oains fix

55
2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien datang ke berbagai pusat pelayanan kesehatan sebagian besar dengan keluhan nyeri. Penatalaksanaan kasus nyeri membutuhkan pemahaman akan proses patofisiologi nyeri terutama nyeri yang mengikuti suatu proses inflamasi. Berbagai modalitas tersedia dalam penanganan kasus nyeri namun pada nyeri modalitas pertama yang biasanya digunakan dalam penanganan nyeri adalah obat golongan nonopiat yaitu OAINS. Sebagai analgetika, OAINS tidak selalu menimbulkan efek menguntungkan bagi penderita namun juga memiliki efek samping yang perlu diperhatikan yang kadangkala dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim COX-1 dan COX-2 yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Seperti pisau bermata dua, maka penggunaan OAINS dengan cara kerja penghambat COX-1 maupun COX-2 perlu diketahui. Apabila kita bisa mengerti bagaimana farmakologi, farmakokinetik, dan interaksi obat – obatan ini dalam hubungannya sebagai obat analgetik, maka akan sangat berguna dalam aplikasi penanganan nyeri baik sentral maupun perifer. 1.2 Rumusan Masalah

Upload: heri-wahyudi

Post on 02-Aug-2015

191 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: OAINS fix

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasien datang ke berbagai pusat pelayanan kesehatan sebagian besar dengan keluhan nyeri.

Penatalaksanaan kasus nyeri membutuhkan pemahaman akan proses patofisiologi nyeri

terutama nyeri yang mengikuti suatu proses inflamasi. Berbagai modalitas tersedia dalam

penanganan kasus nyeri namun pada nyeri modalitas pertama yang biasanya digunakan

dalam penanganan nyeri adalah obat golongan nonopiat yaitu OAINS.

Sebagai analgetika, OAINS tidak selalu menimbulkan efek menguntungkan bagi

penderita namun juga memiliki efek samping yang perlu diperhatikan yang kadangkala

dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan

mekanisme kerja sediaan ini pada enzim COX-1 dan COX-2 yang dibutuhkan dalam

biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi

juga merupakan sediaan gastroprotektor. Seperti pisau bermata dua, maka penggunaan

OAINS dengan cara kerja penghambat COX-1 maupun COX-2 perlu diketahui. Apabila

kita bisa mengerti bagaimana farmakologi, farmakokinetik, dan interaksi obat – obatan

ini dalam hubungannya sebagai obat analgetik, maka akan sangat berguna dalam

aplikasi penanganan nyeri baik sentral maupun perifer.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme kerja COX-1 dan COX-2 dalam menginduksi nyeri

yang menyertai suatu proses inflamasi?

2. Bagaimanakah kerja penghambat COX-1 dan COX-2 dalam penatalaksanaan

nyeri?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui mekanisme kerja COX-1 dan COX-2 dalam menginduksi

nyeri yang menyertai suatu proses inflamasi.

2. Untuk mengetahui kerja penghambat COX-1 dan COX-2 dalam

penatakasanaan nyeri.

1

Page 2: OAINS fix

2

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan dilakukan dalam rangka kepaniteraan klinik madya di Lab/SMF Anestesi dan

Reanimasi RS Sanglah/FK Unud Denpasar. Melalui penulisan ini diharapkan bahwa

penggunaan OAINS akan bisa dimengerti dengan lebih baik oleh berbagai pihak yang

berkepentingan, terutama insan pelayan kesehatan dalam prakteknya sebagai analgetik

selain sebagai antipiretik maupun antiinflamasi.

Page 3: OAINS fix

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Nyeri sebagai Respon Peradangan

Nyeri timbul oleh karena aktivitas dan sensitivitas sistem nosiseptif. Dalam kondisi normal,

reseptor tersebut tidak aktif namun dalam kondisi patologis misalnya inflamasi, nosiseptor

menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan

jaringan tubuh, akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan

mengeluarkan berbagai jenis mediator inflamasi (zat-zat kimia bersifat algesik) yang

berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri seperti ion K, Ion H, asam laktat,

serotonin, bradikinin, histamine dan prostaglandin.

Membran sel yang rusak akan mengeluarkan substansi khusus yang disebut

eicosanoid (yang terdiri dari AA) dibentuk melalui kerja phospholipases (phospholipase

A2 dan C serta dyglyceride lipase) pada membran phospholipid. Produk dari eicosanoid

melalui tiga jalur utama dengan menggunakan oksigen sebagai kosubstrat mayor. Jalur

tersebut antara lain jalur lipoksigenase, jalur epoksigenase, serta siklooksigenase.1

Lipoksigenase adalah dimana AA mengalami oksigenasi oleh mikrosomal sitokrom

P450 monooksigenase dari hati dan ginjal.

Gambar 2.1 Jalur pembentukan prostaglandinSumber: FitzGerald GA, Patrono CP. 2001

AA, asam lemak 20-karbon mengandung empat ikatan ganda, dibebaskan dari sn2

position dalam membran fosfolipid oleh fosfolipase A2, yang diaktifkan oleh beragam

rangsangan. AA diubah oleh sintase prostaglandin G/H sitosol, yang memiliki aktivitas

3

Page 4: OAINS fix

4

siklooksigenase (COX) dan hydroperoxidase (HOX). Sistem COX mengubah AA

membentuk endoperoksida prostaglandin G2 (PGG2) yang nantinya akan bereaksi

dengan hidroperoksidase untuk menjadi Prostaglandin H2 intermediet yang tidak stabil.

Prostaglandin H2 diubah oleh isomerase spesifik jaringan untuk menjadi beberapa

prostanoids sesuai dengan tipe sel tersebut Sebagian dari sel yang menggunakan

prostanoids secara individual memberikan efek menonjol. IP merupakan reseptor

prostasiklin, tromboksan dengan reseptor TP, DP sebagai reseptor prostaglandin D2, EP

sebagai reseptor prostaglandin E2, dan FP sebagai reseptor prostaglandin F2a yang

bekerja dengan target organ yang berbeda.2

Mediator inflamasi utama adalah Prostaglandin (PG) E2 dan Prostasiklin (PGI2)

yang merupakan produk dari aktivasi enzim COX-2. Misalnya, platelet akan mengubah

endoperoksidase menjadi tromboksan A2 (TXA2) dimana endotelium vaskuler akan

mengubah endoperoksida menjadi PGI2.

Prostaglandin mempunyai efek yang bermacam-macam terhadap pembuluh darah,

terhadap saraf (nerve ending), terhadap sel yang terlibat dalam peradangan. Penelitian

menyebutkan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi

mekanik dan kimiawi. Pada inflamasi akut dan kronis, prostaglandin E2 merupakan

prostaglandin utama yang dihasilkan di perifer dan sentral. Pembentukan prostaglandin

ini, baik di perifer dan sentral, dihambat oleh penghambat COX-2. 3

Gambar 2.2 Mekanisme nyeri periferSumber: Samad TA, et al. 2001.

Mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari adanya sensitisasi ujung

syaraf oleh mediator prostaglandin E2 yang terbentuk akibat cedera jaringan dan oleh

Page 5: OAINS fix

5

peningkatan jumlah enzim COX-2. Prostaglandin seperti PGE1 atau PGE2, melalui

mekanismenya sendiri, bukan merupakan mediator penting dalam transmisi nyeri tapi

mereka memberikan kontribusi dalam terjadinya hiperalgesia perifer dengan

mensensitisasi sensori nosiseptif pada nerve ending untuk mediator lain (seperti

misalnya histamin dan bradikinin) dan dengan mensensitisasi nosiseptor untuk

berrespon terhadap stimulus yang tidak nosiseptif (misalnya sentuhan). Prostaglandin E2

berikatan dengan reseptor EP (Prostaglandin E) pada nosiseptif nerve ending,

meningkatkan aksi dari fosfokinase intraseluler untuk meningkatkan permeabilitas

sodium channel. Hasilnya adalah peningkatan potensial membran istirahat dan

penurunan nilai ambang batas rangsangan. Sehingga dengan stimulus berintensitas

rendah akan dapat merangsang nosiseptor (misalnya sentuhan dan pergerakan dapat

mengakibatkan nyeri) yang disebut sebagai hiperalgesia.1

Inflamasi perifer menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin di sumsum tulang

belakang. Prostaglandin dikenal memiliki aksi langsung pada tingkat korda spinalis

untuk meningkatkan proses nosisepsi, terutama pada sensori neuron terminal dalam

kornu dorsalis medula spinalis. Selain itu di cairan serebrospinal prostaglandin tidak

terdeteksi pada keadaan normal, namun beberapa jam setelah inflamasi perifer kadar

prostaglandin meningkat secara bermakna. Adanya tampilan COX-1 dan COX-2 di sumsum

tulang belakang dan syaraf afferent primer mengisyaratkan bahwa sumsum tulang belakang

adalah salah satu tempat kerja OAINS sebagai analgetik. Pemberian prostaglandin langsung

ke sumsum tulang belakang dapat menimbulkan modulasi nyeri berupa hiperalgesia dan

alodinia. Hal ini jelas memiliki aksi sentral.4

Efek dari nyeri akut berhubungan dengan ekspresi COX-2 dan produksi PG pada

medula spinalis dan otak. Peningkatan regulasi COX-2 secara sentral terutama diinduksi

oleh interleukin-1β. Penelitian menemukan bahwa interleukin 6 (IL-6) meningkatkan

pembentukan IL-1β pada CNS yang dapat mengakibatkan peningkatan produksi COX-2

dan PGE2 sehingga menghasilkan hiperalgesia.3

PERIPHERAL

Trauma/ inflamation Central sensitization

CENTRALIL-6

Page 6: OAINS fix

6

2.2 Isoform COX

Pada awal tahun 1990-an ditemukan 2 jenis enzim siklooksigenase, yaitu

siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Bentuk isoform COX

memiliki 60% persamaan dalam stuktur molekuler namun memiliki perbedaan

signifikan dalam ekspresi dan fungsinya.5

2.2.1 Ekspresi COX-1 dan COX-2

Tipe COX-1 (COX-1) bersifat konstitusif yang dikeluarkan oleh sebagian besar sel

dalam tubuh meliputi endotel vaskular, platelat dan tubulus renalis. Level COX-1 cukup

stabil walaupun terdapat stimulus hormon dapat mempengaruhi peningkatannya.1 COX-

1 merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau

homeostasis. Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi

fisiologis penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi

tubular ginjal dan platelet. Penghambatan terhadap aktivitas COX-1 akan menimbulkan

efek samping seperti mudahnya terjadi perdarahan, gastrotoksisitas dan nefrotoksisitas.

Release of arachidonic acid

IL-1β

COX-2

Prostaglandin E2

Pain

Peripheral sensitization

ProstaglandinsE2

Pain

COX-2

Gambar 2.3 Regulasi COX-2 secara perifer dan sentral

Sumber : Samad TA, et al.2001

Page 7: OAINS fix

7

Gambar 2.4 Hipotesis COX-1 dan COX-2 Sumber : Vane. 1971

Tipe COX-2 (COX-2) kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar

jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi akut, ekspresi COX-2

meningkat signifikan 10 sampai 80 kali sebagai respon terhadap rangsangan sitokin dan

mitogenik. Enzim COX-2 terdapat dalam jumlah sangat terbatas dalam keadaan basal

pada otak dan koreks renalis, tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa

COX-2 juga merupakan enzim konstitusif pada otak, ginjal, ovarium, uterus dan

endotel.11 Peningkatan regulasi COX-2 sebagai respon sistemik tidak hanya pada

segmen dari korda spinalis yang berrespon terhadap daerah trauma tapi juga melalui

CNS yang melibatkan talamus, dan korteks serebral baik ipsi maupun kontralateral.6

Tabel 2.1 Perbedaan Ekspresi COX-1 dan COX-2

COX-1 COX-2

- Terus distimulasi oleh tubuh- Konstitutif (konsentrasinya dalam tubuh

tetap stabil)- Membuat prostaglandin digunakan

sebagai dasar “house keeping” seluruhtubuh

- Prostaglandin menstimulasi fungsi tubuh normal seperti produksi mukus lambung, peraturan asam lambung dan ekskresi air oleh ginjal

- Terinduksi (biasanya tidak dibentuk dalam sel normal)

- Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX a549 sel paru-paru)

- Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan peradangan- Menghasilkan prostaglandin untuk respon

inflamasi- Dirangsang hanya sebagai bagian dari

respons imun- Produksinya dirangsang oleh sitokin inflamasi

dan faktor pertumbuhan

Page 8: OAINS fix

8

2.2.1 COX-1 dan COX-2 d ari Gen ke Protein 7

COX-1 dan COX-2 adalah isoenzymes. Isoenzyme secara genetis tergantung pada

protein, gen-gen pada manusia untuk dua enzim ini terletak pada kromosom yang

berbeda dan menunjukkan sifat yang berbeda. Gen COX-1 terletak pada kromosom 9,

sedangkan COX-2 dikode oleh gen pada kromosom-1. Kedua gen juga berbeda dalam

ukuran; gen COX-1 manusia dengan ukuran 22 Kb berisi 11 ekson, sedangkan gen

COX-2 manusia mengandung hanya 10 ekson memiliki ukuran genom relatif kecil

sebesar 8,3 Kb. Ukuran yang lebih kecil ini adalah karakteristiknya sehingga disebut

earlyimmediate gen.

Tabel 2.2 Karakteristik Genetik COX-1 dan COX-2

Isoenzymes COX adalah enzim-enzim yang terikat membran di retikulum

endoplasma (ER). Post modifikasi translasi, pemecahan sinyal peptida dan penyisipan

ke membran ER menghasilkan glikosilasi protein matur COX-1 dan COX-2 dengan

berat molekul 67000 dan 72 000 000 Da. Sebuah kekhususan COX-2 adalah struktur

primernya yang terdiri dari peptida sinyal yang terpotong, dan pemasangan dari 18

tambahan asam amino yang bertindak sebagai epitop spesifik antibodi untuk COX-2.

2.2.2 Tempat Pengikatan COX-1 dan COX-2 7

Perbedaan yang signifikan antara dua enzim tampaknya situs pengikatan yang lebih

besar pada COX-2 untuk OAINS. Perbedaan antara COX-1 dan COX-2 secara genetik

ditentukan dan akibat dari pertukaran asam amino dalam protein enzim. Ternyata

pertukaran valin di posisi 523 dalam COX-2 yang merupakan residu isoleusin relative

Page 9: OAINS fix

9

besar untuk COX-1 di posisi yang sama sebagai situs aktif dari enzim menyebabkan

modifikasi struktural. Modifikasi ini pada enzim COX-2 memungkinkan akses berupa

tambahan hydrophilic side pocket, yang merupakan prasyarat untuk obat selektif

terhadap COX-2. Akses ke side pocket ini dibatasi dalam kasus COX-1.

COX-1 dan COX-2 sedikit berbeda dalam struktur sehingga menemukan obat

selektif untuk COX-2 memerlukan pemanfaatan hydrophilic side pocket. Karena aspirin

nonselektif baik untuk COX-1 dan COX-2 maka obat ini menunjukkan duel efek

Sebuah obat baru saat ini celecoxib disebut menunjukkan selektivitas untuk COX-2

sehingga hanya menghambat prostaglandin inflamasi dan tidak “house keeping”

prostaglandin COX-1. Celecoxib berefek hanya pada COX-2.8

Gambar 2.5 Struktur COX-1 dan COX-2

Sumber: Kurumbail RG, et al. 1996.

Studi-studi dari struktur 3D enzim statis telah sangat membantu dalam proses

pemahaman mekanisme inhibisi enzim dan dalam mendesain komponen selektif.

Namun, mereka lalai untuk mempertimbangkan bahwa enzim tersebut tidak statis

dinamis. Oleh karena itu, faktor dinamis seperti fleksibilitas enzim dan pengaturan

ulang rangkaian ikatan hydrogen pada jalan masuk tempat aktifasi harus

dipertimbangkan juga dengan baik.

2.2.3 Metode Evaluasi Inhibitor COX

Page 10: OAINS fix

10

OAINS telah menunjukkan pengaruhnya melalui penghambatan sintesis PG oleh

interaksi dengan siklooksigenase, sebagian besar uji model secara in vitro dan in vivo

telah dikembangkan untuk mempelajari interaksi obat dengan metabolisme AA dan

skrining komponen anti-inflamasi. Dengan mendeteksi dua isoenzyme, aspek

selektivitas enzim harus dipertimbangkan juga. Inilah yang merupakan alasan adanya

perlakuan yang berbeda dari agen anti-inflamasi terhadap COX-1 dan COX-2. Hal

tersebut dinilai dengan IC50 pada COX-1 dan COX-2 manusia yang menghasilkan

rasio COX-2 : COX-1 untuk flurbiprofen, indometasin dan derivate pyrazole yang

mencerminkan perbedaan dalam potensi dan selektivitas obat terhadap COX. 7

Sementara itu, estimasi nilai-nilai IC50 dalam penghambatan COX-2:COX-1 telah

diakui dan dipergunakan secara luas sebagai parameter untuk menentukan selektivitas

enzim.

Tabel 2.3 Perbedaan Selektivias Jenis OAINS terhadap COX-1 dan COX-21

Obat

Rasio dari IC50 untuk COX-2/COX-

1

Aspirin 166

Indometasin 60

Ibuprofen 15

Diclofenac 0,7

Naproksen 0,6

Nebumetone 0,2

Etodolak 0,1

Rasio IC50 adalah konsentrasi penghambatan rata-rata dari obat yang digunakan untuk

menghambat COX-2 maupun COX-1 dengan 50% dari obat tersebut. Nilai yang lebih

besar menyatakan kemampuan obat untuk menghambat COX-2 lebih tinggi. Tempat

pengikatan yang berbeda dari dua isoenzymes, dan interaksi obat dengan struktur

protein COX-1 dan COX-2 berkontribusi dalam mengklarifikasi dan memahami

farmakologis aksi dan spesifisitas obat. Penghambatan COX dapat bervariasi tergantung

spesies dan model eksperimen, misalnya apabila model tidak mengandung protein akan

menggagalkan ikatan kuat OAINS dengan model secara in vivo. Catatan bahwa nilai

yang tertera merupakan hasil studi in vitro dan mungkin tidak dapat merefleksikan

Page 11: OAINS fix

11

situasi secara klinis. Nilai hasil bagi tersebut, bagaimanapun, adalah sangat dibatasi

karena tergantung pada sistem pengujian, jenis sel, stimulasi agen dan kondisi kultur

yang digunakan.2

Adapun jenis inhibitor COX adalah sebagai berikut:7

Inhibitor COX-1 atau COX-2 yang ireversibel.

Aspirin atau o-(acetoxyphenyl) hept-2-inyl-sulfida (APHS) acetylates yang

merupakan asam amino serin sehingga AA endogen dicegah mencapai pusat

katalitik

Kompetitif inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.

Inhibitor seperti ibuprofen, piroksikam atau asam mefenaminik bersaing untuk

berikatan dengan AA di pusat katalitik.

Slow time-dependent, inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.

Indometasin dan flurbiprofen tampaknya berinteraksi secara ionik antara fungsi

karboksilatnya dan residu arginin dari enzim ini. Efek ini tampaknya mempengaruhi

helix D dari protein diikuti dengan hilangnya fleksibilitas protein enzim.

Slow, time-dependent, inhibitor dari COX-2 yang ireversibel.

Wakil dari kelompok ini adalah selektif COX-2 inhibitor seperti seperti celecoxib,

rofecoxib dan lain-lain. Obat ini adalah inhibitor kompetitif yang lemah untuk

COX-1, tapi menghambat COX-2 dalam proses yang slow time-dependent.

2. 2 . 4 Inhibitor Isoform S iklooksigenase Selektif dan Nonselektif

Tiga kelas inhibitor siklooksigenase yang dikenal: aspirin disintesis dari asam salisilat;

indometasin dan OAINS lain, dan modifikasi kimia yang sebagian besar didasarkan

pada temuan dari model inflamasi dan mukosa lambung, dan selektif COX-2 inhibitor

pertama, yaitu coxib (misalnya, celecoxib dan rofecoxib). Selektif siklooksigenase-2

inhibitor lain, seperti valdecoxib dan etoricoxib sedang dikembangkan.

Selektivitas untuk COX-2 dapat dinyatakan pada beberapa tingkat obat tersebut

memiliki komponen yang mungkin selektif untuk COX-2. Perusahaan obat

menggunakan selektivitas oleh tes in vitro selama skrining, karena tes ini relatif cepat

dan sederhana. Namun, mereka tidak dapat mencerminkan kompleksitas interaksi obat-

enzim in vivo. Untuk mengatasi masalah ini, tes-whole-blood assay dari aktivitas

isoform siklooksigenase telah dikembangkan. Selama pembekuan darah (indeks

Page 12: OAINS fix

12

aktivitas siklooksigenase-1 platelet) dan produksi prostaglandin E2 oleh

lipopolisakarida bakteri dalam whole blood (indeks dari aktivitas siklooksigenase-2

monosit). Selektivitasnya secara klinis didasarkan pada toksisitas klinis (misalnya,

visualisasi ulkus gastroduodenal secara endoskopik) atau akibat efek samping klinis

dosis anti-inflamasi dari suatu obat inhibitor.7

Ada dua persyaratan dasar untuk menguji hipotesis bahwa siklooksigenase-2

inhibitor yang ditoleransi lebih baik daripada OAINS nonselektif . 7

Pertama, obat itu tidak harus menghambat aktivitas siklooksigenase-1 sebagai target

klinis yang relevan (mukosa gastrointestinal dan platelet) pada konsentrasi plasma

terapeutik.

Kedua, titik akhir klinis yang dinilai harus mencerminkan toksisitas gastrointestinal

akibat penghambatan siklooksigenase-1. Ketika timbul gejala ada pada masa akhir

pengobatan, tidak pasti dipengaruhi oleh siklooksigenase-1, dan gejala mungkin

tidak berhubungan dengan lesi. Ketika diendoskopi dan lesi tervisualisasikan pada

masa akhir pengobatan, situasinya menjadi berbeda. Pembentukan lesi dipengaruhi

oleh COX-1 namun juga belum dapat dipastikan. Menemukan lesi pada endoskopi

sebenarnya prediksi dari kemungkinan komplikasi gastrointestinal yang serius,

seperti perforasi, obstruksi, dan perdarahan. Memang pada masa akhir setelah

pengobatan, perdarahan gastrointestinal merupakan yang paling serius dan

mencerminkan kemungkinan bahwa hal ini terutama disebabkan penghambatan

siklooksigenase-1 terhadap aktivitas platelet, bukan di mukosa lambung.

Gambar 2.6 Faktor yang mempengaruhi selektifitas dan keamanan dalam

penggunanan inhibitor COX-2

Sumber: Fitzgerald GA and Patrono C, 2001.

Page 13: OAINS fix

13

Seberapa baiknya hasil tes in vitro ini dalam memprediksi selektivitas saat pengukuran

adalah memang banyak faktor menentukan respons klinis terhadap inhibitor

siklooksigenase-2. Dengan demikian variabilitas genetik dalam protein target atau

metabolisme enzim, interaksi antara obat-obatan, dan karakteristik pasien, seperti

riwayat ulkus peptikum, dapat mempengaruhi baik efektivitas dan efek samping dari

inhibitor siklooksigenase-2 dalam uji klinis.2

2.3 Terapi OAINS

OAINS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899. OAINS yang pertama adalah

asam asetil salisilat yang diproduksi oleh Felix Hoffman dari Bayer Industries.

Berdasarkan saran dari Hermann Dreser, senyawa tersebut diberi nama aspirin yang

berasal dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa, acetylspirsäure (spirea =

nama genus tanaman asal obat tersebut, dan Säure = asam).9

Hingga saat ini, OAINS banyak digunakan sebagai peresepan yang utama. Di

banyak negara, OAINS terutama digunakan untuk gejala yang berhubungan dengan

osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri miofasial, gout, demam, dismenore,

migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis stroke dan infark miokard. OAINS memiliki

spektrum luas dalam klinis, sehingga banyak digunakan sebagai peresepan. OAINS

biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut dan untuk

pengobatan pada sindrom nyeri kronis.10 Aktivitas antiinflamasi OAINS mempunyai

mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan OAINS

yang lain, menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis

prostaglandin. 5

Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul,

sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler,

dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia

dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria.11

2.3.1 Terapi OAINS K lasik 7

Penggunaan OAINS memegang peranan penting dalam penanganan inflamasi. Selama

bertahun-tahun, penggunaan substansi terapi ini berkembang dengan cepat. Peranan

penting inhibitor COX adalah dalam terapi antirematik. Substansi ini dibagi menjadi

subdivisi antara lain, fenac, profen, dan derifat enol mengacu pada struktur kimianya.

Page 14: OAINS fix

14

Substansi seperti indometacin, diclofenac, ibuprofen atau piroksikam hingga kini masih

dipilih untuk digunakan sebagai agen terapeutik.. Sejak dahulu diketahui adanya sifat

asam dibutuhkan untuk kerja OAINS klasik. Sifat keasaman suatu OAINS mutlak

menjadi pertimbangan dalam pemilihannya sebagai analgetik anti-inflamasi pada penderita

kanker. Capone dkk (2003) menyatakan bahwa sediaan OAINS yang lebih bersifat asam

akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi

dengan sendirinya akan memperbaiki manfaat klinis OAINS bersangkutan. Sekarang telah

diketahui bahwa struktur ini menggambarkan jumlah formasi salt bridge antara grup

carboxylic dari obat antiinflamasi dan ARG 120 pada dasar enzim siklooksigenasi yang

menghambat aktivitas COX-1.

2.3.2 I nhibitor COX-2 dan selektif COX-2

Sebelum identifikasi enzim COX-2, peneliti mengidentifikasi senyawa anti-inflamasi

kuat, GKG-697, yang adalah inhibitor yang relatif lemah menghambat sintesis PG dari

vesikula seminalis sapi, tetapi kuat dalam berbagai uji antiinflamasi assay. Sejumlah

besar inhibitor COX-2 yang baru dikembangkan menunjukkan bagaimana

menjanjikannya komponen ini sebagai agen antiinflamasi yang diharapkan. Lebih dari

500 inhibitor COX-2 telah diuraikan beberapa tahun terakhir

Mekanisme sentral nampaknya berperan utama pada aktivitas analgetik.12,13 COX-

2 meningkat secara signifikan mengikuti trauma dengan proses inflamasi dan ketika

input neural meningkatkan produksinya, faktor humoral juga memiliki peranan utama.

Terapi yang bertujuan untuk mengurangi input sensorik ke susunan saraf sentral seperti

blok anestesi regional atau epidural tidak dapat mencegah sensitisasi sentral COX-2

selama masih dipengaruhi aktivitas hormonal sehingga diperlukan tambahan terapi

dengan inhibitor COX-2. Pengobatan dengan inhibitor COX-2 akan bermanfaat bila

penyebab nyerinya adalah diinduksi COX-2 seperti pada sebagian besar kasus nyeri

inflamasi, sebaliknya inhibitor COX-2 kurang bermanfaat pada nyeri neuropatik yang

disebabkan oleh adanya aktivitas ektopik seperti misalnya pada : nyeri neuropati

diabetik. 14

Komponen spesifik untuk memblok COX-1 sering kali gagal untuk menurunkan

hiperalgesia, sehingga COX-2 dan campuran inhibitor COX-1/COX-2 adalah sebagai

antihiperalgesia. Sehingga inhibitor COX-2 yang selektif mengalami perkembangan

pesat sebagai goal untuk mencegah pembentukan prostaglandin yang dihubungkan

Page 15: OAINS fix

15

dengan nyeri dan hiperalgesia dimana ketika mencegah pembentukan prostaglandin

dibutuhkan kondisi normal fungsi gastrointestinal (GI), mukosa, ginjal dan pembuluh

darah.1

Inhibitor COX-2 selektif, atau coxib, dikembangkan dalam upaya menghambat

sintesis prostaglandin oleh isoenzim COX-2 diinduksi pada tempat peradangan tanpa

mempengaruhi kerja konstitutif dari isoenzim COX-1 sebagai " house keeping" yang

pada saluran pencernaan, ginjal, dan platelet. Coxib selektif mengikat dan memblokir

tempat kerja dari enzim COX 2 jauh lebih efektif daripada COX-1. Inhibitor COX-2

mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi serupa dengan OAINS

nonselektif tapi dengan perkiraan mengurangi separuh efek samping gastrointestinal.

Demikian juga, COX-2 inhibitor pada dosis biasa telah terbukti tidak memiliki

pengaruh pada agregasi platelet, yang dimediasi oleh isoenzime COX-1. Akibatnya,

COX-2 inhibitor tidak memberikan efek kardioprotektif seperti OAINS klasik yang

nonselektif, yang mengakibatkan beberapa pasien memakai dosis rendah aspirin selain

rejimen coxib untuk mempertahankan efek ini. Sayangnya, karena COX-2 adalah

konstitutif aktif dalam ginjal, dianjurkan dosis inhibitor COX-2 yang menyebabkan

toksisitas ginjal sama dengan OAINS klasik. Data klinis menyatakan tingginya kejadian

trombotik kardiovaskular terkait dengan COX-2 inhibitor seperti rofecoxib dan

valdecoxib, sehingga mereka ditarik dari pasaran. Sampai sekarang celecoxib telah

diluncurkan untuk pengobatan proses inflamasi yang merupakan inhibitor COX-2 yang

selektif.

2.3.3 Inhibitor COX-3 7

Baru-baru ini ditemukan COX-3 pada tahun 2002 dan dianalisis relasi isozim ini baru

untuk asetaminofen (Parasetamol), yang paling banyak digunakan dalam obat analgesik

dunia. Berbagai penulis menyatakan bahwa penghambatan COX-3 dapat merupakan

mekanisme primer sentral dimana obat ini dapat mengurangi rasa sakit dan mungkin

demam. Walaupun beberapa pendapat menyatakan bahwa COX-3 memiliki peran dalam

proses nyeri pada CNS, terdapat hanya sedikit bukti yang mendukung konsep tersebut.6

Konsekuensinya adalah klinis dan pengetahuan tentang isoenzim COX yang

berkembang pesat dan mungkin dapat menawarkan harapan pengobatan masa depan

untuk rasa sakit, inflamasi dan demam.

Page 16: OAINS fix

16

OAINS yang menghambat siklooksigenase, acetaminophen (parasetamol)

merupakan inhibitor COX-3 . Asetaminofen atau parasetamol adalah turunan para-

aminofenol. Saat ini yang paling sering digunakan obat analgesik dan antipiretik.

Asetaminofen tidak memiliki sifat anti-inflamasi dan tidak menyebabkan lesi lambung.

Karakteristik ini dijelaskan oleh fakta bahwa asetaminofen lebih bekerja dalam

menghambat COX-3 di sistem saraf pusat, di mana obat ini dapat berpenetrasi secara

mudah.

Pada dewasa, dosis biasa adalah 0,5 hingga 1 gram perasupan, diulang jika

diperlukan tiga kali per hari. Bioavailabilitas obat ini melalui rute oral hampir

sempurna; waktu paruh plasmanya sekitar dua jam. Biasanya konsentrasi asetaminofen

pada plasma selama pengobatan berkisar 10-20 mg/L, ketika sampel darah diambil satu

jam setelah administrasi obat. Obat ini dimetabolisme terutama menjadi glukuronat dan

konjugat sulfat. Tapi pada saat keracunan, dalam ketiadaan simpanan glutathione

endogen yang cukup untuk menetralisirnya, asetaminofen sebagian dapat berubah

menjadi metabolit yang sangat beracun, N-asetil-p-benzoquinoneimine. Banyak preparat

mengandung parasetamol sebagai bahan tunggal atau campuran kombinasi, misalnya

dengan kodein

Dampak merugikan asetaminofen jarang terjadi dan biasanya ringan, yang sangat

parah adalah keracunan, kadang-kadang fatal dalam ketiadaan pengobatan. Setelah

periode asimtomatik, nekrosis hati yang ireversibel muncul sekitar hari ketiga atau

keempat setelah awal keracunan tanpa didahului oleh tanda-tanda perubahan klinis.

Kemudian, bertambah berat dan menyebabkan kegagalan hati akut pada hari kelima

atau keenam. Nekrosis ini dapat dijelaskan melalui pembentukan metabolit beracun

oleh mikrosom hati yang pada saat tertentu dapat dilemahkan oleh glutathione endogen

dan sistein. Ketika glutathione endogen dan sistein kelelahan maka, keracunan muncul.

Obat Nacetylcysteine dan metionin dengan tingkat lebih rendah, diberikan

asalkan dalam waktu delapan jam pertama setelah menelan parasetamol, adalah antidot

yang efektif. Dalam hal dugaan keracunan asetaminofen, langkah-langkah berikut harus

diambil: terkecuali pada overdosis yang volunter atau tidak disengaja,

1. Jika penentuan acetaminophen tidak sesegera mungkin, N-asetilsistein harus

diberikan;

Page 17: OAINS fix

17

2. Jika penentuan acetaminophen adalah mungkin, perlu mengetahui jumlah

konsentrasi obat dalam plasma menurut waktu keracunan. Konsentrasi plasma

berikut ini dianggap sebagai overdosis:

- 200 mg / L, 4 jam setelah asupan asetaminofen

- 100 mg / L, 8 jam kemudian

- 50 mg / L, 12 jam kemudian.

Sebagian dari waktu keracunan umumnya tidak diketahui, adalah lebih baik untuk

memulai pengobatan bila konsentrasi asetaminofen dapat dipastikan lebih tinggi

daripada pada pengobatan biasa. N-asetilsistein dikelola sebagai antidot baik dengan

rute oral atau perfusi intravena dalam dosis besar, 150 mg/kg pada awalnya, dan

kemudian 75 mg/kg setiap empat jam selama dua sampai tiga hari. Selain N-

asetilsistein, senyawa lain dapat mengurangi toksisitas acetaminophen; metionin yang

dalam formulasi tertentu dikombinasikan sebagai pencegahan dasar keracunan

asetaminofen. Asupan acetaminophen selama kehamilan, menurut data, saat ini belum

dipastikan dapat meningkatkan risiko kelainan pada anak.

2.4 Farmakologi OAINS dalam Modulasi Nyeri

Pada umumnya, efek dari semua jenis obat yang tergolong OAINS dihubungkan dengan

aksi primernya dalam menghambat arachidonate cyclooxygenase dan nantinya

menghambat produksi prostaglandins. Golongan obat ini menghambat enzim

siklooksigenase sehingga konversi AA menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat

menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khususnya Paracetamol,

hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti

di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya banyak mengandung peroksid yang

dihasilkan oleh leukosit. Ini dapat menjelaskan mengapa efek inflamasi dari

paracetamol praktis tidak ada.

Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim

ini, trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena mengakibatkan sel ini

tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg

sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa

hidup trombosit. Indometacin dan piroksikam memiliki efek antiinflamasi yang kuat

daripada yang lain namun berbeda dalam toksisitas dan tingkat toleransi pasien terhadap

masing-masing obat tersebut.

Page 18: OAINS fix

18

Efek antiinflamasi dari OAINS terutama dihubungkan dengan penghambatan

COX-2, apabila obat ini digunakan sebagai agen anti inflamasi akan terjadi efek yang

tidak diinginkan khususnya mempengaruhi traktus gastrointestinal yang sebagian besar

diakibatkan dari penghambatan COX-1. Apabila diberikan penghambat selective COX-

2 inhibitor maka tidak akan menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak

mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi

efek samping pada saluran makan maupun perdarahan.15

2.4.1 Farmakodinamik 1,5

Aktifitas antiinflamasi dari OAINS dimediasi melalui penghambatan biosintesis dari

prostaglandin. Beberapa OAINS memiliki mekanisme tambahan meliputi

penghambatan kemotaksis, penurunkan regulasi dan produksi interleukin 1,

menurunkan produksi radikal bebas dan superoksida serta ikut serta dalam mekanisme

intraseluler yang dimediasi kalsium.

Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak komplit untuk

semua jenis obat tapi yang memiliki selektivitas kuat dalam menghambat COX-2,

celecoxib, sudah tersedia dan merupakan penghambat COX-2 yang sangat selektif yang

pernah ada. Inhibitor COX-2 yang sangat selektif tidak mempengaruhi fungsi platelet

pada dosis biasa. Suatu anggapan yang tak benar adalah bahwa semua OAINS memiliki

efek terapi yang sama, sehingga suatu OAINS tertentu dapat digunakan sebagai pengganti

OAINS lain terhadap indikasi tertentu. Pada tes yang menggunakan whole blood, aspirin,

indometasin, piroksikam dan sundilak lebih efektif dalam menghambat COX-1;

ibuprofen dan meklofenamat sama-sama menghambat kedua isoenzim tersebut, dan

metabolit aktif nabumeton sedikit selektif terhadap COX-2. Dari semua obat OAINS yang

tersedia, indometasin dan diklofenak telah dilaporkan mengurangi sintesis baik

prostaglandin maupun leukotrin. Disisi lain, inhibitor yang sangat selektif COX-2 dapat

meningkatkan insiden edema dan hipertensi.

Aktivitas antiinflamasi OAINS dicapai terutama melalui inhibisi sintesis

prostaglandin. Berbagai OAINS memiliki beberapa kemungkinan mekanisme aksi

tambahan meliputi: inhibisi kemotaksis, penurunan produksi interleukin-1, penurunan

produksi radikal bebas dan superoksida serta mengganggu proses-proses intrasel yang

dimediasi oleh kalsium. Aspirin menimbulkan asetilasi dan inhbisi siklooksigenase dari

platelet secara ireversibel sedangkan sebagian besar nonselektif COX inhibitor

Page 19: OAINS fix

19

merupakan inhibitor reversibel. Selektivitas untuk COX-1 versus COX-2 bervariasi dan

inkomplit bagi beberapa jenis OAINS lama, namun saat ini telah tersedia inhibitor

COX-2 yang sangat selektif (celecoxib, rofecoxib, dan valecoxib). Obat-obatan tersebut

tidak mempengaruhi fungsi platelet bila diberikan sesuai dosis.

Saat ini diketahui bahwa hambatan isoform COX-1 berakibat timbulnya efek samping

OAINS dan hambatan isoform COX-2 berkaitan dengan efek terapi yang diinginkan (yaitu

analgetik dan antiinflamasi). Meskipun OAINS klasik dan OAINS dengan inhibitor COX-2

spesifik (COX-2 inhibitor; coxib) memberikan khasiat yang hampir sama, inhibitor COX-2

memiliki tampilan keamanan yang lebih baik.

Semua OAINS mampu mengiritasi gaster walaupun kelompok obat terbaru dapat

menurunkan iritasi gaster dibandingkan dengan aspirin. Nefrotoksik juga dilaporkan

sebagai efek samping OAINS, hepatotoksik juga dapat diakibatkan oleh beberapa

OAINS. Nefrotoksik sebagian terjadi akibat pengaruh obat terhadap autiregulasi aliran

darah ginjal yang dimodulasi prostaglandin.

Beberapa OAINS (aspirin) dapat menurunkan insiden kanker kolon jika

dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan

bahwa terdapat penurunan 50% resiko relatif ketika obat ini dikonsumsi selama 5 tahun

atau lebih. Mekanisme ini belum jelas.

OAINS menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap histamin dan

bradikinin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan membalikkan

vasodilatasi. OAINS terbaru memiliki efek analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik

dalam tingkat yang bervariasi. Selain agen COX-2 selektif dan nonacetylated

salicylates, semua OAINS terbaru juga memiliki efek inhibisi agregasi platelet. Semua.

2.4.2 Farmakokineti k 1,5

OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda.

Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat yang

berbeda pula. Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam kinetik OAINS, namun

secara umum memiliki komponen utama yang sama (lampiran 3).

Sebagian besar obat diabsobsi baik dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat-

obat OAINS diabsorpsi secara cepat jika diberikan peroral, distribusi ke jaringan sangat

terbatas (oleh karena berikatan kuat dengan protein), Sebagian besar obat OAINS juga

dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase I diikuti fase II dan yang lainnya melalui

Page 20: OAINS fix

20

glukoronidase direk (fase II) saja. Proses metabolisme OAINS, pada sebagian besar

obat, melalui jalur CYP3A atau CYP2C dari enzim P450 di hati. Ekskresi melalui ginjal

merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat (sirkulasi enterohepatik) dan

memiliki kliren yang lambat. Pada kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal

berhubungan dengan kuantitas sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS

berikatan kuat dengan protein (~ 98%), khususnya albumin.

Walaupun diantara sebagian besar obat OAINS memiliki farmakokinetik yang

sama, terdapat satu subklas obat yang unik yaitu salisilat yang lebih dikenal sebagai

asetosal atau aspirin yang memiliki waktu paruh lama dengan meningkatkan dosis obat.

Salisilat membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai steady state konsentrasinya dalam

darah ketika 1,5 g/hari aspirin diberikan pada orang dewasa. Apabila menginginkan

konsentrasi steady state dalam darah lebih dari 1 minggu maka dosis yang diperlukan

adalah 3 g/hari. Salisilat juga dapat digeser oleh OAINS lain seperti naproksen dan

phenylbutazone dari tempat ikatannya dengan plasma, meningkatkan konsentrasi

bebasnya sehingga meningkatkan toksisitas obat ini.

Observasi terhadap efek toksik dari OAINS dihubungkan dengan waktu paruh

obat pada plasma-semakin panjang waktu paruh yang digunakan dalam eliminasi obat

maka resiko toksisitas terhadap obat ini juga semakin besar. Informasi tentang

hubungan antara waktu paruh obat dan toksisitas OAINS didasari atas data

epidemiologi retrospektif sehingga meningkatkan pemakaian OAINS sebagai obat

dengan dosis satu kali sehari daripada penggunaan secara kontinyu yang dapat

meningkatkan efek toksik terhadap tubuh.

Ikatan kuat OAINS dengan protein relevan khususnya jika dihubungkan dengan

populasi lansia dimana pada lansia konsentrasi albumin serumnya sudah menurun

sehingga mengakibatkan tingginya fraksi bebas OAINS dalam darah. Ketika fraksi

bebas OAINS meningkat dalam darah maka efikasi obat tersebut akan meningkat yang

juga meningkatkan toksisitas. Perlu diperhatikan pula dalam pemberian OAINS adalah

interaksi obat tersebut dengan warfarin dimana ketika dikombinasi dengan nonselektif

OAINS yang menghambat platelet, mengakibatkan peningkatan terhadap resiko

perdarahan.

Farmakokinetik OAINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri

dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk OAINS yang larut dalam lemak

Page 21: OAINS fix

21

(oxyphenbutazone, indometasin, ketoprofen), pada kadar bentuk bebas OAINS

berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak demikian halnya dengan yang

larut dalam air (acetosal) (Bannwarth dkk, 1989). Selain itu OAINS yang telah terbukti

mampu melewati sawar darah otak adalah diklofenak (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide

(Ferrario & Bianchi, 2003) Dari hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa

kebanyakan OAINS bekerja multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas

siklooksigenase. Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai

mediator (multifaktor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya

diakibatkan oleh produk siklooksigenase prostaglandin. Oleh karena itu OAINS yang ideal

hendaklah mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dalam pembentukan

prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi lainnya.

Perbedaan efikasi obat antara OAINS dihubungkan dengan dosis relatif yang

diberikan sebagai contohnya, diklofenak, indometasin, dan piroksikam memiliki

perbedaan dalam bioavailability dan eliminasi antara satu pasien dengan pasien lain

sehingga dipercayai bahwa perbedaan respon pasien terhadap obat mempengaruhi

perbedaan farmakokinetik obat. Dengan demikian, perbedaan individu memberikan efek

farmakodinamik obat yang berbeda pula terhadap OAINS.

2. 5 Klasifikasi OAINS

Proses sintesis COX sangat penting karena pada tahap ini obat-obatan OAINS

menunjukkan efek terapeutiknya. Adapun jenis OAINS adalah sebagai berikut :

1) Aspirin5

Farmakokinetik

Sodium salicylate dan aspirin (acetylated salicylate) merupakan anti inflamatorik

dengan efektifitas yang sama, meskipun aspirin memiliki afek analgetik yang lebih kuat.

Salicylates diabsorpsi dengan cepat di lambung dan bagian proksimal usus halus dan

mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam. Aspirin pun demikian, dan dapat

dihidrolisa dengan cepat (waktu paruh serum 15 menit) menjadi acetic acid dan

salicylate oleh esterase di jaringan dan darah.

Salicylate berikatan dengan albumin, namun ikatan tersebut tersaturasi sehingga

konsentrasi fraksi bebasnya meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi totalnya.

Salicylate di dalam tubuh akan diekskresi tanpa melalui proses metabolism, namun jalur

disposisi salicylate akan tersaturasi bila konsentrasinya dalam tubuh melampaui 600

mg. Selanjutnya, peningkatan dosis salicylate (aspirin) akan meningkatkan waktu paruh

Page 22: OAINS fix

22

eliminasi salicylate menjadi 3-5 jam (untuk dosis 600 mg/hari), hingga 12-16 jam

(untuk dosis > 3,6 gram/ hari). Alkalinisasi urine meningkatkan kecepatan ekskresi

salicylate bebas dan konjugatnya yang larut dalam air (water soluble conjugate).

Mekanisme Aksi

Aksi analgetik, antipiretik dan antiinflamatorik barangkali disebabkan oleh inhibisi

prostaglandin. Efek analgesik mungkin pula disebabkan oelh efek inhibitorik pada aksi

produksi nyeri oleh bradikinin dan efek antipiretik kemungkinan disebabkan oleh

vasodilatasi perifer. Salicylate adalah iritan gaster dan mempunyai implikasi dalam

ulserasi lambung. Sebagai tambahan, aspirin menghambat aksi dari siklus

endoperoksidase yang penting dalam sintesis tromboksan. Efek minor dalam respirasi

dan metabolism intermedier muncul pada dosis tinggi.

Sodium salicylate dan aspirin diabsorpsi cepat di lambung dan usus dengan

konsentrasi puncak dalam 1 jam setelah administrasi oral. Perubahan aspirin menjadi

salicylate secara cepat terjadi setelah absopsi karena first pass effect yang muncul pada

dinding usus kecil dan liver. Asam salicylate banyak diekskresikan tampa perubahan

atau sebagai glysin conjugate.

Efek Anti Inflamasi

Aspirin adalah inhibitor non selektif bagi COX-1 dan COX-2, namun salicylate kurang

efektif sebagai inhibitor kedua isoenzim tersebut. Aspirin dosis rendah (<100 mg/hari)

lebih cenderung menghambat COX-1 sedangkan dosis yang lebih tinggi menghambat

COX-1 dan COX-2. Aspirin menimbulkan inhibisi ireversibel terhadap COX dan

agregasi platelet yang tidak dapat dilakukan oleh nonacetylated salicylates. Aspirin juga

mengganggu mediator kimiawi dari sistem kallikrein, sehingga terjadi inhibisi

adherence granulosit pada vasklatur yang cedera, stabilisasi lisosom, dan inhibisi

kemotaksis leukosit polimorfonuklear dan makrofag.

Efek Analgetik

Aspirin sangat efektif dalam meringankan nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang

melalui efeknya terhadap inflamasi dan kemungkinan pula melalui inhibisi terhadap

stimuli nyeri pada tingkat subkortikal.

Efek Antipiretik

Page 23: OAINS fix

23

Aspirin menurunkan temperature yang meninggi dan tidak terlalu berpengaruh terhadap

temperature tubuh normal. Efek antipiretik tersebut kemungkinan dimediasi oleh

inhibisi COX di sistem saraf pusat dan inhibisi IL-1 (dilepaskan makrofag selama

inflamasi).

Efek Antiplatelet

Aspirin tunggal dalam dosis rendah (81mg/hari) menimbulkan sedikit pemanjangan

bleeding time, yang akan berlipat ganda bila diberikan terus-menerus selama 1 minggu.

Perubahan tersebut dikarenakan efek inhibisi COX yang ireversibel sehingga efek

antiplatelat aspirin bertahan hingga 8-10 hari (usia hidup platelet).

Dosis optimal untuk mendapatkan efek analgetik dan antipiretik dengan aspirin

adalah kurang dari 0,6-0,65 gram dosis oral yang umum digunakan. Dosis lebih besar

dapat memperpanjang durasi efek tersebut. Dosis biasa dapat diulang tiap 4 jam. Dosis

inflamasi untuk anak-anak adalah 50-70 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi dan dosis

rata-rata awal untuk dewasa adalah 45 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. Aspirin

memiliki efek samping intoleransi lambung dan ulkus lambung serta duodenal dalam

dosis biasa. Makin tinggi dosisnya, maka makin tinggi pula fecal blood loss. Pada dosis

tinggi dapat terjadi “salicylism” (muntah, tinnitus, penurunan kemampuan mendengan

dan vertigo) yang dapat reversible bila dosis tidak diturunkan. Dosis yang lebih besar

lagi dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung pada medulla spinalis.

Sebagaimana OAINS lainnya, aspirin dapat menyebabkan peningkatan ringan level

enzim liver, hepatitis (sangat jarang), penurunan fungsi renal, perdarahan, rash dan

asma.

Aspirin dikontraindikasikan bagi pasien dengan hemophilia. Meski sebelumnya

aspirin tidak dianjurkan bagi wanita hamil, aspirin dapat digunakan dalam penanganan

pre-eklamsia dan eklamsia. Bila terjadi overdosis, disarankan untuk kumbah lambung

dan alkalinisasi serta peningkatan produksi urin harus dipertahankan. Hipertermia dan

kelainan elektrolit harus segera dibenahi. Infus sodium bikarbonat dapat diberikan untuk

alkalinisasi urin sehingga terjadi penimgkatan ekskresi salicylate.

2) Obat OAINS nonacetylated salicylates

Obat ini meliputi magnesium choline salicylate, sodium salicylate, dan salicylsalicylate.

Semua nonacetylated salicylates adalah obat anti inflamasi yang efektif, walaupun

mungkin kurang sebagai analgesik efektif dibandingkan aspirin. Karena obat jenis ini

Page 24: OAINS fix

24

jauh kurang efektif daripada aspirin sebagai inhibitor COX, mungkin lebih baik

digunakan saat inhibisi COX tidak diinginkan, seperti pada pasien dengan asma, orang-

orang dengan kecenderungan perdarahan, dan bahkan (di bawah pengawasan yang

ketat) orang-orang dengan disfungsi ginjal. Obat nonacetylated salicylates diberikan

dalam dosis yang sama seperti aspirin dan bisa dimonitor menggunakan pengukuran

serum salisilat.3

Inhibitor COX-2 Selektif 5

Celecoxib

Celecoxib adalah selektif COX-2 inhibitor – kira-kira 10-20 kali lebih efektif untuk

COX-2 daripada COX-1. Celecoxib sama efektifnya dengan OAINS lainnya dalam

pengobatan rheumatoid artritis dan osteoartritis, dan dalam beberapa uji coba, telah

menyebabkan ulkus endoskopik yang lebih sedikit dari OAINS lainnya. Mungkin

karena merupakan sulfinamide, celecoxib dapat menyebabkan ruam. Obat ini tidak

mempengaruhi agregasi platelet pada dosis biasa. Celecoxib kadang-kadang berinteraksi

dengan warfarin-seperti yang diharapkan dari obat yang dimetabolisme melalui

CYP2C9. Meskipun efek samping celecoxib diperkirakan hanya setengah kasus

gastrointestinal dari nonselektif OAINS, frekuensi efek samping yang lain mendekati

OAINS lainnya. Celecoxib tidak lagi menyebabkan edema atau efek ginjal daripada

anggota lainnya dari kelompok OAINS, tetapi edema dan hipertensi pernah dinyatakan

sebelumnya.

Etoricoxib

Etoricoxib, adalah derivat bipiridin, yaitu selektif COX-2 inhibitor generasi kedua

dengan rasio selektivitas tertinggi dari semua coxib untuk penghambatan COX-2

dibandingkan dengan COX-1. Obat ini secara ekstensif dimetabolisme oleh enzim P450

diikuti dengan ekskresi oleh ginjal dan memiliki waktu paruh eliminasi 22 jam.

Etoricoxib disetujui di Inggris untuk pengobatan tanda-tanda gejala osteoartritis (60

mg/hari) dan reumatoid artritis (90 mg/hari), untuk pengobatan yang menderita gout

artritis akut (120 mg/hari), dan untuk menghilangkan nyeri akut muskuloskeletal (60

mg/hari). Persetujuan penggunaannya di Amerika Serikat masih tertunda. Sembilan

puluh mg sehari etoricoxib memiliki efikasi tinggi dibandingkan dengan naproksen 500

mg dua kali sehari dalam pengobatan reumatoid artritis selama 12 minggu. Etoricoxib

Page 25: OAINS fix

25

memiliki efikasi yang mirip dengan tradisional OAINS untuk osteoartritis, gout artritis

akut, dan dismenore primer serta memiliki profil keamanan pencernaan mirip dengan

coxib lainnya. Etoricoxib memiliki kesamaan struktural dengan diklofenak, adalah tepat

untuk memantau fungsi hati dengan hati-hati penggunaannya pada pasien.

Meloksikam

Meloksikam adalah enolcarboxamide terkait dengan piroksikam yang telah digunakan

untuk menghambat preferentially isoenzim COX-2 daripada COX-1, terutama pada

dosis terapi yang terendah sebesar 7,5 mg/hari. Obat ini tidak selektif seperti coxib

lainnya dan dapat dianggap "preferentially" selektif dan bukan “highly” selektif. Obat

ini populer di Eropa dan banyak negara lainnya untuk penanganan penyakit rematik dan

baru-baru ini telah disetujui untuk pengobatan osteoartritis di Amerika Serikat.

Keberhasilan meloksikam dalam kondisi ini dan penanganan reumatoid artritis adalah

sebanding dengan OAINS lainnya. Obat ini dikaitkan dengan lebih sedikitnya gejala

klinis dan komplikasi gastrointestinal daripada piroksikam, diklofenac, dan naproksen.

Demikian pula, ketika meloksikam diketahui menghambat sintesis tromboksan A2,

tampak bahwa bahkan pada dosis tinggi, blokade tromboksan A2 tidak mencapai

tingkat yang menghasilkan penurunan dalam fungsi platelet secara in vivo. toksisitas

lain yang mirip dengan OAINS lainnya.

Valdecoxib

Valdecoxib, sebuah diaryl-substituted isoxazole, adalah inhibitor COX-2 baru yang

sangat selektif. Dosis analgesik untuk valdecoxib adalah 20 mg dua kali sehari.

Gastrointestinal dan toksisitas yang lain mirip dengan yang coxib lainnya. Valdecoxib

tidak mempengaruhi agregasi platelet atau bleeding time. Reaksi yang serius telah

dilaporkan pada orang sensitive terhadap sulfinamide. Valdecoxib ditarik dari pasaran

di Amerika Serikat pada awal tahun 2005 sebagai tanggapan terhadap keprihatinan

FDA tentang risiko kardiovaskular dan sindrom Stevens-Johnson, tapi obat ini masih

tersedia di negara-negara lain.

Inhibitor COX Nonselektif 5

Page 26: OAINS fix

26

Diklofenak

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat yang relatif nonselektif sebagai inhibitor

COX. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan sempurna. Akibat

yang merugikan terjadi pada sekitar 20% dari pasien dan meliputi distres

gastrointestinal, occult bleeding pada gastrointestinal, dan ulkus lambung, ulkus dapat

terjadi meskipun kejadiannya lebih jarang dibandingkan dengan efek OAINS lainnya.

Menggabungkan diklofenak dan misoprostol akan menurunkan ulserasi gastrointestinal

akan tetapi dapat menyebabkan diare. Kombinasi lain diklofenak dan omeprazol juga

efektif sehubungan dengan pencegahan perdarahan berulang, tetapi efek samping ginjal

biasa terjadi pada pasien berisiko tinggi. Dosis orang dewasan100-150 mg sehari

dengan dosis terbagi dua atau 3 dosis. Diklofenak dengan dosis lebih dari 150 mg/hari

tampaknya dapat mengganggu aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini

terikat 99% dengan protein plasma dan mengalami efek lintas wal (first-pass) sebesar

40-50%. Waktu paruh obat 1-3 jam. Diklofenak dalam bentuk supositoria dapat

dianggap sebagai obat pilihan untuk analgesia preemptive dan mual pasca operasi. Di

Eropa, diklofenak juga tersedia sebagai obat kumur dan untuk penggunaan

intramuskular.

Diflunisal

Meskipun diflunisal berasal dari turunan asam salisilat, namun obat ini tidak

dimetabolisme menjadi asam salisilat atau salisilat. Bersifat analgesik dan antiinflamasi

tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Sertelah pemberian oral akan mencapai kadar

puncak dalam 2-3 jam. Obat ini 99% terikat albumin plasma dan dimetabolisme dengan

kapasitas terbatas dengan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Obat ini mengalami siklus

enterohepatik dengan direabsorpsinya metabolit glukuronat diikuti dengan pembelahan

glukuronat untuk kembali melepaskannya dalam bentuk aktif. Dalam reumatoid

arthritis, dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg sehari dalam dua dosis terbagi.

Indikasi obat ini hanya sebagai analgetik ringan samapai sedang dengan dosis awal 500

mg disususl 250-500 mg tiap 8-12 jam. Salep oral diflunisal 2% adalah analgesik klinis

yang berguna untuk lesi oral yang menyakitkan. Karena kliren tergantung pada fungsi

ginjal serta metabolisme hati, dosis diflunisal haruslah terbatas pada pasien dengan

kerusakan ginjal yang signifikan. Profil efek samping adalah serupa dengan OAINS

lainnya; pseudoporphyria juga telah dilaporkan.

Page 27: OAINS fix

27

Etodolak

Etodolak adalah derivate asam asetat racemic dengan waktu paruh menengah. Hal ini

sedikit lebih selektif COX-2 daripada sebagian besar OAINS lainnya, dengan aktivitas

rasio pada COX-2: COX-1 sekitar 10. Tidak seperti OAINS racemic lain, etodolak

tidak mengalami inversi chiral dalam tubuh. Dosis etodolak adalah 200-400 mg 3-4 kali

sehari. Etodolak baik digunakan sebagai penghilang nyeri pasca operasi setelah operasi

bypass arteri koroner, walaupun sementara ini efeknya terhadap penurunan fungsi ginjal

telah dilaporkan. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa etodolak berbeda secara

signifikan dari OAINS lain kecuali dalam parameter farmakokinetik tersebut, meskipun

demikian, obat ini diklaim jarang menyebabkan toksisitas lambung dalam hal penyakit

ulkus jika dibandingkan dengan OAINSs nonselektif lainnya.

Fenoprofen

Fenoprofen, turunan asam propionat, adalah OAINS yang paling dihubungkan dengan

kejadian nefritis interstisial dan jarang digunakan.

Flurbiprofen

Flurbiprofen adalah derivat asam propionat dengan mekanisme yang mungkin lebih

kompleks dari OAINS lainnya. Obat ini (S)(-) enantiomer yang menghambat COX

secara nonselektif, tetapi telah ditunjukkan dalam jaringan tikus bahwa obat ini juga

dapat mempengaruhi sintesis TNF- α dan sintesis nitric oxide. Metabolisme hepatiknya

sangat luas, (R) (+) dan (S) (-) enantiomer dimetabolisme berbeda, dan tidak mengalami

konversi chiral. Itu menunjukkan sirkulasi enterohepatik. Efikasi flurbiprofen pada

dosis 200-400 mg /hari sebanding dengan aspirin dan OAINS lainnya dalam uji klinis

untuk pasien dengan reumatoid artritis, ankylosing spondilitis, gout, dan osteoartritis.

Hal ini juga tersedia dalam formulasi tetes mata topikal untuk penghambatan miosis

intraoperative. Flurbiprofen intravena telah ditemukan efektif untuk analgesia

perioperatif di telinga, leher, dan operasi hidung dan dalam bentuk permen untuk sakit

tenggorokan.Meskipun profil efek sampingnya sama dengan OAINS lain dalam

sebagian besar kasus, flurbiprofen juga terkait dengan ataksia, tremor, dan myoklonus

(jarang).

Ibuprofen

Ibuprofen adalah derivat sederhana dari phenylpropionic acid. Dalam dosis sekitar

2400 mg per hari, ibuprofen adalah setara dengan 4 g aspirin dalam efeknya sebagai

Page 28: OAINS fix

28

anti inflamasi. Ibuprofen oral sering diresepkan dalam dosis rendah (<2400 mg/hari),

dimana obat ini memiliki efek analgesik tetapi tidak efek anti inflamasi. Ibuprofen krim

lebih efektif dibandingkan krim plasebo untuk pengobatan osteoartritis lutut primer.

Sediaan ibuprofen dalam bentuk liquid gel 400 mg mempercepat keberhasilan dalam

menurunkan secara keseluruhan sakit gigi pascaoperasi. Dibandingkan dengan

indometasin, ibuprofen jarang menurunkan pengeluaran urin dan juga dapat

menyebabkan retensi cairan lebih sedikit dari indometasin. Ibuprofen efektif dalam

penutupan paten duktus arteriosus pada bayi prematur, dengan efekasi dan keamanan

yang sebagian besar sama seperti indometasin. Jalur oral dan intravena sama-sama

efektif untuk indikasi ini. Iritasi gastrointestinal dan perdarahan dapat terjadi, meskipun

lebih jarang dibandingkan dengan aspirin. Penggunaan ibuprofen secara bersamaan

dengan aspirin dapat mengurangi efek anti-inflamasi secara total. Obat ini relatif

kontraindikasi pada individu dengan polip hidung, angioedema, dan reaktivitas

bronkospastik dengan aspirin. Selain gejala-gejala gastrointestinal (yang dapat

dimodifikasi dengan mengkonsumsi makanan), pruritus ruam, tinnitus, pusing, sakit

kepala, meningitis aseptik (terutama pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik),

dan retensi cairan telah dilaporkan. Interaksi dengan antikoagulan jarang terjadi.

Pemberian bersamaan dengan antagonis ibuprofen mengakibatkan penghambatan

platelet ireversibel yang diinduksi aspirin. Dengan demikian, pengobatan dengan

ibuprofen pada pasien dengan peningkatan risiko kardiovaskular dapat membatasi efek

kardioprotektif aspirin. Efek hematologi yang jarang termasuk agranulositosis dan

anemia aplastik. Efek pada ginjal (seperti halnya semua OAINS) termasuk gagal ginjal

akut, nefritis interstisial, dan sindrom nefrotik, tapi ini sangat jarang terjadi. Saat ini

telah dilaporkan adanya kasus hepatitis akibat penggunaan obat ini.

Indometasin

Indometasin, diperkenalkan pada tahun 1963, sebagai derivat indole-asam asetat. Obat

ini adalah inhibitor COX nonselektif yang poten dan mungkin juga menghambat

fosfolipase A dan C, mengurangi migrasi neutrofil, dan menurunkan proliferasi sel T

dan sel B. Probenesid memperpanjang waktu paruh indometasin dengan menghambat

klirennya pada ginjal dan empedu. Obat ini agak berbeda dengan OAINS lainnya dalam

hal indikasi dan toksisitas.

Page 29: OAINS fix

29

Indometasin diindikasikan untuk digunakan dalam kondisi rematik dan sangat

populer untuk gout dan ankilosing spondilitis. Selain itu, telah digunakan untuk

mengobati paten duktus arteriosus. Walaupun obat ini efektif namun karena

toksisitasnya maka penggunaannya dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi

dan analgesik-antipiretik sebanding dengan aspirin. Telah terbukti obat ini memiliki

efek analgesik perifer maupun sentral. Absorpsi setelah pemberian oral cukup baik; 92-

99% terikat protein plasma. Metabolismenya di hati dengan waktu paruh kira-kira 2-4

jam. Karena toksisitasnya, obat ini tidak dianjurkan diberikan pada anak, wanita hamil,

penderita gangguan psikiatri, dan penderita penyakit lambung. Dosis yang lazim adalah

2-4 kali 25 mg sehari.

Efek gastrointestinal meliputi nyeri perut, diare, perdarahan gastrointestinal, dan

pankreatitis. Sakit kepala yang dialami oleh 15-25% pasien dan dapat dihubungkan

dengan pusing, kebingungan, dan depresi. Psikosis dengan halusinasi serta kelainan

hepatika jarang dilaporkan. Reaksi hematologi serius telah dicatat, termasuk

trombositopenia dan anemia aplastik. Hiperkalemia telah dilaporkan dan berhubungan

dengan penghambatan sintesis prostaglandin di ginjal. Nekrosis papiler ginjal juga telah

diamati. Tidak efektif untuk gout karena tidak memiliki efek urikosurik. Sejumlah

interaksi dengan obat lain telah dilaporkan.

Ketoprofen

Ketoprofen adalah turunan asam propionat yang menghambat baik COX (nonselektif)

dan lipoksigenase dengan sifat anti-inflamasi sedang. Penambahan probenesid

meningkatkan level ketoprofen dan memperpanjang waktu paruh plasmanya.

Absorpsinya berlangsung baik dari lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam.

Dosisnya 2 kali 100 mg sehari namun sebaiknya disesuaikan perindividu. Efektivitas

ketoprofen pada dosis 100-300 mg/hari setara dengan OAINS lainnya dalam

pengobatan reumatoid artritis, osteoartritis, gout, dismenore, dan kondisi serupa

lainnya. Meskipun efek ganda pada prostaglandin dan leukotrien, ketoprofen tidak lebih

unggul dari OAINS lainnya. efek yang merugikan utamanya adalah pada saluran

pencernaan dan sistem saraf pusat.

Ketorolak

Page 30: OAINS fix

30

Ketorolak adalah OAINS dianjurkan untuk penggunaan sistemik terutama sebagai

analgesik, bukan sebagai obat anti-inflamasi (meskipun memiliki sifat-sifat khas

OAINS). Obat ini merupakan analgesik efektif dan telah berhasil digunakan untuk

menggantikan morfin dalam beberapa situasi yang melibatkan rasa sakit pascaoperasi

ringan sampai sedang. Obat ini paling sering diberikan intramuskular atau intravena,

tetapi formulasi dengan dosis oral telah tersedia. Ketika digunakan dengan opioid, dapat

menurunkan kebutuhan opioid 25-50% dalam induksi preoperasi. Sediaan oftalmik

tersedia untuk kondisi inflamasi okular. Toksisitasnya mirip dengan OAINS lain,

meskipun toksisitas ginjal mungkin lebih umum dalam penggunaan jangka panjang.

Meklofenamate dan Asam Mefenamat

Meklofenamate dan asam mefenamat menghambat baik COX dan fosfolipase A2. Obat

ini jarang digunakan sekarang. Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik,

antiinflamasi, namun kurang efektif jika dinadingkan dengan aspirin. Obat ini terikat

kuat dengan protein plasma, dengan demikian interaksinya terhadap obat antikoagulan

harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering muncul misalnya dispepsia

dan gejala iritasi rehadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-

400 mg sehari sedangkan untuk penyakit sendi adalah 200-400 mg sehari. Obat ini tidak

dianjurkan diberikan pada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan pemberian

tidak boleh melebihi 7 hari.

Nabumetone

Nabumetone adalah satu-satunya OAINS nonacid digunakan saat ini, obat ini akan

diubah menjadi derivat asam asetat aktif dalam tubuh. Obat ini dinyatakan sebagai

prodrug keton yang menyerupai naproksen dalam strukturnya. Waktu paruh obat ini

lebih dari 24 jam dengan dosis yang diizinkan adalah sekali sehari, dan obat ini tidak

mengalami sirkulasi enterohepatik. Metabolit ini merupakan penghambat kuat dari

enzim COX. Data dari hewan percobaan juga menunjukkan bahwa nebometon selekti

menghambat iso-enzim prostaglandin untuk peradangan namun kurang manghambat

prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Kerusakan ginjal mengakibatkan penggandaan

waktu paruh. Sifatnya sangat mirip dengan OAINS lain, meskipun mungkin kurang

merusak lambung dibandingkan OAINS lain ketika diberikan pada dosis 1000 mg/hari.

Sayangnya, dosis yang lebih tinggi (1500-2000 mg/hari) sering dibutuhkan, dan obat ini

termasuk OAINS yang sangat mahal. Seperti naproksen, nabumetone telah dilaporkan

Page 31: OAINS fix

31

menyebabkan pseudoporphyria dan fotosensitif pada beberapa pasien. Efek samping

lainnya sama dengan OAINS lainnya.

Naproksen

Naproksen adalah derivat naphthylpropionic acid, satu-satunya OAINS yang saat ini

dipasarkan sebagai enantiomer tunggal, dan merupakan inhibitor COX yang

nonselektif. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dengan kadar puncak

dicapai dalam 2-4 jam. Waktu paruh obat ini 14 jam sehingga cukup diberikan 2 kali

sehari. Ekskresinya terutama dalam urin. Fraksi bebas naproksen itu secara signifikan

lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria, meskipun mengikat albumin sangat

tinggi pada kedua jenis kelamin. Ikatan obat ini dengan protein plasma mencapai 98-

99%. Naproksen efektif untuk indikasi reumatologi biasa dan tersedia baik dalam

formulasi rilis lambat dan sebagai suspensi oral. Dosis untuk terapi penyakit rematik

sendi asalah 2 kali 250-375 mg sehari. Bila perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg sehari.

Sediaan topikal dan larutan tetes mata juga tersedia. Kejadian perdarahan saluran cerna

akibat penggunakan over-the-counter rendah tetapi masih dua kali lipat dari over-the-

counter ibuprofen (mungkin karena efek dosis).

Oxaprozin

Oxaprozin adalah turunan asam propionat OAINS lainnya. Perbedaan utama dari

anggota lain pada subkelompok ini adalah sangat panjangnya waktu paruh (50-60 jam),

meskipun oxaprozin tidak mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini memiliki

manfaat dan risiko yang sama berkaitan dengan OAINS lainnya. Obat ini sedikit

urikosurik, sehingga tidak lebih berguna dalam gout dibandingkan OAINS lain.

Fenilbutazon

Fenilbutazon, derivat pyrazolone, diperkenalkan pada tahun 1949, tetapi karena

toksisitasnya, jarang digunakan saat ini.

Piroksikam

Piroksikam, sebuah oksikam, adalah inhibitor COX yang nonselektif yang pada

konsentrasi tinggi juga dapat menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear,

menurunkan produksi oksigen radikal, dan menghambat fungsi limfosit. Obat ini

memiliki waktu paruh yang panjang (lebih dari 45 jam) dengan dosis yang dianjurkan

sekali sehari. Absorpsinya berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein

Page 32: OAINS fix

32

plasma, obat ini menjalani siklus enterohepatik. Piroksikam dapat digunakan untuk

indikasi penyakit rematik biasa. Toksisitas termasuk gejala gastrointestinal (20% dari

pasien), pusing, tinitus, sakit kepala, dan ruam. Indikasi piroksikam hanya untuk

penyakit inflamasi sendi dengan dosis 10-20 mg sehari. Ketika piroksikam digunakan

dalam dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari, dinyatakan terdapat peningkatan kejadian

ulkus peptikum dan pendarahan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa risiko ini

adalah sebanyak 9,5 kali lebih tinggi dengan piroksikam dibandingkan dengan OAINS

lainnya.

Sulindak

Sulindak adalah prodrug sulfoxide. Obat ini dimetabolisme reversibel menjadi

metabolit sulfida aktif, yang diekskresikan dalam empedu dan kemudian diserap dari

usus. Siklus enterohepatik memperpanjang durasi kerja untuk (12-16 jam).

Indikasi dan efek samping dari sulindak mirip dengan OAINS lainnya. Selain indikasi

digunakan pada penyakit rematik, sulindak menekan poliposis usus; mungkin

menghambat perkembangan usus, payudara, dan kanker prostat pada manusia. Hal ini

tampaknya sebagai penghambat terjadinya kanker usus pada tikus. Efek samping berupa

sindrom Stevens-Johnson epidermis nekrolisis, trombositopenia, agranulositosis, dan

sindrom nefrotik pernah dilaporkan. Seperti diklofenac, sulindak mungkin memiliki

kecenderungan untuk menyebabkan elevasi aminotransferase serum, namun juga

kadang-kadang dikaitkan dengan kerusakan hati kolestasis, yang menghilang atau

menjadi tidak aktif ketika obat dihentikan.

Tenoksikam

Tenoksikam adalah oxicam yang mirip dengan piroksikam dan memiliki kerja sebagai

nonselektif COX inhibitor, waktu paruhnya 72 jam. Ini tersedia di luar negeri tapi tidak

di Amerika Serikat.

Tiaprofen

Tiaprofen adalah derivat asam propionat racemic tetapi tidak mengalami

stereokonversi, memiliki waktu paruh pada serum yang pendek (1-2 jam) dengan

meningkat menjadi 2-4 jam pada orang tua. Obat ini menghambat reabsorpsi asam urat

pada ginjal dan dengan demikian sedikit menurunkan asam urat serum. Obat ini tersedia

Page 33: OAINS fix

33

dalam bentuk oral dan intramuskular. Efikasi dan profil efek samping sama

denganOAINS lainnya. Tiaprofen tidak tersedia di Amerika Serikat.

Tolmetin

Tolmetin adalah nonselektif COX inhibitor dengan waktu paruh pendek (1-2 jam) dan

tidak sering digunakan. Efikasi dan profil toksisitasnya mirip dengan OAINS lainnya

dengan pengecualian berikut ini: obat ini tidak efektif (untuk alasan yang tidak

diketahui) dalam pengobatan gout, dan dapat menyebabkan (jarang) purpura

trombositopenik.

Azapropazone dan Carprofen

Obat ini tersedia di banyak negara lain tetapi tidak dijual di Amerika Serikat.

Azapropazone (apazone), sebuah derivat pyrazolone, secara struktural berkaitan

dengan fenilbutazon tetapi tampaknya cenderung menyebabkan agranulositosis. Waktu

parunya 12-16 jam mungkin dua kali lipat pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

Carprofen adalah derivat asam propionat dengan waktu paruh 10-16 jam. Indikasi dan

efek samping azapropazone dan carprofen yang mirip dengan OAINS lainnya.

Page 34: OAINS fix

34

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

OAINS biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut dan

untuk pengobatan pada sindrom nyeri kronis dengan menghambat seluruh aktivitas jalur

siklooksigenase sehingga tidak mensintesis prostaglandin yang berperan menimbulkan

nyeri melalui mekanisme baik perifer maupun sentral. Terdapat 2 jenis enzim siklo

oksigenase, yaitu siklo oksigenase-1 (COX-1) dan siklo oksigenase-2 (COX-2). COX-1

merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau homeostasis.

Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis

penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi tubular ginjal

dan platelet. Sementara COX-2 kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar

jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi.

Penghambatan kerja COX-1 dan COX-2 didasarkan pada mekanisme inflamasi yang

dicetuskan oleh enzim tersebut dimana efek antiinflamasi dari OAINS terutama

dihubungkan dengan penghambatan COX-2. OAINS tradisional akan menghambat

kerja kdua isoenzim sehingga terjadi penghambatan COX-1 yang malah menimbulkan

efek samping OAINS sehingga OAINS yang banyak digunakan sekarang ini adalah

OAINS yang selektif terhadap COX-2 saja. Apabila diberikan penghambat selective

COX-2 inhibitor maka tidak akan menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak

mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi

efek samping pada saluran makan maupun perdarahan.

OAINS yang bekerja pada COX-1 dan COX-2 sebagai berikut: Indometasin dan

sulindak sedikit selektif terhadap COX-1, meklofenamate dan ibuprofen mempunyai

efek yang ekuipoten terhadap COX-1 dan COX-2. Celecoxib, diclofenak, rofecoxib,

lumiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 secara selektif, Aspirin mengasetilasi

dan menghambat kedua isoenzim baik COX-1 maupun COX-2.

3.2 Saran – saran

1. Kepada para dokter muda agar mampu meningkatkan pemahaman tentang

farmakologi OAINS sehingga dapat meningkatkan kompetensi dalam

penanganan kasus nyeri terutama nyeri kronis.

34

Page 35: OAINS fix

35

2. Melalui tulisan ini penulis menyarankan agar para dokter khususnya yang

bekerja di bidang anestesi dapat mengoptimalkan penggunaan OAINS sebagai

step pertama pengobatan nyeri kronik sehingga pelayanan dalam penanganan

kasus nyeri akan dapat ditingkatkan.

Page 36: OAINS fix