern tidak selamanya benar, karena sesungguhnya permasalahan utama dari pasar rakyat di Indonesia terletak pada permasalahan internal dan permasalahan antar penjual di lapangan. Selain itu, adanya pergeseran dari pasar rakyat ke pasar modern dikarenakan pasar modern dengan konsep one-stop shopping dinilai lebih efisien karena masyarakat dapat membeli semua kebutuhan dalam satu lokasi dan membayar pada satu exit door saja. Berbagai permasalahan lain yang ada di pasar rakyat secara ringkas dijelaskan dalam tabel 1.

Sebagaimana telah dijelaskan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pasar rakyat, Pemerintah menjalankan program revitalisasi pasar sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan eksistensi pasar rakyat agar dapat menggerakkan

Permasalahan umum yang ditemui yaitu kondisi fisik pasar yang memprihatinkan, memiliki kesan yang kumuh, becek, bau dan semrawut. Selain itu, terdapat permasalahan pemasaran pada pasar rakyat. Seperti yang diketahui bahwa produk pertanian dan peternakan yang bernilai tinggi bersifat musiman dan mudah rusak, maka diperlukan penanganan yang hati-hati. Daryanto (2009) menjelaskan bahwa di negara-negara berkembang, panjangnya saluran pemasaran (supply chain), buruknya akses jalan, dan tidak memadainya infrastruktur dan layanan dalam pasar berakibat pada meningkatnya biaya transaksi dan menyebabkan menurunnya kualitas serta tingginya kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan pasca panen. Maka diperlukan fasilitas yang baik seperti tempat penyimpanan bersuhu dingin dan transportasi yang dilengkapi dengan lemari es serta produk harus cepat sampai ke tangan konsumen untuk menjaga kualitas produk. Sementara itu, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2015 telah terjadi 283 kasus kebakaran pasar di seluruh Indonesia. IKAPPI menilai, manajemen pengelolaan pasar yang masih jauh dari kata layak adalah penyebab utama banyaknya kebakaran itu.

Selain permasalahan pada kondisi fisik pasar, persaingan globalisasi ekonomi saat ini telah berdampak pada maraknya pasar modern masuk ke Indonesia. Pasar modern yang dimaksud disini adalah pasar/toko dengan sistem pelayanan mandiri yang menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store dan hypermarket. Di tengah menjamurnya keberadaan pasar modern, kehadiran pasar rakyat masih dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat karena para petani masih bergantung pada pasar rakyat untuk menjual hasil produksinya. Berdasarkan survey AC Nielsen pada tahun 2007, pertumbuhan pasar rakyat mengalami penurunan sebesar 8,1 persen sedangkan pasar modern tumbuh sebesar 31,4 persen. Sementara itu, berdasarkan data dari IKAPPI, jumlah

10

pedagang dikarenakan beberapa pedagang mengalami perpindahan lokasi berjualan ke tempat yang tidak strategis. Permasalahan lain yang terjadi dalam pengelolaan pasar adalah kurangnya koordinasi dari masing-masing anggota pengelola pasar. Ada juga hasil studi kasus di Pasar Babat yang menjelaskan

perekonomian rakyat. Berdasarkan hasil studi kasus terkait revitalisasi pasar, terdapat hasil yang menunjukkan bahwa program revitalisasi pasar berdampak terhadap peningkatan jumlah pengunjung dan peningkatan pendapatan. Namun ada juga kondisi yang dianggap masih tetap sama dalam hal pendapatan

Tabel 1. Permasalahan di Pasar Rakyat

Sumber: Menahan Serbuan Pasar Modern, 2012 (dalam makalah Revitalisasi Pengelolaan Pasar Rakyat Berbasis Ekonomi Kerakyatan oleh Puthut Indroyono), diolah.

Aspek PermasalahanSDM mindset pasrah, dominasi usia lanjut, pendidikan terbatas, dukungan

pengembangan SDM kurang, kelembagaan lemahProduk buatan pabrik, low quality, inovasi lokal terbatasHarga dapat lebih mahal dari supermarket, fluktuatifTempat lokasi baru sepi, lay-out pasar tidak tepat, berhadapan dengan

minimarketPromosi event terbatas, promosi minim, edukasi konsumen kurang, jejaring

lemah, kunjungan sekolah kurangPelayanan ala kadarnya, tidak terlalu dipentingkan karena dasarnya interaksi

sosial (kekeluargaan dan kepercayaan)

Tabel 2. Studi Kasus Revitalisasi Pasar

11

Revitalisasi pasar rakyat cenderung diartikan untuk membenahi aspek fisik untuk memperbaiki kondisi bangunan pasar agar lebih teratur, bersih dan nyaman. Namun sebenarnya hal yang lebih mendasar untuk diperhatikan oleh pemerintah adalah pembenahan pada aspek non fisik seperti aspek manajemen pengelolaan pasar agar pasar rakyat dapat sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Pendanaan program revitalisasi pasar rakyat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) serta melalui Tugas Pembantuan (TP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Prioritas pasar yang direvitalisasi adalah pasar-pasar yang usianya lebih dari 25 tahun; pasar yang mengalami bencana kebakaran, pasca bencana alam pasca konflik sosial; pasar yang merupakan pusat/jalur distribusi, pasar sabuk niaga, pasar komoditas spesifik; dan pasar yang belum memiliki bangunan utama (masih darurat).

Pada tahun anggaran 2015, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana revitalisasi pasar rakyat dalam APBN melalui DAK sebesar Rp1.075 milyar untuk pembangunan 770 unit pasar, melalui TP Kemendag sebesar Rp1.362,8 milyar dan direalisasikan untuk 182 unit pasar, serta melalui TP Kemenkop UKM sebesar Rp78 milyar untuk 65 unit pasar. Namun pada tahun 2015 terdapat kendala pembangunan revitalisasi pasar rakyat sebanyak 15 unit dikarenakan waktu lelang yang pendek. Untuk tahun anggaran 2016, dana revitalisasi pasar rakyat yang digelontorkan melalui DAK adalah sebesar

bahwa terjadi resistensi dari pedagang karena harga sewa kios pasca revitalisasi menjadi lebih mahal dan para pedagang ditempatkan di tempat yang berbeda dengan tempat awal berjualan. Beberapa hasil studi kasus revitalisasi pasar di beberapa daerah di Indonesia dijelaskan dalam tabel 2.

Pentingnya Revitalisasi Pasar Rakyat

Program revitalisasi pasar rakyat merupakan pelaksanaan dari UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengamanatkan bahwa Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan pasar rakyat guna peningkatkan daya saing dalam bentuk pembangunan dan/atau revitalisasi pasar rakyat; implementasi manajemen pengelolaan yang profesional; fasilitasi akses penyediaan barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing; dan fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang pasar di pasar rakyat. Dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa sasaran yang hendak dicapai dalam bidang perdagangan dalam negeri pada tahun 2015-2019 salah satunya yaitu revitalisasi pasar rakyat sebanyak 5.000 unit. Tujuan dari revitalisasi pasar rakyat adalah untuk merehabilitasi sarana dan prasarana pasar rakyat sehingga menjadi lebih tertata, bersih dan sehat, meningkatkan pelayanan dan akses yang lebih baik, meningkatkan pendapatan para pedagang dan para pelaku ekonomi yang ada di masyarakat serta menjadikan pasar rakyat sebagai penggerak perekonomian daerah.

Gambar 1. Pagu Anggaran Revitalisasi Pasar Rakyat

Sumber: Kemendag dan Kemenkop UKM

12

melalui TP Kemendag dan 193 unit melalui TP Kemenkop UKM. Untuk tahun 2018, pembangunan pasar rakyat ditargetkan sebanyak 1.592 unit, yang terdiri dari 1.275 unit melalui DAK, 267 unit melalui dana TP Kemendag dan 50 unit dari anggaran Kemenkop UKM. Jadi sesuai dengan Nawacita untuk merevitalisasi pasar rakyat, hingga tahun 2019, pemerintah masih harus menyelesaikan sebanyak 2.143 unit pasar untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Seiring dengan alokasi dana revitalisasi yang terus meningkat dan masih banyak unit pasar rakyat yang harus dibenahi, sebaiknya Pemerintah terus membenahi proses revitalisasi dari proses perencanaan, pembangunan serta pengelolaan pasar mulai dari aspek produk, layanan, dan kelembagaan agar revitalisasi yang dilaksanakan benar-benar berdampak bagi perekonomian rakyat.

Rp1.007 milyar untuk membangun 695 unit pasar, Rp1.466,5 milyar untuk 168 unit pasar melalui TP Kemendag dan melalui TP Kemenkop UKM sebesar Rp80,75 milyar untuk 84 unit pasar. Namun terjadi penghematan anggaran revitalisasi pasar sebanyak 35 unit pasar. Beberapa pasar tidak mencapai targetnya yaitu sebanyak 15 unit pasar rakyat yang capaian revitalisasi fisiknya 75 persen dan sebanyak 10 unit pasar yang capaiannya di bawah 50 persen. Untuk tahun anggaran 2017, dana yang dialokasikan untuk revitalisasi pasar mencapai Rp2.713 miliar. Sementara pada 2018, pendanaan revitalisasi pasar melalui DAK sebesar Rp1.530 miliar dan melalui TP mencapai Rp1.600 miliar.

Berdasarkan data di atas, jumlah pasar rakyat yang telah direvitalisasi dari tahun 2015-2017 adalah sebanyak 2.857 unit dimana 2.075 unit melalui DAK, 589 unit

RekomendasiRevitalisasi pasar rakyat sebagai upaya untuk menggerakkan perekonomian rakyat harus dilaksanakan dengan tepat. Kesejahteraan masyarakatlah yang diutamakan bukan hanya kesejahteraan orang atau kelompok tertentu. Maka partisipasi masyarakat menjadi syarat utama, baik dalam proses produksi, distribusi, konsumsi, dan penguasaan faktor-faktor produksi. Proses revitalisasi pasar rakyat juga seharusnya melibatkan pedagang sejak proses perencanaan agar program tepat sasaran. Selama ini pengajuan revitalisasi pasar kebanyakan bersumber dari kehendak pemerintah daerah dan bukan kehendak pedagang pasar sehingga dalam prosesnya sering kali menemui kendala. Pemerintah, Pemda dan pengelola pasar harus melakukan sosialisasi program revitalisasi pasar terlebih dahulu kepada para pedagang dan segera membenahi permasalahan apabila ada keluhan dari pedagang. Diperlukan juga evaluasi pada pasar rakyat yang telah direvitalisasi dan memastikan agar tingkat kunjungan di pasar rakyat meningkat dan berdampak bagi peningkatan pendapatan pedagang.

Gambar 2. Target dan Realisasi Revitalisasi Pasar Rakyat Tahun 2015-2018

Sumber: Kemendag dan Kemenkop UKM, diolah

13

Daftar Pustaka

Anggraini, Gita et al (2017). Standarisasi Penataan Pasar Tradisional Di Indonesia (Studi Kasus Revitalisasi Pasar Di Kota Semarang).

Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdaganan Kementerian Perdagangan (2015). Laporan Akhir Analisis Arah Pengembangan Pasar Rakyat.

Daryanto, Arief (2009). MB-IPB. Revitalisasi Pasar Tradisional.

Direktorat Jenderal Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Laporan Kinerja 2016.

Fanani, Moch. Irfan (2016). “Perlawanan Pedagang Pasar Tradisional Terhadap Revitalisasi Pasar”

Indroyono, Puthut (2013). Revitalisasi Pengelolaan Pasar Rakyat Berbasis Ekonomi Kerakyatan (Disampaikan dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi

Kerakyatan UGM, 26/9/2013)

Putra, I Kadek Dwi Perwira dan I Gusti Wayan Murjana Yasa (2017). Efektivitas dan Dampak Revitalisasi Pasar Tradisional Terhadap Jumlah Kunjungan, Pendapatan Pedagang, dan Pendapatan Pasar di Kota Denpasar.

Suryadarma, et al. (2009). SMERU. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia.

Industri.bisnis.com. 2016. IKAPPI: 2015 Tahun Rekor Jumlah Kebakaran Pasar Tradisional. Diakses pada 22 Agustus 2018 dari http://industri.bisnis.com/read/20160101/12/506234/ikappi-2015-tahun-rekor-jumlah-kebakaran-pasar-tradisional.

Republika. 2009. Pasar Tradisional Butuh Revitalisasi Pengelolaan. Diakses pada 24 Agustus 2018 dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/05/09/o6wqd6382-pasar-tradisional-butuh-revitalisasi-pengelolaan.

Di samping fokus dengan pembangunan pasar rakyat agar menjadi lebih tertata, Pemerintah juga harus fokus pada aspek-aspek mendasar atau aspek non fisik yang dapat meningkatkan omzet pedagang dengan melakukan pembenahan aspek manajemen untuk dapat menyelenggarakan pasar rakyat yang profesional agar pasar rakyat mampu berkompetisi dan berdaya saing dengan pasar modern. Serta diperlukan adanya pelatihan SDM agar dapat meningkatkan keterampilan dalam mengelola usahanya. Kebutuhan akan peningkatan penguasaan teknologi pun sangat penting agar pasar rakyat dapat berkembang secara modern meski tetap bertahan dengan tradisi. Terkait target Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 untuk merevitalisasi 5.000 pasar, diperlukan effort lebih dan kerjasama yang baik dari seluruh pihak. Dalam hal ini diperlukan peran Pemda/SKPD terkait untuk melakukan pemetaan, pemeliharaan, pengelolaan serta pemberdayaan pasar agar target tersebut dapat tercapai.

14

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

e-mail [email protected]

“Siap Memberikan

Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”