obral izin pertambangan batu bara samarinda- syam hadijanto fh uwg malang
DESCRIPTION
Izin merupakan instrumen pemerintah yang digunakan untuk memberikan pengelolaaan terhadap sebuah objek vital negara, dengan demikian ia memiliki sebuah urgensi yang harus dipenuhi dallam pengeluarannya, namun dewasa ini akibat sebuah quo vadis otoda mengakibatkan maraknya obral izinTRANSCRIPT
A. Judul : Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya “Obral Izin”
Pertambangan Pasca Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah
(Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda)
B. Latar Belakang
Pasca bergulirnya reformasi yang digelorakan pada tanggal 21 Mei
1998,1 yang menitikberatkan kepada aspirasi daerah, yang selama ini
terbendung oleh rezim pemerintahan orde baru yang sentralistik, akhirnya
mampu menciptakan sebuah format baru dalam sturktur ketatanegaraan di
Indonesia, yakni melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Otonomi Daerah yang bertujuan untuk lebih meningkatkan
pelayanan serta peran serta masyarakat daerah dalam upaya pemerataan
kesejahteraan masyarakat secara merata.2
Dalam pelaksanaan otonomi daerah yang pada esensinya ialah
memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan
pemerintahan melalui otonomi seluas-luasnya, maka seyogyanya pasca
pelaksanaan otonomi daerah ini akan mampu memberikan sebuah
peningkatan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat, namun fakta
yang ada cenderung bertentangan, di mana pasca pelaksanaan otonomi daerah
yang terjadi ialah meningkatnya tindakan kesewenang-wenangan pemerintah
daerah untuk menarik dana sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi
1 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru (Bandung, 2000), hlm. xxv
2 Lihat Konsideran Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
1
2
daerahnya.3 Khusus dalam bidang pertambangan, yang di mana merupakan
salah satu bidang dalam investasi yang diatur dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan sebagai berikut :
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Melihat rumusan di atas maka bentuk penguasaan negara terhadap
kekayaan sumber daya alam ini merupakan sebuah wewenang yang berisi
wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau
pengusahaan, serta berisi kewajiban untuk mempergunakaannya sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat,4 maka sudah seharusnya pengelolaan sumber
daya pertambangan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pasca penerapan otonomi daerah kebijakan pengelolaan sumber daya
alam tidaklah lagi menjadi monopoli dari pemerintah pusat, karena melalui
penerapan otonomi daerah ini sebagian kewenangan dalam pengelolaan
sumber daya alam telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, sehingga di dalam pengelolaan tersebut pemerintah daerah dapat
melakukannya sendiri dan/atau menunjuk kontraktor, yang di mana
kedudukan pemerintah adalah sebagai pemberi izin kepada kontraktor yang
bersangkutan, dalam bentuk kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batu bara, dan kontrak production sharing.5
Selain kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang telah menjadi
3 http://green.kompasiana.com/penghijauan,otonomi daerah menteri makin tak bertaji, diakses tanggal 2 Mei 2013
4 H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta, 2007), hlm. 15 Ibid, hlm. 1-2
3
kewenangan pemerintah daerah, terkait dengan pemberian izin pertambangan
pasca otonomi daerah juga tidak lagi menjadi kewenangan dari Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral semata-mata, tetapi kini telah menjadi
kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, yang dalam hal ini
ialah gubernur dan bupati/walikota,6 maka dengan begitu besarnya
kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam mengurusi sendiri
pemerintahannya, seharusnya hal ini pun semakin mendekatkan tujuan utama
yang dicanangkan di dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945 yakni
untuk memajukan kesejahteraan umum dan bukan sebaliknya malah
menciptakan kesengsaraan kepada masyarakat, salah satu permasalahan yang
muncul terkait kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber
daya alam ialah munculnya “obral izin” pertambangan yang mengabaikan
kepentingan rakyat dan cenderung menimbulkan bentuk penjajahan baru
dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Fakta mengenai keberadaan “obral izin” pertambangan ini dapat dilihat
dari fenomena yang terjadi di Kota Samarinda yang memiliki potensi
pertambangan dalam bahan galian strategis (golongan A) dan golongan C, di
mana saat ini Kota Samarinda telah dikepung oleh 68 izin kegiatan
pertambangan batu bara,7 yang ternyata tidak memberikan sebuah
peningkatan terhadap kesejahteraan masyarakat. Dari fakta ini seolah
memperlihatkan sisi gelap dari pelaksanaan otonomi daerah terkait dengan
penerbitan izin pertambangan yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh
6 Ibid., hlm. 3 7 http://news.detik.com/samarinda dikepung tambang batu bara wali kota akan digugat,
diakses tanggal 3 Mei 2013
4
pemerintah daerah tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap
masyarakat dan cenderung keluar dari tujuan esensial sistem perizinan yang
menitikberatkan kepada upaya pengendalian/pengarahan, pencegahan bahaya
lingkungan, serta melindungi objek-objek tertentu.8 Dengan munculnya
fenomena “obral izin” pertambangan ini, maka sangatlah diperlukan sebuah
upaya perbaikan baik dari segi formulasi regulasi dan kebijakan, serta
perlunya sebuah perbaikan dalam konsepsi pelaksanaan otonomi daerah,
sehingga melalui pelaksanaan otonomi daerah dengan demokrasi yang
sesungguhnya mampu melahirkan pemimpin yang kaki dan tangannya tidak
terikat oleh kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya dan
mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.
Beranjak dari pemaparan mengenai munculnya “obral izin”
pertambangan ini, maka penulis merasa perlu untuk melakukan sebuah kajian
terhadap faktor pendorong terjadinya “obral izin” pertambangan yang terjadi
di Kota Samarinda, agar dapat menciptakan sebuah mekanisme perizinan
pertambangan yang berpihak kepada masyarakat, serta dapat memberikan
sebuah pemahaman yang sesungguhnya terkait pelaksanaan otonomi daerah.
Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan
tersebut dengan judul Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya “Obral
Izin” Pertambangan Pasca Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah
(Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda).
C. Perumusan Masalah
8 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan (Jakarta, 2009), hlm. 11
5
Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam
penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi munculnya “obral izin”
pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota
Samarinda ?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap munculnya “obral izin”
pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota
Samarinda ?
D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya “obral izin” pertambangan pasca pemilukada dalam
otonomi daerah di Kota Samarinda.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap
munculnya “obral izin” pertambangan pasca pemilukada dalam
otonomi daerah di Kota Samarinda.
2. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada
semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
6
1) Diharapkan dengan penelitian ini dapat bermanfaat untuk
memberikan sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangan ilmiah
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
khususnya Hukum Perizinan terkait dengan izin pertambangan.
2) Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi tambahan khasanah
referensi dan literatur kepustakaan Hukum Perizinan berkaitan
dengan kajian izin pertambangan.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kerangka dasar
acuan untuk melakukan sebuah evaluasi terhadap kebijakan
pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan.
b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi
pihak yang tertarik meneliti pada bidang yang sama pada tahap
berikutnya.
2) Bagi Pemerintah
a) Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sebuah masukan
dalam mengevaluasi kebijakan izin pertambangan guna
memperbaiki sisi gelap penerbitan izin pertambangan pasca
pemilukada dalam otonomi daerah.
3) Bagi Universitas
7
a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih
dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan
terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sekilas Tentang Otonomi Daerah
Secara Historis pemerintahan daerah yang dikenal selama ini, berasal
dari perkembangan praktek pemerintahan di Eropa pada abad ke 11 (sebelas)
dan 12 (duabelas). Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut
pemerintahan daerah masih berasal dari yunani dan latin kuno.9 Pada saat itu
muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah kemudian
membentuk suatu lembaga pemerintahan, pada awalnya satuan-satuan
wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok
penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota),
country (kabupaten), commune/gementee (desa).10
Menurut Stoker munculnya pemerintahan daerah modern ini sangat erat
kaitannya dengan fenomena industrialisasi yang melanda Inggris, yang
menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota secara
besar-besaran, sehingga terjadi perubahan dalam corak wilayah.11 Dalam
praktek desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih, namun dalam
maknanya keduanya memiliki perbedaan. Desentralisasi merupakan sistem
9 Lihat Fatkhurohman dan Sirajuddin, Reading Material Hukum Administrasi Negara, “Organisasi Administrasi Negara”, 2005, di Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, hlm. 107
10 Sirajuddin, “Konsepsi dan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen”. (Makalah dalam Seminar Pemahaman Kecakapan konstitusi Malang, 31 Oktober 2009), hlm. 2
11 Ibid.
8
pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi, jika sentralisasi adalah
pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian dan
pelimpahan.12 Definisi desentralisasi menurut beberapa pakar terdapat
perbedaan redaksional, menurut Joeniarto,13 desentralisasi adalah
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal
untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah
tangganya sendiri.
Amrah Muslimin,14 mengartikan bahwa desentralisasi adalah
pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam
masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Irawan Soejito,15 mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan
kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Sementara
otonomi berasal dari kata autos dan nomos, yang bermakna memerintah
sendiri.16 Karena desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri
atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai desentralisasi dengan
sendirinya berarti membicarakan otonomi, sehingga esensi dari desentralisasi
adalah proses pengotonomian yakni proses penyerahan kepada satuan
pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengelola urusan
pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya, atau dengan kata lain
12 Luluk Saleh, “Keterbukaan Informasi Publik: Perangkat Baru Menciptakan Good Governance dalam Pemerintahan Lokal”, Jurnal Konstitusi, Universitas Widyagama Malang, No. 1/Vol III, Juni 2010, hlm. 145
13 Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal (Jakarta, 1992), hlm. 1514 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah (Bandung, 1986), hlm. 515 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah (Jakarta,
1990), hlm. 29 16 Luluk Saleh, Loc.Cit.
9
otonomi dan desentralisasi merupakn dua sisi dalam satu mata uang (both
sides of one coin.)17
Dalam sejarah Indonesia, diskursus masalah hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dalam hal penguatan kewenangan daerah seringkali
terbelenggu oleh kekhawatiran munculnya kecendrungan terbentuknya suatu
bentuk negara federal. Sistem federal yang pernah dipaksakan oleh politik
kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan wilayah Indonesia seperti
telah menjadi trauma sejarah bagi generasi sekarang.
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap menjadi pilihan yang
tepat sampai sekarang. Sementara itu, akibat dominasi pusat terhadap daerah
sangat berlebihan selama rezim Orde Lama dan Orde Baru telah
memunculkan perlawanan di berbagai daerah, maka reaksi dari praktek
pemerintah yang otoriter dan birokratik tersebut adalah menghilangkan
hegemoni kekuasaan pusat terhadap daerah.18
Dalam hubungan mengenai kewenangan antara pusat dan daerah didalam
sebuah negara kesatuan memunculkan sebuah konsep sentralisasi dan
desentralisasi, yang di mana sentralisasi merupakan sebuah pemusatan
seluruh kewenangan pemerintah pada satu titik yaitu pemerintahan pusat dan
tidak dapat dibagi kepada pejabat-pejabatnya didaerah dan/atau pada daerah
otonom, namun pada dasarnya tidak mungkin semua urusan pemerintahan
dapat diselenggarakan secara sentralisasi, yang pada akhirnya dilakukanlah
pelimpahan sejumlah wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan
17 Sirajuddin, Op.Cit., hlm. 318 Iwan Satriawan, Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan
Daerah, dalam http//www.google.com//Sistem Pemerintahan Daerah, diakses tanggal 6 Mei 2013
10
pemerintahan daerah, sehingga penerapan asas sentralisasi dan desentralisasi
dalam organisasi negara bangsa tidaklah bersifat dikotomis melainkan bersifat
kontinum.19
2. Sumber Daya Pertambangan Batu Bara
Sebagaimana diketahui bahwa batu bara merupakan salah satu dari bahan
pertambangan yang termasuk dalam golongan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui atau sumber daya terhabiskan, yang dimana sumber daya
alam ini tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis dan terbentuk
melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat
dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap pakai dan
apabila dieksploitasi sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih
kembali seperti semula.20 Batu bara sendiri merupakan istilah yang
merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu coal, yang merupakan
campuran padatan yang yang heterogen dan terdapat di alam dalam
tingkat/grade yang berbeda dari lignit, subbtumine, antarasit.21
Batu bara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus
menjadi sumber daya energi yang sangat besar. Indonesia pada tahun 2006
mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton
diantaranya diekspor. Indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di
19 Sirajuddin, Op.Cit., hlm. 420 Marilang, Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11/No.1, Mei
2011, hlm. 321 Sukandarrumidi, Bahan Galian Industri (Yogyakarta, 1999), hlm. 26
11
Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu
bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi.22
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki
posisi ke-4 di dunia sebagai negara pengekspor batubara. Di masa yang akan
datang batu bara menjadi salah satu sumber energi alternatif potensial untuk
menggantikan potensi minyak dan gas bumi yang semakin menipis.
Pengembangan pengusahaan pertambangan batu bara secara ekonomis telah
mendatangkan hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun sebagai sumber devisa, namun Walaupun secara sekilas
batu bara mempunyai kegunaan yang sangat startegis, namun keberadaan
industur pertambangan batu bara dapat menimbulkan dampak positif dan
negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan batu
bara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruktif
(membangun). Dampak positif dari industri pertambangan batu bara adalah:23
a. Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan
dan pelabuhan.
b. Sumber devisa negara.
c. Sumber pendapatan asli daerah (PAD).
d. Sumber energi alternatif untuk masyarakat lokal.
e. Menampung tenaga kerja.
22 http://rhadenfatul.blogspot.com/2012/11/1-masalah-pertambanganbatubara.html, diakses tanggal 5 Juni 2013
23 H. Salim HS., Op.Cit., hlm. 221
12
Melihat uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pengelolaan sumber daya pertambangan batu bara yang merupakan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui ini, haruslah dilakukan dengan penuh
pertimbangan oleh pemerintah, yang dalam hal ini ialah pemerintahan daerah
agar dalam pengelolaannya dapat benar-benar memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat secara adil dan merata.
3. Sekilas Tentang Konsep Perizinan
Sesuai dengan konsep negara kesejahteraan (walfare state) yang
menuntut peran aktif dari pemerintah dalam upaya pemenuhan kesejahteraan
masyarakat, maka campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat
merupakan sebuah keharusan. Dalam konsep negara kesejahteraan (walfare
state) pemerintah berperan aktif dalam upaya memberikan perlindungan
kepada masyarakat, mendukung dan menyediakan pelbagai pelayanan
kehidupan masyarakat, serta menjamin keadilan dasar dalam hubungan
kemasyarakatan.24
Dengan adanya campur tangan pemerintah yang masuk dalam hidup dan
penghidupan masyarakat guna mengusahakan kesejahteraan umum, maka
akan banyak sekali interaksi-interaksi yang terjadi antara pemerintah dengan
masyarakat, di dalam interaksi tersebut pemerintah memerlukan sebuah
instrumen yang dapat digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat yakni
melalui instrumen perizinan, pengaturan dan pengeluaran kebijakan tertentu.25
24 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 125 Ibid, hlm. 4
13
Instrumen yang digunakan pemerintah untuk mengatur dan menciptakan
kesejahteraan masyarakat merupakan sebuah instrumen yang lahir dari
adanya sebuah wewenang pemerintah dalam melakukan tindakan, baik yang
berupa perbuatan hukum maupun perbuatan material, salah satu instrumen
yang banyak digunakan oleh pemerintah dalam rangka menggunakan
kewenangan tersebut ialah melalui pengeluaran izin. Menurut N. M Sepelt
dan J.B.J.M ten Berge izin merupakan suatu persetujuan penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan
tertentu menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.26
Penggunaan instrumen perizinan, merupakan cara pemerintah untuk
dapat terlibat dalam kegiatan masyarakat, yang ditujukan untuk mencapai
beberapa tujuan tertentu, yaitu untuk mengarahkan atau mengendalikan
aktifitas-aktifitas tertentu, mencegah bahaya bagi lingkungan, keinginan
untuk melindungi objek tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit,
serta mengarahkan dengan menyeleksi orang dan aktifitas-aktifitas.27
Secara ringkas izin merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah secara tertulis untuk memberikan hak kepada seseorang atau
badan hukum dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan perundang-
undangan, dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjamin kepastian
hukum serta dapat digunakan kepentingan yang dimiliki.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
26 Philipus M. Hadjon, ed, Pengantar Hukum Perizinan (Surabaya, 1993), hlm. 227 Ibid, hlm. 4-5
14
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian yang tidak
hanya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah
terpegang di tangan,28 namun penelitian merupakan sebuah kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Kemudian metodologi berasal dari
kata “metode” yang artinya tepat melakukan sesuatu dan “logos” yang
artinya ilmu pengetahuan, dengan demikian penelitian hukum merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metede, sistematika, dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya dan kemudian
mengusahakan suatu pemecahan permasalahan-permasalahan yang timbul di
dalam gejala bersangkutan.29
Dalam penelitian ini jenis penelitian serta metode pendekatan yang
digunakan merupakan jenis yuridis sosiologis yang merupakan penelitian
untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses
bekerjanya hukum di dalam masyarakat,30 karena itu metode ini menekankan
pada data-data primer yaitu persoalan-persoalan yang dianalisis dalam
hubungannya dengan realita empiris yang berupa hubungan timbal balik
antara hukum dengan realita yang ada.
2. Lokasi Penelitian
28 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, 2012), hlm. 27 29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta,1986), hlm. 4330 Bambang Sunggono, Op.Cit., hlm. 42
15
Dalam penulisan ini penulis mengambil lokasi penelitian di wilayah
hukum kota samarinda, yakni di kawasan pertambangan di wilayah
samarinda, karena di daerah tersebut banyak sekali muncul “obral izin” di
bidang pertambangan.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis data yang digunakan penulis adalah data primer dan data
sekunder.
1) Data primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh
peneliti dari obyek penelitian. Termasuk dalam data primer ini
adalah hasil wawancara peneliti dengan objek penelitian atau stake
holder yang berkaitan dengan penelitian, yaitu Kepala Dinas
Pertambangan Kota Samarinda, para pimpinan perusahaan
pertambangan, akademisi yang ahli di bidang hukum
pertambangan dan perizinan.
2) Data sekunder, merupakan data yang diperoleh secara tidak
langsung oleh peneliti, baik berupa peraturan perundang-undangan,
internet maupun bentuk lain yang berupa dokumen yang terkait
guna melengkapi data primer yang sudah diperoleh.
b. Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
berasal dari :
1) Sumber data primer, yang mana diperoleh penulis dari hasil
wawancara langsung dengan Kepala Dinas Pertambangan Kota
16
Samarinda, pimpinan perusahaan pertambangan, akademisi yang
ahli di bidang hukum pertambangan dan perizinan.
2) Sumber data sekunder, yang mana diperoleh penulis dari berbagai
literatur, baik berupa peraturan perundang-undangan, internet
maupun bentuk lain yang berupa dokumen yang terkait guna
melengkapi data primer yang sudah diperoleh.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh
peneliti dari obyek penelitian, teknik pengumpulan data primer antara
lain dengan observasi/pengamatan secara langsung, dan interview atau
wawancara secara mendalam dengan membuat daftar pertanyaan yang
terstruktur.
b. Data Sekunder
Untuk data sekunder yang dilakukan dalam pengumpulan data
sekunder adalah dengan studi kepustakaan, yaitu peneliti
mengumpulkan bahan-bahan hukum dari berbagai kepustakaan yang
terkait dengan penelitian ini.
5. Penentuan Sampel Responden
Dalam penelitian ini menggunakan teknik non random sampling yaitu
penentuan secara teratur (tidak secara acak), sedangkan penentuan
respondennya ditentukan dengan melihat tujuan peneliti (purposiver
17
sampling).31 Teknik ini biasanya dipilih karena keterbatasan waktu, tenaga
dan biaya, sehingga tidak bisa mengambil sampel dengan jumlah yang besar
dan jauh letaknya. Responden sebagai pemberi tanggapan sangat diperlukan,
mengingat dalam penelitian sosial (hukum) responden berfungsi sebagai
kunci untuk mendapatkan data empiris, adapun yang menjadi responden
adalah :
a. Pimpinan Perusahaan Pertambangan
b. Akademisi yang ahli di bidang hukum pertambangan dan perizinan
6. Analisisis Data
Setelah terkumpulnya data yang terdiri dari data primer dan data
sekunder, kemudian dilakukan perbandingan, sehingga bisa ditemukan dasar
yang kuat dan tepat untuk membahas permasalahan yang diangkat oleh
peneliti, maka kemudian dilakukanlah tahap analisis yang dilakukan secara
deskriptif kualitatif.
Analisis deskriptif kualitatif ini merupakan pemilihan teori-teori, asas-
asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang
terpenting yang relevan dengan permasalahan, kemudian membuat
sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klarifikasi
tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk
uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai
jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan
secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar
31 Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri (Jakarta, 1990), hlm. 44
18
hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang
dimaksud.
G. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Sejarah Kota Samarinda
Samarinda sebagai sebuah kota yang berdiri saat ini, memiliki altar
sejarah yang di mana kota samarinda merupakan bagian atau salah satu
wilayah dari kesultanan kutai kartanegara ing martadipura, di wilayah
tersebut belum ada sebuah desa maupun kota, karena di wilayah tersebut
merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Semenjak
tahun 1668, rombongan orang-orang bugis wajo yang dipimpin oleh La
Mohang Daeng Mangkona (bergelar pua ado) hijrah dari tanah kesultanan
gowa ke kesultanan kutai, mereka hijarah ke kesultanan kutai karena tidak
mau tunduk terhadap perjanjian bongaya, karena kesultanan gowa telah
takluk akibat serangan pasukan belanda.32
Atas kesepakatan dan perjanjian bahwa orang-orang bugis wajo akan
membantu kepentingan raja kutai, terutama dari menghadapi musuh, maka
diberikanlah lokasi perkampungan di sekitar kampung melantai, yang
merupakan sebuah daerah rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan
dan perdagangan, namun karena daerah ini menimbulkan kesulitan dalam
pelayaran karena daerah yang harus berputar (berulak) dengan banyak
kotoran sungai, maka kemudian sultan yang dipertuan kerajaan kutai
kartanegara memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang berasal dari
32 http://www.diansapta.blogspot.com, Asal-Usul Kota Samarinda, diakses tanggal 22 Juni 2013
19
sulawesi untuk membuka perkampungan di daerah tanah rendah. Maksud dan
tujuan dari kesultanan kutai untuk membuka perkampungan tersebut adalah
untuk sebagai pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering
melakukan perampokan di wilayah pantai kerajaan kutai kartanegara, selain
itu tujuan kesultanan kutai kartanegara membuka lahan perkampungan
tersebut ialah untuk memberikan suaka kepada masyarakat bugis akibat
peperangan di daerah asal mereka, tempat inilah yang kemudian diberi nama
oleh sultan kutai “sama rendah”, yang bermakna bahwa antara penduduk asli
dan pendatang berderajat sama dan tidak ada pembedaan antara orang bugis,
kutai, dan banjar serta suku-suku lainnya.33
Dari istilah inilah kemudian melahirkan lokasi pemukiman baru yakni
“samarenda” atau lama-kelamaan menjadi ejaan “samarinda”, yang sesuai
dengan keadaaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah
persawahan yang subur.
2. Gambaran Umum Kota Samarinda
Kota Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)
memiliki luasan wilayah sebesar 71.800 Ha (sama dengan 718 km2). Kota
Samarinda merupakan salah satu diantara 14 kabupaten/kota yang berada
dalam wilayah Provinsi Kaltim, serta berbatasan langsung dengan Kabupaten
Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dilalui oleh sungai Mahakam yang
merupakan sungai terpanjang di Kaltim dengan lebar antara 300-500 meter
dan panjang mencapai 920 km.34
33 ibid34 Bappeda Kota Samarinda, “Profil Daerah Kota Samarinda”, dalam http//www.
bappedasamarinda.co.id, diakses tanggal 22 Juni 2013
20
Secara astronomis, Kota Samarinda terletak pada posisi antara
117003’00”– 117018’14” Bujur Timur dan 00019’02” – 00042’34” Lintang
Selatan. Pada tahun 2011, suhu di Kota Samarinda berkisar antara 22,20C
sampai 34,80C dengan kelembaban udara berada pada 75% sampai 94%.
Curah hujan pada tahun 2011 tergolong tinggi, curah hujan tertinggi berada
pada bulan Mei sebesar 388,6 mm dan terendah berada pada bulan Juni
sebesar 95,2 mm. Kota Samarinda beriklim Tropica Humida yaitu memiliki
iklim musim penghujan dan musim kemarau. Namun pada tahun-tahun
terakhir ini, keadaan musim tidak menentu, pada bulan-bulan yang
seharusnya turun hujan dalam kenyataanya tidak ada hujan sama sekali
ataupun sebaliknya.35
Wilayah administratif kota samarinda berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1996 telah mengalami pemekaran dari yang semula terdiri
dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan, dan pada tahun 2010
dilakukan pemekaran kembali menjadi 10 kecamatan yakni, Kecamatan
Samarinda Ilir, Kecamatan Ulu, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan
Samarinda Seberang, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Palaran,
Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Kota, Kecamatan
Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang.36
Secara geografis Kota Samarinda memiliki wilayah yang berbatasan
dengan wilayah Kutai Kartanegara antara lain sebagai berikut :37
35 Ibid36 http://www.samarindakota.go.id//lima-prinsip, diakses tanggal 22 Juni 201337 http://www.samarindakota.go.id//dinas-pertambangan samarinda, diakses tanggal 22 juni
2013
21
- Sebelah Utara : Kec. Muara Badak
- Sebelah Timur : Kec. Anggana
- Sebelah Selatan : Kec. Sanga-Sanga
- Sebelah Barat : Kec. Loa Janan dan Loa Kulu
Dari segi kependudukan yang di mana faktor laju pertumbuhan penduduk
saat ini menjadi prioritas pemerintah kota samarinda, karena laju
pertumbuhan penduduk yang linier dengan angka kemiskinan atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data BPS,38 tahun 2011 jumlah penduduk Kota Samarinda
terjadi peningkatan sebesar 28.130 jiwa dari tahun 2010 menjadi 755.630
jiwa dengan kepadatan berkisar 1.052 jiwa/km2. Terhitung dalam kurun
waktu 2000- 2011 pertumbuhan penduduk Kota Samarinda sebesar 3,43 %.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya daya tarik lokal Provinsi
Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki sumber daya alam berlimpah,
sehingga mendorong penduduk luar daerah untuk migrasi ke Kalimantan
Timur di mana sebagian besar memilih untuk berdomisili di ibu kota provinsi
yaitu Samarinda.
3. Potensi Sumber Daya Batu Bara Kota Samarinda
Usaha pertambangan di Kalimantan saat ini sedang mencapai puncak
kejayaan, hal ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan perusahaan yang
melakukan eksplorasi di wilayah Kalimantan Timur, khususnya Kota
Samarinda sektoral pertambangan merupakan sektor yang mendominasi
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Samarinda selain perdagangan
38 Bappeda Kota Samarinda, Ibid
22
dan jasa. Perkembangan sektoral pertambangan di Kota Samarinda ini
mengakibatkan Samarinda menjadi satu-satunya ibukota Provinsi yang
menjadi kota tambang, di mana hampir tiga perempat wilayah Kota
Samarinda sudah ditetapkan menjadi wilayah izin usaha pertambangan
(WIUP), atau setidaknya terdapat 68 perusahaan tambang yang beroperasi di
wilayah kota samarinda, di mana 63 izin dikeluarkan oleh pemerintah Kota
Samarinda, dan 1 perusahaan dikeluarkan izinnya oleh pemerintah Provinsi,
dan 4 lainnya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).39
Perhitungan Sumber daya batu bara di daerah kota Samarinda didasarkan
hasil korelasi dan interpretasi data pemboran dan singkapan batu bara serta
kondisi topografinya. Penyebaran lapisan batu bara yang relatif stabil dan
menerus, maka sumberdaya batu bara dihitung dengan cara sederhana, yaitu
luas penyebaran batu bara dikalikan dengan ketebalan batu bara (rata-rata)
serta berat jenisnya (rata-rata), dengan memperhitungkan kemiringan lapisan
batu bara. Perhitungan dilakukan berdasarkan kedalaman batu bara dari
lapisan batu bara rata-rata permukaan tanah ke arah kemiringan batu bara,
yaitu untuk kedalaman vertikal 25 meter, 50 meter dan 75 meter. Berdasarkan
perhitungan tersebut potensi batu bara yang ada di Kota Samarinda dapat di
tampilkan ke dalam grafik berikut :40
39 Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batu Bara di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses tanggal 18 Juni 2013
40 http://www.samarindakota.go.id//Potensi Pertambangan Samarinda, diakses tanggal 22 juni 2013
23
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa Kota Samarinda Memiliki
potensi batu bara yang cukup berlimpah, namun dalam perjalanan kota
samarinda, potensi batu bara yang melimpah ini belum mampu memberikan
sebuah dampak positif bagi masyarakat Kota Samarinda, hal ini dikarenakan
pendapatan daerah dari sektoral pertambangan ini masih jauh di bawah biaya
yang dibutuhkan untuk menanggulangi efek yang ditimbulkan dari eksplorasi
batu bara di Kota Samarinda.41
H. HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya “Obral Izin”
Pertambangan Pasca Pemilukada dalam Era Otonomi Daera di Kota
Samarinda
Penerapan otonomi daerah dewasa ini telah membuka ruang bagi
pemerintah daerah untuk mengurusi sendiri rumah tangganya, termasuk
dalam hal perizinan yang terkait dengan izin pertambangan, dengan desain
desentralisasi ini akhirnya telah berimplikasi pada, terbukanya sebuah ruang
yang spesifik kepada birokrasi pemerintah daerah untuk berkreasi dan
berinovasi dalam akselearasi pembangunan wilayahnya.
41 Abu Meridian, et.al., Mautnya Batu Bara: Pengerukan Batu Bara & Generasi Suram Kalimantan (Jakarta, 2010), hlm. 24-25
Grafik I : Potensi Batu Bara Kota Samarinda
24
Salah satu fenomena yang kemudian muncul akibat adanya sebuah
kewenangan yang begitu besar dari daerah, ialah munculnya “obral izin”
pertambangan, salah satu daerah yang menjadi objek penelitian dalam tulisan
ini ialah Kota Samarinda, yang sekarang telah berubah wajah menjadi satu-
satunya kota yang terdapat begitu banyak aktifitas tambang di dalam kota, hal
ini tentunya memberikan sebuah identitas baru bagi kota samarinda, selain
sebagai Kota Tepian (Teduh, Rapi, Aman, dan Nyaman), juga sebagai sebuah
kota “wisata pertambangan”, istilah ini tidaklah serta merta penulis
munculkan begitu saja, tetapi hal ini merupakan sebuah fakta di mana
wilayah Kota Samarinda saat ini telah dikepung oleh 68 izin kegiatan
pertambangan batu bara, yang jelas sangat berdampak luar biasa bagi
lingkungan.
Salah satu dampak yang sangat nyata terlihat ialah semakin sering
terjadinya banjir di Kota Samarinda, ketika intensitas curah hujan meningkat,
titik-tik banjir pun semakin banyak seperti di wilayah bundaran Mall
Lembuswana, Jalan DI. Panjaitan, Jalan M. Yamin, dan termasuk di
lingkungan kampus Universitas Mulawarman Jalan Gunung Kelua.42 Dampak
lain yang juga dirasakan dengan begitu banyaknya aktifitas pertambangan di
Kota Samarinda menurut salah satu simpatisan JATAM (Jaringan Avokasi
Tambang) Kota Samarinda ialah mulai menurunya kualitas air sungai, danau,
dan rawa, serta juga berdampak langsung kepada pencemaran lahan pertanian
42 Hasil pengamatan yang penulis lakukan di Kota Samarinda, dalam medio Juli-Agustus 2013
25
dan tambak warga,43 kemudian terkait dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi munculnya fenomena “obral izin” pertambangan di Kota
Samarinda, menurutnya hal ini dipengaruhi oleh lemahnya ketegasan dari
pihak pemerintah Kota Samarinda untuk membentuk sebuah sistem kelola
perizinan pertambangan secara terpadu dan berpihak kepada penciptaan
kesejahteraan masyarakat, di mana sejatinya pertambangan merupakan salah
satu aktifitas untuk mensejahterakan masyarakat, namun dengan terjadinya
sebuah salah kelola dalam pertambangan, maka hal ini akan dapat berdampak
negatif kepada masyarakat, dan akan cenderung menimbulkan sebuah konflik
horizintal.
Salah satu fakta unik yang dapat ditelusuri terkait dengan munculnya
fenomena “obral izin” pertambangan di Kota Samarinda, ialah dapat di lihat
dalam visi dan misi Kota Samarinda yaitu, “terwujudnya Kota Samarinda
Kota Metropolitan yang berbasis industri, perdagangan dan jasa yang maju,
berwawasan lingkungan dan hijau, serta mempunyai keunggulan daya saing
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, dan untuk mewujudkan visi
tersebut salah satu misi yang dikedepankan ialah salah satunya dengan
“meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan income percapita”.44
Dari visi dan misi di atas dapat terlihat bahwa maraknya “obral izin”
pertambangan ini seolah-olah dipengaruhi oleh adanya sebuah usaha
pencapaian pendapatan asli daerah (PAD) yang sebesar-besarnya, namun jika
kita mampu melihat secara jeli persoalan ini, maka tidaklah semata-mata hal
43 Diskusi yang dilakukan dengan Bayu Setyo Nugroho, salah satu simpatisan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang)
44 Termuat dalam visi dan misi Kota Samarinda, dalam penelusuran di Balai Kota Samarinda.
26
ini didominasi oleh keinginan peningkatan PAD, tetapai ketika dilihat dari
besaran kontribusi sektor pertambangan batu bara terhadap perekonomian
Kota Samarinda yang ternyata justru relatif kecil yakni hanyalah 6,3% dari
total pendapatan domestik regional bruto (PDRB), sektor yang paling besar
memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Samarinda ialah dari sektor
perdagangan/hotel dan pariwisata sebesar 28%, industri pengolahan sebesar
20%, jasa sebesar 12%,45 dengan adanya fakta ini maka kemudian dapat
disimpulkan bahwa munculnya fenomena “obral izin” pertambangan di Kota
Samarinda tidaklah didominasi oleh keinginan untuk meningkatkan PAD,
tetapi lebih didominasi oleh adanya sebuah konsensus politik yang dibangun
sebelum pelaksanaan pilkada di Kota Samarinda khususnya, dan Provinsi
Kalimantan Timur pada umumnya, sehingga dengan demikian terjadilah
sebuah kondisi di mana pemerintah kemudian didikte oleh para investor
dalam hal peneribitan izin pertambangan, yang ternyata hal ini juga tidak
dibarengi dengan adanya sebuah instrumen perizinan yang benar-benar
mengedepankan konsep berwawasan lingkungan sebagaimana yang tertuang
dalam visi dan misi Kota Samarinda.
Selain adanya konsensus politik yang dibangun sebelum pilkada,
fenomena “obral izin” pertambangan ini juga muncul dari kurangnya
kebijaksanaan dari pemerintah Kota Samarinda dalam melakukan verifikasi
kemampuan investor, kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
konteks pertambangan, data kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), serta
45 Diambil dari data Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Periode 2006-2010
27
kemampuan analisa perusahaan.46 Hal ini di dukung dengan begitu banyaknya
izin pertambangan yang bermasalah di Kota Samarinda, dan berujung kepada
sebuah pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan data yang
didapatkan dari Pemerintah Kota Samarinda terkait dengan evaluasi
Pengawasan Pertambangan Batu Bara, terdapat 10 perusahaan yang
mendapatkan peringatan tertulis, dan 2 perusahaan dihentikan sementara
kegiatannya, serta 1 perusahaan direkomendasikan untuk dicabut izin
lingkungannya, yang setelah melewati proses administrasi selanjutnya dapat
berkembang ke proses pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).47
Dari pemaparan di atas secara umum faktor yang dominan dalam
mempengaruhi munculnya fenomena “obral izin” pertambangan di Kota
Samarinda ialah, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yakni, faktor
internal yang merupakan faktor yang berasal dari pemerintah dalam
menjalankan sebuah instrumen pemerintahan, yang pertama ialah adanya
salah kelola dalam pelaksanaan esensial Otonomi Daerah, terutama dalam hal
pengelolaan instrumen perizinan terpadu dalam bidang pertambangan, yang
di mana sistem perizinan yang dijalankan cenderung mengabaikan
kepentingan masyarakat, dan dampak sosial ekonomi serta lingkungan dari
adanya aktifitas pertambangan yang begitu besar di Kota Samarinda, yang
kedua ialah kurangnya kebijaksanaan dari pemerintah kota samarinda untuk
mempertegas pengeluaran izin usaha pertambangan (IUP) bagi sebuah
46 Diolah dari hasil studi lapangan dengan metode diskusi dengan stake holder terkait dengan permasalahan “obral izin” pertambangan di Kota Samarinda
47 Pemerintah Kota Samarinda, Hasil evaluasi bulanan pengawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda Tahun 2013
28
perusahaan, dan lebih bisa menilai apakah izin yang akan dikeluarkan
nantinya akan mampu mendorong laju tingkat perekonomian bagi Kota
Samarinda. Selanjutnya faktor eksternal yang merupakan faktor yang berasal
dari luar pemerintah yang secara langsung turut serta mempengaruhi kinerja
pemerintah, yakni terbangunnya sebuah konsensus politik sebelum
pelaksanaan pilkada di Kota Samarinda pada khususnya dan Provinsi
Kalimantan Timur pada umumnya, sehingga hal ini menyebabkan terdiktenya
pemerintah oleh para pihak investor, yang mengakibatkan tangan dan kaki
pemerintah sangat terikat oleh konsensus politik yang ada, sehingga akhirnya
berujung kepada tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah di Kota
Samarinda, terutama dalam hal perizinan pertambangan, yang berimplikasi
secara langsung terhadap kurang maksimalnya pencapaian perbaikan tingkat
kesejahteraan masyarakat Kota Samarinda.
2. Penegakan Hukum Terhadap Munculnya Fenomena “obral izin”
Pertambangan Pasca Pemilukada dalam Era Otonomi Daera di Kota
Samarinda
Sebagaimana diketahui bahwa esensial dari pelaksanaan otonomi daerah
ialah untuk mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat daerah,
sehingga dengan adanya hal ini, maka sistem perizinan dalam bidang
pertambangan seharusnya mampu memainkan sebuah peran penting dalam
29
upaya menarik investor untuk menanamkan modalnya, sehingga sangatlah
perlu didukung dengan adanya sebuah format regulasi yang benar-benar
mampu menjaga kualitas izin yang dikeluarkan, guna mencegah dampak
negatif dari adanya aktifitas pertambangan di Kota Samarinda.
Terkait dengan adanya fenomena “obral izin” pertambangan di Kota
Samarinda, bentuk penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Samarinda ialah dengan melakukan sebuah upaya pereventif dengan cara
melakukan penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan wewenang yang
sifatnya pengawasan secara aktif, yang diwujudkan melalui sosialisasi
penataan perundang-undangan berkaitan dengan baku mutu limbah, emisi
udara, dan limbah B3, serta pelaksanan penilaian Program Peringkat Kinerja
Perusahaan Pertambangan Batu Bara (PROPER Batu Bara) terhadap
perusahaan yang telah melakukan eksploitasi, kemudian bentuk penegakan
hukum secara represif yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda ialah
berupa tindakan represif terhadap perusahaan pertambangan yakni berupa
sanksi administratif sebagaimana yang tertuang dalam pasal 76 UU No. 39
Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang
kemudian dapat berujung terhadap pencabutan Izin Usaha Pertambangan
(IUP).
Namun berdasarkan fakta yang dihimpun, penegakan hukum yang
dilakukan dalam upaya mencegah adanya fenomena “obral izin”
pertambangan di Kota Samarinda ternyata masih dilakukan setengah hati, di
mana belum nampak ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan usaha
30
pertambangan tersebut, dan seolah-oalah hanya memberikan peringatan
kepada para perusahaan tambang tanpa adanya sebuah usaha untuk
menertibkan penerbitan izin usaha pertambangan, hal ini dibuktikan dengan
semakin meningkatnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan
pasca pemilukada, yang di tengarai hal ini ialah sebuah bentuk upaya
pengembalian cost biaya politik yang telah dikeluarkan selama pemilukada.
Dengan demikian maka sangatlah diperlukan sebuah kebijaksanaan dari pihak
pemerintah Kota Samarinda untuk mampu bersikap tegas dalam melakukan
penegakan hukum terhadap maraknya “obral izin” pertambangan, melalui
sebuah format tata kelola tepadu dalam hal penerbitan izin pertambangan,
serta menerpakan formulasi sanksi yang nyata dan tegas dalam menindak
perusahaan yang tidak mengindahkan prosedur dalam pelaksanaan aktifitas
pertambangan di Kota Samarinda. Hal ini dilakukan untuk dapat
mengembalikan esensial dari pelaksanaan otonomi daerah yakni penciptaan
kesejahteraan yang merata bagi masyarakat daerah, sehingga dengan adanya
pertambangan akan mampu memberikan sebuah angin positif bagi perbaikan
kesejahteraan masyarakat, dan bukan malah sebaliknya justru cenderung
menyengsarakan masyarakat.
I. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Dari pemaparan singkat sebelumnya terkait dengan munculnya fenomena
“obral izin” pertambangan di Kota Samarinda, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
31
a. Faktor-Faktor yang mempengaruhi munculnya fenomena “obral izin”
pertambangan pasca pemilukada dalam era otonomi daerah di Kota
Samarinda ialah dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor internal dan
ekstenal, di mana faktor internal yang mempengaruhi ialah, yang
pertama adanya salah kelola dalam pelaksanaan esensial Otonomi
Daerah, terutama dalam hal pengelolaan instrumen perizinan terpadu
dalam bidang pertambangan, kedua ialah kurangnya kebijaksanaan dari
pemerintah kota samarinda untuk mempertegas pengeluaran izin usaha
pertambangan (IUP) bagi sebuah perusahaan. Faktor eksternal yang
mempengaruhi ialah terbangunnya sebuah konsensus politik sebelum
pelaksanaan pilkada di Kota Samarinda pada khususnya dan Provinsi
Kalimantan Timur pada umumnya, sehingga hal ini menyebabkan
terdiktenya pemerintah oleh para pihak investor, yang akhirnya
berimplikasi langsung terhadap munculnya fenomena “obral izin”
pertambangan di Kota Samarinda.
b. Penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota Samarinda
terhadap munculnya fenomena “obral izin” pertambangan ialah dengan
melakukan sebuah upaya preventif berupa melakukan penyuluhan,
pemantauan, dan penggunaan wewenang yang sifatnya pengawasan
secara aktif, kemudian penegakan hukum yang dilakukan secara
represif ialah berupa tindakan represif terhadap perusahaan
pertambangan yakni berupa sanksi administratif, mulai dari pencabutan
izin lingkungan, hingga pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP),
32
namun penegakan hukum tersebut masih dilakukan setengah hati , di
mana belum nampaknya sebuah ketegasan dari pemerintah Kota
Samarinda dalam menertibkan fenomena tersebut.
2. Rekomendasi
Melihat pentingnya permasalahan “obral izin” pertambangan pasca
pemilukada di Kota Samarinda ini, maka penulis merasa penting untuk
mengajukan rekomendasi, yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut, yakni sebagai berikut:
a. Perlu adanya sebuah regulasi yang mengatur secara rinci tentang
pelaksanaan pertambangan di Kota Samarinda yang juga
mengakomodir aspek-aspek sumber daya manusi (SDM), serta sarana
dan prasarana dalam aktifitas pertambangan di Kota Samarinda.
b. Perlu dibuka kembali sebuah wacana perbaikan dalam sistem perizinan
pertambangan dalam era otonomi daerah, yang melibatkan peran serta
pemerintah pusat dalam hal penerbitan izin pertambangan, guna
mengontrol terjadinya sebuah fenomena “obral izin” di bidang
pertambangan, sehingga batu bara sebagai sebuah sumber daya alam
dapat membawa berkah positif bagi masyarakat dan bukan melahirkan
penjajahan secara terbuka pada masyarakat.
33
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, Bandung; Mizan.
Joeniarto. 1992. Perkembangan Pemerintah Lokal. Jakarta; Bina Aksara.
M. Hadjon, Philipus (ed). 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Penerbit Yuridika.
Meridian, Abu. et.al.. 2010. Mautnya Batu Bara: Pengerukan Batu Bara &
Generasi Suram Kalimantan. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang
34
Muslimin, Amrah, 1986. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni.
Salim HS, H, 2007. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UI Press.
Soemitro, Rony Hanitijo, 1990. Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta; Ghalia Indonesia.
Soejito, Irawan. 1990. Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sri Pudyatmoko, Y, 2009. Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta, Grasindo.
Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Sunggono, Bambang, 2012. Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rajawali Pers
MAKALAH, LAPORAN PENELITIAN, & JURNAL ILMIAH :
Fatkhurohman dan Sirajuddin, 2005. Reading Material Hukum Administrasi Negara, “Organisasi Administrasi Negara”, (Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang).
Marilang. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11 No.1, Mei 2011.
Saleh, Luluk. 2010. Keterbukaan Informasi Publik: Perangkat Baru Menciptakan Good Governance dalam Pemerintahan Lokal. Jurnal Konstitusi, Universitas Widyagama Malang,Vol III No. 1, Juni 2010.
Sirajuddin. 2009 Konsepsi dan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen. (Makalah dalam Seminar Pemahaman Kecakapan Konstitusi, Malang, 31 Oktober 2009).
WEBSITE :
Iwan Satriawan, Penguatan DPD: Proporsionalitas Perwakilan Politik dan Perwakilan Daerah, dalam http//www.google.com//Sistem Pemerintahan Daerah, Diakses Tanggal 6 Mei 2013
Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batu Bara di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses tanggal 18 Juni 2013
35
Bappeda Kota Samarinda, “Profil Daerah Kota Samarinda”, dalam http//www. bappedasamarinda.co.id, diakses tanggal 22 Juni 2013
http://green.kompasiana.com/penghijauan,otonomi daerah menteri makin tak bertaji, diakses tanggal 2 Mei 2013.
http://news.detik.com/samarinda dikepung tambang batu bara wali kota akan digugat, diakses tanggal 3 Mei 2013.
http://rhadenfatul.blogspot.com/2012/11/1-masalah-pertambanganbatubara.html, diakses tanggal 5 Juni 2013
http://www.samarindakota.go.id//Potensi Pertambangan Samarinda, diakses tanggal 22 juni 2013
http://www.samarindakota.go.id//lima-prinsip, diakses tanggal 22 Juni 2013
http://www.samarindakota.go.id//dinas-pertambangan samarinda, diakses tanggal 22 juni 2013
http://www.diansapta.blogspot.com, Asal-Usul Kota Samarinda, diakses tanggal 22 Juni 2013
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah