nhbgfv
DESCRIPTION
efrcsdaTRANSCRIPT
KEDWIBAHASAAN
1. Pengertian Kedwibahasaan
Kontak bahasa terjadi apabila seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih menggunakan
bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual.
Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan dan peristiwa pemakaian dua bahasa secara
bergantian disebut kedwibahasaan. Kontak bahasa terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi belajar
bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan atau bilingualisasi.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari
istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu
berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Kedwibahasaan sebagai akibat adanya
kontak bahasa berubah-ubah dan merupakan istilah yang bersifat relatif. Berikut ini beberapa definisi
kedwibahasaan menurut beberapa ahli.
a. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya.
Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
b. MacKey (1956:155)
Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan
dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik,
dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis.
c. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
d. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang
penutur.
e. Haugen (1968:10)
Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun
reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Jadi, dari definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan
pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara
bergantian.
2. Ragam Kedwibahasaan
a. Berdasarkan hipotesis ambang
1) Kedwibahasaan subtraktif
Dalam kedwibahasaan subtraktif terlihat bahwa bahasa pertama minoritas digantikan oleh bahasa kedua
mayoritas, prestasi anak cenderung rendah, perkembangan kognitif mengalami defisiensi, jelas adanya
pengurangan (subtraksi).
2) Kedwibahasaan ditif
Dalam kedwibahasaan subtraktif terlihat bahwa bahasa pertama mayoritas digantikan oleh bahasa kedua
minoritas, prestasi anak cenderung tinggi, perkembangan kognitif mengalami efisiensi/ berkesinambungan,
jelas adanya penambahan (adisi).
b. Berdasarkan tahapan usia pemerolehan
1) Kedwibahasaan masa kecil
2) Kedwibahasaan masa kanak-kanak
3) Kedwibahasaan masa remaja
4) Kedwibahasaan masa dewasa
c. Berdasarkan usia belajar B2
1) Kedwibahasaan serentak/awal
Dalam kedwibahasaan serentak/awal ini anak mempelajari B1 dan B2 secara serentak.
2) Kedwibahasaan berurutan/lanjutan
Dalam kedwibahasaan berurutan/lanjutan, mula-mula anak belajar B1 baru kemudian belajar B2.
d. Berdasarkan hakikat tanda dalam kontak bahasa
1) Kedwibahasaan majemuk
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada
kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2
yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-
dendiri.Tingkat ini berangggapan seolah-olah bahasa pertamanya ada dua dan tidak memiliki keraguan
untuk berpindah-pindah. Contoh: di daerah Montreal, Canada memperoleh bahasa Inggris dan Prancis mulai
usia dini.
2) Kedwibahasaa koordinat
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam
dua bahasa. Tingkat ini beranggapan penutur tidak perlu lagi menterjemahkan ke dalam pikiran.
3) Kedwibahasaan suboordinat
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2
atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Tingkat ini menguasai
bahasa pertama dengan baik, namun penguasaan bahasa kedua kurang baik sebab masih harus
diterjemahkannya dulu ke dalam bahasa pertamanya. Contoh: mahasiswa bahasa Inggris yang belum
menguasai bahasa Inggris dengan baik.
e. Berdasarkan tingkat pendidikan pemakainya
1) Kedwibahasaan kaum Site
Dilukiskan sebagai hak istimewa kelas menengah, anggota yang terdidik dari kebanyakan masyarakat.
2) Kedwibahasaan rakyat biasa
f. Berdasarkan keresmian
1) Kedwibahasaan resmi
Adalah penggunaan dua bahasa sebagai bahasa resmi dalam suatu negara. Misalnya di negara Kanada
dipergunakan dua atau lebih bahasa sebagai bahasa resmi.
2) Kedwibahasaan tidak resmi
Adalah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh anggota masyarakat secara tidak resmi, bukan sebagai bahasa
resmi dalam suatu negara.
g. Berdasarkan kesosialan
1) Kedwibahasaan/dwibahasaan individual
2) Kedwibahasaan/dwibahasaan sosial
3. Istilah yang Berkenaan dengan Kedwibahasaan
a. Bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa.
b. Bilingualitas adalah kemampuan menggunakan dua bahasa, tetapi tidak terbiasa menggunakan salah
satunya.
c. Ambilingual adalah kemampuan menggunakan bahasa kedua sama baiknya dengan bahasa pertama.
Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa daerah dan bahasa Indonesia) dapat terjadi karena:
a. dalam Sumpah Pemuda 1928 penggunaan Bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan
dan nasionalisme;
b. bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disampingpembinaan dan pengembangan bahasa
dan kebudayaan Indonesia;
c. perkawinan campur antar suku;
d. perpindahan penduduk dari satu daerah satu ke daerah lain;
e. interaksi antar suku yakni perdagangan;
f. motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi.
4. Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain
(Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses
terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen,
yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap
nonkebahasaan. Sikap kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap
negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh
kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sikap positif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap
atau tingkah laku yang tidak bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku. Sedangkan sikap positif
bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan.
Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok
orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau
kelompok orang itu. Sikap negatif bahasa akan menyebabkan orang acuh tak acuh terhadap pembinaan dan
pelestariaan bahasa. Mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa sendiri sebagai penanda jati diri
bahkan mereka merasa malu memakai bahasa itu. Dalam keadaan demikian orang mudah beralih atau
berpindah bahasa, biasanya dalam satu masyarakat bilingual atau mulitilingual terjadi beralih bahasa kepada
yang lebih bergengsi. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa,
kebanggaan bahasa, kesadaran adanya norma bahasa.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif
dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya
seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal
tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi /
campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa
Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun
mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang. Contonya adalah sebagai berikut.
a. Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
1) Adanya pemakaian akhiran ‘o’
lihato [lihatכ] ‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah
2) Adanya pemakaian akhiran ‘-en’
ambilen [ambIlən], yang baku adalah ambilah
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa
Jawa.
3) Adanya pemakaian akhiran ‘-ke’
biarke [biarke], yang baku adalah biarkan
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan
akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
b. Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai
pelafalan/pengucapan bahasa Inggris. Contoh: fonem t [t] diucapkan c [c]: gicu [gicu]
c. Bahasa Jawa yang keindonesia-indonesiaan. Penggunaan akhiran -lah.
Contoh: wis ta ‘sudahlah’ [wIslah]
Ada dua faktor yang mempengaruhi manusia mersepon objek bahasa. Faktor tersebut adalah faktor internal
dan faktor eksternal.
a. Faktor internal antara lain: kontak dengan bahasa nasional, pendidikan, pekerjaan atau status ekonomi,
emigrasi.
b. Faktor eksternal antara lain: identitas etnik, pemakaian bahasa daerah, ikatan dengan budaya tradisi, daya
budaya tradisional.
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.