nyeri pinggang miofasial

26
NYERI PINGGANG MIOFASIAL Mu-Jung Kao, Ta-Shen Kuan, Yueh-Ling Hsieh, Jeng-Feng Yang, Chang-Zern Hong Tujuan: Ulasan artikel ini menjelaskan tentang etiologi, patogenesis, gejala klinis dan tatalaksana nyeri pinggang yang disebabkan oleh myofascial trigger point (MTrPs) yaitu nyeri pinggang miofasial. Temuan: Berdasarkan pengetahuan terkini dan pengalaman klinis kami, kami menganalisis aspek dasar dan klinis nyeri pinggang miofasial. Kebanyakan kasus nyeri pinggang miofasial terkait dengan riwayat cedera sebelumnya. MTrPs aktif yang menyebabkan nyeri pinggang ini biasanya teraktivasi akibat adanya lesi penyebab lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menentukan dan mengobati lesi patologis tersebut untuk mencegah nyeri pinggang miofasial berulang. Jika lesi patologis yang mendasarinya tidak berhasil diidentifikasi dan nyeri karena MTrP terjadi sangat hebat, maka kita harus menekan MTrP aktif untuk mengendalikan nyeri. Ada beberapa pendekatan yang efektif untuk menginaktifkan MTr, seperti terapi manual, modalitas terapi fisik dan penjaruman seperti akupuntur dan injeksi MTrP Kesimpulan: Sangat penting untuk menemukan lesi etiologis yang mendasari nyeri pinggang ini dan sangat 1

Upload: nia-neya-beey-ii

Post on 22-Nov-2015

68 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

miofasialpain

TRANSCRIPT

NYERI PINGGANG MIOFASIALMu-Jung Kao, Ta-Shen Kuan, Yueh-Ling Hsieh, Jeng-Feng Yang, Chang-Zern Hong

Tujuan: Ulasan artikel ini menjelaskan tentang etiologi, patogenesis, gejala klinis dan tatalaksana nyeri pinggang yang disebabkan oleh myofascial trigger point (MTrPs) yaitu nyeri pinggang miofasial.Temuan: Berdasarkan pengetahuan terkini dan pengalaman klinis kami, kami menganalisis aspek dasar dan klinis nyeri pinggang miofasial. Kebanyakan kasus nyeri pinggang miofasial terkait dengan riwayat cedera sebelumnya. MTrPs aktif yang menyebabkan nyeri pinggang ini biasanya teraktivasi akibat adanya lesi penyebab lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menentukan dan mengobati lesi patologis tersebut untuk mencegah nyeri pinggang miofasial berulang. Jika lesi patologis yang mendasarinya tidak berhasil diidentifikasi dan nyeri karena MTrP terjadi sangat hebat, maka kita harus menekan MTrP aktif untuk mengendalikan nyeri. Ada beberapa pendekatan yang efektif untuk menginaktifkan MTr, seperti terapi manual, modalitas terapi fisik dan penjaruman seperti akupuntur dan injeksi MTrPKesimpulan: Sangat penting untuk menemukan lesi etiologis yang mendasari nyeri pinggang ini dan sangat penting untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan pengetahuan kita. (Tw J Phys Med Rehabil 2008; 36(1): 1 - 14 )

Kata kunci : nyeri miofasial, myofascial trigger points, nyeri pinggang

PENDAHULUANLatar Belakang Nyeri Pinggang yang Disebabkan oleh Myofascial Trigger PointSindrom nyeri pinggang merupakan salah satu penyebab kecacatan yang penting. Simons dan Travell telah menjelaskan tentang keterlibatan nyeri pinggang miofasial. Dahulu, diagnosis nyeri pinggang miofasial ditentukan ketika tidak ada lesi organic yang teridentifikasi. Pendekatan tidak ilmiah ini harus diklarifikasi mengingat patofisiologi myofascial trigger points (MTrP) sudah diketahui dewasa ini. Pada praktek klinis, MTrP sering kali teridentifikasi di otot dada dan otot anggota gerak bawah pada pasien dengan nyeri pinggang yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti lesi diskus lumbal dan lesi sendi facet selain nyeri pinggang miofasial. Oleh karena itu, nyeri pinggang miofasial bukan merupakan sinonim nyeri pinggang dengan MTrP. Pada beberapa pasien nyeri pinggang, nyeri dipinggang disebabkan oleh MTrP di otot paraspinal lumbal. Pendekatan terapeutik nyeri pinggang miofasial biasanya terfokus pada eliminasi MTrP yang terdiri dari terapi manual, modalitas terapi fisik dan penjaruman MTrP. Meskipun, hal ini hanya menghilangkan nyeri untuk sementara waktu. Berdasarkan observasi klinis terhadap pasien kami yang diterapi dengan terapi MTrP sederhana, didapatkan angka kekambuhannya cukup tinggi. Alasan utama kegagalan terapi adalah karena diagnosis yang tidak akurat dan/atau terapi yang tidak sesuai. Pemahaman mengenai pathogenesis MTrP pada nyeri pinggang merupakan isu penting untuk menentukan pendekatan terapeutik optimalpada tatalaksana nyeri pinggang miofasial.

Karakteristik Klinis dari Trigger PointMyofascial trigger point didefinisikan sebagai titik hipersensitif pada pembungkus serabut otot skeletal. Beberapa observasi klinis dan studi sains dasar mendukung keterlibatan MTrP. Semua MTrP berada didalam endplate zone dan endplate noise (EPN) sering kali terdeteksi pada area MTrP daripada area yang memiliki jaringan otot normal. berdasarkan gambar yang menunjukkan lokasi MTrP pada Trigger point manual, MTrP laten (nyeri tetapi tidak nyeri secara terus menerus) dapat ditemukan pada hampir seluruh otot skeletal normal orang dewasa. MTrP laten dapat ditemukan pada awal kehidupan, tetapi tidak pada bayi baru lahir atau bayi yang berusia kurang dari satu tahun. MTrP laten dapat teraktivasi menjadi MTrP aktif, yang mana sangat nyeri dan lebih lunak. Pada observasi klinis, ketika MTrP aktif ditekan, area tersebut masih teraba lunak namun tidak nyeri, karena ia berubat menjadi MTrP laten. MTrP laten dapat teraktivasi menjadi bentuk aktifnya sekunder terhadap lesi patologis. Setelah diberikan terapi yang sesuai terhadap lesi ini, maka MTrP aktif dapat ditekan menjadi bentuk inaktif. Secara teoritis, MTrP tidak menghilang, namun hanya diubah dari aktif menjadi laten. Sindrom nyeri miofasial merupakan salah satu fenomena nyeri yang disebabkan oleh aktivasi MTrP akibat adanya kondisi patologis seperti strain otot minor berulang yang kronis, bentuk tubuh yang tidak proporsional, penyakit sistemik atau lesi neuromuskuloskeleteal seperti strain, sprain, entesopati, artiritis, lesi diskus verterbralis dan lain sebagainya. Kompresi MTrP dapat menimbulkan keluhan nyeri pada pasien dan inaktivasi dari MTrP dapat mengurangi nyeri dan rasa tidak nyaman. Kompresi MTrP yang lebih kuat dapat menimbulkan nyeri alih. Pada pasien yang berbeda, pola nyeri alih yang sama dapat ditimbulkan oleh kompresi MTrP yang sama pada otot masing-masing individu. Penjaruman yang mengenai nosiseptor pada area MTrP dapat menimbulkan nyeri, nyeri alih dan local twitch response (LTR, kontraksi cepat dari serabut otot dalam pembungkus otot yang menegang), yang dapat terekam secara elektromiografis. Stimulasi tekanan tinggi, seperti penjaruman pada area MTrP dapat menimbulkan LTR dan menekan nyeri. Jika timbul LTR pada saat penjaruman MTrP maka dapat diyakini bahwa nyeri MTrP akan berkurang dengan segera.

Patofisiologi Trigger Points Berdasarkan studi pada manusia dan hewan dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat multipel lokus MTrP pada area MTrP. Sebuah lokus MTrP berisi komponen sensoris dan motoris. Komponen nyeri pada lokus MTrP merupakan lokus yang sensitive dimana nyeri, nyeri alih dan LTR bisa timbul sebagai respon terhadap stimulasi mekanis tekanan tinggi. Ini mungkin terdiri dari satu atau lebih nosiseptor dan juga disebut dengan lokus LTR. Komponen motoris merupakan lokus aktif dimana EPN dapat direkam dengan menggunakan elektromiografi (EMG). ini juga disebut sebagai lokus EPN. Lokus ini juga kemungkinan endplate disfungsional dengan kebocoran asetilkolin berlebihan. Ada bukti morfologis pembungkus otot yang menegang dan kontraksi pada area MTrP (endplate zone) pada EMG dan Ultrasonografi. Pada MTrP laten, ada beberapa lokus MTrP (nosiseptor yang tersensitisasi) yang nyeri hanya dengan sedikit penekanan. Ketika penekanannya ditingkatkan, maka akan timbul nyeri alih. Stimulasi tekanan tinggi (penjaruman) ke lokus MTrP pada MTrP laten dapat menimbulkan LTR. MTrP aktif memiliki lokus MTrP lebih banyak daripada yang laten. Tekanan rendah dapat menimbulkan nyeri alih atau LTR pada MTrP aktif. Sebuah MTrP yang sangat aktif dapat menimbulkan nyeri alih spontan (tanpa penekanan pada MTrP). Sehingga diperkirakan bahwa MTrP yang sangat aktif memiliki banyak lokus MTrP, sedangkan MTrP laten hanya memiliki sedikit lokus MTrP. Oleh karena itu, jumlah lokus MTrP pada satu area MTrP sebanding dengan iritabilitas MTrP tersebut. Nyeri alih dan LTR terintergrasi dalam medulla spinalis. Istilah sikuit miofasial trigger point (sirkuit MTrP) digunakan untuk menjelaskan hubungan interneural dalam dorsal horn medulla spinalis. Melalui hubungan ini, dapat terjadi nyeri persisten, nyeri alih, LTR dan keterlibatan otonom (gambar 1).

PATOGENESIS DAN KARAKTERISTIK NYERI PINGGANG MIOFASIALPada praktek klinis, sindrom nyeri pinggang biasnaya dibagi menjadi dua kategori berdasarkan ada tidaknya temuan abnormal pada pemeriksaan radiologis seperti x-ray, magnetic resonance imaging (MRI), computerized tomography scan, dan lain sebagainya (Tabel 1). Faktanya, kebanyakan lesi dengan temuan abnormal radiologis umumnya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak (terutama ligament). Temuan radiologis abnormal seperti osteofit pada vertebrae, penyempitan diskus intervertebralis, instabilitas sendi facet (retrolisthesis atau anterolisthesis vertebralis, derajat ringan), merupakan akibat dari cedera ligament (Gambar 2). Pada stadium akut, kita mungkin hanya membuat diagnosis sprain tulang belakang: ketika kita tidak menjumpai adanya kelainan neurologis atau radiologis. Beberapa tahun kemudian, pada stadium kronis, kita akan menyebutnya dengan penyakit degeneratif tulang belakang atau penyakit degeneratif diskus tulang belakang ketika tampak osteofit atau penyempitan diskus intervertebralis pada foto x-ray. Oleh karena itu, pada kebanyakan pasien dengan nyeri pinggang, mungkin tidak akan dijumpai kelainan radiologis pada stadium akut, namun akan ditemukan kelainan radiologis pada stadium kronis. Hong sudah menduga bahwa kebanyakan lesi degeneratif yang timbul pada usia kurang dari 60 tahun biasanya terkait dengan riwayat trauma sebelumnya dengan kerusakan jaringan yang signifikan atau trauma minor berulang. Umur merupakan faktor lainnya yang dapat menimbulkan lesi degeneratif. Tanpa riwayat trauma sebelumnya, tidak akan ada lesi degeneratif yang timbul sebagai akibat dari proses penuaan sampai seseorang cukup tua secara signifikan. Hong sudah mewawancara lebih dari 20 pasien yang berusia lebih dari 80 tahun dan tidak dijumpai perubahan degeneratif pada x-ray tulang belakang. Semua pasien tersebut dapat mengingat apakah mereka pernah mengalami trauma tulang belakang sebelumnya atau riwayat mengangkat beban berat.

Nyeri Pinggang Miofasial tanpa Temuan RadiologisNyeri pinggang pada kategori ini termasuk nyeri pinggang pada stadium akut cedera jaringan lunak dan trauma minor kronis tanpa perubahan tulang sekunder. Nyeri ini biasanya disebabkan oleh lesi ligament, lesi tendon atau strain otot. Ini biasanya dikaitkan dengan spasme otot paraspinal ipsilateral. Distribusi MTrP juga ditemukan pada daerah lesi. Sayangnya, pada kebanyakan kasus, lokasi lesi jaringan lunak tidak dapat diidentifikasi secara akurat. Secara teoritis, kebanyakan nyeri pinggang disebabkan oleh lesi jaringan lunak yaitu cedera ligamen.Pada stadium awal lesi diskus, ligamentum annulus fibrosus biasanya tertarik atau robek. Kemudian, sisi yang masuk diantara vertebrae menimbulkan inflamasi kronis dengan iritasi periosteum yang akhirnya akan terjadi pembentukan osteofit. Pada stadium akut herniasi diskus lumbal, nyeri hebat dan kebas sering kali timbul pada anggota gerak bawah, namun nyeri pinggang bukan merupakan salah satu gejala utama. Pada kasus ini, tidak ada atau hanya sedikit MTrP yang teridentifikasi pada otot punggung, dan ini bukan merupakan kasus nyeri pinggang miofasial.Pada stadium awal lesi sendi facet, ligamentum disekitar sendi facet teregang dan kemudian ligamentum facet akan mengendur sehingga terjadi spondilisthesis ringan (anterolisthesis atau retrolisthesis) antara dua vertebrae, dan pada akhirnya akan terbentuk osteofit pada foramen intervertebralis atau terjadi facet hipertrofi. Pada kebanyakan kasus lesi sendi facet, nyeri pinggang dapat disebabkan oleh keberadaan MTrP pada otot paraspinal ipsilateral. Namun, beberapa pasien mungkin hanya mengeluhkan nyeri didaerah sacral dan gluteal tanpa MTrP dan tidak dapat didiagnosis sebagai nyeri pinggang miofasial. Orang-orang muda yang terlibat dengan olahraga berat atau mengangkat barang-barang berat bisa mengalami sprain pada ligamentum iliolumbal. Mereka biasanya memiliki MTrP aktif pada otot paraspinal lumbal bawah ipsilateral dan terkadang pada otot gluteal ipsilateral, tetapi jarang pada otot anggota gerak bawah. Pasien dengan fibromyalgia bisa mengalami nyeri pinggang akibat MTrP. Hong dan Simons menjelaskan bahwa seorang pasien fibromyalgia memiliki ambang nyeri yang rendah daripada orang normal dan dengan demikian banyak MTrP laten menjadi aktif. MTrP pada otot paraspinal pad apasien fibromyalgia biasnaya terdistribusi simetris. Namun, jika seorang pasien fibromyalgia mengalami cedera pada satu sisi sebelumnya makan akan ditemukan MTrP lebih banyak pada sisi yang mengalami cedera daripada sisi lainnya.

Gambar 1. Sirkuit MTrP

Gambar 2. Temuan abnormal radiologis pada stadium kronis lesi jaringan lunak

Tabel 1. Klasifikasi nyeri pinggang miofasial

Nyeri pinggang miofasial dengan Temuan RadiologisPenyebab paling sering pada nyeri pinggang kategori ini adalah lesi diskus (segmen anterior tulang belakang) dan lesi sendi facet (segmen posterior tulang belakang). Baik lesi traumatic atau degeneratif pada diskus atau sendi facet dapat menyebabkan iritasi akar saraf atau kompresi yang menimbulkan nyeri radikular. Spasme otot paraspinal biasanya terjadi berlawanan dari nyeri radikular, untuk mengurangi penekanan berlebihan. Pada kasus ini, MTrP aktif bisa ditemukan pada otot anggota gerak ipsilateral selain pada otot paraspinal.Lesi facet dapat disebabkan oleh cedera langsung atau sekuder terhadap lesi diskus kronis. Cedera langsung dapat menyebabkan pengenduran ligamentum facet atau kerusakan pada sendi facet. Lesi diskus kronis biasnaya membentuk desikasi intradiskus dan kemudian terjadi penyempitan diskus intervertebralis. Ketika dua buah corpus vertebralis berdempetan maka sendi facet akan menjadi tidak stabil dan kemudian mengalami cedera akibat pergerakan tulang belakang berulang-ulang. Berdasarkan pengalaman klinis kami, lesi facet pada L4-5 dapat mengaktivasi MTrP pada otot paraspinal lumbal tengah dan bawah, gluteus minimus dan gluteus medius, sedangkan lesi facet pada L5-S1 dapat mengaktivasi MTrP pada otot paraspinal lumbal bawah, piriformis dan gluteus maksimus. MTrP aktif pada multifidus L4-S1 dapat menimbulkan nyeri alih ke ligamentum interspinosus L4-S1 dan posterior superior iliac spine ipsilateral dan terkadang sampai ke sendi sakroiliaka (SI). Sering kali, MTrP pada multifidus lumbal bawah dianggap sebagai disfungsi SI. Pada kasus seperti ini, terapi sendi SI, bahkan dengan injeksi steroid lokal tidak dapat mengurangi nyeri. Gluteus minimnus dan piriformis merupakan satu-satunya otot gluteal yang dapat mengalihkan nyeri hingga ke kaki dan telapak kaki, sama seperti nyeri radikular tetapi tanpa rasa kebas atau kesemutan.

DIAGNOSA NYERI PINGGANG MIOFASIALMengidentifikasi Titik Pemicu Myofascial pada Otot Paraspinal dan Otot Eksremitas1. Dari pasien. Ini merupakan cara termudah untuk menemukan titik pemicu myofascial. Bila daerah yang nyeri hanya memiliki satu atau sedikit titik pemicu, pasien bisa menunjukkan lokasi yang nyeri dengan ujung jari. Bila titik pemicunya banyak atau pada sejumlah daerah pada tubuh, sulit pada pasien untuk menunjukkannya. Pada kasus seperti ini, pemeriksan harus mempalpasi dengan seksama lokasi titik pemicunya. 2. Palpasi. Yang penting untuk diagnosa titip pemicu myofascial yang akurat adalah dengan mempalpasi daerah yang terasa tegang dan titik pemicunya. Teknik palpasinya sudah dijelaskan dengan mendalam sebelumnya. Namun, teknik palpasi dengan menjepit atau menyentak tidak bisa dilakukan pada otot paraspinal lumbal, bila titik pemicunya terletak jauh didalam. Pada kasus seperti ini, untuk melokalisir titik pemicunya dilakukan palpasi dengan menekan keladam. Terkadang saat ditekan, timbul nyeri alih dengan pola yang khas yang bisa membantu memastilak lokasi titik pemicunya. Pada MTrP yang aktif,pola nyeri alih yang timbul lebih mudah dikenali daripada yang laten. Nyeri alih yang timbul karena tekanan disebut referred tenderness kelembutan alih??? (untuk membedakannya dari nyeri alih spontan). 3. Mengenali nyeri. Yang terpenting untuk memastikan bahwa MTrP yang tepat untuk pengobatan adalah dengan mengenali nyerinya. Pasien harus mengenali MTrP yang menyebabkan atau yang memperberat nyeri atau perasaan tidak nyaman yang menjadi keluhan utama pasien.

Identifikasi Lesi yang Menyebabkan Nyeri PinggangStrategi pertama untuk penanganan nyeri pinggang myofascial adalah dengan mengetahui lesi yang mendasari nyeri pinggangnya. Langkah-langkah yang dilakukan untuk memastikan lesi penyebab nyeri pinggang adalah: 1. Riwayat nyeri, 2. Keterbatasan fungsional, dan 3. Tes provokasi. Kadangkala diperlukan pemeriksaan foto (sonografi, MRI dan lain-lain) dan pemeriksaan elektrofisiologi (EMG, konduksi saraf, dan lain-lain). Pasien dengan radikulopati biasanya mengeluh kesemutan pada eksremitas bawah, ipsilateral dari dermatom yang terkena. Pada fase akut dari radikulopati akibat herniasi diskus, pasien bisa merasakan nyeri hebat pada dermatom yang terkena dan myotome beberapa jam pasca onset dari herniasi, hal ini terjadi karena efek peradangan hebat dari herniasi. Nyeri pinggang kronik dengan nyeri alih pada seputaran bokong biasanya berhubungan dengan lesi di persendian Facet pada lumbal. Pada lesi di segmen anterior, fleksi lumbal kearah depan akan memicu atau memperberat nyerinya, sama halnya dengan herniasi diskus. Dilain pihak, pada lesi di segmen posterior, misalnya peregangan sendi Facet atau arthritis, rotasi ipsilateral diikuti ekstensi dari tulang belakang (facet sign) akan menyebabkan atau memperberat nyeri. Facet sign adalah tes provokasi dengan meregangkan ligamen facet atau menekan persendian facet untuk menimbulkan nyeri yang mirip dengan keluhan pasien (untuk mengenali nyeri). Pada pasien stenosis spinal, spondilolitesis, atau fraktur kompresi dari corpus vertebrae, fleksi atau ekstensi lumbal bisa menyebabkan atau memperberat nyeri (tes provokasi). Pada kasus peregangan ligamen ilio-lumbal, fleksi dan rotasi lumbal terus menerus bisa memicu atau memperberat nyeri. Untuk memastikan lesi dengan kelainan radiografik, diperlukan foto polos. Pada fase akut herniasi diskus atau protrusion, temuan radiologisnya biasanya kurang jelas. Namun, pada fase kronis dimana diskusnya menipis, pengecilan rongga diskus intervertebrae bisa terlihat pada foto polos. Bila rongga diskus telah berkurang, facet akan tidak stabil sehingga bisa mengakibatkan lesi facet. Pada foto polos, anterolitesis atau retrolitesis ringan sekali pun merupakan buksi adanya ketidak stabilan sendi facet. Lesi jaringan lunak yang tidak terlihat pada foto polos, dapat dilihat dengan MRI. Teknik sonografi bisa digunakan untuk mendeteksi proses degenerasi atau peradangan pada tulang belakang, bila yang rusak hanya struktur jaringan lunaknya. USG bisa untuk diagnosis dan penilaian aktifitas spondiloarthropati. Pada herniasi diskus lumbal, dengan pemeriksaan MRI lebih baik dibandingkan USG karena adanya sejumlah eterbatasan pada USG dan rendahnya akurasi diagnosanya. Elektromyografi atau pemeriksaan konduksi saraf pada segmen proksimal bisa digunakan untuk menilai fungsi saraf dan dapat membantu melokalisir ketinggian dari lesinya. TERAPI NYERI PINGGANG MIOFASIALPengobatan terhadap Lesi Patologis Yang Mendasarinya untuk Mencegah Nyeri MTrP BerulangNyeri myofascial bisa ditekan dengan mudah dengan terapi yang tepat, misalnya peregangan, pemijatan atau injeksi di MTrP. Namun, nyeri akan berulang dalam beberapa hari atau minggu, bila lesi patologis yang mendasarinnya tidak diobati. Ketika lesi yang menjadi penyebabnya telah hilang, MTrP yang aktif sebelumnya akan menghilang selamanya (kecuali lesinya terbentuk lagi). Telah dilaporkan bahwa jumlah nyeri dan intensitas dari MTrP akan berkurang drastis pasca fisioterapi atau operasi pada herniasi diskus.Pada sebagian besar kasus, MTrP aktif berasal dari MTrP laten sekunder akibat lesi neugologis, muskular atau skeletal. MTrP jarang sekali timbul akibat lesi otot primer. Aktivasi MTrP bisa menyebabkan nyeri, sehingga pergerakan terganggu, karena pergerakan akan mengganggu proses penyembuhan dari lesi primer. Ini merupakan mekanisme pertahanan yang penting. Kemudian, yang lebih penting lagi adalah mengidentifikasi lesi patologis yang mengaktifkan MTrP. Terapi patologis yang mendasarinya merupakan dasar dari penanganan nyeri yang disebabkan MTrP.

Guideline untuk Terapi Lesi EtiologisPada lesi berat yang melibatkan tendon, ligamen, persendian, atau tulang, diperlukan immobilisasi, misalnya dengan pemakaian korset. Dengan immobilisasi, ini akan memberikan waktu untuk penyembuhan lesi. Pelumpuh otot tidak selalu diperlukan, karena efek dari sedatif, kelemahan umum, atau efek sampingnya yang lain, bisa membahayakan. Relaksasi otot tidak sama dengan immobilisasi. Pada immobilisasi, ada kontraksi otot yang berirama isometrik, yang tidak menimbulkan nyeri, namun bisa meningkatkan vaskularisasi lokal, dan hal ini akan membantu pemulihan serta mengurangi kemungkinan terbentuknya jaringan parut, dimana jaringan parut tersebut nantinya bisa mengganggu vaskularisasi didaerah tersebut. Pada fase akut, pemberian NSAID sistemik segera pasca trauma bisa mencegah terjadinya kerusakan kronis, khususnya mencegah terjadinya jaringan parut. Analgetik kuat hanya diberikan bila pasiennya tidak tahan sakit. Pada fase kronis, jaringan parut bisa mengganggu vaskularisasi didaerah yang mengalami inflamasi kronis. Jadi, pada inflamasi kronis pemberian NSAID menjadi kurang efektif karena penyerapan didaerah peradangan sedikit akibat kurangnya vaskularisasi. NSAId sistemik hanya berfungsi mengurangi nyeri, namun tidak pengurangi peradangan. Pada kasus ini, untuk mengurangi peradangan kronis diperlukan injeksi steroid lokal. Namun, pemberian kompres hangat pada daerang peradangan akan meningkatkan vaskularisasi, sehingga meningkatkan penyerapan obat sistemik. Jadi, bila pasien diberikan NSAID untuk lesi kronis, dilakukan kompres hangat untuk membantu efek anti peradangan dari NSAID sistemiknya.Biasanya untuk terapi nyeri pinggang kronis diperlukan fisioterapi. Panas (termoterapi) bisa menyebabkan vasodilatasi dan akan meningkatkan sirkulasi lokal. Ini juga bisa menyebabkan relaksasi yang adekuat, yang memungkinkan pasien melakukan program latihan, sehingga pemanasan ini disarankan dilakukan sebelum masuk ke program latihan. Untuk meningkatkan sirkulasi lokal, pemanasan superfisial biasanya cukup kuat untuk menyebabkan vasodilatasi, baik pada jaringan superfisial maupun yang lebih dalam. Pada kedua kasus ini, perubahan hemodinamiknya adalah merupakan respon autonom. Penyebaran energi panas melalui kulit sangat terbatas. Pada pengalaman kami, terapi ultrasound lebih efektif dalam mengobati lesi facet lumbal. Terapi manual, meliputi pijatan, manipulasi dan traksi adalah terapi yang paling sering digunakan untuk cedera muskuloskeletal. Keuntungannya adalah berkurangnya edema dan spasmus dan akan meningkatkan fleksibilitas dan rentang pergerakan sendi, sama halnya dengan efek fisiologisnya. Pemijatan, immobilisasi, atau terapi manipulasi sering digunakan untuk meningkatkan sirkulasi lokal dan untuk relaksasi otot. Manipulasi bisa menghilangkan nyeri sementara dengan meregangkan otot yang kaku atau dengan menstimulasi sendi facet. Traksi pelvis intermiten bisa mengurangi spasme otot paraspinal dengan cepat. Terapi exercise sering dilakukan untuk menguatkan otot, peregangan, meningkatkan sirkulasi, dan relaksasi. Tambahan, back school juga bisa mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi pada pasien dengan nyeri pinggang kronis dan berulang. Latihan Wiliam yang dimodifikasi untuk lesi segmen posterior dan latihan McKenzie untuk lesi segmen anterior, bisa mengurangi nyeri pinggang, dan bisa dilakukan pasien dirumah. Pada pasien dengan lesi generatif di sendi, disarankan latihan isometrik untuk menguatkan otot persendian. Latihan dinamik bisa meningkatkan mikro sirkulasi bila dilakukan dengan hati-hati. Prinsip umumnya adalah dengan menghindari latihan yang berat, cepat dan berkepanjangan. Pada kasus kronis, injeksi lokal steroid bisa digunakan sebagai anti peradangan, karena NSAID oral tidak diserap dengan baik akibat pembentukan jaringan parut. Pada fase akut, NSIAd oral efektif untuk mengendalikan peradangan, dan biasanya tidak diperlukan injeksi steroid lokal. Untuk lesi segmen posterior bisa dilakukan injeksi facet dengan steroir, dan untuk lesi segmen anterior bisa dilakukan injeksi steroid epidural, termasuk injeksi cauda epidural.

Terapi Myofascial: Menonaktifkan MTrP yang AktifMetoda terapi yang paling sering digunakan untuk MTrP meliputi fisioterapi, manipulasi chiropractic, dan jarum. Fisioterapi yang paling sering digunakan untuk menonaktifkan MTrP adalah terapi manual, modalitas terapi dan terapi latihan. Penggunaan jarum untuk MTrP meliputi akupuntur, jarum kering, dan injeksi MTrP. Sangat penting untuk memahami patologis dasar dari lesi nyeri pinggang myofascial serta melakukan teknik manual yang tepat dan hati-hati, kehingga bisa dicegah terjadi komplikasi. Seringnya, efektifitas terapi jangka pendeknya jelas, namun efektifitas untuk jangka panjang masi dipertanyakan. Terapi manual yang paling sering digunakan adalah spray tradisional dan peregangan, manipulasi, imobilisasi, tekanan-lepas MTrP kebalikan dari teknik relaksasi, pemijatan dalam, acupressure dan lain-lain. Manipulasi chiropractic adalah terapi manual yang paling populer, tetapi akan dibahas terpisah dibawah. Modalitas terapi fisik bisa digunakan untuk mengendalikan nyeri myofascial. Terapi tambahan yang sering digunakan adalah thermotherapi, baik sebelum maupun sesudah terapi manual. Meskipun panas kurang efektif dalam mengontrol nyeri myofascial, tetapi ini modalitas yang paling penting dalam mengobati peradangan jaringan linak, karena dapat meningkatkan sirkulasi lokal yang nantinya akan mempercepat proses penyembuhan. Sebagai tambahan terhadap efek panasnya, disarankan menggunakan terapi ultrasound untuk mengendalikan MTrP, karena ultrasound bisa menghantarkan energi mekanikal langsung kelokasi MTrP. Elestroterapi, dalam bentuk stimulasi saraf, misalnya transcutaneus electrical nerve stimulation, bisa menghilangkan nyeri sementara, dan efektif untuk mengurangi kekakuan otot. Kontraksi otot yang terjadi saat stimulasi listrik berfungsi sebagai pijatan lokal dan akan meningkatkan sirkulasi lokal. Telah diketahui efektifitas elektroterapi terhadap MTrP. Sebuah penelitian yang menggabungkan ultrasound dengan elektroterapi ternyata menberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terpai tunggal. LASER (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) adalah modalitas baru yang digunakan untuk mengontrol nyeri. Alat ini terbukti mampu menghilangkan nyeri dan memperbaiki fungsi pada sindroma nyeri myofascial. Namun, mekanismenya terhadap terapi MTrP masih belum diketahui. Menurut Leinfort dan Foley, laser berfungsi sebagai jarum (tanpa nyeri) pada akupuntur. Energi elektromagnetik dari laser akan masuk dan mengiritasi MTrP dan menyebabkan hiperstimulasi analgetik yang sama dengan jarum kering, namun tanpa melalui jalur hantaran nyeri. Snyder-Mackler menemukan bahwa resistensi kulit akan meningkat pasca laser, dan menduga ini adalah efek simpatis dari terapi. Pada terapi latihan, pasien dengan klinis sindroma fibromyoalgia harus melakukan latihan tertentu. Ada bukti bahwa latihan tertentu bisa mengaktifkan sistem opioid endogen.Manipulasi chiropractic merupakan teknik pengontrol nyeri yang paling popular di Amerika Serikat. Pada literatur telah ditulis mengenai pengurangan nyeri MTrP yang drastis pasca manipulasi tulang belakang. Namun, mekanismenya dalam mengurangi nyeri masih belum jelas. Diduga nyeri hilang akibat penyusunan ulang koneksi saraf dari sirkuit MTrP akibat dari stimulasi mekanis pada nosiseptor di titik pemicu facet, samahalnya dengan hiperstimulasi analgetik pada saat penjaruman MTrP. Manipulasi lumbal juga bisa menyebabkan regangan pada otot paraspinal yang kaku, sehingga otot berelaksasi dan meningkatkan sirkulasi lokal. Injeksi pada titik pemicu juga efektif untuk mengnonaktifkan MTrP dengan cepat. Sebelum melakukan injeksi MTrP, lesi etiologi yang mendasarinya harus lebih dulu diterapi dan telah lebih dahulu dilakukan terapi konservatif untuk menonaktifkan MTrP. Injeksi otot paraspinal yang sering dilakukan adalah di iliocostalis, longissimus, multifudus, dan quadratus lumborum. Pada injeksi MTrP superficial, pastikan lokasi dari MTrP, dan dikonfirmasikan dengan jari dari tangan yang tidak dominan, dan kemudian jarum suntik dipegang ditangan yang dominan. Timbulnya kedutan lokal adalah untuk memastikan lokasi lokus MTrP. Hong menyarankan menggunakan teknik fast-in and fast-out untuk memberikan tekana yang kuat saat menusukkan jarumnya untuk menilbulkan LTR dan untuk menghindari jarumnya bergeser kesamping. Saat otot bagian dalam diinjeksi, jarum bisa masuk me regio MTrP saat palpasi MTrP yang simultan dan terjadinya kontraksi saat injeksi jarang. Travell dan Simons menyarankan penggunaak procaine atau lidocaine 0,5% untuk injeksi MTrP. Mereka tidak menyarankan penggunaan tambahan steroid saat injeksi MTrP, untuk menghindari kemungkinan terjadi myotoksik. Karena MTrP bukanlah lesi peradangan, pemberian kortikosteroid lokal tidak memberikan efek terapi. Namun, pada pengalaman kami, penambahan sejumlah kecil kortikosteroid pada agen anestetik lokal bisa mencegah terjadinya kemerahan pasca injeksi pada otot punggung, dan tidak pernah menyebabkan kerusakan otot. Racun botulinum bisa memblok pre-sinaps yang melepaskan acetylcoline pada motor endplate, dan ini bisa mengurangi kekakuan pada regio MTrP. Pada literatur telah ditulis efisiensi dari injeksi MTrP dengan racun botulinum dalam mengendalikan nyeri myofascial. Pada penelitian terhadap hewan, ditemukan efek supresif dari racun botulinum terhadap EPNs pada regio MTrP. Yang terbaru ditemukan bahwa prevalensi EPN pada regio MTrP sebanding dengan intensitas nyeri MTrP pada penelitian manusia. Fisher menyarankan untuk melakukan teknik blok pre injeksi dengan menginfiltrasi anestesi pada saraf paraspinal sensoris yang meninervasi daerah dimana akan dilakukan injeksi MTrP.Akupuntur dan jarum kering lainnya (tanpa injeksi obat lainnya) juga bisa mengontrol nyeri MTrP. Ditemukan ada kesamaan antara jarum kering, akupuntur dan injeksi MTrP. Melzack menyatakan bahwa 80 persen dari MTrP adalah titik akupuntur. Menurut Hong, pola nyeri alih pada sejumlah MTrP mirip dengan meridian akupuntur. Mekanisme dari akupuntus dan jarum kering dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas. Menurut Hong, tekanan yang kuat pada lokus MTrP bisa memberikan impuls netral yang kuat pada sel dorsal horn pada korda spinalis, sehingga bisa merusak sirkuit dari siklus MTrP, yang sam dengan yang terjadi pada hiperstimulasi analgetik. Teknik jarum kering juga meliputi stimulasi intramuskular (IMS) pada titik motorik, stimulasi cubitan pada intramuskular, stimulasi llistrik pada intramuskular, dan jarum kering superfisial. Jarum akupuntur sangat lentur dan sulit digunakan, khususnya untuk otot spinal lumbal. Penggunaan jarum EMG pada otot paraspinal juga harus lebih hati-hati pada pasien dengan spasmus otot paraspinal yang kuat. Salusi untuk kasus ini adalah dengan melakukan penjaruman pada titik akupuntur di alat gerak. Titik akupuntur yang sering dipakai pada alat gerak bawah dalam mengobati nyeri pinggang myofascial adalah piriformis, poplitea, tibialis anterior, peroneus longus, gastrocnemius, dan otot soleus. Yang terbaru, Chou et al, telah mengembangkan teknik akupuntur terbaru. Mereka menggunakan jarum akupuntur untuk melakukan prosedur mirip MTrP jarum kering, dengan jarum dimasukkan ke beberpa tempat pada lokasi MTrP. Mereka juga melakukan teknik fast-in and fast-out. Karena jarum akupuntur biasanya diameternya kecil dan sangat lentur, jarumnya berubah (terpuntir atau tertarik) saat dilakukan fast-in and fast-out sehingga menimbulkan LTR. Terapi ini efektif untuk pasien dengan fibromyalgia karena jarum akupuntur yang kecil itu dapat mengurangi kerusakan jaringan dan mengurangi nyeri pasca injeksi atau perasaan tidak nyaman yang bisa bertahan selama berhari-hari pada pasien fibromyalgia. Sering digunakan terapi kombinasi dengan berbagai metoda untuk mengnonaktifkan MTrP. Dokter bisa mengkombinasikan berbagai metoda berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. pertimbangkan juga keinginan pasien. Namun, pemilihan tetap berdasarkan keilmuan.

12