overdeterminasi sebagai posibilitas interpelasi

20
Overdeterminasi sebagai Posibilitas Interpelasi Diferensial: Suatu Kajian terhadap Marxisme Struktural Louis Althusser Rizki Baiquni Pratama, Donny Gahral Adian Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia e-mail: [email protected] Abstrak Teori ideologi Althusser yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek kerap dipandang sebagai sebuah pesimisme, hal itu karena subjek dibiarkan tenggelam dalam relasi sosialnya untuk terus melanggengkan kapitalisme. Meskipun demikian, pengertian ideologi yang sangat ekstrim tersebut sebetulnya hanya dapat dipahami secara utuh melalui konsep Althusser sebelumnya, yaitu overdeterminasi, di mana ideologi yang terletak pada dimensi suprastruktur juga dapat mempengaruhi basis. Dengan cara seperti itu maka teori ideologi Althusserian dapat dibaca secara lebih positif, bahwa overdeterminasi memungkinkan untuk menciptakan interpelasi diferensial. Kata kunci : ideologi, individu, interpelasi, subjek, overdeterminasi, interpelasi diferensial Abstrack Althusser's theory of ideology that has always interpellated the individual as a subject is often seen as a pessimism, it is because the subject is allowed to settle in social relation to continue perpetuating capitalism. Nonetheless, the notion of extreme ideology was actually only be fully understood through the concept of the previous Althusser’s, that is overdetermination, where the ideology that is located on the dimensions of the superstructure can also affect the base. In this way the Althusserian theory of ideology can be read more positively, that overdetermination is possible to create differential interpellation. Keywords : ideology, individual, interpellation, subject, overdetermination, differential interpellation Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Overdeterminasi sebagai Posibilitas Interpelasi Diferensial: Suatu Kajian terhadap Marxisme Struktural Louis Althusser

Rizki Baiquni Pratama, Donny Gahral Adian

Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

e-mail: [email protected]

Abstrak

Teori ideologi Althusser yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek kerap dipandang sebagai sebuah pesimisme, hal itu karena subjek dibiarkan tenggelam dalam relasi sosialnya untuk terus melanggengkan kapitalisme. Meskipun demikian, pengertian ideologi yang sangat ekstrim tersebut sebetulnya hanya dapat dipahami secara utuh melalui konsep Althusser sebelumnya, yaitu overdeterminasi, di mana ideologi yang terletak pada dimensi suprastruktur juga dapat mempengaruhi basis. Dengan cara seperti itu maka teori ideologi Althusserian dapat dibaca secara lebih positif, bahwa overdeterminasi memungkinkan untuk menciptakan interpelasi diferensial.

Kata kunci : ideologi, individu, interpelasi, subjek, overdeterminasi, interpelasi diferensial

Abstrack

Althusser's theory of ideology that has always interpellated the individual as a subject is often seen as a pessimism, it is because the subject is allowed to settle in social relation to continue perpetuating capitalism. Nonetheless, the notion of extreme ideology was actually only be fully understood through the concept of the previous Althusser’s, that is overdetermination, where the ideology that is located on the dimensions of the superstructure can also affect the base. In this way the Althusserian theory of ideology can be read more positively, that overdetermination is possible to create differential interpellation.

Keywords : ideology, individual, interpellation, subject, overdetermination, differential interpellation

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

1. Pendahuluan

Louis Pieere Althusser atau yang biasa dikenal sebagai Louis Althusser merupakan

seorang filsuf marxis asal Perancis. Althusser dilahirkan pada 16 oktober 1918 di

Birmandreis, Aljazair dan meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 oktober 1990.

Semasa hidupnya Althusser tercatat sebagai mahasiswa filsafat di École Normale Supérieure

(ENS) Perancis dan pernah menjadi pengajar filsafat pula di dalamnya. Selama Althusser

menjadi seorang pengajar filsafat, ia terlibat aktif dalam berbagai forum diskusi mengenai

marxisme. Selain itu, Althusser juga rutin mempublikasikan gagasan-gagasanya dalam bentuk

esai mengenai marxisme itu sendiri.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang filsuf, Althusser kerapkali dikenal dengan teori

ideologinya. Pemikirannya mengenai ideologi tersebut terangkum dalam sebuah esainya yang

berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation) yang

berada pada bukunya yang berjudul Lenin and Philosophy. Dalam esainya tersebut, Althusser

memandang bahwa ideologi bukanlah kesadaran palsu (false consciousness) yang menutupi

realitas belaka sebagaimana yang dipahami oleh Marx. Sebelumnya menurut Marx sendiri

ideologi itu merupakan klaim-klaim palsu dan menyesatkan, yakni klaim yang mengatakan

sesuatu yang tidak benar.1 Sementara itu dalam pemikiran Althuser, ideologi justru

merupakan sebuah “gambaran” tentang hubungan imajiner antara individu-individu dengan

relasi-relasi sosialnya yang rill tempat mereka tinggal.2

Konsekuensi dari pendefinisian ideologi yang diungkapkan Althusser, maka adalah

mustahil bila kita dapat melepaskan diri dari ideologi sama sekali, sebab kita telah selalu

disituasikan oleh relasi-relasi sosial. Penyituasian tersebut digambarkan oleh Althusser

sebagai proses interpelasi individu sebagai subjek. Di mana interpelasi itu dapat dipahami

sebagai sebuah panggilan imajiner dari aparatus ideologis yang mengarah pada diri setiap

manusia sehingga ia mampu mengerti tentang apa dan siapa dirinya. Aparatus ideologis itu

sendiri merupakan institusi sosial seperti sekolah, keluarga, dan segala macam instrumen

sosial lainnya yang senantiasa hadir merendam manusia secara persuasif.

Sejak Althusser menuliskan teori ideologinya tersebut, ideologi yang dimaksudkannya

merujuk pada ideologi dominan. Sementara itu konteks dari ideologi dominan tersebut adalah

kapitalisme dalam kaitannya dengan relasi-relasi produksi. Singkatnya, salah satu relasi

produksi terpenting adalah tenaga kerja. Aparatus ideologis berfungsi menginterpelasi

                                                                                                                         1    Lihat  E.  Doyle  Mc.Carthy,  Knowledge  as  Culture:  The  New  Sociology  of  Knowledge  (New  York:  Routlege,  1996),  hlm.  37.  2    Lihat    Louis  Althusser,  Filsafat  Sebagai  Senjata  Revolusi  (Yogyakarta:Resist-­‐Book,  2007),  hlm.  194.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

individu sebagai subjek semata-mata untuk menjadikan relasi-relasi produksi tersebut sebagai

sesuatu yang alamiah, netral, dan sudah begitu semestinya. Dengan cara seperti itu

kapitalisme dapat terus dilangsungkan dalam situasi tersebut.

Dari sini timbul sebuah problem, bahwasanya apabila karakteristik ideologi dalam

kerangka Althusserian yang dengan segala fiturnya itu telah selalu membentuk kesadaran dan

aktifitas manusia. Pertanyaannya masih mungkinkah mewujudkan perubahan sosial dalam

teori ideologi Althusserian yang tampak sangat ekstrim tersebut? Dalam ikhwal pertanyaan

seperti itulah, seorang teoritikus komunikasi John Fiske justru begitu pesimistik terhadap

Althusser. Di situ Fiske melihat bahwa agenda perubahan sosial itu tidak dimungkinkan

dalam kerangka pemikiran Althusser.3

Argumentasi yang disampaikan oleh Fiske sehingga ia jatuh pada pandangan seperti

itu tidak lain akibat dari konsepsi subjek dari Althusser itu sendiri. Di mana subjek dalam

pemikiran Althusser merupakan sesuatu yang telah selalu dibentuk oleh aparatus ideologis.

Terlebih bahwa pada Althusser tidak terdapat tendensi untuk mengemansipasi subjek dari

jerat ideologi sama sekali. Subjek dibiarkan tergeletak begitu saja oleh Althusser mengikuti

arus relasi-relasi sosial. Rasanya sudah tidak ada lagi ruang lagi bagi subjek untuk melakukan

agenda perubahan sosial.

Meskipun demikian, menurut saya kemustahilan agenda perubahan sosial dari

kerangka ideologi Althusserian itu sebetulnya hanya akan berlaku apabila tesis fundamental

marxisme, yaitu bangunan metafor masyarakat dibayangkan sebagai basis yang

mendeterminasi suprastruktur. Di mana ideologi sebagai salah satu lantai di samping legal-

politik tunduk secara saklek terhadap basinya yang kapitalistik. Dan di sini perlu dicatat

bahwa sebelum Althusser menulis mengenai teori ideologinya, Althusser telah

mempersoalkan mengenai tesis fundamental basis-suprastruktur tersebut. Di mana Althusser

merekonstruksi relasi yang dipahami oleh para marxis sebagai relasi satu arah menjadi relasi

yang resiprokal, dalam arti bahwa suprastruktur nyatanya menurut Althusser juga dapat

mempengaruhi basisnya secara relatif.

Rekonstruksi terhadap relasi basis-suprastruktur dari Althusser inilah yang seringkali

luput dari para pembaca yang mengkonsumsi pemikiran ideologi Althusser. Untuk itu, dalam

kesempatan ini saya ingin menunjukan bahwa sebetulnya pemikiran ideologi dapat dibaca

                                                                                                                         3    Sebagaimana  yang  diungkapan  oleh  Fiske:  “Gramsci’s  theory  makes  social  change  appear  possible,  Marx’s  makes  it  inevitable,  and  Althusser’s  improbable.”  Lihat  John  Fiske,  Introduction  To  Communication  Studies  (London:Routledge,  1990),  hlm.  178.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

secara positif, yaitu bahwa karya Althusser yang mengulas mengenai overdeterminasi dan

kaitannya dengan sains sejarah (materialisme historis) patut dipertimbangkan sebelum

membaca pemikiran Althusser mengenai ideologi. Dengan cara seperti itu, saya akan

membuktikan bahwa sebetulnya interpelasi itu tidaklah tunggal hanya untuk kepentingan

kapitalisme belaka, melainkan bahwa ada kemungkinan interpelasi yang anomali terhadap

basisnya akibat bangunan metafor masyarakat yang berupa overdeterminasi.

2. Tinjauan Teoritis

Penelitian ini meletakan pemikiran marxisme struktural Louis Althusser sebagai objek

kajian. Intensi saya adalah untuk memberikan gambaran yang benar-benar utuh terhadap

pemikiran Althusser. Sebabnya lebih dari kapanpun juga, ketika kita membicarakan Althusser

asosiasi kita kerapkali jatuh pada pemikirannya yang terangkum pada kumpulan esai yang

dibukukan olehnya berjudul “Lenin and Philosophy and Other Essays”. Terlebih lagi dalam

kumpulan esai tersebut, hanya satu esai yang benar-benar kita fokuskan yakni “Ideology and

Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation)”. Paradoksnya ketika kita

berfokus pada esai tersebut, perhatian kita ternyata bukan pada bagian pertama dari esai yang

membahas mengenai problem relasi-relasi produksi, melainkan hingga detik ini perhatian kita

mengarah pada bagian kedua esai tersebut yang membahas mengenai teori ideologi dan

peroblem subjektifikasi yang begitu diwarnai oleh psikoanalisa lacanian. Sehingga tidak

mengherankan kesimpulan yang mungkin muncul adalah bahwa Althusser adalah seorang

fatalis karena membiarkan subjek terus tenggelam dalam ideologi yang dibalut dalam

hamparan relasi-relasi sosialnya.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini saya akan sedikit mundur ke belakang setidaknya

pada karya Althusser awal yang berjudul “For Marx” dan “Reading Capital”. Di mana

sebetulnya melalui dua buku tersebut, Althusser yang mulanya hanya pengajar filsafat biasa

menjadi terkenal namanya di tingkat Internasional. Hal itu terjadi karena di dalam bukunya

tersebut, Althusser merekonstruksi sains sejarah marxian dari segala macam serangan

idealisme hegelian mengenai ekonomisme dan humanisme. Dan bila kita membaca buku

tersebut, kita akan mendapat gambaran secara utuh bahwa nyatanya teori ideologi Althusser

sebetulnya tidak lebih dari salah satu teori yang ada pada sains sejarah. Terlebih bahwa di

tangan Althusser, sains sejarah nantinya menjadi semacam senjata bagi kelas proletariat untuk

melakukan revolusi.

Dengan cara mundur ke belakang, kita akan dapat pemahaman secara komprehensif

bahwa dalam marxisme struktural Louis Althusser. Konsep subjek memang hanya tunduk

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

pada struktur. Sementara perubahan sosial akan dilakukan pada struktur itu sendiri yang

menurut Althusser__dalam konteks struktur kapitalisme__secara objektif berisi kontradiksi

yang manifestasinya adalah pertentangan kelas borjuis dan kelas proletariat. Dalam

pengertian Althusser tersebut, maka massa proletariat yang akan membuat perubahan sosial

dengan segenap totalitasnya.

3. Metode Penelitian

Sebagaimana penelitian filsafat pada umumnya, maka langkah pertama dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan. Untuk itu saya menggunakan

sumber-sumber primer dari Louis Althhusser. Seperti Lenin and Philosophy and Other

Essays, For Marx, Reading Capital, The Humanist Controversy and Other Writings, Essays

in Self Criticism. Untuk yang saya sebutkan pertama yaitu Lenin and Philosophy and Other

Essays, saya menggunakan buku terjemahan bahasa Indonesia yang diberi judul Filsafat

Sebagai Senjata Revolusi. Meskipun tentu saja, saya tetap menoleh pada versi berbahasa

Inggrisnya agar tidak terjadi salah tafsir. Selain penelusuran kepustakaan primer, saya juga

akan menelusuri kepustakaan sekunder yang berupa pembacan orang lain terhadap pemikiran

Althusser. Hal penting lainnya, saya juga berusaha menelusuri pemikiran seperti apa dan dari

siapa saja yang telah mempengaruhi pemikiran Althusser.

Langkah kedua dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode hermenutika

dari Schleiermacher, utamanya mengenai konsep lingkaran hermeneutis yang ia tawarkan. Di

situ saya menerapkannya dalam bentuk praksis untuk memahami pikiran Althusser. Melalui

lingkaran hermeneutis maka saya akan dapat memahami teks Althusser sebagai proses

rekonstruksi. Dalam arti bahwa kita dapat memahami sesuatu karena kita

mengkomparasikannya dengan sesuatu yang telah kita ketahui. Di mana tindakan memahami

itu saya peroleh dengan cara melihat semua bagian dari teks yang berupa esai-esai Althusser

yang berserakan namun sebetulnya saling berhubungan satu sama lain.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis

Secara garis besar, Althusser memandang bahwa tatanan kapitalisme dilanggengkan

oleh dua aparatus yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu aparatus represif

negara__ARN (repressive state apparatus) dan aparatus ideologis negara__AIN (ideological

state aparatus). Yang pertama, yakni aparatus represif negara merupakan konsep yang

digunakan oleh Althusser untuk mereferensikan mengenai aparatus negara dalam pandangan

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

teoritikus marxis secara umum. Artinya aparatus represif negara dalam hal ini terdiri dari

negara, pemerintah, polisi, milter, hukum, pengadilan ataupun penjara. Cara kerja dari

aparatus represif tersebut menurut Althusser ialah dengan menggunakan jalan kekerasan.

Yang kedua, yakni aparatus ideologis negara merupakan sebuah aparatus yang bekerja secara

ideologis, yang berwujud institusi-institusi publik maupun privat seperti sekolah, media,

agama dan lain sebagainya yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat.

Dalam hal ini Althusser membaca tatanan kapitalisme sebagai sebuah formasi sosial

pada konteks reproduki relasi-relasi produksi. Di situ Althusser menemukan bahwa aparatus

represif negara melaksanakan daya represifnya dengan menciptakan kondisi-kondisi politik

bagi dimungkinkanya relasi-relasi produksi. Sementara melalui aparatus ideologis negara,

reproduksi relasi-relasi produksi dimungkinkan karena ideologi mampu memberikan

semacam ‘ketersediaan kultural’ agar seseorang dapat tunduk pada ideologi dominan tersebut.

Dengan begitu tercipta suatu naturalisasi terhadap relasi produksi sehingga menjadi nampak

alamiah dan seolah sudah kodratnya demikian. Selebihnya, dalam membicarakan reproduksi

relasi-relasi produksi tersebut, Althusser menaruh porsi yang sangat besar pada aparatus

ideologis negara dan terutama mengenai ideologi itu sendiri.

Lebih lanjut, di antara banyaknya aparatus ideologis yang merendam masyarakat,

Althusser melihat bahwa wahana terbaik dalam menundukan seseorang pada konteks

feodalistik Eropa masa lalu adalah gereja dan keluarga. Keduanya mampu membimbing

masyarakat untuk mengamankan moda produksi kala itu. Sedangkan untuk konteks saat ini,

Althusser berpandangan bahwa peran gereja telah digantikan sedemikian rupa oleh institusi

pendidikan. Sehingga pasangan yang begitu serasi dan dominan adalah sekolah dan keluarga.

Di dalam sekolah misalnya, seseorang diajarkan setiap hari untuk mengenyam ilmu yang

dimaterialkan dalam bentuk ijazah-ijazah. Sekolah kemudian menciptakan tenaga kerja yang

siap pakai. Sementara di dalam keluarga, seorang anak misalnya dituntut oleh orangtuanya

untuk menjadi anak yang bermanfaat dan dapat memperbaiki keadaan ekonomi keluarga.

Akhirnya si anak memiliki cita-cita untuk mejadi seorang direktur perusahaan multinasional

di masa depan. Kesemuanya itu dilakukan tanpa paksaan dan terasa begitu alamiah.

Kapitalisme pun dapat terus dilanggengkan dalam kondisi yang seperti itu.

Dalam bahasa yang lebih spesifik, menurut Althusser ideologi itu telah bercokol di

setiap sudut kehidupan manusia. Dunia seorang manusia merupakan dunia yang terbingkai

oleh struktur. Dalam kapitalisme, maka struktur yang membingkai manusia tidak lain adalah

struktur eksploitatif yang memiliki watak menindas. Akan tetapi dengan adanya ideologi,

manusia mempercayai begitu saja bahwa segala struktur yang tengah mengitarinya sebagai

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

sesuatu yang tampak alamiah dan sudah sewajarnya seperti itu, sehingga manusia pun enggan

menanyakan ulang mengenai struktur tersebut. Manusia menjalani tujuan dari struktur

tersebut secara mekanis. Kalaupun manusia merasa bebas dalam kehidupannya, itu tidak lain

sekadar efek samping agar manusia seolah-olah memiliki tanggungjawab. Dengan begitu

manusia akan memiliki kewajiban untuk melayani kepentingan struktur yang mengitarinya

tanpa terbebani sama sekali.

Ketidaksadaran manusia sebagai efek dari ideologi dalam pandangan Althusser

tersebut pada dasarnya dipinjam olehnya dari penafsiran Lacan terhadap psikoanalisa

Freudian, tentu itu tidak mengherankan mengingat bahwa Althusser juga sangat mengagumi

psikoanalisa, bahkan Althusser menulis esai yang cukup panjang yang berjudul Freud and

Lacan di tahun 1964. Untuk itu perlu dipahami bahwa apa yang psikoanalisis dari teori

ideologi Althusserian adalah mengenai problem ketidaksadaran dan kaitannya dengan subjek.

Sebagaimana yang dapat kita telusuri, Lacan merupakan seorang psikoanalis yang

secara panjang lebar membahas mengenai terbentuknya subjek. Proyek utamanya berbicara

seputar narcissism, the image, the ideal dan menjawab bagaimana kepribadian mampu

melampaui batas tubuh dan dikonstitusi oleh kompleksitas jaringan sosial4 Dalam kaitannya

dengan hal tersebut, formulasi Lacan yang paling awal adalah teorinya mengenai fase cermin

(mirror phase). Di mana Lacan bermula pada anggapan bahwa semua manusia lahir secara

prematur. Dalam pengertian yang seperti itu, Lacan melihat bahwa seorang bayi yang berusia

6-18 bulan belumlah dapat mengenali perbedaan antara diri dan objek seluarnya. Untuk itu

pemahaman si bayi mengenai identitasnya diperoleh melalui cermin. Melalui cermin, bayi

melihat kenampakan dirinya sendiri. Di situ si bayi akan mengidentifikasi dirinya dengan

membandingkan pantulan dirinya sendiri di cermin itu sebagai sesuatu yang lain.

Konteks psikoanalisa Lacanian inilah yang menggiring Althusser untuk masuk pada

problem subjektifikasi. Dari sini subjektifikasi di artikulasikan oleh Althusser sebagai

penciptaan individu sebagai subjek. Dalam hal ini subjektifasi dilakukan oleh aparatus

ideologis, sehingga subjektifasi tidak lain adalah proses pencerminan atas subjek yang

diharapkan dan diidealkan oleh aparatus ideologis itu sendiri. Di mana setiap subjek yang

terbentuk akan menyesuaikan diri, berpatisipasi, dan bertindak patuh terhadapnya. Sementara

itu ideologi sebagai cara kerja aparatus ideologis berfungsi untuk menjalankan subjektifikasi.

Dalam skema yang seperti itu, seorang teortikus komunikasi, yaitu John Fiske yang

telah mengenalkan teori ideologi Althusser untuk kajian media memandang bahwa terdapat

                                                                                                                         4    Lihat  Darian  Leader  &  Judy  Groves,  Introduction  Lacan  (Cambridge:  Icon  Books,  2000),  hlm.  13.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

problem akan bagaimana melakukan perubahan sosial dalam kerangka pemikiran Althusser.

Di dalam bukunya Introduction To Communication Studies, pertama-tama Fiske

mengelaborasi pemikiran-pemikiran mengenai ideologi dari pemikir marxis secara umum.

Dari situ Fiske lalu melihat bahwa dalam tradisi marxis, perubahan sosial a’la Marx tidak

dapat dielakan (inevitable), sementara pada Gramsci perubahan sosial adalah mungkin

(possible), dan pada Althusser perubahan sosial adalah mustahil (improbable). Bagi Fiske,

perubahan sosial dari Marx tidak terelakan karena tujuannya yang ingin membebaskan

manusia dari ideologi dengan sains yang bermuara pada hadirnya kontradiksi pada moda

produksi kapitalis. Sementara itu pada Gramsci, perubahan sosial bahkan lebih dimungkinkan

karena adanya ideologi yang menjadi hegemoni tandingan (counter hegemony), dan itu dapat

menghantam formasi sosial kapitalis secara langsung. Sebaliknya pada Althusser, perubahan

sosial menjadi mustahil karena manusia setiap detiknya selalu terendam oleh fomasi sosial

utamanya melalui aparatus ideologis, sehingga di tangan Fiske, teori ideologi Althusser

nampak jatuh pada suatu pesimisme belaka.

4.2 Overdeterminasi sebagai relasi Baru Basis-Suprastruktur

Apabila kita membaca teori ideologi Althusser seperti itu, tentu komentar dan

kesimpulan yang akan kita dapatkan adalah seperti halnya Fiske, bahwa Althusser telah gagal

dalam menyediakan agenda perubahan sosial. Akan tetapi, kita juga harus mengingat bahwa

sebelum Althusser menuliskan teori ideologinya yang sangat ekstrim tersebut, Althusser telah

menuliskan sebuah karya lainnya, utamanya yang terpenting adalah For Marx dan Reading

Capital. Di mana dua buah karya tersebut mengurai mengenai kespesifikasikan capital dan

kaitannya dengan sains dan filsafat marxis. Di mana sains marxis, yaitu sains sejarah

merupakan sains yang mengkaji formasi sosial, sementara filssafat marxis bertugas menjadi

dasar epistemologis bagi produksi pengetahuan sains.

Perlu dicatat bahwa dalam Reading Capital dan utamanya dalam For Marx, Althusser

mempersoalkan mengenai tesis fundamental basis-suprastruktur. Hal ini menjadi penting

karena dalam tafsir umum terhadap marxisme, tesis fundamental terhadap bangunan metafor

masyarakat itu kerap digambarkan sebagai basis yang mendeterminasi suprastruktur. Dalam

artian bahwa moda produksi (ekonomi) menentukan segala macam aspek suprastruktur yang

ada di atasnya seperti sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Untuk itu Althusser

merekonstruksi relasi satu arah yang kerap dipahami sebagai basis mendeterminasi

suprastruktur menjadi relasi yang resiprokal, dalam arti bahwa menurut Althusser antara basis

maupun suprastruktur memiliki problematika dan logika di internalnya masing-masing.

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Pandangan baru terhadap relasi basis-suprastruktur dari Althusser itu pertama-tama

dijajaki olehnya dengan kembali pada capital Marx, dalam arti Althusser hendak mencari apa

yang sebetulnya ada di dalam pikiran Marx yang sesungguhnya, yaitu suatu authentic

principles dari Marx itu sendiri.5 Dan dalam misi pencarian tersebut, Althusser mengklaim

bahwa tesis dasar marxisme mengenai basis yang mendeterminasi suprastruktur adalah keliru.

Sebabnya bila memahami marxisme seperti itu, maka menurut Althusser kita akan terjebak

pada suatu idealisme hegelian. Padahal, menurut Althusser intensi Marx adalah lepas dari

seluruh pengaruh hegelianisme.

Althusser sendiri melihat bahwa yang menjadi titik tolak dari pandangan determinasi

satu arah bersumber pada tafsiran umum terhadap Marx mengenai “membalikan Hegel”

(Inverting Hegel). Perlu dipahami sebelumnya bahwa dalam Hegel proses pikiran (process of

thought) itu dilalui via otonomi subjek di bawah ide yang merepresentasikan fenomena

eksternal.6 Sementara itu bagi Marx ide itu tak berarti apa-apa melainkan justru yang material

itulah yang diterjemahkan dalam kepala manusia. Skema pembalikan itu tentu juga kian akrab

bagi pemahaman umum kita tatkala setiap dari kita menyebut Marx, maka seketika terlintas

mengenai Hegel. Kita pun biasa memaknai dialektika Marx sebagai sekadar pemadatan dari

idealisme hegelian ke dalam bentuk material.

Sementara itu, menurut Althusser momen lepasnya Marx dari pengaruh Hegel melalui

‘pembalikan’ justru jangan ditafsirkan sebagai apa yang lebih esensial dari apa, bukan lagi

pada mana yang lebih esensial di antara ekonomi atau idea, melainkan bahwa sebetulnya

kecenderungan Marx sudah sejak awal tidak menempatkan basis (ekonomi) sebagai esensi

absolut. Dalam pengertian bahwa pembalikan semmacam itu tetaplah terjebak dalam sebuah

dialektika hegelian (exact mirror image of the Hegelian dialectic), bahwa seolah-olah ada

suatu esensi yang menggerakan fenomena.7

Untuk menunjukan kesalahpahaman dari tesis dasar tersebut, Althusser kian

menengok sejarah yang memperlihatkan bahwa betapa pada abad pertengahan, religiositas

yang mewujud pada tubuh kekuasaan Gereja itu nyatanya lebih kuat daripada ekonomi itu

sendiri, tetapi justru melalui situasi seperti itu pelanggengan sistem feodal tetap terjadi.

Sehingga menurut Althusser, antara basis dan suprastruktur itu dapat saling mempengaruhi,

                                                                                                                         5    Ibid.,  109.  6    Althusser,  For  Marx,    hlm.  89.  7    Mengenai  hal   ini  Althusser  mengatakan  bahwa   tafsir   umum  melihat:  “While   for  Hegel,   the  politico-­‐ideological  was  the  essence  of  the  economic,  for  Marx,  the  economic  will  be  the  essence  of  the  politico-­‐ideologi-­‐cal.”  Artinya   bagi   Althusser   bila  Marx   ditafsirkan   demikian,   maka  Marx   menjadi   tetap   seperti   Hegel,   dalam  artian  sama-­‐sama  percaya  pada  suatu  esensialisme.    Ibid.,  108.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

inilah yang kemudian disebut oleh Althusser sebagai overdeterminasi. Konsekuensinya

suprastruktur seperti politik, ideologi, hukum dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi

basis secara relatif. Di situ suprastruktur memiliki suatu konsistensi internalnya sendiri yang

tidak selalu harus tunduk terhadap basis.

Untuk memperkuat argumentasinya mengenai overdeterminasi tersebut, Althusser

berhutang budi terhadap gagasan yang ditulis oleh Mao Tse-Tung berjudul On Contradiction.

Singkatnya, Althusser menanggapi tulisan Mao itu ke dalam tiga konsep yang menurutnya

luar biasa. (1) distingsi antara kontradiksi pokok dan kontradiksi sekunder, (2) distingsi antara

aspek pokok dan aspek sekunder dari tiap-tiap kontradiksi, (3) perkembangan tak seimbang

(uneven development) dari kontradiksi.8

Selebihnya perhatian Althusser difokuskan pada konsep ketiga yakni mengenai

perkembangan tak seimbang dari kontradiksi. Dengan cara berfokus pada konsep yang ketiga,

kespesifikasikan dari relasi antar kontradiksi tersebut dapat terlihat dengan jernih.

Bahwasanya relasi antar kontradiksi ternyata tidak statis dan seimbang, melainkan dinamis

dan selalu tidak seimbang. Sebabnya antara kontradiksi pokok dengan kontradiksi sekunder

dapat bertukar peran. Pun aspek-aspek di dalam kontradiksi pokok maupun pada kontradiksi

sekunder itu sendiri juga dapat bertukar peran.9

Elaborasi Althusser terhadap tulisan Mao tersebut sebetulnya dapat dipahami dari

konteksnya, yaitu sudut pandang problem ‘pembalikan’ yang menyibak inti rasional dalam

cangkang mistis (the rational kernel within the mystical shell). Dan sebagaimana komentar

yang disampaikan oleh seorang komentator pemikiran Althusser yang bernama Callinicos,

bahwa inti rasional dalam cangkang mistis dari Marx yang dikutip oleh Althusser itu

sebetulnya sedang merujuk pada konsepsi dasar dari sejarah yang dimotori oleh kontradiksi

internal di dalamnya.10 Latar berlakang mengenai kontradiksi internal itulah yang sebetulnya

sedang digarap dan ingin dienyahkan oleh Althusser melalui elaborasinya terhadap Mao. Hal

ini dilakukan Althusser karena menurutnya apabila kita mempertahankan kontradiksi internal

belaka, maka itu persis seperti dialektikanya hegelian. Di mana dialektika hegelian itu adalah

sesuatu hal yang harus dihindari karena tidak dapat memproduksi pengetahuan dan hanya

berputar-putar di dalam penciptaan diri konsep belaka.

Dalam kaitannya dengan kontradiksi internal, maka adalah perlu membicarakan relasi

internal yang dipahami sebagai sebab internal perubahan. Dalam pengertian yang seperti itu,

                                                                                                                         8    Althusser,  For  Marx,  hlm.  194.  9    Ibid.,  211.  10    Lihat  Alex  Callinicos,  Althusser's  Marxism  (London:  Pluto  Press,  1976),  hlm.  40.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Mao memandang bahwa pada materialisme maka sebab internal saja tidak cukup, melainkan

baginya perlu untuk mempertimbangkan adanya sebab eksternal.11 Untuk itu Mao selanjutnya

mengerahkan pikirannya untuk meneliti mengenai adanya sebab-sebab tersebut dalam

kaitannya dengan perubahan. Sebuah ilustrasi sederhana pun sekiranya telah diberikan oleh

Mao agar kita dapat mengerti alur pikirnya secara lebih mudah. Di mana Mao mencontohkan

bahwa dengan suhu yang cocok, telur berubah menjadi anak ayam, tetapi suhu tak mungkin

mengubah batu menjadi anak ayam, karena dasar masing-masing berbeda.12

Dengan cara seperti itu, sebab internal adalah syarat utama bagi perubahan, misalnya

telur ayam pasti melahirkan anak ayam. Sementara itu sebab eksternal akan memainkan

peranannya dengan cara mengkonstitusi sebab internal tersebut. Seperti halnya pada suhu

tertentu maka telur ayam akan menetas menjadi anak ayam, namun satu hal yang paling pasti,

suhu memang tidak akan pernah sekalipun mengkonstitusi telur ayam untuk menetas menjadi

batu. Atau paling tidak bila suhu di luar sedang tidak bersahabat maka yang paling mungkin

hanyalah telur ayam menjadi busuk namun tetap disebut sebagai telur ayam.

Sementara itu, bila kita kembali berbicara mengenai relasi internal, maka relasi

internal itulah yang sebetulnya merupakan kontradiksi. Dalam pengertian bahwa setiap

kontradiksi selalu memiliki relasi internal yang bersifat antagonistik. Di sisi lain, Mao juga

memandang bahwa dalam alam dunia ini terdapat keragaman kontradiksi. Dengan suatu

asumsi bahwa ditengah keragaman kontradiksi terdapat kontradiksi yang dominan, yakni

suatu kontradiksi yang kehadirannya akan mempengaruhi kontradiksi-kontradiksi lainnya.

Kontradiksi dominan itulah yang tidak lain merupakan kontradiksi pokok. Sementara

kontradiksi lainnya yang tidak dominan disebut sebagai kontradiksi sekunder. Sebagai contoh

kontradiksi pokok yang ada pada kapitalisme adalah pertentangan antara borjuis dan proletar.

Kontradiksi lainnya yang bersifat sekunder adalah kontradiksi antara proletar dan petani

borjuis kecil.

Berangkat dari elaborasinya terhadap Mao itulah Althusser mengaitkannya secara

lebih eksplisit dengan mengatakan bahwa suprastruktur dapat mendeterminasi balik dengan

otonomi relatifnya terhadap basis. Relatifnya otonomi suprastruktur tersebut sekiranya telah

menghidupkan kembali visi kontradiksi pokok Mao dengan mempertimbangkan adanya tukar

                                                                                                                         11    Perlu   dicatat   bahwa   dalam   terjemahan   Indonesia,   istilah   sebab   internal   dan   eksternal   tersebut  dibahasakan   sebagai   ‘sebab   dalam’   dan   ‘sebab   luar’.   Saya   di   sini  menggantinya   dengan   ‘sebab   internal’   dan  ‘sebab  eksternal’  agar  koherensi  penelitian  saya   ini   tidak  kacau  secara   linguistik.  Lihat  uraian  Mao  Tse-­‐Tsung,  Tentang   Kontradiksi,   1937.   Buku   terjemahan   Mao   tersebut   saya   dapatkan   pada        https://www.scribd.com/doc/229749578/Mao-­‐Tentang-­‐Kontradiksi  12    Ibid.,  4  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

peran antara aspek pokok dan sekunder. Dengan kata lain, dalam proyek purifikasi

marxismenya tersebut, Althusser dapat kita pandang tengah mengelaborasi Mao sebagai jalan

keluar agar kontradiksi internal jangan sampai disalah-artikan sebagai kontradiksinya

hegelian. Atau dalam bahasa yang lebih spesifik, Althusser berusaha melihat inti rasional dari

cangkang mistis tanpa terjebak pada pemahaman akan kontradiksi internal belaka, terhindar

dari kausalitas mekanis sehingga terhindar pula dari adanya esensi yang menggerakan

fenomena.

4.3 Massa sebagai Agen Perubahan Sosial

Berbicara mengenai marxisme secara umum tentu tidak akan lengkap bila kita tidak

menyinggung mengenai kelas sosial maupun perjuangan kelas. Terlebih mengingat bahwa

pada konsepsi Althusser, dua term tersebut merupakan fondasi teoritik dari sains sejarah itu

sendiri. Dalam pengertian seperti itu, Althusser dengan mengamini Marx memandang bahwa

masyarakat dapat dianalisis pada satuan kelas-kelas sosial yang terdiri dari kelas borjuis dan

kelas proletar. Di mana relasi yang terjalin antara kelas borjuis dan kelas proletar itu adalah

relasi antagonistik dan tidak terdamaikan sama sekali. Antagonisme itu sendiri bermula

karena adanya suatu eksploitasi yang dilakukan oleh kelas borjuis terhadap kelas proletar.

Menurut Althusser, muara dari adanya kelas sosial tersebut adalah adanya perjuangan

kelas dari proletar. Perjuangan kelas proletariat dalam pandangan Althusser sendiri

merupakan sesuatu yang objektif dan merupakan keniscayaan dari moda kapitalistik yang

eksploitatif. Untuk itu, Althusser mengkalim bahwa ada semacam ‘naluri kelas’ yang dimiliki

oleh borjuis maupun proletar. Untuk yang disebutkan pertama memiliki ‘naluri kelas’ yang

borjuis, sementara yang disebutkan kedua memiliki ‘naluri kelas’ yang proletariat.13

Bagi Althusser sendiri, para borjuasi senantiasa dibutakan oleh ideologi borjuisnya,

sehingga dengan cara apapun borjuasi menutupi adanya eksploitasi yang tengah dilakukan

olehnya. Sementara itu, kaum proletar menurut Althusser memang sedikit banyak tenggelam

dalam imaji-imaji ideologi borjuis, namun Althusser menunjukan bahwa kaum proletar tidak

akan gagal dalam melihat eksploitasi yang tengah menimpanya. Hal itu dapat terjadi karena

kaum proletarlah yang setiap harinya menjalani eksploitasi tersebut, sehingga pada galibnya

kaum proletar memiliki prasangka bahwa dirinya sedang ditindas.

                                                                                                                         13    Althusser,  Filsafat  sebagai  Senjata  Revolusi,  hlm.  115.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Dalam kaitannya dengan sejarah, Althusser memandang bahwa hanya massa yang

dapat membuat sejarah.14 Pertanyaanya kemudian massa yang seperti apa yang dimaksudkan

oleh Althusser? Bagi Althusser massa yang akan membuat sejarah merujuk pada massa yang

tertindas, yakni kelas-kelas sosial, strata sosial, kategori-kategori sosial yang tertindas, bersatu

dalam kelas tertindas yang mampu menyatukan mereka dalam suatu gerakan melawan kelas-

kelas dominan yang memegang kekuasan negara15

Oleh karenanya, kita perlu meluruskan bahwa di dalam kerangka pemikiran Althusser,

secara tegas dibedakan antara subjek dan massa. Apabila subjek itu lebih merupakan entitas

dari manusia-manusia yang partikular seperti Haryo sebagai subjek, Kardi sebagai subjek dan

lain sebagainya. Massa merupakan unikum manusia yang disatukan oleh kondisi dan

pengalaman bersama akan ketertindasan tersebut. Sementara itu pada konteks kapitalisme,

massa proletariatlah yang akan membuat sejarah.16 Di mana muasal dari penindasan yang

dialami oleh proletariat adalah akibat corak produksi yang eksploitatif.

Lebih lanjut, dengan adanya otonomi relatif dari suprastruktur kemudian

mengindikasikan bahwa aparatus ideologis yang ditentukan oleh basisnya, pada suatu waktu

juga dapat mempengaruhi basisnya itu sendiri. Artikulasi dari otonomi relatifnya itu paling

jelas dapat kita lihat pada hadirnya partai komunis. Dalam kaitannya dengan hal itu, apa yang

tengah dilakukan Althusser sebetulnya adalah menggarisbawahi kembali mengenai arti

pentingnya organisasi buruh seperti peran partai yang dapat mengorganisir buruh itu sendiri

berdasarkan teori-teori ilmiah dari sains sejarah.

Apabila kita berbicara subjek, maka yang nampak adalah tindakan subjek yang

dideterminir oleh aparatus ideologis. Akan tetapi, nyatanya menurut Althusser bukanlah

subjek yang membuat perubahan sosial, melainkan massa yang akan bertindak berdasarkan

keterangan-keterangan dari sains sejarah dengan memanfaatkan aparatus ideologis itu sendiri.

Di mana partai dalam hal ini merupakan wujud organisasi massa yang merupakan bagian dari

aparatus ideologis dan terletak pada dimensi suprastruktur.

4.4 Interpelasi Diferensial

Di dalam penelitian ini saya hendak menawarkan suatu konsep baru agar seluruh

bangunan teoritik Althusserian mengenai sains sejarah dapat kita baca secara positif, yaitu

sebuah konsep yang saya sebut sebagai ‘interpelasi diferensial’. Berangkat dari pembacaan

                                                                                                                         14    Althusser,  Essays  in  Self  Critism,  hlm.  44.  15    Ibid.  16    Ibid.,  47.  

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

yang saya lakukan terhadap teks-teks Althusser, istilah tersebut tentu tidak akan pernah kita

temui sama sekali. Meskipun begitu, saya merasa bahwa kecenderungan dari bangunan

teoritik Althusserian dapat disederhanakan melalui konsep tersebut. Hanya saja ia memang

tidak menyampaikannya secara eksplisit

Pertanyaanya kemudian, mengapa interpelasi diferensial yang terjadi dalam kerangka

pemikiran Althusser? Jawaban dari pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mudah,

bahwasasnya alur bepikir Althusser sejatinya tidak mengizinkan subjek untuk melakukan

resistensi sama sekali, satu-satunya agensi adalah proletariat yang memiliki cita rasa bersama

akan ketertindasan, sehingga interpelasi diferensial berarti segala macam interpelasi yang

dilakukan oleh aparatus ideologis untuk memanggil dan menguatkan prasangka dan ‘naluri

kelas’ yang dimiliki oleh proletariat untuk menjalankan revolusi.

Interpelasi dalam hal ini berarti juga merupakan sesuatu yang netral dan dan akan

selalu dibutuhkan pada setiap masyarakat. Dalam konteks formasi sosial kapitalis yang berisi

antagonisme kelas, maka interpelasi di satu sisi akan berguna untuk melanggenkan status quo,

namun di sisi lain interpelasi juga memiliki daya revolusionernya tersendiri. Apabila aparatus

ideologis pada masyarakat kapitalis menginterpelasi individu sebagai subjek untuk

mengafirmasi relasi-relasi produksi yang sebetulnya penuh penindasan, maka aparatus

ideologis seperti partai komunis pada masyarakat kapitalispun dapat pula menginterpelasi

proletariat; individu sebagai subjek untuk memperkuat prasangka secara saintifik bahwa

dirinya memang tengah ditindas. Dari situ interpelasi diferensial dapat saya terjemahkan

sebagai upaya pemanggilan imajiner subjek yang berbeda bila dibandingkan dengan

pemanggilan imajiner subjek secara umum.

Dengan adanya overdeterminasi yang memungkinkan terjadinya otonomi relatif

terhadap suprastruktur, yang dalam hal ini adalah aparatus ideologis, maka perubahan sosial

menjadi mungkin. Resistensi tetap dapat dilangsungkan pada formasi sosial kapitalis

sekalipun yang secara ekstrim telah menjadikan individu sebagai subjek. Dalam bahasa lebih

yang sederhana, interpelasi diferensial merupakan interpelasi tandingan. Di mana massa

proletariat sebagai agen perubahan sosial akan memanfaatkan cara kerja dari interpelasi itu

sendiri. Dari sini dapat kita dengungkan ungkapan penutup bahwa ‘there is an alternative!’

5. Kesimpulan

Secara garis besar, penelitian ini ditujukan untuk menjawab satu hal yang cukup

krusial, yakni mungkinkah terjadinya perubahan sosial dalam kerangka pemikiran Althusser?

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Dengan berangkat dari seluruh paparan yang saya berikan, maka jawaban yang dapat saya

katakan adalah ‘mungkin!’. Dalam segala kemungkinannya itu, satu hal yang paling pasti

adalah kita tidak mungkin dapat membaca Althusser tanpa mengaitkannya pada konteks, serta

mengaitkannya pada seluruh esai-esai yang dituliskan olehnya, karena bagaimanapun

Althusser memang lebih tertarik menuliskan pikiran-pikirannya dalam bentuk esai. Di situlah

letak kesederhanaan dari seorang Althusser beserta keterbatasannya, sehingga hanya berfokus

pada salah satu esainya saja berarti mereduksi kekayaan dari kompleksitas pemikiran

Althusser itu sendiri.

Pada mulanya, problem utama yang sedang diangkat dalam penelitian ini sebetulnya

berangkat dari sebuah esai yang berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes

towards an Investigation). Di dalam esai tersebut Althusser membangun konsepsi ideologi

yang telah selalu menginterpelasi individu sebagai subjek. Dalam skema yang seperti itu,

sepintas bahwa subjek tidak dapat melakukan resistensi sama sekali terhadap dimensi

sosialnya. Ideologi menjadi begitu maha kuasa terhadap subjek, dan subjek itu sendiri tunduk

dan patuh terhadap ideologi dominan, dalam hal ini ideologi dominan yang dimaksudkan

Althusser adalah kapitalisme. Hal itu kemudian kian dikaitkan dengan apa yang disebut

sebagai reproduksi relasi-relasi produksi, di mana hal tersebut diamankan secara ideologis

oleh berbagai macam aparatus ideologis negara yang berupa institusi-institusi sosial,

tujuannya melanggengkan tatanan masyarakat kapitalis, status quo pun terjadi.

Meskipun demikian, tesis akan kemustahilan perubahan sosial dari kerangka

pemikiran ideologi Althusser sebetulnya hanya akan terjadi apabila bangunan metafor

masyarakat dideskripsikan secara deterministik. Dalam artian hal itu hanya akan berlaku jika

formasi sosial berisi pandangan mengenai basis yang mendeterminasi suprastruktur. Di mana

basis (moda produksi kapitalistik) mendeterminasi seperangkat suprastruktur yang ada di

atasnya untuk melayani dan mengamankan kepentingan basisnya. Bila yang terjadi seperti itu,

maka interpelasi yang dilakukan berbagai macam aparatus ideologis terhadap individu untuk

menjadikannya subjek semata-mata hanya untuk mengafirmasi tatanan kapitalisme itu sendiri.

Berangkat dari problem tersebut, penelitian ini kemudian menelusuri secara lebih

mendalam akan rumitnya pemikiran Althusser, hingga tiba pada suatu titik awal bahwa di

dalam karya awal Althusser, utamanya For Marx dengan esainya Overdetermination and

Contradiction. Althusser telah merumuskan mengenai overdeterminasi yang isinya

menyatakan bahwa suprastruktur memiliki otonomi relatif tersendiri terhadap basisnya, di

saat yang sama basis diletakan sebagai pokok penentu dalam hal akhir. Konsep

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

overdeterminasi itulah yang sekiranya luput diperhatikan oleh Fiske, maupun khalayak lain

yang sedang membaca pemikiran ideologi Althusser.

Untuk itu apabila kita berbicara mengenai teori ideologi Althusser dengan nada yang

pesimistik seperti Fiske, maka sebetulnya nada pesimisme tersebut telah lenyap tatkala

konsep interpelasi bertemu overdeterminasi. Di mana kehadiran konsep interpelasi itu sendiri

memiliki selisih tiga tahun bila dibandingkan dengan konsep overdeterminasi pada saat kedua

konsep tersebut diterbikan oleh Althusser di Perancis. Dengan hadirnya dua konsep tersebut,

agenda perubahan sosial di dalam kerangka pemikiran Althusser menjadi mungkin. Hal ini

karena overdeterminasi menyisakan ruang bagi suprastruktur seperti aparatus ideologis untuk

tidak tunduk terhadap basisnya, konsekuensinya interpelasi yang dilakukan pun dapat berbeda

dengan interpelasi yang diidealkan oleh basisnya tersebut. Dalam bahasa yang lebih

sederhana, konsistensi internal yang dimiliki oleh suprastruktur maupun basis mengakibatkan

determinasi yang saling resiprokal.

Berbicara mengenai subjek, maka dalam pemikiran Althusser subjek itu pada galibnya

memang hanya menjadi hamba dari seluruh konstruksi sosial yang ada, namun itu bukan

berarti tindakan agensi menjadi mustahil, bagaimanapun Althusser justru melihat bahwa

perubahan sosial itu hanya dapat dilakukan oleh massa, yakni kumpulan orang-orang paling

lemah dan selalu tertindas yang lahir dari kontradiksi basis kapitalistik itu sendiri. Massa

dalam pemikiran Althusser kemudian diatribusikan pada massa proletariat, di mana

menurutnya proletariat tidak akan pernah gagal untuk memiliki prasangka bahwa dalam

tatanan kapitalisme dirinya sedang ditindas.

Berangkat dari hal tersebut, saya menyimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan

overdeterminasi dan interpelasi, yang terjadi adalah interpelasi diferensial, yaitu suatu

pemanggilan subjek yang berbeda bila dibandingkan dengan pemanggilan subjek secara

umum. Hal ini erat kaitannya dengan suprastruktur yang memiliki otonomi relatifnya

tersendiri seperti pada partai komunis yang dapat mengorganisir massa untuk melakukan

revolusi, hanya terhadap massa interpelasi diferensial dapat berlaku. Di mana partai komunis

akan memberikan keterangan saintifik kepada proletariat untuk menyibak realitas

sebagaimana mestinya. Apabila kita kembangkan lagi, tidak hanya partai komunis saja yang

dapat memperkuat prasangka proletariat, melainkan segala macam suprastruktur lainnya

seperti film, musik, teater dan lain sebagainya juga dapat menginterpelasi proletariat untuk

melakukan resistensi. Dengan demikian, overdeterminasi telah membuka ruang bagi

terjadinya interpelasi diferensial sehingga perubahan sosial dimungkinkan dalam kerangka

pemikiran Althusser.

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

6. Daftar Pustaka

Buku Primer :

Althusser, Louis . Essays in Self Critisism. Prepared © for the Internet by David J.

Romagnolo. 2003.

. ., dan Étienne Balibar, Reading Capital part 1-3. Prepared © for the Internet

by David J. Romagnolo. 2002.

. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta:Resist-Book.2007.

. For Marx. London: Verso.1997.

. Lenin and Philosophy and Other Essays. London:Monthly Review Press.

1971.

. . The Humanist Controversy and Other Writings. London:Verso. 2003.

Buku Sekunder :

Adian, Dony Gahral. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Idoelogi Kontemprer. Depok:

Koekoesan. 2011.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.

Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Perancis. Jakarta:Gramedia. 1985.

. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:Kanisius. 1979.

Bracher, Mark, et al, Lacanian Theory of Discourse: Subject, Structure, and Society. New

York: New York University Press. 1994.

Callinicos, Alex, Althusser's Marxism. London: Pluto Press. 1976.

C.Downling, William. Jameson, Althusser, Marx: an Introduction to The Political

Unconscious. New York: Cornell University Press. 1984.

D.Scrift, Alan. Twentieth-Century French Philosophy: Key Theme and Thinkers.

Oxford:Blackwell Publishing. 2006.

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

E.Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. 1969.

Fiske, John. Introduction To Communication Studies. London:Routledge. 1990.

Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.

Yogyakarta:Kanisius. 1990.

Hargens, Boni. Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam

Perspektif Postmarxis-Postmodern Ernesto Laclalu dan Chantal Mouffe. Jakarta:Parhesia.

2006.

Kolakowski, Leszek. Main Current of Marxism vol III: The Breakdown. Oxford: Clarendon.

1978.

Leader, Darian., dan Judy Groves, Introduction Lacan, Cambridge:Icon Books, 2000.

Mandel, Ernest. The Marxist Theory of the State. New York:Pathfinder Press. 1971.

McCarthy, E. Doyle. Knowledge as Culture: The New Sociology of Knowledge. New York:

Routlege. 1996.

McLellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Bantul: Kreasi Wacana. 2014.

Njoto. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Harian Rakjat. 1962.

Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta:

Gramedia. 2012.

Shindunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia. 1982.

Suroso, Suar. Marxisme Subuah Kajian: Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah. Jakarta: Hasta

Mitra. 2009.

Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Mrxisme Dari Lenin

Sampai Tan Malaka. Jakarta:Gramedia. 2005.

Takwin, Bagus. Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga

Bordieu. Yogyakarta:Jalasutra. 2003.

Zeleny, Jindrich. Logika Marx. Hasta Mitra. 2004.

Skripsi/Tesis :

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

Ahmad. Pemikiran Politik Hegel Tentang Negara: Fasisme atau Demokrasi. Tesis pada

Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. 2003.

Budiman, Krisna. Dolar Amerika Serikat sebagai Alat Hegemoni (1944—2000): Tinjauan

Filosofis tentang Ekonomi Polotik Global. Skripsi pada Program Sarjana Ilmu Filsafat FIB

UI. 2010.

Hikmawan, M.Dian. Kajian Fenomenologi Terhadap Ideologi: Afektivitas Dan Historisitas

Sebagai Syarat Yang Memungkinkan Terjadinya Interpelasi. Skripsi pada Program Sarjana

Ilmu Filsafat FIB UI. 2013.

Artikel Online:

Marx, Karl. Preface a Contribution to the Critique of Political Economy. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1859/critique-pol-economy/preface-abs.htm

Harman, Chris. Base and Superstructure. https://www.marxists.org/archive/harman/1986/xx/base-

super.html

Pendahuluan Manifesto Partai Komunis, https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-

engels/1848/manifesto/manpend.htm#in48

Makalah :

Awang A.R, Hashim. Strukturalisme:Satu Tinjauan dari Segi Teori dan Aplikasi. Universiti

Malaya.

Thomas, Christophe. Introduction to Differential Calculus. University of Sydney. 1997.

Spade, Paul Vincent. Jean-Paul Sartre’s Being and Nothingness. Class Lecture Notes. 1995.

Jurnal :

B.Smith, Steven. Ideology and Interpretation: The Case of Althusser. Poetics Today. Vol. 10,

No. 3, Autumn. 1989.

Burawo, Hael. Marxism As Science: Historical Challenges And Theoretical Growth dalam

American Sociological Review, Vol. 55,  December. 1990.

Goldstein, Philip. Althusserian Thory: From Scientific Truth to Institutional History, Studies

in 20th Century Literature, Vol. 18, No. 1 Winter. 1994.

Poster, Mark. Althusser on History Without Man. Political Theory, Vol. 2, No. 4 Nov., 1974.

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015

R. Cressey, Donald. The Differential Association Theory And Compulsive Crimes, Journal of

Criminal Law and Criminology Vol 45. 1954.

Karangan Anonim/Tidak Terpublikasikan :

Anonim. The Polemic of The General Line of The International Communist Movement,

Peking:Foreign Languages Press. 1965.

Tse-Tsung, Mao. Tentang Kontradiksi. 1937.

Lenin, Vladimir Illyich. The State and Revolution: The Marxist Theory of State and the Task

of the Proletariat in the Revolution.

 

Overdeterminasi sebagai..., Rizki Baiquni Pratama, FIB UI, 2015