organisasi santri dalam membentuk karakter di …
TRANSCRIPT
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 1
ORGANISASI SANTRI DALAM MEMBENTUK KARAKTER
DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN
Sopian Lubis
Dosen Tetap STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi, Jalan, Gatot Subroto KM. 3 No. 3 Kota Tebing Tinggi,
E-mail: [email protected]
Abstract: Organization as a soft-ware that loaded with the values of the individuals and groups lives.
Understanding the importance of togetherness and complementary between one and another is very
important for the members of the organization. In Islamic boarding school educational institutions, the
organization driven by students is the second alternative in instilling character education. The student
organization (organissasi santri) becomes a forum for and assignments from head master (kiai) and teachers
to develop the character of responsibility for students. Development of student organization and the
development of professional resources will bring success to the organization its self and the actors for
future. There are so many characters that can be developed in students through this organizational activity,
starting from discipline, and the most important thing is instillation a sense of responsibility among
students. The results of the literature analysis conducted show that: (1) Student organization within the
boarding school institution is part of the boarding school education system. (2) Character building in the
boarding school institution can be carried out through various activities, one of its “student organizations”.
(3) The organizational system carried out by students in the boarding school environment cannot be
separated from the guidance and direction of the head master, teachers who are carried out by senior
students.
Keywords: Student Organization (Organisasi Santri), Character, Islamic Boarding Schools.
PENDAHULUAN
Membangun karakter pada generasi anak
bangsa merupakan bahagian yang sangat
penting dalam proses pendidikan.
Anugrah Mulia Tampubolon
menyebutkan dalam jurnal ilmiahnya
bahwa pembelajaran adalah suatu proses
belajar yang dibangun guru untuk
meningkatkan moral, intelektual, serta
mengembangkan berbagai kemampuan
yang dimiliki oleh siswa, baik itu
kemampuan berfikir, kemampuan
kreativitas, kemampuan mengkonstruksi
pengetahuan, kemampuan pemecahan
masalah, hingga kemampuan
penguasaan materi pembelajaran dengan
baik. ( 2018 : 1-2). Lebih lanjut Anugrah
Mulia Tampubolon menyebutkan dalam
terbitan jurnal ilmiah yang lain bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui
jalur pendidikan dapat membantu siswa
ataupun peserta didik mengembangkan
karakter, nilai, sikap dan kemampuan
untuk dapat mempersiapkan peserta
didik melanjutkan ke jenjang berikutnya
dan untuk hidup bermasyarakat. (2020 :
15).
Dalam Undang-Undang no. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 3 (tiga) menyatakan
bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 2
rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis dan serta
bertanggung jawab”. (UU-RI; 2008:
50)
Berdasarkan pengertian
pembelajaran, fungsi dan tujuan
pendidikan Nasional tersebut, jelas
bahwa proses pendidikan pada tiap
jenjangnya harus diselenggarakan secara
sistematis, terstruktur, dan terrencana.
Hal ini dilakukan terkait dengan
penenanam karakter pada peserta didik
sebagai modal magi mereka dalam
kompetisi kehidupan dengan tetap
mempertimbangkan etika, moral, dan
kearifan likan sebagai tatanan social
yang tak tertulis.
Maka dalam konteks universalitas
pendidikan, pendidikan karakter muncul
dan berkembag dengan landasan
pemikiran bahwa sekolah tidak hanya
bertanggung jawab pada pengembangan
kecerdasan akadimik saja, tetapi juga
harus bertanggung jawab untuk
memberdayakan semua potensi siswa
agar mimiliki nilai-nilai moral yang
dapat memandunya dalam kehidupan
sehari-hari. (Mansur Muchlis; 2011: 10)
Pelakasnaan pendidikan karakater
di Indonesia saat sekarang ini sangat
dibutuhkan sekali. Hal ini dapat dilihat
dan dirasakan oleh segenap lapisan
masyarakat, melali pola prilaku remaja
sebagai generasi penerus bangsa hingga
pejabat public, politikus, dan bahkan
menjangkit pada perilaku beragama.
Timbulnya tindakan kekeransan di
kalangan remaja, penyalah gunaan
wewenang (korupsi) pada pejabat public
dan politikus, dan timbulnya kalangan
“ekstrimis” dalam beragama merupakan
kumpulan permasalahan yang sedang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Semua persoalan yang di paparkan
di atas terjadi atas kegagalan dunia
pendidikan dalam menjalankan misinya
untuk membentuk manusia yang
bermoral dan beretika. Maka dianggap
sangat perlu adanya suatu usaha
revitalisasi pendidikan karakter di semua
sector kehidupan khususnya pada
lembaga pendidikan formal. Salah satu
yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan tugas (amanah) pada siswa
sebagai upaya menumbuh kembangkan
potensi tanggung jawab. Jadi tidak
cukup dengan komunikasi verbal saja,
sehingga terjadi suatu system
pembelajaran learning by doing belajar
sambil berbuat.
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 3
Menyikapi kompleksitas
problematika kehidupan bermasyarakat,
Pondok Pesantren mengambil bagaian
yang tidak sedikit dalam menanamkan
karakter di kalangan santrinya (siswa).
Pondok pesanten sebagai salah satu
lembaga pendidikan khas Indonesia
sejak awal telah membarikan pendidikan
karakter pada santri (siswa) yang dapat
dilihat dari kemandirian santri, disiplin,
rasa solidaritas, dan yang terpenting
darinya adalah tertanamnya rasa hormat,
sopan santun, serta rasa rendah diri dan
bertanggung jawab. Salah satu usuha
yang sudah dikembangkan lembaga
pondok pesantren dalam membentuk
karakter santri adalah memberikan
kesempatan pada santri (siswa) untuk
menjalankan roda organisasi di kalangan
santri itu sendiri.
Berdasarkan pernyataan dan
permasalahan yang diuraikan di atas,
penulis mengankat sebuah judul kajian
“Organisasi Santri dalam Membentuk
Karakter di Lingkungan Pondok
Pesantren”.
METODE
Desain penelitian yang digunkan
dalam kajian ini adalah penelitian
kepustakaan (Library research)
menggunakan berbagai sumber
kepustakaan sebagai sumber data
penelitian. Kajian ini merupakan telaah
yang berkaitan dengan berbagai
pemikiran tentang permasalahan
tertentu, maka secara metodologis
pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan isi atau kepustakaan. (Ratna;
2010: 39) Maksudnya adalah penelitian
berhubungan erat dengan pemikiran
yang dituangkan dalam karya atau buku
(isi), yaitu penelitian tentang pandangan
mengenai keadaan yang semestinya
dalam membangun suatu keadaan
berdasarkan konsep yang telah
disistematiskan.. Karena penelitian ini
berhubungan dengan konsep
berorganisasi dan kaitannya dengan
pembentukan karakter santri di
lingkungan Pondok Pesantren, maka
pendekatan yang digunakan selain
kualitatif juga dengan pendekatan
objektif (berhubungan dengan teks).
(Endraswara; 2003: 9)
Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan teknik deskriptif, yaitu suatu
bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena
yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia.
Fenomena itu bisa berupa bentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan,
hubungan, kesamaan, dan perbedaan
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 4
antara fenomena yang satu dengan
fenomena lainnya. (Syaodiah; 2006: 72)
Pendekatan deskriptif merupakan
penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu pendapat
yang berkembang. Furchan menjelaskan
bahwa penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dirancang untuk
memperoleh informasi tentang status
suatu gejala saat penelitian dilakukan.
Dalam penelitian deskriptif tidak ada
perlakuan yang diberikan atau
dikendalikan. (Furchan; 2004; 447)
Untuk mengumpulkan data
penelitian yang diperlukan, penulis
mengunakan metode penelitian pustaka
(library research) yaitu penelitian yang
objek utamanya adalah buku-buku
literatur yang ada hubungannya dengan
pokok bahasan dan sumber pendukung
lainnya. Penelitian ini disebut penelitian
pustaka (library research), oleh karena
itu sumber data diperoleh dalam dua
bentuk data, yaitu data primer (materi-
materi yang berkaitan dengan sasaran
penelitian berupa literatur) dan data
sekunder (umum).
Analisis data yang terkumpul,
diklarifikasikan sesuai dengan
kebutuhan dengan cara yang tepat.
Dalam menganalisis data, teknik yang
digunakan adalah content analysis, yaitu
menguraikan secara teratur tentang suatu
konsepsi. (Bakeer; 2000: 65)
Maksudnya bahwa semua ide dalam
konsep berorganisasi dan relevansinya
terhadap pendidikan karakter santri di
lembaga Pondok Pesantren ditampilkan
sebagaimana adanya.
Oleh karena itu, selain
menggunakan content analysis, metode
yang dipandang sesuai dan memiliki
relevansi dan akurasi yang kuat dalam
kajian ini adalah penelitian yang bersifat
diskriptif kualitatif yang
mempergunakan sumber-sumber tertulis
yang ada hubungannya dengan pokok
permasalahan. (Azwar; 2010: 126)
Selanjutnya di susun langkah-langkah
yang sesuai untuk menunjang
keakuratan penelitian ini. Penyajian ini
memberikan gambaran mengenai
distribusi subjek menurut kategori-
kategori yang ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Organisai Santri Pondok
Pesantren
Organisasi santri pada lembaga
pondok pesantren merupakan kegiatan
yang tidak terpisahkan dengan system
pendidikan pesantren itu sendiri. Oleh
karena itu santri di pondok pesantren
membentuk wadah organisasi tersendiri
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 5
yang disesuaikan dengan dinamika
kebutuhan kehidupan di pondok
pesantren. Pembahasan tentang
organisasi santri pondok pesantren akan
dibagi dalam kegiatan organisasi di
Pondok Pesantren Ashriyah (Modern)
dan Pondok Pesantren Salafiyah
(Tradisional).
a. Organisasi Santri Pondok
Pesantren Modern (Khalafiyah).
Kegiatan berorganisasi di
pondok telah diadakan sejak awal
berdirinya pondok pesantren. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi bekal
dan pengalaman kepada santri untuk
hidup di masyarakat kelak. Kegiatan
berorganisasi ini merupakan kegiatan
yang tak terpisahkan dari kehidupan
santri sehari-hari, sebab berorganisasi
di pondok ini berarti pendidikan
untuk mengurus diri sendiri dan tentu
saja orang lain. Seluruh kehidupan
santri selama berada di pondok diatur
oleh mereka sendiri (self-
government) dengan dibimbing oleh
guru-guru dan dibantu santri-santri
senior. Kegiatan-kegiatan ini selalu
didasari oleh Panca Jiwa, falsafah,
dan moto pendidikan dan pengajaran
pondok.
Induk organisasi santri di
pondok ada dua: Organisasi Pelajar
Pondok (OPPM) dan Gerakan
Pramuka. Pengurus Organisasi
Pelajar adalah santri-santri kelas V
dan VI (setingkat dengan kelas II dan
III SMU) yang terpilih melalui
musyawarah.
Pimpinan pondok biasanya
memberikan tanggapan, penilaian,
koreksi, dan arahan-arahan pada
acara pemilihan dan penetapan
pengurus organisasi santri dengan
menegaskan bahwa semua kegiatan
tersebut adalah pendidikan. Setiap
bagian-bagaian dari pengurus
organisasi tersebut, menyusun
program kerja masing-masing dan
akan dilakukan laporan pertanggung
jawaban pada tiap-tiap akhir masa
jabatan. Seusai laporan
pertanggungjawaban, diadakan serah
terima jabatan dari pengurus lama ke
pengurus baru terpilih.
Kegiatan-kegiatan santri di
dalam pondok diurus oleh 18 bagian.
Bagian-bagian tersebut terdiri dari
pengurus harian: ketua, sekretaris,
bendahara, dan keamanan, dan 14
bagian yang lain, yaitu: Bagian
Pengajaran, Bagian Penerangan,
Bagian Kesehatan, Bagian Olahraga,
Bagian Kesenian, Bagian
Perpustakaan, Bagian Koperasi
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 6
Pelajar, Bagian Penerimaan Tamu,
Bagian Koperasi Dapur, Bagian
Warung Pelajar, Bagian Penggerak
Bahasa, Bagian Pembantu, Bagian
Fotografi, dan Bagian Bersih
Lingkungan. Bagian yang menonjol
adalah Bagian Keamanan yang
bertanggungjawab atas berjalannya
disiplin dan sunnah-sunnah pondok
serta terjaganya ketertiban dan
ketentraman pondok. (Wirosukarto;
1996: 60)
b. Organisasi Santri Pondok
Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Organisasi santri intra
pesantren sebagaimana halnya
organisasi-organisasi lain, dipimpin
oleh seorang ketua dibantu oleh
anggota pengurus lainnya. Seorang
ketua yang memimpin organisasi
intra pesantren ini merupakan hasil
pemilihan langsung secara
demokratis oleh Majelis Perwakilan
Santri (MPS) sebagai wakil-wakil
santri dari tiap kamar atau cukup tiap
kelompok asrama. Pemilihan
pengurus (ketua) dilakukan dalam
acara musyawarah tahunan yang
khusus diadakan untuk acara tersebut.
Dalam musyawarah ini di
samping pemilihan pengurus juga
diadakan evaluasi terhadap
pelaksanaan pengurus periode lalu,
merumuskan program kerja periode
selanjutnya dan membuat
rekomendasi-rekomendasi yang
bersifat internal maupun eksternal.
Lamanya masa jabatan pengurus
maupun diadakannya musyawarah
tahunan tergantung kesepakatan
masing-masing, tidak ada keharusan
yang pasti melainkan fleksibel.
Struktur organisasinya,
biasanya bersifat luwes dan
menyesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing. Dengan kata lain
struktur organisasi sangat tergantung
dari besar atau kecilnya sebuah
pesantren. Tetapi sebagaimana
lazimnya sebuah organisasi, di dalam
struktur tersebut komposisinya terdiri
dari: Penasehat, pengurus harian yang
terdiri dari ketua dan beberapa wakil
ketua, sekretaris dan beberapa wakil
sekretaris, bendahara dan beberapa
wakil bendahara. Sedangkan untuk
seksi-seksi dapat dibentuk
berdasarkan kebutuhan serta sumber
daya manusia (santri) yang tersedia.
Dalam struktur organisasi
pesantren tradisional, peran kyai
sangat menonjol. Pembahasan
tentang peranan kyai dalam
kepemimpinan masyarakat
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 7
tradisional tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan gaya kepemimpinan
kyai dalam pesantren. Gaya
kepemimpinan seorang kyai
merupakan salah satu ciri khas atau
bahkan menjadi bagian, meminjam
istilah Gus Dur, subculture sebuah
masyarakat tradisional (pesantren).
(Wahid; 21: 35)
Berbeda dengan gaya
kepemimpinan lainnya, kyai
pesantren sering kali menempati atau
bahkan ditempatkan sebagai
pemimpin tunggal yang mempunyai
kelebihan (maziyah) yang tidak
dimiliki oleh masyarakat pada
umumnya. (Wahid; tt: 168) Anehnya,
sebagaimana dikemukakan Gus Dur,
hal demikian berlangsung secara
alamiah. Keberadaannya tidak
melalui proses pembinaan dan
pemberdayaan yang tetap dan baku.
Berawal dari kesabaran, kegigihan,
dan kemandirian sang kyai untuk
mengimplementasikan cita-cita
luhurnya dalam bentuk pendirian
pondok pesantren, segala sesuatunya
berjalan layaknya air yang mengikuti
laju arusnya, dan arus tersebut tidak
lain dan tidak bukan adalah heriditas.
Implikasinya, quality gap
(kesenjangan kualitas) antara seorang
pemimpin dengan lainnya tidak bisa
dihindarkan.
Dari gaya kepemimpinan
kharismatik ini, Mastuhu kemudian
menemukan dua pola hubungan yang
unik antara kyai dan santri sebagai
berikut:
Pertama, pola hubungan otoriter-
paternalistik. Yaitu pola hubungan
antara pimpinan dan bawahan atau,
meminjam istilah James C. Scott,
patron-client relationship; dan
tentunya sang kyailah yang menjadi
pimpinannya. Sebagai bawahan,
sudah barang tentu peran partisipatif
santri dan masyarakat tradisional
pada umumnya sangat kecil, untuk
mengatakan tidak ada; dan hal ini
tidak bisa dipisahkan dari kadar
kekharismatikan sang kyai. Seiring
dengan itu, pola hubungan ini
kemudian dihadapkan dengan pola
hubungan diplomatik-partisipatif.
Artinya, semakin kuat pola hubungan
yang satu semakin lemah yang
lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire.
Yaitu pola hubungan kyai santri yang
tidak didasarkan pada tatanan
organisasi yang jelas. Semuanya
didasarkan pada konsep ikhlas,
barakah, dan ibadah, sehingga
pembagian kerja antar unit tidak
dipisahkan secara tajam. Seiring
dengan itu, selama memperoleh restu
sang kyai, sebuah pekerjaan bisa
dilaksanakan. Pola hubungan ini
kemudian dihadapkan dengan pola
hubungan birokratik. Yaitu pola
hubungan di mana pembagian kerja dan fungsi dalam lembaga pendidikan
pesantren sudah diatur dalam sebuah
struktur organisasi yang jelas.
(Mastuhu; 1990: 91-95)
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 8
2. Belajar dari Ber-Organisasi
Pondok pesantren dari dahulu
sampai sekarang adalah lembaga
pendidikan yang senantiasa mencetak
pemimpin-pemimpin yang akan dapat
menjadi figur saat mereka keluar dari
pondok pesantren, baik menjadi seorang
guru agama, khatib, imam, kepala dusun,
dan atau bahkan kepala desa. Karena
masa depan kebangkitan umat manusia
tergantung sejak saat ini dan tergantung
kualitas manusia yang memimpin yang
dipersiapkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan kepemimpinan. (As-Suwai;
2002: 19)
Pemimpin yang dilahirkan pondok
pesantren adalah pemimpin yang
mempunyai kredibelitas dan integritas
diri dalam memegang amanah
kepemimpinan, artinya dapat
menciptakan pemimpin yang religius.
Kondisi multikultural dan
perkembangan jumlah santri dari pondok
pesantren semakin menunjukkan
peningkatan, terutama pada pondok
pesantren yang semi khalafi dan pondok
pesantren salafi. Jumlah santri pada
pondok ini biasanya lebih kurang 700
orang dan bahkan sampai ribuan orang.
Jumlah santri yang begitu besar, tentu
keberadaan kyai tidak akan dapat
menyentuh seluruh aspek santri.
Oleh karena itu biasanya
kekuasaan dan otoritas didelegasikan
kepada orang yang dipercaya yaitu para
asatid (guru), dan aspek-aspek yang
tidak dapat disentuh oleh para asatidz
didelegasikan kepada santri senior.
Dengan keadaan seperti ini, maka
potensi menciptakan dan melahirkan
pemimpin-pemimpin yang baik dan
disempurnakan oleh karakter yang baik
di masa mendatang sangatlah besar.
Karena pada dasarnya pemimpin dapat
diciptakan, karakter dan potensi pada
diri manusia dapat diasah.
Wadah pembelajaran
kepemimpinan yang berkarakter saat ini
tentu adalah manusia itu sendiri, yang
mana dalam organisasi pondok
pesantren modern maupun semi modern
telah banyak ditemukan wadah-wadah
pembelajaran organisasi yang
memungkinkan santri dapat belajar
sebagai pemimpin. Kemudian,
kepemimpinan yang berhasil di abad
globalisasi menurut Dave Ulrich adalah:
“Merupakan perkalian antara
kredibelitas dan kapabilitas.”
Kredibelitas adalah ciri-ciri yang
ada pada seorang pemimpin seperti
kompetensi-kompetensi, sifat-sifat,
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang
bisa dipercaya baik oleh bawahan
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 9
maupun oleh lingkungannya. Sedangkan
kapabilitas adalah kemampuan
pemimpin dalam menata visi, misi, dan
strategi serta dalam mengembangkan
sumber-sumber daya manusia untuk
kepentingan memajukan organisasi dan
atau wilayah kepemimpinannya.”
Kredibelitas pribadi yang ditampilkan
pemimpin yang menunjukkan
kompetensi seperti mempunyai kekuatan
keahlian (expert power) disamping
adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral
character) bila dikalikan dengan
kemampuan pemimpin dalam menata
visi, misi, dan strategi
organisasi/wilayah akan menimbulkan
suatu kekuatan dalam menjalankan roda
organisasi/ wilayah dalam rangka
mencapai tujuannya.
Pada hakikatnya, setiap manusia
adalah pemimpin, minimal pemimpin
dirinya sendiri. Dan setiap pemimpin
akan dihadapkan pada tanggung
jawaban atas kepemimpinannya. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Sabda
Rasulullah Saw. “Ingatlah! Setiap kamu
adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami
adalah pemimpin keluarganya dan ia
akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya, wanita
adalah pemimpin bagi kehidupan rumah
tangga suami dan anak-anaknya, dan ia
akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya, dan seorang
pembantu adalah pemimpin pada harta
tuannya, dan ia akan dimintai
pertanggung jawabannya. Ingatlah!
Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin
dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya.” (Sulaiman;
2000: 145)
3. Pembentukan Karakter
Karakter dapat diartikan sebagai
cara untuk berpikir dan berperilaku tiap
individu untuk hidup dan bersosialisasi,
baik dalam lingkup keluarga, sekolah,
masyarakat dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang
dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat
dari keputusannya. (Muchlas; 2012: 4)
Islam sebagai agama yang sarat dengan
nilai-nilai spiritualitas memiliki jejak
pendidikan karakter yang jelas dan
sistematis. (Fuad; 2013:75) Karakter
dapat didefinisikan sebagai sikap dan
perilaku tiap individu yang bisa
mempermudah tindakan moral.
(Samani&Hartoyo; 2012: 42)
Berdasarkan definisi di atas dapat
ditegaskan bahwa pendidikan karakter
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 10
merupakan upaya yang dibentuk dan
dilaksanakan secara sistematis dan
berkesinambungan supaya peserta didik
dapat memahami nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan semua aspek
yaitu: tuhan yang maha esa, diri sendiri,
sesama manusia serta lingkungan yang
bisa diwujudkan dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma agama, hukum, budaya, adat
istiadat.
Tujuan dari pendidikan karakter
adalah meningkatkan kualitas
pelaksanaan dan hasil pendidikan oleh
peserta didik baik secara terpadu,
seimbang dan menyeluruh terhadap
pencapaian karakter dan akhlak mulia.
Dengan adanya hal tersebut maka
peserta didik diharapkan dapat
menggunakan dan meningkatkan
pengetahuan yang dimiliki, serta dapat
mempersonalisasikan nilai akhlak dan
karakter secara mandiri sehingga pada
akhirnya dapat mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam perilaku sehari-hari.
(Muslih; 2011:81)
Pendidikan karakter merupakan
suatu hal yang sangat penting karena
melibatkan semua pihak, baik di
lingkungan keluarga, masyarakat serta
lingkungan pendidikan. Sedangkan
tujuan dari pendidikan karakter di
lingkungan pendidikan adalah
membentuk dan membangun peserta
didik supaya dapat tumbuh menjadi
pribadi yang positif, pola pikir yang
bagus, serta berakhlakul karimah dan
punya rasa tanggung jawab yang tinggi.
Pembentukan karakter merupakan
suatu hal yang penting untuk diterapkan
di lembaga pendidikan. Karena
penanaman karakter menjadi sebuah
pijakan dalam setiap setiap kegiatan dan
bisa menjadi penentu bagi siswa untuk
mengantarkan dirinya menjadi insan
kamil. Pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan karakter yang baik bisa
menjadi pendorong bagi siswa untuk
melakukan hal positif dan memiliki
tujuan hidup yang benar.
Lingkungan sebuah lembaga
pendidikan tidak dapat menjadi suatu-
satunya yang mutlak bagi anak untuk
mendapatkan pendidikan karakter secara
utuh. Oleh karena itu orang tua,
keluarga, lingkungan dan masyarakat
juga memiliki peran penting dalam
pembentukan karakter. Karakter dapat
dibentuk melalui beberapa tahap, di
antaranya:
a. Tahap pengetahuan. Pendidikan
karakter dapat ditanamkan melalui
pengetahuan, yaitu lewat setiap mata
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 11
pelajaran yang diberikan kepada
anak.
b. Tahap pelaksanaan. Pendidikan
karakter bisa dilaksanakan di
manapun dan dalam situasi apapun.
Pendidikan karakter di lingkungan
sekolah bisa dilaksanakan mulai dari
sebelum proses belajar mengajar
sampai pembelajaran usai. Beberapa
contoh diantaranya: disiplin (peserta
didik dilatih dan ditanamkan untuk
disiplin baik itu disiplin waktu dan
disiplin dalam menjalani tata tertib di
sekolah), jujur (peserta didik bisa
dilatih untuk jujur dalam semua hal,
mengerjakan dan mengumpulkan
tugas dengan benar, tidak menyontek
atau memberi contekan kepada siswa,
membangun kantin kejujuran di
sekolah), religious (bisa ditanamkan
melalui pembiasaan mengucapkan
salam dan berdoa bersama sebelum
proses belajar mengajar dimulai dan
sesudah pembelajaran usai,
berorganisasi, dan seterusnya.
c. Tahap pembiasaan. Karakter tidak
hanya ditanamkan lewat pengetahuan
dan pelaksanaan saja, tetapi harus
dibiasakan. Karena orang yang
memiliki pengetahuan belum tentu
bisa bertindak dan berperilaku sesuai
dengan ilmu yang ia miliki apabila
tidak dibiasakan untuk melakukan
kebaikan.
Emosi dan kebiasaan diri juga
termasuk wilayah jangkauan dari
pendidikan karakter. Dengan demikian
dibutuhkan beberapa komponen yang
berkaitan dengan hal tersebut, di
antaranya: moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling (perasaan
atau penguatan emosi), moral action
(penerapan moral). Ketiga komponen
tersebut sangat diperlukan untuk
membentuk karakter pada seseorang
terutama dalam sistem pendidikan.
4. Dasar Pembentukan Karakter
Manusia pada dasarnya memilki
dua potensi, yakni baik dan buruk. Di
dalam Al-Quran Al-Syams (91:8)
dijelaskan dengan istilah Fujur
(celaka/fasik) dan takwa (takut kepada
Tuhan). Manusia memiliki dua
kemungkinan jalan, yaitu menjadi
makhluk yang beriman atau ingkar
terhadap Tuhannya. Keberuntungan
berpihak pada orang yang senantiasa
mensucikan dirinya dan kerugian
berpihak pada orang-orang yang
mengotori dirinya,
Dengan dua potensi di atas,
manusia dapat menentukan dirinya
untuk menjadi baik atau buruk. Sifat baik
manusia digerakkan oleh hati yang baik
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 12
pula (qolbun salim), jiwa yang tenang
(nasfsul mutmainnah), akal sehat (aqlus
salim), dan pribadi yang sehat (jismu
salim). Potensi menjadi buruk
digerakkan oleh hati yang sakit (qolbun
maridh), nafsu pemarah (amarah), lacur
(lawwamah), rakus (saba’iyah), hewani
(bahimah), dan pikiran yang kotor
(aqlussu’i). Sikap manusia yang dapat
menghacurkan diri sendiri antara lain
dusta (bohong, menipu), munafik,
sombong, congkak (takabbur), riya’,
sum’ah, materialistik (duniawi), egois,
dan sifat syaithoniyah yang melahirkan
manusia-manusia yang berkarakter
buruk. Sebaliknya, sikap jujur, rendah
hati, qona’ah, dan sifat positif lainnya
dapat melahirkan manusia-manusia yang
berkarakter baik.
Dalam teori lama yang
dikembangkan oleh dunia Barat
disebutkan bahwa perkembangan
seseorang hanya dipengaruhi oleh
pembawaan (nativisme). Sebagai
lawannya, berkembang pula teori yang
berpendapat bahwa seseorang hanya
ditentukan oleh pengaruh lingkungan
(empirisme). Sebagai sintesisnya,
kemudian dikembangkan teori ketiga
yang berpendapat bahwa perkembangan
seseorang ditentukan oleh pembawaan
dan lingkungan (konvergensi).
Pengaruh itu terjadi baik pada
aspek jasmani, akal, maupun rohani.
Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh
alam fisik (selain pembawaan); aspek
akal banyak dipengaruhi oleh
lingkungan budaya (selain pembawaan);
aspek rohani banyak dipengaruhi oleh
kedua lingkungan itu (selain
pembawaan). Pengaruh itu menurut Al-
Syaibani dalam Ahmad Tafsir, dimulai
sejak bayi berupa embrio dan barulah
berakhir setelah orang disebut mati.
(Tafsir; 1995: 35)
Tingkat dan kadar pengaruh
tersebut berbeda antara seorang dengan
orang lain, sesuai dengan segi-segi
pertumbuhan masing-masing. Kadar
pengaruh tersebut juga berbeda, sesuai
perbedaan umur dan perbedaan fase
perkembangan. Faktor pembawaan lebih
dominan pengaruhnya saat orang masih
bayi. Lingkungan (alam dan budaya)
lebih dominan pengaruhnya saat orang
mulai tumbuh dewasa. Manusia
mempunyai banyak kecenderungan yang
disebabkan oleh banyaknya potensi yang
dibawanya. Dalam garis besarnya,
kecenderungan itu dapat dibagi menjadi
dua, yaitu kecenderungan menjadi orang
baik dan kecenderungan menjadi orang
jahat. Oleh sebab itu, pendidikan
karakter harus dapat memfasilitasi dan
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 13
mengembangkan nilai-nilai positif agar
secara alamiah-naturalistik dapat
membangun dan membentuk seseorang
menjadi pribadi-pribadi unggul dan
berakhlak mulia.
5. Organisasi dalam Membentuk
Karakter Santri
Santri merupakan bahagian dari
generasi bangasa yang secara khusus
bertugas menuntut ilmu pengetahuan
Agama Islam di lingkungan pondok
pesantren. Santri diharapkan tidak hanya
melakukan tugas pokoknya semata
(belajar), tetapi juga mengabdi dan
melaksanakan perannya di lingkungan
pondok. Maka sebagai santri, ia harus
dapat mengais pengalaman atau
kesuksessan dengan mengikuti berbagau
kegiatan organisasi.
Organisasi santri memiliki peran
penting yang dapat merencanakan dan
melaksanakan sebuah program kerja dan
berfikir kritis tentang bagaimana
pemecahan masalah dengan nuansa
penuh kedewasaan dan tanggung jawab.
Keberhasilan untuk memecahkan
masalah, akan sangat berguna ketika di
implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Tidak hanya tempat untuk
menampung atau untuk sebagai wadah
tetapi juga sebagai tempat penambah
wawasan untuk terjun ke dunia
pekerjaan (Septiani, 2017). Hanya dengn
bermodalkan nilai saja dianggap kurang
cukup untuk bekerja instansi diperlukan
pengalaman lebih dan berfikir secara
kritis. (Ngongo dan Gafur, 2017).
Melalui organisasi dapat
membentuk dan mengembangkan
karkter pada diri masing-masing santri
(Alfan, 2014). Sebagai tempat penyalur
dan wadah bagi para santri, seperti
mengatus perputaran keuangan
organisasi, mengembangkan usaha
koperasi dan seterusnya. Maka dengan
berorganisasinya santri di pondok
pesantren, maka mereka akan terdidik
secara tidak langsung untuk maupun
mengurus, mengorganisir serta
kecakapan dalam berintaeraksi. Yang
terpenting dari semua tugas dan
tanggung jawab yang diberikan pada
pengurus organisasi santri adalah
tertanamnya karakter bartanggung jawab
santri pada pondok, kiai, dan hingga
agamanya. Inilah yang lazim disebut
sebagai mendidik dengan member tugas
untuk bertanggung jawab.
Santri yang sudah diberi tugas
mengurus organisasi, wajib mampu
membagi waktunya dengan baik agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Pada kondisi ini seorang
pengurus organisasi santri harus mampu
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 14
membuat keseimbangan yang baik
antara tugas utama sebagai penuntut
ilmu dengan tugas berorganisai.
Meskipun demikian mereka telah
membuktikan diri bahwa mereka dapat
melakukan kegiatan seperti seminar,
workshop, event-event olahraga dan seni
dan lain-lain dengan sangat baik
walaupun dihadapkan pada resiko
tentunya.
Proses pembentukan karakter pada
santri dapat diterapkan di luar
pembelajaran terstruktur, yaitu melalui
pemberian tugas tambahan dalam
berorganisasi. Pembentukan karakter
paada system berorganisasi tersebut
dapat dilihat dari interaksi keseharian
santri denga lingkungan sekitarnya.
Interaksi seseorang dengan orang lain
dilingkungan tersebut menumbuhkan
karakter yang matang. Oleh karena
itu,pembentukan karakter individu
seseorang di lingkungan tergantung
bagaimana individu tersebut beradaptasi
dan berinteraksi dalam berorganisasi
yang ia jalankan dan naungi. Selain
interaksi, faktor pikiran adalah faktor
terpenting lainnya untuk pembentukan
karakter seseorang. Dalam sebuah pikran
terdapat pengalaman-pengalaman yang
membentuk pola pikir dan kemudian
mempengaruhi perilaku. Perilaku
individu juga bisa dipengaruhi oleh
fakror bawaan lahir.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengalaman Organisasi sangat
bermanfaat dalam proses pembentukan
kepribadian dan pembentukan karakter
seseorang. Proses pembentukan karakter
akan terbentuk dengan sendirinya ketika
individu berorganisasi dan diberi
tanggung jawab. Karena di dalam
berorganisasi seoranag diajarkan untuk
saling menghargai, memecahkan
berbagai masalah, berfikir kritis yang
pastinya akan berguna bagi lingkungan
sekitar.
KESIMPULAN
Melalui deskripsi dan analisis
organisasi santri dalam membentuk
karakter dilingkungan ppondok
pesantren, maka dapat diterik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Organisasi santri di lingkungan
lembaga pondok pesantren adalah
bahagian dari system pendidikan
pondok pesantren dengan memberi
tugas dan tanggung jawab pada santri
untuk menjalankan roda organiasi.
2. Pembangunan karakter di lingkungan
lembaga pondok peantren dapat
dilakukan melalui berbagai macam
kegiatan santri, salah satunya
organisasi santri. Karakter utama
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 15
yang tertanam dalam kegiatan
berorganisasi santri adalah amanah
atau tanggung jawab secara spiritual
maupaun moral. Selain itu,
pendidikan karakter yang diperoleh
dari kegiatan organisasi santri ini
antara lain: disiplin, kerja keras, team
work, peduli lingkungan dan
kecakapan-kecakapan lain.
3. System berorganisasi yang dilakukan
santri dilingkungan pondok
pesantren tidak lepas dari bimbingan
dan arahan kiai, guru-guru yang
dilaksankan oleh santri-santri senior.
Sifat organisasi ini berlangsung
secara periodik dan akan dilanjutkan
oleh santri berikutnya setelah
menjalankan roda organisasi selama
setahu dan di akhiri dengan laoran
pertanggung jawaban.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Suryadharma, (2013), Paradigma
Pesantren; Memperluar Horizon
Kajian dan Aksi, Malang; UIN
Malang Press
Al-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman ibn
Ashash ibn Ishaq Ibn Basyir ibn
Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy,
(2000), Sunan Abu Dawud, Beirut:
Darul Fikr
Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: Rineka Cipta
As-Suwai, Thariq M. dan Basyarahil,
Faisal Umar, (2002), Melahirkan
Pemimpin Masa Depan, Jakarta:
GIP
Azwar, Saifudin, (2010), Metodologi
penelitian Yogyakarta: Pustaka
pelajar
Bakeer, Anton dan Zubair, Ahmad
Charis, (2000), Metode Penelitian
Filsafat Yogyakarta: Kanisius
Endraswara, Suwardi, (2003),
Metodelogi Penelitian Sastra:
Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta: Caps
Furchan, Arif, (2004), Pengantar
Penelitian dalam Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fuad, Jauhar, (2013), “Pendidikan
Karakter Dalam Pesantren
Tasawuf,” Jurnal Pemikiran
Keislaman 23, no. 1 (February 28)
Muhajir, Noeng, (1990), Metodologi
Penelitian Kwalitatitf,
Yogyakarta: Rakesarasin,
Muslich, Mansur, (2011), Pendidikan
Karakter; Menjawab Tantangan
Krisis Multi Dimensional, Jakarta;
Bumi Aksara
ISSN : 2620-6692 Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi 16
Mastuhu, (1990), Gaya dan Suksesi
Kepemimpinan Pesantren, Jakarta:
Jurnal Ulumul Qur’an
Nawawi & Martini, (2003), Metode
Penelitian Bidang Sosial,
Yogyakarta, Gajah Mada
University Press.
Nazir, (2009), Metode Penelitian,
Jakarta: Ghalia Indonesia
Ratna, Nyoman Kutha, (2010), Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra, Dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme Wacana
Naratif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Samani, Muchlas dan Hariyanto, (2012),
Konsep dan Model Pendidikan
Karakter, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Syaodih, Nana, dan Sukmadinata,
(2006), Landasan Psikologi
Proses Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad, (1994), Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Tampubolon, Anugrah Mulia. 2018.
Peningkatan Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa
dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
di Kelas X MAN 4 Maetubung
Medan. Jurnal Axiom, Vol. VII
N0. 1, P-ISSN : 2087 – 8249, E-
ISSN: 2580 – 0450. Halaman 1-9.
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/
axiom/article/view/1762/1403.
_______________, 2020. Peningkatan
Prestasi Belajar Operasi Hitung
Campuran Bilangan Bulat
Menggunakan Permainan Puzzle
Pada Siswa Kelas IV SD Negeri
167649 Kota Tebing Tinggi.
Jurnal Mubtada, Vol. 3. ISSN
2621-9034. Halaman 15-33.
https://ejournal.stitalhikmah-
tt.ac.id/index.php/mubtada/article/
view/65/66
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, UU RI No 20 Tahun
2003, (2008), Jakarta; Sinar
Grafika.
Wahid, Abdurrahman, (2001),
Menggerakkan Tradisi; Esai-esai
Pesantren, Yogyakarta: LKiS
________________, (tt), Bunga Rampai
Pesantren, Jakarta: Dharma
Bhakti
Wirosukarto, Amir Hamzah, (1999),
Imam Zarkasyi dari Gontor
Merintis Pesantren Modern,
Ponorogo: Gontor Press.