osas fix
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir
sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan kondisi ini. Akan tetapi, kondisi
fisiologis ini dapat terganggu dengan adanya obstructive sleep apnea (OSA). 1
OSA merupakan salah satu kondisi medis terpenting yang ditemukan sejak
50 tahun yang lalu, menjadi penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia, serta lebih sering ditemukannya keadaan tertidur di sepanjang
waktu ketika orang normal seharusnya tidak tertidur pada waktu tersebut. 1
Beberapa tahun terakhir banyak penelitian yang mempelajari fisiologi tidur
dan gangguan gangguan tidur, seperti obstructive sleep apnea (OSA) dan central
sleep apnea (CSA). Ternyata 95% gangguan napas saat tidur adalah obstruksi
saluran napas atas dan 5% adalah gangguan sistem saraf pusat. 2
Gangguan pernapasan saat tidur dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Di Amerika sekitar 12 juta orang usia 30–60 tahun menderita OSA dan
setiap tahun 38.000 meninggal karena penyakit kardiovaskular yang berhubungan
dengan gangguan pernapasan saat tidur. Sekitar 40–50% penderita gagal jantung
kongestif menderita OSA. Gangguan ini menyebabkan progresifiti gagal jantung
dan prognosis yang buruk. 2
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah kelainan yang merupakan bagian dari
sleep disorder breathing syndrome yang kompleks. Sebenarnya gejala OSA sering
terjadi, namun sulit untuk dideteksi. OSA adalah keadaan terjadinya obstruksi
jalan napas atas secara periodik selama tidur yang menyebabkan napas berhenti.
secara intermiten, baik komplit (apnea) atau parsial (hipopnea). Diagnosis OSA
1
ditegakkan jika jumlah frekuensi penurunan aliran udara yang berhubungan
dengan kolapsnya saluran napas atau apnea-hipopnea index (AHI), lebih dari 5
kali dalam 1 jam tidur. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya periode arousal
(terbangun atau gelisah dalam tidurnya) dan tidur kembali. AHI diperoleh dengan
melakukan pemeriksaan polisomnografi. 3
Berdasarkan penelitian dilaporkan 24% pria dan 9% wanita dewasa
mempunyai angka kejadian atau AHI lebih dari 5x/jam. Dilaporkan bahwa 4%
pria, 2% wanita dan 1-3% pada anak mempunyai gejala OSA, termasuk adanya
gejala daytime hypersomnolence yang diakibatkan oleh kejadian apnea-
hipopnea. 3
Empat penelitian prevalensi berskala besar menyatakan satu dari lima orang
dewasa kulit putih yang memiliki rata-rata indeks massa tubuh (IMT) 25–28
kg/m2 memiliki AHI ≥5x/jam. Dilaporkan satu dari 15 pasien OSA memiliki AHI
15 atau lebih. 3
Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan yang kuat antara OSA
dengan penyakit sistem kardiovaskuler. Hal ini dibuktikan dengan laporan adanya
perbaikan pasien iskemia miokardm yang diterapi dengan continuous positive
airway pressure (CPAP), sedangkan CPAP sendiri merupakan terapi utama OSA.
Komplikasi penyakit kardiovaskuler yang diduga berhubungan dengan OSA
antara lain adalah hipertensi, gagal jantung kongestif, disfungsi diastolik, aritmia,
arteroskleosis koroner dan serebrovaskuler. OSA juga diduga dapat mencetuskan
penyakit stroke, infark miokard, angina pektoris atau iskemia ventrikular secara
mendadak. 3
2
OSA pada anak Pertama kali dilaporkan oleh Guillenimault dkk pada tahun
1976 pada 8 orang anak berusia 5 - 14 tahun berdasarkan manifestasi klinis dan
polisomnografi. Setelah dilaporkan adanya OSA pada anak, beberapa ahli mulai
meneliti lebih jauh tentang OSA pada anak. Kecurigaan adanya OSA ditandai
dengan ditemukannya mendengkur (snoring) pada anak. Prevalensi mendengkur
pada anak sekitar 3,2 – 12,1%, sedangkan prevalensi OSA 0,7 - 10,3%. Adanya
perbedaan yang cukup besar bergantung kepada metode yang digunakan. Dapat
digunakan polisomnografi (PSG) sebagai alat diagnosis baku emas untuk OSA
dan ada yang tidak menggunakan, demikian pula penggunaan definisi
mendengkur yang berbeda. 4
Faktor risiko OSA pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada
dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS, sedangkan
pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan yang
utama. 4
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi dan Fisiologi Faring
Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. 5
3
Faring terdiri atas: 5
a. Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring,
torus tubarius, kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba
Eustachius. Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana. 5
Struktur Nasofaring : 5
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Nasopharingeal Carcinoma.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
4
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing da
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei
b. Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina,
fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum. 5
a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut. 5
b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah ke luar bila terjadi abses. 5
c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu
tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi
tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa
makanan 5
c. Laringofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta
fossa piriformis. 5
5
Gambar 1. Struktur faring. 6
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan memanjang (longitudinal) dan
melingkar (sirkular). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu pada jaringan
ikat yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi atas
epiglotis, batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra servikal serta
esofagus di bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di bawah valekula adalah
permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis berfungsi melindungi glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus. Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal
dari pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari n. vagus,
6
cabang dari n.glossofaringeus dan serabut simpatis. Dari pleksus faringealis
keluar cabang-cabang untuk otot – otot faring kecuali m. stilofaringeus yang
dipersarafi langsung oleh cabang n. glosofaringeus. 5
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. 5
Gambar 2. Otot faring. 6
7
Fisiologi Pernapasan Saat Tidur
Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan
serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat
atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai
dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap
rangsangan dari luar. 7
Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu : 7
1. Fase rapid eye movement (REM) disebut juga active sleep.
2. Fase nonrapid eye movement (NREM) disebut juga quiet sleep.
Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui
osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan
tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah
ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergic
dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi neuron
kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus akan
kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi dari
retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat
dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi. 7
Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji.
Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan
dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R)
ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari
EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf
8
parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut,
peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju
pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi
neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang
secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil. 7
Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah diajukan
salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan memfasilitasi
peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron
yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari osilasi akan
berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps yang berlebihan.
Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal ini ditunjukkan
oleh penelitian menggunakan oksigen positron emission tomography (PET) yaitu
selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin menurun. Selama fase
REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama, kortek motorik dan
sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal asosiasional.
Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks dapat menjelaskan
sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke korteks prefrontal
dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi. 7
Pada orang dewasa normal, selama tidur volume tidal menurun 15–25% dan
lebih dangkal pada stage REM dibandingkan stage NREM. Frekuensi napas
meningkat perlahan selama stage NREM dan tidak teratur selama stage REM.
Pernapasan tidak teratur selama tidur REM disebabkan perubahan aktivitas
kortikal saraf pusat yang berhubungan dengan gerakan bola mata yang cepat atau
9
terdapat mimpi dan berlanjutnya stage NREM 1–2 ke stage tidur dalam 3–4 atau
gelombang tidur lambat, ventilasi menjadi teratur dan dipengaruhi kontrol sistem
regulasi metabolik. 2,8
Sejumlah kecil apnea pada orang normal timbul kurang dari 20 detik dan
frekuensinya kurang dari 5 kali dalam 1 jam tidur yang dapat menyebabkan
sedikit penurunan saturasi O2 dan sering timbul pada stage REM dan NREM
stadium 1–2 dan jarang pada stage NREM 3–4. Keadaan apnea ini meningkat
sesuai dengan umur, jenis kelamin laki–laki, obesiti dan riwayat mendengkur. 2,8
Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu : 7
1. Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan
tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz)
mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata.
Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit. 7
2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut
juga twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa
dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low
voltage mix frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM,
tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan
potensial EMG. Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara
lima sampai sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya. 7
3. Fase 2
10
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)
atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak
terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1.
Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit
dan bervariasi pada tiap individu. 7
4. Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan
gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,
tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit
fase 3 akan diikuti fase 4. 7
5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang
delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini
berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit. 7
6. Fase REM .
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti
fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG
tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang
biasanya berlangsung 10 –15 menit. 7
Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian
akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90
menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari
eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan
11
berulang kembali setiap 75 – 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan
keempat , fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek.
Siklus ini terjadi 4 – 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga
orang normal dengan lama tidur 7 – 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan
lama tiap siklus 75 – 90 menit. 7
Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga tengah,
sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak dalam fase 3
dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta sepertiga akhir
lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan relatif
dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki – laki muda (20 – 29
tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 – 90 tahun) akan memberikan
gambaran pola tidur yang berbeda. 7
Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur menurun
sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat gelisah dan
waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda 15% waktu
tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada orang tua,
demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu 28 % dari
pascapubertas menjadi 18% pada orang tua Hal ini menunjukkan bahwa tidur
menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya kesegaran sesuai
bertambahnya usia. 7
Gangguan Napas Saat Tidur
Gangguan napas saat tidur menggambarkan abnormalitas respirasi selama
tidur dengan keluhan dengkuran ringan sampai OSA yang mengancam jiwa.
12
Karakteristiknya adalah obstruksi saluran napas yang menyebabkan episode
hipoksia arteri berulang dan arausal (terjaga) sebagai hasil peningkatan upaya
respirasi. Tiga sindrom yang saling berhubungan adalah upper airway resistance
syndrome (UARS), obstructive sleep hypopnea dan obstructive sleep apnea. 2,9
III. OBSTRUCTIVE SLEEP APNE A SYNDROME (OSAS)
A. Definisi
OSA adalah keadaan hilangnya tonus muskulus dilator faring pada saat
tidur, yang menyebabkan kolaps faring rekuren dan henti napas sementara
(apnea). Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama
paling tidak 10 detik dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan
pergerakan torakoabdominal). Obstructive hypopnea adalah penurunan lebih dari
50% pergerakan torakoabdominal selama paling sedikit 10 detik, dihubungkan
dengan penurunan 4% saturasi oksigen. 1
Definisi menurut American Academy of Sleep Medicine Obstructive,
Obstruksi Sleep Apnea Syndrome (OSAS) ditandai oleh adanya episode berulang
dari obstruksi jalan napas sebagian atau total sewaktu tidur. Hal ini
bermanifestasi sebagai penurunan aliran udara (hipopnea) atau terhentinya aliran
udara (apnea) meski ada upaya inspirasi yang sedang berlangsung, sehingga
menyebabkan desaturasi oksigen. Adanya gejala kantuk yang berlebihan pada
siang hari yang dianggap berkaitan dengan gangguan tidur pada malam hari. 10
B. Klasifikasi
Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index
(AHI) menggunakan polisomnografi. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata
13
kejadian apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi salah satu
acuan tingkat keparahan OSA. 1,3
Derajat beratnya OSA dibagi menjadi: 11
1) Ringan OSA: AHI 5-15
Kantuk yang bersifat involunter selama kegiatan yang memerlukan sedikit
perhatian, seperti menonton TV atau membaca.
2) Sedang OSA: AHI 15-29;
Kantuk yang bersifat involunter selama kegiatan yang membutuhkan
perhatian, seperti rapat atau presentasi
3) Berat OSA: AHI ≥30
Kantuk yang bersifat involunter selama kegiatan yang membutuhkan
perhatian lebih aktif, seperti berbicara atau mengemudi.
C. Epidemiologi
Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada
anak-anak. Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa anak-anak yang
terjadi pada 7-9% dari anak-anak pra sekolah dan anak usia sekolah. Schechter,
mendapatkan prevalensi snoring berkisar antara 3,2-12,1% bergantung kriteria
inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan selama tidur didapat pada kira-kira
0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5 tahun. Kejadian OSAS terjadi pada anak
semua umur termasuk neonatus. Di Indonesia, Supriyatno et al.4 mendapatkan
kejadian mendengkur sekitar 31,6% anak usia 5-13 tahun dengan rincian habitual
snoring (HS) pada 5.2% dan occasional snoring (OS) sebesar 26,4%. Prevalensi
14
OSAS pada seluruh anak berkisar antara 0,7-3% dengan persentase tertinggi pada
anak usia pra-sekolah. 4,12
Pada masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan berat
badan lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir < 1000
gram. Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada usia ini sering
terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa lelaki lebih sering
dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1. 4
Insidensi OSA diperkirakan 1–4% populasi umum. Penderita OSA dengan
kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan
saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur.
Enampuluh persen pasien OSA adalah kelebihan berat badan (berat badan lebih
dari 20 persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal faring dan indeks masa
tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea. 2
Apnea dapat didefinisikan sebagai hilangnya aliran udara sedikitnya 10
detik. Penurunan volume tidal melebihi 50% tetapi di bawah 75% dari nilai dasar
dengan terhentinya aliran udara sedikitya 10 detik disebut hipopnea. Gabungan
apnea/hipopnea merupakan patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa muda
normal, sampai dengan 5 apnea/hipopnea perjam saat tidur adalah fisiologis,
frekuensi ini meningkat sesuai umur. 2
Laki–laki mempunyai tahanan faring lebih tinggi ketika bangun dan celah
faring lebih kecil sehingga respon ventilasi yang menyebabkan terjadinya
15
hiperkarbia dan hipoxia lebih besar pada laki–laki dan faktor hormonal berperan
pada pathogenesis OSA. 2
Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya
antara umur 40–50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak–anak dan
remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas
meskipun demikian peningkatan berat badan mempengaruhi peningkatan
frekuensi apnea/hypopnea dan penurunan berat badan mempengaruhi penurunan
apnea/hypopnea index (AHI). 2
Evaluasi anatomi jalan nafas atas merupakan bagian dari pemeriksaan fisis
penderita OSA. Inspeksi terdapatnya abnormaliti struktur atau sempitnya saluran
napas atas sering terjadi pada pasien OSA. Obstructive sleep apnea sydrome
berhubungan dengan beberapa penyakit paru seperti PPOK, penyakit paru
restriktif, penyakit neuromuskular. 2
D. Faktor Risiko
Beberapa faktor predisposisi OSA antara lain obesitas, ukuran lingkar leher,
umur, jenis kelamin, hormon dan kelainan anatomi saluran napas. Obesitas
dilaporkan sebagai faktor utama yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA.
Dari kepustakaan dinyatakan bahwa penderita OSA setidaknya memiliki indeks
massa tubuh (IMT) satu tingkat di atas normal (IMT normal 20-25 kg/m2).
Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar leher (>42,5 cm) berhubungan
dengan peningkatan AHI. 3,13
OSA dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki usia 30 - 64
tahun atau lebih. Risiko juga meningkat pada orang-orang yang memiliki indeks
16
massa tubuh yang besar; peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 6 kali
lipat risiko OSA. Akumulasi lemak di leher akibat obesitas menyebabkan
penekanan lumen faring, yang akhirnya kolaps selama tidur. OSA juga dapat
terjadi pada individu berat badan normal dengan faktor risiko lain berupa
makroglossia, hipertrofi adenotonsiler, anomali struktur kraniofasial (retognatia),
obstruksi nasal dan merokok juga mungkin ada faktor herediter yang tidak
diketahui. 1
Obesitas dapat mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat terangkat
sehingga mengurangi volume saluran napas atas. Demikian juga kelainan anatomi
seperti hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka dan anomali
maksilofasial seperti mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoid-tonsil,
makroglosia dan akromegali. 3
Tabel 1. Faktor Risiko OSA 3
17
Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan
tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan
alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan
berkorelasi dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan
keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Pada pasien dewasa
obesitas merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas
bukan sebagai faktor risiko utama.Namun demikian, prevalens akan meningkat
pada kelompok usia tertentu dengan faktor risiko. Pada anak usia remaja dengan
obesitas, prevalens OSAS berkisar antara 36-60%. Supriyatno et al. Di Jakarta
mendapatkan prevalens OSAS pada anak usia 10-12 tahun dengan obesitas adalah
sebesar 38.2%. 12
E. Etiopatogenesis
Ada tiga faktor yang berperan pada pathogenesis OSA: pertama, obstruksi
saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang
yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan
terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur.
Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal. Faktor kedua adalah
ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial,
m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohioid dan m. sternohioid) yang
berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan
negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi control
neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran
18
napas. Defek control ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya
refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea. 3
Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai
hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas.
Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga
merupakan predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring
ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di antaranya memiliki lebih
dari satu penyempitan saluran napas atas. 3
Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih.
Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-
kurang 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi
oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas
secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara
terus-menerus dapat menyebabkan apnea. 3
Gambar 3. Obstruksi Jalan Napas pada Pasien OSA. 3
19
Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga
aposisi dengan dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan
orofaring. Sewaktu tidur oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran
udara meskipun pernapasan masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia
sampai proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi perbaikan patensi
saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan
perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali. 2
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas.
Beberapa penderita dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia,
retrognatia, hipertropi adenotosilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi
ukuran orofaring menyebabkan complaince saluran napas atas meningkat
sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif. 2
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang
berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya
ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter
saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat
jaringan otot relaksasi waktu tidur. 2
Saat bangun, aktiviti otot saluran napas atas lebih besar dari normal,
kemungkinan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang
tinggi. Aktiviti otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas
atas sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi
20
selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi aktiviti otot
saluran napas atas sehingga terjadi kolaps. 2
Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi
merupakan predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif
meningkat di faring saat inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma meningkat
untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung. Akhir obstructive apnea
tergantung proses terbangun dari tidur ke tingkat tidur yang lebih dangkal dan
diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor saluran napas atas dan perbaikan
posisi saluran napas. 2
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar
lidah, saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran
dan konturnya normal (gambar 2). 2
Gambar 4. Saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita
mendengkur. 2
21
Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui, terjadi jika
didapatkan gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran nafas
dan komponen jalan nafas bagian atas (misalnya ukuran anatomis) yang
menyebabkan kolapsnya jalan nafas. Faktor-faktor yang memelihara patensi
saluran nafas adalah: 4
a) respons pusat ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan
nafas;
b) efek pusat rangsangan dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan
nafas bagian atas;
c) efek dari keadaan tidur dan terbangun.
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu: 4
1. Teori balance of forces : ukuran lumen farings tergantung pada
keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama
inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas. Tekanan transmural
pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure.
Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan
tekanan tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap
paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings
mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.
2. Teori starling resistor : jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor
yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami
kolaps yang menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.
22
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal maupun fungsi otot
saluran nafas atas yang mempermudah terjadinya kolaps jalan nafas selama tidur
telah diketahui. Manifestasi OSAS timbul jika faktor yang menyebabkan
peningkatan resistensi jalan nafas bergabung dengan kelainan kontrol susunan
saraf pusat terhadap fungsi otot-otot saluran nafas atas. Kemungkinan kombinasi
faktor-faktor ini dapat menerangkan mengapa beberapa anak dengan kelainan
struktur mengalami OSAS sementara yang lainnya dengan derajat penyempitan
saluran nafas yang sama menunjukkan pernafasan yang normal selama tidur. 4
F. Gejala Klinik
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi
klinis tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa
mengantuk berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara
dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode
apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti
gerakan tubuh, penderita tidak menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya.
Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak
nyenyak, disorientasi dan sakit kepala dipagi hari. Gejala klinis yang umum
terjadi pada OSA tampak pada tabel 2. 2
23
Tabel 2. Gejala Klinis pada OSA. 3
Akibat
gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa
mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk
didalamnya depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat
bekerja atau saat menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50% penderita apnea
tidur mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui dengan jelas
apakah merupakan penyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan jantung dan
stroke meningkat pada penderita apnea tidur. 2
OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA
adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif
karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir
30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak
24
segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh
mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. 3
Epworth sleepiness scale (ESS) adalah kuisioner yang mudah dan cepat
untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan secara langsung
dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime hypersomnolence adalah
karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat
yang berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur. 3
Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal,
meskipun tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau sebagai
akibat apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke juga dilaporkan meningkat
pada penderita OSA. 3
Tabel 3. Epworth Sleepiness Scale 14
Manifestasi klinis pada anak yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada
saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan
bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mul-mula timbul.
Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun
25
hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur
setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat
episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun
Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa
dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas
dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap,
setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan
nafas. 4
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal
facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya,
obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau lipatan
horizontal hidung. Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum
deviasi atau polip hidung, ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofarings,
redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan
pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi.
Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal
misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel
kanan. Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot
dan status perkembangan. 4
G. Diagnosis
Polisomnografi
26
Polysomnography merupakan tes baku emas untuk mendiagnosis sleep-
disordered breathing, termasuk OSA. Secara umum, tes ini dilakukan selama
tidur malam hari dan dapat diulang pada malam berikutnya sesuai indikasi.1
Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan
rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG, nasooral
air flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan
abdomen. 1,15
Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi
tidur, arsitektur tidur, arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan nafas,
perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung selama periode tidur. 1
Gambar 5. Rekaman polysomnography terdiri elektrookulogram (EOG),
elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram
(EKG), sympathetic nervous system activity (SNA), respirasi (RESP) dan
tekanan darah (BP) selama tidur periode REM pada pasien OSA. BP
meningkat pada akhir periode apnea, mencapai puncak selama arousal
(sebagai indikasi adanya peningkatan tonus muskulus; lihat tanda panah). 1
27
Uji Tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,
dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS. 4
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
D: kesulitan bernafas
(0: tidak pernah, 1: sekalisekali, 2: sering, 3: selalu)
A: apnea
(0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur)
(0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu) 4
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai: 4
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
28
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi. 4
Observasi selama tidur
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh
tidur di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis dengan
melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah.
Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan
selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan
mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai
prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%. 4
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse
oximetry. Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan
menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur
dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi secara siklik
yang menjadi karakteristik suatu OSAS, tetapi tidak akan mendeteksi pasien
OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia. Dengan menggunakan metode di
atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi negative 53%. Hal ini
berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur maka kemungkinan
menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak terdeteksi pada pemantauan
dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan polisomnografi. 4
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi nonbedah dan terapi bedah.
Penggunaan continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi nonbedah OSA
29
yang dianggap paling efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-
hipopnea dan daytime hypersomnolence. The American College of Chest
Physicians merekomendasikan CPAP pada pasien dengan AHI >30 dan juga
pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala. Kelemahan CPAP adalah adanya
rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit
kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.3,16,17
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat
meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi
minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari dapat
memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.
Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek jangka panjang, dilaporkan
membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas atas. 3
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi pembedahan OSA adalah AHI ≥20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia
dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya
kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik
yang benar-benar baik untuk OSA. 3
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi
dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan
tonsil. Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP
secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen.
30
UPPP kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi. Genioglosus
advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal. Teknik ini dilakukan pada
pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi pada dasar lidah.
Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi oksigen mencapai
angka 66-85%. 3
Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami kemajuan pasca-UPPP dan genioglosus advancement setelah
dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik ini mempunyai angka
keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi
oksigen darah. 3
Muskukus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media
berinsersi pada os hioid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki
dengan teknik operasi miotomi hioid dengan suspensi. 3
Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP,
namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan
anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan pada
pasien yang memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring,
hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan. 3
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum.
Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka
keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan
memperbaiki nilai ESS mencapai 75%, namun tidak mengubah nilai AHI. Madani
melaporkan nasal radioablation pada hipertrofi konka mampu mereduksi
31
obstruksi jalan napas atas. Penggantian palatum dengan implan dapat dilakukan
pada OSA sedang dan berat. Teknik ini dapat menurunkan AHI <10 sampai 63%.3
Tabel 4. Pilihan Pembedahan Perbaikan Untuk Obstruksi
Jalan Napas Atas Pada Apnea Waktu Tidur 18
Daerah Obstruksi Penanganan
Hidung Defleksi septum nasi
Pembesaran konka
inferior hidung
Septoplasti
Reseksi submukosa atau
kauterisasi konka
Nasofaring Hipertrofi adenoid,
konfigurasi berbentuk
seperti celah kecil
Adenoidektomi
Orofaring Lipatan tonsila yang
berlebihan, uvula yang
menonjol, palatum mole
yang kendor
Hipertrofi tonsila,
pembesaran tonsila
lingualis
Uvulopalatofaringoplasti
(UPPP)
Tonsilektomi
Tonsilektomi dengansinar
laser yang terbatas
Hipofaring Kolaps otot konstriktor
faringis, pergeseran lidah
ke belakang
Trakeostomi, perbaikan
hyoid atau mandibula
IV. KESIMPULAN
32
OSA adalah keadaan hilangnya tonus muskulus dilator faring pada saat
tidur, yang menyebabkan kolaps faring rekuren dan henti napas sementara
(apnea). Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama
paling tidak 10 detik dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan
pergerakan torakoabdominal).
Derajat beratnya OSA dibagi menjadi:
a. Ringan OSA: AHI 5-15
b. Sedang OSA: AHI 15-29
c. Berat OSA: AHI ≥30
Beberapa faktor predisposisi OSA antara lain obesitas, ukuran lingkar leher,
umur, jenis kelamin, hormon dan kelainan anatomi saluran napas. Faktor risiko
terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi
kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan alergi seperti rinitis
alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi dengan OSAS
pada anak.
Ada tiga faktor yang berperan pada pathogenesis OSA: pertama, obstruksi
saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang
yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan
terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur.
Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal. Faktor kedua adalah
ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial,
m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohioid dan m. sternohioid) yang
berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan
33
negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Faktor ketiga adalah kelainan
kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat menyebabkan
penyempitan pada saluran napas atas. di antaranya memiliki lebih dari satu
penyempitan saluran napas atas.
Manifestasi klinis tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan
keluhan tersering rasa mengantuk berat di siang hari. Gejala malam yang tersering
adalah suara dengkuran keras yang disebabkan jalan napas yang sempit. Kadang
penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak,
disorientasi dan sakit kepala dipagi hari.
Untuk diagnosis, Polysomnography merupakan tes baku emas untuk
mendiagnosis sleep-disordered breathing, termasuk OSA. Selain itu dapat juga
dinilai melalui Uji Tapis dan Observasi selama tidur.
Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi nonbedah dan terapi bedah.
Penggunaan continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi nonbedah OSA
yang dianggap paling efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-
hipopnea dan daytime hypersomnolence.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Purwowiyoto SL. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler.
Kepulauan Riau: Department of Emergency and Critical Care, Matak Field
Hospital. 2011.
2. Antariksa B. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA (Obstructive
Sleep Apnea). Jakarta: Department Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi RS Persahabatan-FKUI.
3. Cahyono A, Harmani B, Mangunkusumo E, Perdana RS. Hubungan
Obstructive Sleep Apnea dengan Penyakit Sistem Kardiovaskuler. Jakarta:
Department Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok FKUI RS dr.Cipto
Mangunkusumo. 2011.
4. Supriyatno B, Deviani R. Obstructive Sleep Apnea Syndrome pada Anak.
Jakarta: Divisi Respirologi Department Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM. 2005.
5. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Soepardi EA, et al.Editors. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
FKUI, 2008. P.212-215.
6. Spalteholz. Anatomi Kedokteran Latin Nomenclature. Bina rupa aksara,
2013.
7. Arifin AR, Ratnawati. Fisiologi Tidur dan Pernapasan. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta, 2010.
35
8. Pasha R. Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Reference
Guide. Singular: Thomson learning. 2000. P. 165-168.
9. Johnson LB. Pediatric Sleep Disorder Breathing. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: Texas, 2006.
10. Rehnqvist N. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. England: The Swedish
Council on Technology Assessment in Health Care. 2007.
11. Darien IL. Obstructive Sleep Apnea. USA: American Academy of Sleep
Medicine. 2008.
12. Kaswandani N. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) Pada Anak.
Jakarta: Divisi Respirologi Department Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM. 2010.
13. Jamie CM, Lharma SK, Bing Lam. Obstructive Sleep Apnoea: Definitions,
Epidemiology & Natural History. New Delhi: Division of Pulmonary,
Critical Care & Sleep Medicine, Department of Medicine, All India
Institute of Medical Sciences. 2010.
14. Toronto ON. Sleep Apnea: Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome
(OSAHS). GAC: Guidelines Advisory Committee. 2010.
15. Rodrigues HP, et al. Biology and Treatment of Sleep Apnea.
Otolaryngology Basic Science and Clinical Review. Thieme: Florida,
2005. P.71-81.
16. Lawrence J, Epstein MD, David K, et al. Clinical Guideline for the
Evaluation, Management and Long-Term Care of Obstructive Sleep Apnea
in Adult. USA: Journal of Clinical Sleep Medicine. 2009.
36
17. Edinburgh. Management of Obstructive Sleep Apnoea/Hypopnoea
Syndrome in Adults A national clinical guideline. British Thoracic Society:
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2003.
18. Higler Boies A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. EGC. P. 349-54.
37