p 13 22 anies nursobah

10
13 Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015 MISI DAN STRATEGI DAKWAH NU DI INDONESIA Disusun oleh : ANIS NURSOBAH, S.Ag., M.Kom.I [email protected] ABSTRAK Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masa terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Yang lahir karena keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Startegi perjuangan / dakwah NU smenuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya. Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah ” al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.Dengan demikian Islam harus benar-benar menjadi rahmatan Lil- alamin, di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku, ras dan adat istiadat di Indonesia. Prinsip-prinsif kemasyarakatan yaitu tawasut, tawazun, ta’adud, tawazun dalam amar ma’rup nahyi munkar senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang ada dan lebih diutamakan ke arah kemaslahatan Umat. Kata kunci : Misi Dakwah NU, Strategi Dakwah NU. PENDAHULUAN Nadlatul Ulama berasal dari dua suku kata dalam bahasa Arab Nahdlah yang berarti kebangkitan dan Al Ulama artinya orang-orang yang memiliki ilmu (pengetahuan). Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masa terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908, munculah gerakan yang dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan tersebut terus menyebar dan menggelora di masyarakat karena penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Dari gelora itulah muncul berbagai organisasi dan pendidikan. Dari Kalangan pesantren yang selama spontan merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti

Upload: nahdlatuna-jurnal

Post on 23-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masa terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Yang lahir karena keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Startegi perjuangan / dakwah NU smenuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya. Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah ” al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.Dengan demikian Islam harus benar-benar menjadi rahmatan Lil-alamin, di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku, ras dan adat istiadat di Indonesia. Prinsip-prinsif kemasyarakatan yaitu tawasut, tawazun, ta’adud, tawazun dalam amar ma’rup nahyi munkar senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang ada dan lebih diutamakan ke arah kemaslahatan Umat.

TRANSCRIPT

Page 1: p 13 22 Anies Nursobah

13

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

MISI DAN STRATEGI DAKWAH NU DI INDONESIA

Disusun oleh : ANIS NURSOBAH, S.Ag., M.Kom.I

[email protected]

ABSTRAK

Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masa terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Yang lahir karena keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Startegi perjuangan / dakwah NU smenuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya. Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah ” al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.Dengan demikian Islam harus benar-benar menjadi rahmatan Lil-alamin, di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku, ras dan adat istiadat di Indonesia. Prinsip-prinsif kemasyarakatan yaitu tawasut, tawazun, ta’adud, tawazun dalam amar ma’rup nahyi munkar senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang ada dan lebih diutamakan ke arah kemaslahatan Umat. Kata kunci : Misi Dakwah NU, Strategi Dakwah NU. PENDAHULUAN

Nadlatul Ulama berasal dari dua suku kata dalam bahasa Arab Nahdlah yang berarti kebangkitan dan Al Ulama artinya orang-orang yang memiliki ilmu (pengetahuan). Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi masa terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah). Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, telah menggugah kesadaran kaum

terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908, munculah gerakan yang dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan tersebut terus menyebar dan menggelora di masyarakat karena penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Dari gelora itulah muncul berbagai organisasi dan pendidikan. Dari Kalangan pesantren yang selama spontan merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti

Page 2: p 13 22 Anies Nursobah

14

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan

peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari konteks di atas. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian dijewantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak yang meliputi bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sebagai organisasi social keagamaan NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh para penggagas berdirinya organisasi ini memiliki jaringan mata rantai dengan para ulama Haramain pada masa kekuasaan Turki Usmani yang nota bene berhaluan Sunni. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, ASWAJA sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Menurut terminologi ini, maka penganut Sunni tidak hanya NU saja tetapi hampir semua ummat Islam Indonesia adalah Sunni. Hanya saja kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Di bidang

Page 3: p 13 22 Anies Nursobah

15

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembang empat imam madzhab (aimmatul madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwainial - Baghdadi. Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf.

Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam) jauh lebih dominan dibanding dimensi yang lain. Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk megembangkanya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality) yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat. Cara pandang keagamaan yang cenderung fiqh oriented dengan pleksibilitas yang tinggi terhadap elemen-elemen perubahan ataupun elemen budaya local, menjadikan NU menolak cara pandang berfikir yang ‘hitam putih’ (legalformal). Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi

Jumud / stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”.

Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensimetodologis/istinbathi). Sedangkan basis social warga NU adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan pada umumnya berbasis pesantren baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Pergeseran warga dan basis social NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan di dalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba menembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.

NU menganut paham Ahlu Sunnah Wal-Jamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem Aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem Naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran dan As-Sunah, Tetapi juga Ijma dan Qiyas. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.

Page 4: p 13 22 Anies Nursobah

16

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. PEMBAHASAN Pengertian dan Unsur – Unsur Dakwah 1. Pengertian Dakwah

Dakwah dalam Islam adalah suatu proses usaha yang tidak pernah mengenal henti dan selesai, selama planet bumi oleh manusia dengan aneka ragam masalah, selama itu ialah proses dakwah berjalan. Pengertian dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar dari kata kerja da’a ( ), yad’uu ( ), da’watun ( ). Makna dakwah ( ) dapat berarti panggilan, seruan atau juga ajakan, atau juga undangan”.

“Dakwah berarti juga mengajak, memanggil dan menyeru”.. atau Dakwah dakwah itu dapat berarti “Undangan, seruan atau ajakan.

Sedangkan dakwah secara terminilogi adalah penyampaian Islam kepada manusia, baik secara lisan maupun tulisan ataupun secara lukisan. Dakwah adalah mengajak dan menggerakkan manusia, agar mentaati ajaran Islam termasuk melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, untuk dapat memperolah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dakwah juga dapat didefinisikan mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syari’ah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri.

Pengertian dakwah diatas merupakan esensi dan dorongan kepada manusia agar melakukan kebaikan, mau menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk kepentingan dirinya sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain. 2. Dasar Hukum Dakwah

Yang menjadi dasar dakwah adalah Pandangan hidup yang dijadikan landasan dakwah dalam Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Pedoman dasar dakwah Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dijadikannya Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar dakwah karena keduanya

merupakan pedoman hidup bagi umat Islam dan merupakan sumber dari segala sumber hukum umat Islam dalam mengatur tatanan hidup di dunia. Fungsi Al-Qur’an merupakan sumber pertama yang berisikan rumusan-rumusan yang bersifat universal, sedangkan As-Sunnah sebagai penjelasan dari sumber hukum yang pertama. Memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dasar dan pangkal tolak dakwah Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya merupakan sumber dan pedoman serta mengatur kehidupan manusia di dunia. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 71, yang artinya : “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya ia akan bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia “ Beberapa ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rosulullah Saw. Yang menjadi landasan wajibnya berdakwah :

Artinya : “Dan hendaklah diantara kalian ada segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan menyuruh yang ma’rup dan mencegah yang munkar ....”

Artinya : “.... Dan kami turunkan kepada-Mu Al-Quran agar kamu menjelaskan kepada umat manusia ....”

Artinya : “Sampaikanlah Ilmu walaupun satu ayat.”

3. Materi Dakwah

Materi dakwah adalah sejumlah bahan yang akan disajikan kepada objek dakwah sesuai dengan target yang yang diharapkan dan disusun sesuai dengan kebutuhan objek dakwah yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunah dan ilmu-ilmu yang lainnya sebagai bahan pendukung. Materi dakwah pada dasarnya menyangkut aqidah, ibadah dan muamalah yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan dan yang lainnya. Materi dakwah merupakan masalah keimanan, martabat manusia, kehidupan material-spritual, kehidupan keluarga serta kehidupan masyarakat.

Page 5: p 13 22 Anies Nursobah

17

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

Dengan demikian, bahwa materi dakwah adalah semua materi yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber utama ajaran Islam yang meliputi segala asfek kebutuhan manusia. Adapun isinya secara umum meliputi akidah, ibadah dan muamalah, atau dalam bahasa lain, Akidah, ibadah ritual dan Ibadah sosial, termasuk di dalamnya masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, Hukum, Ilmu pengetahuan dan lain-lain. 4. Objek Dakwah

Yang dimaksud dengan objek dakwah adalah segenap manusia muslim atau non muslim. Atau objek dakwah adalah penerima dakwah yang menjadi sasaran kemana dakwah itu ditujukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek dakwah adalah manusia secara umum baik muslim maupun non muslim yang menjadi sasaran dakwah. 5. Subjek Dakwah

Yang dimaksud dengan Subjek dakwah adalah orang-orang yang melakukan tugas-tugas dakwah. Orang tersebut disebut da’i, yaitu orang yang mengajak atau menyeru kepada ajaran Islam. Atau juga mubaligh yang artinya orang yang menyampaikan pesan-pesan agama. Dari definisi-definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Subjek dakwah adalah orang-orang muslim mukalaf sesuai dengan kemampuan masing-masing. Terutama kepada mereka yang memiliki kemampuan komunikasi yang diimbangi dengan penguasaan materi, baik lisan, tulisan maupun sikap ketauladanan. Mengingat penting peranan subjek dakwah dalam melakukan dakwahnya, maka diperlukan kemampuan, kemauan, keikhlasan, dan ketauladanan. Menurut Al-Imam Ghazali, kunci keberhasilan dakwah adalah terletak pada ketauladanan seorang da’i. Untuk itulah Subjek dakwah harus melakukan dengan penuh keikhlasan, kemampuan bahasa yang disesuaikan dengan pengetahuan objek dakwah, Metode yang baik, dan adanya ketauladanan.

6. Metode Dakwah Kata metode berasal dari bahasa

latin “methods”, yang berati cara, dalam bahasa yunani “metodus” yang berarti “cara jalan”. Dalam bahasa Arab disebut “uslub, tarikah,minhaj atau nizam”, yang artinya cara untuk menyampaikan sesuatu”. Menurut istilah metode adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara ditempuh untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Menurut Endang Saefuddin Anshari, metode dakwah mencakup strategi, taktik dan teknik dakwah. Pedoman dasar metode dakwah dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 : Artinya : serulah manusia kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Yang di maksud dengan hikmah adalah cara dakwah dengan cara bijaksana meliputi cara dan taktik tertentu. Sedangkan yang dimaksud pengajaran yang baik adalah menyampaikan keterangan secara jelas dan mudah dipahami. Kemudian yang di maksud bertukar pikiran adalah berdiskusi dengan cara yang baik dan sopan dalam upaya mencari kebenaran atau mencari titik temu. 7. Tujuan Dakwah Meliputi :

a. Mengajak manusia menyembah Allah tanpa sekutu bagi-Nya

b. Mengajak kaum muslimin agar ikhlas beragama, menjaga amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam

c. Mengajak manusia agar menerapkan hukum Allah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Dengan demikian maka dapat

disimpulkan bahwa tujuan dakwah adalah mengajak manusia menyembah Allah SWT, tidak menyekutukan-Nya, membersihkan jiwa dari penyakit nifak dan berupaya menjaga amal shaleh untuk menjamin kebahagian dan kesejahteraan dunia dan akhirat.

Page 6: p 13 22 Anies Nursobah

18

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

2. Misi dan Strategi Dakwah NU Berkaitan dengan misi Nahdhatul

Ulama (NU) sebagai jam’iyyah diniyah kami kutipkan dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai berikut : a. Bab II : Aqidah adalah Pasal 3 :

Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah yang menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.

b. Bab V : Tujuan dan Usaha Pasal 6 : Tujuan Nahdhatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Pasal 7 : untuk mewujudkan tujuan di atas maka Nahdhatul Ulama melakukan usaha-usaha sebagai berikut :

Di bidang agama mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar serta peningkatan ukhuwwah islamiyah.

Di bidang Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Di bidang sosial, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan dengan mengupayakan keadilan social dan keadilan hukum disegala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan umat di dunia dan akhirat.

Di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi. Mengusahakan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (maslahat al-‘ammah) guna terwujudnya khairu ummah. Berangkat dari uraian di atas, maka

pelaksanaan dakwah dilakukan tidak lepas dari bingkai Islam ahlu-Sunah-Wal-Jama’ah dalam bidang akidah dalam upaya menjaga dan memelihara umat dari ketergelinciran aqidah. Pelaksaan Ibadah Mahdoh atau ritual tentu mengacu pada salah satu Imam Madhab yang 4 ; Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sedangkan dalam bidang Akhlak-Tasawuf mengikuti Imam Ghozali dan Al-Junaid Al-Bagdadi.

Adapun berkaitan dengan strategi dakwah yang dikembangkan oleh NU, maka pada tataran implementasinya sangat dipengaruhi oleh model pemikiran dan prilaku (manhaj al-fikr wa sirah) dalam pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada tiga sikap /karakter dalam beragama:

1. Tawassuth (moderat) yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan tanpa mengambil sikap ekstrim (tatharruf). Implementasi sikap ini dalam konteks hukum adalah keseimbangan dalam menggunakan wahyu dan akal dan dalam konteks aqidah tidak gampang memberikan vonis kafir, sesat kepada orang lain. Mengambil sikap tengah antara: wahyu dan akal, Taqdir dan ikhtiyar dan antara taqlid dan ijtihad.

2. Tawazun dan Ta’adul (keseimbangan) sikap ini terepleksi dalam tata pergaulan baik dimensi politik maupun budaya ysitu dengan mengambil sikap akomodatif kritis dengan

Page 7: p 13 22 Anies Nursobah

19

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

mengembangkan seruan amar ma’ruf nahi munkar.

3. Tasamuh (toleran) yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap menghormati keragaman pemahaman, tindakan maupun gerakan dalam konteks keislaman. Prinsip ini dimaksudkan dalam upaya membangun ukhuwwah baik ukhuwwah Islamiyah, Basyariyah maupun Wathaniyah.

Dengan mendasarkan pada tiga pilar maka startegi perjuangan / dakwah NU smenuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya.

Dalam Program Pokok Pengembangan NU (1994-1999) dijelaskan beberapa prinsip dasar dalam berdakwah dengan melakukan tranformasi social menuju ‘izzul Islam wal muslimin dengan mendasarkan pada beberapa ayat yaitu: suarat An-Nahl: 125, Ali Imron: 104, 110, 112, Al-Anbiya : 107. Walaupun demikian pendekatan-pendekatan structural secara institusional juga dilakukan dengan melakukan advokasi-advokasi yuridis dan politik yang diperankan oleh elit-elit NU ataupun tokoh NU non structural yang tersebar diberbagai partai politik.

Dalam pandangan elit NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.

Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah ” al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Dengan demikian Islam harus benar-benar menjadi rahmatan Lil-alamin, di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku, ras dan adat istiadat di Indonesia. Prinsip-prinsif kemasyarakatan yaitu tawasut, tawazun, ta’adud, tawazun dalam amar ma’rup nahyi munkar senantiasa disesuaikan dengan kondisi yang ada dan lebih diutamakan ke arah kemaslahatan Umat. Secara bertahap hal-hal yang termasuk katagori munkar atau kurang baik di ubah dengan cara-cara yang bijaksana. Tradisi-tradisi ke-agmaan senatiasa dipertahankan selama tidak bertentangan dengan syariat. Budaya-budaya lokal merupakan atifitas dakwah yang efektif yang senantiasa dipertahankan dalam upaya meningkat nilai nilai ibadah ritual maupun sosial bagi masyarakat secara individual maupun kolektif. 3. Dakwah NU dan Tantangan Pluralisme Sosial

Vandalisme dan anarkhi sosial yang terjadi dalam kehidupan keagamaan dan sosio-kultural membutuhkan peran integratif dari NU. Mengapa? NU dalam bingkai perjuangan mempertahankan NKRI telah terbukti eksis menjadi basis utama. Ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dipraktekkan, dengan slogan al-muhafadzoh alal qodimisshalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), membuat gerak dakwah kultural NU tidak kaku dan menyeramkan.

Jalan yang ditempuh bukan menggunakan formalitas, namun esensi. Dalam bentangan sejarah, ketika NU

Page 8: p 13 22 Anies Nursobah

20

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

melakukan advokasi, pendekatan yang digunakan bukan menggunakan tekanan (pleasure), namun ajakan (da’wah). Itulah yang disebut dakwah.

NU bukan memerintah, apalagi melarang, namun hanya menyarankan dan mengajak, disertai dengan uraian sebab-dan akibat. Tentu pendekatan seperti ini yang membuat gerakan NU berbasis kultur mendapatkan ruang yang lebih luas di masyarakat. NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan terbesar pengikutnya di dunia telah bertahan dalam klaim kelompok demokrat dan berimbang. Meskipun anggotanya yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah disebut sebagai penganut buta atau muqollidun, yang dalam persepsi umum dianggap fanatik, namun NU tidak terjerembab dalam fanatisme akut yang membahayakan, apalagi radikalisme. Justru ketika gerakan fundamentalisme sosial-politik berbaju agama menggejala dan menggurita di tanah air, kaum nahdliyyin getol melakukan resistensi. Itu terutama digawangi oleh kelompok sayap intelektual muda NU.

Dinamika politik di kalangan elite NU tidak menyurutkan gerak langkah organisasi yang berdiri pada 31 Januari 1926 oleh kelompok ulama’ tradisional pesantren. Bahkan, tetap konsisten pada asas penyatuan semua elemen bangsa dan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) sering menghadiri dan mengadakan forum-forum bertaraf internasional untuk mengadakan konsolidasi dan koordinasi terhadap isu-isu internasional yang mereduksi nilai-nilai universal-kemanusiaan semisal terorisme, radikalisme, fundamentalisme dan gerakan formalisasi syari’ah.

Nilai-nilai kosmopolitan hasil rumusan al-Syatiby yang kemudian disebut al-maqosid al syari’ah al khamsah, yakni hifdz al-aql (melindunngi akal), hifdz al-nafs (melindungi jiwa), hifdz al-mal (melindungi harta) hifdz al-nasl (menjaga generasi)

serta hidz al-irdl (melindungi kehormatan) membuat gerakan sosial NU menembus batas identitas kultural, budaya dan tradisi. Korban atas nama apapun, dalam pandangan filosofis ke-NU-an, adalah titik konklusi dari konflik antara penindas dan tertindas. Identitas hanya bagian dari tampilan luar kedua belah pihak yang sedang bertikai.

Pluralisme sosial NU yang demikian kental dalam karakter kultural nahdliyyin mengantarkan NU dekat dengan berbagai kalangan, terutama dengan komunitas penganut ajaran Thionghoa, yang ketika Gus Dur menjadi presiden RI, melegalkan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.

NU dengan Gus Dur sebagai juru bicaranya sejak menjabat sebagai Ketua Umum PBNU tiga periode (1984-1999) berkembang memiliki sayap sosial yang begitu luas. Dalam mempraktekkan komitmennya terhadap empat pilar negara bangsa bernama Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika, NU tidak hanya berhenti di tataran wacana. Ia mencairkan kebekuan tradisi atau kalau dalam bahasa Gus Dur melakukan reideologisasi bentuk-bentuk kelunturan tradisi, baik dalam ritus politik, sosial-ekonomi maupun kebudayaan.

Relasi NU dengan tradisi yang dilandasi nilai-nilai filosofis kebijaksanaan berupa tasamuh (toleran), tawassuth (moderat) dan tawazun (berimbang) membuat organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari tidak kemana-mana, namun ada di mana-mana. Asas itu membuat NU tidak tegang dalam menghadapi konflik elite di dalamnya. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam tubuh NU sudah barang lazim terjadi, namun sekali lagi, tidak membuat NU beku dalam fanatisme akut.

Dalam membina hubungan antar manusia (hablun minannas) Anton memberikan apresiasi, mengangkat topi, tanda hormat. Meskipun demikian, kalau

Page 9: p 13 22 Anies Nursobah

21

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

perbedaan itu tidak diminalisir, dengan men-de-eskalasi konflik, bukan tidak mungkin, ke depan, NU hanya dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang yang berkepentingan. Apalagi sistem liberalisme kapital telah membuka ruang luas terhadap kebebasan interaksi tanpa kontrol, pun di dunia mayantara. Di sinilah tantangan NU menghadapi pluralisme sosial harus diperhatikan. Pendekatan Kultural Vandalisme dan anarkhi sosial yang terjadi dalam kehidupan keagamaan dan sosio-kultural membutuhkan peran integratif dari NU.

Mengapa? NU dalam bingkai perjuangan mempertahankan NKRI telah terbukti eksis menjadi basis utama. Ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dipraktekkan, dengan slogan al-muhafadzoh alal qodimisshalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), membuat gerak dakwah kultural NU tidak kaku dan menyeramkan. Jalan yang ditempuh bukan menggunakan formalitas, namun esensi.

Dalam bentangan sejarah, ketika NU melakukan advokasi, pendekatan yang digunakan bukan menggunakan tekanan (pleasure), namun ajakan (da’wah). Itulah yang disebut dakwah ala Nabi. Ia bukan memerintah, apalagi melarang, namun hanya menyarankan dan mengajak, disertai dengan uraian sebab-dan akibat. Tentu pendekatan seperti ini yang membuat gerakan NU berbasis kultur mendapatkan ruang yang lebih luas di masyarakat. Demikian uraian KH. Musthafa Bisri (MataAir : Januari 2008).

Boleh jadi, strategi seperti itu terkesan tidak tegas dan cenderung inkonsisten. Namun buktinya, justru dunia mempercayakan NU dalam ikut memerankan upaya penyelesaian masalah dan isu kemanusiaan global.

PENUTUP Dari Pembahasan di atas tentang Misi dan Strategi Dakwah Nahdlatul Ulama (NU), maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Nahdatul Ulama (NU) Merupakan

Organisasi sosial Keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah), yang berhaluan Ahlu sunah wal-Jamaah dalam bidang aqidah, Memegang Madahibul-arba’ah ; Hanafi,safi’i, maliki dan Hambali dalam kontek Fiqh ibadah, dan mengikuti metode yang dikembangkan Al-Ghozali dan Junaid Al-Bagdadi dalam kontek tasawuf.

2. Dakwah yang dilakukan oleh NU tentu mangacu pada tekstual Al-Quran dan As-sunah, yang bukan hanya sekedar menyampaikan pesan-pesan agama, tetapi harus mampu melakukan perubahan umat baik secara individual maupun kolektif dan memelihara umat dari ketergelinciran aqidah dan ibadah, dengan cara yang baik, cerdas dan penuh bijaksana.

3. Misi dan Strategi dakwah NU adalah Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan usaha- di bidang agama, pendidikan, Ekonomi dan sosial. Sedangkan dalam sratagi dakwahnya senantiasa menampilkan sikap tasamuh, tawasut,tawajun dan Ta’adul. dengan mempertahan tradisi-tradisi masyarakat sebagai wahana dakwah.

4. Pelaksanaan Dakwah di tengah-tengah masyarakat yang beraneka Ragam (Plural), harus berupaya menjadikan Islam sebagai agama rahmatan Lil alamin. Perbedaan dalam bebagai bentuknya tidak menjadi halangan untuk menjaga persatuan dan persaudaran.

Page 10: p 13 22 Anies Nursobah

22

Nahdlatuna Jurnal Volume 1 Nomor 1 – 1 Juni 2015

DAFTAR PUSTAKA Abdul Kodir Munshi, 1981, Metode Da’wah, Al-Ikhlas Surabaya, A. Hasmy, 1986, Dustur Da’wah, CV. Bulan Bintang Jakarta Dr.Aji Hermawan, 2010, Kembalikan NU ke Khitoh Epistimloginya, Pustaka Tebu Ireng

Jombang Endang Saepudin Anshari, 1986, Wawasan Islam, Salman ITB Bandung, Hamka, 1984, Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam, CV.Bulan Bintang Jakarta Fahrudin Fuad,2009, Agama dan Pendidikan Demokrasi Muhamadiyah dan NU, Pustaka

Alphabet Jakarta Dr.Phil Gustiana Insa Marjani, 2012, Wajah Toleransi NU, Semesta Rakyat Merdeka Jakarta Solahudin dkk, 2010, Menggagas NU Masa Depan, Pustaka Tebu Ireng Jombang