neoliberalisasi pertanian-tugas ekonomi politik internasional
TRANSCRIPT
Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang
Ari Wijanarko Adipratomo, A.A.2008231002
Department of International RelationsFaculty of Social and Political Sciences
Institute of Social and Political Sciences / IISIP - Jakarta2009
WAbstrak
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
alaupun beberapa faktor jangka pendek dan faktor alam ikut berkontribusi terhadap krisis pangan
di negara-negara berkembang belakangan ini, namun sebenarnya akar permasalahan awal krisis
pangan itu adalah kebijakan pendukung pertanian di negara-negara berkembang yang tidak pro
terhadap sektor pertanian. Liberalisasi sektor pertanian yang dilakukan oleh negara berkembang
cukup berkontradiksi terhadap desain dan implementasi dari aturan GATT / WTO. Liberalisasi
pertanian merupakan desakan yang dilakukan oleh Badan atau Institusi Keuangan Internasional /
International Financial Institution (IFI) melalui perjanjian perdagangan bilateral antara negara
maju dan negara berkembang, telah banyak juga memberikan kontribusi terhadap kegagalan di
sektor pertanian. Filosofi ekonomi Neo-Liberal dan juga hubungan kekuatan yang tidak
seimbang antara negara maju dan negara berkembang telah lebih jauh membuat sektor pertanian
di negara berkembang makin terpuruk. Terdapat sebuah kemungkinan buruk dengan makin
digencarkannya tekanan terhadap negara berkembang , terlebih dalam pertemuan Doha Round,
akan menghasilkan sebuah pembangunan sektor pertanian yang tidak seimbang bila
dibandingkan dengan sektor lain. Alhasil, di negara berkembang akan terjadi intensifikasi
ketergantungan terhadap produk-produk makanan impor, jatuhnya pertanian, dan terjadinya
ketergantungan ekonomi dan politik terhadap negara-negara maju. Negara-negara maju perlu
melakukan perubahan radikal dalam system perdagangan, pengawasan dan pengontrolan
praktek-praktek IFIs dan juga melakukan perubahan kebijakan di negara berkembang. Negara-
negara berkembang memiliki kekuatan yang amat sangat kecil untuk melakukan perubahan
radikal ini, namun mereka mampu berusaha untuk mengubah kebijakan mereka sendiri. Dan
untuk melakukan hal tersebut, bukanlah hal yang mudah mengingat adanya tekanan yang sangat
besar dari negara maju dan IFI. Namun langkah perubahan ini secara absolut dibutuhkan apabila
negara-negara berkembang tidak ingin mengorbankan pembangunan jangka panjang dan
kemakmuran rakyat mereka.
2
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Pendahuluan
emenjak pertengahan tahun 2007, ekonomi dunia menghadapi tiga macam krisis:
finansial, pangan dan bahan bakar. Seabrook (2008), seorang jurnalis Inggris berkata
bahwa krisis pangan dan keuangan terkadang disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan
semestinya. Krisis pangan di negara negara berkembang adalah sebuah sinyal bahaya, terlebih
bagi negara dengan pendapatan yang rendah. Terjadinya krisis adalah sebuah pengingat bahwa
pertanian sangat penting bagi negara-negara berpenghasilan rendah yang kebanyakan bertumpu
pada sektor ini sebagai sumber utama pendapatan dan ekspor mereka. Lebih jauh lagi, pangan
merupakan kumpulan barang barang yang dikonsumsi oleh banyak orang di negara-negara
tersebut sehingga ketersediaan pangan merupakan hal yang amat krusial. Pangan menjadi sangat
krusial karena memiliki efek yang sifatnya langsung dan mendesak terhadap kehidupan kalangan
tidak mampu. Ketika krisis pangan terjadi di banyak wilayah di dunia, kita menyaksikan
bagaimana banyak orang keberatan terhadap tingginya harga makanan. Hal ini menjadi bukti
bagi kita tentang betapa seriusnya isu pangan ini.
S
Banyak faktor baik jangka panjang maupun jangka pendek yang mempengaruhi penawaran dan
permintaan telah memberikan kontribusi terhadap krisis pangan belakangan ini. Terkadang,
hanya secuil perhatian diberikan oleh para pembuat kebijakan di negara negara maju untuk
memperhatikan bagaimana kebijakan pertanian di negara-negara maju itu telah mempengaruhi
negara-negara berkembang. Kebijakan liberalisasi pertanian telah secara negatif mempengaruhi
produk pangan yang dihasilkan negara berkembang dan membuat pasar resah. Alhasil, pada
pertemuan Food summit di Roma awal Juni 2009, tercetuslah beberapa kebijakan yang dibuat
untuk menenangkan pasar dibawah kepemimpinan negara-negara maju, bukan sebuah solusi
yang saya kira tepat, karena sebaiknya dicetuskan kebijakan yang menyembuhkan pasar, tidak
hanya menenangkan. Delegasi dari Argentina dan beberapa negara Amerika Latin lainnya
berkata bahwa “deklarasi (pertemuan puncak ini) didasarkan pada diagnose yang salah atas
permasalahan utamanya, maka dari itu solusi yang dikeluarkan tidak akan benar-benar
menyentuh dasar akar permasalahan (SUNS, 7 Juni 2008).
Setidaknya terdapat dua faktor utama yang menjadi akar permasalahan krisis pangan, yang
pertama adalah pengaruh dominan pasar dunia yang didominasi oleh ideology neo-liberal.
3
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Ideologi ini merupaka sebuah pendiktean yang dilakukan oleh negara maju ke negara
berkembang melalui institusi keuangan internasional, WTO dan kerjasama ekonomi bilateral
yang dimiliki antara negara berkembang dengan negara maju. Faktor kedua adalah kebijakan
pertanian dalam negeri negara maju. Kontras dengan apa yang mereka ‘khutbahkan’ kepada
negara negara berkembang, pemerintah negara maju telah dengan segenap tenaga mendukung
sektor pertanian mereka, yang menyebabkan produk negara berkembang gagal bersaing di
pasaran dengan produk negara maju yang berkualitas namun dengan persediaan terbatas.
Perubahan Terhadap Suplai Produk Makanan
Kekeringan pada tahun 2007-2008 telah menjadi salah satu penyebab kelangkaan pangan
yang mendorong juga krisis pangan dunia. Namun, tingkat signifikansinya tidak terlampau besar.
Maka dari itu untuk mengesampingkan faktor tersebut, marilah kita mengjadi perubahan yang
terjadi terhadap suplai pangan dan hubungannya dengan pertumbuhan GDP di negara
berkembang antara tahun 2000-06. Dalam periode ini GDP meningkat di hampir seluruh
belahan dunia dengan pengecualian Amerika Latin (lihat Tabel 1), namun tetap saha peningkatan
produksi pangan bukannya baik malah menurun secara merata, hampir di seluruh negara-negara
berkembang, terlebih lagi di daerah sub-sahara dan negara negara berpendapatan rendah
lainnya.1 Di wilayah sub-sahara pada khususnya, terjadi penurunan jumlah produksi pangan
sedangkan jumlah penduduk meningkat cukup tinggi (lihat table 1). Benua Afrika secara
keseluruhan telah menjadi pengimpor produk makanan yang cukup signifikan sejak cukup lama.
Kebijakan Apikultural dan dampaknya pada produksi
Tidak diragukan lagi, banyak faktor alami jangka singkat yang telah berkontribusi
terhadap krisis pangan, namun kebijakan pertanian negara maju dan juga negara berkembang
adalah faktor utama dan yang paling signifikan dalam mempengaruhi krisis pangan dunia.
Banyak tekanan ditujukan ke negara-negara berpendapatan rendah oleh dunia luar dan negara
maju. Mereka diharuskan untuk melakukan liberalisasi produksi dan perdagangan dari produk
pertanian, menghilangkan, atau mengurangi subsidi dari produk domestic dan membuka pangsa
pasar mereka terhadap produk asing. Perubahan-perubahan ini telah membuat produk pangan
1 Tingkat pertumbuhan dikalkulasikan dari tahun 1999/2001-2004/2006 untuk menghindari efek fluktuasi tahunan
4
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
negara-negara berkembang terekspos terhadap tekanan kompetisi yang tidak adil baik di pasar
domestik maupun internasional. Harga produk pertanian di tingkatan Internasional telah
dipengaruhi oleh subsidi pertanian , langkah-langkah pendukung faktor produksi dan eskpor
yang semuanya dilakukan oleh negara maju. Uni Eropa melakukan intervensi pasar internasional
secara langsung untuk mengontrol harga dari 72% produk pertaniannya. Amerika Serikat
menetapkan harga minimum untuk banyak produk pertaniannya dan mengintervesi pasar dengan
segala upaya apabila harga komoditas mereka di pasar internasional jatuh dibawah harga
minimum yang mereka tetapkan (Jhamtani 2008). Negara maju menghabiskan dana hampir
sebesar 400 Milliar Dollar per tahun untuk mendukung produk pertanian mereka, yang bila
dibagi rata adalah sebesar US$ 1760 per penduduk yang tinggal di wilayah rural. Angka ini 55
kali lebih besar dari total ekspor produk pertanian dari seluruh benua Afrika.
Program pendukung pertanian yang dilaksanakan oleh Amerika, bersama dengan kebijakan
Common Agricultural Policy dari Uni Eropa telah menyebabkan surplus persediaan pada
produk-produk utama pertanian dan masih memiliki kelebihan dari produk pertanian mereka
yang tidak diserap pasar konsumsi domestic. Karena hal tersebut, mereka harus menciptakan
sebuah pasar ekspor bagi produk pertanian mereka di negara negara berkembang dengan jalan
memberikan subsidi bagi para eksportir di negara mereka. Alhasil, banyak negara berkembang
menjadi tergantung pada impor produk-produk makanan yang diberi subsidi oleh negara maju
tanpa memperhatikan tingkat keamanan atau bahkan mengorbankan cadangan makanan mereka
sendiri.
5
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Table 1: Berbagai indicator dari pertumbuhan produk pertanian dan persentase GDP (1990-2006)
Beberapa Contoh Perubahan Suplai Pangan
6
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Mari kita menilik beberapa contoh dari pengaruh negative kebijakan pertanian neo liberal
terhadap produksi pangan di beberapa negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di
Afrika, Ghana merupakan negara swasembada beras pada tahun 1970an. Mereka mulai
melakukan liberalisasi terhadap sektor pertaniannya pada awal 1980an. Pada tahun 2002, secara
menyedihkan, untuk memenuhi kebutuhan domestic, Ghana harus mengimpor 64% kebutuhan
stik berasnya dari luar negeri. Pada tahun 2003, naik ke angka 79% 2. Produksi domestic beras di
bagian utara Ghana pada tahun 1978-1980 adalah sebesar 56.000 ton, dan jatuh secara signifikan
ke level 27.000 ton pada tahun 1983. Untuk mengimbagi tingkat kebutuhan, Ghana mulai
melakukan impor beras dari Amerika Serikat yang harga berasnya jauh lebih murah sebesar 34%
dibandingkan dengan harga beras produksi Ghana sendiri. Alhasil jumlah impor yang pada awal
2003 hanya sebesar 111.000 ton3, meningkat ke angka 250.000 ton dan bahkan 415.150 Ton
pada awal 20084.
Meningkatnya ketergantungan Ghana pada produk impor tidak terbatas pada produk utama
pangan saja semisal beras ataupun gandum, namun juga produk olahaan jadi pertanian lainnya
contohnya tomat. Produk prosesan tomat dari Uni Eropa mendapatkan subsidi langsung sebsar
298 Juta Dollar, belum termasuk subsidi tidak langsung5. Produksi tomat negara Ghana yang
telah di privatisasi dan liberalisasi harus berhadapan dengan produk tomat Eropa yang telah
disubsidi sejak pertengahan 1990an. Produksi tomat Eropa sendiri telah meningkat dari hanya
3200 Ton pada 1994 ke angka 24.097 ton di tahun 2002. Sebuah ketimpangan yang sangat jelas
dapat kita lihat disini.
Hal lain adalah ekspor produk daging dari Uni Eropa ke Ghana dan negara-negara Afrika Barat
lainnya yang menikmati subsidi sebesar 254 Euro per ton daging dan secara langsung
mempengaruhi suplai domestik ayam di Ghana. Produk daging impor menguasai 89% pasar
domestic Ghana pada 2001. Sebuah peningkatan yang amat sangat drastic bila dibandingkan
dengan angka 5%pada tahun 1992. Di Kamerun, pengurangan tariff impor akibat tekanan negara
maju dan lembaga keuangan internasional telah menyebabkan impor daging ke negara itu naik
2 Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”3 Ibid4 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”5 Ibid dengan referensi 2-3
7
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
enam kali lipat. Di Senegal, 70% produsen daging local tersingkirkan oleh produk asing 6. Di
Cote D’ivvore produksi daging local turun 23% antara tahun 2001 dan 2003. Di Mozambique
produksi minyak sawit local turun dari 21.000 ton pada 1981 ke 3.500 Ton pada 2002. Secara
kontras, ketika sebuah negara di Afrika tidak mengindahkan saran Bank Dunia dan IMF untuk
melakukan liberalisasi sektor pertaniannya, mereka tidak menghadapi krisis dan kekurangan
suplai. Contohnya adalah Malawi.
Di Asia, contoh dapat dilihat pada Indonesia dengan produk kedelai dan berasnya dan juga China
dengan produk kedelainya. Indonesia mengalami swasembada beras setidaknya hingga akhir
1990an. Semenjak 1967 melalui Orde baru, pemerintahan Soeharto berusaha mendukung
produksi beras dan menstabilkan harganya melalui operasi pasar hingga Indonesia diguncang
krisis keuangan pada tahun 1997. Pada tahun tersebutlah Indonesia mulai mesra dengan IMF.
Oleh desakan dan tekanan yang dilakukan oleh IMF, pemerintah memulai liberalisasi impor
beras dan mengurangi intervensi pemerintah pada pasar domestic. Pada 1997, harga beras impor
berada dibawah harga beli yang dibayarkan pemerintah pada petani lokal. Pada tahun 2000,
pasar beras di Indonesia telah secara utuh diliberalisasikan dan sektor privat mendistribusikan
90% kebutuhan beras nasional, dimana jumlah terbesar kebutuhan pasar nasional Indonesia
disuplai oleh beras Impor. Dominasi sektor privat juga telah memberikan kontribusi terhadap
spekulasi yang tidak menentu pada pasar domestik beras.7
Liberalisasi kedelai di Indonesia juga telah menyebabkan berkurangnya lahan pertanian kedelai
yang pada awalnya lebih kurang 1,7 juta hektar pada tahun 1992 menjadi hanya sebesar 457.000
hektar pada tahun 2007. Harga dari produk kedelai yang diimpor dari Amerika sendiri lebih
murah 22% bila dibandingkan dengan produk domestik8
Pada kasus China yang juga melakukan aksi impor kedelai, kebanyakan dari Amerika Serikat,
aksi China ini telah memiliki impikasi turunnya produksi dalam negeri. China dahulu merupakan
negara pengekspor kedelai dan mengalami swasembada kedelai hingga tahun 2000 sebelum
mereka masuk ke WTO. Masuknya China ke WTO diiringi oleh dikuranginya biaya bea masuk
produk kedelai ke China sebesar 3 persen. Pada tahun 2006, harga kedelai impor berada dibawah
6 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”7 Jhamtani, H. (2008), “Chickens Dying in the Barn: the Case of Indonesia”,8 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”
8
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
harga kedelai produksi local yang banyak dihasilkan di provinsi Heilongjian. Harga produk asing
ini masih jauh lebih murah dibandingkan produk local walaupun harga produk local tidak
memperhitungkan komponen upah pekerja dan biaya produksi. 9 Sebagai hasilnya, impor kedelai
telah membumbung tinggi. Pada tahun 2007, produk kedelai impor menguasasi 2/3 pasar
konsumsi dan perdagangan kedelai di China 10. Saat ini impor kedelai ke China diperkirakan
sebesar 40% dari total produksi kedelai dunia. 11
Kontradiksi pada Aturan Dagang
Terdapat beberapa kontradiksi dalam filosofi ekonomi neo-liberal yang terefleksikan
dalam desain dan implementasi aturan dagang internasional (GATT/WTO). Kontradiksi ini
berkaitan dengan peranan pasar dan juga kebijakan pemerintah. Tentang peranan pasar, para neo-
liberalis merekomendasikan absennya campur tangan pemerintah di pasar dan dalam aliran
perdagangan internasional. Mereka seakan menutup mata terhadap meningkatnya power dari
MNC di perdagangan internasional dan juga produksi secara umum, yang dalam aplikasinya di
lapangan juga mencakup perdagangan internasional dan juga produksi produk pertanian. Karena
pada akhirnya mereka tidak mau dijadikan kambing hitam atas ketidakaturan pasar dan
kesemerawutan bisnis akibat kurang ditegakkannya peraturan (yang hanya bisa dilakukan oleh
pemerintah) dalam dunia perdagangan internasional.
Pembukaan GATT (1947) merujuk pada tujuan dari liberalisasi perdagangan. Namun
peraturan pembukaan GATT/WTO tidak menyebutkan sama sekali mengenai kemungkinan
meningkatnya kekuatan menguasai pasar dari MNC. Hal yang serupa juga terjadi ketika Bank
Dunia dan IMF mempublikasikan beberapa edisi jurnal yang berisi penelitian terhadap
liberalisasi perdagangan dan kebijakan kompetisi dan juga bagaimana mereka menaruh tekanan
terhadap negara-negara berkembang untuk meliberalisasikan perdagangan, dalam jurnal tersebut
tidak didiskusikan sama sekali kekuatan MNC yang jahat dan ganas di pasar. Diantara jutaan
MNC di dunia yang bergerak di bidang pangan dan pengolahannya, hanya lima ratus diantaranya
saja yang telah menguasai 70% perdagangan internasional di pasar. Dan diantara lima ratusan
perusahaan tersebut, hanya beberapa perusahaan yang dapat dihitung dengan jari yang
9 Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”10 Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”,11 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”,
9
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
menguasai pasar untuk produk pangan. Perusahaan-perusahaan ini termasuk : Cargil, Mona
Santo, Minsa-Aranica, International Agroinsa, maseca-Archer Daniel Midland dan lain-lain.12
Aktifitas Spekulatif dari MNC
Negara berkembang diberikan masukan oleh para neo-liberalis, dan diberikan tekanan
oleh IFIs untuk meliberalisasikan perdagangan produk pertanian mereka, selain itu negara
berkembang juga ditekan untuk membuat produk yang sama dan seragam. Namun di sisi lain,
“dorongan pasar” diciptakan untuk memiliki mekanisme operasi yang selektif dan memiliki
marjin keuntungan. MNC tidak hanya mendominasi produksi, perdagangan dan proses mengolah
produk makanan, namun mereka juga secara bebas ikutserta dala aktifitas spekulatif baik di pasar
internasional maupun pasar domesik negara-negara berkembang. Di pasaran internasional, krisis
keuangan dan pasar perumahan telah memotivasi mereka untuk lebih mengintensifkan kegiatan
spekulatif mereka di pasar komoditas yang termasuk di dalamnya Minyak Bumi, emas dan
produk makanan. 13
Terdapat beberapa contoh dari kegiatan dominasi dan spekulatif dari MNC dalam pasar domestic
di negara berkembang. Di China, ketika pemerintah mulai menarik diri dari pasar kedelai. 4
MNC mengontrol 85 persen pasar dan mereka juga terlibat dalam kegiatan spekulatif yang
menyebabkan kenaikan harga. Sebagai contoh, pada 2005, harga kedelai meningkat 60% dalam
dua bulan. 14 Di Mexico, spekulasi dan aktifitas hoarding oleh 4 MNC mendominasi pasar jagung
yang meningkatkan harga secara tajam di pasaran domestic jagung pada 2006. Kenaikan harga
mencapai 100%. Kenaikan harga jauh melampaui harga jagung di pasaran internasional. Harga
tersebut nampaknya tidak dipengaruhi oleh kenyataan bahwa terdapat persediaan jagung yang
cukup banyak di pasar domestik
Desain aturan GATT/WTO mengalami kontradiksi dari sisi lain juga. Ketika kita mendalami
filosofi dibalik aturan GATT/WTO itu, terdapat sebuah kenyataan bahwa aturan tersebut
terspesialisasi berdasarkan prinsip statis comparative advantages. Dan terdapat sebuah rahasia
bahwa sektor pertanian (dan juga sektor pekerja intensif yang membuat produk tersebut) telah
12 Wade, R.(2005),”What Strategies Are Viable for Developing Countries Today?13 Seabrook, J. (2008), “Global Hunger: Let them Crunch Credit”,14 Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”
10
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
dikesampingkan dari GATT sejak awal mula. Negara maju memberikan justifikasi dan alasan-
alasan bahwa dukungan yang mereka berikan pada sektor pertanian mereka adalah upaya
mendukung kehidupan sosial (menambah pemasukan petani) dan juga nilai strategis (keamanan
cadangan makanan). Tidak jelas mengapa alasan sosial menjadi relevan untuk para petani di
negara maju yang rata-rata hidup dengan pendapatan per kepala sebesar 1.5 Juta Dollar per
tahun. Sangat kontras bila dibandingkan dengan para petani di negara berpendapatan rendah
yang mati-matian hidup dengan pemasukan kurang atau setara denga 1 dollar per hari
(Pemasukan per kapita kurang lebih adalah 366 dollar). Berdasarkan undang-undang baru di
Amerika, para pasangan petani yang memiliki pendapatan dari pertanian sebesar 1.5juta per
tahun juga akan menerima subsidi. Mengapa mereka mensubsidi golongan kaya? Sedangkan di
lain sisi mereka, para negara maju dan IFI menceramahi para petani di negara berkembang yang
kebanyakan hidup dengan upah kurang dari satu dollar per hari untuk meliberalisasi pertanian
mereka dengan iming-iming mendapat bagian dari kekayaan dunia, padahal yang sebenarnya
mematikan hidup mereka. Sebuah alasan yang absurd dan ketimpangan yang amat nyata terlihat
disini. Seabsurd alasan mereka untuk mensubsidi petani kaya dengan dalih mengamankan
cadangan makanan, bukanlah isu yang utama bagi negara miskin.
Lain Amerika, lain pula Uni Eropa. EU memiliki tujuan untuk mampu berswasembada
kebutuhan pangan pokok rakyat mereka, tidak peduli ongkos produksi yang cukup mahal di
negara anggota mereka. Namun di sisi lain, EU memberikan tekanan pada negara-negara di
Afrika, Karibia dan wilayah samudera pasifik untuk meliberalisasikan pertanian mereka dan
membuat mereka menjadi subyek pasar barang makanan murah yang disubsidi dari Eropa.
Dibawah tekanan, negara-negara ini “dipaksa” menandatangani EPA atau perjanjian kerjasama
ekonomi yang memberikan konsesi dengan landasan keuntungan bersama dan berbasis pada
kompetisi yang seimbang. Namun kenyataannya terjadi ketimpangan dalam kompetisi, dan
dalam kenyataannya tidak ada pasar kompetisi yang datar dimana semua pihak berdiri sama rata.
Pasar kompetisi pada kenyataannya tidak datar sama sekali, karena para pemain di dalamnya
tidak memiliki kemampuan yang setara baik dalam skill dan kekuatan.
Lebih jauh lagi, pemerintah dari Negara maju dan perusahaan pengimpor mereka menerapkan
aturan yang sangat ketat masalah SPS (sanitary and phytosanitary) atau standar keamanan dan
11
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
sanitasi produk terhadap produk impor yang dating dari Negara berkembang. Namun dengan
“liciknya” mereka mengekspor makanan yang telah terkontaminasi dan telah termodifikasi
secara genetis baik melalui jalur bantuan pangan, maupun mengekspornya ke Negara
berkembang yang tidak memiliki system quality control.
Insiden ekspor produk-produk kualitas kelas “teri” itu telah dapat ditemui di Colombia, Bolivia,
Ecuador, Angola, Malawi, Zambia, Lesotho, Mozambique, Swaziland, Nigeria, Sudan dan Sierra
Leon. Pada beberapa kasus di Negara berkembang, semisal Sudan dan Angola, mereka telah
dipaksa untuk menerima makanan yang telah dimodifikasi secara genetis diluar kemauan
mereka. Makanan yang telah direkayasa secara genetis tidak hanya terbukti tidak aman, namun
juga tidak ekonomis. Kisah mengenai makanan yang direkayasa secara genetis tidak hanya
berhenti disini saja. Bahkan ketika Negara-negara berkembang sedang berupaya menumbuhkan
kapasitas mereka untuk dapat mengikuti aturan SPS yang ketat, Negara berkembang kembali
mengeluarkan isu mengenai limbah karbon di udara dengan dalih perlindungan lingkungan.
Sebagai contoh. Uni Eropa sedang mempertimbangkan larangan impor buah dan sayuran dari
Afrika yang dikirim melalui kargo udara dengan dalih untuk mengurangi pencemaran udara,
padahal mereka tidak berpikir apabila Uni Eropa terpaksa melakukan penanaman tanaman untuk
menghasilkan buah yang seharusnya mereka impor dari Afrika di Negara Eropa pada iklim yang
bukan habitatnya, maka akan menimbulkan efek lingkungan yang lebih buruk
Dilema Proposal Kebijakan
Bukan hal yang mengejutkan bahwa laporan dari “International Assessment of
Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development”, telah menyimpulkan bahwa
“…liberalisasi perdagangan secara eksesif dan cepat memiliki konsekwensi negatif terhadap
keamanan suplai makanan, meningkatnya kemiskinan dan juga berdampak negative pada
lingkungan.” Lebih jauh lagi, mereka menambahkan bahwa “kekuatan pasar secara tungga tidak
dapat menjamin ketersediaan cadangan makanan bagi kaum miskin”. Laporan autoritatif ini
disponsori oleh berbagai organisasi cabang PBB dan melibatkan lebih dari 400 peneliti dan
akademisi yang kompeten. Laporan ini telah menjadi “bukti dan bahan evaluasi bagi ribuan ahli
diseluruh dunia”. Namun cukup mengejutkan bahwa walaupun laporan ini berasal dari berbagai
12
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
sumber terpercaya yang bergerak di berbagai lapisan masyarakat, namun hanya sedikit
pemerintah Negara maju yang mengakui laporan tersebut sebagai sebuah laporan. Bahkan
pemerintah Amerika Serikat memerintahkan diplomatnya di PBB untuk tidak menandatangai
laporan tersebut dan juga mengklaim bahwa laporan tersebut absurd, tidak seimbang dan
berkeberatan atas kesimpulan atas peranan pasar yang dianggap sangat negative, dan lebih
khususnya, Amerika keberatan atas pernyataan laporan tersebut yang berkata bahwa liberalisasi
pasar di negara berkembang membawa dampak negative.
Mr Zoelic, Presiden Bank Dunia memperingatkan bahwa krisis pangan dapat mendorong 100
juta orang di dunia ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Namun dia, tidak mengakui
tanggung jawab Bank Dunia yang sedikit banyak berkontribusi terhadap maslah tersebut, tidak
juga dia memberikan rujukan bahwa bank dapat belajar dari krisis untuk menghadapi program
penyesuaian structural. Pada kenyataannya, walaupun dunia telah diperingatkan melalui krisis
pangan, namun proposal kebijakan yang diajukan oleh kaum neolib, IFI dan organisasi
internasional lainnya tidak berubah. Tetap menyedot segala daya upaya negara berkembang dan
di lain sisi melakukan proteksi terhadap pertanian mereka sendidi.
Ayam yang mati di Lumbung padi: Studi Kasus Efek Neolib di Indonesia
Belakangan ini kita melihat terdapat kenaikan harga yang amat signifikan, khususnya pada
produk kedelai dan minyak goreng di Indonesia. Masih lekat dalam ingatan kita ketika pada
bulan Januari 2008, sekitar 10.000 pengerajin Tahun dan tempe melakukan demosntrasi di depan
Istana merdeka Jakarta. Para demonstran ini meminta pemerintah menurunkan harga kedelai dan
tidak lagi memperpanjang kebijakan perdagangan bebas kedelai yang pada prakteknya
mengijinkan perusahaan perseorangan untuk mengontrol harga. Sedangkan pada minyak goreng,
Indonesia sebagai negara terbesar penghasil kelapa sawit menyaksikan kenaikan harga yang
tidak logis pada komoditas minyak goreng. Harga komoditas ini meroket naik terlampau jaug,
dari Rp 6.000 (US$ 60 cents) hingga ke harga Rp.16.000 (US$ 1.60) pada akhir 2007. Anehnya,
kenaikan ini terjadi hanya pada harga minyak curah yang dijual di pasar tradisional, bukan
minyak yang berlabel yang dapat kita beli di supermarket maupun hypermarket. Kenaikan
minyak dan kedelai ini diikuti kenaikan di produk pangan lainnya semisal daging dan produk
13
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
makanan olahan. Layaknya di negara berkembang lainnya sebagaimana yang telah kita sebutkan
diatas, kenaikan harga barang di Indonesia merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Namun
khusus di Indonesia, nampaknya kenaikan harga akibat diabaikannya kebijakan keamanan
persediaan pangan yang dikeluarkan pemerintah pada tingkatan nasional, dihilangkannya jaring
pengaman pemerintah yang mengontrol harga komoditas, dan yang paling parah adalah
liberalisasi perdagangan membuat harga barang pada level domestic sangat dipengaruhi oleh
harga barang yang diekspor atau diimpor.
Selama beberapa windu, terlebih pada era orde baru, beras bukanlah salah satu komoditas yang
menjadi subjek dari perdagangan bebas. Selain memberikan subsidi untuk pupuk, bibit dan
irigasi, pemerintah juga menyediakan subsidi bagi pembelian beras dari petani dengan Harga
Eceran terendah tertentu sehingga mampu mengontrol Harga Eceran Tertinggi beras di pasaran.
Sehingga harga beras terjangkau, terlebih bagi pada masyarakat urban yang banyak hidup
dibawah garis kemiskinan. Walaupun upaya – upaya ini disebut sebut memiliki motif politik
untuk menjaga kekuasaan politik mereka, namun sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa
Pemerintah telah berhasil melakukan stabilisasi harga dalam jangka panjang.
Sejak tahun 1967 pemerintah membentuk BULOG yang berfungsi untuk menstabilkan harga dan
supply barang, utamanya beras. Harga komoditas lain yang juga dicoba dijaga oleh BULOG
adalah gula, tepung terigu, kedelai, pakan ternak, minyak goreng, telur daging dan bahkan
rempah-rempah. Fungsi ini dilaksanakan secara ad hoc oleh BULOG ketika harga barang mulai
naik. 15 Hingga pertengahan 1990-an BULOG mempertahankan harga eceran terendah dan
tertinggi untuk banyak harga komoditas melalui empat instrument kebijakan. (1) Kontrol
Monopoli melalui perdagangan internasional beras; (2) akses terhadap pinjaman yang tidak
terbatas (dengan tingkat suku bunga yang benar-benar diberikan subsidi oleh pemerintah) ; (3)
pembelian sebanyak-banyaknya komoditas sembako untuk menjaga Harga Eceran terendah dan
tertinggi ; (4) Dukungan jaringan logistic yang ekstensif dan berskala nasional. Walaupun bulog
sering dinilai sebagai mesin politik, namun peranannya dalam menstabilkan harga komoditas
sembako di pasar dinilai sangat membantu kalangan kecil.
15 Saifullah, A., 2001, 'Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional' [online]. Dapat diunduh melalui: http://www.bulog.co.id/kajian%20Ilmiah/aPapBulBer.pdf
14
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Namun pada tahun 1998, setahun setelah keterpurukan krisis ekonomi tahun 1997, intervensi
pemerintah tidak lagi dinilai sebagai kebijakan yang berpihak kepada kaum miskin. Sebagai
bagian dari syarat pinjaman darurat yang disediakan IMF, lembaga tersebut menetapkan banyak
persyaratan bagi pemerintahan dan pasar Indonesia, termasuk kebijakan yang terkait dengan
keamanan dan ketersediaan sembako di pasar domestic. Beberapa aturan yang diterapkan IMF
adalah : penghapusan dan atau pengurangan subsidi, pengurangan tariff impor pada komoditas
Sembako, terutama beras dan mengurangi peranan pemerintah dalam perdagangan pangan
dengan cara mentransformasi BULOG dari agen pemerintah non departemen ke BUMN
sehingga mengurangi peranan intervensi pasarnya.
Kemudian, IMF juga meminta pemerintah untuk mengurangi tariff impor beras sebesar 5%, dan
semenjak itulah sektor privat menguasai perdagangan beras di Indonesia dengan memasukkan
banyak beras Impor ke Indonesia. Pada tahun 1999, sektor privat bertanggung jawab atas 64%
impor beras ke Indonesia sehingga pasar kebanjiran beras dan pada akhirnya harga beras terjun
bebas. Pada awalnya nampaknya ini adalah sebuah kebijakan yang berpihak kepada kaum
kurang mampu, namun banyak kaum kurang mampu ini adalah para petani. Ketika harga beras
jatuh, hal tersebut juga melukai mereka. Semenjak revolusi hijau, banyak petani menjual hasil
panen mereka ke pasar melalui agen pemerintah semisal bulog, dan untuk memenuhi kebutuhan
sandang mereka, mereka membelinya dari pasar. Apabila harga beras jatuh terlalu rendah
sedangkan komoditas lain harganya tetap atau malah makin naik, secara otomatis akan
melemahkan daya beli mereka.
Tidak seperti di masa lalu, Bulog tidak lagi mampu membeli beras petani dengan harga yang
tetap dengan jumlah dana talangan yang tidak terbatas. Bulog saat ini hanya membeli gabah
dengan tujuan meningkatkan harga bibit beras, namun dengan batasan APBN yang sangat ketat
dan ketidakmampuan memberikan kredit kepada para petani. Posisi Bulog ini membuat mereka
tidak mampu membeli gabah dengan harga subsidi dan tidak mampu menstabilkan pasar. Saat ini
peranan Bulog hanya memformulasikan kebijakan dalam penentuan harga beli gabah dari petani
oleh pemetintah. Tidak memiliki lagi peranan control harga, Bulog dalam jangka waktu dekat
akan menjadi sebuah perusahaan dengan fungsi sosial.
15
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Sebagai kesimpulan, pada Januari 2000, pasar beras telah diliberalisasikan sepenuhnya., Siapa
saja diberikan kebebasan untuk melakukan impor beras dengan biaya 30% tariff impor16. Hal ini
telah menciptakan beberapa permasalahan, yang pertama adalah distribusi beras oleh sektor
privat telah meningkat hingga 90% distribusi nasional dan bulog hanya menguasai 10% sisanya.
Kedua, harga beras telah menjadi sangat tidak terkendali dan tidak mampu diprediksi dan
merupakan mangsa empuk bagi para spekulan.
Hal yang paling meresahkan adalah kurangnya mekanisme perlindungan bagi para petani kecil,
sebuah mekanisme yang bahkan oleh negara maju masih sangat diperhatikan. Ambillah contoh
Eropa dan Amerika Serikat.perlu ditemukan sebuah mekanisme untuk memberkan pasar sebuah
produk dengan subsidi tanpa perlu memberikan untung pada pihak tertentu saja semisal program
raskin yang terbukti hanya menjangkau sebagian kecil rakyat miskin dan kebanyakan tidak
memiliki akses kepadanya. Kesalahan manajemen domestic dari kebijakan pertanian dan tekanan
internasional untuk meliberalisasi perdagangan pangan memiliki efek langsung yang sangat
merusak bagi pasar. Indonesia harus memformulasikan sebuah kebijakan yang menciptakan
jaring pengaman yang mampu memberikan rasa aman pada petani dan rakyat miskin. Menaikkan
produktifitas produk pertanian dan mengamankan kebijakan dalam negeri dari intervensi asing.
Kesimpulan
16 Timmer, P., 2004, 'Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook', Center for Global Development, Working Paper Number 48, November 2004; and Krishnamurthi, B., 2006, 'Fakta dan kebijakan perberasan', discussion paper in the WTO Forum mailing list, 20 January 2006.
16
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
ita telah menelaah dengan singkat tentang akar permasalahan krisis pangan di negara
negara berkembang. Selain faktor alam yang mempengaruhi, kesalahan terbesar ada
pada kebijakan yang terlalu liberal dan menciptakan kekalahan pasar domestic atas
produk asing yang lebih murah dan disubsidi, walaupun keamanannya tidak senantiasa terjamin.
Kontribusi faktor structural terhadap krisis pangan menciptakan kenaikan harga yang akan tetap
berlanjut di masa depan kecuali pemerintah negara berkembang mampu membuat sebuah
perubahan kebijakan yang fundamental di negara mereka dan mampu mengatasi faktor-faktor
praktek IFI, terlebih yang memiliki kebijakan intervensi pasar dan menyangkut aturan aturan
WTO. Untuk mencari penawar bagi krisis pangan, Sekjen PBB Kim Bai Moon menyerukan pada
pertemuan Food Summit di Roma Juni 2008 untuk menciptakan sebuah jaring pengaman untuk
negara-negara miskin dengan jalan membangun kapasitas para petani untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas produk pangan dan juga menyediakan sumber daya bagi para petani
miskin secukup kebutuhan mereka untuk mendukung produksi. Produksi mereka tidak akan
meningkat kecuali mereka juga diberikan insentif, bantuan pertanian dan pemasaran dan juga
peraturan yang mampu memprediksikan harga pasaran produk pertanian. Neoliberalisme sudah
terbukti paham yang menguntungkan the have saja dan tidak membawa dampak positif bagi
negara-negara miskin semisal Indonesia.
K
Semua perubahan yang diperlukan dalam perbaikan system ekonomi di negara-negara miskin
akan sangat bertentangan dengan filosofi neo liberals, “Washington Consensus”, praktek-praktek
IFI dan perjanjian bilateral antara negara berkembang dengan negara maju. Tanpa perubahan
tersebut, sektor pertanian dan negara-negara dengan pendapatan rendah akan lebih tersiksa dalam
perdagangan internasional. Pertanian yang jatuh, menambah pelik permasalahan de-
industrialisasi negara-negara miskin ini dan akan berujung pada ketergantungan makanan impor,
bantuan asing, stagnansi dan intensifikasi kemiskinan. Membuat kebijakan yang menentang
system neo liberalism bukanlah hal yang mudah, namun sangat diperlukan untuk pembangunan
jangka panjang dan kemakmuran warga. Negara negara berkembang harus sebisa mungkin
menolak EPA dari Uni Eropa, dan melakukan tuntutan kepada negara maju untuk mengindahkan
hasil pertemuan Doha Round, terutama yang berkaitan dengan pengeluaran keuangan pemerintah
(subsidi yang terlalu besar) yang tidak sebanding. Sebuah perubahan radikal dalam system
perdagangan, praktek IFI dan kebijakan negara maju di negara berkembang juga sangat
17
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
dibutuhkan demi kelangsungan masa depan dunia yang lebih sejahtera dan aman. Negara-negara
berkembang hanya memiliki kekuatan kecil untuk melakukan perubahan ini dan kebijakan local
mereka hanya membawa dampak kecil bagi keseluruhan ekonomi dunia. Untuk itu kemauan dari
kedua belah pihak sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan krisis pangan dunia
dan juga mengakhiri atau mencari alternative dari paham neo-liberalisme yang sudah terbukti
tidak ramah bagi banyak actor di dunia internasional.
Daftar Pustaka
Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”, Kuliah Umum di University
of Turin, Italy,2 1, May 2008, available at www.networkideas.org.
18
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Ho, MW (2008), “GM Crops are not the Answer to World Food Crisis”, dapat diunduh melalui
www.twnside.org.sg.
------- (2007), Genetic Engineering: Dream or Nightmare? The Brave New Word of Bad Science
and Big Business, (Third World Network, Gateway Books, Macmillan, Bath and New York and
penning). (Buku)
Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”, dapat diunduh melalui
www.twnside.org.sg.
Jhamtani, H. (2008), “Chickens Dying in the Barn: the Case of Indonesia”, dapat diunduh melalui
www.twnside.org.sg.
Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”,
Presentasi pada FAO Food Security Summit, Rome, June 2008, dapat diunduh melalui
www.twnside.org.sg.
Mohanty, M. (2008), “Small Farmers and Doha round: Lessons from Mexico’s NAFTA
Experience” International Development Studies association dapat diunduh melalui
www.networkideas.org.
Oxfam, (2008), “Partnership or Power Play? How Europe Should Bring Development into Trade
Deals with African, Caribbean, and Pacific countries”, (Oxfam International, Oxford).
Seabrook, J. (2008), “Global Hunger: Let them Crunch Credit”, dapat diunduh melalui
www.twnside.org.sg.
Shafaeddin, M. (2005), Trade Policy at the Crossroads, the recent Experience of Developing
countries (Basingstock, UK and New York, Palgrave Macmillan). (buku)
19
Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI
Saifullah, A., 2001, 'Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional' dapat diunduh melalui
www.bulog.co.id/kajian%20Ilmiah/aPapBulBer.pdf
Timmer, P., 2004, 'Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook',
Center for Global Development, Working Paper Number 48, November 2004; and
Krishnamurthi, B., 2006, 'Fakta dan kebijakan perberasan', discussion paper in the WTO Forum
mailing list, 20 January 2006.
Wade, R. 2005. “What Strategies are Visible For Developing Counties today? The World Trade
Organization and Shrinking of Development Space” in Gallagher, K.P. (2005) Putting
Development Forward. (buku)
20