novel dua ibu karya arswendo atmowiloto kajian … · i novel dua ibu karya arswendo atmowiloto...
TRANSCRIPT
i
NOVEL DUA IBU KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA, NILAI PENDIDIKAN KARAKTER,
DAN RELEVANSI SEBAGAI BAHAN AJAR
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
SKRIPSI
Oleh :
Bayu Romadi
K1211014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS SEBALAS MARET
SURAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Bayu Romadi
NIM : K1211014
Prodi : Pendidikan Bahasa Indonesia
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Novel Dua Ibu karya Arswendo
Atmowiloto Kajian Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan
Relevansinya sebagai Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas ini
benar-benar karya saya sendiri selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari dibuktikan bahwa skripsi ini merupakan hasil jiplakkan, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, Juli 2018
Yang membuat pernyataan
Bayu Romadi
iii
NOVEL DUA IBU KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA, NILAI KARAKTER, DAN
RELEVANSINYA SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS
Oleh
Bayu Romadi
K1211014
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2018
iv
v
vi
ABSTRAK
Bayu Romadi, K1211014 Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto Kajian
Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansinya sebagai Materi
Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Juni 2018.
Tujuan penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) kompleksitas ide, (2)
kompleksitas aktivitas tokoh, (3) kompleksitas hasil budaya, (4) nilai-nilai pendidikan
karakter, dan (5) relevansi novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dengan materi
pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan antropologi sastra. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan analisis
dokumen dan wawancara. Validitas data menggunakan triangulasi metode. Teknik
analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis interaktif. Hasil penelitian
ini bahwa: (1) kompleksitas ide novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto
membicarakan tentang ide hakikat hidup, kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
pandangan manusia terhadap alam semesta, dan hakikat hubungan antara manusia dengan
sesamanya; (2) kompleksitas aktivitas tokoh novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto
meliputi aktivitas yang berhubungan dengan kekerabatan, ekonomi kesenian dan rekreasi,
sistem religi dan ritual kepercayaan, dan pendidikan; (3) kompleksitas hasil budaya novel
Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto berbentuk bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, teknologi, dan alat produksi atau mata pencaharian; (4) nilai pendidikan karakter
yang ditemukan dalam novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto meliputi nilai
religius, jujur, disiplin, kerja keras, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, cinta damai, peduli sosial, dan tanggung jawab; dan (5) novel Dua
Ibu karya Arswendo Atmowiloto dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran sastra di
SMA. Yaitu dapat dijadikan materi pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XI
semester genap dengan standar kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD), yaitu menganalisis unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Kemudian dengan standar
kompetensi (SK) memahami buku biografi, novel dan hikayat dengan kompetensi dasar
(KD) yaitu membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan
dengan hikayat. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia novel Dua Ibu juga dapat
dijadikan materi pada kelas XII Sekolah Menengah Atas (SMA) semester ganjil dengan
standar kompetensi (SK) memahami pembacaan novel dengan kompetensi dasar (KD),
yaitu menanggapi pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan..
Kata kunci: novel, antropologi sastra, nilai pendidikan karakter, materi pembelajaran
ABSTRACT
vii
Bayu Romadi, K1211014 Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto Anthropology
Literature Review, Character Education Values, and Relevance as Literature
Teaching Material at Thesis High School Thesis, Teacher Training and Education
Faculty Sebelas Maret University Surakarta June 2018.
The objectives of this study are to describe and explain: (1) the complexity of
ideas, (2) the complexity of character activities, (3) the complexity of cultural outcomes,
(4) the values of character education, and (5) the relevance of novels Dua Ibu by
Arswendo Atmowiloto with learning materials literature in high school. This research is
a qualitative descriptive research with literary anthropology approach. The sampling
technique is done by using purposive sampling. Data collection techniques used
document analysis and interviews. Data validity using method triangulation. Data
analysis techniques in this study using interactive analysis techniques. The results of this
study are: (1) the complexity of the novel idea Dua Ibu by Arswendo Atmowiloto talks
about the idea of the essence of life, the position of man in space and time, the human
view of the universe, and the nature of the relationship between man and his neighbor;
(2) the complexity of the activity of the novel character of Dua Ibu by Arswendo
Atmowiloto includes activities related to kinship, arts and recreation economics, religious
systems and rituals of trust, and education; (3) the complexity of the novel culture of Dua
Ibu by Arswendo Atmowiloto in the form of language, knowledge system, social
organization, technology, and production or livelihood tools; (4) the value of character
education found in the novel Dua Ibu by Arswendo Atmowiloto includes religious values,
honesty, discipline, hard work, democratic, spirit of nationalism, love of the homeland,
respect for achievement, peace of mind, social care and responsibility; and (5) the novel
Dua Ibu by Arswendo Atmowiloto can be used as a literary learning material in high
school. It can be used as an Indonesian language learning material in class XI semester
even with the standard of competence (SK) comprehend various saga, novel Indonesia /
novel translation with basic competence (KD), that is analyzing intrinsic elements and
extrinsic novel Indonesia / translation. Then with the standard of competence (SK)
understand biography books, novels and saga with basic competence (KD) that is
comparing intrinsic elements and extrinsic novel Indonesia / translation with saga. In the
learning of Indonesian novel Dua Ibu can also be used as material in class XII High
School semester (SMA) semester with the standard of competence (SK) to understand the
reading of novel with basic competence (KD), which is responding to reading novel
fragment from vocal, intonation and appreciation ..
Keywords: novel, literary anthropology, character education value, learning materials
viii
MOTTO
On every morning
Gazelle wakes up, it know it’s must out run the fastest lion or it will be kill
every morning
Lion wake up, it know it’s must runner then slowest gazelle, or it well starve
It doesn’t matter whether her you’re the lion or a gazelle
When sun come up you’d better be running
- Christopher McDougall
Bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu
-Al’ Imran Ayat 200
Kesalahan, dan kegagalan bukanlah akhir
Akhir dari segalanya adalah ketika kau berhenti melakukan
- Penulis
ix
PERSEMBAHAN
Untuk Bapak dan Ibu,
Ananda persembahkan karya ini
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur milik Allah Swt. Selawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan. Skripsi ini,
penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Merat, yang telah memberikan ijin penilitian
sehingga skripsi ini dapat selesai;
2. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd. Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, yang selalu
mempermudah dalam pengerjaan skripsi sehingga dapat terselesaikan;
3. Drs. Edy Suryanto, M. Pd selaku Pembimbing Akademik, yang tanpa henti memacu
saya untuk tidak berhenti;
4. Prof. Dr. Suyitno, M.Pd. dan Drs. Edy Suryanto, M.Pd. selaku pembimbing I dan
Pembimbing II yang telah bersedia membimbing dengan penuh kesabaran dalam
menyelesaikan skripsi ini;
5. Bapak Arswendo Atmowiloto selaku penulis novel Dua Ibu;
6. Bapak dan Ibu dosen Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret beserta staf tata usaha, perpustakaan, dan
kantin Universitas Sebelas Maret;
7. Ayahanda, Ibunda, dan adikku Anggun Nur W. terima kasih;
8. Teman-teman Prodi Bahasa Indonesia angkatan 2011- 2017 Program Studi Bahasa
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, terima
kasih atas doa, masukan, dan bantuannya;
9. Teman-teman Kelompok Peron Surakarta Mahasiswa Pekerja Teater, tempat berbagi
duka dan derita bersama; dan
xi
10. Guru SMA N 2 Sragen, yang tanpa henti memberikan semangat untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Karya ini masih jauh dari kesempurnaan, masukan dan kritik dari semua pihak
dibutuhkan untuk menjadikan karya ini lebih baik dan lebih baik lagi ke depan. Semoga
semua bantuan, dukungan, kebaikan, dan doa yang diberikan kalian berikan kepada
penulis terjawab oleh Gusti Allah. Selamat Membaca.
Surakarta, Juli 2018
xii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
PERNYATAAN ............................................................................................. ii
PENGAJUAN .................................................................................................. iii
PERSETUJUAN .............................................................................................. iv
PENGESAHAN ............................................................................................... v
ABSTRAK....................................................................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ ix
KATA PENGANTAR...................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir ........................................................ 8
1. Hakikat Novel ....................................................................................... 8
2. Hakikat Kajian Antropologi Sastra ......................................................... 16
3. Fragmen Budaya Jawa ............................................................................ 20
4. Hakikat Nilai-Nilai Pendidikan Karakter ............................................... 22
5. Hakikat Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas ............. 29
xiii
B. Kerangka Berpikir ....................................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 38
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ............................................................... 39
C. Sumber Data ................................................................................................ 39
D. Teknik Sempling ......................................................................................... 40
E. Tehnik Pengempulan Data ........................................................................... 41
F. Teknik Validitas Data .................................................................................. 42
G. Teknik Analisis Data ................................................................................... 43
H. Prosedur Penelitian ...................................................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................................................. 46
B. Hasil Penelitian............................................................................................ 48
1. Struktur Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto ............................ 49
2. Kompleksitas Ide dalam novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto ..... 82
3. Kompeksitas Aktivitas pada Novel Dua Ibu ............................................ 97
4. Kompleksitas Hasil Budaya .................................................................... 111
5. Nilai Pendidikan Karakter Novel Dua Ibu ............................................... 121
6. Relevansi Novel Dua Ibu sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA ... 134
C. Pembahasaan ............................................................................................... 136
BAB V SIMPULAN. IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ..................................................................................................... 179
B. Implikasi ..................................................................................................... 182
C. Saran ........................................................................................................... 187
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Karangka Berpikir ........................................................................... 38
2. Model Analisis Interaktif ............................................................................ 44
3. Novel Dua Ibu ............................................................................................ 193
4. Arswendo Atmowiloto ............................................................................... 190
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Nilai dan Diskripsi Nilai Pendidikan Karakter ............................................ 26
2. Materi Pengajaran Sastra Sekolah Menengah Atas..................................... 34
3. Rincian Waktu Penelitian .......................................................................... 39
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sinopsis Novel .......................................................................................... 194
2. Biografi Pengarang ..................................................................................... 196
3. Hasil Wawancara dengan Pengarang .......................................................... 199
4. Hasil Wawancara dengan Guru SMA ......................................................... 202
5. Hasil Wawancara dengan Murid SMA........................................................ 204
6. Izin Menyusun Skripsi ................................................................................ 205
7. Surat Izin Observasi ................................................................................... 206
8. Surat Izin Penelitian ................................................................................... 207
9. Silabus SMA .............................................................................................. 208
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan ciptaan kreatif imajinatif manusia yang bertolak
dari kehidupan nyata serta memiliki ekspresi estetik. Sebuah karya sastra
mencerminkan berbagai masalah kehidupan dalam berinteraksi dengan
lingkungan, masyarakat, dan Tuhannya. Walupun bentuk karya sastra
bersifat imajinatif, bukan berarti karya sastra dianggap sebagai hasil
khayalan saja, melainkan penghayatan dan perenungan yang dilakukan
dengan penuh kesadaran. Melalui karya sastra, seorang sastrawan berusaha
berkomunikasi dengan pembaca khususnya terkait dengan pemikiran, cerita
kehidupan, serta budaya yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam proses
kreatif penciptaan karya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial historis
masyarakat yang melahirkan karya sastra tersebut.
Sastra diciptakan bukan hanya sebagai bentuk konsumsi yang bisa
dinikmati dan dipahami. Karya sastra yang lahir melalui perenungan
pengarang memiliki nilai dan pesan tersendiri. Nilai dari suatu karya sastra
akan tetap hidup dalam karya sastra tersebut dan akan selalu berkembang
dalam interpretasi pembaca. Pada hakikatnya sastra dan kebudayaan
memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat, manusia
sebagai fakta sosial, manusia sebagai mahkluk kultural (Ratna, 2005:14).
Karya sastra bukanlah hal yang asing sebab pada setiap zaman yang
mengenal tulisan dapat ditemukan karya sastra. Sastra sebagai karya seni
merupakan bagian dari budaya. Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari
kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari
kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi, norma, genre,
simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan
memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1990:120). Kesenian itu pula
merupakan bentuk budaya. Pembaca karya sastra dapat menjadikan karya
sastra sebagai solusi yang dapat membantunya dalam kehidupan sehari-hari
dalam kehidupan di lingkungan masyarakat.
2
Kedudukan bahasa dalam sebuah karya sastra menempati kedudukan
yang vital, karena karya sastra menggunkan media bahasa sebagai sarana
penyampaian gagasan atau ide karena pada hakikatnya, bahasa merupakan
alat ciptaan sosial (Damono, 1984:1). Adanya hubungan karya sastra
dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan pengarang, menjadikan fungsi
karya sastra sebagai alat dokumentasi sosial masyarakat yang terjadi pada
zamanya. Sastra memang sering mencerminkan kenyataan, sering juga
dituntut mencerminkan kenyataan (Luxemburg, Ball, dan Weststeijn,
1984:15). Berkaitkan dengan fungsinya sebagai aktivitas literal dan
aktivitas kultural, memahami karya sastra dapat dilakukan menggunakan
proses pendekatan metode antropologi sastra, sosiologi sastra, maupun
psikologi sastra untuk membedah nilai-nilai yang terkandung di dalam
karya sastra tersebut.
Antropologi sastra menekankan pada analisis karya sastra berdasarkan
aspek-aspek kebudayaan yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.
Endraswara (2013: 19) menjelaskan bahwa penilitian antropologi sastra
adalah telaah struktur sastra (novel, cerpen, puisi, naskah drama, cerita
rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau konteks situasi sosial
budayanya. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan pendekatan
budaya terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran
karya sastra yang dapat dilakukan dari sudut pandang kebudayaan daerah.
Hal ini merupakan ikatan timbal-balik antara karya sastra dengan
masyarakat (manusia) sebagai sumber dari suatu kebudayaan. Novel baik
dari segi cerita tragedy, realism ataupun romantisme merupakan bentuk
persoalan struktur sosial masyarakat yang membangunnya. Realitas yang
beragam dalam suatu novel dapat dijadikan pencerahan bagi manusia dan
menjadi solusi atas permasalahan manusia yang lain. Cerita tersebut
menyuguhkan persoalan hidup adat istiadat, ritual dan kelas-kelas atau kasta
sosial yang berada dalam unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Dengan
demikian, pengarang dan isi cerita yang dituturkan merupakan sebuah fakta
masyarakat.
3
Usaha penelitian nilai-nilai luhur yang terdapat pada karya sastra
agaknya tidak berlebihan jika dijadikan sebagai sumber pembelajaran dalam
kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan karakter mulai
menipis dalam diri masyarakat. Keragaman dan kekayaan suku bangsa,
agama, dan juga ras, menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat
yang multikultur dan memiliki berbagai macam karakter yang berbeda-
beda. Keberbedaan karakter tersebut tidak serta merta menjadikan
masyarakat menjadi satu kepaduan yang hidup berdampingan dengan
damai, akan tetapi dapat diketemukan kenyataan yang sering kali berbeda.
Di sinilah salah satu peran karya sastra khususnya novel yang di dalamnya
tidak hanya memiliki fungsi menghibur, akan tetapi memilik fungsi edukatif
pula. Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan
kembali kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya,
karya sastra dapat dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi
untuk menanamkan pendidikan budaya Jawa pada generasi sekarang.
Pembelajaran sastra tentu dapat dilakukan bukan tanpa tujuan,
menentukan pembelajaran sastra bukan tanpa konsep dalam sastra itu
sendiri agar tidak menimbulkan persepsi yang menilai suatu karya sastra
dari sudut pandang baik atau buruknya saja. Cerita yang disuguhkan
penyair dalam karya sastra tidak akan bisa terlepas dari nilai-nilai edukatif,
terkhusus nilai pendidikan karakter, karena tokoh-tokoh khayalan dalam
karya sastra khusunya novel tersebut memiliki karakter masing-masing
dalam setiap penokohannya. Kejadian-kejadian, masalah yang pelik dalam
novel juga bisa menjadi penggambaran nyata nilai pendidikan karakter dan
bisa menjadi perenungan bagi pembaca.Semi (1993:194) menjelaskan
bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah mengasah rasa peka penikmat
karya sastra sehingga terdorong untuk menghayati serta belajar tentang
kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Yang lebih penting lagi,
jika interdisiplin sastra dapat diwujudkan maka akan mendorong manusia
memahami persoalan hidup manusia secara utuh.
4
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu gambaran
bagaimana khazanah kebudayaan Jawa mempunyai peran besar serta, dapat
dijadikan sebagai pedoman pembelajaran pendidikan karakter di sekolah-
sekolah. Keberagaman kebudayaan bangsa khususnya suku Jawa telah
banyak dikesampingkan, seperti wujud kebudayaan yang telah lahir,
berkembang, dan pernah hidup, sangat disayangkan bila nilai-nilai tersebut
musnah tergerus arus zaman.
Keragaman dan kekayaan budaya khususnya budaya bangsa dengan
beragam suku perlu untuk selalu dilestarikan, salah satu bentuk pengenalan
terhadap generasi muda adalah dengan karya sastra. Karya seni dengan
menggunakan media bahasa, sastra diharapkan mampu memberikan
diskripsi lebih terhadap budaya-budaya yang mulai dilupakan oleh
masayrakat sekarang ini. Dalam novel Dua Ibu terdapat budaya prihatin
masayarakat Jawa dalam menjalani kehidupan akan suatu hajat yang baik
ke depanya, serta nilai-nilai pendidikan karakter yang bisa dipelajari melalui
para tokoh-tokohnya. Novel ini digambarkan oleh sastrawan dengan sangat
menyentuh. Berbagai konflik yang disajikan dengan balutan budaya Jawa,
dan cerita hidup keluarga sederhana yang kompleks menjadikan cerita
dalam novel ini pantas untuk dikaji secara antropologi sastra.
Gaya penceritaan sastrawan menunjukan bagaimana sisi lain
kehidupan seorang ibu beserta anak-anaknya yang menghadapi
permasalahan hidup dengan tradisi jawa yang masih kental, serta syarat
akan nilai edukatif berupa nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
novel menjadi daya tarik tersendiri pada novel ini. Terciptanya karya sastra
yang serat akan nilai budaya maka akan memantik para akademisi dalam
bidang bahasa dan sastra untuk melakukan penelitian (research) pula,
sehingga lebih banyak lagi fakta-fakta budaya yang dapat diketahui dan
tauladani dalam sebuah karya sastra.
5
Paradigma demikian akan membuat masyarakat paham bahwa sastra
khususnya novel dapat dijadikan sebagai jendela pengetahuan pembaca pula
terhadap keragaman dan kekayaan budaya, serta banyaknya nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam setiap kejadian-kejadian yang
digambarkan secara khayali oleh pengarangnya. Aspek-aspek antropologi
sastra dan nilai-nilai kebudayaan, serta pendidikan karakter dalam novel
Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dapat dijadikan sebagai materi ajar
dalam pembelajaran sastra di SMA, yang diaplikasikan dalam silabus mata
pelajaran Bahasa Indonesia, sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA.
Sastra bukan hanya sebagai pewaris budaya semata sebab di dalamnya
juga terkandung nilai-nilai pendidikan. Ragam pendidikan yang terkandung
dalam katya sastra lembut menyentuh nurani pembacanya, serta tidak
terdapat unsur memaksakan. Berangkat dari penjelasan yang dikemukakan
di atas maka penulis berupaya melakukan penelitian yang berjudul “ Novel
Dua Ibu Karya Aswendo Atmiwiloto Kajian Antropologi Sastra, Nilai
Pendidikan Karakter dan Relevansinya sebagai Bahan Ajar di Sekolah
Menengah Atas”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Dua Ibu karya Arswendo
Atmowiloto ?
2. Bagaimana wujud budaya (kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas,
kompleksitas hasil budaya) dalam novel Dua Ibu Karya Arswendo
Atmowiloto ?
3. Bagaimana nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Dua Ibu
karya Arswendo Atmowiloto ?
4. Apakah novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto relevan dengan
pembelajaran sastra di SMA ?
6
C. Tujuan Penalitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan:
1. Unsur intrinsik novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto.
2. Wujud budaya (kompelksitas ide, kompleksitas aktivitas, kompleksitas
hasil budaya dalam novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto.
3. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Dua Ibu Karya Arswendo
Atmowiloto.
4. Relevansi novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto sebagai materi
pembelajaran sastra di SMA.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik
secara praktis maupun teoretis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan dan memperkaya pemahaman terhadap
karya sastra khususnya novel dan juga penelitian sastra serta dapat
bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia..
2. Manfaat Paraktis
a. Bagi Siswa
Menemukan nilai pendidikan karakter yang positif, dalam
suatu karya sastra serta meningkatkan daya apresiasi terhadap novel,
juga sebagai materi pembelajaran siswa, yakni pada kompetansi
dasar (KD) apresiasi karya sastra novel.
b. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan guru Bahasa Indonesia
sebagai pengembangan materi ajar dalam apresiasi karya sastra.
c. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
perbandingan dan bahan rujukan bagi peniliti lain yang akan
melakukan penelitian sastra dengan permasalahan yang sejenis.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Kata Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang berarti sebuah kisah
atau sepotong berita, kemudian diartikan sebagai cerita pendek berbentuk
prosa. Selain novel ada juga karya fiksi lainya seperti roman dan cerita
pendek. Novel secara etimologis berasal dari bahasa latin “novellus” yang
berarti baru. Dikatakan baru, dibandingkan dengan cerpen, puisi, dan
naskah drama, novel muncul setelahnya. Contohnya adalah novel Famela
yang pertama kali lahir di Inggris pada tangun 1740 (dalam Tarigan
1984:164). Pada awalanya cerita Famela berdasarkan dari sebuah catatan
harian pembantu rumah tangga, kemudian diubah menjadi sebuah cerita
fiksi seperti sekarang.
Hawthorn (1987:4) dalam buku online berjudul “Studying The Novel”
mengemukakan: The Novel is fictitious- fiction, as we often refer to it. It
depicts imaginary charactres and situations. Hawthorn mengungkapkan
novel adalah karya fiktif-fiksi, seperti yang sudah kita ketahui. Novel
menggambarkan imajinasi karakter dan situasi. Sejalan dengan Hawthorn,
Kosasih (2012:60) menegaskan bahwa novel adalah karya imajinatif yang
mengisahkan sisi utuh atas sistematika kehidupan seseorang atau bebarapa
tokoh. Bila kita teliti lebih lanjut, novel memang menceritakan aspek
kemanusiaan secara rinci dan kompleks, yang panjang cakupannya
memperhatikan unsur cerita. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Waluyo
(2002 :6) bahwa novel memiliki ciri: (1) ada perubahan nasib pada tokoh
cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan pemeran utamanya; (3)
biasanya tokoh utamanya tidak sampai meninggal. Aminuddin (1995:66)
menegasakan bahwa novel merupakan bentuk karya sastra fiksi yang
mempunyai bentuk pokok yaitu: pengarang atau narator, isi penciptaan,
media penyampaian isi biasanya berbentuk bahasa, dan elemen-elemen
fiksional atau unsur intrinsik yang membangun karya sastra.
8
Untuk memaparkan cerita, pengarang dapat menggunakan beberapa
cara, yaitu: penjelasan atau komentar, dengan dialog atau monolog, dan
melalui action atau perbuatan. Bila kita menengok sebentar pada sejarah
sastra Indonesia angkatan Balai Pustaka dan non Balai Pustaka masih
berada pada sistem semiotik dan pandangan dunia yang sama, yaitu
romantisme dalm pengkaryaanya. Keduanya mengalami perguncangan
tentang dunia imajinasi dengan dunia nyata. Hanya saja tradisi yang masih
diwarisakan sampai sekarang dari karya-karya Balai Pustaka masih
mengunakan dunia imajiner sebagai bahan cerita utama (Faruk, 2012:19).
Berdasarkan urian di atas dapat disimpulkan bahawa novel adalah cerita
rekaan yang berangkat dari proses perenungan batin pengarang dan di
dalamnya terdapat unsur pembangun cerita yang menceritakan tokoh-tokoh
secara kompleks serta menceritakan aspek kemanusian dengan
memperhatikan unsur cerita. Tentunya pengarang akan mendekatkan
peristiwa-peristiwa dalam cerita novel sedekat mungkin dengan realita.
b. Struktur Novel
Struktur pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua yaitu: unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun
karya sasta itu sendiri atau unsur di dalam karya sastra tersebut. Unsur
intrinsik sebuah novel terdiri dari tema, latar, sudut pandang, alur, gaya
bahasa, penokohan, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang
membangun dari luar suatu karya sastra. Walupun unsur yang yang terdapat
di luar karya sastra, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas
cerita yang dihasilkan. Dalam karya sastra kususnya novel hal tersebuat
tidak dapat dipisahkan karena sama-sama menjadi pondasi dasar lahirnya
suatu karya.
Wellek dan Waren menyebutkan adanya empat faktor yang saling
berkaitan dengan suatu karya sastra, yaitu: biografi pengarang, psikologi,
sosial budaya masyarakat dan filosofis (1990:75). Penelitian terhadap novel
berkaitan dengan unsur yang terdapat dalam novel tersebut.
9
Berkenaan dengan unsur intrinsik Nurgiyantoro menyebutkan bebarapa
yaitu: plot, peristiwa, cerita, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, dan gaya bahasa (2013:23). Berikut ini akan dijabarkan unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang kaitan erat dengan pengkajian novel dengan
pendekatan antropologi sastra.
1) Unsur Intrinsik
Unsur di dalam novel yang secara langsung membangun novel itu
sendiri mencakup sebagai berikut:
a) Tema
Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya juga
berarti mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentunya
mengandung dan menawarkan sebuah tema, namun apa isi tema itu
sendiri terkadang tidak mudah untuk ditemukan. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan saat kita diminta mendefinisikan piring dan kemeja.
Piring kita definisikan sebagai alat untuk makan, sedangkan kemaja
kita definisikan untuk dikenakan.
Bukankah kedua definisi tersebut masih jauh dari yang kita
harapkan, karena yang disebutkan tersebut adalah fungsi. Masalah
seperti itulah yang sering kita jumpai terhadap persoalan tema,
berikut pengertian tema menurut beberapa ahli:
Kasnadi dan Sutejo (2010:10) tema adalah masalah, prosa fiksi
adalah masalah. Pengerang menuliskannya berdasarkan masalah
yang ada dalam kehidupannya, masalah tersebut bisa berupa agama,
sosial, politik, keluarga, cinta dan sebagainya. Senada dengan
pendapat tersebut enurut Waluyo dan Wardani, (2011:7), tema
adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi.Tema bersifat objektif,
lugas, dan khusus. Berdasar pendapat tersebut menentukan tema
haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya dari
bagian-bagian tertentu saja.
10
Nurgiyantoro (2013:70) berpendapat bahwa tema merupakan
dasar cerita, gagasan umum sebuah cerita. Selain itu, tema
memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-
kejadian yang diceritakan, sekaligus mengisahkan kehidupan dalam
konteks paling umum. Dengan kata lain, tentunya cerita akan ”setia”
mengikuti gagasan umum dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
tema adalah gagasan atau masalah sentaral yang menjadi dasar
cerita, dimana gagasan utama tersebut memberikan kekuatan dan
kebersatuan cerita yang disampaikan sehingga menjadi karangka
dasar cerita yang menyelimuti secara keseluruhan.
b) Alur Atau Plot
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa dalam novel atau juga
sering disebut sebagai kerangka cerita. Dapat dikatakan alur atau
plot adalah jalinan yang menghubungkan sebab atau akibat suatu
peristiwa dalam novel. Siswanto (2008:198) mengemukakan bahwa
alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan
seksama. Penampilan peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada
waktu saja belum termasuk plot. Agar menjadi sebuah plot
peristiwa-peristiwa tersebut harus diolah dan disiasati secara kreatif,
sehingga menghasilkan rangkaian yang indah dan juga menarik.
Sejalan dengan pendapat di atas Semi (1993: 43) mengungkapkan
bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita
yang disusun sebagai interelasi fungsional, yang sekaligus menandai
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Bila kita mencermati lagi
pendapat para pakar ada suatu benang merah yang mengarah pada
satu penjelasan tentang plot, yaitu plot seharusnya memiliki
hubungan sebab-akibat yang menuntun pembaca memiliki
kemungkinan agar dapat menebak-nebak peristiwa apa yang akan
terjadi.
11
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulakan bahwa alur
atau plot adalah urutan kejadian dalam cerita melalui peristiwa-
peristiwa yang terjadi dan saling berhubungan sehingga membentuk
konstruksi sebab-akibat dalam cerita yang disajikan.
c) Sudut Pandang
Sudut pandang sering juga disebuat dengan poin of view,
merupakan salah satu unsur novel yang dihubungkan dengan cara
cerita. Sudut pandang lebih mempersoalkan tantang siapa yang
bercerita. Menurut Nurgiyantoro (2013: 248) sudut pandang
merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja digunakan
pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Sudut pandang
dapat digunkan sebagai sarana untuk menyajikan jalanya cerita
melalui tokoh, watak, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi pembaca.
Masih mengutip pendapat Nurgiyantoro (2013: 59-271), sudut
pandang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
(1) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”
Dalam sudut pandang persona ketiga muncul narator yang
berperan sebagai pencerita. Narator juga adalah orang yang
mengetahui isi cerita selanjutnya, namun bukan tokoh yang ikut
terjun secara langsung dalam peristiwa yang terjadi dalam karya
fiksi. Hal ini akan memudahkan pembaca untuk mengenal siapa
tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
(2) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
Dalam sudut pandang gaya pertama narator pengisahannya
menggunakan gaya “Aku”. Narator di sini berperan langsung
dengan yang terjadi dalam peristiwa cerita. Kisah yang
diceritakan bisa dari pengalam hidupnya sendiri, mengisahkan
peristiwa yang dialami, diilhami, didengar dan dirasakan. Dalam
beberapa karya sastra “Aku” yang berperan menyebutkan nama
terang.
12
(3) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam cerita novel mungkin saja
lebih dari satu tehnik. Pangarang bisa saja berganti dari teknik
satu dengan teknik yang lain untuk sebuah cerita yang
dituliskanya. Dalam sudut pandang campuran penceritanya
menggunakan dua sudut pandang yaitu sudut pandang persona
ketiga “Aku”, sudut pandang persona pertama “Dia” pengamat.
Bisa saja menggunakan yang sebaliknya ataupun bersamaan.
Tergantung dengan yang diinginkan oleh pengarang.
d) Tokoh dan Penokohan
Sama halnya dengan unsur plot, sudut pandang maupun tema,
tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya
naratif. Pembicaraan mengenai segala perwatakanya maupun ciri
khasnaya lebih menarik perhatian pembaca katimbang mencari
pemplotanya. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku
cerita. Sering kita mendengar pertanyaan “siapa pelaku utama cerita
novel ini?”, penokohan atau karakterisasi sering disamakan dengan
karakter dan perwatakan. Menurut Purnomo, dan Ratnawati (2005)
novel merupakan karya fiksi yang bersifat kreatif, harus
menggambarkan tokoh-tokoh ceritanya secara jelas atau rinci. Fiksi
sebagai karya imajiner mengandung dan menawarkan model
kehidupan yang disikapi dan dialami dengan tokoh-tokoh sesuai
dengan pendangan pengarang terhadap kehidupan pembacanya.
Jones (dalam Nurgiyantoro (2013:165) menegaskan penokohan
merupakan perlukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita biasanya mengemban
suatu perwatakan tertentu yang diberi isi oleh pengarang. Cara
mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui
pernyataan langsung, peristiwa, kebiasaan dan sebagainya.
13
Waluyo (2002:165) menyatakan penokohan merupakan cara
pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis
tokoh, hubungan tokoh dengan cerita yang lain, dan watak tokoh-
tokoh itu. Dengan penggambaran watak pada pelaku maka cerita
tersebut memunculkan tokoh-tokoh yang seperti halnya manusia
hidup. Dari interaksi antara tokoh dan penokohan akan
memunculkan konflik dan berkembang menjadi sebuah peristiwa.
Berikut beberapa jenis penamaan dalam cerita novel berikut dengan
penjelasanya:
(1) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Fungsi tokoh dilihat dari penampilan dibedakan menjadi
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Nurgiyantoro
(2013: 178) tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi
atau yang popular dengan sebutan “hero”.
Tokoh protagonis adalah karakter yang sering kali cocok
dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, sebagai pembaca.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang sering menimbulkan konflik
dengan tokoh protagonis. Walaupun konflik yang dialami tokoh
protagonis tidak selalu disebabkan oleh tokoh antagonis saja,
namun juga bisa disebakan dari hal-hal luar seperti bencana
alam, lingkungan, kecelakaan dan sebagainya.
(2) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Jika dilihat dari peran tokoh yang mendominasi cerita, atau
sering kali muncul dalam cerita, tokoh tersebut sering disebut
dengan tokoh utama. Tokoh yang dimunculkan sesekali atau
jarang muncul dalam cerita, sering kita sebut dengan tokoh
tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang ditulis hampir
disetiap plot, kajadian dari awal hingga ahir cerita, sedangkan
tokoh pembantu adalah tokoh yang muncul hanya pada beberapa
bagian plot yang alami tokoh utama, (Nurgiyantoro 2013:183).
(3 ) Tokoh Datar dan Tokoh Bulat
14
Tokoh datar adalah tokoh yang mudah dikenali oleh
pembaca karena pencitranya yang dekat dengan kehidupan kita.
Biasanya tokoh datar hanya memiliki satu sifat utama seperti
sifat baik saja ataupun jahat saja.
Tokoh bulat adalah tokoh yang penggambaran wataknya
memiliki berbagai watak yang dapat dilihat dan dijelaskan
melalui berbagai cara baik melalui kepribadian maupun jati
dirinya, (Nurgiyantoro 2013:183).
(4) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netaral
Tokoh dilihat berdasarkan pencerminan tokoh cerita
terhadap manusia dari kehidupan nyata. Tokoh tipikal menurut
Nurgiyantoro (2013: 190) penggambaran terhadap orang yang
terikat dengan lembaga atau berhubungan dengan suatu lembaga
dikehidupan nyata. Pengambarannya bersifat samar, sehingga
memerlukan penafsiran pembaca. Tokoh netral adalah tokoh
cerita yang bereksistensi demi cerita sendiri. Tokoh netral sering
kali hadir hanya untuk cerita itu sendiri, atau sering digambarkan
bahwa dialah yang memiliki cerita tersebut.
e) Latar atau Setting
Latar atau setting adalah tempat terjadinya cerita ,tempat
kejadian cerita bisa berkaitan dengan aspek fisik, soisologis dan
psikis. Selain itu juga berhubungan dengan tempat dan waktu. Pada
hakikatnya unsur latar dapat dibagi menjadi tiga unsur pokok, yaitu:
tempat, waktu dan sosial, ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Latar tempat
mengarah pada tempat terjadinya peristiwa dalam novel. Latar
waktu berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa yang dikisahkan
dalam novel. Latar sosial masyarakat mencakup kebiasaan hidup,
cara berfikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang
bersangkutan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas.
15
Hal Tersebut penting untuk memberikan kesan realistis kepada
pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh
ada dan terjadi. Di pihak lain jika belum mengenal latar itu
sebelumnya, pembaca akan mendapatkan informasi baru yang
berguna dan menambah pengalaman hidup. Latar dalam karya fiksi
tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu
yang bersifat fisik saja, melainkah juga yang berwujud tata cara, adat
istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku ditempat yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 2013: 217-218).
f) Amanat
Cerita yang dikatakan baik adalah cerita yang dapat diteladani
oleh pembacanya. Dengan menganali dan menggemari karya sastra
menjadikan manusia peka terhadap permasalahan masyarakat atau
lingkunganya. Amanat dapat disajikan dengan tersurat dan tersirat.
Melalui percakapan atar tokoh maupun narasi yang disampaikan
oleh pengarang. Amanat sendiri berisi pesan atau ajaran dibalik
perilaku atau peristiwa yang dilakukan tokoh dalam cerita fiksi. Jadi
jelasanya amanat bersifat subjektif, umum, dan arti kiasan yang
dapat diambil dari karya fiksi.
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra namun
keberadaanya berpengaruh terhadap terciptanya karya sastra tersebut.
Nurgiyantoro (2013:22) menyatakan bahawa unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak sadar
atau tidak langsung mempengaruhi sistem atau organisme terciptanya
karya. Secara lebih khusus dapat dikatakan unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita karya sastra tetapi
ikut menjadi bagian di dalamnya. Wellek dan Werren (1990: 98)
menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam
karya sastra, yakni:
16
(a) Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan
lepas dari pengarangnya; (b) Psikologis (proses kreatif): adalah aktivitas
psikologis pengarang pada waktu menciptakan karyanya terutama
dalam penciptaan tokoh dan wataknya; (c) Sosiologis (kemasyarakatan)
sosial budaya masyarakat diasumsikan. Bahwa cerita rekaan adalah
potret atau cermin kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan
kehidupan sosial adalah profesi atau institusi, masalah hubungan sosial,
adat istiadat antar hubungan manusia satu dengan lainnya, dan
sebagainya; dan (d) Filosofis: bahwa pengarang menganut aliran filsafat
tertentu dalam berkarya seni.
Dengan aliran filsafat yang dianut oleh pengarang itu berkarya,
pembaca akan lebih mudah menangkap makna karya sastra tersebut.
Keempat faktor tersebut membangun kompleksitas dalam suatu karya
sastra. Tentunya, karya sastra tidaklah bisa dilepaskan dari latar
belakang terciptanya karya tersebut. Berdasarkan paparan terkait unsur
ekstrinsik, dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang
berada di luar karya sastra yang mempengaruhi karya sastra meskipun
tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
2. Hakikat Kajian Antropologi Sastra
a. Pengertian Antropologi Sastra
Dalam bahasa Yunani kata antropos berarti “manusia” dan logos berarti
“studi”, dapat diartikan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang manusia. Atau juga dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang
tidak henti-hentinya mempelajari manusia. Menurut Endraswara (2013:3),
antropologi melihat semua aspek manusia dan masyarakat sebagai
kelompok veriabel yang berinteraksi. Dalam buku Pengantar Ilmu
Antropologi, Koetjaraningrat membagi perkembanganya menjadi empat
fase, yaitu:
17
fase pertama (sebelum abad ke-18), pada fase ini banyak terkumpul
manuskrip, catatan, buku dan sebagainya berasal dari penjelajahan bangsa
Eropa barat menuju benua lain yang ditulis oleh musafir, pelaut, pendeta
sampai dengan pegawai pemerintahan.
Fase kedua (sekitar abad ke-19), ditandai dengan munculnya karangan-
karangan yang menjadikan kajian etnografi berdasarkan cara evolusi
berpikir masayarakat. Fase ketiga (awal abad ke-20), antropologi sudah
berkembang di Inggris dan dijadikan sebagai ilmu parktis dengan tujuan
sebagai ilmu yang digunakan untuk mempelajari masyarakat dan
kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa. Pada dasarnya digunakan oleh
pemerintah kolonial untuk mendapat pengertian mayarakat masa kini yang
kompleks dan sebagai ilmu untuk mempelajari kebudayaan daerah jajahan.
Fase keempat (sekitar tahun 1930), ditandai dengan perkembangan ilmu
antropologi yang mulai mempelajari masyarakat pedesaan pada umumnya
(2009, 3-5).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa antropologi
adalah ilmu yang mencoba mencari Jawaban tentang pertanyaan-pertanyan
yang berhubungan dengan manusia sebagai mahkluk sosisl yang hidup
dalam masyarakat. Oleh karenanya ilmu antropologi dapat diartikan sebagai
ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia sebagai bagian dari masyarakat.
b. Hakikat Antropologi Sastra
Secara definitif etimologis antropologi sastra adalah dua cabang ilmu
yang berbeda namun mempunyai keterikatan yang kuat. Hubungan
antropologi dan sastra muncul pertama kali pada kongres “Folklore and
Literary Anthropology” (Poyatos,1988: xi-xv) Yang diselanggarakan di
Calkuta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahayani dan Musium India
(Ratna, 2011:29). Rekam jejak manusia tidak hanya ditemukan melalui
interaksi secara langsung manusia dalam masyarakatnya saja. Namun juga
dapat ditemukan melalui bentuk karya, seperti karya sastra.
18
Secara tidak langsung karya sastra memproyeksikan bentuk kebudayaan
dengan bahasa sebagai mediumnya. Sesuai dengan hakikat sastra, yaitu
sebagai hasil aktifitas kultural dalam bentuk naskah (artifact), interaksi
sosial (socifact), dan kontemplasi diri (manifact). Jika kita menyimak dua
bentuk antropologi, antropologi fisik dan antropologi kultural, maka
antropologi sastra masuk dalam bentuk antropologi kultural. Adapun bentuk
objektif dari antropologi kultural yaitu karya-karya yang dihasilkan
manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, hukum, adat istiadat, karya seni.
(Ratna, 2011:351).
Pendekatan antropologi sastra penting diterapakan sebagai pembanding
kajian sosiologi sastra dan psikologi sastra. Antropologi sastra juga
berperan sebagai telah pembanding warisan budaya nenek moyang yang
harus diteruskan. Adanya keterkaitan antara karya sastra dengan antropologi
dinyatakan dalam jurnal online Internasional oleh Iser Writes dalam
(Matthews 2010:366).
Iser writes: “Literature is not self-sufficient, so it coulhardly bear its
own origin within itself. What it is, is thresult of its function” In
suggesting this originarperspective, he anticipates a turn to the function of
literaturas a part of what would become an increasingly elaborate
anthropological approach. Simultaneously warning again discovering
anthropological constants in human nature.”
Iser menyatakan bahwa karya sastra tidak berdiri sendiri (not self-suff
icient) sehingga karya sastra tidak mampu menelusuri asalnya tanpa
perannya sendiri. Salah satunya adalah hasil dari fungsi sebuah karya sastra.
Iser juga mengantisipasi adanya kemungkinan bahwa pada gilirannya fungsi
karya sastra sebagai bagian dari sesuatu yang tergabung dalam pendekatan
antropologis. Hal itu sekaligus akan memberikan peringatan terhadap
penemuan antropologi yang konstan dalam sifat alamiah manusia selama
ini. Ratna dan Endraswara yang memandang karya sastra sebagai karya
etnografis yang dipaham dari penggunaan karya sastra.
19
Maka antropologi sastra menempatkan karya sastra sebagai objek untuk
mengupas kebudayaan-kebudayaan yang digambarkan. Suaka (dalam
Endrasaara 2013:22) menyatakan bahwa analisis antropologi sastra
memandang karya sastra dari sisi antropologi. Karya sastra menjadi pokok
kajian dengan mempertimbangkan aspek-aspek antropologisnya.
Alasan yang menimbulkan kedekatan anatara antropologi dan sastra,
yaitu (1) keduanya sama-sama memperlihatkan aspek manusia sebagai
pelakunya; (2) manusia adalah mahkluk yang berbudaya, memiliki daya
cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak
alergi terhadap imajinatif kehidupan manusia yang sering kali lebih indah
dari keadaan aslinya; (4) banyak wacana lisan dan non lisan yang menarik
minat para antropolog dan ahli sastra; (5) banyak interdisiplin yang
mengitari bidang sastra dan budaya, hingga menantang munculnya
antropologi sastra (Endraswara, 2013:5-6). Adapun hasil penelitian yang
dilakuakan oleh Setiawan (2012) tentang Langendriya lakon Damarwulan,
ditemukan ragam kebudayan tentang wujud fisik hasil gagasan budaya oleh
para priyayi. Salah satunya adalah tentang, cara memandang dunia,
poligami, ajaran hidup, mengendalikan hawa nafsu hingga karya sastra
berupa lakon pertunjukan. Dapat disimpulkan, antropologi sastra adalah
analisis yang digunakan untuk membedah karya sastra melalui interaksi
manusia sebagai sumber kebudayan dalam interaksi masyarakat melalui
fakta sastra dan budaya.
c. Langkah-langkah Pendekatan Antropologi Sastra Terhadap Novel
Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto
Penelitian ini menggunakan kajian antropologi sastra guna mengungkap
nilai-nilai budaya dalam novel “Dua Ibu” karya Arswendo Atmowiloto,
yang terwujud dalam tiga hal yaitu. (1) Kompleksitas gagasan, nilai, norma,
dan peraturan budaya; (2) kompleksitas aktivitas; (3) wujud fisik, berupa
karya atau benda. Wujud kebudayaan yang berupa kompleksitas ide
merupakan wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem
tertentu yang disebut sastra budaya.
20
Wujud yang nyata terkait dengan kompleksitas ide dalam masyarakat
sering dikemukakan dan dipaham sebagai adat atau adat istiadat. Wujud
kebudayaan sebagai kompleksitas ide menggambarkan wujud gagasan dari
sebuah kebudayaan. Dan biasanya bersifat abstrak, hanya dapat dipahami
dan diketahui oleh warga kebudayaan lain.
Wujud kompleksitas aktivitas dalam penelitian ini dapat diketahui
melalui tokoh yang terdapat dalam novel Dua Ibu. Koetjaraningrat
menjelaskan bahwa kompleksitas aktivitas ini menggambarkan wujud
tingkah laku manusianya, misalnya berbicara, berjalan, menari, serta
tingkah laku dalam melakukan pekerjaan. Kompleksitas aktivitas dekat
dengan hubungan sosial yang dilakukan dalam masyarakat. Bentuknya
dapat dilihat secara kongkrit melalui foto, film, atau bentuk dokumen lainya.
Wujud kompleksitas hasil budaya adalah kebudayaan yang terkait
dengan benda-benda karya manusia atau sering disebut dengan kebudayaan
fisik. Beberapa sampai sekarang masih terawat dan sebagain sudah tidak
diketahui jejaknya. Dapat diambil contoh bentuk kebudayaan fisik antara
lain adalah Candi Borobudur, seni gamelan, tari, nasakah kuna, sistem
perkawinan dan masih banyak lagi. Dapat dikatakan wujud budaya terkait
dengan kompleksitas hasil budaya bersifat kongkret karena dapat
didokumentasikan melalui foto, film dan sebagainya. Ketiga wujud
kebudayaan tersebut dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lainya.
Terdapat tiga kunci dasar dalam memahami suatu kebudayaan yaitu, ide
(mantefak), sistem sosial (sosiofak), dan wujud fisik (artefak). Tiap bentuk
kebudayaan universal sudah tentu menjelma dalam ketiga hal tesebut di
atas, (Koentjaraningrat, 2009:75).
3. Fagmen Kebudayaan Jawa
Hakikat kebudayaan sampai sekarang masih menjadi perdebatan pelik dan
sengit oleh para ahli. Berbagai usaha pun dilakukan untuk mendapatkan
pemaknaan yang dapat diterima secara universal.
21
Bila kita lihat pemaknaan budaya secara etimologi, kata budaya berasal
dari bahasa sansekerta yaitu buddhaya adalah bentuk jamak dari kata buddhi
yang berarti “budi”. Dalam bahasa Inggris budaya adalah culture, yang berasal
dari bahasa latin yaitu, colare yang berarti “mengolah”. Hal tersebut senada
dengan pendapat Djojodigoena yang menyatakan bahawa budaya sebagai daya
sebagai budi, sedangkan kebudayaan sebagai hasil cipta rasa dan karsa (dalam
Koentjaraningrat, 2009:7). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya
diartikan sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan susah diubah.
Budaya sebagai hasil cipta rasa karsa manusia tentu saja secara langsung
dan tidak langsung mempengaruhi proses kreatif pengarang dalam menciptakan
suatu karya. Dalam novel Dua Ibu mengambil setting kota Surakarta yang erat
dengan budaya Jawa “kejawen”, karena masih dalam lingkup pengaruh
pemerintahan Kraton Kasuananan. Hal tersebut terlihat dari bahasa khas yang
digunakan, nama-nama daerah yang disebutkan tokoh, makanan, serta sistem
pernikahan yang digunakan.
Menurut Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 2009:329) daerah kebudayaan
Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Disebutkan dalam
Journal of Marine and Island Cultures, Java island is located in the midst of
Indonesian archipelago which is geographically recognized as the “maritime
continent” and the widest insular region in the world. During the history, Java
has been one of the most important islands not only in the Indonesian
archipelago but also in Southeast Asian region. Pulau Jawa terletak ditengah
Indonesia secara geografis, diakui sebagai kepulauan maritim dan sebagai salah
satu pulau paling luas di dunia.
Dalam sejarah, pulau Jawa adalah salah satu pulau penting, tidak hanya di
Indonesia tetapi juga Asia tenggara (Sulistyono dan Rochmulaningsih
2013:115). Sehubungan dengan hal tersebut daerah yang dahulunya menjadi
pusat kebudayaan Jawa adalah bekas pecahan dari kerajaan Mataram, yaitu
Surakarta dan Yogyakarta.Bagi orang Jawa “budaya” bukanlah suatu konsep
yang samar, melainkan suatu konsep hidup sebagai mahkluk sosial dan itu
disadari benar.
22
Orang Jawa meyakini hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa.
Mengetahui dan memperlihatkan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-
kata yang pantas, serta mempertahankan tatanan yang ada. Dalam budaya Jawa
banyak ditemukan nilai luhur yang masih dapat diadaptasi sebagai bentuk
pertahanan diri menghadapi serangan dari kebudayaan lain. Terlebih lagi
sebagai manusia yang hidup dan berakal sudah menjadi kewajiban diri untuk
mengatahui hakikat asal hidupnya. Pengetahuan semacam itu perlu mendapat
perhatian, sehingga dikemudian hari kekayaan leluhur dapat tetap menyala di
tengah gempuran era globalisasi. Hal ini dapat kita contoh dari perjuangan para
pendahulu kita melalui naskah, buku-buku sejarah serta dokumen lain yang
menegaskan bahwa keluesan, kelenturan, dan kearifan Jawa ternyata tidak
pudar walaupun telah mengalami perubahan oleh bangsa Portugis, Belanda,
Jepang, dan Inggris.
Para pujangga kraton justru mengalami katarsis pada masa-masa tersebut
dan melahirkan mahakarya seperti Serat Centhini, Serat Wirit Hidayat Jati,
Serat Kalatidha, Serat Jathi Barang serta masih banyak lagi yang dikarang oleh
Ronggowarsito beliau adalah seorang pujangga dari Kraton Surakarta yang
karyanya masih dijadikan filsafah hidup sampai sekarang oleh masyarakat
Jawa.
4. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter
a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter
Istilah nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai merupakan sesuatu yang
dianggap baik, mempunyai manfaat, menurut keyakinan seseorang atau
kelompok yang meyakininya. Nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal tersebut disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan
dapat menjadikan orang yang meyakininya menjadi bermartabat (Adisusilo
2013:59). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nilai diartikan sebagai
sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang
menyempurnakan manusia sebagai hakikatnya.
23
Dalam nilai terdapat pembekuan tentang hal yang dianggap baik dan
kurang baik terhadap pengaturan perilaku. Melalui pemahaman tentang nilai
menjadi landasan dalam mengambil keputusan dan pedoman untuk berfikir
dengan kualitas yang lebih baik. Walaupun nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat sangatlah banyak dan beragam. Mempelajari nilai bisa
didapatkan melalui berbagai hal, salah satunya adalah melalui karya sastra.
Sudah dijelaskan dalam hakikat karya sastra, fungsi karya sastra sebagai
media pembelajaran bukan sekedar hisapan jempol belaka. Tidak salah
rasanya jika ada pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra
mengandung nilai-nilai pendidikan.
Salah satunya adalah Waluyo dan Wardani, yang menegaskan bahwa
nilai sastra adalah kebaikan dalam makna karya sastra bagi kehidupan yaitu
makna medial (menjadi Sasaran), makna final yang dicari seseorang,
(2009:37). Nilai kebudayaan, nilai pendidikan, serta nilai moral yang
terdapat dalam novel Dua Ibu mengandung nilai-nilai pendidikan yang
layak untuk dikaji, sebagai sarana pendidikan karakter. Pendidikan karakter
terdiri dari dua kata yaitu “Pendidikan” dan “Karakter”. Adisusilo
(2010:30) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu system yang
berupaya menanamkan karakter kepada warga sekolah yang meliputi,
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk
melakukan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama, dan lingkungan.
Dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional
dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahawa pendidikan adalah usaha sadar
dan tersencana untuk mewujudkan proses pembelajaran, agar anak didik
secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki
kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan diri yang diperlukan dirinya, masyarakat, serta
negara.
24
Pendidikan karakter diberikanya tempat dari kebebasan individu dalam
menghayati nilai-nili yang dianggap baik, luhur, dan layak untuk
diperjuangkan sebagai pedoman dalam kehidupan bertingkah laku bagi
kehidupan pribadi berhadapan dengan dirinya, sesama, dan Tuhan.
Pendapat tersebut dipertegas oleh Saptono (2011:23) dalam pendidikan
karakter terdapat tiga komponen yang ditekan untuk mengembangkan
karakter yang baik (components of goog character), yaitu pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan mengenai moral (moral felling),
moral tindakan atau perbuatan (moral action).
Keunikan dari pendidikan yang ditawarkan dalam karya sastra, tidak
akan terlepas dari karya itu sendiri, serta menawarkan pengalaman yang
tidak diberikan oleh media lain. Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk menanamkan
nilai yang dianggap baik secara objektif oleh mayarakat dan diri sendiri,
kepada yang didik dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang baik
dalam menjalankan kehidupan.
b. Komponen-komponen Nilai Pendidikan Karakter
Disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer dan Winarno Surkhmad
(dalam Listyarti 2012:3) bahwa, karakter asli bangsa Indonesia adalah
feodal, narimo, penakut, koruptif, dan tak logis. Contoh yang paling
sederhana adalah saat sedang berlalu-lintas, di mana karakter seorang
pengendara sudah banyak yang tidak taat pada peraturan lalu-lintas, tetapi
juga sudah sirnanya toleransi dan sopan santun antara pengguna jalan. Lebih
kongkrit lagi mungkin suara kenalpot yang dirubah menjadi lebih keras
sehingga memunculkan suara bising antara pengguna jalan lain, atau suara
klakson yang sudah berganti peran yang fungsinya sebagai alat tanda
peringatan sekarang malah menajadi alat pemaksa pengguna jalan lain
untuk menyingkir.
25
Melihat pendapat lain,menurut Sumani dan Haryanto (2012:33) nilai
pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara serat akan nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu ing ngarsa sung tuladha (jika di depan
memberikan teladan), memberikan nilai tentang keteladanan serta
pembimbingan. Ing mdadya mangun karsa, yang mengandung nilai jika di
tengah memberikan gagasan, atau mengajarkan kreativitas. Tut wuri
handayani mengandung nilai bagi yang berada di belakang menjaga
sehingga tujuan tetap tercapai,mengajarkan tentang memantau, merawat,
menjaga, memberikan penilaian serta saran namun juga memberikan
kebebasan bernalar.
Berdasarkan pondasi di atas Sumani dan Haryanto memperdalam lagi
pemaknaan tentang kedudukan karakter dalam pendidikan nasional
berdasarkan ajaran Ki Hajar Dewantara, yaitu; (1) Dengan ilmu kita
mendapatkan keberhasilan hidup “lawan sastra ngesti mulya”; (2)
Memerlukan kesucian bantin, kejernihan pikiran, cita-cita yang luhur, dan
ketertiban luhur untuk mencapai cita-cita mulya yang berupa kemajuan
seluruh nusa, bangsa, dan seluruh rakyat Indonesia “Suci tata negara
tunggal”; (3) Melakukan tugas pembangunan dan pendidikan untuk bangsa
harus mempunyai keteguhan hati “tetep-mantep-antep”; (4) Memeprcayai
dan meyakini pada kekuatan dan takdir Tuhan serta kemampuan diri sendiri,
berani menghadapi rintangan, kokoh dan tawakal akan segala hal yang
dikehendaki Tuhan, dan muat lahir batin dalam berjuang mencapai cita-cita
kebangsaan “ngandel, kendel, bandel, kendel”; (5) Tentram lahir batin
“neng-meneng”, bersih pikiran “ning-bening”, teguh dalam mencapai cita-
cita “nung-henung”; sehingga memiliki hasil jeripayah yang baik nantinya
“nang-wenang”. Dalam Kamendiknas (2010: 9-8) menjabarkan nilai-nilai
pendidikan karakter bangsa menjadi delapan belas poin, berikut ringkasan,
nilai-nilai pendidikan karakter tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
26
Tabel 1 Nilai dan Diskripsi Nilai Pendidikan Karakter
Pusat Kurikulum (2010: 9-10)
No Nilai Deskripsi
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
4. Disipil Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin
Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
10. Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
27
11. Cinta Tanah
Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsa.
12. Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar
Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli
Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung
Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
c. Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sastra
Sastra dapat merefleksikan baik dalam bentuk praktik maupun mental
dapat dijabarkan dalam keadaan serupa dalam hidupnya. Daya imajinasi dan
pembentukan karakter manusia memiliki keterkaitan yang kuat. Imajinasi
dapat dijadikan saran kebaikan bentuk kreatif untuk menjadikan sesok yang
memiliki karakter yang kuat. bahawa pendidikan karakter menekankan
penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik.
28
Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan
sebagai refleksi untuk mengatasi permasalahan kehidupan. Ketika membaca
karya sastra dapat memperkaya pengalaman siswa sehingga lebih peka
terhadap hubungan dengan diri sendiri, sesama, dan lingkunganya.Menurut
pendapat Jamaluddin (2003:81) hakikat pembelajaran sastra berorientasi
pada pengembangan kemampuan intuitif dan emosional peserta dalam
upaya memahami pesan-pesan yang terkandung di dalam karya sastra.
Kemudian tahap selanjutnya adalah memahami sastra secara komperhensip
atau menyeluruh, diperlukan kemampuan intelektual sebagai sarana
penunjangnya. Sehingga akan tumbuh pemahaman terhadap semua ragam
sastra dari peserta didik.
Ketika mempelajari karya sastra maka kemampuan afektif yang
berurusan dengan rasa, nurani, serta nilai-nilai akan terasah. Sejatinya
pembelajaran sastra dapat membantu mengembangkan pendidikan dalam
empat manfaat yaitu: membantu ketarampilan berbahasa, meningkatkan
kemapuan berbudaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang
pembentukan watak (Rahmato, 1998;16). Karya sastra yang dijadikan
sebagai bahan ajar haruslah mengandung pesan yang yang akan disajikan
dalam proses pembelajaran. Pengajaran sastra tentu tidak akan terlepas dari
pengaruh pengajar sebagai pemeran utama proses pendidikan, sehingga
harus memahami unsur ganda yang terdapat dalam karya sastra yaitu, unsur
sastra sebagai bahasa dan perananya sebagai refleksi pengalaman.
5. Hakikat Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas
a. Pengertian Materi Pembelajaran
Dalam kegiatan pembelajaran, pendidik memerlukan materi ajar
pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang sudah ditujukan. Materi
pembelajaran merupakan induk kegiatan pembelajaran, sehingga
memerlukan pertimbangan yang matang untuk menentukanya.
29
Abidin (2012:33) menegasakan bahwa secara garis besar materi ajar
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari
siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi. Jadi pemilihan materi
yang tepat berpengaruh terhadap tercapainya kompetensi yang ditujukan
untuk siswa. Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011:219), ada
beberapa pokok bahasan yang harus diperhatikan dalam menetapkan materi
pelajaran, yaitu: (a) materi pelajaran harus sesuai dengan kurikulum
sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional; (b) materi
pelajaran harus sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan peserta
didik pada umumnya; (c) materi pelajaran terorganisasi secara sistematik
dan berkesinambungan; (d) materi pelajaran hendaknya mencakup hal-hal
yang bersifat faktual dan konseptual. Materi atau bahan pengajaran
ditetapkan dengan merujuk pada tujuan-tujuan instruksional.
Adapun prinsip-prinsip yang harus diketahui oleh pendidik dalam
memilih bahan ajar sehingga sesuai dengan kondisi peserta didik, maka
tujuan kopetensi pembelajaran dapat tercapai. Suprahatiningrum (2013:24)
menjelaskan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:
(1) Relevansi, maksutnya adalah ketercapain meteri pembelajaran
hendaknya sesuai dengan standar kompetensi yang sudah ditentukan; (2)
Konsisten, artinya materi pemebelajaran yang diajarkan kepada siswa harus
berkesinambungan sesuai dengan kompetensi dasar; (3) Adquacy, artinya
kecakupan materi pembelajaran yang diajarakan hendaknya cukup dalam
hal kedalaman dan keluwesanya sesuai dengan kompetensi dasar yang
diharapkan.Tentunya materi yang tepat dapat membantu peserta didik
mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan. Secara sistematis
materi pembelajaran digunakan untuk membantu siswa memahami
kompetensi dasar secara maksimal. Materi pembelajaran hanya sebagai alat
saja untuk mencapai tujuan. Peran guru sebagai pendidik dan pengajar tentu
yang utama dalam menyampikan kedalaman materi pembelajaran, sehingga
peran kreatif, luwes, dan berwawasan luas berperan penting dalam proses
ini.
30
b. Tujuan Pemebelajaran Sastra
Pemebelajaran sastra sudah diimplementasikan dalam jenjang
pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Dalam
mempelajari sastra tentunya tidak akan terlepas dari peran bahasa, hal ini
dikarenakan bahasa sebagai media pembangun sastra. Namun
pemebalajaran bahasa tidak dapat disamakan dengan pembelajaran sastra.
Untuk memahami tujuan pembelajaran sastra marilah terlebih dahulu kita
uraikan pengetian pemeblajaran sastra menurut bebrapa ahli.
Moody dalam bukunya The Teaching of Literature (dalam Ardianto
2007:60) menyebutkan tujuan pembelajaran sastra merupakan rumusan
tujuan yang “khas sastra”. Moody juga menegaskan bahawa pembelajaran
sastra meliputi kawasan afektif dan kognitif, yaitu:
1) Informasi, agar siswa mengetahui tentang informasi apa itu sastra, jenis
karya sastra, unsur yang membangunya, biografi pengarang, dan
sebagainya. Dapat ditarik kesimpulan yang diajarakan disini bersifat
hafalan.
2) Prespektif, di dalamnya terdapat penghargaan terhadap karya sastra
yang termasuk aspek apresiasi. siswa diajak menafsirkan karya sastra
berdasarkan pendapatnya sendiri, melalui evaluasi berdasarkan latar
belakang masing-masing.
3) Konsep, artinya tentang pengertian-pengertian pokok terhadap suatu hal
yang terdapat dalam karya sastra. Sebagai contoh konsep tentang aliran
nasakah drama, jenis-jenis drama, macam-macam sajak, perbedaan
hikayat dengan novel, dan sebagainya. Dalam hal konsep tidak hanya
berhenti pada konsep saja, tetapi juga dapat menerapkan konsep tertentu
dalam pembelajaran sastra.
4) Apresiasi, penghayatan, pemahaman, penghargaan terhadap karya
sastra, hal ini di masukan kedalam kawasan afektif tentang bagaimana
siswa berempati terhadap karya sastra.
31
Menurut pendapat Wibowo (2013: 134) salah satu tujuan pokok dari
pembelajaran sastra adalah menumbuhkan nalar distingtif, agar siswa dapat
mencerna bahwa kebajikan berbeda diametral dengan kejahatan. Melalui
nalar distingtif, pendidikan karakter membentuk kesadaran dikalangan anak
bahwa kebajikan dan kejahatan tidak muncul dari ruang vakum atau kosong,
tapi merupakan akibat logis dari berbagai sebab. Ada dua pembagian tujuan
pembelajaran sastra, yaitu.
(1) tujuan pembelajaran sastra untuk ilmu sastra, orientasinya pada teori
sastra, sejarah sastra, sosiologi sastra, dan kritik sastra;(2) tujuan
pembelajran sastra untuk pendidikan, yang dimaksut adalah mengantarkan
peserta didik untuk memahami dunia fisik dan dunia sosialnya. Serta untuk
menghayati dan mengapresiasi nilai-nilai dengan hubunganya sebagai
manusia ciptaan Tuhan. Berdasarkan pendapat yang telah disebutkan di atas
penting mengetahui tujuan pembelajarn sastra sebelum mengajarkan kepada
peserta didik. Dapat digaris bawah bahwa peranan sastra dapat berpengaruh
besar pada perkembangn afektif dan kognitif perseta didik. Hal tersebut
tentu perlu diimbangi dengan kreativitas serta keuletan mengajar secra
berkesinambungan.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah suatu
proses mengenalkan, menghayati, menafsirkan, serta mengapresiasi sebagai
sesuatu yang bernilai dan berguna untuk kehidupan.
c. Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas
Karya sastra kususnya novel dapat dijadikan media pembelajaran
pendidikan karakter di SMA, pemebelajaran karya sastra yang apresiatif
dapat menumbuhkan karakter rasa ingin tahu, kerativitas, kepekaan
terhadap sekitar dan sebagainya. Namuan belakang ini pembelajaran sastra
di sekolah belum berjalan secara optimal. Guru menganggap materi
pembelajaran sastra lebih sulit katimbang dengan materi kebahasaan.
32
Terlebih lagi ketersedian bahan bacaan di perpustakaan sekolah
terkadang belum memadai. Sehingga dirasa siswa dianggap terlajur tidak
menyukai karya sastra, padahal mungkin saja karena keterbatasan sarana
dan prasarana pendukung saja. Merujuk pada Permendiknas Nomor 22
tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) Pembelajaran sastra di SMA merupakan
bagian dari pembelajaran Bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku; (2) menghargai dan
bangga menggunkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan
bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia serta menggunakannya
secara tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan Bahasa
Indonesia untuk meningkatkan intelektual, serta kematangan emosional dan
sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan berbahasa; (6) menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah manusia Indonesia. Dapat dilihat bahawa
pembelajaran karya sastra menjadi komponen penting dalam meningkatkan
ketrampilan peserta didik, serta mendapat ruang tersendiri sebagai
pengentar peoses pembelajaran.
Menurut Gani (1988:15), memberikan kesempatan pada siswa untuk
memperoleh pengetahuan sastra merupakan tujuan utama pembelajaran
sastra, dengan sasaran ahkir mampu mengapresiasi cipta rasa. Dalam hal ini
peserta didik tidak dituntut untuk menjadi sastrawan handal, melainkan
diharapkan dapat memahami pengetahuan dasar tentang karya sastra,
sehingga pengetahuan peserta didik tidak hanya tentang ilmu kebahasaan
saja, tetapi juga ilmu sastra.
Terdapat tiga aspek penting yang tidak dapat ditinggalkan jika ingin
menerapkan model pemebelajaran sastra, yaitu dari sudut pandang bahasa,
latar belakang budaya peserta didik, serta tinjauan psikologis. Penjelasan
tentang ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
33
1) Bahasa
Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan pada
masalah kebahasaan saja, tetapi juga cara penulisan pengarang, ciri-ciri
karya sastra pada waktu penulisan karya sastra tesebut, serta kelompok
pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Penguasaan bahasa
sebenarnya berkembang melalui tahapan-tahapan yang tampak jelas
melalui individu. Sementara perkembangan sastra melalui tahapan-
tahapan yang melewati banyak aspek kebahasaan.
2) Latar Belakang Budaya
Peserta didik lebih mudah memahami pesan karya sastra jika suatu
karya sastra dekat dengan latar belakang kehidupan pembacanya.
Terutama bila tokoh yang berada dalam karya tersebut mempunyai
kemiripan dengan pembaca, atau lingkungan hidupnya. Guru
seharusnya memilih karya sastra yang diminati siswanya sehingga dapat
menyajikan karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar
jangkauan yang dimiliki oleh siswa, karena materi yang baik harus
relevan dengan peserta didiknya.
3) Psikologi
Perkembangan psikologi anak melalui tahap-tahapan yang cukup
jelas dipelajari. Dalam pengejaran sastra perkembangan psikologi siswa
harusnya perlu diperhatikan karena berpengaruh besar terhadap minat
siswa dalam mempelajari materi. Antara satu kelas dengan kelas yang
lain tentunya memiliki kecenderungan minat yang berbeda. Oleh sebab
itu karya sastra yang dipilih hendaknya sesuai dengan tahapan psikologi
kelas. Dalam kurikulum 2013 siswa diajak belajar tentang lima
pengalaman belajar pokok yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, mengasosiasi, mengkomunikasikan, mencipta. Pembelajarn
tersebut tertuang secara rinci dalam penjabaran kurikulum 2013
terhadap materi ajar sastra terdapat di kelas XI dan XII, secara ringkas
dapat dilihat pada tabel 2 materi ajar sastra kelas XI.
34
Tabel. 2 Materi Pengajaranar Sastra Kelas XI Sekolah Menengah Atas
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR SMA KELAS XI
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya
1.1 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan
bahasa Indonesia dan menggunakannnya sesuai
dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan
bangsa
1.2 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan
bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai
sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan,
dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui
teks
cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi
kompleks, dan film/drama
1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan
bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai
sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan
menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks
cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi
kompleks, dan film/drama
2. Menghayati dan
mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung
Jawab, peduli (gotong
royong, kerjasama,
toleran, damai), santun,
responsif dan proaktif
dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari solusi
atas berbagai
permasalahan dalam
2.1 Menunjukkan perilaku tanggung Jawab,
responsif dan imajinatif dalam menggunakan
bahasa Indonesia untuk mengekspresikan impian,
misteri, imajinasi, serta permasalahan remaja dan
sosial
2.2 Menunjukkan perilaku tanggung Jawab, peduli,
dan proaktif dalam menggunakan bahasa Indonesia
untuk memahami dan menyampaikan permasalahan
sosial, lingkungan, ideologis, dan kebijakan publik
2.3 Menunjukkan perilaku jujur, tanggung Jawab,
dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia
35
berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan
sosial dan alam serta
dalam menempatkan diri
sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia
untuk menceritakan kembali kecelakaan lalu lintas,
narkoba, dan kriminal (terorisme)
2.4 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, peduli,
dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia
untuk memaparkan kebijakan lingkungan dan
perdagangan bebas
2.5 Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan
tanggung Jawab dalam penggunaan bahasa
Indonesia untuk menjelaskan film/drama, humor,
dan laga
3. Memahami,
menerapkan, dan
Menganalisis
pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural,
dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan
humaniora dengan
wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan
kejadian, serta
menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang
kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat dan
3.1 Memahami struktur dan kaidah teks cerita
pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks,
dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan
3.2 Membandingkan teks cerita pendek, pantun,
cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama
baik melalui lisan maupun tulisan
3.3 Menganalisis teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik
melalui lisan maupun tulisan
3.4 Mengevaluasi teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama
berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan
maupun tulisan
36
minatnya untuk
memecahkan masalah
4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam ranah
konkret dan ranah
abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang
dipelajarinya di sekolah
secara mandiri, bertindak
secara efektif dan kreatif,
serta mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah keilmuan
4.1 Menginterpretasi makna teks cerita pendek,
pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan
film/drama baik secara lisan maupun tulisan
4.2 Memproduksi teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama yang
koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan
dibuat baik secara lisan mupun tulisan
4.3 Menyunting teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama sesuai
dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan
maupun tulisan
4.4 Mengabstraksi teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik
secara lisan maupun tulisan
4.5 Mengonversi teks cerita pendek, pantun, cerita
ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama ke
dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan
kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan
Berdasarkan tabel di atas teks sastra yang menjadi kajian dalam K13
adalah (1) teks cerita pendek, (2) pantun, (3) cerita ulang, dan (4) drama.
Novel dan puisi tidak menjadi kajian, kecuali pantun yang termasuk
puisi lama. Sebaiknya pertimbangan penentuan materi kajian ini
dimunculkan dalam naskah akademik agar menjadi jelas dasar
pijakannya. Kondisi itu harus menjadi bagian dari tantangan. Peluang
sekecil apa pun yang terdapat pada K13 harus diperjuangkan dengan
menyusun pembelajaran sebaik-baiknya. Kita berharap para guru serius
mendalami sastra yang memang memerlukan perhatian guru sebagai
pengajar dan penafsir teks sastra pada saat pelaksanaan pembelajaran.
37
Guru, harus mencintai sastra dengan memperlihatkannya kepada
para siswa. Penularan kecintaan tidak dapat hanya lewat kata, tetapi
perilaku yang lebih mengena. Jika siswa tahu bahwa gurunya senang
membaca sastra melalui ungkapan-ungkapan yang “nyastra”, secara
positif akan mempengaruhi siswa mencari tahu sendiri, lalu
menirukannya karena bisa dilihat, dan bisa disaksikan.
B. Kerangka Berpikir
Untuk mempermudah suatu penelitian perlu dibuat kerangka pikir atau
konsep dengan tujuan membuat arah penelitian menjadi jelas. Kebudayaan
tidak lepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol inilah yang menjadi ciri khas
atau yang memperkaya kehidupan masyarakat terutama di dunia pendidikan.
Sastra merupakan produk budaya yang bermediumkan bahasa berisi cerminan
masyarakat dan nilai-nilai kehidupan.
Karya sastra perlu dibedah untuk lebih sedarhana diambil nilai-nilainya.
Sehingga berguna tidak hanya untuk pembaca namun siapa pun yang
membutuhkanya. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, novel tentunya
memiliki banyak nilai-nilai moral, potret sosial, bahkan suatu kebudayaan dari
masyarakat penciptanya. Penelitian ini berfokus dalam meneliti novel sebagai
salah satu genre sastra yang terlahir dari lingkungan hidup sastrawan. Sebagai
seorang yang selalu mengalami perkembangan dalam lingkungan sosialnya,
tentu novel ini lahir dari segala kegelisahannya akan cara pandangnya tentang
hidup bersama.
Cerita dalam sastra seperti novel tidak hanya gambaran imajinatif
pengarang saja namun juga merupakan cerminan atau pandangan pengarang
terhadap keadaan masyarakat yang sebenarnya. Pandangan tersebut dapat
berupa nilai-nilai kehidupan dan pesan moral yang ingin pengarang sampaikan
pada pembaca. penelitian ini akan mengambil novel sebagai salah sastu ganre
sastra untuk dijadikan objek penelitian. Kajian penelitian ini berfokus pada
antropologi sastra, pendidikan karakter serta relevansinya sebagai pemeblajaran
sastra di Sekolah Menengah Atas.
38
Penerapan penelitian karya sastra berpusat pada unsur intrinsik objek yang
mendominasi seperti tema, tokoh, dan setting dalam novel Dua Ibu. Penelitian
ini di arahkan pada kajian unsur-unsur budaya dalam novel. Secara konkret
penelitian antropologi sastra difokuskan untuk menemukan aspek kebudayaan
Jawa yang berupa sistem kepercayaan, sistem religi, sistem mata pencarian,
sistem kesenian, serta hasil budaya. Selain itu peneliti juga mencari nilai-nilai
pendidikan karakter yang telah terungkap dalam delapan belas aspek oleh dinas
pendidikan, kemudian mengaitkan dengan materi pembelajaran sastra di SMA
sesuai dengan kurikulum 2013 tentang pembelajaran sastra di SMA. Berikut
adalah bagan kerangka berfikir penelitian yang digambarkan secara ringkas
dalam tabel 2.3 sebagai berikut :
Gambar .1 Bagan Kerangka Berpikir
Novel Dua Ibu
Karya Arswendo
Atmowiloto
Antropologi Sastra Nilai Pendidikan Karakter Struktur Novel
Tema, Tokoh, Setting,
dll
1. Kompleksitas Ide
2. Kompleksitas Tokoh
3. Kompleksitas Hasil Budaya
1. Religius 2. Kerja Keras
3. Kreatif
4. Dll
SIMPULAN
Relevansi Novel dengan Materi Pembelajaran Sastra di SMA
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Proses Kreatif Arswendo Atmowiloto
Arswendo merupakan penulis yang sudah makan banyak asam garam.
Sejak muda, beliau telah melakukan banyak pekerjaan kasar sehingga penulis
ini lebih banyak mengangkat cerita masyarakat pinggiran. Kisah yang hampir
sama juga muncul dalam novel Dua Ibu. Pengarang menggambarkan
perjuangan mempertahankan hidup secara komunikatif, mengalir apa adanya.
Cara menulis pengarang membuat pembaca tidak bisa berhenti membaca.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26 November 1946. Ia mulai
menulis dalam bahasa Jawa. Sampai kini karyanya yang sudah diterbitkan
sudah puluhan judul. Ia sudah belasan kali juga memenangkan sayembara
penulisan, memenangkan setidaknya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan
mendapat penghargaan baik tingkat nasional maupun ASEAN. Pernah
mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Iowa City, USA.
Dalam karier jurnalistik, ia pernah memimpin tabloit Monitor, sebelum
terpaksa menghuni penjara (1990) selama lima tahun.
Pengalamannya dipenjara telah melahirkan sejumlah buku-buku rohani,
sejumlah novel, dan catatan lucu Mengitung Hari, judul tersebut telah
disinetronkan dan mendapat penghargaan pertama dalam Festival Sinetron
Indonesia, 1995. Disusul dengan karyanya yang berjudul Vonis Kepagian
yang juga disinetronkan juga mendapat penghargaan serupa. Setelah
bergabung dengan rumah produksi PT Atmocademas Persada, melahirkan
sinetron yang sempat mempengaruhi pertelevisian Indonesia yaitu Keluarga
Cemara. Pada tahun 2000 mendapat penghargaan dalam Panaconic Awards,
sebagai acara anak terfavorit.
40
Arswendo menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang
Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil
menghidupkan tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ
karena ia kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo
Sangotrah, yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak
Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih
aktif menulis ia juga memiliki sebuah rumah produksi sinetron.
2. Kedudukan Arswendo Atmowiloto dalam Kesusastraan Indonesia
Arswendo yang bernama asli Sarwendo, menganut agama kristen.
Setelah lulus sekolah menengah atas beliau melanjutkan di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Surakarta, namun tidak tamat.
Mulai terjun di dunia kepenulisan pada tahun 1971, cerpennya pertama kali
dimuat oleh majalah mingguan Bahari yang berjudul “Sleko”. Pernah
memimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, di Solo (1972),
wartawan Kompas dan pemimpin redaksi Hai, Monitor, Senang, Dan tahun
1979 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa
City, Amerika Serikat. Tahun 1972 memenangkan Hadiah Zakse ayas
esaomua "Buyung -Hok dalam kreativitas kompromi.
Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah
Sandiwara DKJ tahun 1972 dan tahun 1973.Tahun 1975 beliau memperoleh
Hadiah Harapan dalam sayembara serupa untuk drama “Sang Pangeran” dan
“Sang Penasehat”. Dua bukunya “Dua Ibu” dan “Mandoblang”, pada tahun
1981 mendapat penghargaan ASEAN Award di Bangkok serta menjadi buku
nasiona terbaik. Karya-karya Arswendo antaralain :Sleko (1971), Ito (1973),
Lawan Jadi Kawan (1973), Bayiku yang Pertama: Sandiwara Komedi dalam
3 Babak (1974), Sang Pangeran (1975), Sang Pemahat (1976), Bayang-
Bayang Baur (1976), 2 x Cinta (1976), The Circus (1977), Semesta Merapi
Merbabu (1977), Surat dengan Sampul Putih (1979), Saat-Saat Kau Berbaring
di Dadaku (1980), Dua Ibu (1981), Saat-Saat (1981), Pelajaran Pertama Calon
Ayah (1981), Serangan Fajar (1982), Airlangga (1985), Anak Ratapan Insan
41
(1985), Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel Kawinnya
Juminten,1985), Pengkhianatan G30S/PKI (1986), Dukun Tanpa Kemenyan
(1986), Akar Asap Neraka (1986), Garem Koki (1986), Canting (1986),
Indonesia from the Air (1986), Telaah tentang Televisi (1986), Lukisan
Setangkai Mawar: 17 Cerita Pendek Pengarang Aksara (1986), Tembang
Tanah Air (1989), Menghitung Hari (1993), Oskep (1994), Abal-abal (1994),
Berserah Itu Indah: Kesaksian Pribadi (1994), Auk (1994), Projo & Brojo
(1994), Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994), Khotbah di
Penjara (1994), Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994), Suksma Sejati
(1994), Surkumur, Mudukur, dan Plekenyun (1995), Kisah Para Ratib (1996),
Darah Nelayan (2001), Dewa Mabuk (2001), Kadir (2001), Keluarga Bahagia
(2001), Keluarga Cemara 1, Keluarga Cemara 2 (2001), Keluarga Cemara 3
(2001), Pesta Jangkrik (2001), Senja yang Paling Tidak Menarik (2001),
Dusun Tantangan (2002), Mencari Ayah Ibu (2002), Mengapa Bibi Tak ke
Dokter (2002), Senopati Pamungkas (1986/2003), dan Fotobiografi
Djoenaedi Joesoef: Senyum, Sederhana, Sukses (2005).
B. Hasil Penelitian
Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dianalisis melalui enam
pendekatan Antropologi sastra. Hasil temuan dalam penelitian ini terbagi dalam
lima bagian yang meliputi: (1) Analisis Struktur Novel Dua Ibu, (2)
Kompleksitas ide, (3) Kompleksitas aktivitas tokoh, (4) Kompleksitas hasil
budaya, (5) Nilai-nilai pendidikan karakter dalam Novel Dua Ibu karya
Arswendo Atmowiloto, dan (6) Relevansi Novel Dua Ibu dengan materi
pembelajaran sastra di SMA. Uraian secara lebih lengkapnya hasil penelitian
akan dipaparkan berikut ini.
42
1. Struktur Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto
Novel Dua Ibu menceritakan pandangan dunia pengarang kehidupan
sederhana yang dijalani para tokoh dengan pendidikan dan tingkat sosial
lemah serta segala macam warna, lika-liku, dan permasalahan kehidupan.
Beragam persoalan hidup ditampilkan dengan berlatar kehidupan pelaku
utama dan orang-orang yang berada di sekitanya. Pengarang menonjolkan
kisah kasih sayang ibu, dengan menyertakan perjuangan hidup, budaya
Jawa, dan keyakinan. Konflik pertama muncul ketika ayah yang seharusnya
menjadi tumpuan keluarga meninggal dunia. Ibu yang kemudian
mengantikan tugas memikul tanggung jawab dalam membesarkan
kesembilan anaknya, walaupun diketahui bahwa anak-anak yang dibesarkan
bukan anak kandungnya.
Namun hal tersebut tidak menurunkan kasih sayang seorang ibu dalam
memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Tugas Ibu semakin berat
mengetahui uang pensiunan dari ayah tidak akan cukup untuk kebutuhan
sehari-hari. Pada akhirnya permasalahan ekonomi yang pelik memaksa ibu
untuk menggadaikan perabot rumah serta barang-barang peninggalan ayah.
Kisah pengorbanan seorang ibu yang dikisahkan melalui sudut pandang
anak-anaknya bercampur dengan kisah perjalanan hidup, pernikahan adat
Jawa, kasih sayang yang mengharukan.
Banyak pendidikan tentang keikhlasan, pandangan masyarakat Jawa
terhadap masalah, pendidikan karakter melalui kebijaksanaan dalam
pandangan Jawa, dapat digunakan sebagai materi pembelajaran bahasa
Indonesia tentang kajian sastra di SMA untuk kelas XI dan XII. Untuk
menganalisis aspek antropologi dalam Novel Dua Ibu karya Arswendo
Atmowiloto diperlukan analisis dari segi unsur intrinsik karya sastra.
Menurut Nurgiyantoro unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri (2009:32). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir, unsur intrinsik yang secara faktual hadir ketika seseorang
membaca karya sastra. Unsur-unsur intrinsik tersebut antaralain adalah
sebagai berikut:
43
a. Tema
Tema merupakan dasar cerita, gagasan umum sebuah cerita. Selain
itu, tema memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-
kejadian yang diceritakan, sekaligus mengisahkan kehidupan dalam
konteks paling umum. Pengarang menjadikan kasih sayang seorang ibu
sebagai inti keseluruhan cerita.
Novel Dua Ibu mengisahkan arti kata seorang “Ibu” bagi anak-
anaknya. Dalam kehidupan ibu yang melahirkan tidak selalu
membesarkan dan merawat anaknya. Kesulitan ekonomi yang dialami
keluarga semenjak ayah mereka meninggal tidak membuat seorang ibu
gentar mengadapi segala masalah yang terjadi, dengan berbagai upaya
satu demi satu masalah yang ada diselesaikan dengan penuh kasih
sayang dan bijaksana. Pengorbanan, kesabaran, kebijaksanaan, kasih
sayang, serta kegigihan yang ditampilakan sosok ibu dalam
membesarkan kesembilan ankanya menjadikan Novel Dua Ibu dekat
dengan kehidupan keluarga sehari-hari. Dinyatakan pula bahwa dalam
kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, sebutan untuk perempuan yang
melahirkan anaknya. Kedua, sebutan untuk perempuan yang merelakan
kebahagianya sendiri untuk anak orang lain, dengan rasa bahagia pula.
Tema pengorbanaan novel ini dapat dilihat melalui pengkisahan yang
dilakukan oleh anak-anaknya maupun melalui surat-surat kiriman
kepada sang ibu.
Ibu melihat semuanya seperti mencatat. Itulah Ibu. Ia tak perlu
makan sedikit pun tapi perlu melihat semuanya kebaikan orang perlu
dicatat, kita tidak boleh melupakan. “Ibu harus makan.” “Sudahlah
dapat saja sudah bersyukur” kata Ibu. (Atmowiloto, 2017. 49)
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa kasih sayang seorang ibu
adil terhadap semua anaknya, sang ibu rela tidak makan asalkan semua
anaknya dapat jatah dari nasi hajatan yang diberikan tetangganya. Dari
kutipan tersebut juga dapat digambarkan keadaan ekonomi yang sulit
tidak menjadi penghalang bagi sang ibu untuk tetap menjadi bijak.
44
Dan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang jangan melupakan
kebaikan orang lain.
Aku tak bisa mengerti. Bagaimana mungkin seluruh isi rumah
dikuras habis, tapi Ibu bilang, “Ibu tak bisa memberikan apa-apa.”
Bagaimana mungkin Ibu memberikan kain batik yang dia sendiri
perlukan. (Atmowiloto, 2017. 11)
Kutipan tersebut menggambarkan peristiwa ketika salah satu anak
(Solemah) dari Ibu sudah menikah dan akan meninggalakan rumah.
Dengan ringan hati Ibu memberikan barang-barang yang nantinya
diperlukan si anak tanpa memikirkan dirinya sendiri. Hal tersebut justru
dirasa masih kurang oleh sang Ibu, dan masih berharap bisa memberikan
yang lebih baik lagi. Solemah adalah anak tertua di rumah tersebut
namun sebelum Solemah bisa mambalas kebaikan Ibu, ia justru harus
yang pertama meninggalkan rumah. Kendati demikian Ibu dengan kasih
sayang melepasakan Solemah dan memberikan barang-barang yang dia
sendiri membutuhkanya.
b. Alur
Alur dalam Novel Dua Ibu ini terdapat alur maju atau dengan kata
lain alurnya progresif, di mana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara
kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, cerita
dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. Menurut Siswanto alur
adalah peristiwa yang direka dan dijalan secara seksama. Pengarang
mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa.
Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan,
kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, puncak
masalah dalam Novel Dua Ibu cenderung rata dalam setiap bab, namun
dengan gaya bercerita yang ringan dan lucu menjadikan pembaca selalu
tertarik mengikuti satu peristiwa ke peristiwa yang lain.
Satu lagi kelebihan Ibu, kalau marah. Dia tak membuat ku kelihatan
salah. Kalau aku belajar merokok dengan daun singkong kering
yang dibalut kertas koran di kebun, Ia langsung menjewar telingaku
tanpa membuat ku merasa berdosa “Jangan ulangi.” Itu saja, hanya
Ibu yang bisa membuat ku merasa begitu. Waktu Solemah, kakak
45
yang sulung ditaksir seorang parjurit Angkatan Laut. Ibu
merencanakan sebuah pernikahan, pesta yang dahsyat dan dengan
tepat menggambarkan kehebatan ibu sebagai administrator,
organisator dan tukang sulap sekaligus. Mengatur seribu tetamu,
menyiapkan peniti, kemenyan, undangan, dan pesta hingga selesai.
Tukang sulap yang lihai kerena apa yang menjadi isi rumah lenyap
sebulan setelah pesta usai. Tapi Ibu tersenyum. (Atmowiloto, 2017.
10)
Pada paragraf awal Mamid menceritakan sosok seorang ibu menurut
pandanganya, ibu yang dimilikinya berbeda dengan ibu-ibu lain. Mamid
bingung dengan tindakan yang dilakukan sang Ibu yang tidak pernah
memikirkan kepentinganya sendiri dan malah mendahulukan anak-
anakya, sementara bila dilihat dari hubungan darah mereka hanya anak
yang dititipkan. Terlepas dari hal tersebut Mamid sangat sayang dan
menghormati sosok ibu yang telah membesarkanya dibandingkan
dengan ibu kandungnya sendiri.
Rencananya, semua barang peninggalan Ayah akan
dipertahankan. Meja tulis kesayanganya, sepeda, pakaian, yang
ternyata banyak sekali, topi tropical, sepatu. Tapi semua terjual
sempurna, tanpa sisa. Termasuk asbak gambar singa, kesayangan
Ayah. Kukira memang semua barang disayang. Dirawat dengan
teliti.
Semua dijual untuk membiayai khitanan ku. Ibu pintar melakukan
itu (Atmowiloto, 2017. 30)
Masalah pertama muncul ketika sang ayah meninggal, dengan
demikian keuangan keluarga menjadi tidak stabil seperti sebelumnya.
Ditambah dengan kebutuhan hidup membesarkan sembilan orang anak.
Sang Ibu yang tidak bekerja terpaksa menjual barang-barang
peninggalan ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melihat tuntutan
secara sistem adat apabila menikahkan seorang anak harus menggelar
prosesi adat yang memerlukan biaya lebih, begitu juga dengan
menyutankan harus dengan upacara sesuai adat yang telah ditentukan,
juga biaya sekolah kesembilan anaknya yang juga harus dibebankan
kepadanya membuat Ibu harus berhutang karena tidak ada lagi yang bisa
dijual.
46
Masalah ekonomi yang menjerat keluarga diperparah lagi dengan
pandangan masyarakat yang akhirnya melabel kelurga ibu sebagai
keluarga yang tidak tahu malu karena sering berhutang. Ibu yang
dulunya dikenal sebagai salah satu tokoh di desa bila ada hajatan besar
selalu dimintai tolong, sekarang cenderung dilupakan dan tidak
diharapkan lagi.
Permasalahan mulai mereda ketika satu persatu anak-anak ibu
dengan berat hati meningalkan Ibu memulai kehidupan baru. Mamid
salah seorang anak Ibu mumutuskan ikut dengan ibu kandungnya di
Jakarta karena bujukan dari Jamil. Mamid sebelumnya selalu menolak
dan sempat melarikan diri karena dipaksa tinggal oleh ibu kandungnya.
Lalu Ratsih dengan bantuan Solemah kakaknya, akhirnya ikut diboyong
oleh suaminya yang seorang sersan tentara ke Surabaya. Jamil yang
bercita-cita menjadi seorang petinju nekat merantau menumpang truk
sampai pelabuhan Tanjung Perak, lalu menyebrang ke Singapura
berpetualangan mencari uang. Dengan bermodalkan keberuntungan dan
uang seadanya dia akhirnya dipertemu dengan ayah kandungnya. Herit
anak Ibu yang paling keras kepala, ikut menumpang kakaknya Ratsih di
Surabaya di sana tertarik mengikuti rombongan pemain ludruk dan
akhirnya menjadi penjaga warung pedagang yang mengikuti rombongan
ludruk.
Murjanah pada akhir cerita dikisahkan bekerja sebagai pedagang
dan dapat membantu pengobatan Ibu disaat sakitnya tidak tertahankan.
Ketegangan dan masalah dalam novel dibuat datar dari satu bab ke bab
yang lain. Ketegangan atau klimaks yang terlihat jelas fokus masalah
yang dihadapi dalam cerita Dua Ibu berputar tentang masalah ekonomi,
pendidikan, keluraga menengah bawah. Ibu yang selalu mengajarkan
anakya survive dari maasalah-masalah yang ada, menanamkan nilai-
nilai kehidupan yang nantinya berguna untuk si anak mengarungi
kehidupan barunya.
47
c. Sudut Pandang
Sudut pandang sering dikaitkan dengan cara bercerita pengarang
dalam menjelaskan berbagai peristiwa. Nurgiyantoro menjelaskan
bahwa sudut pandang adalah strategi, teknik, siasat yang sengaja
dijadikan pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Sudut
pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Novel Dua Ibu, sudut pandang yang digunakan adalah sudut
pandang campuran yaitu sudut, pandang orang pertama yaitu “Aku”,
Author participant yaitu pengarang turut serta mengambil bagian dalam
cerita. Dan juga pengarang juga menggunakan sudut pandang orang ke-
tiga, yaitu pengarang bertindak sebagai orang yang serba tahu.
Berikut kutipan yang menyatakan hal yang menjelaskan sudut
pandang orang pertama:
Hari itu masih pagi sekali. Aku sudah bangun. “ tidur lagi, masih
terlalu pagi.
” Katanya lirih.
“Jam berapa?”. Ibu menggerakkan bahu.
“Masih pagi.”.
“Ibu tidak tidur ?”.
“Ya”.
“Sejak Kemarin”.
“Ya, tidur lagi.”. Pasti sejak dua tiga hari ini Ibu tidak tidur.
(Atmowiloto, 2017. 23)
Sudut Pandang orang ketiga, pengarang sebagai orang yang serba
tahu, menceritakan peristiwa yang terjadi:
Jamil masih sempat melihat kereta api hitam sebelum menyelinap
ke bahwah terpal truk. Kali ini petualangan yang lebih panjang,
pikirnya bangga. Bukan sekali jalan dan pulang pada hari yang
sama. Jamil menyelinap diantara kandang babi. Di antara tumpukan
dan deretan kandang babi yang dibuat dengan bambu secara kasar,
masih tersisa untuk satu badan. Asal masuknya seperti rokok
kedalam mulut. Harus hati-hati karena mungkin potongan bambu
48
yang kasar menyayat kulit, menyobek tajam seperti silet.
(Atmowiloto, 2017. 155)
d. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pemegang peran dalam novel atau drama
sedangkan penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Masalah
penokohan dalam sebuah karya fiksi merupakan hal yang penting karena
tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang
diceritakan.
Waluyo (2002:165) menyatakan penokohan merupakan cara
pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh,
hubungan tokoh dengan cerita yang lain, dan watak tokoh-tokoh itu.
Dengan penggambaran watak pada pelaku maka cerita tersebut
memunculkan;
(a) tokoh protagonis dan tokoh Antagonis, (b) tokoh utama dan tokoh
tambahan, (c) tokoh datar dan tokoh Bulat.
1) Ibu (Ibu Martono)
Tokoh ibu dideskripsikan sebagai seorang yang gigih untuk
menghidupi anak-anaknya yaitu Solemah, Mujanah, Adam, Ratsih,
Jamil, Herit, Mamid, Priyadi dan Prihatin. Sosok seorang ibu,
digambarkan dengan begitu tangguh. Menghidupi, membesarkan
sembilan anak yang sebenarnya bukan anak kandungnya semua.
Harus memasak, bekerja keras menjadi buruh masak, serta
sampai menjual brang-barang yang peninggalan suaminya, sampai
bagaimana membagi uang yang begitu minim dari pensiunan
almarhum suaminya. Karakter ibu masuk dalam tokoh protagonis
karena karakter yang dimiliki oleh sosok Ibu dalam cerita
merupakan tokoh yang kita kagumi atau yang populer dengan
sebutan “hero”.
Waktu itu Ibu seminggu-paling tidak lima hari tidak makan
apapun juga. Ini luar biasa bukan karena Ibu tahan melakukan
itu. Bukan hanya itu. Ini luar biasa. Karena ibu adalah koki, yang
49
barangkali, paling hebat. Reputasi ini bukan aku yang
menyebutkan. Pengakuan ini datang dari lingkungan.
(Atmowiloto, 2017. 32)
“Tidak Mungkin, Sih. Dia mengenal Ibu. Dulu waktu dia ada
keperluan, Ibu yang memasak disana. Tiga hari tiga malam. Kita
ditinggal. Ingat ?” (Atmowiloto, 2017. 56).
Tokoh Ibu juga digambarkan adalah seseorang yang pandai dan
pintar bercerita tentang sejarah tetapi juga sabar dan pemaaf.
Mengajarkan bagaimana hidup dalam kekurangan tetapi menyikapi
segala hal dengan bijaksana penuh dengan sifat “narimo”. Sifat
tersebut secara tidak sadar masuk dalam ingatan si anak yang kelak
digunakan sebagai bekal hidup pada masa mendatang.
“Ibu bisa bercerita dengan fasih sampai ke Raden Fatah, Raja
Demak yang pertama. Ayah suka tertawa kalau Ibu bercerita.
Dan biasanya Ibu berhenti kalau Ayah tertawa. Kukira Ayah
jahat, kukira diriku turunan raja Demak.” (Atmowiloto, 2017.
27)
Tokoh Ibu memiliki hubungan pada setiap tokoh yang
diceritakan. Ibu menjadi pusat tempat berkumpulnya anak-anak.
Sebagai tokoh yang saling terkait dengan tiap tokoh lain,
penggambaran tabiat dan perjuangan ibu pun digambarkan oleh
tokoh-tokoh pembantu tersebut.
2) Ayah (Pak Martono)
Pada novel ini sosok ayah digambarakan sebagai orang yang
memiliki watak teliti, pintar, suka membantu, dan ramah. Sosok
ayah tidak banyak diceritakan, hanya satu bab saja yang benar-benar
mewakili bagimana gambaran secara besar sosok sang ayah tersebut.
Diketahui bahwa Ayah bekerja sebagai abdi Kraton Kasunanan
dengan gaji rendah. Ayah memilih menjadi abdi Kraton daripada
bekerja pada Belanda, walaupun gajinya lebih besar.
Dengan ijazah AMS. Ayah tidak bisa bekerja menjadi pamong
praja yang baik, tetapi ayah tidak mau bekerja sama dengan
Belanda. Lebih suka bekerja sebagai abdi dalem di Keraton
50
Kasunanan. Gajinya sangat kecil. Kata orang Ayah suka jadi
Priyayi. (Atmowiloto, 2017. 26)
Sosok ayah juga memiliki sifat sabar, dan penuh pertimbangan
dalam segala hal, pengarang juga menggambarkan sosok ayah
sebagai seorang yang periang dan suka bercanda terhadap
keluarganya. Namun juga memiliki sifat keras dan disiplin terhadap
gagasan yang sudah diputuskanya.
Walupun tertidur sampai mendengkur, Ayah cepat sekali sadar
kalau bagian bahwah bantal disentuh. Padahal memang disitulah
ayah menyimpan duit. Aku tidak pernah berhasil mencuri, ayah
selalu berhasil menelanjangi. “Saya tidak mau mencuri. Saya
mau melihat apakah bantalnya ada kepindingnya.”, “Benar.”,
“Tentu benar.”, “Nah, kalau begitu coba sekarang cari. Juga di
kasur. Kalau perlu dibawa keluar sana.”. itulah Ayah, jadinya
bukanya dapat duwit malah dapat kepinding. (Atmowiloto,
2017.26)
3) Solemah
Solemah adalah anak sulung dan yang paling dulu meninggalkan
rumah karena ikut suami sebagai seorang tentara Angkatan Laut di
Surabaya. Mempunyai dua orang anak dan sering mengirimi surat
kepada Ibu. Solemah sering berbagi cerita tentang keluh kesah
bagaimana menjadi seorang istri tentara yang sering ditinggal
bertugas. Solemah digambarkan memiliki sifat yang sederhana,
sabar, menerima apa adanya, setia, dan berbakti kepada orang tua.
Hal tersebut dapat dilihat dari surat-surat Solemah yang sering
mendoakan serta memberikan sedikit kiriman uang atau barang
kepada keluarga yang ditinggalkanya.
Mas Jon dapat tugas berlayar ke Irian Barat. Jadi, kemungkinan
saya sekeluarga tidak bisa datang. Rasanya sudah kangen sekali.
Apalagi sekarang Toni sudah bisa menelungkup sendiri. Apa
betul bayi pertama kali bilang mbah, baru pak, dan terakhir buk
?
Ah, Ibu sekarang sudat dipanggil Mbah. Mbah artinya tambah
lho. Ibu jangan terlalu memikirkan saya. Sedikit atau banyak
sekarang saya sudah berusaha sendiri. Tapi yah, masih begini.
Maklum Mas Jon masih prajurit. (Atmowiloto, 2017. 20)
51
Dalam surat Solemah selalu diselipkan doa dan bakti yang
ditunjukan pada Ibu yang membesarkanya. Solemah juga sering
melampirkan foto anaknya sebagai bentuk kabar tentang
perkembangan cucu Ibu yang pertama karena tidak bisa pulang ke
Solo. Tokoh Solemah diceritakan pengarang hanya melalui surat-
surat yang dikirimkanya kepada keluarga yang ada di Solo.
Hubungan tokoh Solemah dengan tokoh lain tidak terlalu banyak
dipaparkan. Beberapa tokoh yang pernah berhubungan langsung
dengan Solemah dalam novel ini adalah Ibu, Herit, Ayah, Jon, Jamil,
Ratsih, Pak Mo, dan Mbak Marni.
4) Murjanah
Novel Dua Ibu tidak banyak tokoh yang digambarakan secara
detail. Penggambarannya pun cenderung diceritakan oleh tokoh lain
yang berhubungan dengan tokoh terkait, sehingga tidak banyak data
yang dapat diambil. Salah satunya adalah tokoh Murjanah,
Murjanah sendiri menikah beberapa waktu setelah Solemah
kakaknya menikah dan sudah berada di Surabaya. Berbeda dengan
kakaknya Murjanah setelah menikah tinggal bersama suaminya
dirumah Ibu.
Kak Murjanah tidak dibawa pergi suaminya. Malah suaminya
berada dirumah kami. Meraka berdua membuat kamar. Ah, tidak
membuat kamar tetapi memakai kamar di ruang dalam.
(Atmowiloto, 2017. 16)
Murjanah mempunyai watak pemarah, mungkin tekanan
ekonomi dan sikap suaminya (Agustus), yang membuatnya
berwatak keras. Murjanah belum mempunyai anak dan cenderung
takut dengan sumai. Pada akhir kisah dijelaskan bahwa Murjanah
memutuskan setia serta mau mengikuti kehendak suaminya,
Murjanah dengan suaminya membuka usaha kios berdagang hingga
sukses dan sering membantu Ibu ketika sakit. Berikut kutipannya:
52
Dan Kak Murjanah sama sekali tidak berani melawan. Melawan
? membantah pun tidak berani. Membantah ? Bahkan menantang
sinar mata suaminya pun tak berani. (Atmowiloto, 2017. 53)
“Ibu yang menyembuhkanku,” katanya keras seperti dulu. “Ibu
bilang aku harus mengikuti suamiku. Itu benar. Kalo tidak
begitu, aku akan selalu menderita. Sekarang aku dagang , Mid”.
Dari Adam aku mendengar bahwa kak Murjanah membuka toko.
Dan suskes. Dan banyak membantu Ibu disaat sakitnya tak
tertahankan. (Atmowiloto, 2017. 293)
5) Jamil
Jamil digambarkan dengan watak yang pemberani dan suka
berpetualang. Dibalik wataknya yang tidak bisa menerima keadaan
dan cenderung pemberontak, Jamil mempunyai watak yang baik hati
terhadap ibu dan saudara-saudaranya. Pendidikan Jamil tidak tamat
sekolah menengah pertama, serta mempunyai karakter sedikit
pelupa. Jamil nekat merantau dengan bekal seadanya, dengan
harapan menjadi orang sukses dan pulang dapat membahagiakan Ibu
yang telah membesarkanya.
“Sambil berlayar aku bisa bertinju. Suatu hari nanti kita pulang.
Kapalku akan ku rapatkan di Bengawan Solo untuk menjemput
Ibu. Dan kau jadi dokter.”
“Jendral, kemarin juga ku bilang jendral.”
“O. ya, ya jendral. Jendral kancil. Aku lupa.”
(Atmowiloto, 2017. 65)
6) Ratsih
Tokoh Ratsih digambarkan oleh pengarang sebagai seorang
perempuan yang paling cantik diantara saudara perempuanya secara
fisik Ratsih memiliki mata indah, pipi lembut, rambut yang
berombak dan kulit yang kuning bersih. Ratsih memiliki sifat yang
penakut, suka dengan kebersihan, gampang sakit, penyayang,
sederhana dan polos. Pemikiranya terhadap keadaan yang dihadapi
rasional dan solutif. Ratih menikah dengan sersan Untung Subarkah
yang berselisih hampir 10 tahun darinya namun tetap menerima
suaminya apa adanya. berikut kutipannya:
53
Esok paginya aku dibawa ke dokter. Ratsih yang mengantar.
(Atmowiloto, 2017. 55)
“Saya mau diajak bukan karena akan dibelikan sepatu. Saya tahu
sepatu saya sudah jebol ujungnya.”
Untung minta maaf. (Atmowiloto, 2017. 178)
Kutipan di atas menjelaskan ketika Ratsih mengantar Mamid
yang sedang sakit saat itu ke tempat dokter. Walupun mereka
mampunyai banyak saudara Ratsih tetap mengantarkan Mamid
karena kasih sayang sebagai seorang kakak. Kutipan tersebut juga
menjelaskan ketika Ratsih diajak Untung pergi ke Taman Sriwedari,
sepulang dari Sriwedari, Untung berinisiatif membelikan sepatu.
Ratsih yang dibelikan sepatu malah menangis dan merasa terhina
oleh perbuatan Untung. Melihat hal tersebut Untung meminta maaf
kerena perbuatan yang tidak disengajanya. Sikap polos Ratsih,
membuat Untung binggung namun tetep sayang terhadap calon
istrinya tersebut.
7) Mamid
Tokoh Mamid adalah tokoh utama dan yang paling banyak
bercerita tentang sosok Ibu dalam novel ini. Mamid juga
digambarkan sebagai anak yang paling dekat dengan ibu, diceritakan
Mamid dititipkan oleh ibu kandungnya yang merantau ke Jakarta
untuk merubah nasib. Mamid sendiri cendreung asing dengan ibu
kandungnya, yaitu Tante Mirah. Suatu ketika Mamid yang masih
sekolah dikelas enam SD, diajak jalan-jalan dengan dinaikan mobil
oleh ibu kandungnya. Mamid tidak menduga bahwa ternyata yang
dikiranya jalan-jalan itu ternyata adalah cara yang digunakan ibu
kandung Mamid untuk menjeputnya ikut ke Jakarta. Setelah sampai
di Jakarta Mamid kabur dari rumah dan menjual jam untuk membeli
tiket pulang ke Solo. Karakter Mamid digambarkan oleh pengarang
sebagai anak kecil yang sederhana, pemberani, penyayang, polos,
juga suka memberi.
54
Walupun Mamid sering dijadikan bahan olok-olokan karakter
lain, Mamid tidak pernah mempedulikan hal tersebut.
Aku tak peduli dikatakan miskin. Memang kenyataanya begitu.
Aku juga tak sakit hati diberi roti. Memang hobinya begitu. Tapi
aku tak rela dikatakan aku mengemis padanya.
Aku tak pernah mengemis, tak pernah meminta apa-apa. Kalau
dia datang memberi, itu soalnya sendiri. (Atmowiloto, 2017.52)
Malam ini aku ingin bertemu Limbuk. Besok aku ke Jakarta, dan
tidak bisa bertemu lagi denganya. Ah, mungkin Limbuk perlu ku
beri karet gelang yang banyak. Agar ia tak perlu repot mencari
lagi. Rumahnya sepi. Aku ragu-ragu. Setelah kukitari sambil
pura-pura berdehem (tapi masih belum juga disapa) aku
mengetuk.
Senang hatiku karena Limbuk sendiri yang membukakan pintu.
Agak berkurang senang ku karena Mbok Grembul ikut
menemui. (Atmowiloto, 2017. 84)
8) Adam
Tokoh Adam adalah salah satu anak Ibu yang paling pendiam
diantara saudaranya yang lain. Adam sering dikira anak aneh oleh
saudara-saudaranya. Adam sering kali menghilang seorang diri dan
entah kemana tidak ada yang tahu tentang yang dikerjakanya. Ia
tidak mempunyai hubungan yang baik dengan ayah kandungnya.
Adam digambarkan memiliki sifat yang mandiri, misterius,
perhatian dengan hal-hal kecil, setia dan keras kepala. Namun Adam
adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya, sikap bakti yang
tampak adalah niat Adam untuk membelikan Ibu mesin jahit. Adam
sampai bekerja menjadi pengapur rumah orang demi menabung
membelikan Ibu mesin jahit.
Adam adalah saudaraku yang paling aneh. Ia bisa menghilang,
melakukan segala sesuatu seorang diri. Tak suka bercakap. Tak
mudah mengetahui apakah Adam sudah makan atau belum,
sudah mandi atau belum, di rumah atau di sekolah, atau entah di
mana.
Ia mengurus dirinya sendiri. Mencuci baju, membersihkan
sepatu. Memang ia sesekali ke rumah Pakdhe Wiro. Yang
katanya ayah kandung sebenarnya, tapi itu lebih memang dugaan
belaka. Justru Pakdhe Wiro lah yang lebih sering mencari. Adam
55
paling marah kalau dicari Pakdhe Wiro. Itu pantangan.
(Atmowiloto, 2017. 96)
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa watak Adam yang lebih
suka menyendiri melakukan segala hal yang diinginkan. Adam juga
cenderung tertutup dengan keluarganya sampai akhir hayat sang Ibu,
Adam tetap menemani dalam keadaan senang dan susah.
9) Herit
Pengarang menjelaskan bahwa Herit adalah salah satu anak Ibu
yang paling manja di antara saudaranya yang lain. Dalam sebuah
peristiwa Herit membandingkan jika ia memiliki dua ibu seperti
Mamid, ia pasti akan merasa bahagia. Herit seperti yang dijelasakan
dalam surat Ratih, bahwa sebenarnya dia adalah adik kandung dari
Murjanah, dan anak kandung dari Budhe Sastro. Namum orang tua
Herit dan Murjanah tidak ada penjelasan secara rinci, hanya
disebutkan dalam satu surat yang dikirim oleh Ratih kepada Ibunya.
Sampai akhir kisah tidak ada pejelasan tentang petemuan tokoh
Herit dengan orang tuanya. Herit memiliki sifat keras kepala, galak,
serakah, berkemauan keras, pemarah, tetapi juga pemberani. Ikut
rombongan ludruk dan bekerja sebagai seorang penjaga warung.
Dan belum menikah sampai akhir cerita. Berikut kutipannya:
Yang saya herankan itu kenapa anak sekecil Herit sudah berani
lari, sudah berani membantah. Rasanya dulu saya, Ratih,
Mujanah, bahkan Tante Mirah atau Jamil saja tidak ada yang
berani membantah. Herit memang lain ya Bu, atau anak-anak
sekarang sudah tambah pintar?. (Atmowiloto, 2017. 231)
Sekarang ia membanggakan diri sebagai pemain ludruk. Yang
benar bukan pemain. Ia bergambung di perkumpulan ludruk
untuk menjaga warung disana. Hidupnya pasti keras tapi ia
memang boleh dibanggakan. Apa yang malu-malu dikerjakan
Mbakyu Solemah, dikerjakan tanpa canggung. Harit pula yang
mempertemukan seluruh keluarga setiap tanggal dan bulan
kematian Ibu (Atmowiloto, 2017. 295)
56
10) Priyadi dan Prihatin
Prihatin dan priyadi adalah anak Ibu paling kecil daripada
saudara-saudaranya yang lain. Seperti anak-anak ibu yang lain
priyadi dan prihatin dititipkan oleh orang tuanya kepada Ibu. Priyadi
dan Prihatin adalah adik kandung dari Adam. Ibu kandung mereka
meninggal ketika melahirkan Prihatin. Pakdhe Wiro merupakan
ayah kandung mereka dan selalu mencoba membujuk ketiga
anaknya untuk tinggal bersama denganya. Namum mereka selalu
menolak terutama Adam.
Priyadi memiliki karakter yang penurut dan suka mambantu.
Prihatin diceritakan belum pernah masuk sekolah namun
mempunyai hobi untuk menggambar. Kedua tokoh ini tidak banyak
diceritakan oleh pengarang, namun sampai akhir hayat Bu Marsono
(Ibu) mereka selalu menemani bahkan setelah pindah rumah ke Batu
Retno.
Adam bermaksut membelikan Ibu sebuah mesin jahit bekas. Ia
membuat layang-layang, mengapur rumah orang, membuat
mainan yang dijual Priyadi, menjual kelereng, mengumpulkan
prangko bekas yang semuanya ditabung. (Atmowiloto, 2017.
248)
Ibu sedang menjahit memakai kacamata baru.
Lukisan itu dibuat oleh Prihatin. Ibu sendiri tidak tahu jika tidak
ada tulisan “IBU”, yang ditulis dengan gemetar. Tulisan tangan
anak yang belum pernah masuk sekolah. (Atmowiloto,
2017.248)
11) Tante Mirah (Sumirah)
Tante mirah adalah ibu kandung dari Mamid, ia menitipkan
Mamid ketika masih bayi kemudian merantau untuk mencari
penghidupan di Jakarta bersama suaminya Om Bong, yang
merupakan seorang petinggi di produksi pertelevisian Jakarta.
Dengan suaminya Tante Mirah mempunyai dua orang anak, yaitu
Marga dan Mamine dan tinggal dan membuat rumah di Jakarta.
57
Tante Mirah selalu berusaha membujuk Mamid untuk tinggal
bersama denganya di Jakarta, namun Mamid selalu menolak ajakan
Tante Mirah. Tante Mirah digambarakan mempunyai watak
penyayang, cerewet, darmawan, dan pencemburu. Terhadap anak-
anaknya ia selalu memberikan yang terbaik sebagai seorang Ibu.
Walupun demikian Tante Mirah selalu mengajarakan kepada anak-
anakya untuk selalu berbuat baik, rajin dan taat beribadah, dan
disiplin.
“Mid, taruh diember yang kotor.”
“O, ternyata disitu.”
“Pakai handuk yang ada tulisan namamu itu. Jangan keliru
dengan yang lain.”
“O, ternyata. ah, tadi aku pake handuk yang tulisanya good
morning.”
“Simpan sendiri sabunya.”
“Juga sikatnya, dan odolnya.” (Atmowiloto, 2017. 117)
“Gak Pernah sisiram ya.”
“Pernah”
“Sisiran Sendiri”
“Ibu yang menyisir”
“Mana? Lengket begini. Kalau begitu kau kembali ke kamar
mandi lagi sana, ya. Pake shampo lidah buaya itu. Ambil sedikit,
tuangkan, rambut basahi dulu, gosok sampai lama, bilas sampai
benar-benar bersih. Pakai air pancuran yang ada di atas.
Itu memang disediakan untuk keramas. Sebaiknya kau tutup
kordenya Mid, supaya airnya tidak ke dinding. Kasihan bibi terlalu
capek membersihkan. (Atmowiloto, 2017. 118)
“Saya salah terus. Saya tidak bisa mendidik. Saya bodoh. Tidak
tahu apa-apa. Kalau saya campur tangan selalu keliru. Menanyakan
urusan mu pacaran, salah. Menanyakan kamu pergi dengan
perempuan lain, salah. Kalau terus-menerus salah apa guananya
saya di rumah ini?”. (Atmowiloto, 2017. 276)
12) Om Bong
Om Bong, tidak diketahui nama aslinya siapa. Ia merupakan
suami dari Sumirah dan ayah kandung Mamid. Bekerja di
pertelevisian dan mempunyai jabatan yang tinggi. Hidup sukses di
Jakarta mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh negara.
58
Mempunyai pembawaan yang santai dan darmawan, Om Bong
suka bercerita tentang pengalamanya bertemu dengan tokoh-tokoh
besar di Jakarta.
Waktu pulang andongnya berhenti di toko sebantar. Om Bong
membeli radio. radio Itu lalu dicoba. Siaran wayang. Herit benar.
Diputarnya keras-keras oleh Herit, Om Bong malah terkekeh.
(Atmowiloto, 2017. 78)
“Biara saja kalau diambil. Di mana pun bisa hidup. Ya, Mid? Ibu
juga pindah rumah tidak apa. Koran apa saja yang kalian baca?
Apa dibilang menganai Papi?”.
“Papi antek Amerika. Harus di-retool dari televisi.”
“Busyet, kalian lebih mengerti bahasa itu.” Om Bong tertawa.
(Atmowiloto, 2017. 238)
13) Mas Jon
Tokoh Mas Jon atau John adalah suami dari anak sulung Ibu
Solemah. Ia adalah seorang tentara Angkatan Laut yang sering
meninggalkan rumah utuk bertugas. Dan pernah dikirmkan ke Irian
barat untuk meredakan ketegangan disana. Ia dalah tentara
berpangkat prajurit mempunyai sifat keras, disiplin, sayang terhadap
keluarganya, tegas, bertanggung jawab. Sebagai seorang tentara
Mas Jon banyak mendapatkan tanda jasa atas kegigihanya dalam
menjalankan tugas. Rekan sesama tentara juga menghormati Jon
karena mendapatkan juara sebagai penembak terbaik di ajang
perlombaan PON.
Tidak lama kemudian mas Jon menyusul, katanya Toni
menangis. Herit tak mau keluar dari kamar. Mas Jon hanya
meminta sampai Toni diam dan tertidur, sesudah itu semuruh
hidupun tak mau mengajak juga tida apa. Hih, kalu mas Jon
marah saya jadi takut. (Atmowiloto, 2017. 226)
Kutipan di atas menjelaskan ketika Herit mengajak Toni anak
dari John bermain hingga seharian penuh. Herit pergi tanpa izin
akhirnya Mas John marah dan membuat Herit lari ke rumah Ratih.
Melihat Toni yang tidak mau berhenti menangis, akhirnya John
membujuk herit untuk pulang. Namun Herit tetap menolak, dan hal
tersebut membuat Jon geram dengan Herit.
59
14) Untung Subarkah
Untung Surbarjan adalah anak dari keluarga yang borjuis. Ia
adalah sumai dari Ratsih yang sebelum menikah meminta Bu
Marsono mengubah namanya menjadi Ratih agar terdengar lebih
bangsawan. Mempunyai sifat pemalu, penyayang, bertanggung
jawab dan jujur. Ketika hendak membawa Ratih menemui orang
tuanya di Malang Untung yang menyediakan semua kebutuhan
Ratih. Ia adalah seorang sersan satu asrama ketentaraan dengan
suami Solemah, Mas Jon. Diceritakan setelah membangun keluarga
dengan Ratih Untung Subarkah hidup berkecukupan namun belum
dikarunia anak.
Untung duduk di kursi dengan kaku. Tidak merokok. Tidak
pandai berbicara, tidak membuat gerakan yang bisa menetralisir
kebekuanya. Bicaranya pendek dan cepat habis. “Ini ada titipan
dari Bu Jon. Pepaya hasil kebun sendiri.”. dua kalimat sudah
habis. (Atmowiloto, 2017. 174)
Untung subarkah mengurus semuanya. Membelikan tas yang
agak bagus di Tunujungan, membelikan tiket kereta api separuh
harga, mencarikan jip yang pintunya hanya bisa ditutup dengan
tali tambahan, serta mangangkut sendiri nangka besar dan buah
pisang setandan. (Atmowiloto, 2017. 189)
Kutipan di atas menjelaskan tentang peristiwa bertemunya Ratih
dan Sersan Untung sebelum melangsungkan pernikahan. Untung
terlihat gugup ketika berkunjung di rumah Bu Marsono untuk
bertemu Ratih. Untung tidak pandai dalam menyembuyikan rasa
gugup pada dirinya dan tetap bersikap sederhana.
15) Agustus
Agustus atau Agus, adalah suami dari Murjanah. Mereka
menikah setelah Solemah dan tinggal di Rumah Ibu. Agus memiliki
sifat pelit, pemarah dan egois, namun pintar mencari peluang
berdagang. Sering kali Agus mengecewakan istri dan Ibu walaupun
kedudukanya hanya menumpang dirumah Ibu. Diceritakan juga
bahwa Agus sering kali mengabaikan keluarga dibandingkan
dengan urusan pribadinya.
60
Agus sibuk sendiri dua hari sebelumnya. “Soalnya aku sudah janji.
Dagang tidak boleh mengingkar janji. Akan ku usahakan datang
waktu perkawinan nanti.” (Atmowiloto, 2017. 200)
Selalu saja ada yang diminta. Membelikan rokok, mengambilkan
rokok Ibu, mengambilkan korek, menyuruh cari asbak, menyuruh
membeli rokok eceran yang murah tapi jauh, mengatakan rokonya
bau sabun. Padahal betapapun kecil kembalianya selalu diminta.
Bahkan kalau dikasih permen. Dia sendiri yang mengulum.
(Atmowiloto, 2017. 17)
16) Pakdhe Wiro
Wiro adalah ayah kandung dari Adam, Priyadi, dan Prihatin.
Istrinya sudah meninggal ketika melahirkan prihatin, ketiga anaknya
dititipkan kepada Ibu karana kesulitan biaya dan tidak bisa
mengurus. Sifat yang dimiliki oleh Wiro adalah egois, tidak
bertanggung jawab, suka berprasangka, pemaksa, malas, serta tidak
suka berbelit-belit.
“begini asal muasalnya. Saya akan usaha buka warung kecil-
kecilan. Siapa yang membantu kalau bukan Adam? Lagi pula
Adam kan juga harus sekolah yang benar. Harus belajar yang
teratur. Sudah besar. Sebentar lagi yah, bagaimana layaknya
orang yang sudah dewasa. Saya sendiri sudah tua. Slametan
mbakyumu sudah selesai semua, sekarang tidak ada yang
menyalahkan kalau tanah warisan saya jual. Itu maksut saya”.
(Atmowiloto, 2017. 245).
17) Paman (Bapak dari Agustus)
Paman yang di sini tidak disebutkan dengan jelas siapa nama
sebenarnya. Ia adalah ayah dari tokoh Agus, suami dari Murjanah.
Hubungan tokoh paman dengan Ibu adalah sebagai besan dari
keluarga Agustus. Pada peristiwa Murjanah menangis karena tidak
betah tinggal dirumah paman disebutkan, bahwa keluraga dari
paman menjelek-jelekan keluarga Bu Marsono karena dituding
selalu minta bantuan. Hal-hal kecil seperti memberi roti pun dibesar-
besarkan oleh keluarga paman saat berkunjung ke rumah Ibu.
61
Mamid yang tidak terima dengan perlakuan tersebut
memberanikan diri menegur Paman dan menjelaskan bahwa
keluraga Bu Marsono tidak seperti yang paman kira.
“Ibu tidak sejahat itu, Paman,” aku berteriak “kami tak pernah
jahat. Juga kepada tukang gadai di mana pun. Suatu hari akan
kami bayar semua.”
“Bagus, Mid. Kapan kaubayar?” “Nanti.” “Kalau kau sudah jadi
jendral?” “Ya.”
Paman tertawa. Hahahahaha. Panjang sekali.
“Cepatlah jadi jendral, Mid.”
“Ya,” aku menjawab sungguh-sungguh.
“Tapi jangan kudeta, nanti kau ditembak mati.” Paman tertawa
lagi. Panjang. Hahahahhaahhahaha. Bergelak. Lalu tanpa
memperhatikan aku, masuk kerumah. Di dalam dia bercerita,
lalu tertawa lagi. Yang mendengar juga ikut tertawa.
Hahahahahahahahahaha. (Atmiwiloto, 2017. 52)
Sifat yang dimiliki tokoh Paman adalah sombong, tidak meng
hargai, suka menyindir, suka membicarakan orang, dan kurang
sopan.
18) Limbuk
Suryani atau yang sering dipanggil dengan sebutan Limbuk,
merupakan teman bermain Mamid. Rumah Mamid dengan Limbuk
berdekatan, sering kali Limbuk diolok-olok oleh teman-temanya
sebagai kekasih Mamid.
Limbuk sering meminta bantuan Mamid untuk mengerjakan
pekerjaan memilah rambut bekas. Ganti dari bantuan Mamid
Limbuk membelikan es lilin ketika uang jajanya berlebih. Di
sekolah Limbuk lebih suka dipanggil dengan sebutan Lilis, dia suka
dengan sebutan Lilis karena mirip dengan nama penyanyi terkenal.
Limbuk mempunyai sifat baik hati, rajin, sabar, suka memberi.
Berikut kutipannya. Pekerjaan itulah yang harus dilakukan Limbuk.
Sehari penuh, sepulang sekolah, Limbuk selalu melakukan itu.
Kadang Mbok Grembul ikut melakukan sampai larut malam.
“Kau Kerjakan dulu ya, Mid”.
“Ya.”
62
“Nanti ku belikan es lilin”
“Ya.” (Atmowiloto, 2017. 83)
19) Mbok Grembul
Mbok Grembul adalah ibu dari tokoh Limbuk, tidak diketahui
dengan jelas nama aslinya. Mbok Grembul membesarkan Limbuk
seorang diri dengan berkerja sebagai pengumpul rambut dari satu
rumah ke rumah yang lain. Rambut-rambut tersebut kemudian
diolah sedemikian rupa dan dijual kembali kepada yang
membutuhkan. Mbok Grembul mempunyai watak keras, pekerja
keras, tekun, galak, dan suka memaksa. Berikut adalah kutipannya:
Pagi-pagi sekali Mbok Grembul sudah pergi. Keliling kampung,
masuk setiap rumah. Disetiap pintu selalu terkenal lagu kata-kata,
“Punya rambuttt, Pakkkk, Buuuuuu, Dik, Leeee, Nok…?” Kalau
belum ada yang menjawab, ia akan menunggu terus.
“Mana Limbuk?”
“Beli es. Saya disuruh menunggu.” Begitulah yang dipesan Limbuk.
Mbok Grembul mengangguk-angguk.
“Banyak es bisa batuk.”
“Bagusan juga minum air sumur,” katanya lagi.
Sudah begitu saja. (Atmowiloto, 2017. 82-84)
20) Tikem
Tikem adalah seorang pembantu dari keluarga Arab. Tempat
tinggal Tikem bersebelahan dengan rumah Ibu. Tikem berasal dari
Wonogiri, mempunyai seorang anak yang diasuh neneknya. Suami
tikem sudah kawin lagi dan Tikem memutuskan merantau di Kota
Solo bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Sifat yang dimiliki tokoh tikem adalah suka memberi, suka
menggoda, sabar, pintar memasak. Berikut adalah kutipannya:
Tikem suka memberi lauk-pauk. Selalu memberi sayuran.
Masakanya mungkin enak, tetapi selera majikanya yang Arab itu
mungkin terlalu pedas buatku. Mungkin juga karena aku makan
dengan digado saja, tanpa nasi, jadi terlalu pedas. (Atmowiloto,
2017. 91)
63
e. Latar / Setting
Latar atau setting diartikan sebagai pembentukan peristiwa
akibat persinggungan antartokoh, terjadi pada suatu waktu dan
tempat tertentu. Latar memberikan gambaran secara nyata dan
memperjelas tema, serta dapat berwujud tata cara, adat istiadat,
kepercayaan dan nilai-nilai yeng berlaku di tempat yang
bersangkutan. Dalam uraian berikut ini, latar akan dibagi menjadi
tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1) Latar Tempat
Novel Dua Ibu sebagaian besar mengambil latar tempat Kota
Solo atau Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Tokoh dalam Novel
Dua Ibu menyebutkan beberapa kata daerah seperti “Mbakyu
Solemah” sebutan untuk kakak perempuan, “Pakdhe Wiro”
sebutan untuk paman, “Senthong” kamar dalam rumah Jawa
yang biasanya untuk tempat penyimpanan, “Andong” adalah
kereta yang ditarik oleh kuda biasanya digunakan untuk alat
transportasi mengangkut barang atau orang.
Latar tempat Kota yang menjadi tempat terjadinya peristiwa
lain adalah Kota Surabaya, Jakarta, Malang, Singapura. Berikut
adalah kutipannya:
a) Taman Sriwedari
Taman Sriwedari merupakan taman hiburan rakyat yang
dibangun oleh Pakubuono ke-X, tepatnya di daerah Laweyan
Kota Surakarta. Di dalamnya terdapat taman bermain anak-
anak, kebun binatang, galeri kesenian, dan gedung
pertunjukan kesenian Wayang Orang.
..sore hari Om Bong mengajak makan di rumah makan.
“Semua boleh ikut.”
“Ke Sriwedari saja,” kata Herit. Ia selalu mempunyai
usul untuk pergi. Ia selalu menyebut Taman Sriwedari.
Tapi mau menyebut mana lagi? Itulah satu-satunya
taman hiburan. Di sana ada ketoprak, wayang orang, dan
64
kebun binatangnya kalau siang buka. (Atmowiloto,
2017.
Kutipan di atas adalah peristiwa ketika Tante Mirah ibu
kandung tokoh Mamid dan Om Bong datang menjemput
Mamid untuk dibawa tinggal di Jakarta. Om Bong mengajak
makan di luar, sekalian untuk liburan di Kota Solo bersama
dengan anggota keluarga yang lain. Mereka berangkat
dengan menggunakan andong, namun Ibu memilih tidak ikut
dan lebih suka di rumah saja.
b) Rumah Ibu (Bu Martono)
Pengarang tidak menyebutkan secara rinci di mana
rumah tempat tinggal Ibu. Berdasarkan hasil analisis, hanya
ada keterangan banwa rumah Ibu berada di Solo Kota,
mempunyai halaman yang luas, pendopo, serta ruangan yang
lengang. Berikut adalah kutipannya:
Aku sadar, bahwa sebenarnya rumah yang kudiami
sangat luas sekali. Bagian pendopo, yang dulu dipenuhi
tiga pasang kursi satu terdiri dari atas empat pasang
kursi, yang dua lainya masing-masing dua kursi- kini
tampak lega. Ruangan yang memang sengaja
memberikan kelonggaran suasana, untuk melihat sekitar,
kini benar-benar membuka dirinya. (Atmowiloto, 2017.
46)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana keadaan rumah
Ibu sebelum dan sesudah Pak Martono suami Ibu meninggal
dunia. Himpitan kebutuhan membuat Ibu harus menjual
prabot rumah tangga termasuk meja, kursi yang berada di
Pendopo rumah untuk bertahan hidup. Kebutuhan lain
seperti biaya sekolah dan menggelar upacara adat
pernikahan serta khitanan pada akhirnya Bu Marsono
memutuskan untuk menjual peninggalan ayah.
c) Asrama Tentara Surabaya
65
Solemah sebagai anak sulung, sesudah menikah dibawa
oleh suaminya tinggal di asrama tentara tepatnya di daerah
Surabaya, namun tidak disebutkan lebih jelas rincinya di
mana. Adik Solemah, Ratsih setelah menikah juga diboyong
oleh suaminya ke asrama tentara satu kompleks dengan
kakaknya Solemah. Perbedaan pangkat suami Solemah yang
lebih rendah dari Suami Ratsih tidak menjadi penghalang
untuk tetap menghormati satu sama lain sebagai hubungan
adik-kakak keduanya, walaupun sebenarya mereka tidak
sedarah. Berikut kutipannya:
Keadaan saya di Surabaya dalam lingkup Tuhan Yang
Maha Kuasa. Saya harap keadaan Ibu dan semua anak
demikian pula. Lain daripada itu, saya dan Mas Jon minta
maaf sebesar-besarnya kepada Ibu. Karena baru
sekarang baru bisa menulis surat kepada Ibu.
(Atmowiloto, 2017. 230)
Selama di Rumah Solemah, Ratsih tidur di kursi panjang.
Kalau Mas Jon bertugas Ia bisa tidur bersama Solemah
dan Toni. Kebetulan Mas Jon tidak bertugas dan ia tak
bisa tidur bersama, walau ranjangnya cukup besar.
(Atmowiloto, 2017. 183)
d) Rumah Tante Mirah Om Bong
Setelah Mamid setuju tinggal dengan ibu kandungnya
Sumirah. Mamid dijemput dan dibawa tinggal bersama di
Jakarta. Mamid yang terbiasa hidup sederhana di Solo, pada
awalnya kebinggungan dengan tempat tinggal barunya.
Perlahan-lahan Mamid mulai terbiasa dengan hal-hal baru
yang ditemui di rumah tersebut, seperti lampu kamar yang
menyala secara otomatis, kamar mandi yang ada shower,
telepon rumah bila bunyi harus bagaimana, hingga
bagaimana menyetel volume pada televisi.
Oom Bong memasukan mobilnya ke garasi. Ia juga
menikmati keherananku. Seakan heran ku menunjukan
betapa sebetulnya rumah ini telah berubah jauh. Di mana
saja, kesombongan semacam ini sama. “Ini tempat
ayunan dulu, sekarang dibikin taman. Di atas garasi itu
66
ada loteng. Buat jemur pakaian. Lalu dibagian belakang
ada air mancur. Kami pindah ke belakang. Di depan tidak
aman. Lagi pula kami bikin untuk nikmati sendiri, bukan
untuk dipamerkan. (Atmowiloto, 2017. 110).
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana keadaan rumah
Tante Mirah di Jakarta. Mamid hampir memperlihatkan
keheranan ketika pertama kali tiba karena berbeda dari
terakhir kali dia datang.
e) Stasiun Gambir Jakarta
Merujuk pada peristiwa ketika tokoh Mamid dijemput
secara paksa oleh Sumirah untuk diajak tinggal bersama di
Jakarta. Beberapa tempat pernah disinggahi oleh Mamid,
seperti pasar Senen, Stasiun Gambir, yang menunjukan
bahwa itu adalah daerah di Jakarat.
Mamid walaupun seorang anak yang masih kelas enam
SD, memberanikan diri pulang dengan naik kereta sendirian
dari Jakarta ke Solo. Mamid terpaksa mencuri jam di rumah
Sumirah, yang kemudian dijualnya untuk biaya selama
diperjalanan pulang ke Solo.
Esoknya aku mencuri jam dinding. Kubawa begitu saja.
Kalau tak salah ke pasar Senin atau Tanah Abang. Aku
tak bisa mengingat. Deretan toko dan orangnya banyak,
dan semuanya bisa dicapai dengan bemo dari rumah
Tante. Lalu aku ke Gambir dan membeli tiket pulang ke
Solo. (Atmowiloto, 2017. 35)
f) Rumah Mbok Grembul
Pada peristiwa Mamid akhirnya mau dibawa oleh ibu
kandungnya ke Jakarta, Mamid ingin mengucapkan
perpisahan dengan sahabat yang disayanginya, yaitu
Limbuk. Namum Mamid ragu apakah ada orang di rumah
saat itu. Mamid memberanikan diri untuk menemui Limbuk
di rumahnya. Dengan menangis Limbuk mengucapkan
67
salam perpisahan kepada Mamid. Hal tersebut membuat
Mamid yakin bahwa Limbuk juga sayang terhadapnya.
Rumahnya sepi. Aku ragu-ragu. Sambil kukitari sambil
berpura-pura berdehem (tapi masih belum juga disapa), aku
mengetuk. Senang hatiku karena ternyata Limbuk sendiri
yang membukakan pintu. Agak kurang senang karena Mbok
Grembul ikut menemui. (Atmowiloto, 2017. 85)
g) Stasiun Solo Balapan
Peristiwa yang terjadi pada cerita Novel Dua Ibu, banyak
yang berlatar daerah Surakarta salah satunya adalah Stasiun
Solo Balapan.
Tokoh Mamid dan Ratsih pernah menyebutkan bahwa
mereka berpergian dari Stasiun Solo Balapan entah itu untuk
ke Jakarta maupun hendak ke Surabaya. Berikut kutipannya:
Ratsih berjalan dari rumah ke Stasiun Solo Balapan,
hampir enam kilometer, perlahan-lahan. Tidak ada yang
membantu membeli kacis. Tidak ada yang membantu
mencari kereta api, dan ia tak pernah berpergian
sebelumnya. (Atmowiloto , 2017. 182)
h) Penjara Singapura
Jamil memberanikan diri ikut kapal dagang ketika
hendak merantau. Dari kapal tersebut Jamil dianggap
sebagai penumpang gelap dan tertangkap oleh polisi patroli
laut. Akhirnya Jamil dibawa dan dimasukan ke dalam sebuah
penjara. Ternyata kapal yang ditumpangi Jamil tidak hanya
membawa timah tetapi juga barang-barang selundupan. Dari
situ Jamil ikut menjadi tersangka penyelundupan barang-
barang tersebut dan akhirnya dipenjara oleh pihak
Singapura.
Malam itu ia dipinggirkan, diangkut oleh truk dibawa ke
tahanan. Sampai kamar tahanan, Jamil masih belum tahu
di mana dia berada. Apakah ini di Siangapura, di Penang,
atau bahkan masih di Jakarta. Ketika Jamil bertanya ia
dibentak “Tutup mulut !.” (Atmowiloto, 2017. 254)
68
2) Latar Waktu
Latar waktu merupakan waktu kapan peristiwa yang dialami
tokoh tersebut terjadi. Latar waktu biasanya menunjukan kapan
peristiwa tersebut terjadi. Secara keseluruhan cerita Novel Dua
Ibu mengambil waktu Kota Solo sekitar tahun 1960 sampai
1980-an. Digambarkan dengan suasana Kota Solo yang masih
mempergunakan andong, Taman Sriwedari yang masih berjaya,
Radio sebagai sarana penyampai informasi yang masih efektif.
Beberapa tokoh juga pernah menyebutkan beberapa
peristiwa kemerdekaan, sengketa Irian Barat sampai dengan
televisi saat itu masih belum berwarna. Pada kapan peristiwa
terjadinya juga disebutkan pagi, siang, sore dan malam oleh
tokoh cerita. Berikut adalah kutipannya:
Bung Karno itu hebat. Bisa pidato bahasa Jerman di PBB. Ia
diakui oleh seluruh dunia. Lihat saja. Proyek saya membuat
televisi di mana saya bekerja. Itu pikiran jenius. Lalu
bercerita soal televisi. Soal penyanyi. “ Sekarang yang top
adalah Lilis Suryani, dan Diah Iskandar. Sudah dengar lagu
Surat Cinta?”
Saya merinding ketika manyaksikan adegan itu. Kennedy,
berguling berdarah. Huh, ngeri sekali. Kalau saja berwarna,
ah, nggak tahulah.”
“Apalagi ketika Oswald dibunuh. Ditembak oleh Jack
Warden, ya Jek Warden. Kelihatan jelas sekali.”
(Atmowiloto, 2017. 88)
Berikut adalah latar waktu tentang kapan terjadinya
peristiwa pagi, siang, sore, dan malam.
Kereta itu berangkat pagi sekali dan sampai Di Solo setelah
tengah malam. Rasanya semua penumpang tak dapat tempat
duduk. Semua berdasarkan, semua berkeringat tapi tidak ada
yang pingsan. (Atmowiloto, 2017. 36)
Ternyata Pesta siang dengan pecel komplet dan belut goreng
hanya berlaku sekali jalan. Buktinya, sore hari, Oom Bong
mengajak makan di rumah makan. (Atmowiloto, 2017. 71)
69
3) Latar Sosial
Latar sosial adalah hal-hal yang berkaitan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat pada tempat tertentu. Latar
belakang sosial yang ditampilkan dapat berupa pendidikan,
pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat kebiasaan, suku, dan
agama.
1) Agama
Pada saat Mamid pindah bersama ibu kandungnya,
Mamid mengalami perpindahan agama, yaitu dari Islam ke
Katolik. Keluarga ibu angkat Mamid menganut Islam dan
ketika Mamid memutuskan ikut dengan ibu kandungnya
Mamid berganti agama menjadi Katolik.
Hal tersebut tidak membuat tokoh Mamid mengalami
pergolakan batin yang besar, mungkin karena Mamid masih
anak-anak dan mempunyai watak penurut.
“Mid.”
“Ya.”
“Kartu posmu benar-benar membuat kami bangga
setengah mati. Namun juga sedih sekali. Satu-satunya
surat dari anakku adalah ucapan Selamat Hari Raya
Lebaran. Padahal kami keluarga Katolik, dan sejak lahir
kau sudah dipermandikan. Kau tak pernah tahu itu kan,
Mid?” (Atmowiloto, 2017. 106)
“Mid, sini.”
“Ya.”
“Kau dulunya Islam?”
“Ya.”
“Nggak boleh ganti agama. Islam melarang.”
“Ya.”
“Itu namanya kafir, Mid. Apalagi dulu kau pernah salat.
Aku lihat kain sarungmu. Kau harusnya Islam. Biar di
manapun, orang Islam harus tetap Islam. (Atmowiloto,
2017. 143)
70
2) Bahasa
Penggunaan latar dan budaya Jawa tidak menjadikan
novel ini sebagai novel yang banyak menggunakan bahasa
Jawa. Novel ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia
sehingga konsumsi novel bisa terarah pada kelompok
masyarakat mana pun.
Penggunaan bahasa Jawa pun hanya pada kalimat-
kalimat pendek yang mudah dipahami oleh masyarakat
umum seperti panggilan, Pakdhe, mbakyu, maupun mbah.
Rasanya aneh, kalau memakai baju baru bukan pada Hari
Raya Lebaran. Terlalu banyak menarik perhatian. Dan
mereka selalu menyindir dengan kalimat yang itu-itu
saja: dara mangan pari, durung bakda wis nganyari.
Minggu pertama ketika aku pergi ke gereja dengan baju
model angkatan laut, aku pernah bercerita, dan Oom
Bong meminta diterjemahkan arti kalimat itu.
“Itu semacam pribahasa, ah mungkin juga peribahasa.
Aku tidak tahu. Artinya merpati makan padi, belum
Lebaran, sudah pakai baju baru.” (Atmowiloto, 2017.
145)
3) Pekerjaan
Penghasilan utama dari keluarga Ibu adalah dari gaji
ayah. Ayah sendiri bekerja sebagai seorang abdi dalem
Keraton Kasunanan. Walupun sebenarnya dapat bekerja
dengan gaji yang lebih tinggi ayah lebih memilih begitu
karena sifatnya yang membenci pihak Belanda. Setelah ayah
meninggal Ibu hanya bisa mengandalkan pensiunan dari
suaminya untuk bertahan hidup.
Dengan ijazah AMS, Ayah tidak bisa bekerja menjadi
pamong praja yang baik. Tapi ayah tidak mau kerja sama
dengan Belanda. Lebih suka menjadi abdi dalem Kraton
Kasunanan. Gajinya sangat kecil, kata orang Ayah lebih suka
jadi priyayi. (Atmowiloto, 2017. 26)
71
4) Pendidikan
Tidak dijelasakan secara jelas pendidikan yang tokoh Ibu
tempuh semasa hidupnya. Namum banyak nilai-nilai tentang
falsafah kehidupan yang diajarkan Ibu kepada kesembilan
anaknya. Ibu tidak pernah mengharapkan balasan atas jasa-
jasanya, walaupun telah diketahui bahwa kesembilan
anaknya tersebut bukanlah anak kandung dari tokoh Ibu.
Hanya anak yang dititipkan kepadanya saja. Namun Ibu tetap
menganggap mereka adalah anaknya sendiri. Memberikan
kasih sayang seperti anaknya sendiri.
Pendidikan yang terlihat pada anak yang dibesarkan Bu
Marson berasal dari pendididkan formal mulai sekolah dasar
(SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah
menengah atas (SMA). Selain itu pengarang juga
menjelaskan pendidikan Pak Marsono, yaitu AMS,
merupakan sekolah yang didirikan Belanda pada saat itu
untuk menjadikan warga pribumi tenaga kerja bergaji murah.
Saat ini ajaran-ajaran moral yang seperti tokoh Ibu ajarkan
sudah mulai surut.
Kawat itu laku lebih murah daripada yang ku duga. Tapi
bisa untuk membeli beras. Ratsih juga membeli cabe dan
garam. Di pasar diam-diam aku mencuri tomat, sambil pura-
pura berbicara. Namun ibu marah ketika aku bercerita.
“kemiskinan dekat sekali dengan kejahatan. Kalau kau
miskin tanpa manjadi jahat, kau akan memetik hasilnya.”
(Atmowiloto, 2017. 47)
Waktu itu Ratsih kelas satu SMP. Dia tidak naik lagi.
Ternyata matanya bermasalah. Dari pemeriksaan sekilas saja
sudah dipastikan Ratsih memerlukan kaca mata. Waktu itu
kami sangat miskin luar biasa. Sudah biasa kalau kami hanya
makan satu kali. Tapi Ratsih memakai kacamata, tiga hari
kemudian Jamil yang mengajaknya ke toko kacamata. Jamil
yang memberikan. Padahal dia tidak bekerja. Ia juga tidak
bersekolah. Ia keluar. Kata orang ia berkelahi dengan guru
olahraga. (Atmowiloto, 2017.41)
72
5) Adat Kebiasaan
Adat istiadat Jawa kental dengan keseharian tokoh dalam
cerita hal tersebut terlihat, ketika Solemah anak sulung Ibu
menikah terlihat jelas tentang bagaimana prosesi pernikahan
adat yang diselenggarakan. Juga ketika Ratsih menikah
dengan Sersan Untung, Ibu berperan sebagai administrator,
organisator, tukang masak sampai dengan undangan
pernikahan. Penggambaran adat istiadat pada Novel Dua Ibu
juga terlihat saat Mamid dikhitan. Berikut adalah
kutipannya.
Yang tidak bisa ditolak adalah ketika Ibu
menggendongku.
“Digendong?”
“Ya.”
“Aku bisa jalan sendiri kok.”
“Tentu saja bisa.”
“Kenapa harus digendong?”
“Untuk syarat. Dari pintu depan ini sampai pagar.”
“Biar apa, Bu?”
“Biar Ibu saja yang menggendong sakit mu,” Jawab
orang lain Itulah Ibu.
Ia tak mau menjawab sendiri. Itulah Ibu yang perananya
telah disiapkan oleh adat. Menanggung sakit anak yang
dikhitan. (Atmowiloto, 2017. 31)
f. Amanat
Membaca Novel Dua Ibu mengajarakan pada pembaca tentang apa
itu arti kata “Kasih sayang, seorang Ibu”, perjuangan seorang ibu tidak
berhenti ketika melahirkan anaknya saja. Lebih dari pada itu sosok Ibu
dalam cerita mengajarkan tentang bagaimana memberikan pelajaran
hidup bersabar, ikhlas terhadap masalah yang tengah dihadapi. Serta
pengorbanan membesarkan sembilan anak seperti anaknya sendiri.
Pelajaran hidup seperti, “kita harus mengingat dengan kebaikan orang”
agar suatu hari kita dapat membelasanya sudah semakin jarang
sekarang.
73
Keikutsertaan Ibu pada kehidupan anak-anaknya tergambar jelas
melalui surat-surat Solemah dan Ratsih. Solemah sering bercerita
tentang anaknya, suaminya dan tetangganya dan sering menanyakan
bumbu masakan. Kalau Ratsih dari awal sudah sering bercerita tentang
malam pertama, tentang adiknya, Herit sampai keinginannya untuk
punya anak.
Tokoh Mamid juga mengingat akan belajar dengan giat biar cepat
menjadi jendral kemudian ingin membalas kebaikan Ibu. Mereka semua
meski hanya dididik oleh Ibu yang tidak melahirkan mereka tapi
memiliki bakti yang luar biasa besarnya. Hingga selalu
mengikutsertakan Ibu pada setiap hal, ketika mereka mengalami
kesulitan yang mereka panggil yaitu Ibu. Untuk menguatkan hati
mereka dan agar tetap bertahan dalam hidup.
Ibu, Surat
Untuk anak-cucu semua di Jakarta.
Hidup itu adakalanya gelap adakalanya terang. Jangan terlalu
sedih kalau lagi gelap, jangan terlalu gembira kalau lagi
terang. Ibu tak bisa apa-apa, berjalan pun sekarang tak bisa
mintalah selalu kepada Tuhan. Tuhan lah yang maha
mengatahui. bagiNya selalu ada jalan untuk kita yang selalu
meminta. Kalian masih sembahyang di gereja, kan?
Ibumu
(Atmowiloto, 2017. 289)
2. Kompleksitas Ide dalam Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto
Secara sederhana, kompleksitas gagasan, norma, dan peraturan Novel Dua
Ibu ialah wujud kebudayaan yang berupa ide. Sistem ide terdapat pada ranah
kognitif manusia karena bersifat abstrak dan tidak dapat dilihat mata.
Lokasinya ada di dalam kepala atau dalam perkataan orang lain, dalam alam
pikiran masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. Analisis terhadap Novel
Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto, menunjukkan adanya kompleksitas ide
sebagai salah satu wujud budaya Jawa yang bersifat tidak benda dan universal.
Gagasan tersebut satu dengan yang lain selalu berkaitan kemudian menjadi
suatu sistem.
74
Kompleksitas ide dalam penelitian ini dipilah menjadi empat bagian,
yakni meliputi: (a) ide tentang hakikat hidup manusia, (b) ide tentang hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (c) ide tentang pandangan
manusia terhadap alam semesta, dan (d) ide tentang hakikat hubungan antara
manusia dengan sesamanya.
a. Ide Tentang Hakikat Hidup Manusia
Hakikat hidup manusia mengacu pada pandangan seseorang dalam
memaknai kehidupan. Terdapat kebudayaan yang memandang hidup
manusia sebagai sesuatu yang buruk dan menyedihkan. Pandangan
tentang hidup yang buruk akan membuat manusia memandang dunia
adalah cobaan dan kesengsaraan untuk menuju tempat yang lebih baik,
yakni akhirat. Terdapat pula kebudayaan yang menganggap pandangan
tentang kehidupan adalah sesuatu yang baik, menghasilkan kompleksitas
ide tentang sikap optimisme dan usaha dalam menjalani hidup di dunia
sebaik-baiknya. Pada Novel Dua Ibu terdapat sejumlah data yang
mengacu pada pandangan hidup orang Jawa yang dijadikan sebagai
pedoman tokoh dalam cerita menjalani kehidupan.
Sikap hidup orang Jawa lebih digambarkan pada sikap yang eling,
rila, nerima, dan sabar sehingga cenderung dipahami sebagai hidup itu
hakikatnya menerima takdir dari yang kuasa, yang sudah digariskan dan
manusia selalu berpasrah diri dalam menerima takdirnya. Berikut ini
merupakan paparan data mengenai kompleksitas ide yang berhubungan
dengan hakikat hidup manusia yang terdapat dalam Novel Dua Ibu:
Sebelumnya Ayah jatuh sakit. Sekarang memandangi kami satu per
satu. Ibu memperkenalkan: ini Solemah, sambil memegangkan
tangan Ayah ke tangan Solemah. Ini Mujanah, ini Adam, ini Ratsih
(Ratsih menangis tapi tidak menjerit-jerit), Jamil belum datang.
“Ke mana?”
“Mandi di sungai,” aku yang menjawab
Ini Herit (juga menangis dan menjerit-jerit), dan ini Mamid, lalu dua
adik ku juga diperkenalkan. Yang satu digendong Solemah, yang
satu digendong Ibu sendiri.
“Semua ada di sini minta pangestu”. Ayah mengangguk-angguk
“Kau harus ikhlas.”
“Aku percaya kamu, Bu.” (Atmowiloto, 2017. 28)
75
Berdasarkan kutipan tersebut menegasakan bahwa Ayah mempunyai
keyakinan terhadap segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak dari
Gusti Allah. Manusia harus ikhlas menerima segala sesuatu yang telah
menjadi takdir-Nya. Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak berusaha, lalu
menerima takdir begitu saja. Kita sebagai manusia juga harus tetap
berusaha yang terbaik dalam kehidupan seberat apapun cobaan yang
dihadapi, dan tetap tanpa melupakan Gusti Allah. Berikut adalah cuplikan
kutipannya:
Begitulah kami melwati hari-hari.
Atap seng lebih mahal. Namun bukan berati buburnya lebih kental,
dan tidak berati makan tiga kali. Kecuali Prihatin, yang paling kecil
yang sakit terus, dan Priyadi kakaknya. Selebihnya dua kali. Yaitu
siang dan sore. Ibu dan Jamil kadang kulihat makan dan kadang tidak.
Aku merasakan lapar itu sangat tidak enak, dan sering memaki
karenanya.
“Kita tidak akan mati karena kelaparan, kalau kita sabar Tuhan tidak
pernah tidur.” (Atmowoloto, 2017. 48)
Tokoh Ibu mempunyai keyakinan tentang adanya Tuhan yang akan
selalu menolong hambanya dalam kesusahan. Pandangan tersebut
mencerminkan sikap optimis dalam menjalani kesulitan yang telah terjadi.
Tidak perlu mengkhawatirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Selama
kita mempunyai dan mempercayai Tuhan segalanya akan dapat dilewati.
Pepatah Tuhan tidak pernah tidur. Selama kita masih hidup rahmat Tuhan
akan selalu disediakan untuk kita. Nasihat tersebut juga dapat diartikan
bahwa dalam menjalani kehidupan ini jangan berhenti memohon
pertolongan dan petunjuk Tuhan. Di samping itu juga mengingatkan,
bahwa jangan gampang membuat dosa karena Tuhan pasti tahu segala
sesuatu yang ada di dunia ini.
Setiap bangun, aku bersyukur. Satu hari telah lewat ya Tuhan. Satiap
akan tidur, aku bersyukur. Satu hari lagi akan lewat lagi, ya Tuhan.
Semakin banyak hari yang kulewatkan, semakin dekat jarak kembali
ke Ibu. (Atmowoloto, 2017. 124)
76
Mamid ketika sudah tidak tinggal dengan Ibu (Bu Marsono) selalu
berdoa, serta selalu mengingat ajaran yang telah Ibu ajarkan kepadanya
tentang bersyukur kepada Tuhan setiap hari.
Rasa syukur Mamid adalah ajaran tentang bersikap ingat terhadap
Tuhan bahwa dirinya diberikan waktu dan nikmat dalam hidup. Sikap
tersebut juga mengajarkan tentang kesabaran serta berusaha untuk
mencapai yang diinginkan dalam hidupnya.
“Ya. Tetapi selama kita belum mati kelaparan, kita belum miskin
sekali. Dan Tuhan tidak akan membiarkan kita kelaparan, kalau kita
mau berusaha. Percayalah jangan minta yang bukan-bukan.”
(Atmowoloto, 2017. 181)
Perekonomian keluarga Ibu menjadi jatuh setelah kematian Ayah,
hal tersebut berdampak pada kehidupan sehari-hari yang dijalani tokoh
seperti jatah makan yang berkurang. Pada dasarnya sikap hidup orang
Jawa lebih digambarkan pada sikap yang eling, rila, nerima, dan sabar.
Berdasarkan sikap tersebut, cenderung dipahami sebagai hidup itu
hakikatnya menerima takdir dari Tuhan yang sudah digariskan dan selalu
berpasrah diri. Hidup itu hanya menjalankan apa yang sudah dituliskan
dan digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Buruknya kehidupan jika dijalani
ikhlas, sabar, nerima dan berusaha menyikapinya dengan baik maka
hidup itu akan baik dan menjadikan hidup itu lebih menggembirakan.
Berikut adalah bukti bila kita mengamalkan sikap tersebut:
Seumur hidup kau selalu menderita. Pada hari perkawinan mu nanti,
kau merasakan bahwa kau bisa bahagia, kau bisa merasakan hari
yang istimewa. Istimewa sekali karena itu hanya terjadi sekali dalam
hidupmu. Itulah yang selalu Ibu doakan, Sih. Satu kali dalam
hidupmu. Ucapkan sumpah itu nanti dalam hati, dan Tuhan akan
memberkahi.” (Atmowoloto, 2017. 194)
Kutipan tersebut adalah kata-kata Ibu ketika salah satu anak
perempuanya, Ratsih akan segara melangsungkan pernikahanya.
Namun Ratsih menghendaki bahwa pesta pernikahan nanti berlangsung
sesederhana mungkin. Mengetahui hal tersebut Ibu berbicara kepada
Ratsih bahwa dia juga berhak bahagia.
77
Selama kita percaya kepada Tuhan maka akan datang di mana kita
kan memetik kebaikan yang telah kita tanam, salah satunya adalah
kebahagian hidup.
Sejak saat itu Murjanah menderita sakit.
Dua bulan di rumah sakit. Dua bulan tidak diberitahu oleh dokter
apa penyakitnya. Ibu juga pergi kepada dukun, meminta kan obat.
Semua nasihat sudah dicoba.
“Berdoa dan ikhtiar.” Itu yang dikatakan Ibu. Itu pula yang
dilakukan Ibu. (Atmowoloto, 2017. 205)
Cuplikan tersebut adalah peristiwa ketika Murjanah sakit dan tidak
kunjung sembuh. Penyebab penyakitanya adalah beban pikiranya
sendiri yang tidak bisa menerima nasib. Dalam ajaran Jawa sikap nerimo
bukan berati pasarh terhadap segala hal, namum sebagai sandaran
psikologis. Hal ini berati orang Jawa mempunyai kewajiban
menghormati tata kehidupan yang ada di dunia ini. Mereka harus
menerima keadaan sambil berusaha sebaik-baiknya dalam
menumbuhkan kedamaian jiwa serta ketenangan emosi. Jika sudah
menjalankan hal tersebut maka kehidupan yang dijalani senantiasa akan
mencapai pada kebahagian hidup.
Saya juga ingin punya anak banyak seperti Ibu. Kok ya belum-
belum juga. Mungkin kalau saya sudah siap dan sudah bersikap
dewasa, Tuhan akan menitipkan momonganya. Betul kan, Bu?
(Atmowoloto, 2017. 214)
Berdasarkan kutipan tersebut Ratsih mempunyai anggapan bahwa
manusia tidak perlu kawatir tentang rejeki yang Tuhan berikan. Tuhan
sendiri yang menjamin rejeki manusia, tidak perlu takut rejeki kita
tertukar dengan rejeki orang lain. Lewat jalan apapun kalau sudah
rejekinya pasti akan jatuh ke tangannya. Pandangan Ratsih yang percaya
tentang hidup dan mati manusia juga telah diatur oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa merupakan bentuk ide tentang hakikat hidup manusia.
78
Pakdhe Wiro berlalu dengan lega. Masih terdengar kalimatnya
yang diucapkan sambil berjalan. “Ya, saya hanya bisa berterima
kasih sekali. Anak-anakku sudah kamu besarkan sampai
sebegitu. Tuhanlah yang akan membalas semua kebaikan itu.”
(Atmowoloto, 2017. 246)
Pada kutipan tersebut Pakdhe Wiro berpesan kepada Ibu, bahwa dia
tidak bisa memberikan apa-apa sebagai balasan karena Ibu telah
membesarkan anak-anaknya. Namun Pakdhe Wiro meyakini bahwa
suatu saat nanti Tuhan yang akan membalas kebaikan yang telah Ibu
berikan. Dalam filsafat Jawa ada pepatah yang mengatakan “Sopo wong
sing nandur bakal ngundhuh”, yang dapat diartikan siapa yang
menanam akan memanen hasilnya. Makna sesungguhnya dari kalimat
tersebut adalah jika kita bila kita berbuat kebaikan kepada seseorang,
kita pun akan mendapatkan kebaikan dihadapan Tuhan maupaun orang
lain yang juga akan berbuat kebaikan kepada kita.
Ibu, Surat
Untuk anak-cucu semua di Jakarta.
Hidup itu adakalanya gelap adakalanya terang. Jangan terlalu
sedih kalau lagi gelap, jangan terlalu gembira kalau lagi
terang. Ibu tak bisa apa-apa, berjalan pun sekarang tak bisa
mintalah selalu kepada Tuhan. Tuhan lah yang maha
mengatahui. bagiNya selalu ada jalan untuk kita yang selalu
meminta. Kalian masih sembahyang di gereja, kan?
Ibumu
(Atmowiloto, 2017. 289)
Berdasarkan kutipan tersebut terdapat ajaran tentang bahwa
sejatinya kehidupan manusia di alam ini hanya sementara saja, yang
pada akhirnya semua orang akan kembali lagi kepada Sang Pencipta.
Dengan demikian mengajarkan tentang sikap untuk hidup eling serta
mensyukuri segala pemberian Tuhan. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa ide tentang pandangan hidup manusia, dinyatakan
dalam beragam cara oleh pengarang, baik lewat narasi maupun dialog
para tokohnya.
79
Sikap hidup tokoh dalam Novel Dua Ibu, ikhlas dalam menjalani
kehidupan dan menerima takdir Tuhan, mengusahakan kehidupan yang
lebih baik dengan tindakan mau bersabar, sederhana, bersyukur, selalu
mengingat Tuhan dalam segala hal, dan tidak mengandalkan
pertolongan orang lain.
b. Ide Tentang Hakikat Kedudukan Manusia dalam Ruang dan
Waktu
Berdasarkan hasil analisis, terdapat konsep ide mengenai hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu dalam Novel Dua Ibu yang
berorientasi pada pandangan manusia tentang waktu dan peranannya
dalam kehidupan tokoh dalam cerita novel. Pandangan tersebut yakni
berupa pandangan akan masa lalu, di mana masa lalu dan kejadiannya
sebagai contoh dan pelajaran hidup dalam mengambil keputusan.
Pandangan kedua yakni, pandangan masa sekarang, di mana tokoh
hanya melihat dan melakukan tindakan tanpa melihat pelajaran
kehidupan pada masa lalu atau memikirkan apa yang terjadi pada masa
depan. Pandangan yang ketiga dan yang terakhir adalah pandangan
tentang masa yang akan datang, yakni di mana seseorang memikirkan
dan memperhitungkan serta merencanakan sematang mungkin tindakan
yang diambil demi masa depan.
Kemiskinan dekat sekali dengan kejahatan. Kalau kau miskin
tanpa menjadi jahat, kau akan memetik hasilnya. (Atmowiloto,
2017. 47)
Kebaikan orang perlu dicatat, kita tidak boleh melupakan.
(Atmowiloto, 2017.50)
Kesulitan ekonomi yang sedang dilanda Mamid memberanikan diri
mencuri tomat di pasar untuk campuran sambal yang akan di masak oleh
Ibu, mengetahui hal tersebut Ibu marah terhadap tindakan Mamid dan
memberikan nasihat seperti data di atas.
80
Ibu menanamkan pendidikan tentang kesabaran dan berbuat baik,
walaupun dalam keadaan yang sulit sekalipun Ibu selalu mengingatkan
bahwa kebaikan akan berbuah baik dikemudian hari. Data di atas berupa
dialog, di mana data tersebut juga menunjukkan adanya pandangan yang
berorientasi pada masa sekarang dan masa depan.
Jamil memanggil Ibu dalam hatinya. Beberapa kali dengan suara
yang benar-benar tulus. Ia sadar tidak akan datang keajaiban
seperti datangnya sopir truk itu lagi. Ia sadar betul. Ia menyebut
ibu hanya untuk kekuatanya sendiri.
Tiba-tiba ia menyadari ketololanya menertawakan Ibu. Bahwa
Tuhan akan mengirim makanan. Bahwa Tuhan tahu orang yang
berdoa. Ia tahu bahwa Ibu selalu melakukan itu, walau hidupnya
tak pernah berubah. (Atmowiloto, 2017. 169)
Kutipan tersebut menjelaskan kejadian yang dialami tokoh Jamil
ketika sedang berada dalam perantauan. Jamil terjebak di daerah
bencana alam banjir dan tidak mendapat pertolongan. Dia terpaksa
memanjat pohon jambu biji dan bertahan di pohon tersebut sampai
banjir surut. Di tengah kejadian yang dialami oleh Jamil, ia teringat
tentang ibu-nya yang selalu tegar mengahadapi masalah. Digambarkan
bahwa Ibu dalam menjalani kehidupannya tidak pernah terbebani dan
berusaha ikhlas menerima takdir dari Tuhan. Jamil menyesali
tindakanya yang selalu meremehkan perbuatan ibu yang selalu sabar
menerima keadaan dan selalu berpasah diri.
Menurut data tersebut ada orientasi ke masa lalu terhadap kejadian
yaang telah dialami di masa sekarang yaitu kejadian yang tengah
dialami tokoh Jamil. Data selanjutnya menunjukan adanya orientasi
pada masa lalu terhadap tindakan yang akan dilakukan di masa depan.
Data tersebut menunjukkan adanya perubahan perilaku yang dilakukan
oleh tokoh dalam mengambil keputusan atau tindakan yang akan
dilakukan pada masa sekarang maupun masa depan. Perhatikan kutipan
di bawah ini:
Seperti biasanya, apa yang ingin kukerjakan aku menulisnya pada
selember kertas. Aku selalu melakukan itu karena aku sangat
pelupa. Dan satu nasihat Ibu adalah, “Kalau kau pelupa ingat-
81
ingatlah bahwa kau ini pelupa. Selama kamu ingat bahwa dirimu
pelupa, kau tidak akan kehilangan.” (Atmowiloto, 2017. 144)
Berdasarkan kutipan tersebut menceritakan kebiasaan yang
dilakukan Mamid, yaitu mencatat segala hal yang dianggapnya penting
untuk dilakukan. Hal tesebut dilakukan karena Mamid mengetahui
bahwa dirinya mudah melupakan sesuatu. Tokoh Mamid melakukan
tindakan, yaitu mencatat karena pengalaman pada masa lalu dan
berorientasi pada masa depan agar tidak mudah kehilangan.
Data berikutnya menggambarkan keadaan yang dialami oleh
tokoh Murjanah yang tidak kunjung sembuh penyakitnya. Dokter juga
tidak tahu mengenai penyebab dari penyakit tersebut. Melalui nasihat
dari Ibu yang mengatakan Murjanah harus menerima suaminya, hati dan
pikiran Murjanah menjadi tenang kemudian ia pun berangsur-angsur
sembuh.
“Ibu yang menyembuhkanku” katanya keras seperti dulu. “Ibu
bilang aku harus mengikuti suamiku. Ibu benar. Kalau tidak
begitu, aku akan selalu menderita. Sekarang aku dagang Mid.”
(Atmowiloto, 2017. 249)
Pada kutipan tersebut merupakan percakapan antara Murjanah dan
Mamid ketika bertemu di rumah Ibu, Murjanah menceritakan tentang
nasihat yang diberikan Ibu kepadanya ketika sakit. Ruh dari perkawinan
Jawa adalah kerukunan, apapun harus dipikul bersama. Sikap positif
yang dilakukan oleh murjanah mau mengikuti suaminya adah bentuk
kerukunan dalam hubungan berkeluarga. Orientasi yang terdapat pada
data tersebut mengarah pada kejadian masa lalu dan masa depan. Dahulu
Murjanah sering kali bertengkar dan tidak patuh kepada suaminya yang
menyebabkan beban pikiran menumpuk dan menjadi penyakit dan
sekarang Murjanah mau menuruti nasihat Ibu untuk mengikuti suami,
sehingga kebahgian keluarga yang didapatnya.
82
“Lebih baik kita mulai menanam. Nanti kita akan memetik
hasilanya.” (Atmowiloto, 2017.47)
Kutipan tersebut adalah dialog antara Ibu dengan kedua anaknya,
yaitu Ratsih, dan Mamid. Ibu tidak membenarkan perbuatan Mamid
yang mencuri tomat dan memberikan nasihat, bila kemiskinan dekat
sekali dengan kejahatan. Mengetahui hal tersebut Ratsih mulai
menanam cabai, tomat dan jagung agar dikemudian hari dapat dimakan
bersama-sama. Ratsih bercermin dengan tindakan yang dilakukan oleh
Mamid dan membenarkan bahwa mencuri itu memang salah, kemudian
mengambil solusi bahwa lebih baik menanam daripada mencuri.
Perbuatan Ratsih merupakan orientasi ke masa depan sebagai bentuk
solusi permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan temuan data yang telah terdeskripsikan dapat
mewakili bagaimana kompleksitas ide tentang hakikat manusia dalam
ruang dan waktu yang digambarkan dalam Novel Dua Ibu tersebut
menggunakan orientasi waktu ke masa lalu, dan masa depan dari pada
berorientasi pada masa sekarang.
Orientasi tersebut tampak pada bagaimana tokoh dalam Novel Dua
Ibu mengambil tindakan dan keputusan dalam hidupnya. Hal ini juga
yang tergambar dari upaya tokoh mengisi hidup dengan bekerja keras,
dan meraih kebahagiaan dalam hidup.
c. Ide Tentang Pandangan Hidup Alam Semesta
Hubungan manusia dengan alam merupakan satu kesatuan yang
harus selalu dijaga keharmonisan serta keseimbanganya. Kehidupan
manusia selalu membutuhkan peran alam untuk dapat bertahan hidup.
Sudah menjadi keharusan sebagai manusia untuk selalu menjaga alam,
dan sebagai timbal baliknya alam juga memberikan kehidupan yang
nyaman bagi kehidupan manusia.
83
Tindakan manusia yang tidak menjaga kelestarian dan
keselarasan dengan alam, dapat berdampak dengan timbulnya musibah
dan bencana alam yang akan merugikan kehidupan manusia.
Ratsih mulai menanam tomat dan cabai. Dan dua hari kemudian
juga menanam jagung dan kacang. Memang tumbuh tapi tidak bisa
berkembang. (Atmowiloto, 2017. 48)
Kutipan tersebut menunjukan data tentang hubungan mansia
dengan alam yaitu dengan bercocok tanam. Manusia tidak akan terlepas
dari hubunganya dengan alam sekitar, hal tersebut dapat kita lihat
melalui bagaimana manusia memaanfaatkan kekayanan alam untuk
bertahan hidup. Ratsih mulai menanam berdasarkan kejadian yang
dialaminya setalah pulang dari berbelanja dari pasar. Melihat kebutuhan
hidup yang meningkat dan harga makanan yang berada dipasar tidak
mampu terbeli, ia memutuskan untuk mulai menanam kebutuhan seperti
cabai dan tomat untuk membuat sambal, serta tanaman lain seperti
kacang dan jagung.
Ditengah ada sangkar burung. Isinya sudah lama terjual. Kemarin
dulu. Sebagaian dilepas. “Kasihan tidak bisa memberi makan
beras merah, ketan item seperti zaman Ayah.” (Atmowiloto, 2017.
46)
Kompleksitas ide yang muncul adalah manusia menguasai alam
salah satunya adalah memelihara hewan. Memelihara burung
merupakan bentuk rasa cinta manusia terhadap ciptaan Tuhan, tampak
pada dialog di atas ketika sudah tidak bisa merawat hewan yang
dipeliharanya dengan baik maka lebih baik dikembalikan ke alamnya.
Aktivitas tokoh tersebut nampak sebagai wujud kasih sayang manusia
terhadap makhluk lain.
Dalam banjir jendela yang terendam semua tampak sama, tak
bisa dibedakan di mana jalanan dan di mana empang. Jamil naik ke
pohon jambu biji. Satu malam dia bertahan di situ. Ia berterima kasih
kepada pohon jambu biji yang ternyata bukan hanya menyambung
hidupnya sehari-hari, tetapi juga menyelamatkan nyawanya.
(Atmowiloto, 2017. 169)
84
Kutipan tersebut menggambarakan suasana yang terjadi ketika
bencana banjir terjadi. Ketika manusia tidak dapat menghargai alam
sekitar, seperti membuang sampah sembarangan, menebang pohon
tanpa memikirkan dampaknya, maka manusia sendiri yang akan
merasakan dampak dari perbuatanya, salah satunya yang diceritakan
dalam kutipan tersebut adalah banjir karena hubungan manusia dengan
alam adalah bantuk hubungan yang saling manjaga keselarasan
bersama.
Untung Subarkah datang. Ia datang naik kereta malam jurusan
Jakarta, dan tidak masuk kerja. Sekali ini tetap menggunakan
seragam, hanya saja pepaya dan pisang dibawa dari kebunnya
sendiri. (Atmowiloto, 2017. 178)
Pada dua kutipan di atas tampak adanya kecenderungan hubungan
manusia dengan memanfaatkan alam yang muncul yaitu tokoh Untung
menunjukkan peran manusia sebagai penguasa alam. Manusia hidup di
dalam semesta yang luas.
Ide tentang pandangan manusia terhadap alam berarti peran
manusia di alam semesta. Peran tersebut meliputi peran sebagai
penguasa alam dan peran sebagai penyelaras hubungan dengan alam
sekitar. Sebagai wujud kompleksitas ide manusia menguasai alam
adalah dengan cara bercocok tanam untuk kebutuhan pangan manusia.
Berdasrkan data dan kutipan di atas menjelaskan Untung memberikan
hasil kebunnya sendiri yaitu berupa buah-buhan sebagai oleh-oleh untuk
keluarga di Solo. Dapat disimpulkan bahwa kompleksitas ide tentang
hakikat hubungan manusia dengan alam semesta dalam Novel Dua Ibu
cenderung menunjukkan adanya usaha memanfaatkan alam untuk
kebutuhan hidup, ini tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh tokoh
dalam bercocok tanam maupun memanfaatkan hasil alam.
85
d. Ide Tentang Hubungan Antara Manusia dengan Sesama
Kompleksitas ide mengenai hubungan antara manusia dengan
sesamanya terdiri atas dua orientasi yakni hubungan secara vertikal dan
horizontal. Hubungan antara sesama manusia secara vertikal
berorientasi pada suatu pandangan yang menganggap kedudukan atau
pangkat yang dimiliki seseorang mempunyai nilai lebih di mata
masyarakat sehingga menciptakan sikap terlalu mengagungkan orang
yang memiliki berstatus sosial tinggi serta berkedudukan, bahkan
menggantungkan nasib kepada orang yang dianggap lebih tersebut.
Hubungan antarsesama manusia secara horizontal lebih menekankan
hubungan solidaritas antara sesama manusia tanpa memandang status
sosial maupun kelas sosial tertentu, sehingga menciptakan hubungan
baik di dalam masyarakat. Pada Novel Dua Ibu, ditemukan data yang
menunjukkan hubungan antarsesama manusia baik secara vertikal
maupun horizontal. Berikut ini disajikan kutipan yang menunjukkan
hubungan sesama manusia yang terdapat pada Novel Dua Ibu secara
horizontal:
Hari itu masih pagi sekali, ketika kami dibangunkan Ibu dan diajak
menemui Ayah. Sejak sore hari rumah kami sudah penih dengan
kerabat, handai taulan, saudara jauh dekat. Mereka menyalami
Ayah, bertemu beberapa saat. (Atmowiloto, 2017. 27)
Pada kutipan di atas menggambarakan keadaan Ayah ketika
sakitnya tidak kunjung sembuh dan sudah tidak bisa tertolong lagi.
Sahabat dan kerabat datang berkunjung menunjukan rasa kepedulian
dengan keluarga tersebut. Terlihat hubungan secara horizontal yang
dilakukan oleh kerabat dan sahabat ayah dengan datang menemui ayah
di rumah. Sampai kematian Ayah, kerabat dan sahabat juga turut
mengantarakan Ayah sampai ke tempat peristirahat terahir.
“Pak Dokter itu baik hatinya,” kata ku memuji.
“Ya. Tapi kalau dia tahu lebih dulu, mungkin kita ditolak
masuk.” (Atmowiloto, 2017. 56)
86
Berdasarkan penggalan kutipan tersebut tampak hubungan secara
vertikal antara pasien dengan dokter dan juga hubungan horizontal
antara Ratsih dengan Mamid. Ketika Mamid sakit Ratsih
mengantarkannya berobat ke tempat praktik terdekat. Solidaritas antara
saudara dengan sikap tolong menolong tampak pada kutipan di atas.
“Aku kenal Ibumu. Kau bisa ikut trukku.”
(Atmowiloto, 2017. 160)
Kutipan di atas sebagai pendukung dan mewakili adanya aktivitas
dengan tolong menolong antara manusia. Data di atas menunjukkan
adanya aktivitas memberi tumpangan yang dilakukan supir truk dengan
Jamil, sebagai bentuk rasa kepedulian karena supir truk mengenal ibu
Jamil.
Secara Horizontal :
Diam-diam aku kagum juga dengan Oom Bong. Ia banyak duit,
galak, dan sombong. Kalau aku jadi Jendral nanti, aku juga bisa
sombong seperti dia. (Atmowiloto, 2017. 79)
Kutipan tersebut menunjukan rasa kagum tokoh Mamid kepada
ayah tirinya Om Bong, Mamid merasa om Bong gagah karena
mempunyai kekayaan. Dan memandang om Bong sebagai orang yang
lebih tinggi derajatnya. Data tersebut menunjukan hubungan
kekerabatan secara horizontal yang disebabkan karena setatus sosial.
Kutipan berikutnya menunjukan bahwa pengaruh sosial sangat
mempengaruhi terhadap pandangan masayarakat sekitar, berikut adalah
kutipannya:
Waktu aku pulang itu, banyak tetangga yang menegurku. Mereka
berkumpul di pendopo. Duduk di tikar yang baunya pun masih baru.
Om Bong duduk sambil membuka baju, tampak kaku dan kikuk cara
melipat lututnya. (Atmowiloto, 2017. 87)
87
Berdasarkan kutipan tersebut menggambarakan peristiwa ketika
Mamid akan dibawa ibu kandungnya tinggal di Jakarta. Ibu kandung
Mamid adalah dari golongan orang yang berada serta memiliki setatus
sosial yang tinggi. Mamid yang dahulunya dari keluarga biasa sekarang
lebih dihormati. Terlihat dari sikap tetangga yang memperlakukan
Mamid berbeda dengan yang mereka lakukan sebelumnya. Terlihat data
tersebut adalah bentuk hubungan secara horizontal karena perbedaan
status sosial.
Temuan data di atas dapat mewakili bagaimana kompleksitas ide
tentang hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Hakikat
hubungan manusia tersebut terbagi menjadi dua orientasi manusia
dalam memandang kedudukan manusia lainnya, yakni vertikal dan
horizontal. Hubungan vertikal ditunjukkan dengan adanya pandangan
superioritas dan sikap kagum, serta menghormati, sedangkan pandangan
hubungan horizontal ditunjukkan pada hubungan solidaritas dalam
hubungan kekerabatan atau senasib dan dalam status yang sama.
3. Kompeksitas Aktivitas pada Novel Dua Ibu
Uraian berikut ini akan menunjukkan data-data kompleksitas aktivitas
sebagai wujud budaya Jawa yang terpresentasi dalam Novel Dua Ibu karya
Arswendo Atmowiloto. Aktivitas yang dimaksud, meliputi: (a) aktivitas
yang berhubungan dengan kekerabatan; (b) aktivitas yang berhubungan
dengan ekonomi; (c) aktivitas yang berhubungan dengan kesenian dan
rekreasi; (d) aktivitas yang berhubungan dengan sistem religi dan ritual
kepercayaan; dan (e) aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.
a. Aktivitas yang Berhubungan dengan Kekarabatan
Kajian pertama mengenai kompleksitas aktivitas adalah aktivitas
dalam bidang kekerabatan. Aktivitas kekerabatan merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam hidup bermasyarakat pada umumnya.
Aktivitas kekerabatan yang tampak pada Novel Dua Ibu sangatlah
beragam.
88
Data pertama menunjukkan adanya aktivitas yang berhubungan
dengan konsep kekerabatan dengan adanya pernikahan. Pernikahan
merupakan aktivitas yang berfungsi memenuhi kebutuhan kehidupan
kekerabatan. Perhatikan kutipan yang terdapat dalam novel berikut:
Ketika Solemah kawin, aku masih dibedaki Ibu. Pagi-pagi sekali,
aku mandi dengan air hangat. Air itu bekas air dandang bekas
menanak nasi Ibu. (Atmowiloto, 2017. 13)
Data di atas mewakili adanya aktivitas kekerabatan, yaitu
pernikahan sebagai wujud dari kompleksitas aktivitas dalam bidang
kekerabatan. Pernikahan dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk
menyatukan dua keluarga. Berdarsarkan kutipan tersebut Solemah
merupakan anak sulung dari keluarga tersebut mendapatkan suami
seorang tentara angakatan laut yang bernama Jon, kemudian dibawa
oleh suaminya tinggal di Surabaya.
Berbeda dengan Solemah, kak Murjanah tidak dibawa suaminya.
Malah suaminya berada di rumah kami. Mereka berdua membuat
kamar. Ah, tidak membuat kamar. Tetapi memakai kamar di ruang
dalam. (Atmowiloto, 2017. 16)
Data tentang adanya aktivitas kekerabatan selanjutnya adalah
pernikahan anak ke-dua dari Ibu yaitu Murjanah. Murjanah
mendapatkan suami dari keluarga keluarga yang berbeda agama
dengannya. Pernikahan dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan akan kekerabatan dengan
masyarakat lain.
Fungsi sosial Ibu yang sedemikian besar, biaya anak-anaknya
yang tak cocok dengan gaji ayah sebagai pegawai negeri biasa-
biasa saja. Mana pula Ayah harus memberikan sebagaian untuk
adiknya, dan saudara ibunya. Aku tahu kerena, dulu setiap habis
gajian, akulah yang disuruh mengantarkan. (Atmowiloto, 2017.
46)
89
Kutipan tersebut menjelaskan aktivitas hubungan kekerabatan
dengan memberikan bantuan kepada saudara. Walaupun dengan
keadaan ekonomi yang sederhana Pak Martono, memberikan sebagaian
gajinya untuk membantu saudara-saudaranya. Sesama keluarga sudah
seharusnya saling tolong menolong serta menjaga kerukunan bersama
salah satu cara yang dilakukan oleh keluarga pak Martono untuk
membantu adalah dengan memberikan sumbangan, kendati demikian
pak Martono tidak pernah mengharapkan imbalan dari perbuatan
baiknya tersebut.
Malamnya kami berpesta. Tante belanja banyak sekali. Juga
membeli segala macam dandang, kompor, ceret, wajan
penggorengan, dan semua bumbu dapur beras. (Atmowiloto,
2017. 63)
Data tersebut menunjukan adanya aktivitas membantu sebagai
wujud ucapan terima kasih yang dilakukan oleh tokoh Sumirah kepada
keluarga Bu Martono karena telah merawat Mamid, anaknya. Bentuk
ucapan terima kasih Sumirah yaitu dengan cara memberikan peralatan
dapur baru dan juga makanan untuk seluruh keluarga. Dari data tersebut
terlihat adanya aktivitas hubungan yang terjadi sebagai wujud terima
kasih dan tolong menolong antarmanusia.
Data selanjutnya adalah wujud hubungan kekerabatan bentuk
kasih sayang yang ditunjukan oleh mertua Ratsih ketika berkunjung ke
rumah suaminya di Malang, berikut adalah kutipannya:
Saya menulis surat ini dari Malang, Bu. Kemarin itu ketika
datang dari stasiun, ternyata telah dijemput keluarga dari Mas
Untung. Langsung di bawa ke Malang. Di sana ada pesta.
(Atmowiloto, 2017. 206)
Data tersebut menunjukan adanya aktivitas kekerabatan yang
dilakukan oleh keluarga Untung, suami dari Ratsih yaitu dengan cara
menjemput Ratsih di stasiun. Menjemput di sini adalah wujud
kepedulian dan penerimanan dari keluarga Untung kepada menantu
barunya.
90
Cakupan lebih luas adalah bentuk saling menghormati antara
keluarga yang dilakukan dalam bentuk tindakan nyata. Data selanjutnya
adalah bentuk aktivitas kekerabatan antara keluarga dengan tolong
menolong, yaitu Mamid ketika sudah tinggal di Jakarta tetap mengingat
kelaurganya yang berada di Solo. Berikut adalah Kutipannya:
Malamnya aku mencari ke gudang. Mencari pakaian bekas.
Bekas pakaian Mamine, dan Marga yang sudah tidak dipakai.
Tante sayang menjualnya. Kukumpulkan, dan kepada Tante
kukatakan akan kukirimkan sebagaian kepada Prihatin, dan
untuk Kak Murjanah. (Atmowiloto, 2017. 148)
Bentuk aktivitas kekerabatan tersebut adalah bantuan yang
diberikan oleh Mamid kepada keluarga Bu Martono di Solo, dengan cara
mengirimkan pakaian bekas. Tindakan yang dilakukan Mamid adalah
wujud tolong-menolong antara keluarga. Mamid yang kini hidup
berkecukupan di Jakarta tidak melupakan kebaikan dari Bu Martono,
bentuk rasa terima kasih Mamid salah satunya adalah dengan cara
mengirimkan bantuan tersebut kepada keluarga yang di Solo. Data
selanjutnya adalah bentuk kepedulian keluarga Untung terhadap
kehidupan anak dan menantunya, berikut adalah kutipannya:
Bu, ini kali banyak sekali yang akan saya tulis. Sampai tidak tahu
dari mana menulisnya. Pertama, keluarga Mas Untung datang.
Bapak dan ibu serta, anaknya perempuan, Lasmiah. Wah,
namanya juga ningrat ya Bu. (Atmowiloto, 2017. 219)
Data tersebut terlihat aktivitas yang kekerabatan yang dilakukan
oleh orang tua Untung yang berkunjung menjenguk di rumahnya. Orang
tua Untung menunjukan kepedulian antara anggota keluarga sehingga
terjalin hubungan yang rukun serta tentram antara anak dengan orang
tua. Data berikutnya menunjukan adanya aktivitas hubungan
kekerabatan yang dilakukan Bu Martono kepada kerabatnya yaitu
Pakdhe Wiro, berikut adalah datanya:
Adam ingat Mbokde Wiro, kala meninggal. Adam ingat ia marah
sama Ibu mengambil Prihatin. Adam menangis. “Ibu ini
bagaimana? Anaknya sudah banyak masih mau mengambil lagi
91
“Ya biar saja. Kita kan dikasih. Yang ngasih kan juga Pakdhe
Wiro. Apa orang dikasih anak tidak mau?” (Atmowiloto, 2017.
243)
Data tersebut menjelaskan tindakan yang dilakukan Bu Martono
yang mau merawat anak dari Pakdhe Wiro sebagai bentuk tolong
menolong antara keluarga. Adam, salah satu anak angkat Bu Martono
menaruh kekecewaan terhadap tindakan yang dilakukan Ibu. Adam
merasa bahwa sudah cukup sulit kehidupan yang telah mereka jalani,
namun Bu Martono tetap teguh dengan pendiriannya. Wujud aktivitas
hubungan kekerabatan yang dilakukan Bu Martono adalah saling tolong
menolong dengan cara membesarkan anak dari Pakdhe Wiro.
Dari Adam aku mendengar bahwa Kak Murjanah sekarang
membuka toko. Dan sukses. Dan banyak membantu Ibu disaat
sakitnya tak tertahankan. (Atmowiloto, 2017. 294)
Kutipan tersebut menejelaskan adanya aktivitas hubungan
kekerabatan yang terjadi yaitu bakti anak kepada orang tua. Murjanah
salah satu anak angkat Bu Martono, membantu pengobatan disaat Bu
Martono sakit keras. Wujud rasa bakti yang dilakukan anak kepada
orang tuanya dengan cara membiayai pengobatan Ibunya. Sudah
menjadi kewajiban seorang anak untuk memuliakan orang tuanya.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
aktivitas kekerabatan yang muncul pada Novel Dua Ibu meliputi
aktivitas kekerabatan berupa pernikahan, aktivitas kekerabatan berupa
tolong menolong, aktivitas kekerabatan berupa pernikahan, aktivitas
kekerabatan berupa kunjungan, aktivitas kekerabatan berupa
pengasuhan anak-anak, dan aktivitas kekerabatan berupa menjaga
hubungan baik pergaulan antar kerabat.
92
b. Aktivitas yang Berhubungan dengan Ekonomi
Kompleksitas aktivitas tokoh yang kedua adalah aktivitas dengan
tujuan ekonomi atau bertujuan untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan untuk mata pencaharian hidup. Kebutuhan mata pencaharian
hidup tersebut menjadi aktivitas yang berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan materi dan merupakan aktivitas atau tindakan yang berpola.
Terdapat beberapa penggalan dialog dan narasi yang menunjukkan
adanya kompleksitas aktivitas tokoh dalam bidang ekonomi:
Ayah tidak bisa menjadi pamong praja yang baik. Tetapi ayah
tidak mau bekarja sama dengan Belanda. Lebih suka menjadi
abdi dalem di Kraton Kasunanan. (Atmowiloto. 2017, 26)
Data tersebut menggambarkan menjadi abdi dalam Keraton
Kasunanan merupakan pekerjaan yang dipilih Pak Martono sebagai
kepala keluarga.
Kendati dapat pekerjaan yang gajinya lebih tinggi Pak Martono
lebih suka mengabdikan diri sebagai priyayi, sebutan orang berilmu di
Jawa. Beradasarkan hasil temuan tesebut terdapat aktivitas yang
dilakukan oleh tokoh Martono dalam bidang ekonomi yaitu, pekerjaan
sebagai abdi dalem Keraton.
Kawat itu laku lebih murah dari pada yang ku duga. Tapi bisa
untuk membeli beras. Ratsih juga membeli cabai dan garam.
(Atmowiloto. 2017, 46)
Penggalan kutipan di atas menjelaskan peristiwa ketika
perekonomian keluarga Ibu Marsono sedang terpuruk. Ibu menyuruh
Ratsih dan Mamid menjual kawat yang didapatnya ketika
membersihkan rumah, kemudian uangnya digunakan membeli beras dan
bumbu dapur untuk memasak. Terlihat aktivitas dilakukan tokoh yang
berhubungan dengan ekonomi, yaitu menjual barang bekas.
Rambut yang dikumpulkan itu dibeli dengan harga murah. Oleh
Mbok Grembul semua rambut kusut itu dimasukan ke dalam
kantong bekas gandum bergambar tangan berjabatan.
(Atmowiloto. 2017, 82)
93
Salah satu pekerjaan unik yang ditemukan dalam Novel Dua Ibu
adalah sebagai pengumpul rambut. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh
tokoh Mbok Grembul untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Rambut yang dikumpulkan tersebut kemudian diolah
sedemikian rupa, untuk dijadikan wig atau kondhe. Terlihat aktivitas
yang berhubungan dengan ekonomi yaitu, sebagai pengumpul rambut.
“Mereka ini semua tidak tahu tentang televisi. Televisi bukan
hanya tentang alat yang serba baru, yang mahal. Kalau aku bilang
mutu siaran harus memuaskan, mereka mengeluh alatnya hanya
ini. Studionya hanya ini. Kameranya buatan sebelum perang.
Padahal yang kumaksut bukan itu. (Atmowiloto. 2017, 135)
Temuan data selanjutnya adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
salah satu tokoh dalam Novel Dua Ibu yaitu Oom Bong. Ia bekerja
sebagai seorang ahli acara pertelevisian. Dalam melakukan pekerjaan
Oom Bong sangat memperhatikan kualitas siaran yang dibuatnya.
Berdasarkan data tersebut terdapat aktivitas yang berhubungan dengan
ekonomi yaitu pekerjaan tokoh sebagai produser televisi.
Mereka duduk di depan, sama-sama, hanya berdua, dengan
urusan sendiri-sendiri. Cina perempuan itu mengurus
daganganya, ketakutan terlambat, dan bayangan ayamnya
mati serta rugi. Sopir itu berjalan dengan kegelisahanya
sendiri. (Atmowiloto. 2017, 163)
Ketika memutuskan merantau tokoh Jamil dibantu oleh seorang
supir truk yang sedang mengantarkan ayam dari Kota Solo menuju
Jakarta. Terdapat dua data dalam penggalan kutipan tersebut yang
berhubungan dengan aktivitas ekonomi yaitu pekerjaan sebagai supir
truk, dan sebagai pedagang ayam potong.
…Begitu turun dari Stasiun Balapan Ratih naik becak ke pasar
Legi. Buah nangka itu dijual dua pertiga. Mula-mula dijual
separuh, tapi ia masih tidak kuat mengangkat. Pisang itu hanya
dibawa satu sisir. Bagi Ratsih sulit untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan harga pasar. Ia membeli beras lima liter,
minyak goreng, dan bandeng. (Atmowiloto. 2017, 191)
94
Penggalan narasi di atas menunjukkan aktivitas jual beli. Aktivitas
tersebut dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Kompleksitas aktivitas tokoh dalam bidang ekonomi
merujuk pada setiap kegiatan yang menghasilkan dan memberikan
keuntungan berupa materi atau biasa disebut dengan mata pencaharian.
Pendapatan atau hasil yang diperoleh dari sumber mata pencaharian
tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tokoh Ratsih
memutuskan menjual oleh-oleh yang didapatkanya sepulang dari
Surabaya untuk digunakan membeli beras dan keperluan dapur lainya.
Terdapat pula data yang menunjukan pekerjaan sebagai tukang
becak pada data tersebut. Becak merupakan alat tersportasi sederhana
yang yang banyak digunakan di Kota Solo.
Dari Adam aku mendengar bahwa kak Murjanah sekarang
membuka toko. Dan sukses.
Herit lain lagi. Ia tumbuh kurus, tinggi, dan galak. Sangat berbeda
dengan kak Murjanah sekarang ia membanggakan diri sebagai
pemain ludruk. Yang benar bukan pemain. Ia bergabung di
perkumpulan untuk menjaga warung(Atmowiloto. 2017, 294-295)
Berdasarkan kutipan tersebut terdapat aktivitas yang berhubungan
dengan ekonomi, yaitu sebagai penjaga warung dan pedagang. Herit
menjadi penjaga warung yang mengikuti rombongan ludruk ketika
mengadakan pertunjukan. Data tersebut juga menunjukan aktivitas
ekonomi yang dilakukan tokoh murjanah yaitu sebagai pedagang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil paparan data di atas, dapat
disimpulkan bahwa Novel Dua Ibu memuat narasi cerita yang
menunjukkan aktivitas sebagai wujud aktivitas yang dilakukan tokoh
berhubungan dengan ekonomi. Secara garis besar, aktivitas sistem mata
pencaharian yang dimaksud, yakni berupa aktivitas dalam bidang
perdagangan, aktivitas pekerja pemerintahan, dan aktivitas dalam
bidang pekerjaan jasa angkut barang.
95
c. Aktivitas yang Berhubungan dengan Kesenian
Wujud komplektisitas selanjutnya adalah berupa aktivitas dalam
bidang estetika dan rekreasi. Kesenian dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan. Seni merupakan wujud budaya yang berupa ide, aktivitas,
dan menghasilkan benda-benda budayanya. Kajian terhadap Novel Dua
Ibu menemukan data yang mengandung atau kegiatan masyarakat atau
tokoh dalam bidang seni dan rekreasi.
Data tersebut terdeskripsikan dalam uraian temuan mengenai
kompleksitas aktivitas tokoh dalam bidang seni dan rekreasi
ditunjukkan dengan adanya aktivitas menonton pertunjukan. Berikut
kutipan yang terdapat dalam Novel Dua Ibu.
Kalau kami ingin nonton Sekaten dan Maleman Sriwedari, Ibu
selalu menunggu apakah ayah bersedia atau tidak. (Atmowiloto.
2017, 27)
Kutipan data di atas menyebutkan sekaten sebagai salah satu
tempat rekreasi yang ingin dikunjungi oleh tokoh Mamid. Sekaten
adalah pasar malam yang terdapat di alun-alun utara Kraton Kasunanan.
Acara sekaten merupakan acara tahunan yang digelar untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw Pada tradisi ini,
terdapat pasar malam, selama satu bulan penuh. Kemudian pada puncak
acara diadakan Grebeg Maulud Nabi yang berupa acara kirap gunungan.
Sekaten merupakan bentuk kesenian dan dakwah yang rutin digelar
setiap satu tahun sekali.
Menurut sejarah, Sekaten erat kaitannya dengan penyebaran
ajaran agama Islam di wilayah Solo. Upacara perayaan Sekaten
berlangsung satu minggu. Prosesi upacara Ungeling Gangsa menandai
dimulainya acara Sekaten yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta
dengan ditabuhnya dua gamelan sekaten, Kiai Guntur Madu dan Kiai
Guntur Sari, yang ditabuh bergantian di halaman Masjid Agung Solo.
96
Sekaten semakin meriah dengan diadakan juga pasar malam yang
berlokasi di alun-alun utara Kota Solo yang biasanya sudah dimulai
beberapa minggu sebelumnya. Tradisi ini selalu ditunggu oleh
masyarakat Solo setiap tahunya. Berdasarkan data tersebut terdapat
aktivitas yang berhubungan dengan rekerasi, yaitu mengunjungi
sekaten.
Ia selalu menyebut Taman Sriwedari. Tapi mau menyebut mana
lagi? Itulah satu-satunya taman hiburan. Di sana ada ketoprak,
wayang orang, dan kalau siang kebun binatangnya buka.
(Atmowiloto. 2017, 71)
Data tersebut menyebutkan aktivitas yang dilakukan tokoh
berhubungan dengan rekerasi, yaitu mengunjungi Taman Sriwedari.
Dibangun oleh Pakubuwono X Taman Sriwedari pada awalnya adalah
tempat rekerasi keluarga kerajaan. Pembangunan Taman Sriwedari
selesai dan diresmikan pada tahun 1 Januari 1902. Terdapat gedung
pertunjukan wayang orang yang diselenggarakan dari hari selasa hingga
sabtu pukul 20:00 WIB. Selain itu Taman Sriwedari juga terdapat
berbagai macam kios yang menjual hasil kebudayaan, makanan, serta
pakaian. Salah satu daya tarik lain yang terdapat di Taman Sriwedari
adalah Taman Hiburan Rakyat (THR). THR merupakan arena bermain
yang menyuguhkan permainan anak-anak.
Kompleksitas aktivitas tokoh dalam bidang kesenian dan rekreasi
lebih cenderung pada aktivitas mendapatkan hiburan, kesenangan dan
kepuasan. Aktivitas perayaan sekaten dalam Novel Dua Ibu adalah
wujud tradisi Jawa sebagai bentuk syukur dan bakti kepada Gusti Allah
dan nabi Muhammad Saw. Aktivitas lain yang berhubungan dengan
rekreasi berupa aktivitas menonton wayang orang dan Maleman di
taman Sriwedari, ludruk.
97
d. Aktivitas yang Berhubungan dengan Sistem Religi
Terdapat beberapa data terkait dengan kompleksitas aktivitas
tokoh dalam bidang religi pada Novel Dua Ibu yang menjadi tradisi yang
dilakukan oleh tokoh dalam cerita novel sesuai tradisi orang Jawa.
Aktivitas dalam bidang religi tersebut meliputi syukuran atau bancaan,
kithan atau sunatan, sampai dengan beribadah ke gereja. Berikut adalah
kutipan data yang terdapat dalam novel berikut:
Waktu diberangkatkan, banyak yang menangis. Ibu akhirnya juga
menangis ketika peti mati meninggalkan rumah.
Teman-teman sekolah berloncatan mengambil uang logam yang
ditaburkan di jalan. Biasanya kala ada yang meninggala aku juga
berebut sawur itu. (Atmowiloto, 2017. 29)
Pada tradisi Jawa ketika jenazah hendak diberangkatkan menuju
tempat peristirahatan terakhir, terdapat tardisi sawur. Pihak keluarga
membuat sawur yang terdiri dari kembang tujuh rupa, beras putih, dan
beras kuning, serta uang logam. Sawur dimaksudkan sebagai bentuk
simbol malaikat yang ikut mengeringi kepergian Almarhum tersebut.
Selain itu menurut keprcayaan Jawa sawur sendiri sebagai bekal agar
selalu diberikat berkah oleh Allah Swt. Berdasarkan kutipan tersebut
terdapat aktivitas yang merujuk pada religiusitas yaitu bentuk
penghormatan kepada yang sudah meninggal dan sawur. Berikutnya
adalah kutipan bentuk aktivitas yang berhubungan dengan sistem religi
yaitu khitanan:
Semua dijual untuk membiayai khitananku.
Ibu pintar melakukan itu.
Pagi itu aku tak tahu. Pagi itu aku didandani dengan baik. Seperti
permintaanku, aku memakai baju model Bung Karno.
(Atmowiloto, 2017. 30)
Dalam kebudayaan Jawa khitan merupakan salah satu tradisi yang
sakral, seperti halnya dengan upacara perkawinan. Kesakralan tradisi
khitanan terlihat pada upacara-upacara yang dilaksanakan.
Mengkhitankan anak laki-laki merupakan salah satu bentuk sahnya
ibadah shalat dalam agama Islam.
98
Khitan juga bertujuan untuk menghilangkan najis pada laki-laki.
Terdapat aktivitas yang berhubungan dengan sistem religi yaitu
mengkhitankan anak, terlihat dari data tersebut.
Baru saat itu Ibu meneguk air. Air pertama yang masuk
tenggorokanya setelah tiga hari! Selama tiga hari tiga malam, Ibu
tidak makan apapun juga selain menguyah sirih.
Tanda bahwa Ibu tidak betul-betul tidur, mudah sekali.
Yaitu tidak pernah meluruskan lutut di tempat duduk. Artinya lutut
itu selalu dalam keadaan terlipat.
“Dengan demikian mudah terbangun, tak bisa lelap,” katanya.
Untuk laku, agar jiwa tetap terjaga. . (Atmowiloto, 2017. 24)
Berdasarkan kutipan di atas tokoh Ibu berpuasa dan bergadang
sebagai bentuk laku yang dilakukan. Orang Jawa meyakini hal tersebut
adalah bentuk prihatin atau tirakat yaitu sikap menahan diri menjauhi
perilaku bersenang-senang. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan
sebagai usaha yang dilakukan untuk menjaga agar kehidupan manusia
selalu selamat dan dalam perlindungan Tuhan. Upaya yang dilakukan
untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Ya, kita harus bersyukur,” kata Jamil serius. “Kita harus
bersyukur karena ada tetangga yang mati.” Coba sehat semua, kita
tidak dapat nasi selamatan.” . (Atmowiloto, 2017. 50)
Berdasarkan kutipan di atas terdapat tradisi selametan ketika ada
orang yang meninggal. Dalam kepercayaan orang Jawa ketika orang
mati, arwahnya masih ada di sekeliling keluarganya. selametan
dilakukan sebagai doa semoga yang meninggal diberikan tempat yang
baik nantinya. Biasanya ketika mengadakan selametan setelah diberikan
doa akan dibagikan nasi bancaan, yanga kan dibagikan kepada yang
datang atau tetangga dekat. Terdapat data aktivitas yang berhubungan
dengan sistem religi yaitu selametan pada orang yang telah meninggal
pada data tersebut.
“Kartu pos mu benar-benar membuat kami bangga setengah mati.
Namun juga sedih sekali. Satu-satunya surat dari anakku adalah
ucapan Selamat Hari Raya Lebaran. Tapi kau tahu kan, Mid. Kami
kelurga Kristen” . (Atmowiloto, 2017. 106)
99
Pada kutipan tersebut Mamid mengirimkan kartu ucapan Selamat
Hari Raya Lebaran kepada ibu kandungnya. Dapat disimpulkan bahwa
agama tokoh Mamid adalah Islam. Lebaran atau Idul fitri merupakan
hari puncak dari pelaksanaan ibadah puasa. Idul fitri mempunyai kaitan
erat dengan makna yang akan dicapai. Hari raya Idul fitri juga berarti
kembali suci dan mengikuti petunjuk agama Isalm yang benar.
Merayakan hari Idul fitri yang dilakukan tokoh Mamid
menunjukan aktivitas yang berhubungan dengan sistem religi.
Ternyata beda antara Solo dan Jakarta bukan hanya antara Tante
dan Ibu. Tetapi juga hari minggu. Rasanya di Solo hari minggu ya
hari minggu. Biasa saja, tidak berangkat ke sekolah. Di sini, kalau
hari minggu pakai pakaian baru. (Atmowiloto, 2017.141)
Tokoh Mamid mengalami perpindahan agama dari agama Islam
berganti menjadi agama Kristen. Tidak terjadi perdebatan batin yang
kuat ketika Mamid berpindah agama, mungkin dikarenakan Mamid
masih kecil yaitu kelas 6 SD. salah satu ibadah rutin yang dilaksanakan
oleh agama Kristen adalah pergi ke gereja setiap hari minggu. Terdapat
data yang menunjukan aktivitas yang berhubungan dengan religi, yaitu
ibadah dengan pergi ke gereja setiap hari minggu.
Berdasarkan deskripsi data dan uraian tentang aktivitas yang
berkenaan dengan bidang religi di atas, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Novel Dua Ibu menyajikan dan merekam kegiatan atau aktivitas
yang berkaitan dengan bidang religi dan kepercayaan. Ritual-ritual
tersebut meliputi sawuran, kenduren orang meninggal atau selametan,
khitanan, berpuasa laku prihatin, merayakan Idul fitri, beribadah ke
gereja.
e. Aktivitas yang Berhubungan dengan Pendidikan
Aktivitas dalam bidang pendidikan terdiri dari pendidikan formal
dan nonformal. Dalam Novel Dua Ibu ada bentuk pendidikan formal dan
nonformal. Pendidikan yang ditempuh oleh tokoh Ayah sebagai abdi
dalem Keraton mauapun tokoh lain yang mendapat pendidikan formal
seperti tokoh Ratsih, Mamid, Jamil maupun yang lainya.
100
Pendidikan dalam institusi formal terlihat melalui data yang
menunjukkan pendidikan di sekolah dasar sampai dengan sekolah
menengah atas yang ditempuh beberapa tokoh di dalam novel tersebut.
Berikut kutipan data pada Novel Dua Ibu yang menunjukkan data
tersebut:
Pagi itu aku masih masuk sekolah. Aku senang karena semua
teman sekolah mengatakan aku rajin. Kakaknya kawin kok masih
tetap masuk sekolah. “Tentu saja aku masuk.” Kata ku pada Pak
Guru. (Atmowiloto, 2017. 14)
Berdasarkan kutipan tersebut menjelaskan peristiwa ketika Mamid
tetap berangkat sekolah meskipun kakaknya menikah. Mamid masih
duduk di kelas 6 SD ketika Solemah menikah. Pendidikan adalah suatu
hal yang penting untuk bekal di masa yang akan datang, meskipun dari
keluarga yang tergolong kurang, Ibu tetap mengusahakan bekal terbaik
untuk anak-anaknya yaitu dengan pendidikan. Data tersebut
menjelaskan adanya aktivitas yang dilakukan tokoh dalam Novel Dua
Ibu, yang berhubungan dengan pendidikan yaitu dengan menjelaskan
tokoh Mamid yang tetap rajin berangkat ke sekolah.
Waktu itu Ratsih kelas satu SMP. Dan tidak naik lagi. Ternyata
matanya bermasalah. Dari pemeriksaan sekilas saja sudah dapat
dipastikan Ratsih memerlukan kacamata. (Atmowiloto, 2017. 44)
“Ya, ya, ya. Aku juga pernah SMP. Lulus. Tapi tak pernah lulus
SMA. (Atmowiloto, 2017. 65)
Kutipan peristiwa di atas menjelaskan tokoh Ratsih yang dua kali
tidak naik kelas pertama ketika saat masih SD dan yang kedua ketika
sudah SMP. Penyebab Ratsih tidak naik kelas karena ada masalah
dengan matanya sehingga harus dibantu dengan kaca mata untuk
melihat. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi proses belajar Ratsih
ketika mendapat pelajaran di kelas. Kendati demikian Ratsih merupakan
anak yang rajin dan tidak pernah mengeluhkan masalah matanya
tersebut kepada keluarga. Berbeda dengan tokoh Jamil yang sering
bermasalah di sekolah, tokoh Jamil diceritakan tidak tamat ketika SMA.
101
Diceritakan bahwa Jamil berkelahi dengan guru olah raganya.
Setelah kejadian tersebut Jamil memilih untuk tidak melanjutkan
pendidikanya. Bedasarkan data tersebut terdapat aktivitas yang
berhubungan dengan pendidikan, yaitu tokoh Ratsih yang menempuh
pendidikan formal sampai SMP dan tokoh Jamil yang tidak tamat SMA.
Cita-citanya menjadi dokter. Sudah sekolah setahun, lalu keluar.
Entah tidak ada biaya, entah tidak cocok dengan orang Belanda.
Lalu masuk jurusan hukum. Nilai bagus pula (Ah, Ibu tak pernah
bercerita jelek tentang ayah) yang diraih. Lalu keluar dengan
ijazah AMS, (Atmowiloto, 2017. 26)
Tokoh Ayah juga mementingkan pendidikan sebagai bekal.
Terlihat pada kutipan di atas, bahwa ayah bercita-cita untuk menjadi
seorang dokter namun karena keterbatasan biaya pada akhirnya
memutuskan masuk ke sekolah hukum. Berkat pendidikan formal yang
ditempuhnya ayah dapat bekerja sebagai pegawai pemerintah belanda
namun, ayah lebih memilih mengabdikan dirinya sebagai abdi dalem
Kraton Kasunanan karena tidak suka kepada Belanda. Data tersebut
menunjukan aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan yaitu
pendidikan yang ditempuh tokoh-tokoh Novel Dua Ibu yaitu dengan
pendidikan formal. Pendidikan format yang ditempuh antara lain
jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, Sokolah kedokteran,
Hukum, dan AMS.
4. Kompleksitas Hasil Budaya
Uraian berikut ini akan menunjukkan kompleksitas hasil karya
manusia sebagai wujud hasil budaya masyarakat Jawa yang terpresentasi
pada Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto. Kompleksitas hasil
budaya yang dimaksud meliputi: (a) hasil budaya berbentuk bahasa; (b)
hasil budaya berbentuk sistem pengetahuan; (c) hasil budaya berbentuk
teknologi; dan (d) hasil budaya berbentuk alat produksi atau mata
pencaharian.
102
a. Hasil Budaya Berbentuk Bahasa
Bahasa adalah salah satu unsur budaya yang bersifat universal.
Selain berfungsi sebagai media komunikasi, bahasa juga digunakan
untuk menjelaskan serta berkomunikasi dalam suatu kebudayaan.
Masyarakat Jawa dalam kesehariannya biasanya menggunakan bahasa
Jawa dalam percakapannya. Dalam Novel Dua Ibu bahasa yang
digunakan bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa
Jawa yang digunakan kental dengan bahasa Jawa Tengah, yaitu daerah
Surakarta karena sebagaian besar tokoh memang tinggal di Kota
Surakarta. Berikut kutipan narasi dan dialog tentang sebuah panggilan
dalam bahasa Jawa:
Sungkem pangabekti, buat Ibu seorang dari anak-anak di Surabaya
(Atmowiloto, 2017. 209)
Perempuan itu mengkikik. Meninju lengan Jamil keras. “Edan”.
Nyindir Kowe. Nama ku kan min!” (Atmowiloto, 2017. 164)
Bu benarkah Mbakyu Marto sekarang, maaf, kurang waras?
(Atmowiloto, 2017. 70)
Dan mereka selalu menyindir dengan kalimat yang itu-itu saja:
dara mangan pari, durung bakda wis nganyari. (Atmowiloto,
2017. 141)
Sungkem menggambarakan suatu pengabdian yang dilakukan
anak kepada orang tua. Sang anak bersalaman dengan posisi bersimpuh
di depan orang tua dan memohon maaf serta restu kepada orang tua.
Berdasarkan kutipan di atas, hasil budaya berbentuk bahasa juga tampak
pada adanya tingkat bahasa yang dipergunakan oleh tokoh baik kepada
Orang yang lebih tua. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa
Jawa yang apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa
Ngoko dan Krama. Kondisi tersebut juga didukung oleh penelitian
Suryadi (2014: 244) bahwa the basic culture in java is the stratified
society that shape the use of any language rise, starting from level
ngoko, arma, until arma inggil. stratified-level is something that is
essential in the javanese community.
103
Berdasarkan temuan pada kompleksitas hasil budaya berupa
bahasa dalam Novel Dua Ibu, diketahui bahwa bahasa yang muncul
adalah adanya bahasa Jawa yang berupa nama panggilan. Adanya
tingkatan bahasa dalam berkomunikasi dengan memperhatikan siapa
yang diajak berkomunikasi.
b. Hasil Budaya Berbentuk Sistem Pengetahuan
Hasil budaya yang berupa sistem pengetahuan tidak dapat
dipisahkan dari benda-benda yang menjadi wujud nyata dan bukti
otentik hidup dan berkembangnya sebuah sistem pengetahuan dalam
masyarakat. Terciptanya sebuah benda yang berbentuk nyata dan bisa
dilihat bahkan dinikmati dan dimanfaatkan manusia membutuhkan
sesuatu yang dinamakan sistem pengetahuan.
Ayah diakui sebagai orang yang pintar. Seperti intelektual,
begitulah istilah Ibu. Bisa steno, ahli bahasa, Belanda, Inggris,
Jepang, dan satu bahasa asing lagi, bisa memperbaiki radio,
menciptakan speaker, sesuatu yang waktu itu tak banyak diketahui
orang lain. Waktu musim lampu dipadamkan, Ayah bisa mencuri
aliran listrik dan menerangi seluruh kampung. Radio yang dibikin
sendiri, mampu menangkap siaran BBC.
Padahal radio itu bentuknya seperti bantal, dan antenanya
dipasang mencuat jauh di atas pohon mangga yang tertinggi di
halaman rumahku. (Atmowiloto, 2017. 25)
Kemampuan Ayah dalam membuat radio merupakan hasil budaya
berbentuk pengetahuan. pada masa setelah kemerdekaan salah satu
sarana komunikasi paling efektif yang digunakan oleh masyarakat
Indonesia adalah radio. Peranan radio tidak hanya sebagai alat
penyampai informasi saja kala itu, namun juga sebagai sarana rekreasi
seperti disiarkannya pertujukan wayang, lagu-lagu populer, hingga
lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Indonesia mulai menggunakan
radio pada tahun 1925.
104
Indonesia khususnya Surabaya, radio mempunyai peranan khusus
yang penting dalam perjuangan mempertahankan proklamasi setelah
kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pak Marsono yang pernah
menempuh pendidikan formal mempunyai keahlian yaitu membuat
radio yang dapat menangkap sinyal BBC, atau siaran luar negeri adalah
bentuk data tentang sistem pengetahuan yang terdapat dalam Novel Dua
Ibu.
Ibu biasa bercerita dengan fasih sampai ke Raden Fatah, raja
Demak pertama. Ayah suka tertawa kalau Ibu bercerita.
(Atmowiloto, 2017. 27)
Dalam Novel Dua Ibu, tidak dijelaskan secara pasti pendidikan
yang di tempuh Bu Marsono semasa hidupnya. Melalui dialog tokoh
diketahui bahwa tokoh Bu Marsono memiliki pengetahuan tentang
sejarah dan silsilah keluarga yang berhubungan dengen Keraton Demak,
salah satu kerajaan Islam besar di Jawa. Kerajaan Demak adalah
kerajaan pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Nusantara.
Berdasarkan data tersebut diketahui terdapat sistem hasil budaya yaitu
sistem pengetahuan sejarah yang dimiliki oleh Ibu Marsono, yaitu
tentang sejarah Keraton Demak.
“Mereka ini semua tidak tahu tentang televisi. Televisi bukan
hanya tentang alat yang serba baru, yang mahal. Kalau aku bilang
mutu siaran harus memuaskan, mereka mengeluh alatnya hanya
ini. Studionya hanya ini. Kameranya buatan sebelum perang.
Padahal yang kumaksud bukan itu. (Atmowiloto, 2017. 135)
Tokoh Oom Bong merupakan salah satu pegawai yang bekerja di
pertelevisian nasioanl Indonesia. Televisi pertama kali berdiri di
Indonesia pada tahun 1969, stasiun televisi pertama Indonesia adalah
TVRI (Televisi Republik Indonesia). Siaran perdana TVRI adalah
perayaan hari kemerdekaan Indonesia di Istana Merdeka 17 Agustsus
1969. TVRI merupakan program khusus yang dilaksanakan untuk
menyukseskan ASEAN Games di Jakarta pada tahun 1962.
105
Presiden Soekarno berperan cukup besar dalam pembangunan
TVRI sebagai televisi pertama di Indonesia. Pengetahuan tokoh Oom
Bong yang dapat mengelola siaran televisi merupakan hasil budaya
sistem pengetahuan yang terdapat dalam Novel Dua Ibu. Berikutnya
adalah data tentang keahlian masyarakat Jawa dahulu dalam membuat
ramuan pembersih gigi pengganti odol, secara tradisional yang terbuat
dari bahan-bahan alam berikut adalah kutipannya:
Ratsih paling telaten membuat odol dari arang yang ditumbuk
halus sekali. Dan, ia, Ratsih yang baik itu, mau saja membagi
dengan ku. Karena Ratsih tahu aku tidak telaten benar menumbuk
arang. (Atmowiloto, 2017. 117)
Ratsih sering membuat pasta gigi dengan arang, dengan cara arang
kayu ditumbuh sehingga menjadi halus, setelah halus disaring dan hasil
dari saringan tersebut digunakan untuk menyikat gigi. Sifat alkali pada
arang mampu mebuat lingkungan sekitar arang menjadi basa. Hal
tersebut membantu dalam membersihkan gigi. Pada masyarakat Jawa
membersihkan gigi dengan arang adalah salah satu cara alami yang
sering digunakan. Adapun bahan lain sebagai penganti pasta gigi kala
itu seperti, daun sirih, siwak, dan cengkeh. Berdasarkan data tersebut
terdapat data tentang hasil budaya yang berhubungan dengan sistem
pengetahuan yaitu membuat pasta gigi dengan arang yang dilakukan
oleh tokoh Ratsih.
Kehormatan besar kalau Ibu masak selat dasar atau bistik
komplit, malah minta nasi pecel. Tapi biar saja, dia kan yang punya
duit. (Atmowiloto, 2017. 63)
Melalui data tersebut terdapat hasil budaya sistem pengetahuan
tentang cara mengolah bahan makanan. Pecel adalah makanan yang
menggunakan bumbu sambel kacang sebagai bahan utamanya yang
dicampur dengan aneka jenis sayuran. Pecel merupakan makanan
tradisional daerah Jawa Tengah.
106
Dalam bahasa Jawa, pecel dapat diartikan sebagai “tumbuk” atau
dihancurkan. Selain pecel terdapat data yang menunjukan makanan lain
pada kutipan di atas, yaitu bistik. Bistik merupakan makanan
peninggalan kolonial Belanda. Bistik menggunakan bahan dasar daging
sapi yang direbus sampai empuk kemudian disajikan dengan kentang,
wortel, dan juga kacang panjang. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hasil karya manusia seperti yang diutarakan di atas merupakan
wujud hasil budaya yang mencerminkan sistem pengetahuan yang
terdapat dalam Novel Dua Ibu. Hasil pengetahuan yang ditemukan
antaralain tentang cara menangkap siaran radio dan membedakan antara
bass dengan treibel, pengetahuan tentang mengelola dan membuat
tayangan televisi, pengetahuan tentang sejarah Keraton Demak, serta
pentahuan tentang membuat alat dan aneka makanan.
c. Hasil Budaya Berbentuk Teknologi dan Sistem Peralatan
Kompleksitas hasil budaya berbentuk sistem peralatan hidup dan
teknologi juga terdapat dalam Novel Dua Ibu. Secara khusus dalam
kajian ini ditemukan data yang mewakili konsep tersebut. Hasil budaya
atau benda-benda hasil karya manusia yang berhubungan dengan
peralatan dan teknologi dalam novel ini berkaitan dengan teknologi
yang digunakan di Indonesia pada tahun 1980-an dan terdeskripsikan
melalui uraian berikut ini:
Oom Bong menukar dengan radio dengan menggunakan
baterai. Sekalian membeli batu baterainya banyak sekali.
(Atmowiloto, 2017. 78)
Teknologi dan sistem peralatan yang ada dalam Novel Dua Ibu
adalah radio. Salah satu hiburan orang-orang pada zaman itu adalah
mendengarkan siaran radio karena masih jarang orang yang mempunyai
televisi. Radio pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1933.
Mangkunegoro VII dan sarsito Mangunkusumo mendirikan SRV
(Solossche Radio Vereenging) yang menjadi pelopor siaran pertama di
Indonesia.
107
Radio digunakan sebagai alat sarana penyampai informasi kala itu
sampai perkembangannya juga menjadi alat rekreasi. Salah satunya
adalah siaran wayang yang selalu ditunggu pendengarnya.
“semua yang mempunyai televisi dapat melihat dengan jelas. Ya,
semua. Lagi pula siaran itu diulang saya merinding ketika
menyaksikan adegan itu. (Atmowiloto, 2017. 88)
Hasil budaya berbentuk teknologi dan sistem peralatan pada data
di atas adalah televisi. Televisi pada awalnya dipelopori oleh Ir.
Soekarno sebagai pendukung acara ASEAN Games pada tahun 1962,
kemudian dikembangkan menjadi sarana penyampai informasi. stasiun
televisi pertama di Indonesia adalah TVRI. Semanjak itu televisi
berkembang menjadi alat hiburan yang paling diminati oleh masyarakat
Indonesia.
Sebenarnya aku lebih suka naik mobilnya. Naik andong aku
sering-juga kalau membonceng di belakang ketika saisnya
ngantuk. (Atmowiloto, 2017. 72)
Mobil bukanlah hasil budaya asli dari Indonesia atau bahkan oleh
masyarakat Jawa, tokoh Oom Bong menggunakan mobil sebagai alat
transportasi mereka yang mewah dan belum banyak yang memiliki pada
masa itu. Selain mobil ditemukan juga andong, yaitu kereta yang ditarik
oleh kuda sebagai tenaga penggeraknya, yang digunakan sebagai alat
trasportasi untuk menganggkut orang maupun barang.
Ratsih berjalan kaki ke Stasiun Balapan, hampir enam kilometer,
perlahan-lahan. Tidak ada yang membantu membeli karcis, tidak
ada yang membantu mencarikan kereta api, dan dia tak pernah
berpergian sebelumnya. (Atmowiloto, 2017. 182)
Berdasarkan catatan sejarah, kereta api Indonesia pertama kali
beroprasi untuk umum pada tahun 1867. Perjalanan perdana kereta api
ini menghubungkan Desa Kemijen, Semarang dengan Desa
Tanggungharjo, di Kabupaten Grobokan.
108
Pada masa penjajahan kereta api digunakan sebagai alat untuk
mengangkut hasil bumi dan keperluan militer Belanda. Namun seiring
dengan kemerdekan Indonesia, kereta api dijadikan sebagai alat
trasportasi masyarakat yang banyak diminati.
Adam bermaksud membelikan Ibu sebuah mesin jahit bekas. Ia
membuat layang-layang, mengapur rumah orang, membuat mainan
yang dijual Priyadi, mencari jangkrik, bermain kelereng,
mengumpulkan prangko bekas, dan semuanya ditabung.
(Atmowiloto, 2017. 248)
Bentuk teknologi dan sistem peralatan yang digunakan pada Novel
Dua Ibu selanjutnya adalah mesin jahit. Mesin jahit pada masa itu adalah
suatu barang yang mewah, tidak semua orang memiliki. Tokoh Adam
ingin membelikan mesin jahit dengan harapan Ibu dapat bekerja sebagai
seorang tukang jahit. Dahulu ketika perekonomian Ibu Marsono masih
setabil, beliau pernah memiliki mesin jahit sehingga tidak perlu belajar
dari awal. Mesin jahit yang digunakan pada masa itu masih
menggunakan tuas atau pedal manual, dengan cara diinjak pada bagian
tempat kakinya.
Berdasarkan data tersebut ditemukan benda-benda yang berasal
dari budaya masyarakat Jawa dan teknologi asing yang masuk dan
berterima di Indonesia. Di antaranya adalah radio, mobil, andong, mesin
jahit, mobil, dan kereta api. dapat disimpulkan bahwa Novel Dua Ibu
merekam hasil karya manusia yang berkenaan dengan sistem peralatan
hidup dan teknologi.
d. Hasil Budaya Berbentuk Mata Pencarian
Kompleksitas mata pencaharian yang terdapat dalam Novel Dua
Ibu menfokuskan pada bidang pekerjaan tertentu. Hal ini terlihat pada
mata pencaharian seperti tokoh Oom Bong yang berkerja di
Pertelevisian, atau pada tokoh Murjanah yang berkerja sebagai
pedagang.
109
Analisis tentang adanya kompleksitas hasil budaya yang
berbentuk sistem mata pencaharian hidup, difokuskan pada dialog yang
diceritakan oleh tokoh maupun data yang menunjukan aktivitas
berdasarkan data yang dicari, berikut kutipan datanya:
Tapi Ayah tidak suka berkerja sama dengan Belanda. Lebih suka
menjadi abdi dalam di Keraton Kasunanan. Gajinya sangat kecil.
Kata orang Ayah lebih suka jadi priyayi. (Atmowiloto, 2017. 26)
Pada kutipan tersebut dijelaskan hasil budaya berbentuk mata
pencarian yang dilakukan oleh Pak Marsono sebagai seorang abdi dalem
Keraton Kasunanan. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdikan
dirinya kepada keraton dan raja dengan segala aturan yang ada. Abdi
dalem berasal dari kata “abdi” yang berarti mengabdi dan “dalem” yang
artinya internal. Abdi dalem masuk ke dalam golongan priyayi atau
bangsawan pada sistem tingkatan masyarakat Jawa, namum bukan
bangsawan yang mempunyai kelas tinggi. Priyayi mempunyai hak
istimewa seperti menduduki jabatan dalam pemerintahan atau mendapat
jaminan hidup.
Oleh Mbok Grembul semua rambut itu di masukan kedalam
karung bekas gadum bergambar tangan berjabatan. Entah
berapa puluh rumah dimasuki, dirayu, diberi janji bahwa ia akan
datang lagi menengok.
Setelah sampai di rumah, rambut yang kusut itu diuraikan.
Dengan sisir yang giginya sangat jarang, dengan jeruji sepeda
atau dengan tangan. (Atmowiloto, 2017.
Salah satu pekerjaan unik yang ditemukan dalam Novel Dua Ibu
adalah sebagai pengumpul rambut. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh
tokoh Mbok Grembul untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Rambut yang dikumpulkan tersebut kemudian dioleh
sedemikian rupa, untuk dijadikan konde maupun rambut palsu.
Berdasarkan data tersebut terdapat hasil budaya berupa mata pencarian
yaitu sebagai pengumpul rambut.
110
Bung Karno itu hebat. Bisa pidato bahasa Jerman di PBB. Ia
ditakuti oleh seluruh dunia. Lihat saja. Proyek membuat televisi,
di mana saya bekerja. Itu pikiran jenius. (Atmowiloto, 2017. 88)
Temuan data selanjutnya adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
salah satu tokoh dalam Novel Dua Ibu yaitu Oom Bong. Ia bekerja
sebagai seorang ahli acara pertelevisian. Dalam melakukan pekerjaan
Oom Bong sangat memperhatikan kualitas siaran yang dibuatnya.
Berdasarkan data tersebut terdapat hasil kebuadayaan berupa mata
pencarian yaitu sebagai pengelola televisi.
Loh, tentara kok gitu ya, Bu. Tugas di koperasi kata Mbakyu
Solemah sangat menyenangkan karena banyak duitnya.
(Atmowiloto, 2017. 209)
Pekerjaan utama Untung suami Ratih adalah seorang tentara,
namum ia lebih memilih menjalankan koperasi yang ada di asrama
tentara karena lebih dekat dengan istrinya daripada bekerja di luar kota.
Koperasi adalah organisasi ekonomi yang didirikan untuk kepentingan
bersama, dalam hal ini adalah tentara. Koperasi berlandaskan
berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat dengan asas kekeluargaan.
Berdasarkan hasil temuan dalam kajian kompleksitas hasil budaya
berbentuk sistem mata pencaharian hidup, yang mengacu pada beberapa
profesi yang digeluti oleh tokoh ditemukan data mata pencarian yang
didominasi dengan pekerjaan masayarakat kota seperti tentara,
pedagang, maupun pegawai.
5. Nilai Pendidikan Karakter
Kehadiran karya sastra tidak dapat dipandang sebagai media hiburan
semata. Karya sastra merupakan salah satu media yang dipergunakan untuk
pengintegrasian dan penyampaian nilai-nilai pendidikan karakter.
Pendidikan karakter harus terus dan selalu ditanamkan pada generasi
penerus bangsa.
111
Nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam Novel Dua Ibu di
antaranya religius, disiplin, kerja keras, kreatif, semangat kebangsaan,
menghargai prestasi, cinta damai, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-
nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah sehingga dapat berperan positif dalam
mengembangkan karakter positif siswa, sekaligus pengetahuan akademik
siswa. Selanjutnya, nilai-nilai yang terdapat di dalam Novel Dua Ibu akan
dibahas di bawah sebagai berikut:
a. Nilai Religius
Nilai pendidikan karakter terkait dengan nilai religius ini dalam
Novel Dua Ibu adalah bagaimana sikap, dan perilaku tokoh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Pada Novel Dua Ibu ini
nilai religius digambarkan oleh pengarang melalui sikap dan keyakinan
tokoh akan kekuasaan Tuhan YME. Sikap-sikap dan keyakinan tersebut
terpresentasi melalui dialog tokoh-tokoh dan narasi Bu Marsono
maupun tokoh lain dalam Novel Dua Ibu, berikut adalah kutipannya:
Ibu dan Jamil kadang kulihat makan dan kadang tidak. Aku
merasakan lapar itu sangat tidak enak, dan sering memaki
karenanya. “Kita tidak akan mati karena kelaparan, kalau kita
sabar Tuhan tidak pernah tidur.” (Atmowoloto, 2017. 48)
Kutipan berikut merupakan ucapan Bu Marsono, dapat diketahui
adanya sikap dan keyakinan religius dalam dirinya, yakni adanya
keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Gusti Allah.
Meyakini kebesaran Tuhan seperti yang terjadi pada kehidupan Bu
Marsono merupakan sikap religius.
Sikap religius akan membuat seseorang meyakini akan kebesaran
Tuhan dan mempercayai bahwa ia tidak akan sendirian dalam
menhadapi kehidupan. Sikap tersebut menguatkan seseorang dalam
menghadapi masalah yang terjadi, sehingga dalam menghadapi masalah
tidak akan gentar kerena keyakinan tentang Tuhan yang akan selalu
menolong dirinya.
112
Karakter religius juga dapat ditemukan dari ungkapan Mamid akan
keyakinannya terhadap kemurahan Tuhan. Mamid bersyukur setiap hari
yang telah dilewatinya adalah bukti kebesaran Gusiti Allah dan selalu
mengingat bahwa semakan banyak hari yang dilewati akan semakin
mendekatkannya pada cita-cita yang diinginkan. Semua sudah diatur
oleh Tuhan bahkan sebelum manusia itu dilahirkan di bumi. Sikap dan
keyakinan Mamid akan cinta kasih Tuhan merupakan sikap berkarakter
religius. Berikut kutipan perkataan Mamid:
Setiap bangun, aku bersyukur. Satu hari telah lewat ya Tuhan.
Setiap akan tidur, aku bersyukur. Satu hari lagi akan lewat lagi, ya
Tuhan. Semakin banyak hari yang kulewatkan, semakin dekat
jarak kembali ke Ibu. (Atmowoloto, 2017. 124)
Perkataan yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan Bu
Marsono ketika anaknya, Murjanah sakit merupakan bentuk tindakan
yang mencerminkan sikap religius tentang keparcayaanya terhadap
Tuhan akan menolong siapa pun yang menyakini-Nya. berikut adalah
kutipannya:
Sejak saat itu Murjanah menderita sakit. Dua bulan di rumah sakit.
Dua bulan tidak diberitahu oleh dokter apa penyakitnya. Ibu juga
pergi kepada dukun, meminta kan obat. Semua nasihat sudah
dicoba.“Berdoa dan ikhtiar.” Itu yang dikatakan Ibu. Itu pula yang
dilakukan Ibu. (Atmowoloto, 2017. 205)
Berdoa dan berikhtiar adalah salah satu bentuk rasa percaya
tentang adanya Tuhan. Keyakinan akan Gusti Allah yang diungkapkan
oleh Bu Marsono tersebut merupakan sikap religius. Pada hakikatnya
sakit merupakan pemberian dari Tuhan YME. Doa dan ikhtiar yang
dilakukan Bu Marsono kepada Gusti Allah tempat meminta segala apa
diharapkan dan dikehendaki sejatinya adalah ibadah, dan ibadah
merupakan bentuk sikap dan tindakan religius.
113
Berperilaku prihatin dan mencari kesukaran dalam hidup agar doa
itu lekas terkabul adalah keyakinan yang dianut oleh Bu Marsono.
Bentuk perilaku dalam meyakini suatu doa sangat melekat dalam
masyarakat Jawa. Suatu keadaan di mana kesadaran yang muncul adalah
siap menerima segala situasi yang akan terjadi, entah itu baik maupun
buruk. Menurut Kodiran dalam Koentjaraningrat (2009: 340),
kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini
sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang
bersifat nrima, yaitu menyerahkan diri pada takdir.
b. Disiplin
Pada dasarnya disiplin merupakan perilaku manusia yang
tertib,dan mentaati peraturan yang berlaku dengan sangat baik. Karakter
disiplin juga tampak pada beberapa kejadian dalam cerita Novel Dua
Ibu. Karakter disiplin yang terdapat dalam novel ini digambarkan oleh
pengarang dalam salah satu tokoh, maupun dalam kehidupan sehari-
hari. Sikap disiplin tampak pada tokoh Ratsih yang berangkat sekolah
lebih awal dari pada teman-temanya. Walaupun jarak rumah Ratsih
dengan sekolah tidak terlalu jauh. Sikap disiplin Ratsih juga tampak
dalam keseharianya di rumah, seperti mencuci setiap hari, selalu
merapikan dan menjaga kebersihan seprai dan tempat tidur,
membersihkan rumah, maupun membantu mengajak adik bermain.
Ratsih pula satu-satunya yang memperhatikan kain seprai. Tak
boleh kena orang lain. Tak boleh ada yang mengotori. Kalau
berangkat sekolah, ia selalu jauh dari jadwal. Selalu lebih pagi.
. . .Pagi, sebelum waktunya, ia berangkat ke sekolah. Sore belajar,
mencatat, setelah membersihkan rumah. Menyapu, menyrirami
tanaman, mengajak adik bermain. (Atmowiloto, 2017. 41)
Sikap disiplin juga ditunjukan kepada Bu Marsino kepada anak-
anaknya sebagai pembelajaran bahwa pendidikan tetap yang
diutamakan dalam hidup. Bu Marsono tetap menyuruh Mamid
berangkat ke sekolah kendati kakak Mamid, Solemah menikah saat itu.
114
Mamid menurut dan berangkat sekolah sesuai dengan yang
diinginkan Bu Marsono. Sikap yang ditinjukan Mamid adalah contoh
sikap disiplin yang dapat dijadikan keteladanan, berikut adalah
kutipannya:
Pagi itu aku masih masuk sekolah. Aku senang karena semua
teman sekolah mengatakan aku rajin. Kakaknya kawin kok tetap
masuk sekolah. (Atmowiloto, 2017. 14)
Pada tokoh Sumirah, karakter disiplin juga tampak pada dialog
Sumirah dengan dengan Mamid. Sumirah mengajarkan bagaimana dan
apa saja yang harus dikerjakan Mamid di rumah barunya, dari mulai
menaruh sandal, mengambil koran, mandi, mangambil handuk sampai
dengan cara mempersilahakan tamu yang datang. Perilaku Sumirah
yang mengajari Mamid merupakan perilaku yang menunjukkan sikap
disiplin dalam meyingkapi hidup dan menata kehidupan dirinya.
Kedisiplinan itu yang dinasehatkan oleh Sumirah kepada Mamid
anaknya.
“Dua kali sehari harus bersihkan kuku. Jangan pakai guntung besar
atau pisau dapur. Eh, salah-salah bisa terlalu dalam atau kena kulit.
Pakai gunting kuku itu atau gunting kecil. . . (Atmowiloto, 2017.
120)
c. Kerja Keras
Kerja keras adalah sikap yang ditunjukan untuk mengnyelesaikan
hambatan dengan sebaik-baiknya. Dimana ada usaha yang lebih untuk
mencapai suatu tujuan. Hal ini tentunya berlandaskan akan keinginan
diri untuk mau mengerjakan tanggung jawab sebaik mungkin. Sikap
kerja keras ditunjukan oleh Bu Marsono adalah usahanya dalam
membesarakan kesembilan anaknya sendirian, dari menjadi buruh
masak pada acara hajatan maupun menjual barang bekas untuk membeli
beras.
115
Selain itu Bu Marsono ketika menggelar hajatan anak-anakaya
entah itu Solemah, Murjanah, Ratsih, maupun Mamid selalu
menunjukan sikap kerja keras, yaitu dengan menjadi organisator setiap
acara, menyiapkan undangan tamu, memasak, sampai dengan
menyiapkan biaya keuangan untuk mendanai segala macam keperluan.
Melalui dialog antara Murjanah dengan Mamid juga tampak sikap
kerja keras, yaitu dengan bekerja sebagai pedagang dengan suaminya,
kini perekonomian keluarga Murjanah mambaik sehingga bisa
membantu biaya pengobatan Bu Marsono ketika sakitnya sudah tidak
tertahankan. Pada Novel Dua Ibu setiap sikap kerja keras membuktikan
bahwa segala macam halangan yang mengahadang dapat diatasi bahkan
mencapai hasil yang diharapkan walupun tidak mudah. Berikut adalah
kutipan dialog tentang sikap kerja keras yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh dalam Novel Dua Ibu:
Pesta yang dahsyat dan tetap menggambarkan Ibu sebagai
administrator, organisator, dan tukang sulap sekaligus. Mengatur
pertemuan kurang lebih seribu tamu, menyiapkan segala macam
peniti, kemenyan, undangan, dan pesta hingga selesai.
(Atmowiloto, 2017. 10)
Baru saat itu Ibu meneguk air. Air pertama yang melalui
tenggorokanya setelah tiga hari! Selama tiga hari tiga malam, Ibu
tidak makan apapun juga selain mengunyah sirih. Tiga hari tiga
malam! Padahal berjaga dan bekerja terus. (Atmowiloto, 2017. 32)
Perilaku kerja keras juga ditunjukan oleh tokoh Adam ketika ingin
membelikan Bu Marsono mesin jahit bekas. Adam mencari uang dengan
cara membuat layangan, mencari jangkrik untuk dijual, sampai bekerja
mengapur rumah orang. Semua uang ditabung demi membelikan Bu
Marsono mesin jahit. Perilaku Adam menunjukan kerja keras sekaligus
bakti seorang anak kepada orang tuanya. Berikut adalah kutipannya:
Adam bermaksut membelikan Ibu mesin jahit bekas. Ia membuat
layang-layang, mengapur rumah orang, membuat mainan bersama
Priyadi, mencari jangkrik, mengumpulkan prangko bekas, dan
semuanya ditabung (Atmowiloto, 2017. 248)
116
d. Kreatif
Nilai Kreatif merupakan cara seseorang yang cenderung berpikir
serta melakukan dan menciptakan sesutau yang baru melalui barang-
barang atau sesuatu yang telah dimiliki atau tersedia disekitanya.
Merujuk pada Kemendiknas (2010: 9) memberikan pengertian
nilai kreatif sebagai berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Karakter kreatif tersebut ditunjukkan dengan adanya gambaran nilai
kreatif melalui pemikiran dan tindakan Mamid.
Mamid memberikan kartu ucapan selamat Hari Raya Lebaran
kepada Sumirah ibu kandungnya ketika masih kecil, hal tersebut
membuat terharu Sumirah, kerena merasa Mamid masih mengingat
dirinya. Bentuk karakter kreatif juga ditunjukan oleh Ratsih ketika
membuat odol yang berbahan dasar arang. Caranya adalah dengan
menumbuk halus arang hitam kemudian digunakan untuk mengosok
gigi sebagai pengganti odol. Memanfaatkan bahan alam disekitarnya
merupakan bentuk tindakan kreatif yang dilakukan Ratsih mengingat
kekurangan ekonomi yang tengah melanda keluarganya.
Tokoh Adam juga memiliki sikap kreatif ketika ia ingin
membelikan mesin jahit kepada Bu Marsono, yaitu dengan membuat
layang-layang mempergunakan bahan yang ada di sekitarnya. Berikut
adalah kutipan tentang sikap kreatif yang dimiliki tokoh-tokoh dalam
Novel Dua Ibu:
Ratsih paling telaten membuat odol yang berbahan dasar arang
yang ditumbuk halus sekali. Dan ia, Ratsih yang baik itu, mau saja
membagi denganku (Atmowiloto, 2017. 117)
Berikut adalah kutipan tokoh Adan dengan kreativitasnya
berusaha membelikan mesin jahit kepada Bu Marsono:
Adam bermaksut membelikan Ibu mesin jahit bekas. Ia membuat
layang-layang, mengapur rumah orang, membuat mainan bersama
Priyadi, mencari jangkrik, mengumpulkan prangko bekas, dan
semuanya ditabung (Atmowiloto, 2017. 248)
117
e. Cinta Damai
Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya. Sikap ini akan membawa ketenangan dan kenyamanan.
Akhirnya akan tercapai kerukunan dalam bersosialisasi. Sikap cinta
damai dalam Novel Dua Ibu ditunujukkan oleh tokoh Bu Marsono.
Semenjak kematian Pak Marsono ekonomi kelurga Bu Marsono jatuh,
dan banyak tetangga sering menggunjingkan negatif tentang Bu
Marsono. Mendengar hal tersebut Bu Marsono hanya berdiam tanpa
mempedulikan omongan negatif yang ditunjukan kepadanya. Dia hanya
berpasrah diri dan mengajarakan kepada anak-anaknya untuk selalu
bersyukur dan bersabar dalam mengahadapi masalah.
“Kemiskinan dekat sekali dengan kejahatan. Kalau kamu miskin
tanpa menjadi jahat, kau akan memtik hasilnya.
… Ratsih lain lagi mengartikanya. “Lebih baik kita mualai
menanam nanti kita akan memetik hasilnya. (Atmowiloto, 2017.
47)
Sikap cinta damai Bu Marsono juga terlihat ketika menghadapi
masalah dengan mertua anaknya, yaitu Agus. Agus membicarakan
bahwa keluarga dari Bu Marsono selalu meminta bantuan kepadanya.
Tetapi kejadian tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa
sebenarnya Bu Marsonolah yang sering membantu Agus dalam
keseharian. Bu Marsono tetap bersabar dan menjelaskan menyelesaikan
masalah tersebut tanpa ada yang merasa dipermalukan.
Di rumah aku bercerita dengan geram.
Malamnya Ibu ke rumah Paman untuk meminta maaf atas
kelakuanku. (Atmowiloto, 2017. 52)
Kutipan dialog tersebut menjelaskan ketika Mamid membela Bu
Marsono dari omongan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Mamid
memberanikan diri datang menemui paman di rumahnya, dan
mengatakan bahwa Bu Marsono tidak pernah jahat seperti yang paman
katakan. Namum tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh Bu Marsono.
118
Bu Marsono meminta maaf atas perkataan Mamid yang
menyalahkan paman dengan datang ke rumah paman malam harinya.
Tindakan yang dilakukan oleh Bu Marsono mencerminkan sikap cinta
damai yaitu dengan menjelaskan dan meminta maaf, bahkan ketika Bu
Marsono tidak bersalah sekalipun, Bu Marsono tetep menjauhi
pertengkaran.
f. Menghargai Prestasi
Nilai menghargai prestasi merupakan karakter yang positif baik
dalam rangka sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, maupun
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Nilai menghargai
prestasi juga terdapat dalam Novel Dua Ibu ini. Nilai tersebut tampak
pada tokoh Mamid yang mengagumi ayah tirinya, yaitu Oom Bong.
Oom Bong bekerja sebagai pengelola televisi, kehidupan Oom
Bong menjadi seorang yang burjois dan suka menolong membuat
kagum Mamid. Ketika itu Oom Bong membelikan radio kepada
keluarga Bu Marsono, tidak hanya itu Oom Bong juga mengajak makan
di restoran semua anggota keluarga, serta berkunjung di Taman
Sriwedari. Mamid bercita-cita untuk mejadi seorang jendral, ia berusaha
dengan giat untuk meraihnya. Setalah menjadi orang besar ia ingin
seperti Oom Bong yang suka menolong dan kaya. Sikapa yang
ditunjukan Mamid memancunya untuk lebih giat lagi dalam berusaha
meraih cita-cita yang diinginkan, hal tersebut berdampak positif kepada
tokoh Mamid. Sikap menghargai prestasi Mamid ditunjukan dalam
kutipan berikut:
“Diam-diam aku kagum juga dengan Oom Bong. Ia banyak duit,
galak, dan juga sombong. Kalau aku jadi jendral aku juga bisa
seperti dia. (Atmowiloto, 2017. 79)
Tokoh lain yang mempunyai sikap menghargai prestasi ditunjukan
oleh Untung Subarkah kepada Jon, istri Solemah.
119
Pangkat Untung di kententaraan lebih tinggi daripada Jon. Untung
adalah seorang sersan sedangkan Jon adalah prajurit. Untung kagum
dengan prestasi yang telah diperoleh Jon, yaitu pengahargaan atas
prestasinya sebagai seorang penembak jitu terbaik. Untung juga kagum
karena Jon tidak pernah berbesar hati meskipun mendapatkan prestasi
tersebut, malah Jon semakin bersemangat untuk berlatih untuk dapat
lebih baik lagi dikemudian hari. Jon masih seperti biasanya yang sayang
terhadap istri dan anakanya. Jon sendiri masih menaruh rasa hormat
kepada Untung sebagai atasanya di tentara dan bersikap profesional.
Mas Untung sendiri bilang bahwa Mas Jon itu jagoan.
Tembakanya selalu diakui oleh komandannya. Dalam PON lalu
katanya sudah jadi pemenang. Saya jadi ngeri kalau-kalau Herit
ditembak. Ah, itu cuma ketakutan saya ya, Bu, ya. (Atmowiloto,
2017. 224)
g. Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya. Mau berbuat demi kepentingan
negara agar lebih baik dan tidak mengingkarinya. Perilaku yang didasari
tanpa tendensi kepentingan pribadi atau kelomponya. Sikap semangat
kebangsaan terlihat oleh tokoh Jon yang tetap menjalankan tugas
sebagai seorang tentara angkatan laut. Jon harus meninggalakan
keluarganya ketika ditugaskan untuk mengamankan Irian Barat. Jon
menunaikan kewajibanya sebagai seorang tentara untuk melindungi
NKRI dengan menempatkan kepentingan negara di atas keluraganya.
Berikut kutipan yang menunjukan bentuk semangat kebangsaan yang
ditunjukan oleh tokoh Jon dalam Novel Dua Ibu:
Mas Jon dapat tugas berlayar ke Irian Barat. Jadi kemungkinan
besar saya sekeluarga tidak bisa datang, rasanya sudah kangen
sekali. (Atmowiloto, 2017. 20)
120
Kutipan tersebut diambil dari surat yang dikirimkan Solemah
kepada Bu Marsono di Solo. Saat itu Bu Marsono sedang
mempersiapkan acara untuk khitanan Mamid. Solemah adalah seorang
istri tentara, sudah menjadi kewajiaban untuk membantu suami dalam
menyelesaikan tugas untuk negara sehingga menempatakan
kepentingan negara di atas kepentingan lain.
h. Peduli Sosial
Peduli sosial sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Tindakan
peduli sosial tentunya bertujuan membantu orang lain yang
membutuhkan bantuan. Sikap peduli sosial akan membawa kebaikan
dalam hidup bersama.
Novel Dua Ibu, sikap peduli sosial yang ditunjukan oleh Pak
Marsono dan Ibu Marsono dengan merawat sembilan anak yang
dititipkan kepadanya. Tidak mempedulikan kesulitan yang ada
dikemudian hari Bu Marsono merawat dan membesarkan sembilan anak
yang dititikan kepadanya dengan penuh kasih sayang, adil dan tidak
membedakan satu dengan yang lainya. Berikut merupakan dialog Bu
Marsono dengan Pakdhe Wiro ketika menitipakan anaknya:
“Ya biar saja, kita kan dikasih. Yang ngasih kan juga Pakdhe Wiro.
Apa orang dikasih anak tidak mau?”
Almarhum Ayah juga mengangguk saja. (Atmowiloto, 2017. 243)
Sikap peduli sosial juga ditunjukan oleh tokoh supir truk yang mau
memberikan tumpangan kepada Jamil ketika akan merantau ke Jakarta,
namun tidak ada uang untuk biaya trasportasi. Jamil yang memutuskan
pergi dari rumah untuk bekerja memberanikan diri menuyusup truk yang
akan mengantarkan babi ke Jakarta, namaun di tengah jalan Jamil
ketahuan oleh supir truk tersebut, kemudian diturunkan paksa. Melihal
hal tersebut salah satu supir truk lain menawarkan Jamil untuk ikut
truknya saja.
121
Sikap yang ditunjukan supir truk yang mau memberikan
tumpangan kepada Jamil merupakan sikap kepedulian sosial, berikut
adalah kutipannya:
Ia berjongkok hati-hati, seperti ekspresi terima kasih, seperti
ekspresi keheranan. “ Aku kenal Ibumu, kau ikut trukku saja!”
(Atmowiloto, 2017. 160)
Sikap peduli sosial juga ditunjukan oleh tokoh Mamid yang
membantu Limbuk teman bermainnya memilah rambut dagangan Mbok
Grembuk, ibu Limbuk. Mamid sering membantu menyisir rambut bekas
agar Limbuk segera bisa bermain denganya.
Pada kesempatan lain Limbuk memberikan es lilin kepada Mamid
sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya menyelesaikan
pekerjaan, berikut adalah kutipannya:
Aku membantu Limbuk. Aku menyisir rambut kusut, yang
memisahkan seutas demi seutas, menyusun dengan rambut yang
kira-kira sama panjang. Baunya tidak enak. Apek sekali. Tapi
aku mau melakukan karena Limbuk senang. (Atmowiloto, 2017.
83)
Karakter peduli sosial juga ditunjukan oleh tokoh Tikem, yang
sering memberikan makanan pada keluarga Bu Marsono. Berikut adalah
kutipannya:
Ia selalu memberi kue, kalau lagi disuruh membuat kue oleh
majikanya. Ia memberikan lauk-pauk. Selalu memberi sayuran.
Masakanya mungkin enak tapi terlalu pedas dilidahku.
(Atmowiloto, 2017. 91)
Tindakan Tikem yang sering memberi makanan kepada keluarga
Bu Marsono merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama. Meskipun
Tikem adalah seorang pembantu rumah tangga, ia memiliki karakter
yang mau membantu orang lain dengan caranya sendiri. Tikem dikenal
sebagai seorang yang baik dan suka menolong tidak hanya dikeluarga
Bu Marsono saja. Di usianya yang masih muda ia sudah memiliki sorang
anak yang ditinggalakan di Wonogiri, diasuh oleh neneknya. Sementara
dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Solo.
122
i. Nilai Tanggung Jawab
Nilai pendidikan karakter yang terakhir yang ditemukan dalam
novel tersebut, yakni nilai tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan
sikap dan perilaku seseorang guna melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat. Nilai
tanggung jawab tampak dari beberapa sikap dan tindakan yang
ditunjukkan oleh tokoh dalam novel.
Terdapat beberapa data temuan yang menjadi bukti otentik
terdapatnya nilai pendidikan karakter terkait dengan nilai tanggung
jawab. Sikap tanggung jawab ditunjukan oleh Sumirah ibu kandung
Mamid. Ketika Sumirah memutuskan pergi merantau ke Jakarta, ia
menitipkan Mamid yang masih bayi kepada Bu Marsono. Di Jakarta ia
menikah dengan Oom Bong dan mempunyai dua orang anak
perempuan, namun sumirah tidak pernah melupakan Mamid. Berbagai
usaha telah dilakukan Sumirah untuk membuat Mamid mau tinggal
denganya di Jakarta. Sikap yang ditunjukan Sumirah kepada Mamid
adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang orang tua kepada
anaknya.
“Mid,” kata Tante Mirah. “Mulai sekarang kau harus memanggil
Ibu padaku.”
“Dan memanggil Bapak pada Oom Bong.”
“Kau tau, kan, Mid, kau sadarkan, sekarang ini?”
“Kau tau betapa sedih perasaan ku kalau kau memanggil ku
Tante?”
“Aku selalu merindukanmu. Selalu. Mengharapkan kau
berkumpul bersama saudara-saudaramu di Jakarta. Susah atau
senang kita berkumpul. Ya, Mid?” (Atmowiloto, 2017. 99)
Sikap tanggung jawab lain dalam Novel Dua Ibu, ditunjukkan oleh
tokoh Untung Subarkah. Sesudah menikahi Ratih, Untung membawa
Ratih tinggal bersamanya di Surabaya. Ratih tidak membawa bekal
apapun selain pakaian. Sebagai seorang suami Untung membelikan
pakaian, tempat tinggal beserta kebutuhan untuk Ratih istrinya.
123
Sikap Untung kepada ratih merupakan bentuk tanggung jawab
seorang suami kepada istri. Kendati demikian Untung tidak pernah
melupakan tugasnya sebagai seorang tentara untuk mengabdi kepada
negara.
Untung Subarkah mengurus segalanya. Mencarikan tas yang agak
bagus di Tunjungan, membelikan tiket kereta api separuh harga,
meminjam jip yang pintunya hanya dapat ditutup dengan tali
tambahan, serta mengangkut sendiri buah nangka yang besar dan
pisang setandan. (Atmowiloto, 2017. 189)
6. Relevansi Kajian Antropologi sastra dan Nilai pendidikan Karakter
dengan Pengajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas
Pembelajaran sastra idelanya dapat memberikan andil yang signifikan
terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan. Guna
mendapatkan hasil yang baik dalam mendidik siswa-siswi dapat
dilaksanakan dengan pendekaran yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat
merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, dan olah raga. Selain metode
yang tepat dalam mengajar, tentunya materi pembelajaran juga merupakan
salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan belajar mengajar.
Materi pembelajaran yang baik, tepat, dan tentunya efektif untuk siswa
dan guru. Ada pemahaman yang mendalam tentang siswa yang akan diberi
pelajaran tentunya membantu guru untuk mencarikan materi pembelajaran
yang tepat. Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto jika dikaitkan
dengan materi pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XI semester dua
dengan standar kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD) menganalisis
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Materi
pokok dalam pembelajaran ini, yakni novel Indonesia dan novel terjemahan.
Dengan indikator pencapaian siswa, yakni:
124
(a) mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia dan terjemahan, (b) mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik
(alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan ekstrinsik
novel Indonesia, (c) mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur, tema,
penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan ekstrinsik novel
terjemahan dan (d) mampu membandingkan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonsia dengan novel terjemahan novel. Pada
pembelajaran bahasa Indonesia semester dua pada kelas XI dengan standar
kompetensi (SK) memahami buku biografi, novel dan hikayat dengan
kompetensi dasar (KD) membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat.
Materi pokok dalam pembelajaran ini yakni; (a) kutipan hikayat, novel
Indonesia, novel terjemahan, (b) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel/hikayat, (c) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia (d)
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel terjemahan, (e) pembandingan
unsur-unsur intrinsik hikayat, novel Indonesia, novel terjemahan, (f)
pembandingan unsur-unsur ekstrinsik hikayat, novel Indonesia, novel
terjemahan, (g) persamaan umum unsur-unsur intrinsik hikayat, novel
Indonesia, novel terjemahan, dan (h) persamaan umum unsur-unsur
ekstrinsik hikayat, novel Indonesia, novel terjemahan.
Dengan indikator pencapaian kompetensi sebagai berikut: (a) mampu
membaca hikayat, novel Indonesia, novel terjemahan, (b) mampu
mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat, novel Indonesia,
novel terjemahan sebagai bentuk karya sastra, (c) mampu menjelaskan
unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat, novel Indonesia dan novel
terjemahan, dan (d) mampu membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik
hikayat, novel Indonesia dan novel terjemahan.
125
Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto jika dikaitkan dengan
materi pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XII sekolah menengah
atas (SMA) semester I dengan standar kompetensi (SK) memahami
pembacaan novel dengan kompetensi dasar (KD) menanggapi pembacaan
penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan. Dengan materi
pokok pembelajaran antaralain; (a) pembacaan penggalan novel, (b)
penanggapan pembacaan penggalan novel dari segi vokal, (c) penanggapan
pembacaan penggalan novel dari intonasi, dan (d) penanggapan pembacaan
penggalan novel dari penghayatan. Dengan indikator pencapaian
kompetensi yakni siswa mampu menanggapi pembacaan penggalan novel
dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil kajian dan Data yang telah ditemukan, pembahasan
penelitian ini difokuskan kepada empat rumusan masalah. Rumusan masalah
yang dimaksud adalah (1) analisis struktur Novel Dua Ibu karya Araswendo
Atmowiloto, (2) wujud kebudayaan (kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas,
kompleksitas hasil budaya) (3) nilai pendidikan karakter dalam Novel Dua Ibu,
dan (4) relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMA. Pembahasan lebih
rinci tentang hasil penelitian akan dipaparkan dalam uraian berikut ini.
1. Analisis Struktural Novel Dua Ibu
Waluyo dan Wardani (2011: 6) menyebutkan struktur pembangun cerita
fiksi meliputi tema cerita, plot, penokahan dan perwatakan, latar, sudut
pandang pengarang atau latar belakang pengarang, dialog, gaya bahasa,
waktu penceritaan, dan amanat. Unsur-unsur novel dalam antropologi sastra
dianggap telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya yaitu dengan
menganalisis segi manusia sebagai makhluk berbudaya sekaligus dengan
mengaitkan makna karya sastra secara keseluruhan (Ratna, 2011: 45).
Antropologi sastra, psikologi sastra, dan sosiologi sastra merupakan
pendekatan yang tidak bisa dibedakan secara jelas sebab masing-masing
berkaitan erat.
126
Namun, dapat ditentukan dengan objek yang didominasi oleh salah satu
ciri sehingga dianggap pantas dianalisis dengan pendekatan tersebut.
Berdasarkan pendapat Treuer (2010:1) To call something “ethnic
literature” is to imply that it originates from a particular cultural vantage
point or performs work that could be described as cultural. dikatakan
sebagai "sastra etnik" apabila menyiratkan bahwa hal tersebut berasal dari
sudut pandang budaya tertentu atau melakukan pekerjaan yang bisa
digambarkan sebagai budaya. Dalam penelitian ini, analisis struktur hanya
dititik beratkan pada unsur yang berkaitan erat dengan antropologi sastra
yaitu unsur intrinsik yang difokuskan pada tema, tokoh dan latar.
Melalui tiga unsur pokok tersebut sebuah karya sastra sudah dapat
diuraikan dengan kajian antropologi sastra. Relevansi antara ketiga unsur
tersebut dijabarkan Nurgiyantoro (2013:4) yaitu tema sebagai dasar cerita,
gagasan sentral, bersifat mengikat dan menyatukan keseluruhan unsur fiksi
tersebut. Sebagai unsur utama fiksi, penokohan erat berhubungan dengan
tema. Tokoh-tokoh cerita sebagai penyampai tema, adanya perbedaan tema
akan menyebabkan adanya perbedaan pemerlakuan tokoh cerita.
Pada umumnya, pengarang akan memilih tokoh-tokoh tertentu yang
dirasa paling sesuai untu mendukung temanya. Latar akan mempengaruhi
tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi
pemilihan tema. Atau sebaliknya, tema yang sudah dipilih (pengarang) akan
menuntut pemilihan latar (dan tokoh) yang sesuai dan mampu mendukung.
Antara latar dan penokohan mempunyai hubungan yang erat bersifat timbal
balik. Sifat-sifat latar, dalam banyak hal, akan mempengaruhi sifat tokoh.
Bahkan, barangkali tidak berlebihan jika mengatakan bahwa sifat seseorang
akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Berikut adalah pembahasan analisis
struktural Novel Dua Ibu.
127
a. Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari jalan cerita novel. Sejalan dengan yang disampaikan oleh
Kosasih (2012: 60) bahwa tema adalah gagasan yang menjalin struktur
isi cerita. Tema dapat ditafsirkan dengan cara (1) jangan sampai
bertentangan dengan setiap rincian cerita, (2) harus dapat dibuktikan
secara langsung dalam teks prosa fiksi itu, (3) penafsiran tema tidak
hanya berdasarkan perkiraan, (4) tema cerita berkaitan dengan rincian
cerita yang ditonjolkan. Tema yang ditonjolkan dalam Novel Dua Ibu
adalah tentang kasih sayang seorang ibu dengan menyertakan perjalanan
hidup keluarga Marsono yang dekat dengan budaya Jawa. Kehidupan
sederhana yang dijalani para tokoh dengan pendidikan dan tingkat sosial
rendah serta segala macam warna, lika-liku, dan permasalahan
kehidupan.
Beragam persoalan hidup ditampilkan dengan berlatar kehidupan
pelaku utama dan orang-orang yang berada di sekitanya. Kasih sayang
seorang ibu yang menjadi tema utama atau pokok dalam novel ini
dijelaskan melalui bagaimana Bu Marsono mendidik dan membesarkan
sembilan anak yang dititipkan kepadaya.
Sosok seorang ibu yang tangguh, penuh kesabaran dan bijaksana
dalam menyelesaikan persoalan yang hidup, dikisahkan melalui sudut
pandanang seorang anak kecil, yaitu Mamid. Penjelasan tentang tema
Novel Dua Ibu juga memfokuskan tentang bagaimana seorang wanita
Jawa bertindak sesuai dengan tradisi latar belakang budaya yang dekat
denganya. Jika kita melihat pendapat Kasnadi dan Sutejo (2010:10)
tema adalah masalah, prosa fiksi adalah masalah.
Pengerang menuliskannya berdasarkan masalah yang ada dalam
kehidupannya, masalah tersebut bisa berupa agama, sosial, politik,
keluarga, cinta dan sebagainya. Berdasarkan pendapat tersebut Novel
Dua Ibu menitiberatkan masalah ekonomi keluarga sebagai tema.
128
Perekonomian keluarga Martono bisa dikatakan kurang meskipun
Pak Martono bekerja namun penghasilan yang didaptkanya dari bekerja
sebagai abdi dalem Keraton Kasunanan bisa dibilang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan sembilan anak angkatnya, belum
ditambah lagi gaji Pak Martono masih harus dibagikan kepada saudara-
saudaranya. Pengeluaran yang besar dengan pendapatan Pak Martono
yang kecil belum cukup menambah masalah pada keluarga. Masalah
lain datang ketika Pak Martono sakit dan pada akhirnya meninggal
dunia. Tentu saja dengan kematian Pak Martono sebagai tulang
punggung keluarga membuat semakian parah beban yang ditanggung
Bu Martono kedepanya.
Dalam setiap masalah yang ada Bu Martono selalu dapat melihat
masalah dari sudut pandang yang berbeda, dengan penuh kasih sayang
dan kesabaran Bu Martono membesarkan sembilan anak yang dititipkan
kepadanya hingga harus menjual perabot dan peninggalan suaminya
untuk dapat bertahan. Pernikahan wanita Jawa juga menjadi perhatian
khusus dalam Novel Dua Ibu. Pengarang mengambarkan pernikahan
dalam adat Jawa adalah suatu yang sakral. Dalam pernikahan bukan
berarti mengesahkan dua orang secara hukum dan agama, namun juga
menyatukan dua kelurarga menjadi satu. Bagimana seorang wanita Jawa
mempersiapkan diri sebelum pernikahan diceritakan melalui tokoh
Ratsih. Berbagi prosesi sebelum melakukan pernikahan seperti siraman,
rias dan serta memakai wawangian kemenyan, samapi pada prosesi
sungkeman yang dilakukan pengantin kepada orang tua diceritakan
melaluisalah satu anak Ibu yaitu Ratsih.
Sosial budaya juga menjadi tema tambahan yang ada pada Novel
Dua Ibu. Tampak pada kehidupan keluarga Marsono yang berstatus
sosial tinggi dahulunya priyayi berubah menjadi keluarga berstatus
sosial rendah. Anggapan mayarakat tentang keluraga Marsono berubah
ketika banyaknya hutang yang ditanggung oleh Bu Marsono.
129
Selain itu hubungan manusia dengan budaya Jawa tampak pada
bentuk rumah keluarga Marsono yang mempunyai pendopo dan
senthong, serta adat istiadat ketika menikahkan dan mekhitankan
anaknya. Pada setiap bab yang terdapat dalam Novel Dua Ibu dapat
dibaca secara acak. Hal tersebut tidak adakan mempengaruhi inti cerita,
karena pada setiap bab seperti cerpen yang hanya menjelaskan satu
peristiwa tertentu saja tapi saling berkaitan walupun tidak secara
langsung. Bila melihat dengan sudut pandang yang lebih besar,
keseluruhan bab yang ada merujuk pada satu hal yaitu arti kata Ibu bagi
seorang anak. Ketika anak-anak Bu Marsono dalam masalah hanya ibu
yang selalu meraka panggil dalam hati untuk menguatkan mereka.
Dapat disimpulkan tema utama yang ada dalam Novel Dua Ibu
adalah kasih sayang, serta tema tembahan yaitu ekonomi dan keluarga.
Tema yang ada dalam Novel Dua Ibu dipengaruhi tema pembangun
lainya berdasarkan perkambangan karakter tokoh.
b. Tokoh
Fiksi sebagai karya imajiner mengandung dan menawarkan model
kehidupan yang disikapi dan dialami dengan tokoh-tokoh sesuai dengan
pendangan pengarang terhadap kehidupan pembacanya. Jones dalam
Nurgiyantoro (2013:165) menegaskan penokohan merupakan
perlukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita. Tokoh cerita biasanya mengemban suatu
perwatakan tertentu yang diberi isi oleh pengarang. Pada Novel Dua Ibu,
tokoh memiliki peran dalam menyampaikan isi cerita melalui dialog dan
perilaku tokoh yang kemudian menjadi salah satu bagian pendukung
tema.
Jika dilihat dari peran tokoh yang mendominasi cerita, atau sering
kali muncul dalam cerita, tokoh tersebut sering disebut dengan tokoh
utama. Tokoh utama adalah tokoh yang ditulis hampir disetiap plot,
kejadian dari awal hingga akhir cerita. (Nurgiyantoro 2013:183).
130
Tokoh utama dalam Novel Dua Ibu adalah Mamid, Mamid
diceritakan adalah seorang anak kecil kelas enam SD yang manja dan
sering dijadikan bahan olek-olokan oleh saudaranya yang lain. Melalui
sudut pandang Mamid, anak kecil yang polos dan manja bagaimana
kasih sayang seorang ibu yang tulus terhadap anaknya, permasalahan
keluarga, kearifan budaya Jawa dikisahkan. Jalannya cerita Novel Dua
Ibu didukung oleh tokoh tambahan atau tokoh sampingan.
Tokoh tambahan dalam Novel Dua Ibu yaitu Bu Marsono (Ibu),
Pak Marsono (Ayah), Sumirah (Tante Mirah), Oom Bong, Solemah,
Murjanah, Jamil, Ratsih, Adam, Prihatin, Priyadi, Herit, Pakdhe Wiro,
Agus, Paman, Pak Mo, Mas Jon, Untung Subarkah, Limbuk, Tikem,
Mbok Grembul, Pak Dokter, dan Pak Guru. Tokoh tersebut meskipun
kehadirannya tidak disetiap permasalahan tetapi tokoh-tokoh tersebut
sangat penting karena mendukung tokoh utama.
Hal ini senada dengan yang dipaparkan oleh Waluyo dan Wardani
(2011: 19) bahwa tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dijadikan
latar belakang saja dan tidak dianggap penting. Meskipun demikian,
tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam
cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh
utama. Kehadiran tokoh tambahan dalam novel ini memberikan
pengaruh pada tokoh utama, konflik sosial, dan latar budaya dalam
cerita ini memberikan gambaran mengenai penokohan para tokohnya.
c. Latar/Setting
Latar/Latar terdiri atas tiga unsur utama yang meliput latar tempat,
waktu, dan sosial. Hal senada dinyatakan (Nurgiyantoro, 2013: 217)
pada hakikatnya unsur latar dapat dibagi menjadi tiga unsur pokok,
yaitu: tempat, waktu dan sosial, ketiga unsur tersebut saling berkaitan
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainya.
131
Latar tempat mengarah pada tempat terjadinya peristiwa dalam
novel. Latar waktu berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa yang
dikisahkan dalam novel. Latar sosial masyarakat mencakup kebiasaan
hidup, cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang
bersangkutan. Pengarang Novel Dua Ibu Arswendo Atmowiloto
mengambil latar tempat mayarakat Jawa pada karangannya. Sebagaian
besar mengambil latar tempat Kota Solo atau Surakarta, Provinsi Jawa
Tengah.
Tokoh dalam Novel Dua Ibu menyebutkan beberapa kata daerah
seperti “Mbakyu Solemah” sebutan untuk kakak perempuan, “Pakdhe
Wiro” sebutan untuk paman, “Senthong” kamar dalam rumah Jawa yang
biasanya untuk tempat penyimpanan, pendhopo atau teras depan rumah
yang luas pada ruamh Jawa “Andong” adalah kereta yang ditarik oleh
kuda biasanya digunakan untuk alat trasportasi mengangkut barang atau
orang. Beberapa kejadian yang dialami tokoh merujuk pada Kota Solo
seperti mengunjungi Taman Sriwedari.
Taman Sriwedari merupakan taman hiburan rakyat yang dibangun
oleh Pakubuono X, tepatnya di daerah Laweyan Kota Surakarta. Di
dalamnya terdapat taman bermain anak-anak, kebun binatang, galeri
kesenian, dan gedung pertunjukan kesenian wayang orang. Latar tempat
lain yang digunakan pengarang tidak terlalu kuat pengarunya adalah
tempat tinggal tokoh Sumirah yaitu Jakarta, latar lain adalah tempat
tinggal Solemah dan Ratsih yang berada di Surabaya, dan ketika Bu
Marsono pindah rumah ke Batu Ratno. Disebutkan juga pasar Legi,
yaitu pasar di daerah Solo yang menjual berbagai macam kebutuhan
pangan. Pasar legi terletak di Kelurahan Setabelan, Kecamatan
Banjarsari, sebelah utara Pura Mangkunegara. Sebagai pasar tradisional
pasar Legi merupakan pasar yang besar di Kota Solo, sebagai pusat
menjual berbagai macam hasil pertanian dan kebutuhan pangan.
132
Latar tempat selanjutnya adalah Stasiun Balapan, diceritakan
bahwa Stasiun Balapan adalah salah satu pintu masuk utama yang paling
banyak digunakan ketika hendak pergi ke Kota Solo. Beberapa tokoh
seperti Ratsih dan Untung, menyebutkan berpergian menggunkan kereta
melalui Stasiun Balapan.
Latar tempat lain yang yang tidak digambarakan secara jelas
namun merujuk pada suatu tempat terjadinya peristiwa anatara lain
adalah penjara di Singapur, asrama tentara Surabaya, Rumah Oom
Bong, Sekaten, Rumah Paman, tempat praktek Pak Dokter, sekolah
tempat Ratsih dan Mamid belajar, Rumah Mbok Grembul, rumah
majikan Tikem, dan kamar mandi. Latar yang digunakan dalam Novel
Dua Ibu digolongkan ke dalam latar tipikal yaitu memberikan kekhasan
latar yang membedakannya dengan latar yang lain sebagai daerah
dengan lingkungan sosial budaya dan nilai spiritual yang khas sehingga
dapat tercermin melalui pendeskripsian lokal daerah (Nurgiyantoro,
2013: 221).
Latar waktu menunjukkan waktu terjadi peristiwa yang
diceritakan dalam novel. Secara keseluruhan novel ini, mengambil
tahun antara 1960 sampai 1980, beberapa dialog tokoh yang merujuk
pada latar waktu tersebut adalah membahas tentang kematian John F
Kennedy, presiden Amerika Serikat yang tewas tertembak pada tahun
1963 saat mengikuti pawai kenegaraan. Latar waktu juga tuunjukan
pada dialog tokoh yang menyebutkan krisis Irian Barat.
Menurut catatan sejarah Republik Indonesia krisis Irian Barat
terjadi pada tahun 1945-1963 yaitu perebutan daerah kekuasaan antara
negara Indonesia dengan Belanda pada saat itu. Penggambaran waktu
secara umum pada Novel Dua Ibu juga berupa penunjuk waktu
terjadinya peristiwa terjadi yaitu pagi, siang, sore dan malam. Selain
keterangan waktu jumlah hari.
133
Latar waktu juga merujuk pada masa lampau, yaitu kemarin pagi.
Selain keterangan “kemarin pagi” sebagai keterangan waktu masa
lampau, bagian yang lain juga memberikan latar waktu masa lampau,
yaitu sebulan yang lalu dan ketika masa anak-anak tokoh aku. Bukan
hanya keterangan waktu yang telah berlalu, tapi keterangan waktu
“besok paginya” juga dituliskan dalam kutipan paragraf Novel Dua Ibu.
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
mayarakat yang ada pada novel tersebut. Pada Novel Dua Ibu ditemukan
latar sosial berhubungan dengan tradisi yang digunakan mayarakat Jawa
seperti pada saat menggelar upacara pernikahan. Tata cara pernikahan
yang disebutkan dalam Novel Dua Ibu anatara lain adalah prosesi
siraman yang bermaksud untuk membersihkan diri agar menjadi bersih
suci lakhir dan batin. Sampai pada prosesi sungkeman sebagai ungkapan
bakti kepada orang tua sekaligus meminta doa restu.
Latar sosial lain yang ada adalah yang dilakukan oleh salah satu
tokoh ketika keluarganya meninggal dunia. Adapun upacara yang
dilakuakn dalam adat Jawa antara lain adalah upacara Ngasur tanah
diselengarakan pada hari meninggalnya seseorang. Upacara tigang
dinten yaitu upacara yang dilakukan untuk memperingati tiga hari
meninggalnya seseorang. Biasanya mengundang dan memberikan
makanan yang sudah didoakan kepada saudara atau tetangga terdekat.
Upacara pitung dinten, untuk memperingati tujuh hari meninggalnya
seseorang. Upacara sekawan dasa dinten, untuk memperingati empat
puluh hari meningalnya seseorang.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa orang yang sudah meninggal
arwahnya masih berada di rumah tempat keluarga yang ditinggalkan.
Untuk mnghormati diadakan upacara-upacara tersebut sehingga arwah
keluarga yang meninggal dapat tenang dan mendapat jalan kembali
kepada Gusti Allah. Latar sosial lain ditunjukan pada saat acara khitanan
anak laki-laki.
134
Bermaksud dengan mengundang krabat dan saudara untuk kenduri
dengan makanan nasi tunpeng, sayur urap, srundeng, ketan, apeng dan
jenang gurih. Sebelum anak yang akan dikhitan berangkat biasanya akan
digendhong dulu oleh orang tuanaya, yang maksudnya adalah biar orang
tua yang memikul sakitnya anak yang akan dikhitankan.
2. Wujud Kebudayaan dalam Novel Dua Ibu
a. Kompleksitas Ide dalam Novel Dua Ibu
Dalam Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto terdapat
wujud kompleksitas ide yang merupakan budaya Jawa. Wujud
kompleksitas ide dalam novel ini terpresentasi nilai-nilai yang ideal
dalam budaya Jawa serta bersifat universal. Kompleksitas ide yang
ditemukan: (a) ide tentang hakikat hidup manusia, (b) ide tentang
hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (c) ide tentang
pandangan manusia terhadap alam semesta, dan (d) ide tentang hakikat
hubungan antara manusia dengan sesamanya.
Menurut Alisjahbana (1988: 153) menyatakan bahwa teori nilai
menyelidiki proses dan isi penilaian, yaitu proses-proses yang
mendahului, mengiringkan, malahan menentukan semua kelakuan
manusia. Karena itu teori nilai menghadapi manusia sebagai mahkluk
yang berkelakuan sebagai objeknya. Dari sisi lain, Koentjaraningrat
(2009: 153) menyatakan bahwa nilai-nilai budaya dalam suatu
kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para
individu yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan.
Penelitian mengenai kompleksitas ide pada karya sastra yang
berupa novel pernah dilakukan oleh M Tri Atmojo (2016), pada
penelitian tersebut Atmojo, M. A juga mengkaji sikap hidup orang Jawa
dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Selanjutnya,
Styaningsih, T (2015) juga meneliti kompleksitas ide dengan objek
kajian novel yang dilatar belakangi budaya dan mindset masyarakat
Tionghoa melalui novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM.
135
Yulisetyani, Setiawan, A (2012) menyelesaikan penelitiannya
dengan memaparkan wujud budaya priyayi Jawa yang berupa
kompleksitas ide pada Langendriya Lakon Damarwulan.
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang telah
disebutkan di atas ialah terdapat anlisis struktur novel serta lebih
memiliki orientasi yang lebih kompleks dalam mendeskripsikan wujud
budaya menjadi empat masalah dasar dalam hidup, yaitu (1) ide tentang
hakikat hidup manusia, (2) ide tentang hakikat kedudukan manusia
dalam ruang dan waktu, (3) ide tentang pandangan manusia terhadap
alam semesta, dan (4) ide tentang hakikat hubungan antara manusia
dengan sesamanya. Berikut akan diuraikan pembahasan hasil temuan
data yang berkaitan dengan kompleksitas ide manusia.
1) Ide tentang Hakikat Hidup Manusia
Sikap hidup manusia Jawa, menurut Jong (dalam Astutik,
2012:3) menyatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki sikap hidup
rila, nrima, dan sabar. Dalam kaitan ini Geertz memberikan batasan
ketiga konsep tersebut adalah rila disebut juga ikhlas, yaitu
kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya
kepada Tuhan. Narima berarti merasa puas dengan nasib dan
kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan
terima kasih. Sabar, menunjukkan ketiadaan ketidak sabaran,
ketiadaan nafsu yang bergolak.
Pandangan selanjutnya tampak adanya hakikat hidup manusia
adalah buruk atau penuh dan tidak terlepas dari masalah sehingga
manusia dapat mengusahakan untuk menjadikannya suatu hal yang
baik dan juga menggembirakan. Kebanyakan orang Jawa percaya
bahwa hidup kehidupan manusia di dunia sudah diatur dalam alam
semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nerima, yaitu
menyerahkan diri kepada takdir.
136
Sikap pasrah dan menerima akan takdir dalam Novel Dua Ibu
nampak pada sikap tokoh Bu Marsono. Sikap ikhlas dan menerima
akan takdirnya dan ada kepercayaan bahwa semuanya sudah Tuhan
yang mengatur hidup ini.
Lewat jalan apapun kalau itu memang sudah menjadi haknya,
pasti akan jatuh ke tangan yang memang berhak. Sikap yang muncul
adalah pasrah diri. Hal ini juga muncul dalam sikap tokoh anak-
anaknya, yaitu Solemah dan Ratsih. Pasrah dan ikhlas menjalani
kehidupan, menerima dengan rasa syukur terhadap rejeki yang
mereka dapat, serta percaya Tuhan lah yang mengatur. Cara pandang
yang menerima serta prihatin terhadap takdir yang dijalani
ditunujkan oleh Bu Marsono ketika kematian Pak Marsono. Bu
Marsono mengikhlaskan segala sesuatu terhadap Tuhan. Hidup dan
mati, rejeki dan jodoh sudah ada yang mengatur, kita harus berusaha
yang terbaik untuk mendapatkanya.
Hal demikian juga tampak pada falsafah orang Jawa yang
menjelaskan bahwa urip iku mung saderma nglakoni, atau hidup itu
hanya menjalani, hal ini dipercayai oleh dimana semua kejadian
buruk dalam kehidupannya harus diterima dengan ikhlas.
Pandangan tersebut juga dimilki oleh tokoh Jamil diterlihat cara
pandang optimisme terhadap hal negatif yang sedang dihadapinya.
Jamil percaya bahwa segala hal dapat menjadi lebih baik jika kita
sungguh-sungguh dalam melakukanya.
Dapat disimpulkan bahwa cara pandang akan hakikat hidup
orang Jawa yakni mengenalnya kepasrahan dan keikhlasan dalam
menjalani kehidupan serta di sisi lain juga ada usaha untuk
memperbaiki keadaan dengan usaha keras dan pengorbanan.
Melalui keuletan ibunya yang digambarkan sebagai tokoh Bu
Marsono (Ibu) menjadi bentuk nyata adanya usaha dan ikhtiarnya
dalam menjalani kehidupan agar lebih baik lagi kedepanya.
137
2) Ide tentang Hakikat Kedudukan Ruang dan Waktu
Menurut Koentjaraningrat (2009: 155) bahwa ada kebudayaan
yang memandang penting masa lampau dalam kehidupan manusia.
Dalam kebudayaan serupa itu orang akan lebih sering menjadikan
tindakannya pada masa lalu untuk dijadikan sebagai pandangan
untuk bertindak pada masa yang akan datang. Pandangan manusia
tentang belajar dari masa lalu membuatnya dapat berhati-hati dalam
melangkah untuk masa depan. Terdapat pula pandangan hidup
tentang masa sekarang tanpa mengindahkan yang terjadi pada masa
lampau ataupun pemikiran terhadap masa depan. Hal tersebut
membuat seseorang hanya mementingkan keadaan yang terjadi di
hadapanya saja, tanpa memikirkan konsekuensi yang terjadi di
kemudian hari. Tentunya penting untuk kita sebagai manusia belajar
tentang yang kita telah alami untuk bekal dikemudian hari. Agar
segala hal yang kita inginkan dapat terencana dan tercapai sesuai
dengan keinginan.
Terdapat dua hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan
waktu yang tampak pada cerita novel tersebut, yaitu pandangan
tentang masa lalu sebagai pembelajran masa sekarang dan
pandangan masa lalu terhadap orientasi masa depan. Hal ini
mengindikasikan bagaimana pandangan umum manusia atau
masyarakat dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan.
Kompleksitas ide ini berorientasi tentang pandangan manusia
tentang waktu dan peranannya dalam kehidupan tokoh dalam cerita
novel. Kompleksitas ide tentang hakikat manusia dalam ruang dan
waktu ini secara umum terdapat data dalam narasi maupun dialog
tokoh.
138
Pandangan terhadap masa lalu untuk masa sekarang, terdapat
pada saat tokoh Ratsih menikah dan tinggal bersama suaminya
Untung Subarkah. Ratsih merasa bersyukur mendapatkan suami
seperti Untung Subarkah.
Ratsih pernah dilamar oleh seorang tentara yang bernama
Tukimin, namun Tukimin lebih memilih wanita lain berdarah
bangsawan. Dari pengalaman tersebut Ratsih bersyukur mendapat
suami yang dapat menerima dirinya apa adanya. Pandangan tokoh
lain tentang masa lalu yang dapat dijadikan masa depan adalah tokoh
Mamid. Kejadian yang mengarah pada pendapat tersebut adalah
ketika Mamid membuat catatan kecil dibukunya untuk mengingat
segala sesuatu yang penting. Mamid menyadari bahwa dirinya
adalah seorang yang pelupa. Belajar dari kesalahan masa lalu
Mamid selalu mencatat segala hal yang diangggapnya penting.
Tindakan yang berorientasi terhadap masa lalu juga dilakukan
serupa juga ditemukan pada tokoh Jamil. Ketika tengah mengadapi
cobaan Jamil teringat dengan nasihat ibunya (Bu Marsono), bahwa
kita harus selalu sabar dan bersyukur terhadap masalah yang ada di
depan kita. Jamil belajar dari nasihat tersebut untuk menguatkan
hatinya.
Pandangan masa lalunya yang melakhirlah perencanaan serta
tindakan dalam bentuk ide atau bahkan tindakan untuk kebaikan
masa depan terlihat pada beberapa tokoh dalam novel. Pandangan
tersebut muncul pada tokoh Ratsih yang mendengar nasihat dari Ibu
tentang tindakan yang dilakukan Mamid, yaitu mencuri tomat di
pasar untuk tambahan bumbu sambal. Dari kejadian tersebut Ratsih
memutuskan untuk menanam sendiri kebutuhan dapur seperti,
tomat, cabai, samapi dengan jagung.
139
Tindakan lain yang dilakukan Ratsih adalah meminta pesta
pernikahannya jangan dibuat megah. Permintaan tersebut dilakukan
Ratsih berdarakan pengalam di masa lalu saat kakaknya Solemah
menikah memerlukan banyak biaya, hingga harus menjual perabot
yang ada di rumah.
Tokoh Murjanah juga mempunyai pandangan masa lalu yang
dijadikan pembelajaran untuk masa depan. Murjanah belajar dari
kesalahan masa lalunya yang sering meragukan suaminya Agus
dalam berbagai hal. Keraguan Murjanah berujung pada beban
pikiran dan akhirnya jatuh sakit. Murjanah mendapat nasihat dari
Ibu untuk selalu mengikuti suaminya, belajar dari nasihat yang
diberikan Bu Marsono dan pengalamannya di masa lalu Murjanah
akhirnya menuruti kemauan suaminya. Pada akhirnya membuka
usaha dan sukses dengan berdagang.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum masyarakat Jawa,
menggunakan orientasi waktu ke masa lalu, masa sekarang, dan
masa depan. Hal itulah yang tergambar dari pemikiran dan
pertimbangannya dalam melakukan pekerjaan dan mengambil
keputusan untuk hidupnya. Masa lalu sebagai pegangan supaya
berhati-hati mengambil keputusan, dan orientasi ke masa depan
sebagai upaya merencanakan kehidupan yang lebih baik.
3) Ide tentang Pandangan Manusia terhadap Alam Semesta
Pembahasan hasil penelitian berikutnya mengenai
kompleksitas ide yang menunjukkan pandangan manusia terhadap
alam semesta. Berdasarkan hasil pengkajian data, hubungan
manusia dengan alam pada Novel Dua Ibu cenderung menunjukkan
sikap yang mengelola alam, daripada sikap menguasai alam untuk
kepentingan hidup manusia. Mengenai hakikat manusia dengan
alam Idrus (2007: 394) mengemukakan bahwa penghargaan
masyarakat tentang alam ada dua pandangan.
140
Pandangan pertama menganggap alam sebagai wahana untuk
hidup. Pandangan kedua menganggap bahwa alam memiliki
kekuatan yang tidak dapat mereka prediksikan.
Berdasarkan hasil kajian, tampak adanya data yang
mengindikasikan bahwa manusia itu adalah penguasa alam. Dan
menjadikan alam sebagai wahana untuk hidup. Hal tersebut tampak
adanya kecenderungan yang muncul dari tokoh Solemah yang
menanam pohon pepaya sebagai sumber makanan. Tokoh Untung
juga melakukan hal serupa yaitu menanam buah nangka dan
digunakan sebagai oleh-oleh ketika berkunjung ke rumah Bu
Marsono. Hubungan manusia dengan alam yang lain tampak ketika
Bu Marsono melepaskan burung yang dipelihara almarhum Pak
Marsono. Bu Marsono merasa kasihan terhadap binatang tersebut
karena sudah tidak ada lagi yang merawat dan memberi makan
semenjak kematian Pak Marsono.
Pandangan bahwa alam memiliki kekuatan yang tidak terduga,
dialami oleh tokoh Jamil ketika merantau. Jamil saat itu terjebak
bencana alam banjir yang memaksanya harus berlindung satu hari-
satu malam di atas pohon jambu untuk bertahan hidup. Pada narasi
cerita digambarakan bagaimana keadaan yang terjadi ketika bencana
banjir melanda kala itu seperti, rumah yang tampak atapnya saja,
listrik mati, hingga penyakit diare yang menyerang akibat air yang
kotor. Berdasarkan temuan tersebut dapat dimabil kesimpulan
bahwa hubungan manusia dengan alam yang ada pada Novel Dua
Ibu adalah hubungan yang saling membutuhkan secara harmonis.
Merujuk pada Data tersebut manusia dengan alam hanya dapat
terjadi jika manusia memanfaatkan hasil alam untuk kebutuhan
hidup dengan cara yang wajar dan bijaksana.
141
Manusia bukanlah penguasa alam, karena sejatinya antara
manusia dengan alam memiliki hubungan kausalitas saling memberi
dan menerima. Sehingga keharmonisan dan rasa saling
menghormati harus selalu tetap dijaga.
4) Ide tentang Hakikat Hubungan antara Manusia dengan
Sesamanya
Berdasarkan hasil pengkajian data pada Novel Dua Ibu
mengenai hubungan manusia dengan sesamanya ditemukan dua
orientasi hubungan, yaitu secara vertikal dan horizontal. Pada data
yang menunjukkan hubungan secara vertikal, terlihat adanya sikap
yang menunjukkan kepatuhan atau ketaatan terhadap orang yang
lebih tua. Orientasi hubungan antara sesama secara horizontal pada
Novel Dua Ibu tampak terlihat melalui sikap saling tolong menolong
dan saling menghargai demi tercapainya hubungan baik di dalam
keluarga dan masyarakat.
Orientasi hubungan secara vertikal yang memunculkan adanya
sikap kepatuhan terhadap orang yang lebih tua ditemukan pada
tokoh anak-anak keluarga Marsono. Dalam surat yaang ditulisakan
Solemah kepada ibunya, selalu ditulisakan kata-kata “sungkem
pangabekti” yang bertujuan untuk menunjukan bakti anak kepada
orang tuanya. Tokoh Mamid juga menunjukan hubungan secara
vertikal kepada ibunya, yaitu dengan selalu mendengarkan dan
mengamalkan nasihat yang diberikan ibunya. Tindakan yang
dilakukan Bu Marsono terhadap suaminya juga menujukan
hubungan vertikal dalam keluarga, yaitu dengan mengikuti dan
mengabdikan diri kepada suaminya. Orientasi hubungan antara
sesama secara horizontal pada Novel Dua Ibu tampak pada tindakan
Jamil terhadap Ratsih.
142
Ketika Ratsih masuk SMP ada masalah dengan pengelihatanya,
Jamil kemudian mambawa Ratsih berobat dan membelikan kaca
mata. Tindakan Ratsih yang mau mengantarakan Mamid berobat
ketika sakit juga menunjukan hubungan horizontal. Hubungan
tolong-menolong terlihat juga pada tindakan yang dilakukan Tikem,
yaitu dengan memberi roti ataupun makanan kepada keluarga Bu
Marsono.
Pada kesempataan lain Mamid juga menunjukan perilaku
tolong-menolong yaitu dengan mengirimkan pakaian bekas kepada
keluarganya di Solo. Hubungan anatara manusia secara horizontal
juga terlihat saat Oom Bong mengajak keluarga Bu Marsono
berlibur ke Taman Sriwedari kemudian membelikan Radio saat
pulang. Dalam masyarakat Jawa sikap tolong menolong antarsesama
terlihat ketika menggelar syukuran. Biasanya setelah syukuran
berlangsung para tetangga akan mendapat nasi tumpeng. Tradisi
tersebut mengajarkan tentang hidup bermasyarakat secara rukun.
Adanya prinsip dalam menjaga hubungan baik dengan
sesamanya. Tradisi tersebut tampak pada falsafah orang Jawa yang
diungkapkan, yakni ngalah duwur wekasane atau mengalah demi
kebaikan adalah perbuatan yang mulia, berbudi bawa laksana atau
bersikap terbuka dan apa adanya, sepi ing pamrih rame ing gawe
atau selalu menolong ikhlas tanpa maksud tertentu.
b. Kompleksitas Aktivitas dalam Novel Dua Ibu
Koentjaraningrat (2009: 151) menyatakan bahwa wujud kedua
dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul
satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun,
selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
143
Dengan adanya interaksi terus menerus tentunya juga akan ada
bentuk pembentukan suatu identitas. Wujud kedua dari kebudayaan
adalah kompleksitas aktivitas sebagai wujud budaya Jawa yang
terpresentasi dalam Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto.
Aktivitas yang dimaksud, meliputi.
(a) aktivitas yang berhubungan dengan kekerabatan; (b) aktivitas
yang berhubungan dengan ekonomi; (c) aktivitas yang berhubungan
dengan kesenian dan rekreasi; (d) aktivitas yang berhubungan dengan
sistem religi dan sistem ritual kepercayaan; dan (e) aktivitas yang
berhubungan dengan pendidikan. Berikut adalah pembahasanya.
1) Aktivitas Berhubungan dengan Kekerabatan
Berdasarkan temuan data, terdapat kompleksitas aktivitas
tokoh dalam bidang kekerabatan , yakni meliputi aktivitas
kekerabatan berupa pernikahan, aktivitas kekerabatan berupa tolong
menolong kerabat, aktivitas kekerabatan berupa pengasuhan anak-
anak, dan aktivitas kekerabatan berupa menjaga hubungan baik
pergaulan antarkerabat. Temuan data tersebut menunjukkan
pandangan masyarakat Jawa tentang pentingnya makna kekerabatan
dalam kehidupan. J.L. Gillin dan J.P. Gillin (dalam
Koentjaraningrat, 2009: 166) bahwa pranata yang berfungsi untuk
memenuhi keperluan kekerabatan, yaitu yang sering disebut
domestic institutions. Contoh: perkawinan, tolong-menolong antar
kerabat, pengasuhan anak, sistem istilah kekerabatan, dan
sebagainya.
Bentuk sikap menolong yang dilakukan Bu Martono untuk
mengasuh anak Pakdhe Wiro dalah salah satu contoh hubungan
kekrabatan yang ada dalam Novel Dua Ibu. Bentuk lain yaitu ketika
Pak Martono memberikan sabagian uang gaji kepada saudaranya
untuk membantu keperluan hidup.
144
Bentuk kekeraban yang saling membantu di atas juga
diungkap oleh Koentjaraningrat (1979:269) Apa bila ada seseorang
mengalami kesukaran keuangan, maka para saudara kandung wajib
membantu. Sikap rendah hati dan suka menolong Bu Martono
menurun kepada salah satu anak yang di asuhnya yaitu Mamid.
Mamid ketika sudah tidak tinggal dengan Bu Martono,
menunjukan baktinya dengan cara mengirimkan pakaian bekas
kepada keluarga yang di Solo. Bentuk kekrabatan yang dilakukan
masyarakat Jawa tampak pada saat kematian Pak Martono.
Diceritakan bahwa kerabat, saudara, handai taulan mengiringi
almarhum Pak Martono ketika hendak dikuburkan. Selain hubungan
kekrabatan yang dilakukan oleh keluraga, terdapat data hubungan
kekrabatan yang dilakukan melalui pernikahan.
Data yang menunjukan hal tersebut adalah pernikahan yang
dilakukan oleh anak asuh Bu Martono antara lain Solemah menikah
dengan Mas Jon, Murjanah menikah dengan Agustus, Ratsih
menikah dengan Untung Subarkah, dan yang terakhir Sumirah yang
menikah dengan Oom Bong. Adapun hubungan kekrabatan yang
dilakukan oleh tokoh Tikem yaitu dengan memberikan makanan
kepada keluarga Martono. Tindakan yang dilakukan Tikem adalah
bentuk hubungan kekerabatan di luar dari hubungan darah atau
keluarga. Tikem adalah contoh perilaku orang Jawa yang
berpegangan pada prinsip sepi ing pamrih rame ing gawe yang
artinya dalam melakukan kebaikan tidak perlu memikirkan balasan
dan tidak banyak bicara, atau bisa dikatakan dengan istilah ikhlas.
2) Aktivitas yang Berhubungan dengan Ekonomi
Aktivitas di bidang ekonomi bertujuan untuk memperoleh atau
menghasilkan pendapatan atau uang yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
145
Berdasarkan hasil penelitan pada Novel Dua Ibu, ditemukan
sejumlah data yang menunjukan beragam mata pencaharian yang
dimiliki para tokoh dalam novel tersebut, di antaranya pedagang,
abdi dalem Kraton, tentara, pegawai televisi, dan pengumpul rambut
bekas.
Aktivitas ekonomi sebagai abdi dalem kraton dilakukan oleh
Pak Martono. Karena pekerjaan tersebut masyarakat menyebut Pak
Martono sebagai priyayi atau seorang bangsawan. Seperti yang
diungkapkan dalam Koentjaraningrat (1979: 280) bahwa para
bangsawan memperoleh kedudukan sebagai pegawai istana
(Kraton), dan banyak pula menjadi seniman istana, ahli
kesusastraan, penari, dan pencipta tari. Aktivitas yang berhubungan
dengan ekonomi lain yang unik ditemukan oleh tokoh Mbok
Grembul yang bekerja sebagai pengumpul rambut. Mbok Grembul
mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk mencari rambut rontok
yang panjang, kemudian rambut-rambut tersebut diuraikan dan
diolah sedemikian rupa untuk dijadikan rambut palsu seperti konde.
Aktivitas yang berhubungan dengan ekonomi ditemukan juga
pada tokoh lain, yaitu Mas Jon dan Untung Subarkah yang bekarja
sebagai seorang tentara. Hasil temuan lain, yaitu pada tokoh Oom
Bong yang menjadi pegawai televisi. Murjanah sebagai seorang
pedagang. Tikem yang bekarja sebagai seorang pembantu rumah
tangga di Solo.
3) Aktivitas yang Berhubungan dengan Kesenian dan Rekreasi
Wujud kompleksitas selanjutnya adalah berupa aktivitas
dalam bidang kesenian dan rekreasi. Kesenian dan kebudayaan tidak
dapat dipisahkan. Kajian terhadap Novel Dua Ibu menemukan
beberapa data yang di dalamnya mengandung aktivitas atau kegiatan
masyarakat atau tokoh dalam bidang seni dan rekreasi.
146
Pada Novel Dua Ibu aktivitas rekreasi lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan kesenian. Rekreasi yang disebutkan anatra
lain adalah pasar malam sekaten, yang bertempat di alun-alun utara
Keraton Kasunanan. Sekaten adalah pasar malam yang digelar untuk
memperingati hari lakhirnya Nabi Mumammad Saw.
Pada perayaannya ditabuh Gamelan Kyai Gunturmadu dan
Kyai Gunturbumi di halaman Masjid Agung Surakarta. Pada puncak
perayaan diadakan kirab dan gunungan sebagai bentuk syukur yang
diselenggarakan oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Aktivitas
rekerasi lain dilakukan dengan mengunjungi Taman Sriwedari. Di
dalam Taman Sriwedari terdapat pagelaran kesenian wayang orang
yang digelar setiap hari selasa sampai minggu. Terdapat pula
wahana rekreasi untuk anak dan pedagang yang menjajakan
beraneka ragam dagangan.
Aktivitas kesenian pada Novel Dua Ibu antara lain adalah seni
pertunjukan wayang yang dinikmati dengan mendengarkan radio.
Pertunjukan wayang orang yang biasa digelar pada tempat atau
gedung tertentu seperti Taman Sriwedari atau Taman Balekambang.
Kesenian lain yang ada dalam novel adalah Ludruk, yaitu kesenian
khas Jawa seperti wayang orang, namun lebih menampilkan bentuk
cerita humor pada pementasanya.
4) Aktivitas yang Berhubungan dengan Religi dan Sistem
Kepercayaan
Terdapat data temuan yang merupakan kegiatan atau aktivitas
dalam bidang religi yang lazim dan menjadi tradisi yang dilakukan
oleh tokoh dalam cerita novel dan juga orang Jawa. Koentjaraningrat
(1979: 343) menyatakan bahwa kegiatan adat istiadat orang Jawa
yang terpenting adalah upacara, di dalamnya terdapat prosesi
tahapan prosesi pelaksanaan yang serat makan.
147
Sistem upacara merupakan wujud kelakuan dari religi. Seluruh
sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang bersifat
harian, musiman, atau kadang kala.
Aktivitas sistem kepercayaan dan religi ditemukan pada saat
Mamid dikhitankan. Secara tradisi anak yang akan berangkat khitan,
harus terlebih dahulu digendong oleh orang tuanya. Hal tersebut
dimaksudkan agar orang tua si anak yang menanggung beban sakit
anak yang dikhitankan.
Aktivitas religi lain terdapat pada saat Mamid mengirimkan
kartu ucapan Selamat Hari Lebaran kepada Sumirah. Sumirah
merasa terharu karena kartu ucapatn tersebut, walaupun Sumirah
menganut kepercayaan Katolik yang tidak merayakan lebaran. Data
lain yang ditemkukan adalah ketika keluarga Sumirah setiap minggu
rajin beribadah ke gereja. Keluarga Sumirah menunjukan
keimanannya dengan rajin sembahyang di gereja pada hari sabtu
atau minggu.
Aktivitas yang berhubungan dengan kepercayaan dan religi
juga ditunjukan oleh Bu Marsono, yaitu dengan berpuasa, tidak
tidur, selalu berjaga ketika sedang ada acara atau melangsungkan
hajatan. Perilaku yang dilakukan oleh Bu Marsono adalah suatu
bentuk prihatin dengan harapan mendapat pertolongan dari Tuhan,
serta segala halangan dimudahkan dan mendapatkan kelancaran
seketika acara berlangsung.
5) Aktivitas yang Berhubungan dengan Pendidikan
Aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan dapat
didapatkan melalui pendidikan formal maupun nonformal. Data
hasil penelitian Novel Dua Ibu mengenai aktivitas tokoh di bidang
pendidikan ditemukan bahwa pendidikan yang diperoleh beberapa
tokoh di dapatkan hanya melalui institusi formal. Data yang ada
menunjukan bahwa sekolah yang dibuat oleh istitusi menjadi
sumber pendidikan tokoh.
148
Aktivitas pendidikan tampak pada data Pak Marsono yang
lulus dari sekolah AMS (Algemeen Metddelbere School),
merupakan sekolah lanjutan pertama yang dikelola oleh Belanda.
AMS setara dengan SMA (sekolah menengah atas), dibentuk
kolonial Belanda untuk mencari tenaga kerja murah pada saat itu.
AMS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa yang digunakan
untuk pembelajaran, lulus sekolah AMS juga merupakan syarat
wajib jika seorang siswa ingin melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi.
Aktivitas pendidikan yang lain adalah pada tokoh Mamid,
Ratsih dan Jamil. Ketiga anak tersebut menempuh pendidikan
formal dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan Jamil
pernah masuk sekolah menengah atas namun tidak lulus.
Para kaum priyayi di kota memang miliki peluang lebih besar
untuk bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkah perguruan
tinggi. Dalam Koentjaraningrat (1979: 284) menyatakan bahwa para
priyayi yang memiliki gelar kesarjanaan banyak yang berasal dari
kota. Dapat disimpulkan aktivitas pendidikan dalam Novel Dua Ibu
lebih pada bentuk sekolah formal, yaitu sekolah AMS (Algemeen
Metddelbere School) oleh Pak Marsono, SD dan SMP oleh Jamil,
Mamid dan Ratsih.
c. Kompleksitas Hasil Budaya
Kajian kompleksitas hasil budaya dalam Novel Dua Ibu karya
Arswendo Atmowiloto memiliki hasil budaya secara konkret.
Pengkajian tentang kebudayaan suatu masyarakat memang selalu terkait
dari ketiga wujud kebudayaan, yakni ide, aktivitas, dan hasil budaya
berupa benda-benda yang dihasilkan. Ketiganya saling melengkapi dan
secara berpola kebudayaan selalu diawali dari ide, aktivitas, dan hasil
budaya berupa benda. Oleh karena itu, unsur kebudayaan apapun dapat
dirunut dari keterkaitan tiga wujud budaya tersebut.
149
Benda-benda yang disajikan dalam Novel Dua Ibu sebagaian besar
merupakan hasil budaya orang Jawa sebagai benda yang pernah dipakai
dan dimanfaatkan pada saat itu.
Kompleksitas hasil budaya dalam penelitian ini memilah empat
unsur kebudayaan dalam Novel Dua Ibu. Adapaun pemilahan hasil
budaya tersebut yaitu: kompleksitas hasil budaya yang dimaksud
meliputi: (1) hasil budaya berbentuk bahasa; (2) hasil budaya berbentuk
sistem pengetahuan; (3) hasil budaya berbentuk teknologi; dan (4) hasil
budaya berbentuk alat produksi atau mata pencaharian. Berikut
pembahasan mengenai masing-masing bentuk kompleksitas hasil
budaya tersebut dalam paparan berikut ini:
1) Hasil Budaya Bentuk Bahasa
Hasil budaya dalam bentuk bahasa menunjukkan adanya suatu
ciri khas bahasa yang digunakan. Hal ini terjadi karena secara fungsi
bahasa sebagai bentuk komunikasi lisan, dan tentunya terjadi dalam
interaksi sosial. Hasil budaya berbentuk bahasa dalam Novel Dua
Ibu kebanyakan dialog tokoh menggunakan bahasa Indonesia tetapi
kadang kala ada campur kode dalam dialog keseharian tokoh yaitu
bahasa Jawa Tengah-an. Hal tersebut dapat diketahui melihat latar
belakang pengarang yang lakhir di Surakarta.
Hasil temuan budaya berbentuk bahasa dalam Novel Dua Ibu
kebanyakan menggunakan istilah panggilan bahasa Jawa untuk
menyebut orang yang lebih tua atau dalam berkomunikasi dengan
sesama. Sebutan untuk seorang yang lebih tua seperti, mbakyu
pakdhe, budhe, mbah. Mbakyu adalah sebutan untuk kakak
perempuan dalam bahasa Jawa. Pakdhe yang merupakan akronim
dari bapak gedhe, adalah sebutan untuk kakak laki-laki dari orang
tua. Budhe merupakan akronim dari ibu gedhe, sebutan untuk kakak
permepuan dari orang tua, dan mbah yaitu sebutan untuk orang tua
dari ayah atau ibu.
150
Masyarakat Jawa mempunyai tingkatan bahasa untuk
berkomunikasi, seseorang harus memperhatikan dan membeda-
bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang
dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian
pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa yang apabila ditinjau
dari kriteria tingkatannya. Adapun bahasa Jawa Ngoko dan Krama.
Temuan tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kodiran
(dalam Koentjaraningrat, 1979: 322) bahwa dalam pergaulan-
pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-
hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa
daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan
keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan,
berdasarkan usia maupun status sosialnya.
Terdapat juga data yang menunjukan Peribahasa dalam bahasa
Jawa yaitu Peribahasa “ono dara mangan pari, durung bakdha wes
nganyari” yang jika diterkemahkan dalam bahasa Indonesia artinya,
ada burung merpati makan padi, belum lebaran sudah dipakai, dalam
konteks yang dipakai adalah baju baru. Penggunaan Peribahasa
dalam bahasa Jawa digunakan untuk menyindir sesuatu hal secara
halus.
Dapat disimpulkan dalam temuan hasil budaya berbentuk bahasa
dalam Novel Dua Ibu menunjukkan adanya budaya sopan santun
dalam berbahasa yang mengandung tingkatan dalam masyarakat
yang harus memperhatikan dengan siapa komunikasi berlangsung.
Serta adanya budaya menyingkat nama panggilan yang untuk
mempermudah pengucapan dalam kehidupan sehari-hari dan
penggunaan istilah untuk menyindir hal-hal tertentu.
151
2) Hasil Budaya Bentuk Sistem Pengetahuan
Dalam suatu budaya biasanya terdapat berbagai bahan keterangan
mengenai sistem pengetahuan dalam masayarakat yang bersangkutan.
Bahan itu biasanya meliputi pengetahuan tentang teknologi, sering kali
juga ditemukan pengtahuan yang mencolok dan dianggapa aneh oleh
pengarangnya. Adapun pengetahuan yang terdapat dalam Novel Dua
Ibu yaitu sistem pengetahuan tentang alam, biasnya digunakan untuk
bercocok tanam maupun mengolahnya dalam bentuk yaung lain.
Pengetahuan tentang dongeng, serta pengetahuan untuk menciptakan
alat yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah
pembahasanya.
Sistem pengetahuan yang berkaitan dengan alat ditemukan pada
tokoh Ratsih yang menggunakan arang sebagai pengganti pasta gigi.
Diketahui bahwa sifat alkali pada arang mampu membuat lingkungan
sekitar arang menjadi basa. Hal tersebut membantu dalam
membersihkan gigi. Pengetahuan lain ditemukan pada tokoh Pak
Marsono yang mampu menangkap siaran dari luar negeri (BBC kala itu)
dengan menggunakan alat yang diciptakannya sendiri.
Sistem pengetahuan terhadap alam ditemukan pada tokoh Solemah
dan Untung Subarkah dengan cara bercocok tanam. Untung dengan
hasil jeri payahnya sendiri mampu membuat buah nangka yang
ditanamnya menjadi besar dan manis. Sistem pengetahuan tentang
membuat bahan makanan juga ditemukan dalam Novel Dua Ibu, yaitu
membuat variasi makanan berupa pecel dan bistik. Pecel adalah
makanan yang berbahan dasar kacang untuk sausnya dan ditambahkan
berbagai jenis sayuran sebagai pelengkap. Bistik merupakan makanan
yang berbahan dasar daging sapi atau ayam sebagai bahan utama, yang
ditambahkan kentang, wortel, dan buncis. Bestik bukan makanan asli
Jawa, melainkan persilangan anatara budaya Eropa yang diolah dengan
bumbu-bumbu khas Jawa. Masakan ini ada karena dampak penjajahan
Belanda pada masa itu.
152
Sistem pengetahuan lain, yaitu tentang sejarah Kerajaan Demak
yang diceritakan oleh Bu Marsono kepada Mamid. Pengetahuan
semacam ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan.
Mengingat Bu Marsono yang tidak mendapatkan pendidikan secara
formal namun mempunyai pengetahuan tentang alam dan sejarah yang
cukup banyak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa benda-benda hasil
karya manusia seperti yang terdapat dalam pembahasan di atas
merupakan wujud kekayaan budaya Jawa yang mencerminkan sistem
pengetahuan dalam Novel Dua Ibu. Produk berupa benda tersebut
tercipta karena adanya pengetahuan untuk mengolah bahan dasar tanah
untuk bercocok tanam, menangkap sinyal siaran radio luar negeri
dengan peralatan seadanya, serta dapat membedakan anatara suara bass
dengan tribel, pengetahuan tentang membuat makanan, pengetahuan
tentang ciri-ciri suatu bahan dengan membuat arang sebagai pasta gigi,
pengetahuan tentang sejarah Kerajaan Demak.
3) Hasil Budaya Bentuk Teknologi
Hasil budaya bentuk teknologi merupakan cara memakai,
memproduksi dan memelihara segala peralatan hidup yang digunakan.
dalam Novel Dua Ibu ada yang berasal dari hasil budaya lokal, serta
bentuk akulturasi dengan budaya asing, dan bentuk teknologi asing yang
sudah memasuki ranah lokal. Masyarakat Jawa memiliki keterbukaan
dan keluwesan dalam menerima berbagai bentuk budaya dari luar,
termasuk bentuk teknologinya. Hasil budaya bentuk teknologi yang
terdapat dalam Novel Dua Ibu adalah sebagai berikut:
Alat trasportasi yang digunakan dalam Novel Dua Ibu adalah,
mobil. Ketika masa itu tidak banyak orang yang mempunyai mobil
sehingga dianggap sebagai barang mewah. Mobil yang dimaksudkan
berjenis VW (Vlokswagen) atau mobil kodok merupakan mobil buatan
Jerman.
153
Trasportasi lain yang sering disebutkan adalah kereta api.
Berdasarkan catatan sejarah, kereta api Indonesia pertama kali beroprasi
untuk umum pada tahun 1867. Perjalanan perdana kereta api ini
menghubungkan Desa Kemijen, Semarang dengan Desa
Tanggungharjo, di Kabupaten Grobokan. Pada masa penjajahan kereta
api digunakan sebagai alat untuk mengangkut hasil bumi dan keperluan
militer Belanda. Namun seiring dengan kemerdekan Indonesia, kereta
api dijadikan sebagai alat trasportasi masyarakat yang banyak diminati.
Trasportasi tradisional yang ditemukan adalah andong. Andong
merupakan kendaraan trasportasi beroda dua, atau empat yang tidak
menggunakan mesin, namun menggunakan kuda sebagai tenaga untuk
menariknya. Andong merupakan alat trasportasi khas warisan budaya
Jawa yang dipergunakan untuk mengangkut barang ataupun orang.
Hasil temuan lain tentang teknologi yang digunakan sebagai sarana
informasi dan rekreasi, yaitu radio dan televisi. Radio merupakan alat
penyampai informasi yang populer saat itu. Radio pertama kali masuk
di Indonesia pada tahun 1933, Mangkunegoro VII dan Sarsito
Mangunkusumo mendirikan SRV (Solossche Radio Vereenging) yang
menjadi pelopor siaran pertama di Indonesia.
Radio digunakan sebagai alat sarana penyampai informasi kala itu
sampai perkembangannya juga menjadi alat rekreasi. Hasil budaya
berbentuk teknologi terakhir adalah televisi. Televisi pada awalnya
dipelopori oleh Ir. Soekarno sebagai pendukung acara ASEAN Games
pada tahun 1962, kemudian dikembangkan menjadi sarana penyampai
informasi. stasiun televisi pertama di Indonesia adalah TVRI. Semanjak
itu televisi berkembang menjadi alat hiburan yang paling diminati oleh
masyarakat Indonesia. Belum banyak yang mempunyai televisi pada
masa tersebut, namum salah satu tokoh yaitu, Oom Bong sudah
memiliki barang mewah tersebut.
154
Melihat bahwa Oom Bong sendiri bekerja sebagai pengelola
televisi pada saat itu. Keterbukaan masyrakat Jawa dengan kebudayaan
asing menurut Koentjaraningrat disebabkan adanya toleransi budaya.
Sikap toleransi dan simpati terhadap kebudayaan lain menjadi faktor
penentu proses asimilasi pada umumnya (2009: 256). Dengan muculnya
sikap tersebut, dalam Novel Dua Ibu, penggunaan alat hasil teknologi
Eropa menjadi faktor pendorong asimilasi budaya Jawa dengan Eropa.
4) Hasil Budaya Bentuk Alat Peroduksi atau Mata Pencarihan
Mata pencaharian hidup merupakan sumber penghidupan yang
berasal dari pekerjaan-pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat. Melalui
pekerjaan sebagai mata pencaharian hidup tersebut terdapat benda-
benda menjadi hasil budaya suatu masyarakat, tidak terkecuali dalam
cerita yang digambarkan pengarang melalui tokoh-tokohnya. Dalam
Novel Dua Ibu terdapat berbagai macam pekerjaan yang digeluti oleh
tokoh-tokohnya pembahasanya adalah sebagai berikut.
Pekerjaan sebagai seorang abdi dalem Keraton Surakarta.
Pekerjaan tersebut dilakukan oleh Pak Marsono. Pak Marsono
menempuh pendidikan formal AMS atau setara dengan SMA, yang
mengelola adalah kolonial Belanda pada masa itu. Dapat dikatakan
sebagai seseorang yang berpendidikan Pak Marsono dianggap seorang
priyayi atau kedudukanya lebih tinggi dari pada orang biasa.
Pekerjaan sebagai seorang pegawai televisi dilakukan oleh tokoh
Bong. Oom Bong bekerja sebagai pengelola televisi negara pada masa
itu atau TVRI yang berada di Jakarta. Melalui pekerjaan yang
digelutinya dia sukses dan banyak membantu keluarga lain pada saat
kesusuahan. Pekerjaan sebagai seorang tentara dilakukan oleh John dan
Untung Subarkah. Mereka berdua adalah tentara yang bertempat di
markas militer Surabaya. Untung berpangkat sersan sedangkan John
seorang prajurit.
155
Jon banyak ditugaskan bekerja di luar kota sebagai seorang
tentara. Hal tersebut membuatnya sering kali berpisah dengan istri dan
anaknya yang masih kecil. Berdasarkan hasil temuan dalam kajian
kompleksitas hasil budaya berbentuk sistem mata pencaharian hidup,
terdapat dialog yang mengarah pada pekerjaan yang dilakukan oleh
tokoh. Hasil temuan tersebut adalah pekerjaan sebagai seorang tentara,
abdi dalem Keraton, dan pegawai televisi.
3. Nilai Pendidikan Karakter
Fungsi pendidikan karakter adalah meningkatkan pengetahuan,
perasaan dan perilaku anak atau siswa guna meningkatkan kualitas dirinya
sebagai makhluk Tuhan dan makhluk bermasyarakat. Selain itu, jika
dihubungkan dengan pendidikan nasional, pendidikan karakter berfungsi
untu mendidik dan memperbaiki perilaku siswa agar dapat mencerminkan
budaya dan karakter bangsa sehingga dapat mendorong lakhirnya generasi
penerus bangsa yang baik. Berkaitan dengan hal di atas, setiap karya sastra
pasti memiliki nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya yang ingin
disampaikan kepada pembaca. karya sastra merupakan hasil perenungan
panjang pengarang dalam merepresentasikan dunia, diciptakan agar
manusia memahami dan merefleksi nilai-nilai yang telah diterima atau
pelajari dari karya sastra tersebut.
Koesoema (2010: 194) menyatakan bahwa sesungguhnya pendidikan
karakter bersifat liberatif, yaitu sebuah usaha dari individu, baik secara
pribadi maupun secara sosial, untuk membantu menciptakan sebuah
lingkungan yang membantu kebebasannya sebagai individu sehingga
individualitas dan keunikannya semakin dihargai. Menurut Lickona (dalam
Listyarti 2012: 8) Pendidikan karakter adalah perihal menjadi sekolah
berkarakter, di mana sekolah adalah tempat terbaik untuk menanamkan
karakter.
156
Proses pendidikan karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas
psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia dan fungsi
totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyarakat. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam novel ini akan diuraikan secara detail. Di sini akan diuraikan nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita Novel Dua Ibu sekaligus
nilai yang paling menonjol. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut di
antaranya adalah nilai religius, disiplin, kerja keras, kreatif, rasa ingin tahu,
menghargai prestasi, cinta damai, peduli sosial, dan nilai tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh pengarang
berdasarkan nilai-nilai karakter apa saja yang ingin disampaikan kepada
pembaca. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah sehingga dapat berperan positif
dalam mengembangkan karakter positif siswa, sekaligus pengetahuan
akademik siswa. Selanjutnya, nilai-nilai yang terdapat di dalam Novel Dua
Ibu akan dibahas sebagai berikut:
a. Nilai Religius
Religus adalah sikap yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, tolerasi terhadapt pelaksanaan ibadah lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain. Nilai pendidikan karakter terkait
dengan nilai religius ini dalam Novel Dua Ibu adalah bagaimana sikap,
dan perilaku tokoh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnnya.
Pada Novel Dua Ibu ini nilai religius digambarkan oleh pengarang
melalui sikap dan keyakinan tokoh akan kekuasaan Tuhan YME. Nilai
religius tampak pada toko Bu Marsono ketika mengikhlaskan kematian
Pak Marsono. Bu Marsono mempercayai segala sesutau yang terjadi
pada hidupnya adalah kehendak dari Gusti Allah.
157
Sikap yang ditunjukaan Bu Marsono tersebut mencerminkan
kepercayaan Bu Marsono terhadap Sang pencipta, segalanya tidak akan
bisa membaik jika kita hanya mengeluh tanpa ada usaha untuk
memperbaiki hidup. Sikap tersebut juga ditunjukan ketika Bu Marsono
memperoleh rejeki, Bu Marsono selalu bersyukur sekecil apapun yang
dia dapat. Bu Marsono ketika mendapatkan ujian selalu disikapi dengan
berdoa dan berikhtiar kepada Tuhan. Menurut Kodiran dalam
Koentjaraningrat (2009: 340), kebanyakan orang Jawa percaya bahwa
hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga
tidak sediki mereka yang bersifat nerima, yaitu menyerahkan diri pada
takdir. Berdoa dan berikhtiar adalah salah satu bentuk rasa percaya
tentang adanya Tuhan. Keyakinan akan Gusti Allah yang diungkapkan
oleh Bu Marsono tersebut merupakan sikap religius. Pada hakikatnya
sakit merupakan pemberian dari Tuhan YME. Doa dan ikhtiar yang
dilakukan Bu Marsono kepada Gusti Allah tempat meminta segala apa
diharapkan dan dikehendaki sejatinya adalah ibadah, dan ibadah
merupakan bentuk sikap dan tindakan religius.
b. Disiplin
Disiplin dapat dipresentasikan dengan tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib pada aturan yang berlaku. Disiplin akan melakhirkan
tindakan berpola pada diri manusia. Dalam Novel Dua Ibu sikap disiplin
ditunjukan oleh tokoh Ratsih yang selalu datang lebih pagi ketika
sekolah. Perilaku Ratsih yang demikian tidak hanya ditunjukan ketika
di sekolah. Ketika di rumah Ratsih selalu memcuci pakaian,
membersihkan rumah, dan bangun lebih pagi untuk membantu ibunya
memasak. Sikap disiplin juga ditunjukan Bu Marsono kepada anak-
anaknya sebagai pembelajaran bahwa pendidikan tetap yang
diutamakan dalam hidup.
158
Bu Marsono tetap menyuruh Mamid berangkat ke sekolah kendati
kakak Mamid, Solemah menikah saat itu. Mamid menurut dan
berangkat sekolah sesuai dengan yang diinginkan Bu Marsono. Sikap
Bu Marsono kepada Mamid menunjukan kedisiplinan dalam hal
pendidikan. Pada tokoh Sumirah, karakter disiplin juga tampak pada
dialog Sumirah dengan dengan Mamid. Sumirah mengajarkan agar
Mamid hidup rapi dan bersih, bahkan ketika harus hidup seorang diri
Sumirah berharap Mamid tetap menjaga kerapian dan kebersihan
dirinya.
c. Kerja Keras
Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Di mana ada usaha yang
lebih untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini tentunya berlandaskan akan
keinginan diri untuk mau mengerjakan tanggung jawab sebaik mungkin.
Melalui dialog antara Murjanah dengan Mamid juga tampak sikap kerja
keras yaitu dengan bekerja sebagai pedagang dengan suaminya, kini
perekonomian keluarga Murjanah menjadi mambaik sehingga bisa
membantu biaya pengobatan Bu Marsono ketika sakitnya sudah tidak
tertahankan.
Pada Novel Dua Ibu setiap sikap kerja keras membuktikan bahwa
segala macam halangan dalam kehidupan dapat diatasi bahkan
mencapai hasil yang diharapkan walupun tidak mudah. Perilaku kerja
keras juga ditunjukan oleh tokoh Adam ketika ingin membelikan Bu
Marsono mesin jahit bekas. Adam mencari uang dengan cara membuat
layangan, mencari jangkrik untuk dijual, sampai bekerja mengapur
rumah orang. Semua uang ditabung dan pada akhirnya dapat
membelikan Bu Marsono mesin jahit.
159
Sikap kerja keras yang nyata adalah ketika Bu Marsono berusaha
dalam membesarkan kesembilan anaknya walupun sendirian, ia bekerja
dari menjadi buruh masak pada acara hajatan maupun sampai menjual
barang bekas untuk membeli beras. Wujud tindakan lain adalah saat Bu
Marsono menggelar hajatan anak-anaknya entah itu Solemah,
Murjanah, Ratsih, maupun Mamid, ia selalu menunjukan sikap kerja
keras, yaitu dengan menjadi organisator setiap acara, menyiapkan
undangan tamu, memasak sampai dengan menyiapkan biaya keuangan
untuk pendanaan segala macam keperluan.
d. Kreatif
Merujuk pada Kemendiknas (2011: 9) memberikan pengertian nilai
kreatif sebagai cara berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Nilai kreatif yang
ada dalam Novel Dua Ibu anatara lain ketika Mamid memberikan kartu
ucapan selamat Hari Raya Lebaran kepada Sumirah ibu kandungnya
ketika masih kecil, hal tersebut membuat terharu Sumirah kerena merasa
Mamid masih mengingat dirinya. Bentuk karakter kreatif juga
ditunjukan oleh Ratsih ketika membuat odol yang berbahan dasar arang.
Caranya adalah dengan menumbuk halus arang hitam kemudian
digunakan untuk mengosok gigi sebagai pengganti odol. Memanfaatkan
bahan alam di sekitarnya merupakan bentuk tindakan kreatif yang
dilakukan Ratsih mengingat kekurangan ekonomi yang tengah melanda
keluarganya. Tokoh Adam juga memiliki sikap kreatif ketika ia ingin
membelikan mesin jahit kepada Bu Marsono, yaitu dengan membuat
layanga-layang mempergunakan bahan yang ada di sekitaranya.
e. Cinta Damai
Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya. Sikap ini akan membawa ketenangan dan kenyamanan.
Akhirnya akan tercapai kerukunan dalam bersosialisasi.
160
Sikap cinta dami ditunjukan Bu Marsono ketika para tetangga
membicarakan negatif terhadap dirinya. Bu Marsono memilih untuk
diam dan tetap menjadi orang yang baik. Dibuktikan dengan tindakanya
yang menolong tetangga dengan menjadi juru masak pada upacara adat
yang berlangsung. Sikap cinta damai juga ditunjukan oleh toko Mamid
yang bertengkar dengan Murjanah saat itu. Murjanah mengunci Mamid
dalam kamar mandi sampai pagi. Ketika ditemukan badan Mamid sudah
dingin dan menderita masuk angin. Pada harinya Mamid jatuh sakit dan
diantarkan kakaknya Ratsih berobat. Mamid tidak membalas perbutan
Murjanah, justru sebaliknya ketika Mamid sudah tidak tinggal dengan
keluarganya di Solo. Mamid mengirimkan uang dan pakaian bekas
sebagai ungkapan kasih sayangnya. Perilaku yang ditunjukan Mamid
mencerminkan sikap cinta damai dan menjahui pertengkaran serta
tolong-menolong.
f. Menghargai Presatasi
Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Perilaku
meghargai prestasi ini tentunya bertujuan memberi penghargaan kepada
orang lain yang telah melakukan sesuatu yang baik. Hal ini tentunya
bukan bertujuan memberi semangat lebih akan prestasi yang telah
dicapai. Sikap menghargai preastasi ditunjukan oleh tokoh Mamid.
Peristiwa saat Oom Bong membelikan radio kepada keluarga Bu
Marsono, tidak hanya itu Oom Bong juga mengajak makan di restoran
semua anggota keluarga serta berkunjung di Taman Sriwedari.
Membuat Mamid mengagumi tindakanya. Mamid bercita-cita untuk
menjadi seorang jendral, ia berusaha dengan giat untuk meraihnya.
Impian Mamid setalah menjadi orang besar ia ingin seperti Oom Bong
yang suka menolong dan kaya.
161
Berkat Oom Bong, Mamid semakin terpacu untuk lebih giat lagi
dalam berusaha meraih cita-cita yang diinginkan, hal tersebut
berdampak positif kepada tokoh Mamid. Contoh lain adalah julukan
sebagai koki hebat yang diberikan masyrakat terhadap Bu Marsono,
julukan tersebut adalah bentuk sikap menghargai prestasi yang
ditujukan masyarakat. Seringkali Bu Marsono dimintai tolong untuk
menjadi juru masak ketika pesta.
g. Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya. Mau berbuat demi kepentingan
negara agar lebih baik dan tidak mengingkarinya. Perilaku yang didasari
tanpa tendensi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sikap semangat
kebangsaan terlihat oleh tokoh Jon yang tetap menjalankan tugas
sebagai seorang tentara angkatan laut. Jon harus meninggalkan
keluarganya ketika ditugaskan untuk mengamankan Irian Barat. Jon
menunaikan kewajibanya sebagai seorang tentara untuk melindungi
NKRI dengan menempatkan kepentingan negara di atas keluraga.
Sikap yang serupa ditunjukan oleh Solemah, yaitu dengan
mendukung suaminya Jon yang sering bekerja jauh dari keluarga,
sebagai seorang istri tentara Solemah memberikan contoh semanggat
kebangsaan dengan caranya sendiri sebagai istri.
h. Peduli Sosial
Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan,
sebagai makhluk sosial sudah seharusnya tolong-menolong sebagai
salah satu bentuk berhubungan dengan masyarakat. Manusia pada
dasarnya selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
162
Sikap peduli sosial ditunjukan seorang supir truk kepada Jamil.
Ketika Jamil yang memutuskan pergi dari rumah untuk bekerja,
memberanikan diri menyusup truk yang akan mengantarkan babi dan
ayam ke Jakarta, namun di tengah jalan Jamil ketahuan oleh supir truk
tersebut, kemudian diturunkan paksa. Melihal hal tesebut salah satu
supir truk lain menawarkan Jamil untuk ikut truknya saja. Sikap yang
ditunjukan supir truk yang mau memberikan tumpangan kepada Jamil
merupakan sikap kepedulian sosial dengan memberikan bantuan. Sikap
peduli sosial Bu Marsono adalah dengan membantu sebagai juru masak
ketika ada upacara adat istiadat. Sikap yang demikian juga ditunjukan
oleh Pak Marsono, yaitu dengan memberikan sebagaian gajinya kepada
saudara yang membutuhkan.
i. Tanggung Jawab
Bersumber dari Kemendiknas (2011: 10) yang dimaksud dengan
nilai tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya),
negara dan Tuhan YME. Nilai pendidikan karakter tanggung jawab pada
Novel Dua Ibu tercermin melalui sikap dan perilaku tokoh yang
memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan. Pada Novel Dua Ibu terdapat sikap tanggung jawab sebagai
seorang ibu, yaitu pada tokoh Sumirah. Ketika Sumirah memutuskan
pergi merantau ke Jakarta, ia menitipkan Mamid yang masih bayi
kepada Bu Marsono.
Di Jakarta ia menikah dengan Oom Bong dan mempunyai dua orang
anak perempuan, namun Sumirah tidak pernah melupakan Mamid.
Berbagai usaha telah dilakukan Sumirah untuk membuat Mamid mau
tinggal denganya di Jakarta. Sikap yang ditunjukan Sumirah kepada
Mamid adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang orang tua
kepada anaknya.
163
Sikap tanggung jawab juga tunjukan oleh Bu Marsono, yaitu dengan
menikahkan dan megkhitankan anak-anak asuhnya, selain itu Bu
Marsono juga membayar hutang-hutangnya. Sikap tanggung jawab
yang demikian Bu Marsono selalu mudah mendapatkan pinjaman
kepada siapa saja.
Sikap tanggung jawab lain dalam Novel Dua Ibu, ditunjukkan oleh
tokoh Untung Subarkah. Sesudah menikahi Ratih, Untung membawa
Ratih tinggal bersamanya di Surabaya. Ratih tidak membawa bekal
apapun selain pakaian. Sebagai seorang suami Untung membelikan
pakaian, tempat tinggal beserta kebutuhan lain yang diperlukan untuk
Ratih istrinya. Kendati demikian Untung tidak pernah melupakan
tugasnya sebagai seorang tentara untuk mengabdi kepada negara.
4. Relevansi Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto sebagai Media
Pembelajaran Sastra di SMA
Pembelajaran sastra idelnya dapat memberikan andil yang signifikan
terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan. Guna
mendapatkan hasil yang baik dalam mendidik siswa-siswi dapat
dilaksanakan dengan pendekaran yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat
merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, dan olah raga. Menurut Wibowo
(2013: 19) pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan
karakter karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya secara hakiki
membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan
langsung dengan pembentukan karakter manusia.
Sastra dalam pendidikan anak bisa berperan mengembangkan aspek
kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian, serta dapat
mengembangkan pribadi sosial. Menurut Iskandarwassid dan Sunendar
(2011: 219), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan
materi pelajaran, yaitu:
164
(a) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan kurikulum sehingga
dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional; (b) materi pelajaran
hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan peserta
didik pada umumnya; (c) materi pelajaran terorganisasi secara sistematik
dan berkesinambungan; (d) materi pelajaran hendaknya mencangkup hal-
hal yang bersifat faktual dan konseptual.
Dalam menentukan materi pembelajaran harus mengikuti beberapa
prinsip, yaitu relevansi, konsistensi, dan kecukupan (adequacy) sehingga
kompetensi dapat dicapai secara maksimal. Novel Dua Ibu memilki nilai-
nilai luhur masyarakat Jawa yang kental. Pembelajaran sastra yang bersifat
apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca,
mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan
karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas.
a. Relevansi Novel Dua Ibu dengan Materi Pembelajaran Sastra Kelas
XI
Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto jika dikaitkan dengan
materi pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XI semester genap
dengan standar kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD), yaitu
menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia
/terjemahan. Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto jika dikaitkan
dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XI semester genap
dengan standar kompetensi (SK) memahami buku biografi, novel dan
hikayat dengan kompetensi dasar (KD), yaitu membandingkan unsur
intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat.
Sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia Novel Dua Ibu
dapat dijadikan pertimbangan dari aspek kebahasaan di mana aspek ini
mampu menambah wawasan siswa dari bentuk ajaran luhur kebudayaan
Jawa.
165
Novel Dua Ibu memberikan gambaran pada pembaca khususnya
guru dan siswa tentang kasih sayang seorang ibu dalam mendidik dan
membesarkan anak yang dititipkan kepadanya, didalamnya terdapat
nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa yang masih relevan untuk
digunakan pada masa sekarang. Novel ini sudah memiliki unsur-unsur
intrinsik yang lengkap. Tokoh, latar, dan tema dalam novel ini sudah
saling mengkonstruksi satu sama lain.
Hasil wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas XI SMA N
2 Sragen Bu Asqina menunjukkan bahwa Novel Dua Ibu relevan dan
dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan pembelajaran sastra
umumnya, gaya penceritaan pengarang yang lebih banyak mengambil
bahasa Indonesia secara sederhana serta mengambil sudut padang pola
pikir anak kecil, membuat siswa tertarik untuk membaca. Hal tersebut
mendukung ketercapian tujuan pembelajaran, karena materi yang
menarik memancing siswa untuk lebih tertarik belajar tentang nilai-nilai
dalam karya sastra.
Dari segi psikologi Novel Dua Ibu cocok menjadi materi ajar di
mana umur siswa sudah mencapai enam belas tahun ke atas disebabkan
mengandung pendidikan tentang fisafat hidup orang Jawa yang oleh
penulis mengisahkanya dalam bentuk kehidupan pemikiran wanita
setelah pernikahan, hubungan sosial, dan hal lain yang harus dilalui
seorang wanita ketika mengabdikan diri kepada anak serta suaminya.
Tokoh Mamid dan Ratsih juga dapat dijadikan contoh pada siswa karena
keteguhan, sikap rajin, saling tolong menolong, serta kerja keras yang
mereka lakukan ketika bersekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan wawancara dengan siswa kelas XI SMA N
Karanganyar, Anggun Nur W, Novel Dua Ibu karya Arswendo
Atmowiloto, memberikan gamabaran tentang sosok seorang ibu yang
penuh kasih. Hal tersebut membuat narasumber lebih menghargai dan
patuh terhadap orang tuanya di rumah.
166
Karakter lain yang ada juga mengajarkan narasumber tentang
bagaimana menjadi seorang anak yang baik dan lebih bijak dalam
menghadapi masalah. Tokoh Mamid menjadi tokoh yang difavoritkan
oleh narasumber karena sifat lugu dan tingkah lakunya yang lucu. Tokoh
Mamid juga dapat dijadikan tauladan untuk siswa sebagai wujud sikap
yang dekat dengan pendidikan karakter. Selain itu Novel Dua Ibu
mengandung nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Substansi dalam novel tersebut dapat
berperan positif dalam mengembangkan karakter positif siswa. Amanat-
amanat yang terdapat dalam novel tersebut dapat berdampak
menginspirasi tentang cara bersikap terhadap siswa dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Relevansi Novel Dua Ibu dengan Materi Pembelajaran Sastra Kelas
XII
Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto jika dikaitkan dengan
materi pembelajaran bahasa Indonesia pada kelas XII Sekolah
Menengah Atas (SMA) semester ganjil dengan standar kompetensi (SK)
memahami pembacaan novel dengan kompetensi dasar (KD), yaitu
menanggapi pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan. Berdasarkan pendapat Rahmanto (1988: 29) dalam
memilih bahan pengajaran sastra hendaknya menghadirkan sesuatu
yang erat hubungannya dengan latar belakang budaya dan materi tetang
budaya lokal tidak boleh terlupakan karena hal tersebut merupakan akar
budaya bangsa.
Mengambil budaya lokal untuk dijadikan sebagai materi
pembelajaran diutamakan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari,
sehingga nilai-nilai yang terdapat dalam suatu bahan yang diajarkan
lebih mudah terserap oleh siswa. Novel Dua Ibu mengambil banyak
menggunakan kebudayaan Jawa lebih dekat dengan lingkungan hidup
siswa yang berdarah Jawa.
167
Penggunaan bahasa Indonesia dan latar cerita dalam Novel Dua Ibu
dapat diterima semua kalangan. Menurut wawancara dengan Bu Asqina,
Novel Dua Ibu menggunakan sudut pandang anak kecil dalam
penyampaian cerita. Hal tersebut membuat pembaca tertarik mengikuti
kisah dari lembar ke lembar selajutnya. Kisah keluguan yang diceritakan
dari sudut pandang anak kecil dapat menjadi poin tambahan ketika
menggunkaan Novel Dua Ibu sebagai materi pengajara sastra.
Penggunaan bahasa Indonesia dan pemilihan gaya bahasa yang bagus
juga menjadi pertimbangan novel tersebut untuk dijadikan sebagai
materi pengajaran, karena mudah dipahami.
Dilihat dari aspek psikologi sebagai pertimbangan Novel Dua Ibu
untuk dijadikan sebagai materi pengajaran karena terdapat banyak cerita
teladan yang dapat dijadikan contoh. Sikap saling tolong-menolong
antara saudara, sikap toleransi antara umat beragama, sikap bertanggung
jawab, serta menghormati orang tua yang ditunjukan oleh tokoh yang
ada dalam Novel Dua Ibu memberikan gambaran dan pembelajaran
kepada siswa ketika membaca. Perilaku yang ditunjukan oleh tokoh
dalam Novel Dua Ibu mampu memberikan dampak kepada siswa tidak
hanya tentang bagaimana berperilaku yang baik saat di sekolah tetapi
juga menhormati juga menyayangi orang tua dan saudara di rumah.
168
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
IV peneliti menyimpulkan laporan penelitian untuk mempermudah dan
mempertegas efektvitas yang telah diteliti. Hasil kesimpulan didapatkan dengan
meresume data yang berkaitan dengan anlisis struktural, wujud kebudayaan
(kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas hasil budaya), nilai
pendidikan karakter dalam novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto, dan
relevansisnya sebagai materi pengejaran bahasa Indonesia.
1. Analisis struktural pada novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto
Analisis struktur dalam penelitian ini dititik beratkan pada unsur yang
berkaitan erat dengan antropologi sastra yaitu unsur intrinsik yang
difokuskan pada tema, tokoh dan setting. Novel Dua Ibu mengandung dua
tema yaitu tema utama dan tema tambahan. Tema utama atau tema pokok,
yaitu kasih sayang seorang Ibu, dan tema tambahan adalah masalah
ekonomi keluraga setatus rendah yang digambarkan dalam serta memiliki
kaitan dengan kebudayaan. Tokoh Utama “Mamid dan Bu Marsono” tokoh
Mamid juga berfungsi sebagai pemberi informasi terkait dengan arti kata
ibu untuk anak-anaknya. Tokoh lain yang ada dalam novel ini anatara lain
adalah Pak Marsono, Solemah, Murjanah, Ratsih, Adam, Priyadi, Prihatin,
Herit, Sumirah, Oom Bong, Agustus, Jon, Untung Subarkah, Pak Mo, Mbok
Grembul, Limbuk, Tikem, Paman, Pak Guru, Jamil, dan Pakdhe Wiro. Latar
yang digunakan dalam novel Upacara meliputi latar tempat yang paling
dominan adalah daerah-daerah yang berada di kota Solo, dan latar tempat
lain yaitu kota Jakarata, rumah Solemah, rumah Bu Marsono di Batu Retno,
Rumah keluarga Untung di Malang, penjara Singapura.
169
Latar yang berkaitan dengan waktu yaitu merujuk pada tahun 1960an
sampai dengan 1980-an serta yang merujuk pada waktu terjadi pagi, siang,
sore dan malam. Latar sosial yang ada pada Novel Dua Ibu menujukan
sosial budaya yang ditampilkan berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa,
tempat tinggal, adat kebiasaan, suku, dan agama.
2. Wujud budaya yang terkandung dalam novel Dua Ibu terbagi menjadi
tiga kompleksitas
a. Kompleksitas ide novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto meliputi:
(a) ide tentang hakikat hidup manusia; (b) ide tentang hakikat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (c) ide tentang pandangan
manusia terhadap alam semesta; dan (d) ide tentang hakikat hubungan
antara manusia dengan sesamanya.
Kompleksitas ide tersebut tercermin melalui sikap ikhlas dengan
menerima takdir Tuhan, bersikap rendah diri, bersyukur dan
menjalankan sembahayang; belajar dari pengalaman dengan mengisi
hidup dengan bekerja keras; usaha menjaga keselarasan hubungan
manusia dengan sesama mahkluk hidup dan alam, serta memanfaatkan
alam dengan bercocok tanam; dan adanya pandangan menghormati dan
sikap kepatuhan, menghargai orang yang memiliki setatus sosial yang
lebih tinggi.
b. Kompleksitas aktivitas tokoh novel Dua Ibu Arswendo Atmowiloto,
antara lain: (a) aktivitas yang berhubungan dengan kekerabatan; (b)
aktivitas yang berhubungan dengan ekonomi; (c) aktivitas yang
berhubungan dengan kesenian dan rekreasi; (d) aktivitas yang
berhubungan dengan sistem religi dan ritual kepercayaan; dan (e)
aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.
170
Berdasarakan pembahasan ditemukan aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan kekrabatan anatara lain hubungan keluarga,
pernikahan, dan mengangkat anak yang dititipkan; Aktivitas ekonomi
melalui berdagang, bekerja sebagi seorang abdi dalem Karton, pegawai
pemerintahan, serta bertani; Aktivitas yang berhubungan dengan religi
yaitu khitan anak laki-laki, pergi ke tempat ibadah, merayakan hari raya
Lebaran, dan upacara adat istiadat memperingati hari kematian; aktivitas
pendidikan yaitu dengan pendidikan formal SD, SMP, dan SMA.
Berhubungan dengan rekreasi yaitu berkunjung ke Taman Sriwedar,
pertunjukan ludruk, dan wayang orang.
c. Kompleksitas hasil budaya dalam novel Dua Ibu berupa: (a) hasil
budaya berbentuk bahasa; (b) hasil budaya berbentuk sistem
pengetahuan; (c) hasil budaya berbentuk teknologi; dan (d) hasil budaya
berbentuk mata pencaharian.
Hasil budaya meliputi bahasa yang digunakan untuk panggilan
kakak perempuan, paman, serta pribahasa yang digunakan untuk
menyindir; pengetahuan cara membuat memasak makanan,
memperkuat sinyal penangkap siaran radio, membuat odol dari arang;
teknologi yang ada meliputi radio, mobil, andong, televisi, kereta api;
mata pencaharian yaitu sebagai seorang pedagang, pengumpul rambut,
pembantu rumah tangga, pegawai pemerintahan, tentara, supir, guru dan
dokter.
3. Nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Dua Ibu
karya Arswendo Atmolioto
Nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Dua Ibu, yaitu
religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, semangat kebangsaan, cinta
damai, menghargai prestasi, peduli sosial, dan tanggung jawab. Novel
tersebut lebih cenderung menggambarakan kerja keras, peduli sosial, dan
cara bertahan hidup. Terdapat banyak nilai kehidupan yang dapat dijadikan
tauladan.
171
Novel Dua ibu memberikan gamabaran tentang kehidupan wanita Jawa
dengan berbagai kebudayaanya dan berbagai konflik yang dekat kaitanya
dengan nilai karakter yang dilakukan oleh masing-masing tokoh. Nilai
karakter tersebut dapat dijadikan contoh untuk menanamkan nilai
pendidikan karakter kepada pembaca.
4. Relevansi novel Dua Ibu untuk dijadikan materi pembelajaran sastra
di SMA
Novel Dua Ibu dapat menjadi salah satu alternatif materi pembelajaran
sastra di SMA. Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto memiliki
relevansi dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
Relevansi tersebut yang pertama berdasarkan pada struktur novel dan aspek
budaya yang dikaji dalam penelitian ini merupakan bagian dari materi
pelajaran apresiasi sastra di SMA. Melalui nilai pendidikan karakter yang
terdapat di dalam novel tersebut dapat mendukung proses belajar mengajar
dan menjadi sarana alternative dalam pembentukan serta penanaman
karakter dalam diri siswa. Nilai kebudyaan yang terdapat dalam novel
tersebut dapat meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA karena dapat menumbuhkembangkan pribadi
guru dan siswa menjadi lebih baik
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan di atas, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
terhadap hasil penelitian kualitatif sastra, khususnya yang berkaitan dengan
analisis novel dengan kajian antropologi sastra dan nilai-nilai pendidikan
karakter. Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel fiksi
etnografi berjudul Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto: (Kajian
Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansinya dengan
Pembelajaran Sastra di SMA). Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap
aspek lain yang relevan. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
172
1. Implikasi Teoritis
Melalui penelitian novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto, kajian
antropologi sastra, nilai pendidikan karakter, dan relevansinya dengan
pembelajaran sastra di SMA berimplikasi terhadap penguasaan teori seperti:
a. Penelitian antropologi sastra ini memiliki implikasi terhadap
pengembangan antropologi sastra secara umum. Dalam dunia
pendidikan penelitian ini menjadikan siswa mampu mengaitkan unsur-
unsur kebudayaan dan pendidikan dalam novel untuk dikaitkan secara
kontekstual dalam kehidupan sehari-hari. Maka karya sastra yang
memuat budaya penting untuk disampaikan kepada siswa melalui proses
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah. Hal ini untuk
menanamkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda sehinggga nilai-
nilai tersebut tidak bergeser dengan budaya-budaya asing yang masuk
karena perkembangan
teknologi seperti zaman globalisasi seperti sekarang ini. Dengan
penanaman nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung dalam makna
cerita karya sastra tersebut kepada siswa, akan memberikan dampak
positif, sehingga akan tumbuh rasa kecintaan dan kepedulian terhadap
kebudayaan sendiri untuk mengembangkan dan melestarikannya.
b. Hasil penelitian tersebut dapat menambah wawasan dan pemahaman
terhadap penelitian sastra khususnya dalam hal kebudayaan dengan
pendekatan antropologi sastra. Unsur kebudayaan Jawa yang terdapat
dalam novel Dua Ibu cukup kuat. Hasil kebudayaan seperti kesenian
wayang orang, wayang, ludruk terdapat dalam novel tersebut. Nilai
kehidupan yang terdapat pada tokoh Bu Marsono dapat dijadikan potret
kehidupan wanita Jawa yang masih mempertahankan adat istiadat serta
cara berprilaku orang Jawa, yang sekarang mulai pudar. Di dalam novel
juga terdapat tradisi perjodohan, slametan, dan perkawinan khas
masyarakat Jawa. Hasil penelitian ini dapat memperkaya penelitian
tentang karya sastra, khususnya dengan menggunakan teori antropologi
sastra.
173
c. Hasil penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan atau menambah
teori nilai pendidikan karakter, khususnya dalam karya sastra. Karya
sastra khususnya cerita rakyat dapat dijadikan sebagai sarana alternatif
pembelajaran dan penanaman pendidikan karakter kepada siswa. Nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Dua Ibu menjadi sebuah
alternatif dalam usaha memberikan gambaran tentang nilai-nilai
pendidikan karakter. Selain itu, nilai karakter tersebut dapat menjadi
gambaran peserta didik dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih
positif dan dapat membedakan karakter yang positif dan negatif. Oleh
karena itu, peserta didik dapat mengetahui bagaimana karakter yang
dapat ditauladani dan mana karakter buruk yang menjadi pembelajaran
untuk tidak dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan delapan belas nilai
karakter yang dijelaskan oleh Kemendiknas.
d. Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif bahan
materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada
upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk
memiliki sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau
menghafal judul dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut
tercakup masalah pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam
pengajaran sastra, siswa harus diarahkan pada penilaian karya sastra
secara objektif. Maka, hal ini akan membentuk jiwa sastra yang tidak
hanya menampilkan prestasi akademis, tetapi juga mengembangkan
karakter diri yang potensial.
e. Karya sastra tidak diciptakan sebagai sarana hiburan semata. Dalam
karya sastra memberikan nilai-nilai yang positif kepada setiap
pembacanya. Kondisi tersebut sejalan dengan salah satu tujuan
pembelajaran sastra di sekolah, yaitu menemukan nilai yang terdapat
dalam karya sastra khususnya novel. Hasil penelitian ini dapat
menambah pustaka atau referensi beragamnya karya sastra khususnya
novel.
174
2. Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini memiliki implikasi praktis terhadap beberapa hal.
Implikasi-implikasi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Hasil penelitian ini dapat menambah khazanah penitian antropologi
sastra yang masih jarang dilakukan oleh peniliti.
b. Memperkenalkan cara pandang budaya Jawa dalam menghadapi
masalah hidup serta perilaku yang ditunjukan oleh orang Jawa dalam
memnghadapi cobaan hidup. Melalui penelitian ini dapat juga diambil
sebagai tauladan bahwa cara pemikiran orang Jawa masih dapat
dijadikan acuan untuk menghadapi problematika hidup pada masa kini.
c. Hasil penelitian novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dapat
dijadikan pembading untuk penelitian sastra sejenis maupun yang
mempunyai keterkaitan sama dengan penelitian lain.
d. Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Dua Ibu dapat
menjadi sebuah alternatif dalam usaha memberikan gambaran tentang
nilai-nilai karakter. Selain itu, nilai karakter tersebut dapat menjadi
gambaran peserta didik dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan sekolah mauapun
keluarga.
e. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan minat membaca
dan minat mengapresiasi karya sastra untuk dunia pendidikan maupun
untuk masyarakat umum. Dalam novel Dua Ibu tentunya tak semua hal
berisi nilai yang positif, ada pula hal-hal yang tentunya tidak layak untuk
ditiru. Dengan adanya kesadaran mau memilah yang baik dan yang
buruk tentunya pembaca akan bisa lebih berhati-hati ketika memilih
bahan bacaan. Dalam dunia pendidikan penelitian ini menjadikan siswa
mampu mengaitkan unsur-unsur kebudayaan dan pendidikan dalam
novel untuk dikaitkan secara kontekstual dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk guru, tentunya hasil kajian ini bisa dijadikan salah satu alternatif
materi pembelajaran sastra di SMA.
175
f. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pendukung referensi kurikulum K-
13 (2015) kelas XI dan XII kompetensi Inti yang selanjutnya disingkat
KI yang yaitu memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah. Kompetensi dasar (KD) tersebut ialah (3.1) memahami
struktur kaidah teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan
novel baik melalui lisan maupun tulisan. (3.2) membandingkan teks
cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan
maupun tulisan. (3.3) menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan,
editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan. (3.4)
mengevaluasi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel
baik melalui lisan maupun tulisan. Yang terakhir adalah KI mengolah,
menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. Sedangkan KD pada KI
tersebut yaitu (4.1) menginterpretasi makna teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan. (4.2)
memproduksi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel
baik melalui lisan maupun tulisan. (4.3) menyunting teks cerita sejarah,
berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun
tulisan. (4.4) mengabstraksi teks cerita sejarah, berita, iklan,
editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan. (4.5)
mengonversi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel
baik melalui lisan maupun tulisan.
176
C. Saran
Berdasarkan hasil simpulan dan implikasi di atas, maka dikemukakan
beberapa saran sebagai pertimbangan untuk berbagai pihak:
1. Bagi guru yaitu untuk lebih memperhatikan kandungan nilai-nilai yang ada
pada sebuah novel yang mengandung unsur kebudayaan. Mengingat,
selama ini novel sastra memiliki nilai-nilai luhur dan nilai pendidikan cukup
tinggi dalam materi bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra memiliki
berbagai macam keindahan serta makna yang terkandung di dalamnya,
memiliki unsur sastra, bahasa, dan budaya serta nilai edukatif , sehingga
para guru maupun pengajar lain dapat menjadikan karya sastra yang syarat
akan unsur sastra, bahasa dan budaya serta nilai edukatif sebagai bahan
untuk dikaji, diapresiasi oleh individu masing-masing dan untuk peserta
didiknya.
2. Bagi Mahasiswa dan peneliti
Dalam meneliti sebuah karya sastra dengan pendekatan antropologi sastra
sebagai pisau bedah, diperlukan kesungguhan dan kesabaran agar dapat
tergali secara mendalam, wujud tersebut terpapar secara kompleks, dan luas.
Hasil dalam penelitian ini pun masih dikatakan jauh dari kata sempurna.
harapan selanjutnya untuk peneliti yang mengambil penelitian ini sebagai
pembanding ataupun acuan dalam penelitianya dapat memperdalam dengan
menggunakan studi terhadap teori yang memiliki keterkaitan untuk
pembanding sehingga dapat menghasilkan kajian yang lebih mendalam dan
kaya terkait penelitianya.
3. Bagi pembaca karya sastra untuk lebih jeli ketika lagi mengambil nilai-nilai
dalam sebuah karya sastra. Banyak pelajaran yang dapat membuka hati dan
pikiran kita ketika membaca karya sastra yang berkuwalitas. Unsur budaya
serta kearifan lokal yang terdapat dalam karya sastra perlu kita aplikasikan
dan ajarkan. Hal demikian ini yang mulai menghilang pada masa sekarang,
nilai kemanusian, kehalusan rasa serta kepekaan dapat diperoleh melalui
karya sastra oleh sebab itu jangan berhenti membaca.
177
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung:
PT refika Aditama.
Adisusilo, S. (2013). “Pembelajaran Nilai Karakter, Konstruktivisme dan. VCT
Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif”. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Alisjahbana, S.T (1988). Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
Aminuddin. (1995). Stilistika Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Ardianto. (2007). “Pembelajaran Sastra Sebagi Sarana Pengembangan Daya
Nalar SiswaI”. 20 Februari 2018. Dalam Jurnal Iqra Vol 3(1) 57-67.
(diunduh melalui alamat www: http//jurnaliqro. Files. Wordpress. com)
Astuti, I. D (2012). “Budaya Jawa dalam Novel Tirai Menurun Karya N.H Dini,
Kajian Antropolgi Sastra”. 15 Juni 2018. Dalam Jurnal Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya. (diunduh
melalui alamat http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-
sapala/article/ view/1993)
Atmojo, M.T. (2016). “Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto Kajian
Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansisnya sebagi
Materi Ajar di SMA”. Skripsi tidak di Publikasikan, Perpustakaan FKIP
UNS Surakarta.
Atmowiloto, A. (2017). Dua Ibu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Colleta, N.J dan Kayam, U. (1987). Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah
Pendekatan terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Damono, S .D. (1984). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Depdiknas .(2003). “Undang-undang RI No.20 tahun 2003.tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Depdiknas, 2006. Permen Nomor 22 Tahun 2006”.
Jakarta: Depdiknas. (diunduh melalui https:// kemenag. go.id/ file/
dokumen/ UU2003.pdf)
Endraswara, S. (2013). Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta:
Penerbit ombak.
178
____________. (2015). Revolusi Mental dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Penerbit Narasi.
Faruk, H.T. (2012). Novel Indonesia Kolonialisme Ideologi Imansipatoris.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Gani, R. (1988). Pengajaran Sastra Indonesia, Respon dan Analisis. Padang: Dian
Dinamika Press.
Hawthorn, J. (1984). “The Studying The Novel”: Oxford University Press. English
Idrus, M. (2007) ” Makna Agama dan Budaya bagi Orang Jawa” Jurnal
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta: Yogyakarta. (diunduh melalui
https://media.neliti.com/media/publications/89286-ID-makna-agama-
dan-budaya-bagi-orang-jawa.pdf) 15 Juni 20018, 20:30 WIB
Iskandarwassid. dan Sunanadar, D (2011). Strategi Pemebelajaran Bahasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jabrohim. (2012). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jamaluddin. (2003). Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Kasnadi dan Sutejo. (2010).”Kajian Prosa: Kiat Menyisir Dunia Prosa”.
Ponorogo: PT Cahaya Pertama
Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kemendiknas
KBBI, (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] diunduh melalui :
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 21 Februari 2018].
Koentjaraningrat. (1979). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia Puataka Utama.
______________. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koesoema, A.D. (2010). Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman.
Global. Jakarta: Grasindo
Kosasih. (2012). Dasar-dasar Ketrampilan Bersastra. Bandung: Yama Widiya.
179
Listyarti, R. (2012). “Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan
Kreati. Jakarta: Esensi.
Luxemburg, J. V. Mieke Bal, dan Willem G. W . (1984). “Pengantar Ilmu Sastra
(Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Mahayana, M. S. (2006). Apreiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama Indonesia.
Matthews. A. (2010). “Literature and Education” (Google Scholar Literature book
online) Colombia University: ( diunduh melaui http://eprints. Maynooth
university.ie/2040/1/Ed_D_Thesis_D_Mathews_May_2010.pdf.).[12
Februari 2018, Pukul 16:00]
Miles, M. B dan Huberman, Amicheal. (1992). Analisis Data Kualitatif, Buku
Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Muhajir, N. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Moleong, L. J. (2012). Metode Peniltian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, B. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
Universitas Press:P2MP SPECTRUM.
Purnomo dan Ratnawati. L (2005). “Watak Tokoh-Tokoh Dalam Novel Burung-
Burung Rantau Karya Y.B Mangunwijaya: Kajian Psikoanalisis”. Jurnal
Bahasa dan Sastra, 6 (2), 157-177.
Rahmanto, B. (1988). “Metode Pengajaran Sastra”. Yogyakarta: Kanisius.
Ras, J,J. (2014). Masayarkat dan Kesusastraan di Jawa. (Terjemahan Achadiati
Ikram). Jakarta: Yayasn Pustaka Obor Indonesia.
Ratna, N. K. (2005). Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
___________. (2011). Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samani, M dan Hariyanto. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep dan Model.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Semi, A. (1993). Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.
Saptono. (2011). “Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter”. Yogyakarta: Erlangga.
180
Sari, L. P. (2013). “Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut
Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implementasi Dalam
Pembelajaran Sastra Di SMA”. Skripsi Publikasi, Perpustakaan online
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setiawan, A. (2012). “Niali-Nilai Budaya dan Pendidikan Priyayi Jawa dalam
Langendrya Lakon Raden Damarwulan, Kajian Naskah Pedalangan
dengan Pendekatan Filologi dan Antropologi Sastra”. Tesis, Digital
Library Universitas Sebelas Maret Suarakarta.
Styaningsih, T (2015) “Novel Kancing yang Terlepas karya Handri T. M Kajian
Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansisnya
sebagai pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi tidak di Publikasikan,
Perpustakaan FKIP UNS Surakarta.
Siregar, D. M.E. Purnomo, dan L. Ratnawati. (2005). “Watak Tokoh-Tokoh dalam
novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya”: Kajian
Psikoanalisis” Dalam LINGUA: Jurnal Bahasa dan Sastra 6 (2), Juni
2005. Palembang.
Siswanto,W. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sulistiono, S.T dan Yeti Rochwulaningsih. (2013). “Contest for hegemony: The
dynamics of inland and maritime cultures relations in the history of Java
island, Indonesia”. Journal Of Marine And Island Culture .2, (115-127).
(diunduh melalui https://www.sciencedirect.com/journal/journal-of-
marine-and-island-cultures/vol/2/issue/2)
Sumardjo, Y. (1982). Masayarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Suprihatiningrum, J. (2013). Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suryadi. (2014). “ The Use of Krama Inggil (Javanese Language) in Family Domain
at Semarang and Pekalongan Cities”. International Journal of Lingustics,
Vol. 6, No. 3, 244. (diunduh melalui www. macrothink.org)
Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kulaitatif. Surakarta: UNS Press.
Tarigan, H. G. (1984). Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Tatlow, A. (2000). “ Comperative Literature as Textual Anthropology”. Journal
Produe .2. (1-8). (diunduh melaluidocs.lib.purdue.edu/cgi/
viewcontent.cgi?article=1087&context=clcweb)
181
Treuer, D. (2010). “Internasioanal Anthropology, Comparative Literature, Ethnic
Literature and Cultural Diversity” (Google Scholar Literature book
online). Associate Professor of English, The University of Minnesota,
USA: (diunduh melalui
https://books.google.co.id/books?isbn=1848261756). 1, 1.
Waluyo, H. J. (2002). Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.
___________ dan Wardani, N.E. (2009). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS
Press
__________ dan Wardani, N.E. (2011). Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi.
Surakrata: UNS Press.
Wellek, R dan Austin Werren. (1990). Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melani
Budianti). Jakarta: Garamedia.
Wibowo, A. (2013).Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wikipedia Indonesia. (2018). Ensiklopedia Bebas. Online. (diunduh melalui
https://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama)
Zamzami, L. (2013). “Mentawai, Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang
Digerus oleh Zaman”. Juranal Antrolopogi Indonesia . 34, (29-40).
182
Lampiran 1. Sinopsis Novel
Gambar 3. Novel Dua Ibu
183
Lampiran 1.
SINOPSIS NOVEL DUA IBU
Judul : Dua Ibu
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : 1980
Cetakan keempat : Juli 2017
Tebal buku : 300 halaman
ISBN : 978-602-03-0602-5
Novel Dua Ibu mengangkat tema tentang arti kata "ibu" bagi seorang anak,
yakni ibu sebagai sosok yang melahirkan seorang anak ke dunia; dan ibu yang
merawat dan membesarkannya. Dalam kehidupan terdapat kenyataan bahwa ibu
yang melahirkan tidak selalu menjadi ibu yang merawat dan membesarkan
anaknya. Kisah sederhana itu dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana pula.
Pemakaian bahasa yang mencerminkan keluguan menimbulkan nilai estetik
tersendiri.nSeiring dengan perkembangan kisah sang anak pengarang menyentuh
kepekaan, pengertian, dan kearifan pembaca untuk ikut mengembangkan
kepribadian sang anak, sehingga anak tersebut dapat melihat dan menemukan
betapa besar kasih sayang kehadiran seorang ibu sejati.
Novel Dua Ibu karya Arswendo, menggambarkan dan bertutur sosok ibu secara
idealis. Idealis dalam makna sosok ibu yang match antara values expectation dari
masyarakat dengan values capabilities-nya. Walaupun dalam novel tersebut Ibu
mengalami deraan yang luar biasa untuk menghidupi delapan anaknya pasca
kematian suaminya. Seorang Ibu yang entah dengan alasan apa, tidak dijelaskan
oleh Arswendo ketika pasca suaminya meninggal tidak menikah lagi. Sosok
seorang ibu, digambarkan dengan begitu tangguh.
184
Menghidupi, membesarkan delapan anak yang notabene bukan anak kandung-
nya semua. Harus memasak, bekerja keras menjadi buruh masak, serta bagaimana
membagi uang yang begitu minim dari pensiunan almarhum suaminya. Tak ada
cerita keluhan, amarah dari sosok Ibu bagi delapan anaknya. Yang ada adalah
mengajarkan pendidikan nilai-nilai agar anak-anaknya survive. Sejak ayah
meninggal, peran ibu menjadi ganda dengan yaitu harus menghidupi anak-anaknya.
Kehidupan makin sulit setelah Solemah dan Mujanah menikah karena ibu telah
menjual barang-barang di dalam rumah. Puncaknya saat Mamid dikhitan dan ibu
harus mengeluarkan banyak biaya. Jamil yang kemudian memaksa Mamid untuk
ikut Tante Mirah ke Jakarta. Konon, Tante Mirah adalah ibu kandung Mamid.
Jamil punya rencana dan itu akan terlaksana kalau Mamid ikut Tante Mirah
tinggal di Jakarta. Dan cerita semakin bergulir, Mamid bersedia meninggalkan Ibu
dan tinggal di Jakarta bersama Tante Mirah dan Om Bong, orang tua kandungnya.
Jamil, satu-satunya anak kandung ibu memilih pergi dari rumah untuk jadi pelaut.
Ratsih menikah dengan atasan suami Solemah dan pindah ke Surabaya bersama
Herit. Kisah beralih pada perjalanan Jamil, seperti yang dikisahkan tiga tahun
kemudian. Tentang perjalanan Jamil sebagai penumpang gelap ke Jakarta, tentang
usahanya bertahan hidup dan menjadi awak kapal gelap. Ada juga kisah-kisah
Solemah dan Ratsih melalui surat-surat mereka untuk Ibu. Satu-persatu anak-anak
yang Ibu ambil dan Ibu besarkan mulai mandiri, mulai bisa mengepakkan sayap
namun tetap membawa nilai-nilai hasil didikan Ibu. Mungkin itulah titik selesainya
tugas seorang Ibu.
185
Lampiran 2. Biografi pengarang
Gambar 4. Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948;
umur 70 tahun) adalah penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai
majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Mempunyai nama asli
Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang
komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama
ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.
Arswendo pernah kuliah di IKIP Solo (tidak tamat). Pernah memimpin Bengkel
Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, di Solo (1972), wartawan Kompas dan
pemimpin redaksi Hai, Monitor, Senang, Dan tahun 1979 mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Tahun 1972
memenangkan Hadiah Zakse ayas esaomua "Buyung -Hok dalam kreativitas
kompromi. Pada tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid
Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid
Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca.
186
Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi
Muhammad yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim
marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses
secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara. Arswendo mulanya
beragama Islam, namun berpindah agama menjadi Katholik mengikuti agama sang
istri.Selama dalam tahanan, Arswendo menghasilkan tujuh buah novel, puluhan
artikel, tiga naskah skenario dan sejumlah cerita bersambung. Sebagian
dikirimkannya ke berbagai surat kabar, seperti KOMPAS, Suara Pembaruan, dan
Media Indonesia. Semuanya dengan menggunakan alamat dan identitas samaran.
Untuk cerita bersambungnya, "Sudesi" (Sukses dengan Satu Istri), di harian
"Kompas", ia menggunakan nama "Sukmo Sasmito". Untuk "Auk" yang dimuat di
"Suara Pembaruan" ia memakai nama "Lani Biki", kependekan dari Laki Bini Bini
Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah
"Said Saat" dan "B.M.D Harahap".
Setelah menjalani hukuman 5 tahun ia dibebaskan dan kemudian kembali ke
profesi lamanya. Ia menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang
Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil
menghidupkan tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ,
karena ia kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah,
yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina
(kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih aktif menulis ia
juga memiliki sebuah rumah produksi sinetron. Kakaknya, Satmowi Atmowiloto,
adalah seorang kartunis.
187
Karya-karya Pengarang
1. Bayiku yang Pertama (Sandiwara
Komedi dalam 3 Babak) (1974)
2. Sang Pangeran (1975)
3. Sang Pemahat (1976)
4. The Circus (1977)
5. Saat-saat Kau Berbaring di
Dadaku (1980)
6. Dua Ibu (1981)
7. Serangan Fajar (diangkat dari film
yang memenangkan 6 Piala Citra
pada Festival Film Indonesia)
(1982)
8. Pacar Ketinggalan Kereta
(skenario dari novel "Kawinnya
Juminten") (1985)
9. Anak Ratapan Insan (1985)
10. Airlangga (1985)
11. Senopati Pamungkas (1986/2003)
- dianggap sebagai bestseller oleh
Gramedia
12. Akar Asap Neraka (1986)
13. Dukun Tanpa Kemenyan (1986)
14. Indonesia from the Air (1986)
15. Garem Koki (1986)
16. Canting (sebuah roman keluarga)
(1986) - dianggap sebagai
bestseller oleh Gramedia
17. Pengkhianatan G30S/PKI (1986)
18. Lukisan Setangkai Mawar (17
cerita pendek pengarang Aksara)
(1986)
19. Telaah tentang Televisi (1986)
20. Tembang Tanah Air (1989)
21. Menghitung Hari (1993)
22. Sebutir Mangga di Halaman
Gereja: Paduan Puisi (1994)
23. Projo & Brojo (1994)
24. Oskep (1994)
25. Abal-abal (1994)
26. Khotbah di Penjara (1994)
27. Auk (1994)
28. Berserah itu Indah (kesaksian
pribadi) (1994)
29. Sudesi: Sukses dengan Satu Istri
(1994)
30. Sukma Sejati (1994)
31. Surkumur, Mudukur dan
Plekenyun (1995)
32. Kisah Para Ratib (1996)
33. Senja yang Paling Tidak Menarik
(2001)
34. Pesta Jangkrik (2001)
35. Keluarga Cemara 1,2 dan
188
Lampiran 3. Wawancara Pengarang
Hasil Wawancara dengan Pengarang Novel Dua Ibu
Nama : Arswendo Atmowiloto
Lokasi : Email
Hari/ Tanggal : 13 Juli 2018
Pertanyaan
1. Terima kasih pak atas waktunya, sekarang pak Arswendo sedang sibuk apa
?
2. Dalam karya bapak kebanyakan berbicara tentang tema keluarga, adakah
alasan khusus tentang hal tersebut Pak ?
3. Apa inspirasi atau kegelisahan awal Pak Arswendo ketika membuat Novel
Dua Ibu?
4. Terus terang tokoh favorit saya dalam Novel Dua Ibu, adalah tokoh Mamid.
Tokoh Mamid mengingatkan saya waktu masih kecil dahulu, darimana
bapak mendapatkan ide untuk membuat tokoh Mamid, apakah Mamid juga
berasal dari kenangan masa kecil bapak ?
5. Tentang sikap Bu Marsono yang berpuasa, tidak tidur, yang biasanya
disebut dengan laku prihatin, apakah semua orang Jawa juga berbuat
demikian pak ketika sedang dalam hajatan ?
6. Novel Dua Ibu, sangat dekat dengan kehidupan orang Jawa, terlebih lagi
latar tempat novel tersebut adalah kota Solo, yang kebanyakan
masyrakatnya hidup dengan watak yang nerimo. Apakah dalam menulis
novel tersebut bapak melakukan riset, terkait dengan karakter Bu Marsono
?
7. Dalam novel disebutkan bahwa Pak Marsono adalah seorang priyayi,
menurut bapak apakah nilai-nilai yang dimiliki priyayi masih bisa
digunakan untuk zaman sekrang pak ?
8. pertanyaan terahir pak, adakah pesan khusus yang ingin Pak Arswendo
sampaikan kepada pembaca melalui Novel Dua Ibu ?
189
Jawaban dari daftar pertanyaan :
1. Kesibukan saya masih seperti biasanya. Menulis novel, kadang
menghadiri undangan ceramah. Menulis kolom di Koran Jakarta setiap
hari Sabtu.
2. Sebetulnya taka da alasan khusus kalau memilih tema keluarga.
Setidaknya pada awal kepenulisan saya. Secara sadar saya memilih tema
keluarga ketika menuliskan dan kemudian membuat sinetron Keluarga
Cemara. Saya fokus ke peran keluarga.
3. Kegelisahan apa ya? Waktu itu saya dapat bea siswa mengikuti
International Writing Program dari Univercity of Iowa, AS. Di sana saya
kangen ibu saya—bukan istri atau pacar. Dorongan itu membuat saya
menuliskan novel Dua Ibu.
4. Mamid, sebagaian besar gambaran yang saya alami. Saya pernah diasuh
oleh Mbokde, bukan keluarga kandung. Perasaan-perasaan ketika itu
saya jadikan inspirasi. Bercampur dengan inspirasi lain. Dari ibu mertua
yang juga menampung banyak anak orang lain.
5. Setahu saya laku—cara prihatin, menajamkan perasaan, masih berlaku.
Bahkan sampai sekarang ini.
6. Riset pasti, walau tidak selalu berada di perpustakaan. Justru sebaliknya
dengan banyak berkumpul, mengobrol, mengalami, menjadikan kita
kaya akan pengalaman.
Bukan kebetulan istri saya diangkat anak ibu lain, saya sendiri juga
begitu, anak saya lelaki ikut neneknya di awal-awal saya mengembara
ke Jakarta.
190
7. Nilai priyayi di Jawa sering dianggap nggak penting. Bagi saya nilai-
nilai kepriyayian itu dilihat dari intelektualitas dan keberanian
menyampaikan pendapat. Peran sosialnya tinggi.
8. Ratsih memang tidak diperkenalkan siapa orang tuanya. Dalam keluarga
kita—keluarga titipan, hal ini sering terjadi Entah karena malu
menceritakan, entah karena hal lain. Banyak yang misateri dalam
kehidupan dan itu baik saja.
Mudah2an jawaban ini berguna. Salam buat teman-teman, terutama buat
Solo hehehe (arswendo atmowiloto)
191
Lampiran 3. Wawancara Guru SMA
Hasil Wawancara dengan Guru Bahasa Indonesia
Nama : Asqina Mawadati M. Pd (Guru Bahasa Indonesia SMA N 2
Sragen)
Lokasi : Perpustakaan SMA N 2 Sragen
Hari/ Tanggal : 25 Juni 2018
Pertanyaan
1. Apa kabar Bu Edi ?, kalau boleh tahu Ibu mengajar kelas apa saja di SMA
N 2 Sragen ?
2. Bagimana menurut Ibu setelah membaca Novel Dua Ibu ?
3. Menurut Ibu bagimana minat membaca siswa yang ibu ajar di sekolah
sekarang, dan menurut Ibu apakah siswa akan tertarik membaca Novel Dua
Ibu ini ?
4. Menurut Ibu, apakah Novel Dua Ibu dapat dijadikan sebagai materi
pengajaran sastra di kelas ?
5. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini bagaimana menurut Ibu ?
6. Apa pesan dan kesan setelah membaca Novel Dua Ibu ?
Jawaban:
1. Baik mas, saya mengajar di kelas X1 IPA A-E, untuk kelas XII saya hanya
mengajar kelas IPA C dan D saja.
2. Menarik, saya suka. Banyak cerita lucu yang dilakukan oleh tokoh dalam
novel. Untuk sebuah karya sastra serius. Menurut saya novel ini mudah
dipahami. Selain itu banyak pelajaran hidup yang dapat saya ambil di
dalamnya. Membacanya tidak berat tapi ternyata isinya berat.
Kecenderungan Arswendo dalam gaya penulisanya yang langsung pada
intinya (to the poin) membuat pembaca muda untuk memahami cerita. Saya
ketika membaca novel tersebut merasa bahwa, saya juga bisa membuat
cerita seperti ini, malah lebih bagus rasanya, tetapi setelah dilakukan
192
ternyata lebih susah dari yang saya bayangkan. Mungkin ciri khas gaya
penulisan tersebut yang saya kagumi dari beliau.
3. Siswa SMA 2 menurut pengamatan saya banyak yang suka membaca mas,
terlebih yang cewek-cewek. Sering kali saya melihat ketika istirahat atau di
kelas banyak yang membawa novel. Tapi kebanyakan yaa, novel teen.
Sempat juga saya mengusulkan untuk memperbarui buku bacaan yang ada
di perpustakaan sekolah. Bukunya bermacam-macam ada yang
pengetahuan, buku pedoman pelajaran, novel, yang kemarin ada sistem baru
pembaruan buku, jadi siswa diperbolehkan mengusulkan buka apa saja yang
ingin di adakan. Mungkin dari situ minat baca siswa jadi tumbuh.
Kadang juga saat mengajar saya beri tugas membuat resume buku
bacaan setiap dua atau tuga bulan sekali. Biasanya siswa SMA itu banyak
yang mengeluh kalau saya rekomendasikan bacaan yang nyastra banget
seperti buku Eka Kurniawan atau Oki Mandasari. “Gagal Paham” katanya.
Mungkin masih terlalu berat, sudah mau membaca seperti sekarang saja
saya bersyukur mas. Paling tidak dengan membaca kegiatan mereka ada
yang positif daripada main HP teruskan. Ini novelnya bagus kok mas(Novel
Dua Ibu), bahasanya juga ringan jadi untuk anak SMA saya rasa cocok.
Apalagi ada lucu-lucunya, selain itu novel ini juga membicarakan tentang
keluarga, yang bercerita juga anak kecilkan namanya Mamid. Jadi saya rasa
bakal suka dengan novel ini.
4. Novel ini cukup baik untuk dijadikan materi pengajaran bagi siswa, pada
tokoh-tokohnya terdapat keteladanan yang dapat dicontoh oleh siswa di
sekolah maupun di rumah. Terdapat juga nilai-nilai pendidikan karakter
seperti rajin, taat beribadah, tolong menolong dan yang lainya. Selain itu
juga dapat memperluas wawasan siswa agar lebih menghargai orang tua
mereka yang ada di sekolah maupun di sekolah. Mungkin sebagai pengajar
saya harus memilah terlebih dahulu mana yang harus diberikan dan mana
bagian yang harus dihilangkan. Tidak semua bagian dalam novel dapat
diberikan secara langsung kepada siswa, walupun kebanyakan positif tapi
ada beberapa bagian yang harus dipilah terlebih dahulu.
193
Untuk diaplikasikan dalam materi pembelajaran dapat dimasukan dalam
kompetensi dasar kelas XI 7.2 Menganilisis unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel, atau mungkin kelas XII yang KD 5.1 atau 5.2 tentang
menanggapi pembacaan novel dan dan menjelaskan unsur intrinsik dari
pembacaan novel.
5. Gaya bahasa yang digunakan sederhana mudah dipahami jadi cocok dibaca
untuk semua kalangan.
6. Kesan saya bagus ya. Mendidik juga menghibur dapat pelajaran bagaimana
sosok seorang ibu yang baik melalui tokoh “Ibu” dalam novel. Dapat
hiburan dari kelucuan dan tingkah lugu anak-anak dari tokoh “Ibu”.
Untuk pesan mungkin sebagai guru bahasa Indonesia khususnya, harus
banyak membaca novel-novel semacam ini agar dapat memperkaya
wawasan guru dan juga siswa. Pengajar seharusnya lebih berinisiatif
menyaring buku-buku semacam ini agar pembelajaran di kelas tidak
monoton pada buku-buku yang itu-itu saja. Selama saya mengajar entah itu
dibuku paket maupun buku lain seperti LKS, atau yng dipinjamkan dari
perpustakaan kebanyakan menggunkan novel dari angkatan Bale Pustaka,
kenapa tidak diperbarui dengan karya-karya yang lebih baru sehingga lebih
dekat anak-anak.
194
Lampiran 3. Wawancara Murid SMA
Hasil Wawancara dengan Siswa
Nama : Anggun Nur W (Murit SMA N 2 Sragen)
Lokasi : Warung kopi Pranadjaya
Hari/tanggal : 30 Juni 2018
Pertanyaan
1. Adik sekarang kelas berapa?, sekolah dimana ?
2. Adik suka membaca ? biasanya bacaanya apa saja ?
3. Bagimana pendapat adik setelah membaca Novel Dua Ibu ?
4. Siapa tokoh favorit adik dalam novel tersebut ?
5. Selama adik membaca novel Dua Ibu apakah ada Kesulitan ?
6. Bagaimana novel yang baik menurut pendapat adik ?
7. Apakah novel tersebut dapat digunakan sebagai materi pengajaran di kelas
?
8. Apa pesan dan kesan adik setelah membaca novel tersebut ?
Jawaban
1. Kelas XII IPS, SMA N 2 Sragen
2. Saya suka baca berita apa saja mas, terutama yang berhubungan dengan hal
mistis. Saya tidak suka yang cerita cinta-cintaan, buku yang pernah saya
baca: Kelir Selindet, novel Dua Ibu, sama kumpulan puisi apa saja.
3. Bagus mudah dipahami
4. Saya suka dengan tokoh Ibu (Bu Marsono), karena terlepas dari kekurangan
dan kekilafan ibu mengajarkan saya prihatin.
5. Tidak, cara penulis menyampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami.
6. Lucu, menghibur tetapi juga menginspirasi pembaca agar lebih positif
7. Bisa, menyadarkan kepada teman-teman untuk lebih sayang lagi kepada
ibunya. Belajar banyak dari tokoh-tokoh yang ada dalam novel juga.
8. Kesan saya menarik, lucu, temen-temen harus baca, membuat saya tertarik
untuk menulis cerita. Pesan saya, harus banyak baca.
195
Lampiran 6. Surat Izin Menyusun Skripsi
196
Lampiran 7. Surat Izin Observasi
197
Lampiran 8. Surat Izin Penelitian
198
SILABUS MATA PELAJARAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH/SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN/MADRASAH ALIYAH KEJURUAN
(SMA/MA/SMK/MAK)
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
JAKARTA 2016