optimalisasi peningkatan penerimaan negara bukan pajak pada sektor perikanan
DESCRIPTION
PaperTRANSCRIPT
OPTIMALISASI PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PADA SEKTOR PERIKANAN
Optimization Of Non Tax State Revenue Enhancement On Fisheries Sector
Mukhammad Rijal Sofa Al Arif (No Absen 25, Kela DIV 7A Reguler)
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan, [email protected]
Abstrak - Makalah ini akan membicarakan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pada sektor Perikanan khususnya pada optimalisasi PNBP. Makalah ini akan menjelaskan mengapa PNBP sektor perikanan selalu rendah jika dibandingkan dengan produksi hasil perikanan, dan bagaimana cara menyelesaikan masalah menurunnya PNBP di sektor perikanan.
Kata kunci: Optimalisasi, PNPB, Perikanan
Abstract - This paper will discuss about the Non-Tax Revenues on Fisheries sector especially on the optimization of non-tax revenues. This paper will explain why non-tax revenues of the fisheries sector is always lower than the production of fishery products, and how to solve the problem of the decline in non-tax revenues in the fisheries sector.
Key word : fisheries, non-tax revenues, optimization
1. Pendahuluan
Selama ini pemerintah selalu
menyandarkan penerimaan bukan pajaknya
pada sektor minyak bumi dan gas dan seolah-
olah memandang sebelah mata peran dari
sektor non-migas. Kebijakan pencapaian target
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
terutama pada Sumber Daya Alam lebih
diarahkan pada optimalisasi lifting / produksi
minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi
tambang dan mineral. Dilihat dari kondisi
lapangan, Sumber Daya Alam Indonesia untuk
komoditi perikanan sangat melimpah.
Dilihat dari bentuk wilayahnya,
Indonesia merupakan salah satu negara di
dunia yang memiliki laut sebagai bagian dari
wilayah negara. Dan Indonesia merupakan
negara maritim terbesar di dunia dimana
kurang lebih dua per tiga dari seluruh wilayah
Indonesia adalah laut. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No. KEP. 18/MEN/2011, luas
wilayah laut indonesia adalah 5,8 juta km2,
dengan panjang pantai 95.181 Km. Bahwa
dengan luas wilayah laut Indonesia tersebut,
maka Indonesia dikaruniai dengan
keaneragaman kehidupan hayati dan non
hayati. Oleh karena itu, perikanan laut
(kehidupan hayati) merupakan sumber daya
alam yang sangat potensial yang dimiliki
Indonesia dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Namun, Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) pada sektor perikanan tidak
mengalami peningkatan dari tahun ketahun.
Seharusnya dengan luas wilayah yang dua per
tiga wilayah Indonesia adalah laut Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNB) pada sektor
perikanan tidak menurun setiap tahunnya.
Sementara itu produksi perikanan Indonesia
baik ikan laut maupun ikan air tawar
menunjukkan tren yang terus meningkat setiap
tahunnya. Secara umum, volume perikanan di
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata
7% per tahun.
Tidak adanya kenaikan Penerimaan
Negara Bukan Pajak sektor Perikanan
dikarenakan karena adanya praktek-praktek
ilegal fishing yang dilakukan oleh para
nelayan dan pengusaha ikan. Dalam hal ini,
penulis mencoba untuk membuat sebuah
makalah ilmiah berkaitan dengan optimalisasi
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
Perikanan.
2. Tinjauan Pustaka
a. Penerimaan Negara Bukan Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1997, Penerimaan Negara Bukan
Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah
usat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan. Namun, dengan diundangkannya
UU No 17/ 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang tentang APBN, definisi
dalam UU Nomor 20 perlu disesuaikan, yakni
dengan mengeluarkan penerimaan hibah dari
PNPB. Sehingga definisi PNBP menjadi
seluruh penerimaan pemerintah pusat yang
tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan
penerimaan hibah.
Dalam UU tentang APBN saat ini,
Penerimaan Negara Bukan Pajak
dikelompokkan menjadi empat kelompok
besar, yakni:
1) Penerimaan Sumber Daya Alam
Pendapatan Sumber Daya Alam dibagi
menjadi migas dan non-migas. Pendapatan
SDA migas merupakan pendapatan yang
diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas
kerjasama pengelolaan sektor hulu migas.
Pendapatan SDA non migas dikenal dengan
beberapa pendapatan sektoral yang cukup
populis, yakni pertambangan umu, kehutanan,
perikanan, dan panas bumi.
2) Pendapatan bagian laba Badan Usaha
Milik Negara (BUMN)
Pendapatan bagian laba BUMN merupakan
imbalan kepada pemerintah pusat selaku
pemegang saham BUMN (return on equity)
yang dihitung berdasarkan persentase tertentu
terhadap laba bersih (pay-out ratio). Tidak
kurang dari 70 BUMN yang menjadi
kontributor dividen secara reguler setiap
tahunnya. Di dalam APBN, pendapatan ini
diklasifikasikan ke dalam kelompok
perbankan dan nonperbankan.
3) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
lainnya
Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya
meliputi berbagai jenis pendapatan yang
dipungut oleh Kementerian Negara/ Lembaga
atas produk layanan yang diberikan kepada
masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini
adlaah pendapatan atas pengurusan SIM,
STNK, dan surat nikah sebagaiman contoh di
atas. Pungutan yang dilakukan oleh instansi
pemerintah tersebut dilakukan atas dasar
Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis PNBP pada K/L tertentu. Tidak
kurang dari sepuluh ribu jenis dan tarif PNBP
yang dikenakan secara sah oleh instansi
pemerintah.
4) Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)
Pendapatan BLU diperoleh atas produk
layanan instansi pemerintah yang diberikan
kepada masyarakat. Perbedaanna, pendapatan
yang diperoleh melalu mekanisme BLU ini
dapat langsung digunakan oleh instansi yang
bersangkutan. Selain itu, jenis dan tarif PNBP
BLU tidak ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah melainkan melalui Peraturan
Menteri Keuangan.
b. Perikanan
Perikanan merupakan kegiatan
manusia yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hayati peraiaran. Sumberdaya hayati perairan
tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya
mencaku ikan, amfibi, dan berbagai
avertebrata penghuni perairan dan wilayah
yang berdekatan, serta lingkungannya. Di
Indonesia, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 31/2004, perikanan
adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra-
produksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan.
Pengelolaan perikanan dilaksanakan
dengan tujuan:
1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil
dan pembudi daya ikan kecil;
2) Meningkatkan penerimaan dan devisa
negara;
3) Mendorong perluasan dan kesempatan
kerja;
4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi
sumber protein ikan;
5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya ikan;
6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai
tambah, dan daya saing;
7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku
untuk industri pengolahan ikan;
8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan,
lahan pembudidayaan ikan, dan lingkngan
sumber daya ikan secara optimal; dan
9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan,
laha pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
Bahwa salah satu tujuan dilaksanakan
perikanan di Indonesia adalah untuk
meningkatkan penerimaan negara, salah
satunya dengan Penerimaan Negara Bukan
Pajak di sektor perikanan.
3. Metodologi
Makalah ilmiah ini berbentuk analisis
deskriptif, yakni jenis penelitian yang
bertujuan menjelaskan potensi penerimaan
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
bisa didapatkan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Makalah ini menggunakan data
sekunder, yakni:
1) Data target dan realisasi kementerian
kelautan dan perikanan dari tahun 2007
sampai dengan tahun 2011 yang
bersumber dari kementerian kelautan dan
perikanan.
2) Data volume produksi perikanan dari
tahun 2007 sampai dengan tahun 2011
yang bersumber dari kementerian kelautan
dan perikanan.
3) Data nilai produksi perikanan dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2011 yang
bersumber dari kementerian kelautan dan
perikanan.
Berdasrkan data yang diperoleh,
penulis akan menganalisa potensi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bisa
didapat oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Hipotesis pada penulisan makalah ini
adalah bahwa Nilai PNBP sektor perikanan
tidak sepadan jika dilihat dari total Nilai
Produksi Perikanan Indonesia setiap tahunnya.
4. Hasil Analisis dan Pembahasan
Sektor perikanan merupakan salah
satu sektor yang memiliki potensi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang cukup
tinggi. Dilihat dari negara kita yang berbentuk
kepulauan dan hampir dua per tiga wilayah
negara kita adalah laut. Berdasarkan data tabel
1 realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak,
semenjak tahun 2009 sampai dengan tahun
2012 target Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) tidak mengalami peningkatan dan
stagnan di angka Rp. 150 Milliar. Dengan
realisasi PNBP perikanan tangkap tahun 2011
sebesar Rp 183,80 miliar atau 122,53 persen
dari target APBN dan realisasi tahun 2012
adalah 218,92 miliar atau 145,95 persen dari
target penerimaan.
Tingginya realisasi Pendapatan
Negara Bukan Pajak perikanan tangkap tahun
2011-2012 disebabkan karena terakumulasinya
pembayaran tunggakan penerimaan pungutan
pengusaha perikanan (PPP) dan pungutan hasil
perikanan (PHP) dari tahun 2009-2010.
Dengan demikian bahwa pencapaian target
sebesar 145,95 persen sebenarnya tidak
sebesar itu untuk penerimaan yang benar-
benar terjadi pada tahun 2012.
Dan tabel 1 juga menunjukkan bahwa
sejak tahun 2007-2010 realisasi PNBP
perikanan SDA dan SDA berfluktuasi
berikasar antara 48 sampai dengan 73 persen.
PNBP perikanan yang berasal dari non SDA
realisasinya selalu diatas 100%, tetapi untuk
PNBP perikanan dari SDA berkisar antara 38
persen sampai dengan 68%.
Sedangkan jika dilihat dari volume
produksi perikanan dari tahun 2006-2011 pada
tabel 2, dapat di lihat bahwa volume perikanan
tangkap kurang lebih sekitar 50%-60% dari
seluruh volume produksi perikanan tahun
2006-2011. Namun, kenaikan rata-rata tahun
2006 sampai dengan tahun 2011 hanya 3.20%.
sementara perikanan budidaya mengalami
kenaikan rata-rata dari tahun 2006 sampai
dengan tahun 2011 sebesar 25,62%. Jika
dilihat antara perikanan tangkap dan perikanan
budaya, terjadi sebuah perubahan yang sangat
sginifikan, yakni pada tahun 2006 perikanan
tangkap jumlahnya 1,5 kali lebih besar dari
volume produksi perikanan budidaya, akan
tetapi pada tahun 2010 dan 2011 jumlah
volume perikanan budidaya lebih besar
dibandingkan dengan jumlah volume
perikanan tangkap. Dapat dilihat pada grafik 1,
tren menunjukan dari tahun 2006-2011 total
volume produksi perikanan selalu mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Dengan bertambahnya volume
produksi ikan, pasti juga diikuti dengan nilai
produksi ikan setiap tahunnya dapat kita lihat
di tabel 3. Pada tahun 2011, nilai produksi
ikan Indonesia khusunya pada perikanan
tangkap yang mencapai Rp. 70.03 triliun.
2006 2007 2008 2009 2010 2011 -
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
Grafik 1: Tren Volume Produksi Perikanan (Ton)
Perikanan Tangkap Perikanan BudidayaTotal Volume Produksi Perikanan
Padahal pada tahun 2007 nilai produksi ikan
baru mencapai Rp 48.43 triliun. Pertumbuhan
rata-rata pertahun untuk perikanan tangkap
dari tahun ke tahun adalah sekitar 9.81%. Dan
kenaikan juga dialami sektor perikanan
budidaya yang semula pada Tahun 2007 hanya
mencapai Rp. 27.92 Triliun, pada tahun 2011
mencapai Rp. 66.54 Triliun. Dapat dilihat pada
grafik 2, tren menunjukkan dari tahun 2007-
2011 total nilai produksi perikanan selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal yang menarik adalah tingginya
volume dan nilai produksi ikan dipengaruhi
oleh semakin banyaknya kapal dalam negeri
dan luar negeri yang beroperasi di Indonesia.
Namun, banyaknya jumlah kapal yang
beroperasi di Indonesia tidak terlalu merubah
kontribusi dari hasil tangkapan dalam
perekonomian ndonesia maupun APBN.
Volume dan nilai produksi perikanan tersebut
seharusnya menjadi salah satu ukuran dalam
menentukan besarnya Penerimaan Negara
2007 2008 2009 2010 2011 -
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000 Grafik 2: Nilai Produksi Perikanan Tahun 2007-2011 (Miliar Rp)
Perikanan Tangkap Perikanan BudidayaTotal Nilai Produksi Perikanan
Bukan Pajak (PNBP) Perikanan yang telah
digambarkan pada tabel 1.
Pada tabel 1 dapat kita lihat total
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
Perikanan untuk tahun 2011 adalah sebesar
Rp. 223.71 Miliar, sedangkan total nilai
produksi perikanan pada tahun 2011 adalah
sebesar Rp. 136.57 Triliun. Dari dua data
tersebut dapat kita lihat jauhnya angka
tersebut. Pengenaan tarif untuk pungutan hasil
perikanan (PHP) PNBP adalah PNBP yang
harus disetor berdasarkan kapal yang dimiliki.
Jika perusahaan atau nelayan melaporkan ke
pemerintah pusat bahwa kapal yang
dioperasikan adalah >30 tetap < 60 GT, maka
rate PHP untuk Penerimaan Negara Bukan
Pajak menjadi sebsar 1 persen. Namun untuk
kapal berukuran lebih dari 60 GT dikenakan
rate PHP sebesar 2,5 persen.
Jika dilakukan perhitungan kembali
dari nilai produksi hasil tangkapan pada tahun
2011 dengan menggunakan rate PNBP sebesar
2.5 persen, maka seharusnya Penerimaan
Negara Bukan Pajak sektor Perikanan
seharusnya sebesar Rp. 1.75 Triliun. Jika
dilihat dari tabel 1, Penerimaan Negara Bukan
Pajak Sektor Perikanan SDA hanya sebesar
Rp. 183.8 Miliar, ada selisih sekitar Rp 1.5
Triliun setiap tahunnya. Angka tersebut tidak
lah kecil, adanya inefesiensi negara dalam
pengoptimalan penerimaan negara, khususnya
pada Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
Perikanan.
Dan salah satu kendala bagi para
nelayan dan pemilik kapal >30 GT izinnya
harus melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang berada di Jakarta. Izin tersebut
menjadi kendala para nelayan dan pemilik
kapal dikarenakan tempat para nelayan tidak
di sekitaran jawa saja, melainkan diseluruh
Indonesia. Hal ini menyebabkan jauhnya para
nelayan untuk mendapatkan izin tersebut, dan
izin tersebut harus diperbaharui setiap
tahunnya. Para pelayan dan pemilik kapal
mengurus izin tersebut dengan menggunakan
biro jasa karena jauhnya jarak, dengan
penggunaan biro jasa tentu saja meningkatkan
pengeluaran bagi pelayanan dan lamanya
pengurusan izin tersebut karena terpusat di
jakarta.
Sedangkan untuk ukuran tonase kotor
(GT) dibawah 30 GT, nelayan dan pemilik
kapal dapat mendapatkan izin dari pemerintah
daerah atau provinsi. Hal tersebut tentu saja
dapat mengurangi PNBP, karena banyak
nelayan dan pemilik kapal melakukan
pengukuran kapal yang tidak sesuai.
Seharusnya lebih dari 30 GT, tetapi tertulis
kurang dari 30 GT. Hal ini dikarenakan jarak
mendapatkan izin untuk kapal lebih dari 30
GT harus ke Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang berada di jakarta.
Untuk meningkatkan potensi
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
perikanan ini, pemerintah seharusnya
melakukan beberapa langkah untuk dapat
menghilangkan inefesiensi terkait dengan
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
Perikanan. Langkah-langkah tersebut antara
lain:
a. Pemindahan kewenangan pengukuran
kapal penangkap ikan.
Bahwa selama ini pengukuran kapal
penangkap ikan tidak dilakukan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) melainkan dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,
Kementerian Perhubungan. Untuk masa
yang akan datang, seharusnya pengukuran
kapal penangkap ikan dilakukan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal
ini ditujukan untuk memberikan
keleluasan kepada Kementerian Kelautan
dan Perikanan untuk melakukakan
monitoring dan pengawasan kapal
penangkap ikan.
b. Kemudahan administratif untuk
perizininan SIPI dan SIKPI
Hal ini ditujukan untuk mengurangi beban
para nelayan dan pemilik kapal > 30 GT
terhadap administrasi SIPI dan SIKPI
yang berlangsung setiap tahun di Jakarta.
Seharusnya Kementerian Kelautan dan
Perikanan memberikan delegasi
wewenang kepada kantor Pelabuhan
Perikanan Samudera, dan Kantor
Pelabuhan Perikanan Nusantara yang
pengawasannya berada di bawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan
untuk melakukan proses pengoperasian
kapal penangkap ikan di wilayahnya.
c. Penggunaan Logbook
Penggunaan Logbook seharusnya menjadi
persyaratan utama bagi nelayan atau
pemilik kapal saat mendaratkan ikan di
pelabuhan. Dan data logbook ini harus
bisa termonitor secara online untuk
memastikan berapa volume dan nilai
produksi masing-masing jenis ikan yang
ditangkap. Dengan demikian, tidak
diperlukan lagi petugas tambahan untuk
mencatat berapa volume produksi ikan
hasil tangkapan di laut. Data yang
diperoleh logbook menjadi valid
dibandingkan dengan pencatatan manual
atau berdasarkan pengamatan dari petugas.
d. Kebijakan pengendalian bahan bakar
untuk nelayan
Kebijakan pengendalian bahan bakar
untuk nelayan sangat diperlukan oleh PT
Pertamina. Bahan bakar subsidi yang
secara khusus diberikan untuk nelayan
sebaiknya benar-benar digunakan untuk
kepentingan penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan, dan bukan untuk
kapal lainnya. Untuk itu, pengendalian
bahan bakar nelayanan dapat dilakukan
dengan cara seleksi pada saat pengisian
bahan bakar adalah untuk perikanan yang
telah menyerahkan laporan tangkapan ikan
atau logbook. Hal ini untuk mencegah
penggunaan bahan bakar subsidi yang
digunakan oleh kapal yang bukan kapal
penangkap ikan.
Empat langkah tersebut diharapkan
dapat meningkatkan optimalisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak sektor perikanan yang
selama ini tidak sesuai dengan harapan. Dan di
masa yang akan datang, Penerimaan Negara
Bukan Pajak sektor perikanan dapat meningkat
drastis sesuai dengan kondisi wilayah negara
Indonesia yang hampir dua per tiga
wilayahnya adalah laut.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dijelaskan diatas,
dapat disimpukan beberapa hal sebagai
berikut. Pertama, PNBP perikanan masih
menunjukkan kinerja yang kurang optimal,
karena hasil tangkapan perikanan dari tahun
ke tahun terus mengalami pengingkatan tetapi
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
perikanan tidak ada peningkatan. Salah satu
penyebabnya adalah banyak ditemui kapal
yang ukuran tonase kotor (GT) tidak sesuai
dengan ukuran sebenarnya. Yang seharusnya
pelaporan kapal tersebut ke Pemerintah pusat,
akan tetapi dilaporkan ke pemerintah propinis
atau kabupaten/kota karena kapal yang
dioperasikan kurang dari 30 GT. Selain itu,
para nelayan dan perusahaan berusaha
menghindari pengenaa pungutan hasil
perikanan PNBP sebesar 2,5 persen terhadap
PNBP yang harus disetor berdasarkan ukuran
kapal yang dimiliki.
Kedua, pengurusan ijin untuk kapal
dengan ukuran di atas 30 GT harus dilakukan
di Kementerian Kelautan dan Perikanan di
Jakarta, hal ini tentu saja sangat menyulitkan
bagi para pengusaha perikanan yang
berdomisili di luar jakarta. Dan para
pengusaha perikanan yang berdomisili di luar
jakarta banyak yang menggunakan biro jasa,
biro jasa tersebut sama sekali tidak
memberikan kepastian dalam penyelesaian
izin tersebut dan membebani para pengusaha
dengan harga yang cukup tinggi karena
prosedur administrasi yang terpusat di jakarta.
Ketiga, penggunaan logbook sebagai
salah satu alat untuk memonitor hasil
tangkapan belum menjadi keharusan bagi
nelayan sebagai pelaporan ke KKP melalui
pelabuhan tempat mendaratkan ikan. Tidak
ada sanksi apabila nelayan atau nahkoda tidak
melaporkan ke KKP. Padahal, logbook
tersebut sangat penting untuk mengetahui
berapa hasil produksi tangkapan ikan yang
diperoleh nelayan per trip.
Keempat, pengisian BBM Solar
bersubsidi bagi nelayan dan pemilik kapal
tidak sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan kesimpulan yang penulis
dapat dari hasil analisis dan pembahasan
makalah ini, penulis juga memberikan saran
terhadap Kementerian Kelautan dan Perikanan
sebagai berikut. Pertama, Pemindahan
kewenangan pengukuran kapal penangkap
ikan yang semula di Kementerian
Perhubungan menjadi di Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Kedua, Mengurangi beban nelayan
dan pemilik kapal lebih dari 30 GT terhadap
pengurusan SIPI dan SIKPI. Ketiga, logbook
menjadi syarat utama bagi nelayan atau
pemilik kapal saat mendaratkan ikan di
pelabuhan.
Keempat, kbijakan pengendalain
bahan bakar untuk nelayan. Demikian saran
yang bisa penulis berikan untuk
mengoptimalkan PNPB pada sektor perikanan
yang dari tahun ke tahun tidak ada kenaikan,
baik dari target maupun realisasinya.
6. Daftar Pustaka
Ikawati. 2014. MKP Susi: 2015, PNBP Sektor Kelautan Naik 508 Persen. Diakses pada 21 Februari 2014, dari http://jurnalmaritim.com/2014/11/mkp-susi-2015-pnbp-sektor-kelautan-naik-508-persen/
Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jakarta
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta
Samosir, Agunan. 2014. Sektor Perikanan: PNBP yang Terabaikan. Diakses pada 21 Februari 2015, dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/sektor_perikanan_060314.pdf
Suara, Yangki Imade. Optimalisasi Penerimaan Negara dari Perikanan. Diakses pada 21 Februari 2015, dari http://www.ceds.fe.unpad.ac.id/publications/analisis-ceds/309-optimalisasi-penerimaan-negara-dari-perikanan.html