oains fix
TRANSCRIPT
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasien datang ke berbagai pusat pelayanan kesehatan sebagian besar dengan keluhan nyeri.
Penatalaksanaan kasus nyeri membutuhkan pemahaman akan proses patofisiologi nyeri
terutama nyeri yang mengikuti suatu proses inflamasi. Berbagai modalitas tersedia dalam
penanganan kasus nyeri namun pada nyeri modalitas pertama yang biasanya digunakan
dalam penanganan nyeri adalah obat golongan nonopiat yaitu OAINS.
Sebagai analgetika, OAINS tidak selalu menimbulkan efek menguntungkan bagi
penderita namun juga memiliki efek samping yang perlu diperhatikan yang kadangkala
dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan
mekanisme kerja sediaan ini pada enzim COX-1 dan COX-2 yang dibutuhkan dalam
biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi
juga merupakan sediaan gastroprotektor. Seperti pisau bermata dua, maka penggunaan
OAINS dengan cara kerja penghambat COX-1 maupun COX-2 perlu diketahui. Apabila
kita bisa mengerti bagaimana farmakologi, farmakokinetik, dan interaksi obat – obatan
ini dalam hubungannya sebagai obat analgetik, maka akan sangat berguna dalam
aplikasi penanganan nyeri baik sentral maupun perifer.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah mekanisme kerja COX-1 dan COX-2 dalam menginduksi nyeri
yang menyertai suatu proses inflamasi?
2. Bagaimanakah kerja penghambat COX-1 dan COX-2 dalam penatalaksanaan
nyeri?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui mekanisme kerja COX-1 dan COX-2 dalam menginduksi
nyeri yang menyertai suatu proses inflamasi.
2. Untuk mengetahui kerja penghambat COX-1 dan COX-2 dalam
penatakasanaan nyeri.
1
2
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan dilakukan dalam rangka kepaniteraan klinik madya di Lab/SMF Anestesi dan
Reanimasi RS Sanglah/FK Unud Denpasar. Melalui penulisan ini diharapkan bahwa
penggunaan OAINS akan bisa dimengerti dengan lebih baik oleh berbagai pihak yang
berkepentingan, terutama insan pelayan kesehatan dalam prakteknya sebagai analgetik
selain sebagai antipiretik maupun antiinflamasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mekanisme Nyeri sebagai Respon Peradangan
Nyeri timbul oleh karena aktivitas dan sensitivitas sistem nosiseptif. Dalam kondisi normal,
reseptor tersebut tidak aktif namun dalam kondisi patologis misalnya inflamasi, nosiseptor
menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan
jaringan tubuh, akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan berbagai jenis mediator inflamasi (zat-zat kimia bersifat algesik) yang
berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri seperti ion K, Ion H, asam laktat,
serotonin, bradikinin, histamine dan prostaglandin.
Membran sel yang rusak akan mengeluarkan substansi khusus yang disebut
eicosanoid (yang terdiri dari AA) dibentuk melalui kerja phospholipases (phospholipase
A2 dan C serta dyglyceride lipase) pada membran phospholipid. Produk dari eicosanoid
melalui tiga jalur utama dengan menggunakan oksigen sebagai kosubstrat mayor. Jalur
tersebut antara lain jalur lipoksigenase, jalur epoksigenase, serta siklooksigenase.1
Lipoksigenase adalah dimana AA mengalami oksigenasi oleh mikrosomal sitokrom
P450 monooksigenase dari hati dan ginjal.
Gambar 2.1 Jalur pembentukan prostaglandinSumber: FitzGerald GA, Patrono CP. 2001
AA, asam lemak 20-karbon mengandung empat ikatan ganda, dibebaskan dari sn2
position dalam membran fosfolipid oleh fosfolipase A2, yang diaktifkan oleh beragam
rangsangan. AA diubah oleh sintase prostaglandin G/H sitosol, yang memiliki aktivitas
3
4
siklooksigenase (COX) dan hydroperoxidase (HOX). Sistem COX mengubah AA
membentuk endoperoksida prostaglandin G2 (PGG2) yang nantinya akan bereaksi
dengan hidroperoksidase untuk menjadi Prostaglandin H2 intermediet yang tidak stabil.
Prostaglandin H2 diubah oleh isomerase spesifik jaringan untuk menjadi beberapa
prostanoids sesuai dengan tipe sel tersebut Sebagian dari sel yang menggunakan
prostanoids secara individual memberikan efek menonjol. IP merupakan reseptor
prostasiklin, tromboksan dengan reseptor TP, DP sebagai reseptor prostaglandin D2, EP
sebagai reseptor prostaglandin E2, dan FP sebagai reseptor prostaglandin F2a yang
bekerja dengan target organ yang berbeda.2
Mediator inflamasi utama adalah Prostaglandin (PG) E2 dan Prostasiklin (PGI2)
yang merupakan produk dari aktivasi enzim COX-2. Misalnya, platelet akan mengubah
endoperoksidase menjadi tromboksan A2 (TXA2) dimana endotelium vaskuler akan
mengubah endoperoksida menjadi PGI2.
Prostaglandin mempunyai efek yang bermacam-macam terhadap pembuluh darah,
terhadap saraf (nerve ending), terhadap sel yang terlibat dalam peradangan. Penelitian
menyebutkan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekanik dan kimiawi. Pada inflamasi akut dan kronis, prostaglandin E2 merupakan
prostaglandin utama yang dihasilkan di perifer dan sentral. Pembentukan prostaglandin
ini, baik di perifer dan sentral, dihambat oleh penghambat COX-2. 3
Gambar 2.2 Mekanisme nyeri periferSumber: Samad TA, et al. 2001.
Mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari adanya sensitisasi ujung
syaraf oleh mediator prostaglandin E2 yang terbentuk akibat cedera jaringan dan oleh
5
peningkatan jumlah enzim COX-2. Prostaglandin seperti PGE1 atau PGE2, melalui
mekanismenya sendiri, bukan merupakan mediator penting dalam transmisi nyeri tapi
mereka memberikan kontribusi dalam terjadinya hiperalgesia perifer dengan
mensensitisasi sensori nosiseptif pada nerve ending untuk mediator lain (seperti
misalnya histamin dan bradikinin) dan dengan mensensitisasi nosiseptor untuk
berrespon terhadap stimulus yang tidak nosiseptif (misalnya sentuhan). Prostaglandin E2
berikatan dengan reseptor EP (Prostaglandin E) pada nosiseptif nerve ending,
meningkatkan aksi dari fosfokinase intraseluler untuk meningkatkan permeabilitas
sodium channel. Hasilnya adalah peningkatan potensial membran istirahat dan
penurunan nilai ambang batas rangsangan. Sehingga dengan stimulus berintensitas
rendah akan dapat merangsang nosiseptor (misalnya sentuhan dan pergerakan dapat
mengakibatkan nyeri) yang disebut sebagai hiperalgesia.1
Inflamasi perifer menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin di sumsum tulang
belakang. Prostaglandin dikenal memiliki aksi langsung pada tingkat korda spinalis
untuk meningkatkan proses nosisepsi, terutama pada sensori neuron terminal dalam
kornu dorsalis medula spinalis. Selain itu di cairan serebrospinal prostaglandin tidak
terdeteksi pada keadaan normal, namun beberapa jam setelah inflamasi perifer kadar
prostaglandin meningkat secara bermakna. Adanya tampilan COX-1 dan COX-2 di sumsum
tulang belakang dan syaraf afferent primer mengisyaratkan bahwa sumsum tulang belakang
adalah salah satu tempat kerja OAINS sebagai analgetik. Pemberian prostaglandin langsung
ke sumsum tulang belakang dapat menimbulkan modulasi nyeri berupa hiperalgesia dan
alodinia. Hal ini jelas memiliki aksi sentral.4
Efek dari nyeri akut berhubungan dengan ekspresi COX-2 dan produksi PG pada
medula spinalis dan otak. Peningkatan regulasi COX-2 secara sentral terutama diinduksi
oleh interleukin-1β. Penelitian menemukan bahwa interleukin 6 (IL-6) meningkatkan
pembentukan IL-1β pada CNS yang dapat mengakibatkan peningkatan produksi COX-2
dan PGE2 sehingga menghasilkan hiperalgesia.3
PERIPHERAL
Trauma/ inflamation Central sensitization
CENTRALIL-6
6
2.2 Isoform COX
Pada awal tahun 1990-an ditemukan 2 jenis enzim siklooksigenase, yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Bentuk isoform COX
memiliki 60% persamaan dalam stuktur molekuler namun memiliki perbedaan
signifikan dalam ekspresi dan fungsinya.5
2.2.1 Ekspresi COX-1 dan COX-2
Tipe COX-1 (COX-1) bersifat konstitusif yang dikeluarkan oleh sebagian besar sel
dalam tubuh meliputi endotel vaskular, platelat dan tubulus renalis. Level COX-1 cukup
stabil walaupun terdapat stimulus hormon dapat mempengaruhi peningkatannya.1 COX-
1 merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau
homeostasis. Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi
fisiologis penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi
tubular ginjal dan platelet. Penghambatan terhadap aktivitas COX-1 akan menimbulkan
efek samping seperti mudahnya terjadi perdarahan, gastrotoksisitas dan nefrotoksisitas.
Release of arachidonic acid
IL-1β
COX-2
Prostaglandin E2
Pain
Peripheral sensitization
ProstaglandinsE2
Pain
COX-2
Gambar 2.3 Regulasi COX-2 secara perifer dan sentral
Sumber : Samad TA, et al.2001
7
Gambar 2.4 Hipotesis COX-1 dan COX-2 Sumber : Vane. 1971
Tipe COX-2 (COX-2) kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar
jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi akut, ekspresi COX-2
meningkat signifikan 10 sampai 80 kali sebagai respon terhadap rangsangan sitokin dan
mitogenik. Enzim COX-2 terdapat dalam jumlah sangat terbatas dalam keadaan basal
pada otak dan koreks renalis, tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
COX-2 juga merupakan enzim konstitusif pada otak, ginjal, ovarium, uterus dan
endotel.11 Peningkatan regulasi COX-2 sebagai respon sistemik tidak hanya pada
segmen dari korda spinalis yang berrespon terhadap daerah trauma tapi juga melalui
CNS yang melibatkan talamus, dan korteks serebral baik ipsi maupun kontralateral.6
Tabel 2.1 Perbedaan Ekspresi COX-1 dan COX-2
COX-1 COX-2
- Terus distimulasi oleh tubuh- Konstitutif (konsentrasinya dalam tubuh
tetap stabil)- Membuat prostaglandin digunakan
sebagai dasar “house keeping” seluruhtubuh
- Prostaglandin menstimulasi fungsi tubuh normal seperti produksi mukus lambung, peraturan asam lambung dan ekskresi air oleh ginjal
- Terinduksi (biasanya tidak dibentuk dalam sel normal)
- Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX a549 sel paru-paru)
- Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan peradangan- Menghasilkan prostaglandin untuk respon
inflamasi- Dirangsang hanya sebagai bagian dari
respons imun- Produksinya dirangsang oleh sitokin inflamasi
dan faktor pertumbuhan
8
2.2.1 COX-1 dan COX-2 d ari Gen ke Protein 7
COX-1 dan COX-2 adalah isoenzymes. Isoenzyme secara genetis tergantung pada
protein, gen-gen pada manusia untuk dua enzim ini terletak pada kromosom yang
berbeda dan menunjukkan sifat yang berbeda. Gen COX-1 terletak pada kromosom 9,
sedangkan COX-2 dikode oleh gen pada kromosom-1. Kedua gen juga berbeda dalam
ukuran; gen COX-1 manusia dengan ukuran 22 Kb berisi 11 ekson, sedangkan gen
COX-2 manusia mengandung hanya 10 ekson memiliki ukuran genom relatif kecil
sebesar 8,3 Kb. Ukuran yang lebih kecil ini adalah karakteristiknya sehingga disebut
earlyimmediate gen.
Tabel 2.2 Karakteristik Genetik COX-1 dan COX-2
Isoenzymes COX adalah enzim-enzim yang terikat membran di retikulum
endoplasma (ER). Post modifikasi translasi, pemecahan sinyal peptida dan penyisipan
ke membran ER menghasilkan glikosilasi protein matur COX-1 dan COX-2 dengan
berat molekul 67000 dan 72 000 000 Da. Sebuah kekhususan COX-2 adalah struktur
primernya yang terdiri dari peptida sinyal yang terpotong, dan pemasangan dari 18
tambahan asam amino yang bertindak sebagai epitop spesifik antibodi untuk COX-2.
2.2.2 Tempat Pengikatan COX-1 dan COX-2 7
Perbedaan yang signifikan antara dua enzim tampaknya situs pengikatan yang lebih
besar pada COX-2 untuk OAINS. Perbedaan antara COX-1 dan COX-2 secara genetik
ditentukan dan akibat dari pertukaran asam amino dalam protein enzim. Ternyata
pertukaran valin di posisi 523 dalam COX-2 yang merupakan residu isoleusin relative
9
besar untuk COX-1 di posisi yang sama sebagai situs aktif dari enzim menyebabkan
modifikasi struktural. Modifikasi ini pada enzim COX-2 memungkinkan akses berupa
tambahan hydrophilic side pocket, yang merupakan prasyarat untuk obat selektif
terhadap COX-2. Akses ke side pocket ini dibatasi dalam kasus COX-1.
COX-1 dan COX-2 sedikit berbeda dalam struktur sehingga menemukan obat
selektif untuk COX-2 memerlukan pemanfaatan hydrophilic side pocket. Karena aspirin
nonselektif baik untuk COX-1 dan COX-2 maka obat ini menunjukkan duel efek
Sebuah obat baru saat ini celecoxib disebut menunjukkan selektivitas untuk COX-2
sehingga hanya menghambat prostaglandin inflamasi dan tidak “house keeping”
prostaglandin COX-1. Celecoxib berefek hanya pada COX-2.8
Gambar 2.5 Struktur COX-1 dan COX-2
Sumber: Kurumbail RG, et al. 1996.
Studi-studi dari struktur 3D enzim statis telah sangat membantu dalam proses
pemahaman mekanisme inhibisi enzim dan dalam mendesain komponen selektif.
Namun, mereka lalai untuk mempertimbangkan bahwa enzim tersebut tidak statis
dinamis. Oleh karena itu, faktor dinamis seperti fleksibilitas enzim dan pengaturan
ulang rangkaian ikatan hydrogen pada jalan masuk tempat aktifasi harus
dipertimbangkan juga dengan baik.
2.2.3 Metode Evaluasi Inhibitor COX
10
OAINS telah menunjukkan pengaruhnya melalui penghambatan sintesis PG oleh
interaksi dengan siklooksigenase, sebagian besar uji model secara in vitro dan in vivo
telah dikembangkan untuk mempelajari interaksi obat dengan metabolisme AA dan
skrining komponen anti-inflamasi. Dengan mendeteksi dua isoenzyme, aspek
selektivitas enzim harus dipertimbangkan juga. Inilah yang merupakan alasan adanya
perlakuan yang berbeda dari agen anti-inflamasi terhadap COX-1 dan COX-2. Hal
tersebut dinilai dengan IC50 pada COX-1 dan COX-2 manusia yang menghasilkan
rasio COX-2 : COX-1 untuk flurbiprofen, indometasin dan derivate pyrazole yang
mencerminkan perbedaan dalam potensi dan selektivitas obat terhadap COX. 7
Sementara itu, estimasi nilai-nilai IC50 dalam penghambatan COX-2:COX-1 telah
diakui dan dipergunakan secara luas sebagai parameter untuk menentukan selektivitas
enzim.
Tabel 2.3 Perbedaan Selektivias Jenis OAINS terhadap COX-1 dan COX-21
Obat
Rasio dari IC50 untuk COX-2/COX-
1
Aspirin 166
Indometasin 60
Ibuprofen 15
Diclofenac 0,7
Naproksen 0,6
Nebumetone 0,2
Etodolak 0,1
Rasio IC50 adalah konsentrasi penghambatan rata-rata dari obat yang digunakan untuk
menghambat COX-2 maupun COX-1 dengan 50% dari obat tersebut. Nilai yang lebih
besar menyatakan kemampuan obat untuk menghambat COX-2 lebih tinggi. Tempat
pengikatan yang berbeda dari dua isoenzymes, dan interaksi obat dengan struktur
protein COX-1 dan COX-2 berkontribusi dalam mengklarifikasi dan memahami
farmakologis aksi dan spesifisitas obat. Penghambatan COX dapat bervariasi tergantung
spesies dan model eksperimen, misalnya apabila model tidak mengandung protein akan
menggagalkan ikatan kuat OAINS dengan model secara in vivo. Catatan bahwa nilai
yang tertera merupakan hasil studi in vitro dan mungkin tidak dapat merefleksikan
11
situasi secara klinis. Nilai hasil bagi tersebut, bagaimanapun, adalah sangat dibatasi
karena tergantung pada sistem pengujian, jenis sel, stimulasi agen dan kondisi kultur
yang digunakan.2
Adapun jenis inhibitor COX adalah sebagai berikut:7
Inhibitor COX-1 atau COX-2 yang ireversibel.
Aspirin atau o-(acetoxyphenyl) hept-2-inyl-sulfida (APHS) acetylates yang
merupakan asam amino serin sehingga AA endogen dicegah mencapai pusat
katalitik
Kompetitif inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.
Inhibitor seperti ibuprofen, piroksikam atau asam mefenaminik bersaing untuk
berikatan dengan AA di pusat katalitik.
Slow time-dependent, inhibitor COX-1 dan COX-2 yang reversibel.
Indometasin dan flurbiprofen tampaknya berinteraksi secara ionik antara fungsi
karboksilatnya dan residu arginin dari enzim ini. Efek ini tampaknya mempengaruhi
helix D dari protein diikuti dengan hilangnya fleksibilitas protein enzim.
Slow, time-dependent, inhibitor dari COX-2 yang ireversibel.
Wakil dari kelompok ini adalah selektif COX-2 inhibitor seperti seperti celecoxib,
rofecoxib dan lain-lain. Obat ini adalah inhibitor kompetitif yang lemah untuk
COX-1, tapi menghambat COX-2 dalam proses yang slow time-dependent.
2. 2 . 4 Inhibitor Isoform S iklooksigenase Selektif dan Nonselektif
Tiga kelas inhibitor siklooksigenase yang dikenal: aspirin disintesis dari asam salisilat;
indometasin dan OAINS lain, dan modifikasi kimia yang sebagian besar didasarkan
pada temuan dari model inflamasi dan mukosa lambung, dan selektif COX-2 inhibitor
pertama, yaitu coxib (misalnya, celecoxib dan rofecoxib). Selektif siklooksigenase-2
inhibitor lain, seperti valdecoxib dan etoricoxib sedang dikembangkan.
Selektivitas untuk COX-2 dapat dinyatakan pada beberapa tingkat obat tersebut
memiliki komponen yang mungkin selektif untuk COX-2. Perusahaan obat
menggunakan selektivitas oleh tes in vitro selama skrining, karena tes ini relatif cepat
dan sederhana. Namun, mereka tidak dapat mencerminkan kompleksitas interaksi obat-
enzim in vivo. Untuk mengatasi masalah ini, tes-whole-blood assay dari aktivitas
isoform siklooksigenase telah dikembangkan. Selama pembekuan darah (indeks
12
aktivitas siklooksigenase-1 platelet) dan produksi prostaglandin E2 oleh
lipopolisakarida bakteri dalam whole blood (indeks dari aktivitas siklooksigenase-2
monosit). Selektivitasnya secara klinis didasarkan pada toksisitas klinis (misalnya,
visualisasi ulkus gastroduodenal secara endoskopik) atau akibat efek samping klinis
dosis anti-inflamasi dari suatu obat inhibitor.7
Ada dua persyaratan dasar untuk menguji hipotesis bahwa siklooksigenase-2
inhibitor yang ditoleransi lebih baik daripada OAINS nonselektif . 7
Pertama, obat itu tidak harus menghambat aktivitas siklooksigenase-1 sebagai target
klinis yang relevan (mukosa gastrointestinal dan platelet) pada konsentrasi plasma
terapeutik.
Kedua, titik akhir klinis yang dinilai harus mencerminkan toksisitas gastrointestinal
akibat penghambatan siklooksigenase-1. Ketika timbul gejala ada pada masa akhir
pengobatan, tidak pasti dipengaruhi oleh siklooksigenase-1, dan gejala mungkin
tidak berhubungan dengan lesi. Ketika diendoskopi dan lesi tervisualisasikan pada
masa akhir pengobatan, situasinya menjadi berbeda. Pembentukan lesi dipengaruhi
oleh COX-1 namun juga belum dapat dipastikan. Menemukan lesi pada endoskopi
sebenarnya prediksi dari kemungkinan komplikasi gastrointestinal yang serius,
seperti perforasi, obstruksi, dan perdarahan. Memang pada masa akhir setelah
pengobatan, perdarahan gastrointestinal merupakan yang paling serius dan
mencerminkan kemungkinan bahwa hal ini terutama disebabkan penghambatan
siklooksigenase-1 terhadap aktivitas platelet, bukan di mukosa lambung.
Gambar 2.6 Faktor yang mempengaruhi selektifitas dan keamanan dalam
penggunanan inhibitor COX-2
Sumber: Fitzgerald GA and Patrono C, 2001.
13
Seberapa baiknya hasil tes in vitro ini dalam memprediksi selektivitas saat pengukuran
adalah memang banyak faktor menentukan respons klinis terhadap inhibitor
siklooksigenase-2. Dengan demikian variabilitas genetik dalam protein target atau
metabolisme enzim, interaksi antara obat-obatan, dan karakteristik pasien, seperti
riwayat ulkus peptikum, dapat mempengaruhi baik efektivitas dan efek samping dari
inhibitor siklooksigenase-2 dalam uji klinis.2
2.3 Terapi OAINS
OAINS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899. OAINS yang pertama adalah
asam asetil salisilat yang diproduksi oleh Felix Hoffman dari Bayer Industries.
Berdasarkan saran dari Hermann Dreser, senyawa tersebut diberi nama aspirin yang
berasal dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa, acetylspirsäure (spirea =
nama genus tanaman asal obat tersebut, dan Säure = asam).9
Hingga saat ini, OAINS banyak digunakan sebagai peresepan yang utama. Di
banyak negara, OAINS terutama digunakan untuk gejala yang berhubungan dengan
osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri miofasial, gout, demam, dismenore,
migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis stroke dan infark miokard. OAINS memiliki
spektrum luas dalam klinis, sehingga banyak digunakan sebagai peresepan. OAINS
biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut dan untuk
pengobatan pada sindrom nyeri kronis.10 Aktivitas antiinflamasi OAINS mempunyai
mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan OAINS
yang lain, menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis
prostaglandin. 5
Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul,
sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler,
dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia
dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria.11
2.3.1 Terapi OAINS K lasik 7
Penggunaan OAINS memegang peranan penting dalam penanganan inflamasi. Selama
bertahun-tahun, penggunaan substansi terapi ini berkembang dengan cepat. Peranan
penting inhibitor COX adalah dalam terapi antirematik. Substansi ini dibagi menjadi
subdivisi antara lain, fenac, profen, dan derifat enol mengacu pada struktur kimianya.
14
Substansi seperti indometacin, diclofenac, ibuprofen atau piroksikam hingga kini masih
dipilih untuk digunakan sebagai agen terapeutik.. Sejak dahulu diketahui adanya sifat
asam dibutuhkan untuk kerja OAINS klasik. Sifat keasaman suatu OAINS mutlak
menjadi pertimbangan dalam pemilihannya sebagai analgetik anti-inflamasi pada penderita
kanker. Capone dkk (2003) menyatakan bahwa sediaan OAINS yang lebih bersifat asam
akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi
dengan sendirinya akan memperbaiki manfaat klinis OAINS bersangkutan. Sekarang telah
diketahui bahwa struktur ini menggambarkan jumlah formasi salt bridge antara grup
carboxylic dari obat antiinflamasi dan ARG 120 pada dasar enzim siklooksigenasi yang
menghambat aktivitas COX-1.
2.3.2 I nhibitor COX-2 dan selektif COX-2
Sebelum identifikasi enzim COX-2, peneliti mengidentifikasi senyawa anti-inflamasi
kuat, GKG-697, yang adalah inhibitor yang relatif lemah menghambat sintesis PG dari
vesikula seminalis sapi, tetapi kuat dalam berbagai uji antiinflamasi assay. Sejumlah
besar inhibitor COX-2 yang baru dikembangkan menunjukkan bagaimana
menjanjikannya komponen ini sebagai agen antiinflamasi yang diharapkan. Lebih dari
500 inhibitor COX-2 telah diuraikan beberapa tahun terakhir
Mekanisme sentral nampaknya berperan utama pada aktivitas analgetik.12,13 COX-
2 meningkat secara signifikan mengikuti trauma dengan proses inflamasi dan ketika
input neural meningkatkan produksinya, faktor humoral juga memiliki peranan utama.
Terapi yang bertujuan untuk mengurangi input sensorik ke susunan saraf sentral seperti
blok anestesi regional atau epidural tidak dapat mencegah sensitisasi sentral COX-2
selama masih dipengaruhi aktivitas hormonal sehingga diperlukan tambahan terapi
dengan inhibitor COX-2. Pengobatan dengan inhibitor COX-2 akan bermanfaat bila
penyebab nyerinya adalah diinduksi COX-2 seperti pada sebagian besar kasus nyeri
inflamasi, sebaliknya inhibitor COX-2 kurang bermanfaat pada nyeri neuropatik yang
disebabkan oleh adanya aktivitas ektopik seperti misalnya pada : nyeri neuropati
diabetik. 14
Komponen spesifik untuk memblok COX-1 sering kali gagal untuk menurunkan
hiperalgesia, sehingga COX-2 dan campuran inhibitor COX-1/COX-2 adalah sebagai
antihiperalgesia. Sehingga inhibitor COX-2 yang selektif mengalami perkembangan
pesat sebagai goal untuk mencegah pembentukan prostaglandin yang dihubungkan
15
dengan nyeri dan hiperalgesia dimana ketika mencegah pembentukan prostaglandin
dibutuhkan kondisi normal fungsi gastrointestinal (GI), mukosa, ginjal dan pembuluh
darah.1
Inhibitor COX-2 selektif, atau coxib, dikembangkan dalam upaya menghambat
sintesis prostaglandin oleh isoenzim COX-2 diinduksi pada tempat peradangan tanpa
mempengaruhi kerja konstitutif dari isoenzim COX-1 sebagai " house keeping" yang
pada saluran pencernaan, ginjal, dan platelet. Coxib selektif mengikat dan memblokir
tempat kerja dari enzim COX 2 jauh lebih efektif daripada COX-1. Inhibitor COX-2
mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi serupa dengan OAINS
nonselektif tapi dengan perkiraan mengurangi separuh efek samping gastrointestinal.
Demikian juga, COX-2 inhibitor pada dosis biasa telah terbukti tidak memiliki
pengaruh pada agregasi platelet, yang dimediasi oleh isoenzime COX-1. Akibatnya,
COX-2 inhibitor tidak memberikan efek kardioprotektif seperti OAINS klasik yang
nonselektif, yang mengakibatkan beberapa pasien memakai dosis rendah aspirin selain
rejimen coxib untuk mempertahankan efek ini. Sayangnya, karena COX-2 adalah
konstitutif aktif dalam ginjal, dianjurkan dosis inhibitor COX-2 yang menyebabkan
toksisitas ginjal sama dengan OAINS klasik. Data klinis menyatakan tingginya kejadian
trombotik kardiovaskular terkait dengan COX-2 inhibitor seperti rofecoxib dan
valdecoxib, sehingga mereka ditarik dari pasaran. Sampai sekarang celecoxib telah
diluncurkan untuk pengobatan proses inflamasi yang merupakan inhibitor COX-2 yang
selektif.
2.3.3 Inhibitor COX-3 7
Baru-baru ini ditemukan COX-3 pada tahun 2002 dan dianalisis relasi isozim ini baru
untuk asetaminofen (Parasetamol), yang paling banyak digunakan dalam obat analgesik
dunia. Berbagai penulis menyatakan bahwa penghambatan COX-3 dapat merupakan
mekanisme primer sentral dimana obat ini dapat mengurangi rasa sakit dan mungkin
demam. Walaupun beberapa pendapat menyatakan bahwa COX-3 memiliki peran dalam
proses nyeri pada CNS, terdapat hanya sedikit bukti yang mendukung konsep tersebut.6
Konsekuensinya adalah klinis dan pengetahuan tentang isoenzim COX yang
berkembang pesat dan mungkin dapat menawarkan harapan pengobatan masa depan
untuk rasa sakit, inflamasi dan demam.
16
OAINS yang menghambat siklooksigenase, acetaminophen (parasetamol)
merupakan inhibitor COX-3 . Asetaminofen atau parasetamol adalah turunan para-
aminofenol. Saat ini yang paling sering digunakan obat analgesik dan antipiretik.
Asetaminofen tidak memiliki sifat anti-inflamasi dan tidak menyebabkan lesi lambung.
Karakteristik ini dijelaskan oleh fakta bahwa asetaminofen lebih bekerja dalam
menghambat COX-3 di sistem saraf pusat, di mana obat ini dapat berpenetrasi secara
mudah.
Pada dewasa, dosis biasa adalah 0,5 hingga 1 gram perasupan, diulang jika
diperlukan tiga kali per hari. Bioavailabilitas obat ini melalui rute oral hampir
sempurna; waktu paruh plasmanya sekitar dua jam. Biasanya konsentrasi asetaminofen
pada plasma selama pengobatan berkisar 10-20 mg/L, ketika sampel darah diambil satu
jam setelah administrasi obat. Obat ini dimetabolisme terutama menjadi glukuronat dan
konjugat sulfat. Tapi pada saat keracunan, dalam ketiadaan simpanan glutathione
endogen yang cukup untuk menetralisirnya, asetaminofen sebagian dapat berubah
menjadi metabolit yang sangat beracun, N-asetil-p-benzoquinoneimine. Banyak preparat
mengandung parasetamol sebagai bahan tunggal atau campuran kombinasi, misalnya
dengan kodein
Dampak merugikan asetaminofen jarang terjadi dan biasanya ringan, yang sangat
parah adalah keracunan, kadang-kadang fatal dalam ketiadaan pengobatan. Setelah
periode asimtomatik, nekrosis hati yang ireversibel muncul sekitar hari ketiga atau
keempat setelah awal keracunan tanpa didahului oleh tanda-tanda perubahan klinis.
Kemudian, bertambah berat dan menyebabkan kegagalan hati akut pada hari kelima
atau keenam. Nekrosis ini dapat dijelaskan melalui pembentukan metabolit beracun
oleh mikrosom hati yang pada saat tertentu dapat dilemahkan oleh glutathione endogen
dan sistein. Ketika glutathione endogen dan sistein kelelahan maka, keracunan muncul.
Obat Nacetylcysteine dan metionin dengan tingkat lebih rendah, diberikan
asalkan dalam waktu delapan jam pertama setelah menelan parasetamol, adalah antidot
yang efektif. Dalam hal dugaan keracunan asetaminofen, langkah-langkah berikut harus
diambil: terkecuali pada overdosis yang volunter atau tidak disengaja,
1. Jika penentuan acetaminophen tidak sesegera mungkin, N-asetilsistein harus
diberikan;
17
2. Jika penentuan acetaminophen adalah mungkin, perlu mengetahui jumlah
konsentrasi obat dalam plasma menurut waktu keracunan. Konsentrasi plasma
berikut ini dianggap sebagai overdosis:
- 200 mg / L, 4 jam setelah asupan asetaminofen
- 100 mg / L, 8 jam kemudian
- 50 mg / L, 12 jam kemudian.
Sebagian dari waktu keracunan umumnya tidak diketahui, adalah lebih baik untuk
memulai pengobatan bila konsentrasi asetaminofen dapat dipastikan lebih tinggi
daripada pada pengobatan biasa. N-asetilsistein dikelola sebagai antidot baik dengan
rute oral atau perfusi intravena dalam dosis besar, 150 mg/kg pada awalnya, dan
kemudian 75 mg/kg setiap empat jam selama dua sampai tiga hari. Selain N-
asetilsistein, senyawa lain dapat mengurangi toksisitas acetaminophen; metionin yang
dalam formulasi tertentu dikombinasikan sebagai pencegahan dasar keracunan
asetaminofen. Asupan acetaminophen selama kehamilan, menurut data, saat ini belum
dipastikan dapat meningkatkan risiko kelainan pada anak.
2.4 Farmakologi OAINS dalam Modulasi Nyeri
Pada umumnya, efek dari semua jenis obat yang tergolong OAINS dihubungkan dengan
aksi primernya dalam menghambat arachidonate cyclooxygenase dan nantinya
menghambat produksi prostaglandins. Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi AA menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khususnya Paracetamol,
hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti
di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya banyak mengandung peroksid yang
dihasilkan oleh leukosit. Ini dapat menjelaskan mengapa efek inflamasi dari
paracetamol praktis tidak ada.
Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim
ini, trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena mengakibatkan sel ini
tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg
sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa
hidup trombosit. Indometacin dan piroksikam memiliki efek antiinflamasi yang kuat
daripada yang lain namun berbeda dalam toksisitas dan tingkat toleransi pasien terhadap
masing-masing obat tersebut.
18
Efek antiinflamasi dari OAINS terutama dihubungkan dengan penghambatan
COX-2, apabila obat ini digunakan sebagai agen anti inflamasi akan terjadi efek yang
tidak diinginkan khususnya mempengaruhi traktus gastrointestinal yang sebagian besar
diakibatkan dari penghambatan COX-1. Apabila diberikan penghambat selective COX-
2 inhibitor maka tidak akan menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak
mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi
efek samping pada saluran makan maupun perdarahan.15
2.4.1 Farmakodinamik 1,5
Aktifitas antiinflamasi dari OAINS dimediasi melalui penghambatan biosintesis dari
prostaglandin. Beberapa OAINS memiliki mekanisme tambahan meliputi
penghambatan kemotaksis, penurunkan regulasi dan produksi interleukin 1,
menurunkan produksi radikal bebas dan superoksida serta ikut serta dalam mekanisme
intraseluler yang dimediasi kalsium.
Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak komplit untuk
semua jenis obat tapi yang memiliki selektivitas kuat dalam menghambat COX-2,
celecoxib, sudah tersedia dan merupakan penghambat COX-2 yang sangat selektif yang
pernah ada. Inhibitor COX-2 yang sangat selektif tidak mempengaruhi fungsi platelet
pada dosis biasa. Suatu anggapan yang tak benar adalah bahwa semua OAINS memiliki
efek terapi yang sama, sehingga suatu OAINS tertentu dapat digunakan sebagai pengganti
OAINS lain terhadap indikasi tertentu. Pada tes yang menggunakan whole blood, aspirin,
indometasin, piroksikam dan sundilak lebih efektif dalam menghambat COX-1;
ibuprofen dan meklofenamat sama-sama menghambat kedua isoenzim tersebut, dan
metabolit aktif nabumeton sedikit selektif terhadap COX-2. Dari semua obat OAINS yang
tersedia, indometasin dan diklofenak telah dilaporkan mengurangi sintesis baik
prostaglandin maupun leukotrin. Disisi lain, inhibitor yang sangat selektif COX-2 dapat
meningkatkan insiden edema dan hipertensi.
Aktivitas antiinflamasi OAINS dicapai terutama melalui inhibisi sintesis
prostaglandin. Berbagai OAINS memiliki beberapa kemungkinan mekanisme aksi
tambahan meliputi: inhibisi kemotaksis, penurunan produksi interleukin-1, penurunan
produksi radikal bebas dan superoksida serta mengganggu proses-proses intrasel yang
dimediasi oleh kalsium. Aspirin menimbulkan asetilasi dan inhbisi siklooksigenase dari
platelet secara ireversibel sedangkan sebagian besar nonselektif COX inhibitor
19
merupakan inhibitor reversibel. Selektivitas untuk COX-1 versus COX-2 bervariasi dan
inkomplit bagi beberapa jenis OAINS lama, namun saat ini telah tersedia inhibitor
COX-2 yang sangat selektif (celecoxib, rofecoxib, dan valecoxib). Obat-obatan tersebut
tidak mempengaruhi fungsi platelet bila diberikan sesuai dosis.
Saat ini diketahui bahwa hambatan isoform COX-1 berakibat timbulnya efek samping
OAINS dan hambatan isoform COX-2 berkaitan dengan efek terapi yang diinginkan (yaitu
analgetik dan antiinflamasi). Meskipun OAINS klasik dan OAINS dengan inhibitor COX-2
spesifik (COX-2 inhibitor; coxib) memberikan khasiat yang hampir sama, inhibitor COX-2
memiliki tampilan keamanan yang lebih baik.
Semua OAINS mampu mengiritasi gaster walaupun kelompok obat terbaru dapat
menurunkan iritasi gaster dibandingkan dengan aspirin. Nefrotoksik juga dilaporkan
sebagai efek samping OAINS, hepatotoksik juga dapat diakibatkan oleh beberapa
OAINS. Nefrotoksik sebagian terjadi akibat pengaruh obat terhadap autiregulasi aliran
darah ginjal yang dimodulasi prostaglandin.
Beberapa OAINS (aspirin) dapat menurunkan insiden kanker kolon jika
dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan
bahwa terdapat penurunan 50% resiko relatif ketika obat ini dikonsumsi selama 5 tahun
atau lebih. Mekanisme ini belum jelas.
OAINS menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap histamin dan
bradikinin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan membalikkan
vasodilatasi. OAINS terbaru memiliki efek analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik
dalam tingkat yang bervariasi. Selain agen COX-2 selektif dan nonacetylated
salicylates, semua OAINS terbaru juga memiliki efek inhibisi agregasi platelet. Semua.
2.4.2 Farmakokineti k 1,5
OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda.
Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat yang
berbeda pula. Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam kinetik OAINS, namun
secara umum memiliki komponen utama yang sama (lampiran 3).
Sebagian besar obat diabsobsi baik dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat-
obat OAINS diabsorpsi secara cepat jika diberikan peroral, distribusi ke jaringan sangat
terbatas (oleh karena berikatan kuat dengan protein), Sebagian besar obat OAINS juga
dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase I diikuti fase II dan yang lainnya melalui
20
glukoronidase direk (fase II) saja. Proses metabolisme OAINS, pada sebagian besar
obat, melalui jalur CYP3A atau CYP2C dari enzim P450 di hati. Ekskresi melalui ginjal
merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat (sirkulasi enterohepatik) dan
memiliki kliren yang lambat. Pada kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal
berhubungan dengan kuantitas sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS
berikatan kuat dengan protein (~ 98%), khususnya albumin.
Walaupun diantara sebagian besar obat OAINS memiliki farmakokinetik yang
sama, terdapat satu subklas obat yang unik yaitu salisilat yang lebih dikenal sebagai
asetosal atau aspirin yang memiliki waktu paruh lama dengan meningkatkan dosis obat.
Salisilat membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai steady state konsentrasinya dalam
darah ketika 1,5 g/hari aspirin diberikan pada orang dewasa. Apabila menginginkan
konsentrasi steady state dalam darah lebih dari 1 minggu maka dosis yang diperlukan
adalah 3 g/hari. Salisilat juga dapat digeser oleh OAINS lain seperti naproksen dan
phenylbutazone dari tempat ikatannya dengan plasma, meningkatkan konsentrasi
bebasnya sehingga meningkatkan toksisitas obat ini.
Observasi terhadap efek toksik dari OAINS dihubungkan dengan waktu paruh
obat pada plasma-semakin panjang waktu paruh yang digunakan dalam eliminasi obat
maka resiko toksisitas terhadap obat ini juga semakin besar. Informasi tentang
hubungan antara waktu paruh obat dan toksisitas OAINS didasari atas data
epidemiologi retrospektif sehingga meningkatkan pemakaian OAINS sebagai obat
dengan dosis satu kali sehari daripada penggunaan secara kontinyu yang dapat
meningkatkan efek toksik terhadap tubuh.
Ikatan kuat OAINS dengan protein relevan khususnya jika dihubungkan dengan
populasi lansia dimana pada lansia konsentrasi albumin serumnya sudah menurun
sehingga mengakibatkan tingginya fraksi bebas OAINS dalam darah. Ketika fraksi
bebas OAINS meningkat dalam darah maka efikasi obat tersebut akan meningkat yang
juga meningkatkan toksisitas. Perlu diperhatikan pula dalam pemberian OAINS adalah
interaksi obat tersebut dengan warfarin dimana ketika dikombinasi dengan nonselektif
OAINS yang menghambat platelet, mengakibatkan peningkatan terhadap resiko
perdarahan.
Farmakokinetik OAINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri
dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk OAINS yang larut dalam lemak
21
(oxyphenbutazone, indometasin, ketoprofen), pada kadar bentuk bebas OAINS
berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak demikian halnya dengan yang
larut dalam air (acetosal) (Bannwarth dkk, 1989). Selain itu OAINS yang telah terbukti
mampu melewati sawar darah otak adalah diklofenak (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide
(Ferrario & Bianchi, 2003) Dari hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa
kebanyakan OAINS bekerja multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas
siklooksigenase. Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai
mediator (multifaktor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya
diakibatkan oleh produk siklooksigenase prostaglandin. Oleh karena itu OAINS yang ideal
hendaklah mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dalam pembentukan
prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi lainnya.
Perbedaan efikasi obat antara OAINS dihubungkan dengan dosis relatif yang
diberikan sebagai contohnya, diklofenak, indometasin, dan piroksikam memiliki
perbedaan dalam bioavailability dan eliminasi antara satu pasien dengan pasien lain
sehingga dipercayai bahwa perbedaan respon pasien terhadap obat mempengaruhi
perbedaan farmakokinetik obat. Dengan demikian, perbedaan individu memberikan efek
farmakodinamik obat yang berbeda pula terhadap OAINS.
2. 5 Klasifikasi OAINS
Proses sintesis COX sangat penting karena pada tahap ini obat-obatan OAINS
menunjukkan efek terapeutiknya. Adapun jenis OAINS adalah sebagai berikut :
1) Aspirin5
Farmakokinetik
Sodium salicylate dan aspirin (acetylated salicylate) merupakan anti inflamatorik
dengan efektifitas yang sama, meskipun aspirin memiliki afek analgetik yang lebih kuat.
Salicylates diabsorpsi dengan cepat di lambung dan bagian proksimal usus halus dan
mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam. Aspirin pun demikian, dan dapat
dihidrolisa dengan cepat (waktu paruh serum 15 menit) menjadi acetic acid dan
salicylate oleh esterase di jaringan dan darah.
Salicylate berikatan dengan albumin, namun ikatan tersebut tersaturasi sehingga
konsentrasi fraksi bebasnya meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi totalnya.
Salicylate di dalam tubuh akan diekskresi tanpa melalui proses metabolism, namun jalur
disposisi salicylate akan tersaturasi bila konsentrasinya dalam tubuh melampaui 600
mg. Selanjutnya, peningkatan dosis salicylate (aspirin) akan meningkatkan waktu paruh
22
eliminasi salicylate menjadi 3-5 jam (untuk dosis 600 mg/hari), hingga 12-16 jam
(untuk dosis > 3,6 gram/ hari). Alkalinisasi urine meningkatkan kecepatan ekskresi
salicylate bebas dan konjugatnya yang larut dalam air (water soluble conjugate).
Mekanisme Aksi
Aksi analgetik, antipiretik dan antiinflamatorik barangkali disebabkan oleh inhibisi
prostaglandin. Efek analgesik mungkin pula disebabkan oelh efek inhibitorik pada aksi
produksi nyeri oleh bradikinin dan efek antipiretik kemungkinan disebabkan oleh
vasodilatasi perifer. Salicylate adalah iritan gaster dan mempunyai implikasi dalam
ulserasi lambung. Sebagai tambahan, aspirin menghambat aksi dari siklus
endoperoksidase yang penting dalam sintesis tromboksan. Efek minor dalam respirasi
dan metabolism intermedier muncul pada dosis tinggi.
Sodium salicylate dan aspirin diabsorpsi cepat di lambung dan usus dengan
konsentrasi puncak dalam 1 jam setelah administrasi oral. Perubahan aspirin menjadi
salicylate secara cepat terjadi setelah absopsi karena first pass effect yang muncul pada
dinding usus kecil dan liver. Asam salicylate banyak diekskresikan tampa perubahan
atau sebagai glysin conjugate.
Efek Anti Inflamasi
Aspirin adalah inhibitor non selektif bagi COX-1 dan COX-2, namun salicylate kurang
efektif sebagai inhibitor kedua isoenzim tersebut. Aspirin dosis rendah (<100 mg/hari)
lebih cenderung menghambat COX-1 sedangkan dosis yang lebih tinggi menghambat
COX-1 dan COX-2. Aspirin menimbulkan inhibisi ireversibel terhadap COX dan
agregasi platelet yang tidak dapat dilakukan oleh nonacetylated salicylates. Aspirin juga
mengganggu mediator kimiawi dari sistem kallikrein, sehingga terjadi inhibisi
adherence granulosit pada vasklatur yang cedera, stabilisasi lisosom, dan inhibisi
kemotaksis leukosit polimorfonuklear dan makrofag.
Efek Analgetik
Aspirin sangat efektif dalam meringankan nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang
melalui efeknya terhadap inflamasi dan kemungkinan pula melalui inhibisi terhadap
stimuli nyeri pada tingkat subkortikal.
Efek Antipiretik
23
Aspirin menurunkan temperature yang meninggi dan tidak terlalu berpengaruh terhadap
temperature tubuh normal. Efek antipiretik tersebut kemungkinan dimediasi oleh
inhibisi COX di sistem saraf pusat dan inhibisi IL-1 (dilepaskan makrofag selama
inflamasi).
Efek Antiplatelet
Aspirin tunggal dalam dosis rendah (81mg/hari) menimbulkan sedikit pemanjangan
bleeding time, yang akan berlipat ganda bila diberikan terus-menerus selama 1 minggu.
Perubahan tersebut dikarenakan efek inhibisi COX yang ireversibel sehingga efek
antiplatelat aspirin bertahan hingga 8-10 hari (usia hidup platelet).
Dosis optimal untuk mendapatkan efek analgetik dan antipiretik dengan aspirin
adalah kurang dari 0,6-0,65 gram dosis oral yang umum digunakan. Dosis lebih besar
dapat memperpanjang durasi efek tersebut. Dosis biasa dapat diulang tiap 4 jam. Dosis
inflamasi untuk anak-anak adalah 50-70 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi dan dosis
rata-rata awal untuk dewasa adalah 45 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. Aspirin
memiliki efek samping intoleransi lambung dan ulkus lambung serta duodenal dalam
dosis biasa. Makin tinggi dosisnya, maka makin tinggi pula fecal blood loss. Pada dosis
tinggi dapat terjadi “salicylism” (muntah, tinnitus, penurunan kemampuan mendengan
dan vertigo) yang dapat reversible bila dosis tidak diturunkan. Dosis yang lebih besar
lagi dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung pada medulla spinalis.
Sebagaimana OAINS lainnya, aspirin dapat menyebabkan peningkatan ringan level
enzim liver, hepatitis (sangat jarang), penurunan fungsi renal, perdarahan, rash dan
asma.
Aspirin dikontraindikasikan bagi pasien dengan hemophilia. Meski sebelumnya
aspirin tidak dianjurkan bagi wanita hamil, aspirin dapat digunakan dalam penanganan
pre-eklamsia dan eklamsia. Bila terjadi overdosis, disarankan untuk kumbah lambung
dan alkalinisasi serta peningkatan produksi urin harus dipertahankan. Hipertermia dan
kelainan elektrolit harus segera dibenahi. Infus sodium bikarbonat dapat diberikan untuk
alkalinisasi urin sehingga terjadi penimgkatan ekskresi salicylate.
2) Obat OAINS nonacetylated salicylates
Obat ini meliputi magnesium choline salicylate, sodium salicylate, dan salicylsalicylate.
Semua nonacetylated salicylates adalah obat anti inflamasi yang efektif, walaupun
mungkin kurang sebagai analgesik efektif dibandingkan aspirin. Karena obat jenis ini
24
jauh kurang efektif daripada aspirin sebagai inhibitor COX, mungkin lebih baik
digunakan saat inhibisi COX tidak diinginkan, seperti pada pasien dengan asma, orang-
orang dengan kecenderungan perdarahan, dan bahkan (di bawah pengawasan yang
ketat) orang-orang dengan disfungsi ginjal. Obat nonacetylated salicylates diberikan
dalam dosis yang sama seperti aspirin dan bisa dimonitor menggunakan pengukuran
serum salisilat.3
Inhibitor COX-2 Selektif 5
Celecoxib
Celecoxib adalah selektif COX-2 inhibitor – kira-kira 10-20 kali lebih efektif untuk
COX-2 daripada COX-1. Celecoxib sama efektifnya dengan OAINS lainnya dalam
pengobatan rheumatoid artritis dan osteoartritis, dan dalam beberapa uji coba, telah
menyebabkan ulkus endoskopik yang lebih sedikit dari OAINS lainnya. Mungkin
karena merupakan sulfinamide, celecoxib dapat menyebabkan ruam. Obat ini tidak
mempengaruhi agregasi platelet pada dosis biasa. Celecoxib kadang-kadang berinteraksi
dengan warfarin-seperti yang diharapkan dari obat yang dimetabolisme melalui
CYP2C9. Meskipun efek samping celecoxib diperkirakan hanya setengah kasus
gastrointestinal dari nonselektif OAINS, frekuensi efek samping yang lain mendekati
OAINS lainnya. Celecoxib tidak lagi menyebabkan edema atau efek ginjal daripada
anggota lainnya dari kelompok OAINS, tetapi edema dan hipertensi pernah dinyatakan
sebelumnya.
Etoricoxib
Etoricoxib, adalah derivat bipiridin, yaitu selektif COX-2 inhibitor generasi kedua
dengan rasio selektivitas tertinggi dari semua coxib untuk penghambatan COX-2
dibandingkan dengan COX-1. Obat ini secara ekstensif dimetabolisme oleh enzim P450
diikuti dengan ekskresi oleh ginjal dan memiliki waktu paruh eliminasi 22 jam.
Etoricoxib disetujui di Inggris untuk pengobatan tanda-tanda gejala osteoartritis (60
mg/hari) dan reumatoid artritis (90 mg/hari), untuk pengobatan yang menderita gout
artritis akut (120 mg/hari), dan untuk menghilangkan nyeri akut muskuloskeletal (60
mg/hari). Persetujuan penggunaannya di Amerika Serikat masih tertunda. Sembilan
puluh mg sehari etoricoxib memiliki efikasi tinggi dibandingkan dengan naproksen 500
mg dua kali sehari dalam pengobatan reumatoid artritis selama 12 minggu. Etoricoxib
25
memiliki efikasi yang mirip dengan tradisional OAINS untuk osteoartritis, gout artritis
akut, dan dismenore primer serta memiliki profil keamanan pencernaan mirip dengan
coxib lainnya. Etoricoxib memiliki kesamaan struktural dengan diklofenak, adalah tepat
untuk memantau fungsi hati dengan hati-hati penggunaannya pada pasien.
Meloksikam
Meloksikam adalah enolcarboxamide terkait dengan piroksikam yang telah digunakan
untuk menghambat preferentially isoenzim COX-2 daripada COX-1, terutama pada
dosis terapi yang terendah sebesar 7,5 mg/hari. Obat ini tidak selektif seperti coxib
lainnya dan dapat dianggap "preferentially" selektif dan bukan “highly” selektif. Obat
ini populer di Eropa dan banyak negara lainnya untuk penanganan penyakit rematik dan
baru-baru ini telah disetujui untuk pengobatan osteoartritis di Amerika Serikat.
Keberhasilan meloksikam dalam kondisi ini dan penanganan reumatoid artritis adalah
sebanding dengan OAINS lainnya. Obat ini dikaitkan dengan lebih sedikitnya gejala
klinis dan komplikasi gastrointestinal daripada piroksikam, diklofenac, dan naproksen.
Demikian pula, ketika meloksikam diketahui menghambat sintesis tromboksan A2,
tampak bahwa bahkan pada dosis tinggi, blokade tromboksan A2 tidak mencapai
tingkat yang menghasilkan penurunan dalam fungsi platelet secara in vivo. toksisitas
lain yang mirip dengan OAINS lainnya.
Valdecoxib
Valdecoxib, sebuah diaryl-substituted isoxazole, adalah inhibitor COX-2 baru yang
sangat selektif. Dosis analgesik untuk valdecoxib adalah 20 mg dua kali sehari.
Gastrointestinal dan toksisitas yang lain mirip dengan yang coxib lainnya. Valdecoxib
tidak mempengaruhi agregasi platelet atau bleeding time. Reaksi yang serius telah
dilaporkan pada orang sensitive terhadap sulfinamide. Valdecoxib ditarik dari pasaran
di Amerika Serikat pada awal tahun 2005 sebagai tanggapan terhadap keprihatinan
FDA tentang risiko kardiovaskular dan sindrom Stevens-Johnson, tapi obat ini masih
tersedia di negara-negara lain.
Inhibitor COX Nonselektif 5
26
Diklofenak
Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat yang relatif nonselektif sebagai inhibitor
COX. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan sempurna. Akibat
yang merugikan terjadi pada sekitar 20% dari pasien dan meliputi distres
gastrointestinal, occult bleeding pada gastrointestinal, dan ulkus lambung, ulkus dapat
terjadi meskipun kejadiannya lebih jarang dibandingkan dengan efek OAINS lainnya.
Menggabungkan diklofenak dan misoprostol akan menurunkan ulserasi gastrointestinal
akan tetapi dapat menyebabkan diare. Kombinasi lain diklofenak dan omeprazol juga
efektif sehubungan dengan pencegahan perdarahan berulang, tetapi efek samping ginjal
biasa terjadi pada pasien berisiko tinggi. Dosis orang dewasan100-150 mg sehari
dengan dosis terbagi dua atau 3 dosis. Diklofenak dengan dosis lebih dari 150 mg/hari
tampaknya dapat mengganggu aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
terikat 99% dengan protein plasma dan mengalami efek lintas wal (first-pass) sebesar
40-50%. Waktu paruh obat 1-3 jam. Diklofenak dalam bentuk supositoria dapat
dianggap sebagai obat pilihan untuk analgesia preemptive dan mual pasca operasi. Di
Eropa, diklofenak juga tersedia sebagai obat kumur dan untuk penggunaan
intramuskular.
Diflunisal
Meskipun diflunisal berasal dari turunan asam salisilat, namun obat ini tidak
dimetabolisme menjadi asam salisilat atau salisilat. Bersifat analgesik dan antiinflamasi
tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Sertelah pemberian oral akan mencapai kadar
puncak dalam 2-3 jam. Obat ini 99% terikat albumin plasma dan dimetabolisme dengan
kapasitas terbatas dengan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Obat ini mengalami siklus
enterohepatik dengan direabsorpsinya metabolit glukuronat diikuti dengan pembelahan
glukuronat untuk kembali melepaskannya dalam bentuk aktif. Dalam reumatoid
arthritis, dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg sehari dalam dua dosis terbagi.
Indikasi obat ini hanya sebagai analgetik ringan samapai sedang dengan dosis awal 500
mg disususl 250-500 mg tiap 8-12 jam. Salep oral diflunisal 2% adalah analgesik klinis
yang berguna untuk lesi oral yang menyakitkan. Karena kliren tergantung pada fungsi
ginjal serta metabolisme hati, dosis diflunisal haruslah terbatas pada pasien dengan
kerusakan ginjal yang signifikan. Profil efek samping adalah serupa dengan OAINS
lainnya; pseudoporphyria juga telah dilaporkan.
27
Etodolak
Etodolak adalah derivate asam asetat racemic dengan waktu paruh menengah. Hal ini
sedikit lebih selektif COX-2 daripada sebagian besar OAINS lainnya, dengan aktivitas
rasio pada COX-2: COX-1 sekitar 10. Tidak seperti OAINS racemic lain, etodolak
tidak mengalami inversi chiral dalam tubuh. Dosis etodolak adalah 200-400 mg 3-4 kali
sehari. Etodolak baik digunakan sebagai penghilang nyeri pasca operasi setelah operasi
bypass arteri koroner, walaupun sementara ini efeknya terhadap penurunan fungsi ginjal
telah dilaporkan. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa etodolak berbeda secara
signifikan dari OAINS lain kecuali dalam parameter farmakokinetik tersebut, meskipun
demikian, obat ini diklaim jarang menyebabkan toksisitas lambung dalam hal penyakit
ulkus jika dibandingkan dengan OAINSs nonselektif lainnya.
Fenoprofen
Fenoprofen, turunan asam propionat, adalah OAINS yang paling dihubungkan dengan
kejadian nefritis interstisial dan jarang digunakan.
Flurbiprofen
Flurbiprofen adalah derivat asam propionat dengan mekanisme yang mungkin lebih
kompleks dari OAINS lainnya. Obat ini (S)(-) enantiomer yang menghambat COX
secara nonselektif, tetapi telah ditunjukkan dalam jaringan tikus bahwa obat ini juga
dapat mempengaruhi sintesis TNF- α dan sintesis nitric oxide. Metabolisme hepatiknya
sangat luas, (R) (+) dan (S) (-) enantiomer dimetabolisme berbeda, dan tidak mengalami
konversi chiral. Itu menunjukkan sirkulasi enterohepatik. Efikasi flurbiprofen pada
dosis 200-400 mg /hari sebanding dengan aspirin dan OAINS lainnya dalam uji klinis
untuk pasien dengan reumatoid artritis, ankylosing spondilitis, gout, dan osteoartritis.
Hal ini juga tersedia dalam formulasi tetes mata topikal untuk penghambatan miosis
intraoperative. Flurbiprofen intravena telah ditemukan efektif untuk analgesia
perioperatif di telinga, leher, dan operasi hidung dan dalam bentuk permen untuk sakit
tenggorokan.Meskipun profil efek sampingnya sama dengan OAINS lain dalam
sebagian besar kasus, flurbiprofen juga terkait dengan ataksia, tremor, dan myoklonus
(jarang).
Ibuprofen
Ibuprofen adalah derivat sederhana dari phenylpropionic acid. Dalam dosis sekitar
2400 mg per hari, ibuprofen adalah setara dengan 4 g aspirin dalam efeknya sebagai
28
anti inflamasi. Ibuprofen oral sering diresepkan dalam dosis rendah (<2400 mg/hari),
dimana obat ini memiliki efek analgesik tetapi tidak efek anti inflamasi. Ibuprofen krim
lebih efektif dibandingkan krim plasebo untuk pengobatan osteoartritis lutut primer.
Sediaan ibuprofen dalam bentuk liquid gel 400 mg mempercepat keberhasilan dalam
menurunkan secara keseluruhan sakit gigi pascaoperasi. Dibandingkan dengan
indometasin, ibuprofen jarang menurunkan pengeluaran urin dan juga dapat
menyebabkan retensi cairan lebih sedikit dari indometasin. Ibuprofen efektif dalam
penutupan paten duktus arteriosus pada bayi prematur, dengan efekasi dan keamanan
yang sebagian besar sama seperti indometasin. Jalur oral dan intravena sama-sama
efektif untuk indikasi ini. Iritasi gastrointestinal dan perdarahan dapat terjadi, meskipun
lebih jarang dibandingkan dengan aspirin. Penggunaan ibuprofen secara bersamaan
dengan aspirin dapat mengurangi efek anti-inflamasi secara total. Obat ini relatif
kontraindikasi pada individu dengan polip hidung, angioedema, dan reaktivitas
bronkospastik dengan aspirin. Selain gejala-gejala gastrointestinal (yang dapat
dimodifikasi dengan mengkonsumsi makanan), pruritus ruam, tinnitus, pusing, sakit
kepala, meningitis aseptik (terutama pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik),
dan retensi cairan telah dilaporkan. Interaksi dengan antikoagulan jarang terjadi.
Pemberian bersamaan dengan antagonis ibuprofen mengakibatkan penghambatan
platelet ireversibel yang diinduksi aspirin. Dengan demikian, pengobatan dengan
ibuprofen pada pasien dengan peningkatan risiko kardiovaskular dapat membatasi efek
kardioprotektif aspirin. Efek hematologi yang jarang termasuk agranulositosis dan
anemia aplastik. Efek pada ginjal (seperti halnya semua OAINS) termasuk gagal ginjal
akut, nefritis interstisial, dan sindrom nefrotik, tapi ini sangat jarang terjadi. Saat ini
telah dilaporkan adanya kasus hepatitis akibat penggunaan obat ini.
Indometasin
Indometasin, diperkenalkan pada tahun 1963, sebagai derivat indole-asam asetat. Obat
ini adalah inhibitor COX nonselektif yang poten dan mungkin juga menghambat
fosfolipase A dan C, mengurangi migrasi neutrofil, dan menurunkan proliferasi sel T
dan sel B. Probenesid memperpanjang waktu paruh indometasin dengan menghambat
klirennya pada ginjal dan empedu. Obat ini agak berbeda dengan OAINS lainnya dalam
hal indikasi dan toksisitas.
29
Indometasin diindikasikan untuk digunakan dalam kondisi rematik dan sangat
populer untuk gout dan ankilosing spondilitis. Selain itu, telah digunakan untuk
mengobati paten duktus arteriosus. Walaupun obat ini efektif namun karena
toksisitasnya maka penggunaannya dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi
dan analgesik-antipiretik sebanding dengan aspirin. Telah terbukti obat ini memiliki
efek analgesik perifer maupun sentral. Absorpsi setelah pemberian oral cukup baik; 92-
99% terikat protein plasma. Metabolismenya di hati dengan waktu paruh kira-kira 2-4
jam. Karena toksisitasnya, obat ini tidak dianjurkan diberikan pada anak, wanita hamil,
penderita gangguan psikiatri, dan penderita penyakit lambung. Dosis yang lazim adalah
2-4 kali 25 mg sehari.
Efek gastrointestinal meliputi nyeri perut, diare, perdarahan gastrointestinal, dan
pankreatitis. Sakit kepala yang dialami oleh 15-25% pasien dan dapat dihubungkan
dengan pusing, kebingungan, dan depresi. Psikosis dengan halusinasi serta kelainan
hepatika jarang dilaporkan. Reaksi hematologi serius telah dicatat, termasuk
trombositopenia dan anemia aplastik. Hiperkalemia telah dilaporkan dan berhubungan
dengan penghambatan sintesis prostaglandin di ginjal. Nekrosis papiler ginjal juga telah
diamati. Tidak efektif untuk gout karena tidak memiliki efek urikosurik. Sejumlah
interaksi dengan obat lain telah dilaporkan.
Ketoprofen
Ketoprofen adalah turunan asam propionat yang menghambat baik COX (nonselektif)
dan lipoksigenase dengan sifat anti-inflamasi sedang. Penambahan probenesid
meningkatkan level ketoprofen dan memperpanjang waktu paruh plasmanya.
Absorpsinya berlangsung baik dari lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam.
Dosisnya 2 kali 100 mg sehari namun sebaiknya disesuaikan perindividu. Efektivitas
ketoprofen pada dosis 100-300 mg/hari setara dengan OAINS lainnya dalam
pengobatan reumatoid artritis, osteoartritis, gout, dismenore, dan kondisi serupa
lainnya. Meskipun efek ganda pada prostaglandin dan leukotrien, ketoprofen tidak lebih
unggul dari OAINS lainnya. efek yang merugikan utamanya adalah pada saluran
pencernaan dan sistem saraf pusat.
Ketorolak
30
Ketorolak adalah OAINS dianjurkan untuk penggunaan sistemik terutama sebagai
analgesik, bukan sebagai obat anti-inflamasi (meskipun memiliki sifat-sifat khas
OAINS). Obat ini merupakan analgesik efektif dan telah berhasil digunakan untuk
menggantikan morfin dalam beberapa situasi yang melibatkan rasa sakit pascaoperasi
ringan sampai sedang. Obat ini paling sering diberikan intramuskular atau intravena,
tetapi formulasi dengan dosis oral telah tersedia. Ketika digunakan dengan opioid, dapat
menurunkan kebutuhan opioid 25-50% dalam induksi preoperasi. Sediaan oftalmik
tersedia untuk kondisi inflamasi okular. Toksisitasnya mirip dengan OAINS lain,
meskipun toksisitas ginjal mungkin lebih umum dalam penggunaan jangka panjang.
Meklofenamate dan Asam Mefenamat
Meklofenamate dan asam mefenamat menghambat baik COX dan fosfolipase A2. Obat
ini jarang digunakan sekarang. Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik,
antiinflamasi, namun kurang efektif jika dinadingkan dengan aspirin. Obat ini terikat
kuat dengan protein plasma, dengan demikian interaksinya terhadap obat antikoagulan
harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering muncul misalnya dispepsia
dan gejala iritasi rehadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-
400 mg sehari sedangkan untuk penyakit sendi adalah 200-400 mg sehari. Obat ini tidak
dianjurkan diberikan pada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan pemberian
tidak boleh melebihi 7 hari.
Nabumetone
Nabumetone adalah satu-satunya OAINS nonacid digunakan saat ini, obat ini akan
diubah menjadi derivat asam asetat aktif dalam tubuh. Obat ini dinyatakan sebagai
prodrug keton yang menyerupai naproksen dalam strukturnya. Waktu paruh obat ini
lebih dari 24 jam dengan dosis yang diizinkan adalah sekali sehari, dan obat ini tidak
mengalami sirkulasi enterohepatik. Metabolit ini merupakan penghambat kuat dari
enzim COX. Data dari hewan percobaan juga menunjukkan bahwa nebometon selekti
menghambat iso-enzim prostaglandin untuk peradangan namun kurang manghambat
prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Kerusakan ginjal mengakibatkan penggandaan
waktu paruh. Sifatnya sangat mirip dengan OAINS lain, meskipun mungkin kurang
merusak lambung dibandingkan OAINS lain ketika diberikan pada dosis 1000 mg/hari.
Sayangnya, dosis yang lebih tinggi (1500-2000 mg/hari) sering dibutuhkan, dan obat ini
termasuk OAINS yang sangat mahal. Seperti naproksen, nabumetone telah dilaporkan
31
menyebabkan pseudoporphyria dan fotosensitif pada beberapa pasien. Efek samping
lainnya sama dengan OAINS lainnya.
Naproksen
Naproksen adalah derivat naphthylpropionic acid, satu-satunya OAINS yang saat ini
dipasarkan sebagai enantiomer tunggal, dan merupakan inhibitor COX yang
nonselektif. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dengan kadar puncak
dicapai dalam 2-4 jam. Waktu paruh obat ini 14 jam sehingga cukup diberikan 2 kali
sehari. Ekskresinya terutama dalam urin. Fraksi bebas naproksen itu secara signifikan
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria, meskipun mengikat albumin sangat
tinggi pada kedua jenis kelamin. Ikatan obat ini dengan protein plasma mencapai 98-
99%. Naproksen efektif untuk indikasi reumatologi biasa dan tersedia baik dalam
formulasi rilis lambat dan sebagai suspensi oral. Dosis untuk terapi penyakit rematik
sendi asalah 2 kali 250-375 mg sehari. Bila perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg sehari.
Sediaan topikal dan larutan tetes mata juga tersedia. Kejadian perdarahan saluran cerna
akibat penggunakan over-the-counter rendah tetapi masih dua kali lipat dari over-the-
counter ibuprofen (mungkin karena efek dosis).
Oxaprozin
Oxaprozin adalah turunan asam propionat OAINS lainnya. Perbedaan utama dari
anggota lain pada subkelompok ini adalah sangat panjangnya waktu paruh (50-60 jam),
meskipun oxaprozin tidak mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini memiliki
manfaat dan risiko yang sama berkaitan dengan OAINS lainnya. Obat ini sedikit
urikosurik, sehingga tidak lebih berguna dalam gout dibandingkan OAINS lain.
Fenilbutazon
Fenilbutazon, derivat pyrazolone, diperkenalkan pada tahun 1949, tetapi karena
toksisitasnya, jarang digunakan saat ini.
Piroksikam
Piroksikam, sebuah oksikam, adalah inhibitor COX yang nonselektif yang pada
konsentrasi tinggi juga dapat menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear,
menurunkan produksi oksigen radikal, dan menghambat fungsi limfosit. Obat ini
memiliki waktu paruh yang panjang (lebih dari 45 jam) dengan dosis yang dianjurkan
sekali sehari. Absorpsinya berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein
32
plasma, obat ini menjalani siklus enterohepatik. Piroksikam dapat digunakan untuk
indikasi penyakit rematik biasa. Toksisitas termasuk gejala gastrointestinal (20% dari
pasien), pusing, tinitus, sakit kepala, dan ruam. Indikasi piroksikam hanya untuk
penyakit inflamasi sendi dengan dosis 10-20 mg sehari. Ketika piroksikam digunakan
dalam dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari, dinyatakan terdapat peningkatan kejadian
ulkus peptikum dan pendarahan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa risiko ini
adalah sebanyak 9,5 kali lebih tinggi dengan piroksikam dibandingkan dengan OAINS
lainnya.
Sulindak
Sulindak adalah prodrug sulfoxide. Obat ini dimetabolisme reversibel menjadi
metabolit sulfida aktif, yang diekskresikan dalam empedu dan kemudian diserap dari
usus. Siklus enterohepatik memperpanjang durasi kerja untuk (12-16 jam).
Indikasi dan efek samping dari sulindak mirip dengan OAINS lainnya. Selain indikasi
digunakan pada penyakit rematik, sulindak menekan poliposis usus; mungkin
menghambat perkembangan usus, payudara, dan kanker prostat pada manusia. Hal ini
tampaknya sebagai penghambat terjadinya kanker usus pada tikus. Efek samping berupa
sindrom Stevens-Johnson epidermis nekrolisis, trombositopenia, agranulositosis, dan
sindrom nefrotik pernah dilaporkan. Seperti diklofenac, sulindak mungkin memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan elevasi aminotransferase serum, namun juga
kadang-kadang dikaitkan dengan kerusakan hati kolestasis, yang menghilang atau
menjadi tidak aktif ketika obat dihentikan.
Tenoksikam
Tenoksikam adalah oxicam yang mirip dengan piroksikam dan memiliki kerja sebagai
nonselektif COX inhibitor, waktu paruhnya 72 jam. Ini tersedia di luar negeri tapi tidak
di Amerika Serikat.
Tiaprofen
Tiaprofen adalah derivat asam propionat racemic tetapi tidak mengalami
stereokonversi, memiliki waktu paruh pada serum yang pendek (1-2 jam) dengan
meningkat menjadi 2-4 jam pada orang tua. Obat ini menghambat reabsorpsi asam urat
pada ginjal dan dengan demikian sedikit menurunkan asam urat serum. Obat ini tersedia
33
dalam bentuk oral dan intramuskular. Efikasi dan profil efek samping sama
denganOAINS lainnya. Tiaprofen tidak tersedia di Amerika Serikat.
Tolmetin
Tolmetin adalah nonselektif COX inhibitor dengan waktu paruh pendek (1-2 jam) dan
tidak sering digunakan. Efikasi dan profil toksisitasnya mirip dengan OAINS lainnya
dengan pengecualian berikut ini: obat ini tidak efektif (untuk alasan yang tidak
diketahui) dalam pengobatan gout, dan dapat menyebabkan (jarang) purpura
trombositopenik.
Azapropazone dan Carprofen
Obat ini tersedia di banyak negara lain tetapi tidak dijual di Amerika Serikat.
Azapropazone (apazone), sebuah derivat pyrazolone, secara struktural berkaitan
dengan fenilbutazon tetapi tampaknya cenderung menyebabkan agranulositosis. Waktu
parunya 12-16 jam mungkin dua kali lipat pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Carprofen adalah derivat asam propionat dengan waktu paruh 10-16 jam. Indikasi dan
efek samping azapropazone dan carprofen yang mirip dengan OAINS lainnya.
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
OAINS biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut dan
untuk pengobatan pada sindrom nyeri kronis dengan menghambat seluruh aktivitas jalur
siklooksigenase sehingga tidak mensintesis prostaglandin yang berperan menimbulkan
nyeri melalui mekanisme baik perifer maupun sentral. Terdapat 2 jenis enzim siklo
oksigenase, yaitu siklo oksigenase-1 (COX-1) dan siklo oksigenase-2 (COX-2). COX-1
merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau homeostasis.
Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis
penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi tubular ginjal
dan platelet. Sementara COX-2 kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar
jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi.
Penghambatan kerja COX-1 dan COX-2 didasarkan pada mekanisme inflamasi yang
dicetuskan oleh enzim tersebut dimana efek antiinflamasi dari OAINS terutama
dihubungkan dengan penghambatan COX-2. OAINS tradisional akan menghambat
kerja kdua isoenzim sehingga terjadi penghambatan COX-1 yang malah menimbulkan
efek samping OAINS sehingga OAINS yang banyak digunakan sekarang ini adalah
OAINS yang selektif terhadap COX-2 saja. Apabila diberikan penghambat selective
COX-2 inhibitor maka tidak akan menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak
mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi
efek samping pada saluran makan maupun perdarahan.
OAINS yang bekerja pada COX-1 dan COX-2 sebagai berikut: Indometasin dan
sulindak sedikit selektif terhadap COX-1, meklofenamate dan ibuprofen mempunyai
efek yang ekuipoten terhadap COX-1 dan COX-2. Celecoxib, diclofenak, rofecoxib,
lumiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 secara selektif, Aspirin mengasetilasi
dan menghambat kedua isoenzim baik COX-1 maupun COX-2.
3.2 Saran – saran
1. Kepada para dokter muda agar mampu meningkatkan pemahaman tentang
farmakologi OAINS sehingga dapat meningkatkan kompetensi dalam
penanganan kasus nyeri terutama nyeri kronis.
34
35
2. Melalui tulisan ini penulis menyarankan agar para dokter khususnya yang
bekerja di bidang anestesi dapat mengoptimalkan penggunaan OAINS sebagai
step pertama pengobatan nyeri kronik sehingga pelayanan dalam penanganan
kasus nyeri akan dapat ditingkatkan.