nilai-nilai pendidikan islam dalam novel...

99
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Disusun Oleh: ALIMUL HUDA NIM : 3102327 FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

Upload: phamdang

Post on 11-Feb-2018

256 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA

KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh:

ALIMUL HUDA NIM : 3102327

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG 2008

ب

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp. : 4 (empat) eks.

Hal : Naskah Skripsi

a.n Sdr. Alimul Huda

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah Skripsi saudara:

Nama : Alimul Huda

NIM : 3102327

Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL

SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN

AL-AZIZY.

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, Januari 2008

Pembimbing,

Drs. Abdul Wahib, M.Ag NIP : 150 240 884

Drs. Abdul Wahib, M.Ag

Perum Pandana Merdeka R 35

Ngaliyan Semarang

ج

PENGESAHAN PENGUJI

Tanggal Tanda Tangan

Drs. Karnadi Hasan, M.Pd. _______________ ________________ Ketua Mahfud Siddiq, LC.MA. _______________ ________________ Sekretaris Dra. Muntholi’ah, M.Pd. _______________ ________________ Anggota I Drs. Abdul Rohman, M.Ag. _______________ ________________ Anggota II

د

ABSTRAK

Alimul Huda (NIM: 3102327). Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman al-Azizy. Semarang: Program Strata S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Bagaimana sistem nilai dalam pendidikan Islam, 2) Apa saja kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Aziziy, 3) Bagaimana nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy.

Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme semiotik. Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Sedangkan semiotik atau semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra. Dengan demikian strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada semiotik.

Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi yang secara langsung menjadi obyek dalam penelitian skripsi ini. Data ini ditunjang dengan hasil interview dengan nara sumber yang bersangkutan dalam penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewee-nya adalah pengarang novel Syahadat Cinta yaitu Taufiqurrahman Al-Azizi. Sedangkan Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan karya ilmiah yang mengkaji tentang sastra atau yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Setelah data berhasil penulis kumpulkan, tahap selanjutnya adalah analisis data. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Interpretasi, yaitu digunakan untuk menyelami karya tokoh dalam rangka menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas. 2) Hermeneutik, yaitu metode khusus yang biasanya digunakan untuk analisis pemaknaan suatu karya sastra yang mengacu pada tanda-tanda dalam bahasa. Hermeneutik merupakan telaah pada totalitas atau keseluruhan karya Sastra, yang berupa sajak atau bait-bait syair yang terkait dalam satu tema atau keseluruhan karya itu sendiri.

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta secara global dapat dikategorikan dalam 3 aspek, yaitu: 1) Nilai-nilai pendidikan keimanan, terdiri dari nilai Ilahiyah ubudiyah yaitu: ajaran untuk selalu beriman kepada Allah, ajaran untuk beriman kepada kitab Allah. dan Ilahiyah Muamalah yaitu ajaran untuk Bersikap Sabar dan Ikhlas. 2) Nilai-nilai pendidikan syariah, terdiri atas nilai Ilahiyah ubudiyah yaitu ; ajaran tentang shalat dan ajaran tentang thaharoh. 3) Nilai-nilai pendidikan akhlak, terdiri atas nilai insaniyah yaitu; ajaran tentang etika berbicara yang baik-baik, ajaran untuk saling memaafkan, ajaran tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat), ajaran untuk saling tolong menolong dan bersedekah.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi guru pendidikan agama Islam untuk bisa menggunakan buku-buku atau novel-novel religius yang memiliki nilai edukatif sebagai media pendidikan.

ه

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat

dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, Januari 2008

Deklarator

Alimul Huda NIM : 3102327

و

MOTTO

çµ ø?yŠuρ≡u‘ uρ © ÉL ©9$# uθèδ †Îû $ yγ ÏF÷ t/ ⎯ tã ⎯ ϵš ø ¯Ρ ÏM s) ¯= yñuρ šU≡ uθö/F{$# ôM s9$ s% uρ |M ø‹ yδ š s9 4 tΑ$ s%

sŒ$ yètΒ «! $# ( …çµ ¯Ρ Î) þ’În1 u‘ z⎯ |¡ ômr& y“#uθ÷W tΒ ( … çµ ¯Ρ Î) Ÿω ßxÎ= ø ムšχθßϑ Î=≈©à9$#

)23: يوسف (

Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:

"Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku Telah memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim

tiada akan beruntung. (QS. Yusuf:23) 1

1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989),

hlm. 351.

ز

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

• Ayahanda Mashudi dan ibunda Munawaroh tercinta yang dengan penuh

kasih sayang dan tetesan air mata serta doa yang tulus nan suci dalam

mendidik putranya ini. Ananda harapkan dapat terus menyongsong masa

depan untuk menghadapi tantangan hidup, rasa terima kasih tidak dapat

ananda ucapkan walaupun dengan kata-kata yang paling manis sekalipun.

• Kakak-kakakku Khotibul Umam dan Ulwiyah, Adik-adikku David

Muhammad Hatta, Tafrikhatul Walidah dan Sakhiyatul Warda, keponanku

Muhammad Shofa, Angga Firman Hidayatullah, Muhammad Kakhis dan

Ajay yang tersayang, terima kasih atas motivasinya selama ini.

• Seseorang yang menjadi lentera hati, yang selalu setia menemaniku dengan

iringan doa yang tulus nan suci serta perhatian dan kasih sayangnya yang

memberikan semangat kepadaku dalam menyelesaikan skripsi dari awal

sampai akhir.

• Teater Beta, terima kasih atas rumah singgahnya dalam menumpahkan rasa

dan karya.

• Semua sahabatku terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya.

ح

KATA PENGANTAR

الرحيم الرمحن اهللا بسم

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang

wajib dipenuhi guna memperoleh gelas kesarjanaan dari Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi

Muhammad SAW yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup

kita, baik di dunia dan di akhirat kelak.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terselesaikan jika tanpa

uluran tangan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak baik bersifat materiil

maupun spirituil. Dengan teriring rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih

kepada mereka yang berjasa, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang

2. Drs. Abdul Wahib, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Para dosen pengajar dan staf karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang

4. Taufiqurrahman al-Azizy (Muhammad Muhyidin) selaku penulis novel

Syahadat Cinta, yang telah mencurahkan waktunya untuk berdiskusi dan

memberikan sedikit ilmunya.

5. Ayahanda Mashudi dan ibunda Munawaroh tercinta serta seluruh keluarga

yang telah berkenaan memberikan motivasi dan doa yang tulus bagi penulis

selama menyelesaikan studi serta penyusunan skripsi.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

ط

Atas jasa-jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal

mereka diterima disisi Allah SWT. dan mendapat balasan pahala yang lebih serta

mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Kemudian penyusun mengakui kekurangan dan keterbatasan kemampuan

dalam menyusun skripsi ini, maka diharapkan kritik dan saran yang konstruktif

dari para pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Dan akhirnya penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan

bagi para pembaca pada umumnya. Amin.

Semarang, Januari 2008

Penulis

ي

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii

PENGESAHAN ......................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................. iv

DEKLARASI ............................................................................................. v

MOTTO ..................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................... viii

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Penegasan Istilah ..................................................................... 4

C. Perumusan Masalah ................................................................. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7

E. Kajian Pustaka .......................................................................... 7

F. Metode Penelitian .................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 11

BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN NOVEL

RELIGIUS .................................................................................... 12

A. Nilai Pendidikan Islam ............................................................. 12

1. Pengertian Pendidikan Islam .............................................. 12

2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam ...................................... 15

3. Pengertian dan Macam-Macam Nilai-Nilai Pendidikan

Islam .................................................................................. 20

B. Novel Religius .......................................................................... 28

1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Religius .......... 28

2. Novel Religius Sebagai Media Pendidikan Islam .............. 32

ك

BAB III BIOGRAFI TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY DAN ISI

NOVEL SYAHADAT CINTA .................................................... 42

A. Biografi dan Karya-Karya Taufiqurrahman Al-Azizy .............

1. Biografi Taufiqurrahman Al-Azizy..................................... 42

2. Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy ............................. 43

B. Isi Novel Syahadat Cinta .......................................................... 44

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM

NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA

TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY............................................... 63

A. Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah.................................................. 64

B. Nilai-Nilai Pendidikan Syari’ah................................................ 71

C. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak ............................................... 74

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 81

A. Kesimpulan .............................................................................. 81

B. Saran ......................................................................................... 83

C. Penutup ..................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT PENULIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membahas tentang masalah sastra kaitannya dengan pendidikan Islam

merupakan kajian yang masih membubuhkan tanda tanya. Benarkah ada

kaitan antara keduanya? Sastra yang lebih menekankan pada sifat estetiknya

ditempatkan sebagai second part karena diasumsikan hanya berisi tentang

cerita fiktif belaka. Sedangkan dunia pendidikan membutuhkan sesuatu yang

lebih bersifat ilmiah, bukan hanya karangan imaginatif saja.

Lebih ekstrem lagi jika dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan Islam.

Adakah karya sastra yang memiliki peran edukatif, yang mengajarkan tentang

nilai-nilai keislaman? Jadi tidak hanya naratif dan deskriptif tapi juga edukatif.

Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarangnya untuk menerapkan pesan

moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan

pengarangnya tentang konsep moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku

tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-

pesan yang ingin disampaikan.1 Pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah

karya fiksi pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia.

Pembaca diharapkan dapat menghayati pesan-pesan ini dan kemudian

menerapkannya dalam kehidupannya.

Suatu karya sastra bukan semata-mata hanya berisi khayalan belaka.

Tetapi di dalamnya ada pertaruhan nilai-nilai, juga analisis terhadap suatu

masalah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga

ditemukan dalam karya sastra. Faisal Tehrani mengatakan bahwa betapa

pentingnya pendidikan anak-anak yang didasari dengan sastra dan ajaran

Islam. Cerita dan puisi yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1998), hlm. 321.

2

kebaikan bagi anak-anak. Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media

massa, media elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah

terpengaruh. Media sastra dapat menjadi benteng yang sempurna untuk

menangkal aspek negatif dari perkembangan teknologi.2 Jadi nilai spiritualitas

di dalam karya sastra selalu bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi.

Karya sastra sebagai sebuah seni, menurut Nasr dalam Estetika Islam

Oliver Leaman di pandang sebagai keindahan yang tercermin dalam

keindahan jiwa sang sastrawan dan dalam tingkat realitas yang lebih tinggi,

yang di dalamnya menggambarkan keindahan wujud ketuhanan itu sendiri.3

Di sini ada korelasi antara tingkat spiritualitas pengarang dengan pesan-pesan

yang akan disampaikan dalam suatu karya sastra. Dimana pesan yang

disampaikan merupakan manifestasi kehidupan religius pengarang yang

tertuang dalam karya sastra, sehingga pembaca dapat mengaplikasikan pesan

tersebut dalam kehidupan nyata.

Perkembangan sastra di Indonesia kaitannya dengan dunia Islam

khususnya yang berisi tentang pendidikan Islam dapat dilihat dalam tradisi

sastra klasik. Karya-karya sastra tersebut mengarah pada sastra didaktis, sastra

yang berpretensi pada masalah pengemban misi pendidikan, tuntunan dan

ajaran. Kenyataan itu bisa ditemui dalam tradisi sastra Jawa Klasik. Mungkin

hal itu bisa dimaklumi, karena dalam tradisi sastra klasik, sastra memang

sebagai alat pendidikan.

Dari sastra-sastra klasik yang bersifat piwulang tersebut dapat

dipahami bahwa transfer of knowledge dan transfer of value dapat dilakukan

melalui media sastra. Seorang sastrawan berperan sebagai pendidik yang

menyampaikan ajarannya melalui komunikasi timbal balik dalam teks.

Lewat pemahaman pokok persoalan yang terdapat dalam suatu karya

prosa fiksi, pembaca akan menemukan nilai-nilai didaktis. Nilai-nilai

2 Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post

-create.g?blogID 27 April 2006. 3 Oliver Leaman, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar,

(Bandung: Mizan, 2005), hlm.157.

3

pendidikan ini bisa saja berhubungan dengan masalah manusia dan kehidupan

serta agama. Hal ini tergantung tema apa yang ingin diusung oleh pengarang

dalam karya fiksi tersebut. Dengan begitu tema-tema pendidikan Islam pun

dapat masuk sebagai pokok pikiran dalam karya tersebut.

Kisah-kisah yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits seringkali

juga digunakan sebagai media menyampaikan ajaran Islam atau pendidikan

kepada pendengarnya. Kisah itu untuk mendidik manusia agar meneladani

yang baik dan menghindari yang buruk. Karena Islam juga mengajarkan untuk

selalu melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, sehingga

seseorang dapat memiliki akhlak yang baik.

Firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 4;

كإنلى ولق لعظيم خ4 :القالم (ع(

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. al-Qalam: 4)4

Karena yang dimaksud dengan kepribadian muslim adalah kepribadian

yang mempunyai corak khusus menurut ajaran Islam yang merupakan cermin,

sifat dan tingkah laku, serta pengabdian kepada Allah sebagai landasannya,

maka kisah-kisah yang berdasarkan atas al-Qur’an maupun al-Hadits

sebenarnya juga mengajak kepada para pendengarnya menuju pembentukan

kepribadian yang islami. Karena dalam kisah-kisah tersebut ditampilkan

berbagai tokoh dengan berbagai bentuk kepribadian, baik yang islami; taat,

tunduk dan pasrah kepada Allah, maupun kepribadian yang menyimpang atau

menentang kepada Allah; syirik, kafir, munafiq dan sebagainya.

Saat ini banyak novel-novel religius yang mengadopsi cerita-cerita al-

Qur'an maupun al-Hadits sebagai tema sentral. Ataupun dengan memberikan

penekanan dan legitimasi terhadap suatu cerita dengan dalil-dalil al-Qur'an

maupun al-Hadits. Dengan begitu pembaca dapat menyerap nilai-nilai

pendidikan Islam yang terkandung dalam cerita tersebut untuk selanjutnya

4 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm 960.

4

diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sehingga novel-novel tersebut tidak

hanya bernilai estetis tetapi juga edukatif.

Salah satu novel religius yang mengandung nilai pendidikan Islam

adalah novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi. Novel ini tidak

hanya berisi tentang cerita fiktif belaka, tetapi diperkuat dengan dalil-dalil al-

Qur'an maupun al-Hadits. Sehingga cerita yang dipaparkan tidak hanya

sebatas imaginer, tetapi juga memiliki misi edukatif. Misi edukatif ini bisa

dilihat dari nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam dialog tokoh-

tokoh yang ada di dalam novel Syahadat Cinta. Di antara nilai-nilai

pendidikan Islam yang terkandung di dalam novel ini adalah nilai pendidikan

aqidah, akhlak dan syar’iah, yang dikemas secara estetis dalam bentuk narasi.

Berdasarkan deskripsi di atas penulis tertarik untuk meneliti dan

menelaah kandungan nilai-nilai pendidikan Islam dalam karya sastra, dalam

sebuah skripsi yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel

Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi.

B. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman agar tidak terjadi kesalahpahaman

tentang judul tersebut maka perlu kiranya ada penegasan istilah yang berkaitan

dengan judul tersebut, yakni:

a. Nilai (value)

Dalam bahasa Inggris nilai adalah “value”, yaitu sesuatu yang

berharga bagi kehidupan manusia.5 Dalam etika dikenal terutama nilai-

nilai rohami, yaitu yang baik, yang benar, yang indah. Nilai-nilai itu

mempunyai sifat supaya direalisir dan disebut nilai aktuil, sedangkan yang

menunggu realisasi disebut nilai ideal. Yang pertama memberi isi pada

kehidupan manusia, yang kedua memberi arah atau jurusan; yaitu jurusan

untuk lebih merealisir nilai.6

5 St. Vembriarto, dkk., Kamus Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 43. 6 Soewandi, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 749.

5

Milton Rekeach dan James Bre seperti yang dikutip Chabib Thoha

menyatakan nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang

lingkup sistem kepercayaan seseorang dalam bertindak atau menghindari

suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang tidak pantas dikerjakan. Nilai

menunjukkan suatu standar atau kriteria untuk menilai atau mengevaluasi

sesuatu seperti industrialisasi yang merupakan sarana kemakmuran. Dalam

pengertian ini terdapat berbagai jenis nilai yaitu nilai individu, sosial

budaya, dan agama.7

Jadi dapat dipahami bahwa nilai adalah sesuatu yang pola normatif

yang bersifat abstrak, ideal, yang dijunjung tinggi oleh manusia dalam

kehidupannya sehari-hari. Sistem nilai yang dijadikan acuan dan menjadi

rujukan cara berperilaku lahiriah dan ruhaniah seorang muslim adalah nilai

yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits.

b. Pendidikan Islam

Kata pendidikan menurut pengertian bahasa berasal dari bahasa

Arab yaitu "tarbiyah", dengan kata kerja "raba yarbu" yang berarti

“tumbuh” dan “berkembang”.8

Secara istilah pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari

generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,

kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha

menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah

maupun ruhaniah.9

Maksud dari pendidikan dan pengajaran adalah mendidik akhlak

anak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan),

membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan

mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.

7 Chabib Thoha Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

Cet.I, hlm. 60-61. 8 Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Quran”, dalam Ismail SM,

dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm. 57. 9 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm.

214.

6

Maka tujuan pokok dan utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi

pekerti dan pendidikan jiwa.10

Jadi pendidikan Islam adalah segala usaha yang dilakukan secara

sadar untuk mengembangkan potensi individu dalam dimensi ketuhanan

dan kemanusiaan dalam rangka membentuk pribadi muslim yang

berakhlakul karimah serta bermanfaat di dunia dan akhirat.

c. Novel

Kata novel berasal dari bahasa Itali novella atau dalam bahasa

Jerman novelle. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang

kecil, tapi lebih lanjut diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa

(Abrams, 1981: 119). Kemudian dalam perkembangannya istilah novella

dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia

novelet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan,

tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.11 Novel yang

peneliti gunakan sebagai obyek penelitian adalah novel religi yang

berjudul “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dalam judul

skripsi ini adalah suatu pola normatif yang diambil untuk mengembangkan

pribadi muslim yang berakhlakul karimah yang terdapat dapat novel Syahadat

Cinta karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran latar belakang tersebut diatas, maka penulis

memberikan batasan pokok permasalahan dalam skripsi yaitu :

1. Apa saja kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta karya

Taufiqurrahman Al-Aziziy?

2. Bagaimana nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat Cinta karya

Taufiqurrahman Al-Azizy?

10 Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustani A. Terj.

Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 15. 11 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 9.

7

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam

Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizy” ini mempunyai

beberapa tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam novel Syahadat Cinta

karya Taufiqurrahman Al-Aziziy.

2. Untuk mengetahui nilai- nilai pendidikan Islam dalam novel Syahadat

Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

1. Menggali wacana baru tentang karya-karya sastra yang mempunyai nilai-

nilai pendidikan Islam.

2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang

pendidikan agama Islam.

3. Membangun kerangka berfikir aplikatif yang bersesuaian dengan kondisi

saat ini.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini digunakan sebagai perbandingan terhadap penelitian

yang sudah ada baik dari segi kekurangan maupun kelebihan yang telah ada

sebelumnya.

Dengan kajian pustaka ini diharapkan dapat mempunyai andil yang

besar dalam mendapatkan suatu informasi tentang teori yang ada kaitannya

dengan judul dalam penelitian ilmiah ini. Sebelum penulis memperlebar

pembahasan tentang nilai- nilai pendidikan Islam dalam Novel Syahadat Cinta

Karya Taufiqurrahman Al-Azizy, maka penulis mencoba menelaah buku yang

ada untuk dijadikan sebagai perbandingan dan acuan dalam penulisannya.

Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa

kajian pustaka sebagai rumusan berfikir. Beberapa kajian pustaka tersebut

diantaranya adalah:

8

Pertama, Skripsi Achmad Mudhofar Khanif tahun 2006 tentang

“Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater (Studi Analisis Naskah

Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006)”. Dalam penelitian ini

dapat diketahui bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan Islam, seperti nilai

kesopanan, nilai kesabaran dan nilai kesederhanaan dalam naskah teater Beta

yang di pentaskan pada tahun 2005 – 2006, seperti naskah teater berjudul

“Emak” karya Hamam dan “Wek -Wek” karya Putu Wijaya.12

Kedua, skripsi Kasmijan tahun 2006 yang berjudul “Manifestasi Cinta

dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat

Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy)”. Skripsi ini membahas tentang nilai

pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Ayat-ayat Cinta Karya

Habiburrahman El Shirzy. Menurut penelitian dalam skripsi ini manifestasi

cinta dalam frame pendidikan akhlak dapat dilihat dari sikap tokoh Fahri yang

menyikapi persoalan kehidupan dengan berdasar ketakwaan kepada Allah

SWT. Karena pada hakekatnya semua yang ada di dunia ini bermuara pada

Allah SWT.13

Disamping skripsi-skripsi di atas, penulis juga menggunakan buku

utama yang merupakan referensi dalam penelitian sastra, yaitu buku karangan

Burhan Nurgiyantoro yang berjudul "Teori Pengkajian Fiksi". Di dalam buku

ini memuat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan fiksi yang tergolong

elementer.

Penulis juga menggunakan sumber-sumber lain yang mendukung

dalam penulisan karya ilmiah ini seperti buku-buku relevan dengan penelitian

ini, majalah, dokumentasi, dan surat kabar.

12 Achmad Mudhofar Khanif, skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater

(Studi Analisis Naskah Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006)”, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006).

13 Kasmijan, skripsi “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy)”, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006).

9

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan

Sebuah karya sastra adalah karya seni dalam kata-kata. Agar

peneliti sanggup menghayati keindahannya dan mampu menangkap

makna yang dikandung secara menyeluruh, maka seorang peneliti harus

peka terhadap segala isyarat atau tanda-tanda linguistik (bahasa) khusus

yang digunakan oleh pengarang dalam karangannya. Karena obyek

material dalam penelitian ini adalah sebuah karya sastra, maka penelitian

ini termasuk jenis penelitian naskah, yang mengambil memfokuskan

penelitian pada data kepustakaan (library research). Sedangkan untuk

pendekatan penelitian penulis menggunakan metode Strukturalisme

Semiotik.

Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra

merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Sedangkan semiotik

atau semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya

sastra. Dengan demikian strukturalisme semiotik adalah strukturalisme

yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu

pada semiotik.14

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah Novel

Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizi yang secara langsung

menjadi obyek dalam penelitian skripsi ini. Data ini ditunjang dengan

hasil interview dengan nara sumber yang bersangkutan dalam

penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewee-nya adalah

pengarang novel Syahadat Cinta yaitu Taufiqurrahman Al-Azizi.

14 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. IV, hlm. 96.

10

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku

dan karya ilmiah yang mengkaji tentang sastra atau yang membahas

tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang berkaitan dengan judul

skripsi ini. Di antaranya adalah buku Teori Pengkajian Fiksi karya

Burhan Nurgiyantoro dan buku Perihal Sastra dan Religiusitas dalam

Sastra karya Subijanto Atmosuwito.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah:

a. Metode penelitian kepustakaan (library research)

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencari

data dan informasi dengan bantuan macam-macam materi yang

terdapat di perpustakaan, misalnya beberapa buku, majalah, naskah,

catatan dan lain-lain.15 Metode kepustakaan ini diambil karena dalam

hal ini penulis mencoba untuk menelusuri karya sastra yang perlu

ketelitian dan kejelian dalam mendalaminya, sehingga diperlukan

membaca dan memahami literatur-literatur yang ada kaitannya dengan

judul. Lalu dengan melalui metode ini pula data-data tersebut penulis

susun menjadi karya ilmiah.

b. Metode Interview

Metode interview atau wawancara yaitu dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi atau data dari orang

yang diwawancarai.16 Dalam metode interview ini peneliti mengajukan

pertanyaan secara langsung kepada informan dan jawaban informan

dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).17 Interview

ini dilakukan dengan pengarang novel Syahadat Cinta. Hal- hal yang

15 Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.

33. 16 Suharsimi Arikunto, Pendekatan Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka

Cipta 2002), hlm. 126 17 Irawan Suhartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999),

hlm. 67

11

diungkapkan dalam wawancara ini berdasarkan atas draf yang telah

dibuat.

4. Metode Analisis Data

Setelah data berhasil penulis kumpulkan, tahap selanjutnya adalah

analisis data. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah :

a. Interpretasi

Interpretasi adalah pencarian pengertian yang lebih luas

tentang data yang dianalisis. Atau dengan kata lain, interpretasi

merupakan penjelasan yang terinci tentang arti yang sebenarnya dari

data yang telah dianalisis atau dipaparkan. Dengan demikian,

memberikan interpretasi dari data berarti memberikan arti yang lebih

luas dari data penelitian.18 Metode interpretasi digunakan untuk

menyelami karya tokoh dalam rangka menangkap arti dan nuansa

yang dimaksudkan tokoh secara khas.

b. Hermeneutik

Metode hermeneutik adalah metode khusus yang biasanya

digunakan untuk analisis pemaknaan suatu karya sastra yang mengacu

pada tanda-tanda dalam bahasa. Hermeneutik merupakan telaah pada

totalitas atau keseluruhan karya sastra, yang berupa sajak atau bait-

bait syair yang terkait dalam satu tema atau keseluruhan karya itu

sendiri.19 Menurut Howard yang dikutip Alex Sobour, hermeneutik

merujuk pada teori dan praktek penafsiran. Kemahiran menafsirkan

ini dikembangkan untuk memahami teks-teks yang tidak lepas dari

persoalan karena pengaruh waktu, karena perbedaan kultural, atau

karena kebetulan-kebetulan sejarah.20

18 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 137.

19 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Serasin, 1996), hlm. 166.

20 Alex Sobur, op.cit., hlm. 105.

12

BAB II

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN NOVEL RELIGIUS

A. Nilai Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Dalam kehidupan manusia, pendidikan memiliki peranan yang

sangat penting. Karena dengan pendidikan manusia dapat maju dan

berkembang menciptakan kebudayaan dan peradaban positif yang dapat

mengantarkan kebahagiaan bagi hidup manusia itu sendiri. Hal itu sangat

wajar mengingat semakin tinggi tingkat pendidikan manusia, maka

semakin maju pulalah kebudayaan dan peradabannya. Pendidikan dalam bahasa Arab disebut tarbiyah dari kata kerja

rabba dan pengajaran disebut ta’lim dari kata ‘allama. Kata lain yang

mengandung pendidikan adalah addaba yang lebih tertuju pada

penyempurnaan akhlak.1

Dalam arti luas, pendidikan berisi tiga pengertian, yakni

pendidikan itu sendiri, pengajaran dan latihan.2 Secara sepintas bagi

orang awam ketiga istilah tersebut akan dianggap sama artinya. Ketiga

istilah tersebut akan lebih jelas kalau dilihat konteks kata kerjanya, yaitu

mendidik, mengajar dan melatih. Istilah mendidik merupakan usaha yang

lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan,

rasa kesusilaan, ketakwaan. Istilah mengajar diartikan sebagai pemberi

pelajaran tentang berbagai ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan

kemampuan intelektualnya. Istilah melatih, merupakan suatu usaha untuk

memberi sejumlah keterampilan tertentu yang dilakukan secara berulang,

sehingga akan terjadi suatu pembiasaan dalam bertindak.3

1 Musthafa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif”, dalam Ismail SM (eds.);

Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, hlm. 57-65. 2 Burhanuddin Salam, Pengantar Paedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta;

Rineka Cipta, 1997), Cet. I, hlm. 5. 3 Ibid.

13

John Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:

“Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating process”4

(Pendidikan adalah sebuah proses perkembangan, pengasuhan,

penanaman). Dengan kata lain pendidikan dilakukan untuk

mengembangkan kepribadian siswa serta mengasuh dan menanamkan

nilai-nilai kehidupan hingga membentuk pribadi yang baik.

Syaiful Bahri Djamarah, memberi pengertian bahwa pendidikan

adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia.

Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam

pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam

setiap jenis dan jenjang pendidikan.5 Sedangkan dalam Undang-undang

Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan

bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.6

Mustofa al-Ghulayani mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:

ادشرإل ااءما بهيقس ونيئاش النوسفى ن فةلاض الفقالخأل اسر غي هةيبرتالوصالنيةحح ىتت بصحمةكل م ناتكل مثسف الن مك تثنو مراتضاالفهةلي الوخيرو حبالع للم اعفن 7 .نطلو

Menanamkan akhlak utama kepada generasi muda, dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga mampu membentuk watak yang akhirnya membuahkan keutamaan dan kebajikan serta cinta berbuat baik untuk kepentingan tanah air.

4 John Dewey, Demokrasi and Education, (New York: the Macmillan Company, 1964),

hlm. 10. 5 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hlm. 22. 6 Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. IV. 7 Syekh Mustafa al-Ghulayani, Idhatun Naasyi’in, (Beirut: Maktubah Ahlyah, tth.), hlm.

198.

14

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu

mengembangkan potensi yang ada pada setiap anak didik, sehingga

terbentuk pribadi yang baik. Semuanya bermuara kepada manusia, sebagai

suatu proses pertumbuhan dan perkembangan secara wajar dalam

masyarakat yang berbudaya.

Sedangkan pengertian pendidikan Islam menurut Arifin, adalah

studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah

kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-

nilai ajaran Islam.8 Sementara Achmadi memberi pengertian, pendidikan

Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah

manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju

terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma

Islam.9

Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam sebagai

konsep-konsep yang bertalian satu sama lain dalam rangka fikiran yang

satu yang bersandar pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dibawa oleh

Islam dan yang telah menentukan berbagai prosedur dan cara-cara praktis

yang kalau dilaksanakan pelakunya akan bertingkah laku sesuai dengan

aqidah Islam.10 Dan menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam

adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang

tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam

kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan Islam merupakan

kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana yang

dikehendaki oleh Allah. Pendidikan Islam bertujuan mempersiapkan diri

manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini

8 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. 9 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29. 10 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT

Alma’arif, 1980), hlm. 189.

15

berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang

terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.11

Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara

berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud

secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori

kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan

dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan

perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan

serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari

generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam.12

Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa pendidikan

Islam adalah semua upaya untuk mempersiapkan dan menumbuhkan anak

didik atau individu yang berakhlakul karimah yang prosesnya berlangsung

secara terus-menerus sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang

dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, ruhani dan akal

sebagai suatu kesatuan tanpa mengesampingkan salah satu aspek, dan

melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan pertumbuhan itu diarahkan

agar ia menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain,

serta dapat memperoleh kehidupan yang sempurna dunia dan akhirat.

2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Untuk menjelaskan ruang lingkup Pendidikan Islam, berikut ini

dikemukakan beberapa bidang pembahasan pengajaran agama yang sudah

menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dan tentu mempunyai

metodik khusus untuk masing-masing pelajaran, karena pembahasan ilmu

selalu dalam perkembangan dan perubahan menuju kesempurnaan.

Dengan demikian pembahasan yang sudah menjadi mata pelajaran ini

tidak abadi, dalam arti bisa diperbanyak atau dipersempit, tetapi prinsip

11 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam

Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), hlm. 41. 12Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama

Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30.

16

pokok dan sumbernya tidak akan mengalami perubahan, karena wahyu

dan sabda Rosul tidak akan berubah atau bertambah lagi.13 Hal ini

menunjukkan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam itu sangat luas sekali

yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan.

Menurut Marasuddin Siregar ruang lingkup pengajaran agama

Islam meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang antara lain

meliputi:

a. Hubungan manusia dengan Allah swt

b. Hubungan manusia dengan manusia

c. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri

d. Hubungan manusia dengan mahluk lain dan lingkungannya.14

Adapun luasnya jangkauan wawasan Islam telah disampaikan

oleh Rasulullah saw, bahwa dalam pendidikan Islam terdapat rangka atau

cabang-cabang, yang dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu

aqidah, syariat dan akhlak.15 Adapun uraian tentang ruang lingkup

pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

a. Akidah

Akidah adalah aspek ajaran Islam yang membicarakan pokok

keyakinan tentang Allah sang pencipta (Al-Khalik) dengan alam

semesta sebagai ciptaan Allah atau makhluk, termasuk bagaimana

hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan makhluk lain

berupa lingkungan, rohani, sosial, maupun jasad.16 Tiap-tiap pribadi

pasti memiliki kepercayaan, meskipun bentuk dan pengungkapannya

berbeda-beda. Pada dasarnya manusia memang membutuhkan

kepercayaan, dan kepercayaan itu akan membentuk pandangan hidup

dan sikap. Dalam sejarah umat manusia, akan selalu dijumpai berbagai

13 Zakiah Daradjat, et.all, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi

Aksara, 1995), hlm. 59. 14 Marasuddin Siregar, “Pengelolaan Belajar” Dalam PBM PAI di Sekolah, (Yogyakarta:

Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 183. 15 Abu Su’ud, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat

Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 141. 16 Ibid, hlm. 144.

17

bentuk kepercayaan. Proses pencarian kepercayaan oleh manusia tidak

akan berhenti (selalu ada) selama manusia ada.17

Manusia yang beriman kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa

mengandung pengertian percaya dan meyakini akan sifat-sifat-Nya

yang sempurna dan terpuji. Dasar-dasar kepercayaan ini digariskan-

Nya melalui Rasul-Nya, baik langsung dengan wahyu, atau dengan

sabda Rasul.18 Akidah dengan demikian adalah iman, kepercayaan

atau keyakinan sungguh-sungguh dan murni yang tidak dicampuri

oleh rasa ragu, sehingga kepercayaan dan keyakinan itu mengikat

seseorang di dalam segala tindak lanjutnya, sikap dan perilakunya.19

Dengan demikian pendidikan yang pertama dan utama dalam

pendidikan Islam untuk dilakukan adalah pembentukan keyakinan

kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku

dan kepribadian anak didik.20 Tanpa adanya benteng keyakinan yang

kuat dalam hati seseorang akan mudah goyah dan terpengaruh dengan

segala godaan jelek atau berbuat yang tidak baik.

b. Akhlak

Akhlak dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan “tingkah

laku” atau “budi pekerti”. Menurut Imam Ghozali, akhlak ialah suatu

istilah tentang bentuk batin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang

mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu

pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan.21 Etika yang

berarti’’ adat kebiasaan, yaitu sebuah pranata perilaku seseorang atau

kelompok orang, yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma

yang diambil dari gejala-gejala alamiah masyarakat tersebut’’.22

17 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. II, hlm. 42-43. 18 Zakiah Daradjat, et.al, Zakiah Daradjat. et. al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1996), Cet. III, hlm. 65. 19 Kaelany HD, Islam dan Aspek – Aspek Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.

44. 20 Zuhairini, op. cit., hlm. 156. 21 Zakiah Daradjat, et.al, Ilmu Pendidikan…, op.cit, hlm. 68. 22 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 50-51.

18

Akhlak atau etika menurut ajaran Islam meliputi hubungan

dengan Allah (Khaliq) dan hubungan dengan sesama makhluk (baik

manusia maupun non manusia) yaitu kehidupan individu, keluarga

rumah tangga, masyarakat, bangsa, dengan makhluk lainnya seperti

hewan, tumbuh-tumbuhan, alam sekitar dan sebagainya. Dengan

ajaran akhlak yang merupakan indikator kuat bahwa prinsip-prinsip

ajaran Islam sudah mencakup semua aspek dan segi kehidupan

manusia lahir maupun batin dan mencakup semua bentuk

komunikasi, vertikal dan horisontal. 23

Akhlak juga sangat diutamakan dalam pendidikan Islam,

dengan mendidik akhlak dan jiwa mereka menanamkan rasa fadilah

(keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,

mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya,

ikhlas, dan jujur.24

Akhlak yang dibangun atas dasar tata nilai Al Qur’an dan

sunnah yang mencerminkan ihsan (serba keindahan perilaku dan

tindakan yang dilandasi iman). Itulah yang dikenal akhlakul karimah

(akhlak mulia), contoh dari macam akhlak seperti akhlak kepada

Allah swt , akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada orang lain

(misal akhlak kepada orang tua) dan akhlak kepada alam semesta.

Jadi akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman dan Islam atau akidah

syariah. Apabila seseorang telah menjalankan akidah dan syariah

sudah sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah maka akan tampilah ia

sebagai seorang muslim-mukmin yang berakhlak al karimah atau

seorang yang telah mencapai muhsin.25

c. Syariah

Kata syariah adalah bahasa arab yang diambil dari kata

syara’a, yasyra’u, syar’an. Kata syar’an (syari’at hukum-hukum

yang diperintahkan oleh Allah). Syari’ah jamaknya syara’i (syari’at),

23 Zuhairini, op. cit, hlm. 50 – 51. 24 Muh. Athiyah Al Abrasyi, op. cit., hlm. 15. 25 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 58-61.

19

syir’ah jamaknya syira’ (ada kebiasaan, jalan ke sumber mata air).

Dari kata tersebut di temukan juga syar’iy (yang sesuai dengan

syara’), masyru’ (yang dibolehkan oleh syara’ bisa pula berarti

rencana atau proyek) sedang syari’ (jamaknya syawari’) artinya jalan

raya. Term syariah baik dalam arit jalan (raya), maupun hukum

(aturan undang-undang) memberi arti jalan hidup yang harus

ditempuh oleh seseorang muslim.26

Kemudian pengertian syariat dalam istilah (usage custom)

yang sering dipakai di kalangan para ahli hukum Islam ialah “hukum-

hukum yang diciptakan oleh Allah swt untuk segala hamba-Nya agar

mereka itu mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik

hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah dan akhlak”.

Berdasarkan tingkatan daya pengikatnya, hukum Islam terdiri dari 5

(lima) macam yaitu :

1) Perintah yang keras, disebut dengan wajib / fardu

2) Perintah yang lunak, disebut dengan sunnah

3) Larangan yang keras, disebut haram

4) Larangan yang lunak, disebut makruh

5) Netral, tidak diperintah dan tidak dilarang melakukannya disebut

dengan mubah.27

Untuk memudahkan pemahaman terhadap syari’ah Islam

yang luas dan global, ulama membagi syariah dalam dua bagian

mendasar yaitu :

1) Segi amalan sebagai sarana bagi orang-orang muslim mendekatkan

diri kepada Tuhanya (hablun minallah) disebut ibadah

2) Segi amal usaha dalam menjalin hubungan sesama manusia

(hablun minannas) dan hubungannya dengan lingkungan, alam

semesta disebut muamalah.28 Segi muamalah adalah hubungan

manusia dengan sesamanya dan terhadap lingkungannya, termasuk

26 Ibid, hlm. 32. 27 Zuhairini, op. cit. hlm. 44-45. 28 Kaelany, HD, op. cit, hlm. 33.

20

urusan kekeluargaan, pusaka dan warisan pendidikan, harta benda

dan tukar menukar (jual beli), kemasyarakatan, hukum pidana,

politik, pemerintahan, keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Pengertian dan Macam-macam Nilai-nilai Pendidikan Islam

Segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini disadari atau

tidak, mengandung nilai-nilai yang abstrak seperti cinta, kejujuran,

kebajikan, dan lain-lain yang merupakan perwujudan dari bentuk nilai-

nilai di dalam dunia budaya manusia.

Dalam bahasa Inggris nilai adalah “value”. Sedangkan dalam

kamus Bahasa Indonesia nilai mempunyai beberapa pengertian yaitu

“harga (dalam artian taksiran harga), harga sesuatu (uang misalnya), jika

ditukarkan atau di ukur dengan yang lain. Angka potensi, kadar, mutu,

sedikit banyaknya isi, dan sifat-sifat (hal-hal) yang berguna bagi

manusia.29

Perlu dijelaskan bahwa apa yang disebut "nilai" adalah suatu pola

normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem

yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-

fungsi bagian-bagiannya.30 Nilai lebih mengutamakan berfungsinya

pemeliharaan pola dari sistem sosial.

Berbagai nilai yang sudah ada tersebut perlu dan penting untuk

dapat dikembangkan semaksimal mungkin. Adapun dorongan utama untuk

menekankan pelaksanaan pendidikan nilai antara lain karena dialami

adanya pergeseran dan perubahan-perubahan sistem nilai maupun nilai itu

sendiri dalam masyarakat yang akibatnya dapat menimbulkan berbagai

ketegangan, gangguan dan dapat keseimbangan atau konflik-konflik.31

29 W.J.S. Poerwadimarta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1999), hlm. 677. 30 Ibid, hlm. 127. 31 Komisi Pendidikan KWI/WNPK, Sekolah dan Pendidikan Nilai, Editor Em. K.

Kaswardi. Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana, 1993), hlm. 73-74.

21

Jika perbenturan nilai dalam masyarakat masih terus berkembang

tanpa adanya penyelesaian, maka timbullah apa yang diidentifikasikan

oleh ahli ilmu sosial sebagai krisis nilai. Krisis ini sangat mengganggu

harmonisasi kehidupan masyarakat, karena sendi-sendi normatif dan

tradisional mengalami pergeseran dan belum menemukan pemecahan.

Krisis nilai tersebut akan menimbulkan adanya sikap menilai perbuatan

baik dan buruk, bermoral dan amoral, sosial dan asosial, pantas dan tidak

pantas, benar dan tidak benar, serta perilaku lainnya yang diukur atas dasar

etika pribadi dan sosial.32

Untuk membentuk pribadi masayarakat yang memiliki moral atau

nilai yang baik maka diperlukan adanya suatu pendekatan penanaman nilai

dalam diri masyarakat. Pendekatan penanaman nilai (inculcation

approach) adalah suatu pendekatan yang memberikan penekanan pada

penanaman nilai sosial dalam diri siswa pada khususnya dan masyarakat

pada umumnya. Pendekatan penanaman nilai ini mempunyai dua tujuan

yaitu: pertama, dapat diterimanya nilai-nilai oleh peserta didik. Kedua,

berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

sosial yang diinginkan mengarahkan pada perubahan yang lebih baik.33

Pendekatan penanaman nilai menurut Ansori terbagi atas dua cara

yang dapat menentukan pada nilai-nilai pendidikan Islam yaitu sebagai

berikut:

a) Pendekatan kajian ilmiah tentang sikap dan perilaku orang-orang

muslim, pendekatan semacam ini bermanfaat untuk mengetahui sejauh

mana seorang muslim mengikuti ajaran atau nilai islami; dan,

b) Pendekatan yang merujuk pada sumber asli yaitu al-Qur’an dan hadist,

validitas dari hasil ini sangat jelas, namun masih terbatas karena tidak

32 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara,

1998), hlm. 65. 33 Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi

dalam Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994), hlm. 9.

22

semua nilai islami dapat digali dari kedua sumber tersebut, maka perlu

adanya pendukung lain yaitu al-qiyas dan ijtihad.34

Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan

terpadu, tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain

berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek

normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal

perbuatan).

Sedangkan sistem nilai dalam pendidikan Islam mempunyai

keunggulan universal. Ada tiga ciri utama, yaitu:

a. Keridhaan Allah SWT merupakan tujuan hidup muslim yang utama

b. Ditegaskan nilai-nilai Islami berkuasa penuh atas segala aspek

kehidupan manusia

c. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan

berdasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan.35

Sistem nilai yang dijadikan acuan, yang menjadi rujukan cara

berperilaku lahiriah dan ruhaniah seorang muslim adalah nilai yang sesuai

dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits. Secara filosofis, nilai sangat

terkait dengan masalah etika. Dalam konteks pendidikan Islam maka

sumber nilai atau etika yang paling sahih adalah Al Qur’an dan sunnah

Nabi. Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi

nilai-nilai Al Qur’an dalam pendidikan Islam meliputi tiga dimensi atau

aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan

Islam, yaitu :

Pertama, dimensi spiritual yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia

yang tercermin dalam ibadah dan muamalah.

Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan

mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini

secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim

sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan

34 Ahmad Judjito, “Filsafat Nilai dalam Islam”, Chabib Thoha dkk. (Eds), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 23.

35 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 128-129.

23

faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan) dengan berpedoman

kepada nilai-nilai keislaman.

Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan,

yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif dan

produktif. Dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai

Al Qur’an dalam pendidikan.36

Simpulannya, nilai dalam pendidikan Islam bermuara pada

pembentukan pribadi yang bertakwa kepada Allah, dengan jalan

mengembangkan segenap dimensi secara menyeluruh yang tidak hanya

terkait dengan kehidupan pribadi seseorang dengan masyarakat, namun

juga mengarahkan manusia kepada pribadi yang diridhai oleh Allah.

Nilai-nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi

anak didik agar fungsional dan aktual dalam perilaku muslim, adalah nilai

Islami yang melandasi moralitas (akhlak).Adapun nilai-nilai dapat dilihat

dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-

macam nilai, dan bila dilihat dari sumbernya, dibedakan menjadi dua yaitu

nilai ilahiah dan nilai insaniah.

1) Nilai Ilahiyah

Nilai Ilahiah adalah nilai yang bersumber dari Tuhan yang

dititahkan melalui para rasul-Nya yang berbentuk takwa, iman, adil

yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai-nilai selamanya tidak

mengalami perubahan, nilai-nilai Ilahi yang fundamental mengandung

kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan anggota

masyarakat, serta tidak berkecenderungan untuk berubah mengikuti

hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan

perubahan sosial, dan tuntutan individual.37 Nilai ini bersifat statis dan

kebenarannya mutlak. Firman Allah:

36 Said Agil Hussin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem

Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II, hlm. 7-10. 37 Muhaimin dan Abd. Mujid, op. cit, hlm. 111.

24

ü“ Ï%©! $#uρ !$uΖ øŠ ym÷ρ r& y7 ø‹ s9Î) z⎯ÏΒ É=≈tGÅ3 ø9$# uθèδ ‘, ysø9$# $ ]% Ïd‰|ÁãΒ $ yϑ Ïj9 t⎦ ÷⎫t/ ϵ ÷ƒy‰tƒ 3 ¨β Î)

©!$# ⎯ Íν ÏŠ$ t6ÏèÎ/ 7Î6sƒ m: ×ÅÁt/ ) 31:الفاطر(

Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur’an) itulah yang benar dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui Lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya (QS. Fathir: 31)38

Ayat di atas memulai firman Allah ini dengan kata Al ladzi

( yang penggunaan kata itu untuk menunjukkan kesempurnaan ( الذي

yang Haq yang menyertainya, yakni sifat wahyu-wahyu Allah swt

yang terkumpul dalam kitab suci Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah

mencapai kesempurnaan pada setiap kandungan wahyu itu.39

Nilai ilahiah adalah nilai yang bersumber pada agama

(Islam). Menurut Noeng Muhajir, nilai Ilahiah terdiri atas nilai

ubudiah dan nilai muamalah.40

a. Nilai Ubudiah

Nilai Ubudiah merupakan nilai yang timbul dari

hubungan manusia dengan khalik, hubungan ini membentuk

sistem ibadat, segala yang berhubungan dengan Tuhan, yang diatur

di dalam ibadah dan mengandung nilai utama.

Agama atau kepercayaan adalah nilai-nilai yang

bersumber pada Tuhan. Manusia menerima nilai-nilai agama,

beriman, taat pada agama / Tuhan demi kebahagiaan manusia

sesudah mati. Manusia bersedia memasrahkan diri dan hidupnya

kepada Tuhan demi keselamatan dan kebahagiaan yang kekal.41

38 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 700. 39 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran,

(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 472. 40 Chabib Thoha, op. cit, hlm. 65. 41 Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya :

Usaha Nasional, 1983), hlm. 133.

25

Nilai-nilai ubudiah pada intinya adalah nilai-nilai

keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan iman ini akan

mewarnai seluruh aspek kehidupan (berpengaruh pada nilai yang

lain).

b. Nilai Muamalah

Muamalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau

hubungan antar manusia. Dalam pengertian bersifat umum,

muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar

ibadah.42 Seperti hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia

dengan dinnya, manusia dengan orang lain dan manusia dengan

lingkungan sekitar.

Segala sesuatu yang menjaga hubungan dengan Tuhan

dan manusia adalah baik, bagus dan benar. Sasaran dari agama

adalah dunia dan akhirat, sedangkan sasaran kebudayaan adalah

dunia, kedua-duanya mengandung nilai yang saling berkaitan,

akhirat sebagai ujung mengendalikan dunia sebagai pangkal

kehidupan. Akhirat sebagai ujung mengendalikan dunia juga

sebagai pangkal kehidupan, nilai baik dan buruknya di dunia

mengarah kepada ketentuan nilai di akhirat.43

2) Nilai Insaniyah

Adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria

yang diciptakan oleh manusia pula, dengan kata lain nilai insaniah

adalah nilai yang lahir dari kebudayaan masyarakat baik secara

individu maupun kelompok.44 Walaupun Islam memiliki nilai samawi

yang bersifat absolut dan universal, Islam masih mengakui adanya

tradisi masyarakat. Hal tersebut karena tradisi merupakan warisan

42 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002), hlm. 3. 43 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), Cet. III, hlm. 471. 44 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001),

hlm. 98.

26

yang sangat berharga dari masa lampau, yang harus dilestarikan

selama-lamanya, tanpa menghambat timbulnya kreativitas individual.

a.) Nilai Etika

Etika lebih cenderung ke teori dari pada praktik yang

membicarakan bagaimana seharusnya, yang menyelidiki,

memikirkan dan mempertimbangkan baik dan buruk, etika

memandang laku perbuatan manusia secara universal. Dalam

pengertian lain etika adalah ilmu yang membahas tentang

bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab

berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.45

Nilai etika dalam Islam sangat berpengaruh, setiap tingkah

laku atau perbuatan diberi nilai etika, baik, buruk, halal, dan haram.

Dalam inti ajaran Islam diajarkan amar ma’ruf nahi munkar yang

artinya berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.

b.) Nilai Sosial

Nilai sosial menyangkut hubungan antara manusia dan

pergaulan hidup dalam Islam, banyak terdapat anjuran maupun

tatanan bagaimana pergaulan manusia dengan sesamanya, nilai

sosial lebih terpengaruh kepada kebudayaan, dalam prakteknya,

nilai sosial tidak terlepas dari aplikasi nilai-nilai etika, karena nilai

sosial merupakan interaksi antar pribadi dan manusia sekitar

tentang nilai baik buruk, pantas dan tidak pantas, mesti dan

semestinya, sopan dan kurang sopan.46

Contoh dari etika sosial, seperti menghormati orang yang

lebih tua dan menyayangi yang muda, mendidik, menyantuni dan

membina keluarga, bersikap adil, jujur, dan bijaksana terhadap

anak-anak, saudara dan keluarga serta menjalin silaturahmi.

45 Kealan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2000), hlm. 173. 46 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 123.

27

c.) Nilai Estetika

Nilai keindahan atau estetis, bersumber pada unsur

perasaan manusia semenjak Aristoteles sampai dengan abad ke 18,

yang dimasukkan kedalam estetika biasanya sebagian besar filsafat

atau psikologi seni.47 Nilai estetika mutlak dibutuhkan manusia,

karena merupakan bagi hidup yang tidak terpisahkan, yang dapat

membangkitkan semangat baru dan dapat menghilangkan rasa

pusing akibat menghadapi masalah hidup.

Nilai estetika tidak hanya berlaku pada institusi, tetapi

berlaku dimana saja, baik itu agama, pendidikan, sosial, politik,

hukum, ekonomi, ideologi dan sebagainya. Nilai estetika ini

merupakan fenomena sosial yang lahir dari rangsangan cepat

dalam ruhani seseorang. Rangsangan tersebut untuk memberikan

ekspresi dalam bentuk cipta dari suatu emosi atau pemikiran yang

agung, karya estetika akan melahirkan rasa yang disebut

keindahan.

Islam tidak hanya sekedar dogma ubudiyah, tetapi juga

mengandung unsur-unsur estetika yang mulia, agung dan luhur,

karena Islam diciptakan dari dzat yang maha al-jamil, yaitu Dzat

yang mampu menampilkan karya seninya kedalam alam dan

angkasa raya.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing

nilai mempunyai keterkaitan dengan nilai yang satu dengan lainnya,

misalkan nilai ilahiah mempunyai relasi dengan nilai insani, nilai ilahi

(hidup etis religius) mempunyai kedudukan vertikal lebih tinggi daripada

nilai hidup lainnya. Di samping secara hierarki lebih tinggi, nilai

keagamaan mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya dan sebaliknya

nilai lainnya mempunyai nilai konsultasi pada nilai etis religius.

47 Sidi Gazalba, op. cit, hlm. 568.

28

B. Novel Religius

1. Pengertian Novel Religius

Pada awal mula segala sastra adalah religius.48 Yang dimaksud

religius disini bukan hanya agama, tetapi lebih menitikberatkan pada aspek

yang di dalam lubuk hati, getaran hati nurani, sikap personal yang

merupakan misteri bagi orang lain. Religiusitas tidak hanya dihubungkan

dengan ketaatan ritual tetapi lebih mendasar lagi dalam pribadi manusia.

Sebelum penulis membahas lebih dalam, perlu kiranya di jabarkan

terlebih dahulu mengenai definisi novel religius. Kata novel berasal dari

bahasa Itali novella atau dalam bahasa Jerman novelle. Menurut Abrams

seperti yang dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, secara harfiah novella

berarti sebuah barang baru yang kecil, tapi lebih lanjut diartikan sebagai

cerita pendek dalam bentuk prosa. Kemudian dalam perkembangannya

istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan

istilah Indonesia novelet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang

panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu

pendek.49 Dalam Kamus Kesusastraan disebutkan bahwa novel adalah

prosa baru yang melukiskan puncak kehidupan tokoh cerita dan ditandai

dengan perubahan nasib tokoh itu.50

Sedangkan kata religius berasal dari bahasa latin relego yang

berarti memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati

nurani. Atau ada juga yang berpendapat bahwa religio berasal dari kata re-

ligo yang berarti menambatkan kembali.51

Religi diartikan lebih luas dari pada agama. Kata religi menurut

asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri. Dari sini pengertiannya lebih

pada masalah personalitas, hal yang pribadi. Oleh karena itu, ia lebih

dinamis karena lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia.

48 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 11. 49 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 9. 50 Muhammad Ngafenan, Kamus Kesusastraan, (Semarang: Dahara Prize, 1990), hlm.

113. 51 W.J.S. Poerwadarminta dkk., Kamus Latin – Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm.

272.

29

Subijantoro Atmosuwito menambahkan bahwa kata religi berarti

menyerahkan diri, tunduk, taat.52 Dalam hal ini berserah diri, tunduk dan

taat kepada Tuhan.

Jadi novel religius dapat dipahami sebagai sebuah karya sastra

berbentuk prosa yang didalamnya menggambarkan perasaan batin

seseorang yang berhubungan dengan Tuhan. Dan pada pembahasan

selanjutnya penulis akan memfokuskan pada kajian novel religius yang

berisi tentang ajaran Islam.

Istilah novel religius juga dapat dipahami dari ungkapan Subijanto

Atmosuwito bahwa munculnya sastrawan-sastrawan yang mengusung

tema keagamaan dalam karya sastra telah mendatangkan genre baru dalam

dunia sastra, yaitu:53

a. Sastra religius

Dalam sastra religius, pengarang tidak membuat kehidupan

beragama sebagai latar belakang, namun sebaliknya lebih

menitikberatkan kehidupan beragama untuk pemecahan masalah.

Agama menurut sastra religius, adalah bukan sesuatu kekuasaan,

melainkan sebagai alat pendemokrasian.

b. Sastra Falsafi

Yang pokok dalam sastra falsafi adalah supaya pengarang

mencerna masalah kehidupan dengan filsafat. Jika pengarang telah

mencerna permasalahan yang timbul secara filosofis maka karya sastra

yang dihasilkan akan berbobot.

Baik sastra religius maupun sastra falsafi sebenarnya saling

menunjang. Bahkan jika diamati lebih lanjut, baik sastra religius maupun

sastra falsafi mengarah ke apa yang dinamakan sastra transendental. Sastra

transendental membebaskan diri dari aktualitas dan peralatan indrawi

manusia. Yang dimaksud dalam sastra yang membebaskan diri dari

52 Subijanto Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: CV..

Sinar Baru, 1989), hlm.123. 53 Lihat Subijanto Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, hlm. 126-

128.

30

aktualitas dan peralatan indrawi manusia adalah: pertama, bahwa angan

tidak dibatasi ruang, waktu dan peristiwa keseharian. Kedua, ada

hubungannya dengan makna, yang abstrak, yang spiritual, dan

mendalam.54

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil sebuah catatan bahwa

novel religius merupakan bagian dari sastra religius, karena salah satu

bentuk karya sastra adalah novel, dan secara subtansinya, sama-sama

memiliki muatan keagamaan.

2. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Religius

Secara universal nilai-nilai pendidikan Islam dapat

ditransformasikan dalam bentuk apapun, termasuk dalam sebuah karya

sastra. Banyak karya sastra yang memiliki visi ketarbiyahan. Karena unsur

estetika dalam karya sastra menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.

Di Indonesia khususnya di Jawa, dalam tradisi sastranya sarat

dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Karya-karya sastra tersebut mengarah

pada sastra didaktis, sastra yang berpretensi pada masalah pengemban misi

pendidikan, tuntunan dan ajaran. Hal itu bisa dimaklumi, karena dalam

tradisi sastra klasik, sastra memang sebagai alat pendidikan.

Dalam karya sastra yang lebih modern seperti novel, juga

ditemukan kandungan nilai pendidikan Islam sebagai pokok pikirannya.

Novel-novel religius ini tidak hanya karya fiktif belaka, tetapi juga

diperkuat dengan dalil-dalil dari al-Qur'an maupun hadits. Sehingga cerita

yang dipaparkan tidak hanya sebatas imaginer, tetapi juga memiliki misi

edukatif.

Ada beberapa karakteristik yang menonjol dari novel-novel religius

ini dibanding dengan karya ilmiah lainnya. Menurut Andy Wasis, seorang

pengarang novel sejarah, sebuah karya sastra memiliki tutur bahasa yang

indah, alur cerita yang mengalir, bentukan konflik yang tajam namun tetap

realistis dan faktual berpegang pada fakta sejarah, sehingga enak dibaca,

54 Ibid, hlm. 128.

31

mudah dicerna dan tidak menjemukan.55 Konversi dari fakta sejarah

menjadi bentuk novel sejarah (Islam) ini diambil untuk memikat pembaca

yang kurang interest dengan buku-buku yang sifatnya ilmiah, monoton dan

tidak variatif, sehingga muncul niat dalam diri pembaca untuk belajar dan

mendalami ajaran Islam.

Salah satu novel religius yang mengandung nilai-nilai pendidikan

Islam adalah novel “Ayat-ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy.

Secara global novel ini berisi tentang manifestasi cinta yang secara

lahiriah memang antara manusia dengan manusia, tapi sebenarnya

bermuara pada kecintaan terhadap Sang Khaliq.

Novel “Ayat-ayat Cinta” ini tidak hanya berbicara tentang cinta,

melainkan juga berisi juga tentang ajaran keimanan, diantaranya keimanan

kepada hari akhir. Adanya keimanan terhadap hari akhir ini akan

berimplikasi terhadap kontrol hidup manusia di dunia, untuk selalu berbuat

baik, menjalani kehidupan dengan jalan kebenaran, memberikan motivasi

untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dengan

tujuan mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Al-Qamar ayat 8:

سرع موذا يون هقول الكافراع يإلى الد طعنيه8: القمر . (م(

Dengan patuh mereka segera datang kepada Penyeru itu. Orang-orang kafir itu berkata, “Inilah hari yang sulit itu”. (QS. Al-Qamar: 8)56

Nilai pendidikan Islam dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, dalam hal

ini nilai pendidikan keimanan terlihat dari dialog tokoh Fahri. Keyakinan

akan datangnya hari kiamat menjadikan Fahri lebih bersemangat menuntut

ilmu, menunaikan amanat, dan menggunakan waktu luang untuk selalu

55 Andy Wasis, Rasul (Sebuah Novel Sejarah), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2004), hlm.iv 56 Depag RI, dkk, op.cit., hlm. 879.

32

beribadah kepada Allah SWT, melakukan sesuatu atas dasar keridhaan

Allah SWT.

“Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang Mahsyar dengan mata hari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota Seribu Menara ini adalah amanat, dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau tidak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanggungjawabkan kelak. Kalau tidak ingat, bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para Nabi….”57

Pengarang mencoba memberikan interpretasi mengenai ciri-ciri

keadaan hari kiamat dan hari pembalasan kelak. Dimana saat itu panas

matahari akan melebihi panas di dunia karena Matahari hanya berjarak

satu jengkal di atas kepala manusia. Kemudian Manusia akan

dikumpulkan di padang Mahsyar, dan dimintai pertanggungjawabannya

atas segala tindakan yang telah dilakukan di dunia.

Sikap pengarang terhadap pendidikan keimanan (iman pada hari

akhir) itu terbaca dalam ucapan Fahri, tokoh yang diciptakan untuk

membimbing pembaca. Fahri berusaha menjelaskan tentang keadaan hari

kiamat dan mengajarkan untuk selalu ingat terhadap hari akhir dan hari

pembalasan kelak, dengan menjalankan perintah Allah SWT. Salah satu

aplikasi keimanan ini adalah melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-

baiknya karena akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hari

kiamat. 58

Nilai-nilai pendidikan Islam juga terkandung dalam beberapa novel

sejarah, yang berisi tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang

membawa risalah Islam, salah satunya berjudul “Sesungguhnya Dialah

Muhammad” karya Idrus Shahab. Al-Quran sendiri menganjurkan kita

57 Habiburrahman El Shirzy, Ayat-ayat Cinta, (Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm. 6. 58 Kasmijan, Skripsi Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi

Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy), (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2006), hlm. 75-76.

33

untuk mencontoh perilaku Nabi yang mulia. Seperti yang disebutkan

dalam firman Allah surat al-Ahzab ayat 21;

ô‰s) ©9 tβ%x. öΝ ä3 s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «! $# îο uθó™ é& ×π uΖ |¡ ym ⎯yϑ Ïj9 tβ%x. (#θã_ö tƒ ©! $# tΠöθ u‹ ø9$#uρ tÅz Fψ$#

tx. sŒuρ ©! $# # ZÏVx. ) 21: االحزب(

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)59

Pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah tentang

kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Melalui dialog antara

Syaikh (guru), Syaiful (murid) dan pengarang yang ikut melibatkan diri

dalam cerita dan menyebut dirinya sebagai “saya”, digambarkan tentang

relasi antara guru dan murid. Melalui interaksi edukatif dengan

menggunakan metode tanya jawab, pengarang memberikan narasi yang

melukiskan tentang relasi guru dan murid dalam pendidikan, khususnya

pendidikan di pondok pesantren.

Interaksi edukatif antara guru dan murid ini ditandai dengan

pertanyaan tokoh “saya” tentang kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah

SAW kepada gurunya.

“Dapatkah Tuan sedikit menjelaskan kepada saya akan maksud dari judul tersebut (Kesabaran dan Ketabahan Hati Rasulullah SAW)?” Pinta saya

Kemudian Syaikh menjawab: “Begini anakku, tulisan ini menceritakan sedikit tentang

kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Di dalam perjuangannya menegakkan kalimat Allah. Sebenarnya, ya …, tak akan cukup kalimat-kalimat untuk menceritakan kesabarannya, keteguhannya, keuletannya, ketabahannya, dalam segala hal dan peristiwa wahai anakku, tak ada manusia satu pun yang dapat dijadikan bandingan dengan Nabi besar ini, salawat dan salam Allah terlimpah atasnya. Ia berjuang menegakkan kalimat Allah di tengah masyarakat yang waktu itu sebagian besar berjiwa gersang

59 Depag RI, dkk, op.cit., hlm. 670.

34

dan tandus, dengan harus menghadapi bermacam-macam kesukaran yang memerlukan ketabahan yang luar biasa…”60

Pengarang ingin memberikan contoh proses pendidikan Islam

melalui sebuah karangan narasi kepada pembaca. Disamping ceritanya

yang mengambil setting pesantren, penokohan dan plot atau alur cerita

juga mengidentifikasikan adanya proses edukatif dalam lingkungan

pondok pesantren, dengan indikasi adanya tanya jawab antara murid dan

guru, penjelasan guru tentang suatu masalah, tugas paper bagi santri, dan

diskusi-diskusi ilmiah.

2. Novel Religius Sebagai Media Pendidikan Islam

Berbicara mengenai novel berarti berbicara mengenai sebuah karya

sastra. Dalam dunia Islam dikenal juga istilah sastra sufistik, yaitu karya

sastra yang didalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan, dan sifat-

sifat yang diambil dari dunia tasawuf.61

Dalam sastra sufistik ditemukan suatu ajaran, ungkapkan

pengalaman, simbolisasi, parable, dan kiasan paham sufistik. Para sufi

sering menggunakan cerita-cerita yang khas dalam memberikan pelajaran

dan dakwah Islam. Isi ceritanya beragam dan sering pula merupakan

kompilasi dari berbagai cerita yang ada. Sumber cerita berasal dari al-

Qur'an, hadits, dan kisah ulama. Namun, cerita tersebut kadang-kadang

sudah mengalami amplifikasi dengan berbagai sumber cerita yang tidak

jelas asal-usulnya, atau mungkin dari legenda-legenda setempat yang

sudah diberi warna Islam. Bagi para sufi sumber cerita memang bukan

merupakan hal yang penting. Mereka memberi pelajaran agar murid

mendapatkan hikmah sebagai salah satu aspek yang ditekankan dalam

tasawuf.62

60 Idrus Sahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),

hlm. 52. 61 Bani Sudardi, Sastra Sufistik; Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia,

(Solo: Tiga Serangkai , 2003), hlm. 2. 62 Ibid, hlm. 29.

35

Cerita yang sering mengalami seleksi dan kompilasi yang

disesuaikan dengan pokok-pokok ajaran sufi adalah cerita tentang Nabi

Muhammad. Judul teks yang bertemakan Nabi Muhammad diantaranya

adalah Hikayat Nabi Mengajar Ali. Cerita ini berisi pelajaran Nabi

Muhammad kepada anak angkatnya yang bernama Ali Bin Abi Thalib.

Nabi mengajarkan Ali untuk sabar ketika marah dan merendahkan diri

kepada sesama manusia.63 Inti ajaran dari hikayat ini adalah tentang etika

dan akhlak islami.

Sebuah karya sastra memiliki hubungan yang khas dengan

kenyataan.64 Oleh karena itu melalui karya sastra dapat diperlihatkan

dunia-dunia lain dengan norma-norma yang dianutnya. Pembaca secara

interpretative dapat menggali norma-norma dan ajaran yang terkandung di

dalam sebuah karya sastra.

Dengan begitu ada konsepsi bahwa sastra dapat digunakan sebagai

media pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan

Islam tersebut dapat ditransformasikan melalui media sastra (novel).

Karena salah satu metode pengajaran agama Islam adalah dengan

menggunakan metode cerita, maka melalui media sastra (novel) ajaran-

ajaran Islam dapat disampaikan kepada siswa dengan lebih kreatif.

Metode cerita merupakan metode pengisahan peristiwa sejarah

hidup manusia masa lampau yang menyangkut ketaatannya atau

kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Allah yang dibawa oleh

Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.65

Dalam pendidikan Islam, metode kisah (cerita) mempunyai fungsi

edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian lain selain

bahasa. Hal ini disebabkan kisah memiliki beberapa keistimewaan yang

membuatnya mempunyai dampak dan implikasi psikologis dan edukatif.

63 Jumsari Jusuf, dkk., Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam, (Jakarta: Pusat

Pembinaan Dan Pengembangan Bahada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984), hlm. 48. 64 Jan van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta :

Gramedia, 1986), Cet.II, hlm. 85. 65 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet.V, hlm. 70.

36

Di samping itu kisah dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas

serta aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk

mengubah perilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan

tuntunan, pengarahan, dan akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran

(‘ibrah). Terlebih kisah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabawi.

Menurut Abdurahman an-Nahlawi, kisah Qur’ani dan Nabawi

mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu diantaranya:

a. Kisahnya memikat, menarik perhatian pembaca dan tanpa memakan

waktu yang lama

b. Kisah Qur’ani dan Nabawi menyentuh dan mengetuk hati nurani

manusia

c. Kisah Qur’ani dan Nabawi menumbuhkan rasa ilahiyyat, seperti rasa

khauf, ridha, ikhlas, cinta, tunduk dan sebagainya.66

Kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi ini dapat diadopsi ke dalam

bentuk lain seperti karya sastra berbentuk novel, ataupun dengan

mengambil dalil al-Qur'an dan hadits sebagai landasan ceritanya. Dengan

begitu nilai-nilai pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan hadits

dapat ditransfer kepada pembaca dengan lebih estetis.

Pernyataan narasi bagi umat Islam oleh penulis harus berubah dari

sebagai tujuan dasar menjadi sebuah media yang penting untuk

merealisasikan tujuan Islam yang murni yang tidak hanya semata-mata

memuaskan cita rasa seni saja, melainkan dapat digunakan sebagai sarana

untuk berpikir tentang isi pesan yang disampaikan, lalu mencari pelajaran

tentang keimanan, akhlak, syariat ataupun ajaran Islam lainnya.

Metode kisah tersebut dapat disampaikan melalui media buku atau

bahan bacaan lainnya, termasuk di antaranya adalah novel. Karena salah

satu media pengajaran agama Islam adalah melalui bahan bacaan atau

66Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bayi wa

al-Madrasah wa al-Mu’tama’, terj. Hery Noer Aly, (Bandung: Diponegoro, 1992), Cet. II, hlm. 404.

37

bahan cetak.67 Melalui buku-buku yang berorientasi pada pendidikan

agama Islam, siswa dapat menyerap nilai-nilai pendidikan Islam yang

terkandung di dalamnya. Dengan membaca buku-buku atau novel-novel

yang bernilai edukatif siswa dapat memperoleh pengalaman dan belajar

melalui simbol-simbol dan pengertian-pengertian dengan menggunakan

indra penglihatan.

Menurut Zaid Akhtar, sudah sewajarnya jika seorang penulis

muslim mengangkat Islam lewat karya kreatif seperti cerpen atau novel,

meskipun penulis Muslim mempunyai latar belakang pendidikan dan

sosial budaya yang berbeda, Zaid Akhtar tetap yakin bahwa mereka tetap

memiliki tanggungjawab sosial mendidik pembaca. Penulis

bertanggungjawab dalam pembentukan kepribadian dan pembangunan

rohani pembaca serta tidak hanya menghasilkan karya yang bertujuan

memberi hiburan semata. Penulis perlu mempertimbangkan apakah karya

kreatif yang mereka hasilkan berisi tentang konsep menyeru ke arah

kebaikan dan mencegah kemungkaran.68 Oleh karena itu karya kreatif

dalam bentuk novel yang berisi tentang ajaran Islam tersebut bisa juga

digunakan sebagai media dalam pendidikan.

Faisal Tehrani mengatakan bahwa betapa pentingnya pendidikan

anak-anak yang didasari dengan sastra dan ajaran Islam. Cerita dan puisi

yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan kebaikan kepada anak-

anak. Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media massa, media

elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah terpengaruh.

Media sastra harus dapat menjadi benteng yang sempurna untuk

menangkal aspek negatif dari perkembangan teknologi.69

Untuk menjadi benteng tersebut sastra harus dekat dengan aspek

pendidikan. Sastra menurut pendekatan Islam tersebut memiliki

67 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Metodologi Pengajaran Agama,

(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 133. 68 Zaid Akhtar, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-

create.g?blogID. 18 Mei 2006. 69 Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post

-create.g?blogID 27 April 2006

38

tanggungjawab dan berperanan untuk menunaikan tujuh aspek pendidikan

yaitu: 70

a. Pendidikan iman

Asas paling penting dalam pendidikan Islam ialah untuk

menanamkan pada diri anak falsafah tauhid yang terkandung dalam

dua kalimah syahadah.

Kepercayaan kepada Allah mestilah disuguhkan dalam sastra

secara bijaksana. Persoalan ini misalnya dapat ditampilkan bahwa

perwujudan alam yang indah ini karana ada dan wujudnya Tuhan yang

satu. Oleh karena itu karya sastra berbentuk cerpen, novel atau puisi

yang mengesakan Allah haruslah diperbanyak. Disamping itu

persoalan pemberantasan kesyirikan atau menduakan Allah juga perlu

ditekankan. Pendidikan keimanan ini dapat disampaikan dalam karya

sastra dengan cara yang kreatif dan halus.

b. Pendidikan akhlak

Persoalan akhlak juga merupakan persoalan terpenting setelah

penekanan aspek tauhid. Untuk tujuan itu model paling sempurna

dalam pembinaan akhlak dan pribadi tentu saja baginda agung Nabi

Muhammad SAW. Oleh karena itu perlu kiranya diperbanyak karya

sastra dalam bentuk novel atau prosa yang berisi tentang sejarah Nabi

SAW, sehingga pembaca dapat meneladani akhlak Nabi dengan baik.

Disamping itu perlu adanya pendidikan akhlak dengan

memberikan pengawasan dan menanamkan prinsip muraqabah, bahwa

Allah Maha Besar dan sedang memperhatikan segala amal baik atau

buruk yang manusia lakukan. Setiap amalan sekecil apapun pasti

dinilai oleh Allah. Konsep muraqabah ini yang akan ditekankan dalam

karya sastra (novel) untuk mengajarkan bahwa manusia tidak terlepas

dari pandangan Allah. Justru orang-orang yang berbuat kejahatan akan

dihukum di hari akhirat nanti.

70 Ibid

39

c. Pendidikan fisikal

Dalam memberi pendidikan fisikal anak-anak dibiasakan

supaya mencintai kesehatan dan melakukan aktivitas yang

menyehatkan, serta terbiasa dengan kesederhanaan. Pendidikan ini jika

disalurkan dalam karya sastra akan mempermudah orang tua

mengawasi anak-anak terhadap pelbagai hal baru seperti mainan,

teknologi dan lain-lain.

Pemahaman terhadap dasar ini jika diterapkan dengan baik

dalam karya sastra bisa menjadikan anak-anak sadar akan pentingnya

kesehatan dan dapat menjaga dirinya dari perbuatan tercela serta

termotivasi untuk melakukan perbuatan terpuji.

d. Pendidikan intelektual

Aspek pendidikan yang paling dekat dengan dunia sastra ialah

tanggungjawab pendidikan intelektual. Pengarang memiliki kewajiban

untuk memberikan pendidikan intelektual lewat karya sastra. Dengan

menampilkan suatu penemuan baru dan memberikan deskripsi tentang

suatu masalah, pengarang dapat membangun pengetahuan pembaca,

sehingga muncul ide-ide baru yang bisa mengembangkan

intelektualitas pembaca. Sehingga perlu kiranya novel-novel

pembangun intelektualitas, yang menyajikan narasi berdasarkan fakta-

fakta di lapangan.

e. Pendidikan psikologi

Salah satu aspek terpenting dalam dunia pendidikan adalah

menanamkan dasar-dasar psikologi. Karya sastra bisa menjadi medium

untuk menanamkan pendidikan psikologi, sehingga pembaca memiliki

gambaran untuk dapat mengontrol emosi dan menata diri dengan cara

menghindari sifat penakut, sifat merendahkan diri sendiri, sifat hasad

dan sifat pemarah.

f. Pendidikan sosial

Salah satu ajaran Islam yang sama sekali tidak boleh diabaikan

adalah amar makruf nahi mungkar. Konsep ini merupakan tugas sosial

40

yang tidak terlepas dari siapa pun. Dengan menampilkan cerita-cerita

yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar, pengarang telah

menanamkan pendidikan sosial. Karena konsep amar ma’ruf nahi

munkar berkaitan dengan akhlak seseorang terhadap lingkungannya di

masyarakat.

g. Pendidikan seksual

Islam sangat menjaga pergaulan antara lelaki dan wanita. Di

antara aspek yang sering ditekankan dalam ajaran Islam ialah adab

memandang muhrim dan bukan muhrim. Aspek kedua yang harus

dituangkan dalam sastra ialah aspek penjagaan aurat. Batas-batas aurat

lelaki dan perempuan harus diajari sejak awal, supaya apabila tiba usia

baligh mudah untuk melenturkan pemahaman anak. Aspek seterusnya

dalam pendidikan seksual ialah percampuran lelaki dan perempuan.

Persoalan seksual bisa ditampilkan secara bijak dalam karya sastra

dengan pertimbangan al-Quran sendiri mengungkapkan dengan halus

persoalan-persoalan seks. Al-Quran sebagai firman Allah yang

bijaksana diturunkan untuk semua orang dan semua golongan. Hukum

dan pemahaman terhadapnya berlaku bagi siapa saja. Meskipun begitu

seorang pengarang haruslah bijaksana dalam menggambarkan

persoalan ini. Pengajaran dasar-dasar hubungan seks misalnya tentulah

tidak etis untuk dituangkan dalam karya sastra secara vulgar.

Dari ketujuh aspek pendidikan Islam dalam karya sastra yang

dikemukakan oleh Faisal Tehrani, dapat di ringkas lagi menjadi tiga

kategori pendidikan Islam yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak

dan pendidikan syariah. Karena ketiga aspek tersebut sesuai dengan

jangkauan wawasan Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw,

yaitu bahwa dalam pendidikan Islam terdapat cabang-cabang, yang

dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu aqidah, syariat dan

akhlak.71

71 Abu Su’ud, op.cit., hlm. 141.

41

Bertolak dari pendapat Faisal Tehrani tersebut, maka karya sastra

Islam dapat dijadikan sebagai media dalam pendidikan Islam. Karena

menurut A.A Navis sastra Islam bertendensi untuk melukiskan kebenaran,

kesempurnaan dan keindahan yang mengandung kaedah menurut syariat,

yang ditulis oleh sastrawan Islam yang saleh dan memahami teologi Islam

dan berfaedah untuk manusia.72 Sehingga nilai-nilai yang terkandung

dalam sastra Islam didasarkan pada syariat Islam dengan al-Quran dan

hadits sebagai dasar hukumnya.

72 A.A. Navis, Yang Berjalan Sepanjang Jalan, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), hlm. 356-

357.

42

BAB III

BIOGRAFI TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY

DAN ISI NOVEL SYAHADAT CINTA

A. Biografi dan Karya-Karya Taufiqurrahman Al-Azizy

1. Biografi Taufiqurrahman Al-Azizy

Taufiqurrahman Al-Azizy, lahir pada tanggal 9 Desember 1975 di

Boyolali dengan nama asli Muhammad Muhyidin. Anak kedua dari dua

bersaudara dari Sunaim Ibnu Abu Darda’ dan Robiyatun ini besar di

Wonosobo dan menghabiskan waktunya untuk menulis.

Pengalaman pendidikannya diawali di SD Impres Seworan

Boyolali kemudian dia hijrah ke Wonosobo dan melanjutkan pendidikan

di SMP N 1 Wonosobo. Selepas dari SMP dia mengambil pendidikan di

SMA Islam Sudirman Wonosobo. Selesai menamatkan studinya di kota

Wonosobo dia hijrah lagi ke Jakarta dan sempat kuliah di Institut Ilmu

Qur’an (IIQ) dan mondok di Pesantren Ilmu al-Quran Hidayatul Qur’an

selama tiga tahun. Karena tanggung jawab keluarga dia kembali lagi ke

Wonosobo dan melanjutkan studinya di Universitas Sains Qur’an

(UNSIQ). Dia juga aktif di beberapa organisasi kampus baik intra maupun

ekstra, diantaranya pernah menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas

Dakwah di UNSIQ, , kemudian ketua lembaga dakwah mahasiswa

UNSIQ, ketua HMI Cabang Wonosobo selama dua periode tahun 1999

dan 2000. terlibat di berbagai Penelitian Sosial Ekonomi, Interfaith

Committee (IFC), dan fasilitator pada Bagian Pemberdayaan Perempuan

Setda Wonosobo. Disamping itu, karena produktifitasnya dalam menulis

dia juga diangkat sebagai Ketua Ikatan Penulis Wonosobo.

Sebagian besar idealismenya terefleksi dalam setiap buku yang

dihasilkannya. Karena backgroundnya dalam ilmu dakwah,

Taufiqurrahman mencoba mengajak pembacanya untuk kembali kepada

Allah secara kaffah, dengan berusaha mengkaji lebih dalam ajaran-ajaran

43

Islam, sehingga tidak terkesan kaku dan dapat diterima seluruh umat

Islam.

Menurutnya, Allah memberikan akal dan pikiran untuk digunakan

dengan sebaik-baiknya, mengkaji ayat-ayat al-Quran agar dapat

diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pemikirannya ini teraktualisasi

dalam setiap karyanya yang kebanyakan membahas masalah psikologi

agama.

2. Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy

Sebagai seorang penulis, dia tergolong seorang penulis yang

produktif. Selama kurun waktu lima tahun, sudah seratus buku lebih yang

ia hasilkan. Dan beberapa diantaranya termasuk dalam kategori best seller.

Karya-karya Taufiqurrahman Al-Azizy yang sudah dipublikasikan antara

lain adalah:

- Mengajar Anak Berkahlak al-Quran (2004)

- Buku Pinta Mendidik Anak Soleh dan Solehah Sejak dalam

Kandungan sampai Remaja (2006)

- Nggak Kaya Duit Asal Kaya Hati (2006)

- Misteri Energi Istighfar (2006)

- Kasidah-kasidah Cinta (2007)

- Keajaiban Shodaqoh (2007)

- Misteri Energi Wudlu (2007)

- Sejuta Keajaiban Sholawat Nabi (2007)

- Membelah Lautan Jilbab (2007)

- Syahadat Cinta (2007)

- Musyafir Cinta (2007)

- Ma’rifat Cinta (2007)

- Kitab Cinta Yusuf dan Zulaikhah (2007)

- Misteri Shalat Tahajud (2007)

- The Truth Power of Heart (2007)

- Menagih Janji Tahajut (2007)

44

- Bibir Tersenyum Hati Menangis (2007)

- Orang Kota Mencari Allah (2008)

- dll.

Sedangkan buku-bukunya yang belum dipublikasikan diantaranya:

- Madah Rindu Ruwaydah (buku I dan II)

- Berislamlah, dan Bebaskan Dirimu

- Berguru Pada Muhammad

- dll.

B. Isi Novel Syahadat Cinta

Novel syahadat cinta ini merupakan buku pertama dari trilogi

“Makrifat Cinta”. Dua novel yang lain adalah “Musyafir Cinta” dan “Ma’rifat

Cinta”. Novel trilogi ini berisi tentang semangat pencarian Kebenaran Islam

yang kaffah, dengan basis laku syariat, tarekat dan makrifat: impian terbesar

para Abdullah untuk berjumpa dengan Wajah Sang Kekasih.

Trilogi ini mulai di garap seusai menafakuri salah satu ayat al-Qur'an

yang mengisahkan tentang pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim as. Inspirasi

besar itulah yang mendorong Taufiqurrahman al-Azizy mengarang buku

bacaan islami, ringan, mudah dicerna namun tidak instan, penuh hikmah, yang

dikemas dalam bentuk novel spiritual pembangun iman.

Novel spiritual ini menjadi kesaksian (syahadat) pengembaraan

religius seorang anak metro dalam tempias wajah Ilahiyah yang sarat gesekan

paham spiritual dan pertarungan ragam tradisi. Perjalanan spiritual tokoh

utama (Iqbal) dalam mencari cinta dan agama menimbulkan pergolakan

pemikiran Islam dalam setting pondok pesantren.

Ada beberapa sub judul yang termuat dalam novel religius ini. Lebih

jelasnya penulis akan menguraikan satu persatu dari tiap sub judul dalam

novel ini untuk menemukan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di

dalamnya.

45

1. Dua Peristiwa

Waktu demikian aneh memintal benangnya dan menggulung-gulung nuraniku. Sejak peristiwa itu, aku tidak lagi ke luar rumah untuk bersenang-senang seperti dulu. Bagiku, tidak ada waktu yang menyenangkan kecuali bila berada disanding ibu. Tetapi kenapa anggrekku bisa layu?

Aku masih sering bertanya-tanya. Semakin bertanya, semakin tidak ketemu jawabannya. Pak Kardi tidak mungkin membuatnya layu. Dia telah bersumpah atas nama Allah. Bik Inah apalagi-dia tidak pernah mengurusi kebun, sebab urusannya bukan kebun, tetapi dapur. Apalagi ibu, sebab anggrek adalah bagian dari cinta yang dimilikinya.

Lalu siapa yang telah membuat anggrekku layu? Ketika semakin lama ku bertanya kepada diriku sendiri, aku

mendapatkan kesadaran bahwa demikianlah anggrek. Demikian pula bunga-bunga yang lain. Juga pepohonan, binatang-binatang, dan…manusia. Suatu saat, semuanya akan layu. Suatu saat, semua akan menuju pada satu titik akhir: kematian. Ketika semua telah sampai di titik akhir, lalu apakah yang akan tersisa? Hanya sepi. Hanya kematian. Hanya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Ilahi.

Ya, Allah, bagaimana bisa selama ini aku gunakan waktuku untuk hal yang sia-sia? Untuk hal-hal yang justru menjauhkanku dari-Mu...?

"Ibu, aku ingin berubah..." Kata-kata inilah yang aku lontarkan kepada ibu di pagi yang cerah itu.

"Berubah? Maksud Iqbal?" "Aku ingin belajar agama, ibu. Aku malu kepada diriku

sendiri. Juga kepada ibu, kepada Pak Kardi, kepada bik Inah. Dan...aku malu kepada Allah, ibu. Aku ini seorang muslim, tetapi aku tidak bisa shalat. Wudlu pun aku tak tahu. Betapa kotornya aku ini, ibu. Aku ingin berubah..."1

Petikan dialog di atas merupakan refleksi tentang hakikat hidup di

dunia, yang fana dan sebentar, hanya menunggu waktu untuk kembali

pada-Nya. Layaknya bunga yang awalnya tumbuh berkembang dan

akhirnya layu, ‘semua akan menuju pada satu titik akhir: kematian’. Itulah

siklus kehidupan, segala yang hidup akan mati, tidak ada yang kekal di

dunia ini. Dan betapa ruginya manusia, jika menyia-nyiakan waktu yang

1 Taufiqurrahman al-Azizy, Syahadat Cinta, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. XVIII,

hlm. 22-23.

46

sesaat untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Maka manusia dianjurkan untuk

bertaubat dan menata hidupnya lebih baik tertuju pada Allah SWT.

Taufiqurrahman al-Azizy atau yang sering dikenal dengan nama

Muhammad Muhyidin menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai pintu-

pintu atau jalan-jalan menuju Allah Swt. di dalam hatinya. Jalan menuju

Allah adalah sebuah kecenderungan yang bersifat fitri dan alami pada diri

manusia. Akan tetapi, seringkali tirai dosa menutupinya. Pada saat-saat

manusia menghadapi kesulitan, biasanya tirai ini terbuka, dan manusia pun

tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah Swt.2

2. Setan Masih Menggoda

Aku segera menuju ke tempat wudlu. Sebelum tanganku kubasuhkan ke air, aku mengulang lagi niat wudlu yang telah diajarkan oleh para sahabat, supaya nanti aku tidak lupa. Aku baca niat tersebut keras-keras di dalam hati: Aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil, wajib karena Allah, Yapp! Aku tidak mengalami kesulitan. Lalu, setelah aku yakin bahwa aku telah hafal, kuniatkan dengan sungguh-sungguh bahwa diriku tengah mengambil air wudu. Aku bergetar. Serasa ada sesuatu yang menjalar di wajahku ketika aku membaca doa wudlu. Sesuatu ini bergerak dari perutku, kemudian memenuhi dada, lalu menjalar ke leher, kemudian menyelimuti wajah, hingga sampai ke ubun-ubunku. Aku bertanya-tanya sendiri: ada apa denganku? Inikah bukti bahwa aku sungguh-sungguh meniatkan diri untuk mengambil air wudlu?

Sungguh, menyadari apa yang terjadi denganku ini, aku tidak jadi mengambil air wudlu. Aku mengalami ketakutan; jangan-jangan ini adalah ulah setan. Setan telah merasuk dalam diriku sedemikian rupa sehingga membuat aku merasa takut mau mengambil air wudlu.

Aku coba sekali lagi. Aku lebih berkonsentrasi lagi. Kutetapkan dalam hati bahwa aku ingin melakukan kebaikan, ingin mendapatkan kesucian, dan ingin mendekatkan diri kepada Allah untuk mengerjakan shalat dzuhur. Aku ingin menghadap Tuhan Yang Maha Pencipta, maka aku tidak boleh main-main. Aku tidak boleh kalah dengan setan. Aku harus konsentrasi"

Masyaallah, apa yang aku rasakan ini. Kenapa tiba-tiba tubuhku menggigil seperti ini? Ilahi, berilah kekuatan kepadaku

2 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, (Yogyakarta: Diva Press, 2008),

hlm. 232-233.

47

untuk mengambil air wudlu, seiring dengan air wudlu yang aku ambil. Ku cuci kedua telapak tanganku, sela-sela jariku, dan kuku-kukuku. Kubasuh wajahku. Kuusap kedua tanganku. Kuusap rambutku dan telingaku. Lalu terakhir, kubasuh kedua kakiku.3

Sub bab kedua ini menggambarkan tentang godaan-godaan

manusia dalam menjalankan ibadah. Karena setan selalu menggoda

manusia untuk keluar dari syariat Allah Swt., supaya lalai terhadap

perintah-Nya, dan membayangi manusia dengan kecemasan, sehingga

ibadah mereka tidak khusuk dan meninggalkan perintah Allah Swt. Setan

selalu membayangi langkah manusia, mencoba menggoda ibadah yang

dilakukan manusia. Oleh karena itu setiap muslim dianjurkan untuk selalu

meminta perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari godaan setan.

3. Dua Bulan Lagi

Kata-kata kiai Subadar membasahi hatiku, dan mengeluarkan air mataku. Ketakutanku akan mendapatkan penghinaan dan perendahan di pesantren ini benar-benar tidak ada. Iblislah yang telah membuatku takut itu.

"Lalu apa yang mesti aku lakukan, kiai?" "Kamu harus belajar, dan terus belajar." "Apa yang harus saya pelajari terlebih dahulu?" "Dirimu...!" tiba-tiba terdengar suara kiai sepuh.4

Pada penggalan dialog di atas mengisyaratkan bahwa musuh sejati

manusia yang sesungguhnya adalah diri mereka sendiri. Sumber persoalan

yang menimpa kehidupan itu berasal dari diri manusia sendiri. Bisa

tidaknya manusia mengatasi keadaan dilematis yang dihadapi dan

dirasakan, tergantung pada seberapa kuat mereka mampu mengalahkan

kekuatan destruktif dalam jiwa.5 Oleh karena itu manusia harus mampu

memahami diri sendiri, mengontrol hawa nafsu, menahan diri dari laku

yang dilarang agama, sehingga dapat menghilangkan berbagai macam

perasaan negatif.

3 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 61. 4 Ibid, hlm. 70. 5 Muhammad Muhyidin, Bibir Tersenyum Hati Menangis, (Yogyakarta: Diva Press,

2007), hlm. 42-43.

48

4. Gadis Galak

“Tetapi, menurutku nich, Kang—kang Iqbal jangan marah, kamu mempunyai beberapa ketidakbenaran…”

“Maksudmu kesalahan gitu…?” “Maksudku ketidakbenaran. Aku lebih suka mengatakan

demikian. Pertama, kang Iqbal merasa jengkel dengan kyai. Jengkel itu sendiri merupakan penyakit, Kang. Penyakit yang menggerogoti hati kang Iqbal. Kedua, kejengkelan tersebut kamu tujukan kepada kyai kita, padahal kyai kita tidak jengkel kepadamu. Ketiga, kejengkelan itu kamu lampiaskan kepada orang yang salah, walaupun dia juga bersalah kepadamu. Keempat, dan ini yang paling parah, kang Iqbal mencaci maki neng Aisyah. Demi Allah kang Dia telah berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui…”6

Dalam sub bab ini Taufiqurrahman memberikan legitimasi tentang

larangan menyakiti hati orang lain dengan ayat-ayat al-Quran. Orang harus

bisa menahan amarah agar tidak mudah tersulut emosi. Karena amarah

merupakan kekuatan destruktif hati yang ada dalam jiwa. Emosi yang

menempel dalam hati merupakan faktor utama kekuatan hati. Jika hati

tidak didominasi oleh sifat-sifat yang memungkinkan amarah, maka

kemarahan tidak akan muncul dalam hati. Dan salah satu penyebab

timbulnya amarah adalah ucapan buruk yang menyakiti hati.

5. Menenangkan Diri

Duhai hati, apa yang bisa aku lakukan sekarang untuk menenangkanmu?

Yupp! Kutemukan jawabannya: shalat! Shalatlah yang bisa menenangkan hatiku. Lalu aku keluar.

Menuju tempat wudlu. Mengambil air wudlu dengan pelan. Berwudlu.7

Novel Syahadat Cinta ini memuat beberapa ajaran syariat, salah

satunya yang digambarkan pada bagian kelima yaitu tentang ibadah shalat.

6 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 96-97. 7 Ibid., hlm. 111.

49

Untuk menghilangkan rasa susah, gelisah di dalam menghadapi

problematika hidup ini maka senjata yang paling ampuh, obat yang sangat

mujarab tidak lain adalah dengan memperbanyak sujud kepada Allah Swt.

bertaqorrub, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Memohon kepada-Nya

agar diberikan ketenangan jiwa, sehingga mampu menjalani kehidupan

penuh keyakinan dan ridlo Allah Swt.

Di antara ibadat dalam Islam, salatlah yang membawa manusia

dekat kepada Tuhan. Di dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan

Tuhan. Dalam dialog dengan Tuhan itu seseorang meminta supaya rohnya

disucikan.8

6. Gadis Itu Bernama Priscillia

Indah. Kutemukan keindahan dalam bus yang tidak terlalu indah ini. Priscillia, gadis Kristiani ini, tampaknya, memiliki kebajikan dan kebijakan Kristen yang dianutnya. Aduhai, andaikan saja semua Kristiani seperti dia, betapa indahnya silaturrahmi antar agama.9

Pada bagian ini Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa Islam

mengajarkan kerukunan antar umat beragama, saling hormat

menghormati, dan beribadah menurut kepercayaannya masing-masing.

Perbedaan keyakinan tidak harus merenggangkan hubungan silaturahmi

antara sesama manusia. Karena pada hakaketnya semua manusia

diciptakan untuk saling mengenal dan saling berinteraksi dan

berkomunikasi dalam kehidupan sosial.

7. Seorang Ibu dan Balitanya

Timbul niatku untuk menyeberang jalan, mendekati ibu dan balitanya itu, dan memberikan shadaqah uang yang aku miliki. Aku pun bangkit, menunggu nyala lampu merah, lalu melintas. Kurogoh saku celanaku. Kudapatkan uang lima ribu. Kuberikan uang itu kepada si ibu.

8 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,

1985), Cet. V, hlm. 37. 9 Ibid, hlm. 136.

50

“Alhamdulillah, mas. Terima kasih banyak. Semoga Allah Swt melapangkan dada dan memberikan rejeki yang banyak kepadamu...” kata si ibu. Terhadap anaknya dia berkata, “Anakku, mari kubelikan makan dengan rejeki ini. Oh, anakku-seharian kamu belum makan.” Dia menoleh kepadaku sekali lagi dan berucap, “sekali lagi terimakasih...”

Dadaku bergetar mendengar doanya dan mendengar perkataan itu kepada anaknya. Kuambil dompetku dari saku belakang celananya. Kuambil uang sepuluh ribu, dan kupanggil ibu tersebut, “Ibu tunggu”. Aku mendekatinya dan berkata, “Terimalah ini, Semoga Allah memaafkanku dan mengabulkan doamu tentang diriku.”10

Pada bagian ini, secara tersurat Taufiqurrahman menjelaskan

bahwa harta adalah amanah (titipan) yang harus difungsikan sebagaimana

yang diperintahkan oleh yang memberinya, yaitu Allah Swt. Dengan

zakat, infaq dan sedekah, sebagian amanah itu telah dilaksanakan dengan

baik oleh pemiliknya. Selain itu zakat, infaq dan sedekah merupakan

media interaksi antara kaum yang kuat (kaya) dengan yang lemah (fakir-

miskin) yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan yang seimbang,

merata dan sejahtera dalam hidup bermasyarakat.11

8. Tidak Jadi Ke Hotel

Segera ku buka dompetku. Kuambil uang dua juta, dan kusegera persiapkan untuk memberikannya kepada bu Jamilah. Ilahi, semoga apa yang aku lakukan ini bisa meringankan beban hidup bu Jamilah, dan semoga Engkau mencatatnya sebagai amal untuk meringankan dosa dan kesalahanku.12

Masih berkaitan dengan sub judul sebelumnya, pada bagian ini

juga berisi tentang anjuran untuk bersedekah. Bahwa dalam kehidupan

bermasyarakat manusia itu harus saling tolong menolong. Orang yang

memiliki kelebihan rezeki, dianjurkan untuk mensedekahkan sebagian

hartanya. Dengan begitu kehidupan bermasyarakat menjadi lebih balance,

10 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 144-145. 11 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2006), hlm. 291-292. 12 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 177.

51

yang miskin akan terangkat kesejahteraannya, sedang yang kaya tidak

menjadi sombong dengan kekayaannya.

9. Alif-Mu Kemuliaan-Mu

Demikianlah, satu per satu aku baca dan aku hafalkan huruf-huruf hijaaiyah. Dan Allahu akbar, aku tidak mengalami kesulitan untuk menirukan Irsyad mengeja huruf-huruf ini. Bahkan, saat ini juga, aku telah hafal seluruh huruf hijaiyah yang berjumlah 30 buah itu [apabila huruf hamzah dan lam alif dimasukkan], Irsyad mengujiku: dia memintaku membaca huruf-huruf ini dari berbagai arah. Dari awal, dari belakang, dari tengah, dari ra, dari wau, dari mim, dari mana saja. Dan aku tetap bisa menyebut huruf-huruf yang dimintanya untuk aku baca tanpa kesalahan.

"Hebat, kak...!" seru lrsyad. "Aku tidak menyangka kak Iqbal sehebat ini. Aku tidak mengerti kenapa sekali mendengar, menirukan, mengulangi sekali lagi, lalu kak Iqbal telah hafal semuanya? Banyak teman-temanku yang mengaji huruf-huruf al-Qur'an, tetapi susahnya minta ampun. Tetapi kakak?"

"Alhamdulillah, ini adalah berkah dari Allah SWT kepadaku. Aku yakin, apabila kita berniat sungguh-sungguh dengan kebaikan yang ingin kita lakukan, Allah akan mempermudah jalan bagi kita...."13

Dalam Novel ini Taufiqurrahman mencoba memberi interpretasi

secara tersirat bahwa sesungguhnya manusia diberi potensi nafsani oleh

Allah Swt. untuk mengetahui segala sesuatu, agar dengan pengetahuannya

ia dapat berbuat baik. Untuk melengkapi dan menyempurnakan

pengetahuan manusia, sangat diperlukan petunjuk (hidayah) dari Allah.

Seluruh petunjuk-Nya terhimpun dalam kitab suci al-Quran, meskipun

muatannya masih bersifat global yang perinciannya diserahkan penuh pada

ijtihad (kreativitas berpikir) manusia.14 Oleh karena itu setiap muslim

dianjurkan untuk mempelajari al-Quran dan mengamalkan ajarannya.

13 Ibid, hlm. 193. 14 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 223.

52

10. I love you because Allah

Kututup buku kecil itu, dan kucoba merenungkan potongan kisah yang telah aku baca tadi. Apa yang salah dengan kalimat I Love You Because Allah?! Kenapa laki-laki itu harus merasa bersalah dengan ungkapan tertulisnya itu, jika memang dia mencintai ukhti tersebut karena Allah? Ibu mencintaiku karena Allah. aku, walau baru beberapa bulan ini, juga belajar untuk mencintai ibu dan ayah karena Allah. Kusayangi Fatimah karena Allah; kukasihi Irsyad karena Allah; dan aku merasa kasihan kepada bu Jamilah, juga karena Allah. Lalu apa salahnya I Love You Because Allah?15

Pada bagian ini Taufiqurrahman mengkritisi tentang konsep cinta

karena Allah, menurutnya cinta manusia kepada makhluk bisa

mendekatkan seseorang pada Allah. karena salah satu fitrah manusia

adalah pemberian asma’ dan sifat-sifat ketuhanan yang dihembuskan pada

diri manusia, sehingga secara potensial manusia memiliki asma’ dan sifat-

sifat ketuhanan yang apabila diaktualisasikan akan menimbulkan

kepribadian rabbani.16

Salah satu fitrah rabbani yang ada dalam diri manusia adalah

mencintai dan dicintai. Ciri-ciri dari kepribadian rabbani ini adalah

mencintai orang lain didasarkan atas adanya maslahah (memiliki

kebaikan), dicintai karena memiliki keistimewaan, menebarkan cinta pada

yang lain; melapangkan dada untuk mencintai yang baik dan

mengosongkan jiwa dari menyintai yang buruk; mengutamakan orang lain

dengan dasar cinta; banyak menyebut kebaikan yang lain karena rasa

cinta.17

11. Pesantren di Hatiku

Kepada bu Jamilah, kepada Irsyad, dan kepada Fatimah, ucap terimakasihku tiada henti. Bu Jamilah telah ikhlas menampungku di sini, selama ini. Sepuluh hari bersama bu Jamilah, seakan-akan seperti sepuluh hari bersama ibuku sendiri. Sepuluh hari bersamanya, tak pernah sekali pun aku melihat kesedihan dan

15 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 299-230. 16 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 191 17 Ibid, hlm. 208.

53

keputusasaan di wajah oleh sebab tekanan hidup dan beban yang harus dipikulnya. Dan Irsyad—dialah yang telah mengajariku alif, ba', ta', hingga ya', sehingga sekarang ini aku sudah bisa membaca kitab suci. Dan Fatimah—kesucian hatinya telah membakar semangatku untuk mengejar ketertinggalan seorang pemuda dari kitab sucinya. Fatimahlah yang selama ini menemani siang-siangku, dan mempercepat pemahamanku terhadap huruf-huruf al-Qur'an, walau dia sendiri sekarang telah tertinggal dariku. Aku berdoa kepada Allah SWT, semoga Dia berkenan mempercepat hafalan dan pemahamannya terhadap huruf-huruf al-Quran, sehingga Fatimah segera bisa membaca kitab suci seperti aku.18

Novel syahadat cinta ini syarat dengan pesan-pesan edukatif,

tentang motivasi dan semangat belajar. Seperti yang digambarkan pada

bagian ini, bahwa manusia dapat belajar apa saja dari lingkungannya,

bahwa nilai-nilai Islam bisa ditemukan dimana saja. Islam merupakan

sebuah ajaran yang komprehensif dan komplit dengan berbagai peraturan

dan tatakrama dan juga selalu menganjurkan kepada segenap umatnya

untuk memperoleh pendidikan atau mencari ilmu pengetahuan tanpa batas. 19 Dan mencari ilmu pengetahuan tidak harus di lembaga pendidikan,

dalam kehidupan bermasyarakat dan keluarga juga bisa didapatkan ilmu

pengetahuan (baik ilmu umum maupun ilmu agama). Karena secara

substansinya ilmu itu bersifat universal, dan dimanapun manusia berada ia

dapat menemukan ilmu pengetahuan.

12. Korban Fitnah

…Kutatap kembali yang disebut Ridlo itu dan aku pun berkata, “Anda telah menuduh saya yang tidak-tidak. Dan menuduh sama dengan memfitnah, dan tentu anda tahu bahwa fitnah adalah haram bagi seorang muslim…”20

Banyak kritik konstruktif yang dilontarkan dalam novel ini salah

satunya tentang fenomena fitnah. Pada bagian ini Taufiqurrahman

memberikan interpretasi bahwa kecurigaan yang tak berdasar dapat

18 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 241. 19 Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), hlm. 43. 20 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 247.

54

mengakibatkan fitnah. Dan Islam melarang umatnya untuk melakukan

fitnah, karena fitnah laksana dua mata pedang yang tajam, yang dapat

melukai siapapun.

13. Penghuni Kamar 14

“Sekarang, kira-kira jam berapa?” tanyaku. “Mungkin sebentar lagi shubuh,” jawab Nugroho. “Bagaimana kalau kita shalat tahajjud saja, sekalian menunggu

shubuh?” “Ah, selama ini kami tidak pernah shalat. Percuma…! “Jangan begitu sahabat. Kepada siapa lagi kita mau minta

pertolongan apabila Dia Yang Maha Menolong kita jauhi? Kita ini mazhlum, dan insyaallah, doa mazhlum akan dikabulkan Allah SWT.”21

Pesan yang ingin disampaikan pada sub judul ini adalah tentang

ikhtiar. Bahwa apa yang terjadi pada setiap manusia adalah apa yang

menjadi ikhtiar dari manusia itu sendiri, sebab Allah Swt. telah

menetapkan batasan dari ikhtiar-ikhtiar manusia tersebut.22 Oleh karena itu

diperintahkan untuk berusaha dan beribadah kepada Allah, karena antara

lahir dan batin harus seimbang. Jika seseorang menjauhi Sang Pencipta,

maka Dia juga akan menjauhinya.

14. Terpujilah Nama-Mu, Duhai Allah-ku…!

Walau mereka bergurau, kutemukan bahwa memang aku sempat meragukan kehendak-Nya; aku sanksi kepada-Nya. Aku hampir putus asa dari kasih sayang-Nya. Aku kurang sabar. Aku kurang ikhlas. Hatiku masih kotor dengan penyakit keputusasaan, penyakit kekurangsabaran. Separuh hatiku masih gelap. Separuh hatiku masih dikuasai nafsu. Dan nafsulah yang barangkali telah menghalangi doa permohonanku.23

Otokritik yang ingin disampaikan pada bagian ini adalah bahwa

manusia sering terperangkap dengan nafsunya sendiri, karena hasrat di

dalamnya hatinya manusia bisa melupakan Allah. Dan sesungguhnya

21 Ibid, hlm. 293-294. 22 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, op.cit., hlm. 134. 23 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 314.

55

nafsu selalu menyuruh manusia kepada kejahatan. Oleh karena itu Allah

memerintahkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu, hati yang tertutup nafsu

akan menghalangi doa seseorang kepada Sang Khaliq.

Al-Hujwiri dalam bukunya Amin Syukur “Menggugat Tasawuf”

menjelaskan bahwa tabir (hijab) yang paling dahsyat ialah jiwa rendah

(nafsu) dan ajakan-ajakannya, mengikutinya berarti ketidaktaatan kepada

Tuhan, yang menjadi hijab antara manusia dengan Allah.24

15. Haru Biru Perpisahan

“Sahabat, nikmat apalagi yang melebihi terbakarnya jiwa oleh sebab mengingat Allah dan membesarkan namanya? Shalat, puasa, haji, dan zakat—semuanya merupakan bentuk-bentuk dari cara kita mengingat Allah. Semua itu memiliki waktu sendirisendiri. Kita tidak bisa mengerjakan shalat shubuh di waktu zhuhur, atau shalat zhuhur di waktu isya. Mengapa ramadhan harus disebut bulan ramadhan dan bukan bulan yang lain? Sebab ia memiliki waktu sendiri-sendiri. Namun sahabatku, selama nafas masih bersatu dengan diri kita, selama itu pula kita memiliki waktu. Sebanyak kita hidup, sebanyak itu pula waktu yang kita miliki, dan seharusnya sebanyak itu pula kita gunakan untuk selalu ingat kepada-Nya. Aduh sahabat, ketahuilah bahwasanya saya selama ini terlalu banyak menyia-nyiakan waktu dan saya sungguh menyesal karenanya. Entah azab apa yang akan ditimpakan Allah kepadaku kelak di negeri akhirat sebab kelalaian ini. Saya sedih jika harus mengingat hal itu. Namun, saya selalu terhibur bahwa Allah itu Dzat Yang Maha pengampun. Untuk itu, marilah kita memohon ampunan-Nya selagi waktu masih tersisa…”25

Salah satu ciri karya-karya Taufiqurrahman al-Azizy adalah

kentalnya nuansa dakwah. Pada sub judul “Haru Biru Perpisahan” ini,

secara eksplisit dia mengajak pembacanya untuk memiliki sifat ihsan.

Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan

kemadharatan merupakan perilaku yang ihsan. Sifat ihsan bermuara pada

peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri

pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyyah)

24 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet.2, hlm. 68.

25 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 327.

56

dengan-Nya, sehingga perilakunya menjadi baik dan bagus.26 Orang yang

selalu mengingat Allah akan terhindar dari perilaku yang tercela, berusaha

untuk beribadah dengan sepenuh hati dan melakukan segala sesuatu hanya

karena Allah.

16. Syahadat Cinta

“Sebelum syahadah ini kita lakukan, sebelum ukhtina Priscillia berbaiat terhadap Islam, saya ingin bertanya kepada ukhti, apakah ukhti memilih Islam karena keterpaksaan, karena desakan, karena ketakutan, atau karena kesadaran?”

“Perjalanan sayalah yang menyebabkan saya memilih Islam. Saya mengetahui, saya memahami dan saya sadar untuk memilih Islam.”27

Bagian ini berisi tentang hakikat keimanan. Di dalam agama Islam

prinsip-prinsip dasar terletak kepada ketauhitan (ke esaan Tuhan secara

mutlak). Oleh karena itu yang disebut sebagai orang-orang yang beriman

ialah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada

segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yaitu mereka-

mereka yang telah berjuang karena imannya.

Menurut Taufiqurrahman iman itu harus dicari,28 karena kebenaran

yang sejati selalu datang dari dirinya sendiri. Pencarian terhadap Tuhan

merupakan manifestasi atas kesungguhanya untuk memasuki agama Allah.

Dan pada hakekatnya keimanan tidak hanya dibuktikan dalam bentuk

verbal, karena ada konsekuensi atas persaksiannya tersebut. Abdul Majid

mengemukakan bahwa pengucapan kalimat syahadat itu hanya sebatas

dataran kognitif, sedangkan ucapan syahadat itu harus didasari dengan

kesadaran hati yang tulus, dan konsekuensinya dengan melakukan semua

perintah Allah SWT.29

26 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 305. 27 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 340. 28 Hasil wawancara dengan Taufiqurrahman al-Azizy tanggal 7 Januari 2008 di

Wonosobo 29 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 251.

57

17. Sambutan yang Tak Terduga

Kuhirup kembali udara di kamar ini. Aku bahagia, sungguh amat bahagia. Ternyata, sambutan para sahabat terhadapku tidak seperti yang aku duga. Mereka baik semua. Mereka semua sayang terhadapku. Mereka bahkan mencemaskanku. Mereka bahkan memintaku untuk melupakan perbuatan salah dan dosa yang pernah aku lakukan kepada ‘Aisyah dan kepada pesantren ini. Kini, mereka dengan hati ikhlas dan dada lapang menerimaku lagi, dan lebih dari itu, mereka telah menganggapku sebagai bagian dari pesantren ini.30

Salah satu pesan yang ingin disampaikan pada bagian ini adalah

bahwa orang yang memiliki hati yang dipenuhi cinta kasih akan

memandang dengan mata penuh kasih, baik kepada kawan maupun kepada

lawan, baik kepada sahabat maupun kepada musuh. Bagi mereka, semua

manusia adalah kawan, semua adalah sahabat. Hati yang penuh cinta kasih

adalah hati yang paling puncak memiliki kekuatan konstruktif, yang bersih

dan tenang. Dan itu semua bersumber dari sifat Rahmat dan Rahim-Nya.

18. Aisyah, Maafmu Semangatku

“Apa dia memberi maaf?” “Tidak. Dia terlalu angkuh untuk memaafkan aku. Kang,

bagaimana hukumnya orang yang tidak mau memberi maaf?” “Aduh, bagaimana hukumnya ya? Yang aku tahu, Allah telah

berfirman: perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Dia juga berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf…”31

Pada bagian ini Taufiqurrohman mencoba mengkritisi sikap

manusia yang kadang sulit untuk memberi maaf. Karena keangkuhan

kadang mengalahkan rasio untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Sedangkan agama menganjurkan setip muslim untuk memberi maaf, jika

seseorang memohon maaf.

30 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 362. 31 Ibid., hlm. 371-372.

58

Sebagai legitimasi atas pendapat tersebut, Taufiqurrahman

memberikan dalil-dalil al-Quran tentang anjuran pemberian maaf. Hal ini

ditujukan agar pembaca lebih memahami dan melaksanakan ajaran agama

dengan benar, bisa menerima permintaan maaf orang lain, karena pada

hakekatnya pemberian maaf juga memiliki tendensi bagi si peminta maaf

untuk berubah menjadi lebih baik.

19. Mann –Perasaan Hati

“Perasaan itu sulit dijelaskan. Jika perasaan berbicara, surat sederhana akan dirasakan lain? Jika perasaan sudah dikedepankan, maka sesuatu yang tidak berkaitan akan dilihat bersambungan. Aku khawatir terjadi kesalah-pahaman antara antum dengan kang Rahmat.”32

Menurut Taufiqurrahman, kita harus bisa penjaga perasaan orang

lain. Karena perasaan berasal dari dalam hati, maka kita harus menjaga

hati dari kejelekan. Seseorang yang perasaannya disakiti, dapat melakukan

tindakan destruktif, sehingga bisa menimbulkan perselisihan dan

kesalahpahaman. Dan hal itu terefleksi pada sub judul “Mann –Perasaan

Hati”

20. Surat Pricillia

Hari dimana aku bersyahadah adalah hari yang paling indah yang pernah aku miliki, sebab pada hari itu Allah membuka pintu hidayah-Nya untukku. Kumasuki Islam dengan sepenuh jiwaku, sepenuh ragaku. Jika mas ingin tahu, ketika aku menulis surat ini, aku sudah mengenakan jilbab, untuk menjalankan syariat Islam sebagaimana difirmankan, "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Hari ini aku sadar apa artinya cemburu. Sahabat-sahabat muslimah telah membuatku cemburu sebab mereka mengenakan jilbab tanpa ada halangan sedikit pun, sedang aku mengenakannya

32 Ibid, hlm. 383.

59

melalui siksaan hati dan fisik. Hatiku terluka mendengar perkataan kedua orang tuaku yang menghina agamaku, sedangkan fisikku terluka sebab pukulan dan tamparan ayah ke wajahku.33

Sesuai dengan judulnya, bahwa novel ini adalah novel spiritual

pembangun iman, maka substansi dari isi novel ini adalah tentang

keimanan. Ajaran yang terpenting dalam Islam ialah ajaran tauhid, maka

sebagai halnya dalam aga monoteisme atau agama tauhid lainnya, yang

menjadi dasar dari segala dasar disini ialah pengakuan tentang adanya

Tuhan yang Maha Esa.34 Namun konsekuensi yang diambil dari keimanan

itu juga besar. Seperti yang digambarkan Taufiqurrahman dalam

penggalan Novelnya di atas. Seseorang yang mencari kebenaran Islam

akan mengalami cobaan baik fisik maupun batin. Orang-orang kafir akan

selalu menghalangi setiap orang yang ingin memasuki Islam dengan

berbagai cara, bahkan kadang dengan menggunakan kekerasan. Hal ini

merupakan konsekuensi yang harus ditanggung, untuk menapaki jalan

yang benar yang diridloi Allah SWT.

21. Gadis Berkerudung Biru

“San, ini benar-benar aneh. Benar-benar pengalaman yang amat aneh yang pernah aku miliki. Gadis berkerudung biru itu telah membuatku menjadi laki-laki yang aneh. Entah, apakah ini yang namanya tertarik? Atau, ini hanya keterpesonaanku sesaat? Aduhai, cantiknya masyaallah. Aku menemukan keindahan Tuhan di dalam wajahnya. Zaenab, oh Zaenab. Maha Besar Allah yang telah menampakkan keindahan pada dirinya!”35

Pada bagian ini secara tersirat Taufiqurrahman menjelaskan bahwa

adalah Fitrah manusia untuk menyukai segala sesuatu yang indah, dan itu

manusiawi, karena manusia pun diciptakan dalam bentuk yang paling

indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki keindahan seperti

manusia. Ini merupakan bukti kebesaran Allah SWT, yang telah

33 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 409. 34 Harun Nasution, op.cit, hlm. 30. 35 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 416-417.

60

menciptakan manusia dalam bentuk yang perfect. Oleh karena itu

kecintaan manusia terhadap makhluk Allah tidak melebihi kecintaan

manusia terhadap Khaliqnya. Dan mencintai makhluk harus didasari

kecintaan terhadap Allah SWT.

22. Rahasia Qalbu

“Jiwaku bergetar ketika memandang Zaenab, maka adalah aneh apabila yang disalahkan itu kedua mataku. Kedua mataku bisa terpejam; kedua mataku bisa aku tutup dari penglihatanku terhadap Zaenab, tetapi bagaimana bisa aku menutup jiwaku sendiri untuk melihatnya?! Salahkah aku apabila mengungkapkan rasa kekagumanku terhadap Zaenab? Salahkah aku untuk mencintainya?!”36 Cinta adalah anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT

kepada setiap hamba-Nya. Karena pada dasarnya manusia diciptakan

untuk saling mengenal dan mencintai. Maka menurut Taufiqurrahman

pada penggalan dialog di atas adalah bahwa orang yang menolak

kehadiran cinta sama juga dengan mengkufuri nikmat Allah SWT. Dan

cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang didasari atas kecintaan kepada

Allah SWT.37

23. Cintai Dia dengan Cintamu

“Cintai dia karena Allah, sebab Dia telah meletakkan rasa cinta kepada diri ‘Aisyah terhadapmu…”38

Sub judul ini mengidentifikasikan tentang manifestasi cinta

terhadap Allah. Hati yang dipenuhi oleh cinta kasih adalah cinta kasih

yang murni kepada Allah SWT. inilah tujuan yang dicari oleh para ahli

makrifat, para khurafat, para mistikus, para sufi, atau para penempuh irfan.

Kemurnian cinta dalam hati kepada Allah SWT akan mendatangkan ridlo-

36 Ibid., hlm. 427. 37 Hasil wawancara dengan Taufiqurrahman al-Azizy tanggal 7 Januari 2008 di

Wonosobo. 38 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 459.

61

Nya dalam derajat yang paling tinggi.39 Mencintai makhluk karena Allah

itu merupakan fitrah, karena Allah yang memberikan perasaan kasih dan

sayang kepada setiap hamba-Nya melalui sifat Rahman dan Rahim-Nya.

24. Ziarahi Hatiku

“Marah hanya akan menghilangkan keindahan saja, San—jika kamu mengerti maksudku. Tentunya kamu boleh memiliki keindahan wajah Zaenab, tetapi bukan Zaenab yang berkerudung biru itu, sebab keindahannya hanya dinampakkan kepada diriku saja. Kamu harus mencari keindahan Illahi pada wajah yang lain, bukan wajah Zaenab, sebab jika kamu memilih wajah Zaenab, berarti kamu telah menzalimi hatiku.”40

Secara implisit bagian ini menunjukkan perilaku ma’rifah. Bahwa

keindahan yang sebenarnya akan muncul saat ekstasi kecintaan kepada

Allah memuncak. Menurut Dzunnun al-Mishri dalam Amin Syukur

menjelaskan bahwa ma’rifah adalah anugerah Allah kepada seseorang

yang telah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena

cinta yang suci dan ikhlas itulah akhirnya Tuhan menyingkapkan tabir dari

pandangan hamba-Nya. Dengan terbukanya tabir tersebut, akhirnya ia

dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat

keindahan yang abadi.41

25. Kiai, Ijinkan Aku Menciumnya

“…Saya mencintai Zaenab dengan hati saya. Saya menyentuh Priscillia dengan jiwa saya. Saya meminta ijin untuk mencium Zaenab sebagaimana saya mencium mushaf al-Quran al-karim; sebagaimana para tamu Allah yang mencium ka’bah…”42

Seseorang yang dapat menangkap cahaya ma’rifah dengan mata

hatinya, maka kalbunya akan dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam

39 Muhammad Muhyidin, The True Power of Heart, op.cit., hlm. 232. 40 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 477-478. 41 Amin Syukur, op.cit., hlm. 55. 42 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 509.

62

kepada Tuhan.43 Sehingga apa yang dilakukan semata-mata karena

kecintaannya kepada Allah.

Pada bagian ini Taufiqurrahman memberikan interpretasi bahwa

manusia jangan sampai terjebak dengan simbol-simbol agama saja, karena

pada esensinya ibadah yang dilakukan merupakan sarana mendekatkan diri

kepada Allah SWT.

26. Jemput Mereka Tiga Tahun Lagi

Dulu aku datang kesini untuk belajar agama. Lalu kiai sepuh mengajarkan kesabaran dan keikhlasan pada diriku melalui perintahnya untuk mengambil air. Berlalunya waktu sedikit demi sedikit menunjukkan kepadaku betapa belajar ikhlas dan sabar itu memerlukan hari.

Pesantren ini juga telah mengajariku akan Islam dan perbedaan. Di sini, kemarin, aku bertemu dan terus bersua dengan para sahabat yang baik-baik. Dan aku yakin sampai hari ini pun mereka sesungguhnya memiliki hati yang baik. Bahwa mereka begitu keras dan begitu kasar terhadap diriku, ini semua merupakan bukti kecintaan mereka kepada Islam, agama mereka dan agamaku juga.44

Pada sub judul terakhir ini, Taufiqurrahman melemparkan otokritik

tentang idealisme beragama. Secara tersirat dijelaskan bahwa idealisme

kadang membuahkan kepahitan. Karena idealisme tidak jarang seseorang

harus terbuang, terasing dan tersingkirkan. Termasuk dalam idealisme

beragama, perbedaan pendapat kadang menimbulkan perselisihan dan

membuat seseorang terusir dari tempat tinggalnya. Oleh karena itu

manusia harus memiliki kebesaran hati untuk dapat menerima perbedaan.

Karena dengan perbedaan, manusia dapat menemukan kebenaran yang

hakiki, kebenaran yang tertuju pada laku peribadatan yang kaffah, hanya

kepada Allah SWT.

43 Loc.cit. 44 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 513.

63

BAB IV

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM

DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk

dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis ini karya

sastra diuraikan sesuai dengan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian,

makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa

karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. Disamping itu, sebuah

struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila

diketahui unsur-unsur pembentuknya dan hubungan antara keseluruhannya.1

Teks sastra dari sudut pandang teori komunikasi, mempunyai tiga lapisan

komunikasi yang dapat dikenali, yaitu; berkenaan dengan hubungan komunikasi

antara pengarang, teks, dan pembaca; adanya komunikasi antara narator dan

pembaca implisit (implied reader, menunjuk pada peran pembaca dalam teks);

dan hubungan komunikasi timbal balik antar-pelaku dalam teks. Dalam konteks

ini teks sastra dilihat sebagai suatu pesan yang dicerna (decoded) oleh pembaca

(Receiver) dan dikirim (encoded) oleh pengirim (sender).

Begitu juga dalam dunia pendidikan, ada tiga komponen utama yang harus

ada agar proses pendidikan itu bisa berjalan, yaitu pendidik, materi, dan anak

didik. Ketiga komponen ini merupakan syarat utama agar bisa disebut sebagai

‘kegiatan mendidik’. Ketiga komponen ini secara substansinya sama dengan

ketiga komponen yang ada pada teori komunikasi dalam konteks sastra, dimana

pengarang diposisikan sebagai pendidik, teks sastra sebagai materinya dan

pembaca sebagai yang terdidik. Jadi melalui karya sastra seorang pengarang bisa

mendidik pembacanya agar memahami pesan yang disampaikan melalui teks

sastra.

Hubungannya dengan pendidikan Islam, Zaid Akhtar mengatakan bahwa

meskipun penulis muslim memiliki latar belakang pendidikan dan sosial yang

1 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metodik Kritik, dan Penerapannya,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 108.

64

berbeda tetapi mereka tetap mempunyai bertanggungjawab dalam pembentukan

keperibadian dan pembangunan rohani pembaca.2 Melalui karya sastra penulis

harus bisa mendidik pembaca untuk lebih dewasa dalam berfikir dan

menghadirkan pengalaman rohani yang dapat memperkuat keimanan pembaca.

Pendidikan dalam arti luas adalah pengembangan pribadi dalam semua

aspeknya,3 dengan penjelasan dari Ahmad tafsir bahwa yang dimaksud dengan

pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,

pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Termasuk

bimbingan oleh kebudayaan dimana seni atau karya sastra ada di dalamnya.

Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.4 Hal ini sesuai dengan yang

disampaikan Muhamad Athijah Al-Abrasy bahwa metode pendidikan dapat

dilakukan secara langsung dengan menggunakan petunjuk, tuntunan, nasehat,

dimana hal itu bisa mendorong orang untuk berbudi pekerti tinggi dan

menghindari hal-hal tercela dan dapat pula secara tidak langsung, atau dengan

menggunakan media-media seperti karya sastra atau seni.5

Oleh karena itu buku-buku atau novel-novel religi bernuansa Islami yang

memiliki misi edukatif dapat dijadikan sebagai media dalam pendidikan. Salah

satu novel religi yang membangkitkan ghiroh penulis untuk meneliti kandungan

nilai-nilai pendidikan Islam, adalah novel “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman

al-Azizy. Dari pengkajian secara seksama, ada beberapa nilai pendidikan Islam

yang penulis temukan dalam novel ini. Secara general penulis membaginya dalam

tiga bagian yaitu nilai pendidikan aqidah, syariah dan akhlak.

A. Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah

Nilai pendidikan aqidah dalam novel Syahdat Cinta secara visual dapat

dilihat dalam cover buku yang menyebut novel ini sebagai novel spiritual

pembangun iman. Konsep keimanan yang terdapat dalam novel ini

2 Zaid Akhtar, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-

create.g?blogID. 18 Mei 2006. 3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 1994), Cet.II, hlm. 25. 4 Ibid., hlm. 25. 5 Muhammad Athijah Al-Abrasiy, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. Gani,

“Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 111-112.

65

diaplikasikan dalam bentuk keyakinan akan kuasa Allah, akan sifat Rahman

dan Rahim-Nya, yang dalam kacamata pengarang dimanifestasikan dalam

kecintaan terhadap makhluk-Nya dan keteguhan dalam memegang aqidah

Islam.

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Manusia

memiliki keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Secara

terminologi aqidah adalah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab,

Para Rosul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruk,

itu semua disebut rukun Iman. Syariat Islam terdiri dua pangkal utama,

pertama, Aqidah, yang letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-

cara perbuatan (ibadah), dan bagian ini disebut sebagai pokok atau azaz.

Kedua, perbuatan (muamalah), yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat,

puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Perbuatan

baik atau buruk, diterima atau tidaknya suatu ibadah bergantung kepada unsur

yang pertama, yaitu keteguhan mempertahankan aqidahnya.

Nilai pendidikan akidah ini termasuk nilai Ilahiyah. Pada Bab II sudah

dijelaskan bahwa nilai Ilahiyah ada dua yaitu nilai ubudiyah dan nilai

muamalah. Secara spesifik nilai ubudiyah dalam novel ini ada dua yaitu ajaran

untuk selalu beriman kepada Allah dan beriman kepada kitabullah (al-Quran).

Sedangkan nilai muamalahnya adalah ajaran untuk bersikap sabar.

1. Nilai Ubudiyah

a. Ajaran untuk Selalu Beriman Kepada Allah.

Iman menurut pengertian bahasa Arab adalah attashdiqu bil

qalbi, membenarkan dengan (dalam) hati. Sedangkan iman menurut

syara’ adalah mengucapkan dengan lisan membenarkan dengan hati

dan mengerjakan dengan anggota tubuh. Dan menurut batasan syara’

ialah memadukan ucapan dengan pengakuan hati dan prilaku.6

Iman yang hakiki adalah iman yang tumbuh karena kesadaran

atas dasar pengetahuan. Dan iman dalam kategori ini adalah iman yang

6 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra) hlm.17.

66

teguh karena terhujam jauh ke dalam lubuk hati, dan iman yang di

tuntut harus di miliki ialah yang hakiki.

Dalam novel Syahadat Cinta ini Taufiqurrahman menjelaskan

tentang hakekat iman yang sebenarnya, yang dilandasi atas pencarian

kebenaran yaitu Islam.

“Sebelum syahadah ini kita lakukan, sebelum ukhtina Priscillia berbaiat terhadap Islam, saya ingin bertanya kepada ukhti, apakah ukhti memilih Islam karena keterpaksaan, karena desakan, karena ketakutan, atau karena kesadaran?”

“Perjalanan sayalah yang menyebabkan saya memilih Islam. Saya mengetahui, saya memahami dan saya sadar untuk memilih Islam.”7

Tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam, manusia

memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak Islam. Karena

sesungguhnya orang yang mendapatkan hidayah Allah akan dapat

melihat kebenaran Islam. Menurut Taufiqurrahman iman itu harus

dicari. Sebelum seseorang masuk Islam, dia harus terlebih dahulu

mempelajari tentang Islam, memahami ajaran Islam dan menyadari

konsekuensi yang harus diterima karena keislamannya itu, diantaranya

adalah menjalankan syariat Islam dengan benar. Firman Allah SWT

dalam surat al-Baqarah ayat 256.

Iω oν#tø. Î) ’Îû È⎦⎪ Ïe$! $# ( ‰s% t⎦ ¨⎫ t6? ߉ô©”9$# z⎯ ÏΒ Äc© xö ø9$# 4 ⎯yϑ sù öà õ3 tƒ ÏNθäó≈©Ü9$$ Î/

-∅ ÏΒ÷σ ãƒuρ «!$$ Î/ ωs) sù y7 |¡ ôϑ tGó™ $# Íο uρ óãèø9$$ Î/ 4’s+øO âθø9$# Ÿω tΠ$|Á ÏΡ $# $ oλ m; 3 ª! $#uρ

ìì‹ Ïÿ xœ îΛ⎧ Î=tæ . ) 256: البقرة( Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus, dan

7 Taufiqurrahman al-Azizy, Syahadat Cinta., (Yogyakarta: Diva Press, 1997), Cet. VIII,

hlm. 340.

67

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)8

Seseorang yang ingin memasuki Islam harus dibait terlebih

dahulu dengan dua kalimat syahadat. Syahadat (syahadatain) berasal

dari kata “syahida” yang berarti syahadatain kemudian dinisbatkan

pada satu momen di mana individu mengucapkan dua kalimat

syahadat. Kalimat syahadat ini terdiri atas dua kesaksian. Kesaksian

yang pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain

Allah, sedang kesaksian yang kedua berkaitan dengan kepercayaan

bahwa Muhammad adalah utusan Allah.9

Mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan persyaratan

formal untuk memasuki agama Allah. Taufiqurahman menjelaskan hal

ini dengan jelas di dalam novelnya.

“Baiklah ikhwan wa akhwat rakhimakumullah. Pada hari ini, dengan seijin Allah SWT, kita ummat Islam di dunia akan memiliki saudara yang baru. Allah menjadi saksi atas peristiwa agung dan insyaallah penuh berkah ini. Marilah ukhti mengikuti saya untuk membaca kalimat syahadah tiga kali, dimulai dengan membaca basmalah. Tirukan saya. Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.”

“Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.” “Asyhadu an laa ilaa ha illallah” “Asyhadu an laa ilaa ha illallah” “Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…” “Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah…” Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku

bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah…10

b. Ajaran untuk Beriman Kepada Kitab Allah (al-Qur'an)

Salah satu rukun iman adalah iman kepada kitab-kitab Allah,

dan sebagai umat Muhammad kita diwajibkan untuk mengikuti al-

Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi.

8 Departemen Pendidikan RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 63.

9 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 250-251.

10 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 341.

68

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabiullah Muhammad

Saw. berupa perintah tegas, dengan mengandung muatan tugas yang

wajib untuk ditunaikan oleh setiap pribadi muslim, yaitu Iqra

(bacalah). Perintah pertama yang disampaikan Allah Swt. melalui

Malaikat Jibril kepada Nabi sangat universal dan tidak terikat oleh

batasan-batasan apapun yang bertujuan untuk mempersiapkan

cakrawala keilmuan dan rasionalitas seorang muslim dalam memahami

kebenaran wahyu dan menguak pintu hidayah.11

Setiap muslim dianjurkan untuk mempelajari al-Quran dan

mengkaji ayat-ayatnya, karena seluruh ajaran Islam bersumber dari al-

Quran dan al-Hadits. Dengan mempelajari dan memahami ayat al-

Quran, ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dan

langkah awal untuk bisa memahami ayat al-Quran adalah belajar

membaca huruf-huruf hijaiyah.

Melalui tokoh-tokoh dalam novel Syahadat Cinta,

Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa tidak ada batasan untuk

belajar agama (al-Quran), baik tua ataupun muda diwajibkan untuk

mempelajari al-Quran, dan usia bukan faktor penghambat untuk

belajar. Orang yang belum bisa membaca al-Quran bisa belajar kepada

orang yang lebih tahu, yang memiliki kompetensi di bidang ilmu al-

Quran.

Demikianlah, satu per satu aku baca dan aku hafalkan huruf-huruf hijaaiyah. Dan Allahu akbar, aku tidak mengalami kesulitan untuk menirukan Irsyad mengeja huruf-huruf ini. Bahkan, saat ini juga, aku telah hafal seluruh huruf hijaiyah yang berjumlah 30 buah itu [apabila huruf hamzah dan lam alif dimasukkan], Irsyad mengujiku: dia memintaku membaca huruf-huruf ini dari berbagai arah. Dari awal, dari belakang, dari tengah, dari ra, dari wau, dari mim, dari mana saja. Dan aku tetap bisa menyebut huruf-huruf yang dimintanya untuk aku baca tanpa kesalahan.

"Hebat, kak...!" seru lrsyad. "Aku tidak menyangka kak Iqbal sehebat ini. Aku tidak mengerti kenapa sekali mendengar,

11 Iip Wijayanto, Menuju Revolusi yang Qur’ani, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.

2.

69

menirukan, mengulangi sekali lagi, lalu kak Iqbal telah hafal semuanya? Banyak teman-temanku yang mengaji huruf-huruf al-Qur'an, tetapi susahnya minta ampun. Tetapi kakak?"

"Alhamdulillah, ini adalah berkah dari Allah SWT kepadaku. Aku yakin, apabila kita berniat sungguh-sungguh dengan kebaikan yang ingin kita lakukan, Allah akan mempermudah jalan bagi kita...."12

Dengan kesungguhan hati setiap orang bisa mempelajari al-

Quran dengan cepat. Niat yang tulus dan ikhlas akan dapat membantu

mempercepat proses pembelajaran tersebut. Karena follow up dari

mempelajari al-Quran adalah mengkaji ayat-ayat al-Quran untuk

diaplikasikan dalam kehidupan. Karena dengan mengkaji al-Quran,

manusia akan menemukan kepribadian yang saleh, firman Allah Swt.

surat al-Isra’ ayat 9

¨β Î) # x‹≈yδ tβ#u™öà) ø9$# “ ωöκ u‰ ©ÉL ¯= Ï9 š†Ïφ ãΠuθø% r& çÅe³ u; ãƒuρ t⎦⎫ ÏΖÏΒ ÷σ ßϑ ø9$# t⎦⎪ Ï% ©! $# tβθ è= yϑ ÷ètƒ

ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# ¨β r& öΝ çλm; # \ô_r& # ZÎ6x. )9:االسراء(

Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (QS. Al-Isra’: 9)13

2. Nilai Muamalah (Ajaran untuk Bersikap Sabar dan Ikhlas)

Nilai muamalah yang penulis identifikasi dalam novel Syahadat

Cinta terdapat dalam sub judul “Jemput Mereka Tiga Tahun Lagi”, yaitu

ajaran untuk bersikap sabar dan ikhlas.

Sebagian ulama membagi kesabaran dalam tiga hal: sabar atas

menjalankan perintah dan ketaatan, sabar dalam larangan untuk

meninggalkannya dan tidak terjatuh di dalamnya, dan sabar atas qadha dan

qadar dengan tidak menyesalinya.14

12 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 193. 13 Depag RI, op.cit., hlm. 425. 14 Abdul Hamid Jasim al Bilaly, Rambu-Rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabawiyah, (Solo:

Citra Islami Press, 1996), Cet. II, hlm. 37.

70

Dalam novelnya tersebut Taufiqurrahman ingin mengungkapkan

bahwa belajar sabar itu tidak mudah, banyak cobaan dan godaan yang

selalu hadir menguji kesabaran seseorang.

Dulu aku datang kesini untuk belajar agama. Lalu kiai sepuh mengajarkan kesabaran dan keikhlasan pada diriku melalui perintahnya untuk mengambil air. Berlalunya waktu sedikit demi sedikit menunjukkan kepadaku betapa belajar ikhlas dan sabar itu memerlukan hari.15

Dari penggalan paragraf di atas dapat diketahui bahwa keikhlasan

dan kesabaran itu sulit dicapai dalam setiap laku kehidupan manusia.

Karena ikhlas dan sabar harus didasarkan pada pencarian ridlo Allah

semata. Taufiqurrahman mengungkapkan bahwa ‘perlu hari’ untuk bisa

bersikap ikhlas dan sabar, maksudnya kesabaran dan keikhlasan itu harus

dipupuk sedikit demi sedikit, karena konsekuensinya adalah pengorbanan

yang tidak sedikit, dan butuh waktu untuk bisa melepaskan apa-apa yang

kita cintai. Seseorang harus berani berkorban untuk bisa mencapai

kesabaran dan keikhlasan yang hakiki, serta ketaatan terhadap perintah

Allah SWT.

Setiap muslim harus bersabar atas ketaatannya, karena jiwa itu

bertabiat bosan, dan kesabaran tidak akan terwujud jika manusia tidak

sering merenungi tujuan dirinya diciptakan, yaitu beribadah. Kita

merenungi akibat akhir dari kesabaran dalam taat. Allah telah berfirman

dalam al-Quran surat ar-Ra’du ayat 23-24:

… èπ s3Í× ¯≈n= yϑ ø9$#uρ tβθ è= äz ô‰tƒ Ν Íκ ön=tã ⎯ÏiΒ Èe≅ ä. 5>$ t/ . íΝ≈n= y™ /ä3 ø‹ n= tæ $ yϑ Î/ ÷Λän ÷y9 |¹ 4 zΝ ÷èÏΨsù

© t<ø) ãã Í‘# ¤$! )24- 23: الرعد ( #$

…sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan): "keselamatan atasmu berkat kesabaranmu ". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra’du:23-24)16

15 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 513. 16 Depag RI, op.cit., hlm. 372.

71

B. Nilai-Nilai Pendidikan Syari’ah

Novel Syahdat Cinta ini mengambil setting Pondok Pesantren yang

disebutkan sebagai pondok pesantren salaf, yang secara historis memiliki

kedudukan sebagai basis pendidikan agama. Sehingga penanaman nilai-nilai

syariat sangat ditekankan disini. Meskipun secara hierarkis pendidikan di

pondok pesantren bercorak sentralistik, yaitu berpusat pada otoritas seorang

kyai, namun dalam aplikasinya santri bisa belajar agama dari teman sendiri.

Begitu juga yang digambarkan oleh Taufiqurrahman dalam novel ini,

santri yang belum memiliki basic agama bisa belajar terlebih dahulu dari

senior-seniornya yang sudah lama mondok. Hal ini dimaksudkan agar santri

tersebut tidak tertinggal jauh dengan teman-temannya yang lain.

Dalam kaitannya dengan pendidikan syariah, seperti yang penulis

paparkan pada Bab II bahwa ulama membagi syariah ke dalam dua bagian

yaitu segi ibadah (ubudiyah) dan segi muamalah. Pada novel ini penulis hanya

mengidentifikasi nilai pendidikan syariah dalam segi ubudiyah, yaitu tentang

shalat dan thaharah.

1. Ajaran Tentang Shalat

Keimanan individu pada sesuatu yang gaib atau kepada Tuhan

membawa konsekuensi penghambaan, penyerahan dan ketundukan yang

ketiganya dirangkai dalam satu kegiatan yang disebut dengan ibadah

(ritual prayer). Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan

hakiki, sebab penciptaan manusia didesain untuk beribadah kepada

Tuhannya. Ibadah dalam Islam banyak jenisnya, tetapi ibadah yang

merepresentasikan seluruh kepribadian manusia adalah shalat, karena ia

yang membedakan hamba yang muslim dan yang kafir.17

Ajaran agama Islam yang harus dipelajari setelah seseorang

mengucapkan kalimat syahadat adalah ibadah sholat. Karena bukti dari

keimanan tersebut harus diaplikasikan dengan laku ibadah sholat. Dalam

sholat ini setiap muslim berinteraksi dengan Allah SWT, dan melalui

sholat pendakian spiritual dapat mencapai puncaknya.

17 Abdul Mujib, op.cit., hlm. 256.

72

Dalam novel Syahadat Cinta secara jelas digambarkan tentang

proses pembelajaran seseorang yang ingin mempelajari agama Islam.

Belajar agama bisa dengan siapapun, meskipun ia teman sendiri, asalkan

memiliki pemahaman agama yang matang.

“Kalau shalat gimana?” “Shalat dzuhur ada berapa rekaat?” tanya Amin. “Apa itu rekaat?” tanyaku. Kang Rusli yang menjawab, “Rekaat itu bilangan atau jumlah

masing-masing shalat. Shalat itu terdiri dari berdiri, lalu rukuk, berdiri kembali, sujud, duduk di antara dua sujud, kemudian sujud kembali. Ini dihitung satu rekaat.”

“Apa itu rukuk sujud?” Dawam mencontohkannya. Aku memperhatikannya. Lalu, aku

mencoba meniru gerakan-gerakan shalat yang diperagakan Dawam. Lalu, aku bertanya, apakah gerakanku sudah benar. Para sahabat ini menganggukkan kepala.

“Lho kok mudah ya?” tanyaku kegirangan dan dijawab oleh para sahabat dengan senyuman.

“Jangan lupa, akhî, setiap gerakan shalat itu ada bacaannya. Sejak dari niat, kemudian membaca takbiratul ihram, lalu membaca doa iftitah, al-fatikhah diikuti dengan membaca salah satu surah pendek atau ayat dalam al-Quran. Lalu membaca takbiratul ihram lagi, kemudian dalam rukuk membaca doa, berdiri dan membaca doa lagi; kemudian sujud sambil membaca doa, duduk di antara dua sujud membaca doa, sujud lagi membaca doa lagi. Pada saat berdiri untuk rekaat kedua membaca seperti pada rekaat yang pertama, kecuali doa iftitah…”18

Penggalan dialog di atas memberikan gambaran tentang pendidikan

shalat yang dilakukan secara individual. Pada prinsipnya mempelajari

agama harus dimulai dari yang mudah dulu, dan Islam memberi

kemudahan bagi umatnya dalam mempelajari ajaran-ajarannya. Jika

seseorang belum dapat membaca bacaan shalat dengan bahasa Arab, maka

diperbolehkan terlebih dahulu membaca niat shalat dengan menggunakan

bahasa Indonesia yang dilafalkan dalam hati. Untuk bacaan-bacaan shalat

yang lain dapat dipelajari secara bertahap. Perhatikan dialog berikut:

18 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 57-58.

73

“Yang penting, antum niat shalat itu dulu. Seperti hanya wudlu, antum niatkan dalam hati: aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadas kecil, wajib karena Allah. Shalat pun demikian: Aku berniat shalat fardlu dzuhur—atau ashar, maghrib, isya’ atau subuh—empat rekaat—sesuai dengan bilangan rekaat masing-masing shalat—menghadap kiblat karena Allah SWT. Ini saja sudah cukup, kalau memang antum belum hafal semua bacaan shalat…”19

Niat merupakan syarat utama dalam mengerjakan sesuatu ibadah,

dan dari niat juga dapat diketahui ketulusan seseorang dalam menjalan

perintah Allah. Shalat merupakan salah satu sarana untuk mengingat

Allah, karena didalamnya merupakan doa-doa yang dipanjatkan kepada

Allah SWT. Perintah untuk melaksanakan shalat ini salah satunya tercover

dalam al-Quran surat Thaha ayat 14.

û©Í_ ¯Ρ Î) $ tΡ r& ª! $# Iω tµ≈s9Î) HωÎ) O$tΡ r& ’ÎΤ ô‰ç6ôã$$ sù ÉΟ Ï% r& uρ nο 4θn=¢Á9$# ü“ Ìò2 Ï% Î! ) 14:طه(

Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha: 14)20

2. Ajaran tentang Thaharah

Untuk mencapai kedekatan kepada Allah SWT, setiap orang harus

dalam keadaan suci, baik lahir maupun batin. Laku batin dibarengi dengan

niat yang tulus ikhlas karena Allah SWT, sedangkan laku batin

teraktualisasi dengan kesucian jasmani dan menghilangkan hadas dalam

dirinya. Salah satunya dengan thaharah.

Bersuci merupakan salah satu syarat utama sebelum kita

mengerjakan suatu ibadah. Dan diantara macam-macam thaharah adalah

wudlu. Wudlu adalah syarat sahnya shalat. Shalat yang tidak didahului

dengan wudlu adalah shalat yang batil. Tetapi, wudlu itu sendiri

merupakan ibadah. Sebagian ulama menyebutnya sebagai alat dan tujuan.

19 Ibid, hlm. 59. 20 Depag RI, op.cit., hlm. 477.

74

Wudlu adalah “alat” atau lebih tepatnya “syarat” menjalankan shalat. Di

sisi lain, wudlu juga merupakan ibadah.21

Oleh karena itu setiap muslim harus mengetahui cara berwudlu

dengan benar, jika wudlunya tidak sempurna, maka shalatnya pun juga

tidak syah. Orang yang belum bisa berwudlu harus belajar wudlu terlebih

dahulu sebelum dia mempelajari ibadah yang lain. Hal ini dijelaskan

secara ringkas oleh Taufiqurrahman dalam novelnya:

Lalu, Kang Rakhmat meminta Amin untuk mengajarkan cara berwudlu kepadaku. Aku meminta sekalian praktik di tempat wudlu sana, tetapi Amin berkata di sini saja. Praktiknya di sini saja, tidak harus di sana. Yang penting aku tahu caranya. Ambil air wudlu, lalu basuh muka, tangan sampai ke siku, lalu usap rambut sedikit, lalu telinga, lalu kedua kaki sampai di atas mata kaki. Semuanya dibasuh atau diusap sebanyak tiga kali.22

C. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak

Term terbesar kaitannya dengan pendidikan Islam dalam novel ini

adalah nilai-nilai pendidikan akhlak. Namun penulis hanya mengambil

beberapa bagian saja, yang diilustarikan secara jelas dalam novel ini. Sudah

sewajarnya jika pendidikan akhlak mengambil porsi yang lebih besar

ketimbang yang lain, karena aplikasi pendidikan akhlak ini berkaitan dengan

aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga tidur

lagi.

Akhlak adalah keadaan rohaniah yang tercermin dalam tingkah laku,

atau dengan kata lain yaitu sikap lahir yang merupakan perwujudan dari sikap

batin. Baik sikap tersebut diarahkan terhadap sang khaliq, terhadap manusia,

maupun terhadap lingkungan. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang penulis

temukan dalam novel ini diantaranya adalah etika berbicara yang baik-baik,

ajaran untuk saling memaafkan, hubungan antara laki-laki dan perempuan,

serta ajaran untuk saling tolong menolong.

21 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, (Yogyakarta: Diva Press, 2008),

hlm. 268. 22 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 56-57.

75

Nilai pendidikan akhlak disini lebih mengarah pada nilai insaniyah.

Ada dua macam nilai insaniyah yaitu:

1. Nilai Etika

a. Etika Berbicara yang Baik-Baik

Secara eksplisit dapat diketahui bahwa di dalam novel ini

terkandung pesan-pesan edukatif yang ingin disampaikan pengarang

melalui dialog antar tokoh. Salah satu nilai pendidikan akhlak yang

terkandung didalamnya adalah etika untuk berbicara yang baik-baik.

Nilai pendidikan akhlak ini dapat dilihat saat dialog antara

Iqbal dan Ihsan, ketika Iqbal melakukan kesalahan karena telah

mencaci maki Aisyah putri Kyai dari pondok pesantren dimana mereka

belajar.

“Tetapi, menurutku nich, Kang—kang Iqbal jangan marah, kamu mempunyai beberapa ketidakbenaran…”

“Maksudmu kesalahan gitu…?” “Maksudku ketidakbenaran. Aku lebih suka mengatakan

demikian. Pertama, kang Iqbal merasa jengkel dengan kyai. Jengkel itu sendiri merupakan penyakit, Kang. Penyakit yang menggerogoti hati kang Iqbal. Kedua, kejengkelan tersebut kamu tujukan kepada kyai kita, padahal kyai kita tidak jengkel kepadamu. Ketiga, kejengkelan itu kamu lampiaskan kepada orang yang salah, walaupun dia juga bersalah kepadamu. Keempat, dan ini yang paling parah, kang Iqbal mencaci maki neng Aisyah. Demi Allah kang Dia telah berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui…” 23

Dari dialog tersebut dapat diketahui ajaran tentang akhlak

kepada sesama dan etika berbicara yang baik-baik, serta bersikap sabar

terhadap segala keburukan yang ditimbulkan oleh orang lain.

Kemarahan merupakan penyakit hati yang menggeroti hati manusia.

Oleh karena itu setiap muslim dianjurkan untuk menahan amarah dan

bersikap sabar. Sehingga tidak muncul ucapan-ucapan yang

23 Ibid., hlm. 96-97.

76

menyakitkan hati. Allah berfirman dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat

148:

ω =Ït ä† ª! $# tôγ yfø9$# Ï™þθ¡9$$ Î/ z⎯ÏΒ ÉΑöθs) ø9$# ωÎ) ⎯ tΒ zΟ Î=àß 4 tβ%x. uρ ª! $# $ ·è‹ Ïÿ xœ

$ϑŠ Î=tã ) 148: النساء(

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa’: 148).24

b. Etika tentang Hubungan Laki-Laki dan Perempuan (Khalwat)

Dalam novel Syahadat Cinta ini terdapat beberapa perbedaan

pemikiran tentang memahami suatu masalah dalam Islam. Salah satu

masalah yang menjadi perdebatan dalam novel ini adalah tentang

hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat). Meskipun ada

perbedaan pandangan dalam memahami makna khalwat, namun

Taufiqurrahman ingin menjelaskan bahwa Islam mengatur hubungan

antara laki-laki dan perempuan secara jelas. Bahwa khalwat dengan

perempuan yang bukan muhrimnya dilarang oleh agama, tetapi

khalwat yang bagaimana yang tidak diperbolehkan? Itu yang menjadi

perdebatan dalam novel ini.

Menurut Taufiqurrahman khalwat yang tidak diperbolehkan

adalah khalwat yang dilandasi dengan hawa nafsu. Karena ini yang

menjadi illat adanya hukum khalwat.

“…bahwa aku tidak menerima perkataan yang mengatakan aku telah berkhalwat dengannya? Bahwa khalwat bagiku adalah berdua-duaan di tempat sepi dimana nafsu syahwat yang menjadi landasannya, sedangkan antara aku dan ‘Aisyah tidak ada syahwat seperti itu?!”25

24 Depag RI, op.cit., hlm. 147. 25 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 455.

77

Ada tiga kekuatan syahwat (nafsu) di mana banyak orang telah

menjadi pelayanannya, yakni syahwat terhadap harta benda, syahwat

terhadap lawan jenis, dan syahwat terhadap kedudukan dan kekuasaan.

Pengaruh syahwat ini dapat dilihat dalam perilaku, sikap dan gerak

gerik dalam kehidupan manusia.26

Dan syahwat yang menjadi bahasan dalam novel ini adalah

syahwat terhadap lawan jenis. Menurut Tufiqurrahman kebanyakan

manusia dikendalikan oleh nafsunya, dan bukan manusia yang

mengendalikan hawa nafsunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan

untuk tidak menuruti hawa nafsunya, karena menuruti hawa nafsu itu

laksana meminum air laut, semakin banyak diminum maka semakin

haus. Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Qashash ayat 50:

… ô⎯ tΒuρ ‘≅|Ê r& Ç⎯ £ϑÏΒ yì t7 ©? $# çµ1uθyδ ÎötóÎ/ “W‰èδ š∅ÏiΒ «! $# 4 χ Î) ©! $# Ÿω “ ωöκ u‰ tΠöθ s) ø9$# t⎦⎫ Ïϑ Î=≈©à9$# ) 50: القصص(

…Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashash:50)27

2. Nilai Sosial

a. Ajaran Untuk Saling Memaafkan

Tendensi dari pemberian maaf adalah harapan hidayah. Dengan

maksud supaya orang yang berbuat salah dapat memperbaiki

kesalahannya dan mendapat hidayah dari Allah untuk kemudian mau

mendalami ajaran Islam secara kaffah.

Memang tidak mudah untuk memberikan maaf kepada orang

yang pernah berbuat salah pada diri kita. Dalam novel Syahadat Cinta

ini Taufiqurrahman memberikan interpretasi terhadap hubungan antar

26 Muhammad Muhyidin, Orang Kota Mencari Allah, op.cit., hlm. 101. 27 Depag RI, op.cit., hlm. 618.

78

sesama manusia, bahwa jadi orang itu harus bisa legowo menerima

kesalahan orang lain dan dapat memaafkan kesalahan itu.

“Apa dia memberi maaf?” “Tidak. Dia terlalu angkuh untuk memaafkan aku. Kang,

bagaimana hukumnya orang yang tidak mau memberi maaf?” “Aduh, bagaimana hukumnya ya? Yang aku tahu, Allah

telah berfirman: perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Dia juga berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf…”28

Salah satu yang mendasari ajaran untuk memberi maaf adalah

surat al-Baqarah ayat 263 dan surat asy-Syuura ayat 37 di atas, yang

oleh Taufiqurrahman dijadikan sebagai hujjah dan dimasukkan dalam

dialog novel tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam

menganjurkan umatnya untuk bisa memaafkan orang lain dengan

berdasar dalil al-Quran tersebut.

×Αöθ s% Ô∃ρã÷èΒ îο tÏ øótΒuρ ×ö yz ⎯ÏiΒ 7π s% y‰|¹ !$yγ ãèt7 ÷Ktƒ “]Œr& 3 ª! $#uρ ;© Í_ xî ÒΟŠ Î=ym

)263: البقرة(

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah: 263)29

Dalam surat yang lain Allah SWT juga berfirman:

t⎦⎪ Ï% ©! $#uρ tβθç7 Ï⊥tGøg s† u È∝≈t6x. ÄΝ øOM} $# |·Ïm≡uθ x ø9$#uρ #sŒÎ)uρ $tΒ (#θç6ÅÒxî öΝ èδ tβρ ãÏ øótƒ

)37: السراء (

28 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 371-372. 29 Depag RI, op.cit., hlm. 66

79

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (QS. Asy-Syuura: 37)30

b. Ajaran untuk Saling Tolong Menolong dan Bersedekah

Sebagai sesama makhluk Allah, setiap manusia diharuskan

untuk saling membantu satu sama lain. Sekalipun status dan strata

sosialnya berbeda, masing-masing individu pada prinsipnya saling

membutuhkan. Yang kaya membantu yang miskin dengan hartanya

dan yang miskin membantu si kaya dengan tenaganya.

Pada dasarnya harta yang diterima manusia merupakan titipan

dari Tuhan, yang di dalamnya terdapat hak-hak orang lain. Oleh karena

itu orang yang diberi kelebihan rezeki harus mensedekahkan sebagian

hartanya bagi orang yang tidak mampu. Taufiqurrahman memberikan

gambaran yang jelas melalui novelnya tentang anjuran untuk saling

tolong menolong dan bersedekah.

Timbul niatku untuk menyeberang jalan, mendekati ibu dan balitanya itu, dan memberikan shadaqah uang yang aku miliki. Aku pun bangkit, menunggu nyala lampu merah, lalu melintas. Kurogoh saku celanaku. Kudapatkan uang lima ribu. Kuberikan uang itu kepada si ibu. 31

Akhlak yang baik adalah yang timbul dari dalam hatinya, tanpa

didasari tendensi apa-apa, seseorang ingin membantu karena itu

panggilan dalam hati. Tidak ada rasa sesal ataupun takut kalau-kalau

harta yang dikeluarkan akan membuatnya miskin. Dengan bersedekah

seseorang akan memiliki rasa empati terhadap penderitaan orang lain,

merasakan betapa resahnya orang yang tidak memiliki uang ketika

membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya orang yang hidup

termarjinalkan. Hal ini juga direfleksikan pada halaman yang lain dari

novel ini.

30 Ibid, hlm. 789. 31 Taufiqurrahman al-Azizy, op.cit., hlm. 144-145.

80

Segera ku buka dompetku. Kuambil uang dua juta, dan kusegera persiapkan untuk memberikannya kepada bu Jamilah. Ilahi, semoga apa yang aku lakukan ini bisa meringankan beban hidup bu Jamilah, dan semoga Engkau mencatatnya sebagai amal untuk meringankan dosa dan kesalahanku.32

Secara eksplisit Taufiqurrahman ingin mengajak pembacanya,

agar memiliki sikap dermawan, lapang dada dan ikhlas memberikan

hartanya untuk meringankan beban hidup orang lain yang

membutuhkan. Dengan bersedekah orang akan memiliki landasan

iman yang kuat, karena menganggap harta hanyalah sarana untuk

mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Hal ini sesuai dengan firman

Allah SWT dalam surat al-Bayyinah ayat 5 yang menyebutkan :

!$ tΒuρ (# ÿρâ É∆é& ωÎ) (#ρ ߉ç6÷èu‹ Ï9 ©! $# t⎦⎫ÅÁÎ= øƒ èΧ ã& s! t⎦⎪ Ïe$! $# u™!$x uΖ ãm (#θßϑ‹ É) ãƒuρ nο 4θn=¢Á9$#

(#θè? ÷σ ãƒuρ nο 4θx.“9$# 4 y7Ï9≡sŒuρ ß⎯ƒÏŠ Ïπ yϑÍhŠ s) ø9$# ) 5: البيناه(

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)33

32 Ibid, hlm. 177. 33 Depag RI, op.cit., hlm. 1084.

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengkaji dan menganalisis nilai-nilai pendidikan

Islam dalam novel “Syahadat Cinta” karya Taufiqurrahman al-Azizy maka

dapat penulis simpulkan bahwa :

1. Novel Syahadat Cinta ini merupakan novel religius yang berisi tentang

pencarian cinta dan Tuhan. Di dalamnya termuat pesan-pesan sosial

keagamaan, yang mengarah pada kehidupan ma’rifatullah. Novel ini

terdiri dari 26 episode, secara rinci isi dari masing-masing episode adalah

sebagai berikut:

• Episode 1 berisi tentang penyesalan

• Episode 2 berisi tentang godaan dalam ibadah

• Episode 3 berisi tentang belajar memahami diri sendiri

• Episode 4 berisi tentang anjuran untuk berkata yang baik-baik

• Episode 5 berisi tentang mencari ketenangan diri dengan shalat

• Episode 6 berisi tentang perbedaan beragama

• Episode 7 berisi tentang sikap tolong menolong dan bersedekah

• Episode 8 berisi tentang sikap tolong menolong dan bersedekah

• Episode 9 berisi tentang anjuran mempelajari al-Quran

• Episode 10 berisi tentang melakukan sesuatu karena Allah

• Episode 11 berisi tentang belajar pada kehidupan

• Episode 12 berisi tentang bahaya fitnah

• Episode 13 berisi tentang untuk selalu berserah diri dan memohon

pertolongan kepada Allah

• Episode 14 berisi tentang hidayah dan pertolongan Allah kepada

hamba-Nya

• Episode 15 berisi tentang perpisahan

• Episode 16 berisi tentang keimanan

• Episode 17 berisi tentang persahabatan dan cinta kasih

82

• Episode 18 berisi tentang pemberian maaf

• Episode 19 berisi tentang perasaan hati

• Episode 20 berisi tentang cobaan dalam memeluk agama Islam

• Episode 21 berisi tentang kecintaan manusia terhadap keindahan

• Episode 22 berisi tentang anugerah Allah yang berbentuk “cinta”

• Episode 23 berisi tentang cinta karena Allah

• Episode 24 berisi tentang perilaku ma’rifah

• Episode 25 berisi tentang perilaku ma’rifah

• Episode 26 berisi tentang perbedaan pendapat

2. Sedangkan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam novel

“Syahadat Cinta” secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu

nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah. Nilai-nilai pendidikan tersebut secara

rinci adalah:

a. Nilai Ilahiyah Ubudiyah

• Ajaran untuk selalu beriman kepada Allah SWT, nilai-nilai

pendidikan keimanan ini dapat dilihat pada episode 16 dan 20.

• Ajaran untuk beriman kepada kitab Allah (al-Quran), dapat dilihat

pada episode 9

• Ajaran tentang shalat, pada episode 2 dan 5.

• Ajaran tentang thoharoh, pada episode 2

Nilai Ilahiyah Muamalah

• Ajaran untuk bersikap Sabar dan Ikhlas dapat dilihat pada episode

4 dan 26

b. Nilai Insaniyah

• Ajaran tentang etika berbicara yang baik-baik, pada episode 4

• Ajaran untuk saling memaafkan, pada episode 18

• Ajaran tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan (khalwat),

pada episode 24, 25 dan 26.

• Ajaran untuk saling tolong menolong dan bersedekah, pada episode

7 dan 8.

83

2. Saran-saran

Lembaga pendidikan pada umumnya dan lembaga pendidikan Islam

khususnya, ketika melakukan kegiatannya hendaklah jangan hanya bersifat

transfer of knowledge saja, tetapi lebih menekankan penanaman nila-nilai

terhadap peserta didiknya. Karena dengan nilai yang ia yakini, seseorang akan

bersikap dan melakukan tindakan. Kalau nilai tersebut nilai positif maka

positif pula tindakan yang ia lakukan, tetapi sebaliknya bila negatif nilai yang

ia yakini maka negatif pula sikap dan tindakan yang akan ia realisasikan.

Sumber nilai yang dapat digali dalam kehidupan salah satunya adalah

melalui cerita ataupun novel-novel religius. Karena sifatnya yang estetis,

maka akan lebih mudah dicerna dan diterima anak didik. Oleh karena itu

sudah saatnya guru melakukan inovasi dalam proses pembelajaran dengan

menggunakan novel-novel religius sebagai media pendidikan.

Dengan pesatnya pembangunan dan hebatnya arus modernisasi saat

ini, guru harus bersikap open minded terhadap segala perkembangan,

termasuk segi-segi negatifnya. Guru harus bisa memposisikan diri sebagai

filter terhadap segala macam informasi yang diterima siswa. Salah satu

caranya, dengan mencoba menulis karya-karya yang memiliki nilai edukatif

untuk selanjutnya bisa dikonsumsi siswa, agar siswa bisa belajar mandiri

dengan buku-buku yang berkualitas dan tidak terjebak dengan idealisme yang

menyesatkan. Karena intensitas belajar dengan guru lebih sedikit ketimbang

belajar dengan buku, siswa bisa belajar melalui buku dimana saja dan kapan

saja, tanpa harus menunggu jam tatap muka di kelas.

3. Penutup

Puji syukur kembali penulis panjatkan kehadiran Allah, Tuhan yang

telah menciptakan langit, bumi beserta isinya diperuntukkan bagi

kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia bahwa penulisan skripsi ini

telah selesai.

84

Sebagai penutup penulis sadar bahwa skripsi ini hanya sebuah kajian

Islam yang terkecil dan sederhana dari bahasan Islam yang sangat

komprehensip. Oleh karena itu kritik konstruktif dan saran yang membangun

senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan dimasa yang akan datang.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi

pembaca. Amin.

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Akhtar, Zaid, “Karya Kreatif Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-create.g?blogID. 18 Mei 2006.

Al Bilaly, Abdul Hamid Jasim, Rambu-Rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabawiyah, Solo: Citra Islami Press, 1996, Cet. II.

Al Munawar, Said Agil Hussin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, Cet. II,

Al-Abrasiy, Muhammad Athiya al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bustani A. Terj. Ghani dan Djohar Bahri, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Al-Azizy, Taufiqurrahman, Syahadat Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. XVIII.

Al-Ghulayani, Syekh Mustafa, Idhatun Naasyi’in, Beirut: Maktubah Ahlyah, tth.

An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Terj. Hery Noer Aly, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

__________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

__________, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, Cet.V.

__________, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

Arikunto, Suharsimi, Pendekatan Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta 2002.

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Al Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1982.

Atmosuwito, Subijanto, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, Bandung: CV.. Sinar Baru, 1989.

Daradjat, Zakiah, et.al, Zakiah Daradjat. et. al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet. III,

__________, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1995,

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989.

Dewey, John, Demokrasi and Education, New York: the Macmillan Company, 1964.

Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

El Shirzy, Habiburrahman, Ayat-ayat Cinta, Semarang: Asy-Syifa, 2007.

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Metodologi Pengajaran Agama, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cet. III,

Hasan, M. Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002,

Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I.

Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001, 98.

Jusuf, Jamsuri, dkk., Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam, Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984.

Kaelany HD, Islam dan Aspek – Aspek Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Kartono, Kartini, Pengantar Metode Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Kasmijan, skripsi “Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy”, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006.

Kealan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2000.

Khanif, Achmad Mudhofar, skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Naskah Teater Studi Analisis Naskah Pementasan Teater Beta Periode Tahun 2005 – 2006”, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006.

Komisi Pendidikan KWI/WNPK, Sekolah dan Pendidikan Nilai, Editor Em. K. Kaswardi. Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, Jakarta: Gramedia Widia Sarana, 1993.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT Alma’arif, 1980.

Leaman, Oliver, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar, Bandung: Mizan, 2005,

Luxemburg, Jan Van, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, Jakarta : Gramedia, 1986, Cet.II..

Mangunwijaya, Y. B., Sastra dan Religiusitas, Jakarta: Sinar Harapan, 1982,

Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Serasin, 1996.

Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prismashopie, 2003.

Muhammad Athijah, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. Gani, “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, 111-112.

Muhyidin, Muhammad, Bibir Tersenyum Hati Menangis, Yogyakarta: Diva Press, 2007.

__________, Orang Kota Mencari Allah, Yogyakarta: Diva Press, 2008.

Mujib, Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. V.

Navis A.A., Yang Berjalan Sepanjang Jalan, Jakarta: PT. Grasindo, 1999.

Ngafenan, Muhammad, Kamus Kesusastraan, Semarang: Dahara Prize, 1990.

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998,

Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.

Poerwadarminta, W.J.S. dkk., Kamus Latin – Indonesia, Jakarta: Kanisius, 1969.

__________, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Pradopo, Rachmat Djoko, Beberapa Teori Sastra, Metodik Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995,

Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,

Sahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Paedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, Jakarta; Rineka Cipta, 1997, Cet. I.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III,

Siregar, Marasuddin, “Pengelolaan Belajar” Dalam PBM PAI di Sekolah, Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar, 1998.

Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. IV.

Soewandi, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Su’ud, Abu, Islamologi Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Sudardi, Bani, Sastra Sufistik; Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia, Solo: Tiga Serangkai , 2003,

Suhartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.

Syam, Moh. Noor, Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1983.

Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet.II.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, Cet.II.

Tehrani, Faisal, “Sastra Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post -create.g?blogID 27 April 2006.

Thoha, Chabib dkk. Eds, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

__________, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet.I, 60-61.

Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003,

Vembriarto, St., dkk., Kamus Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1994.

Wasis, Andy, Rasul Sebuah Novel Sejarah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Wijayanto, Iip, Menuju Revolusi yang Qur’ani, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Zakaria, Teuku Ramli, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti, Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994,

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet. II.