neoliberalisasi pertanian-tugas ekonomi politik internasional

31

Click here to load reader

Upload: ari-wijanarko-adipratomo-aa

Post on 19-Jun-2015

338 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang

Ari Wijanarko Adipratomo, A.A.2008231002

Department of International RelationsFaculty of Social and Political Sciences

Institute of Social and Political Sciences / IISIP - Jakarta2009

WAbstrak

Page 2: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

alaupun beberapa faktor jangka pendek dan faktor alam ikut berkontribusi terhadap krisis pangan

di negara-negara berkembang belakangan ini, namun sebenarnya akar permasalahan awal krisis

pangan itu adalah kebijakan pendukung pertanian di negara-negara berkembang yang tidak pro

terhadap sektor pertanian. Liberalisasi sektor pertanian yang dilakukan oleh negara berkembang

cukup berkontradiksi terhadap desain dan implementasi dari aturan GATT / WTO. Liberalisasi

pertanian merupakan desakan yang dilakukan oleh Badan atau Institusi Keuangan Internasional /

International Financial Institution (IFI) melalui perjanjian perdagangan bilateral antara negara

maju dan negara berkembang, telah banyak juga memberikan kontribusi terhadap kegagalan di

sektor pertanian. Filosofi ekonomi Neo-Liberal dan juga hubungan kekuatan yang tidak

seimbang antara negara maju dan negara berkembang telah lebih jauh membuat sektor pertanian

di negara berkembang makin terpuruk. Terdapat sebuah kemungkinan buruk dengan makin

digencarkannya tekanan terhadap negara berkembang , terlebih dalam pertemuan Doha Round,

akan menghasilkan sebuah pembangunan sektor pertanian yang tidak seimbang bila

dibandingkan dengan sektor lain. Alhasil, di negara berkembang akan terjadi intensifikasi

ketergantungan terhadap produk-produk makanan impor, jatuhnya pertanian, dan terjadinya

ketergantungan ekonomi dan politik terhadap negara-negara maju. Negara-negara maju perlu

melakukan perubahan radikal dalam system perdagangan, pengawasan dan pengontrolan

praktek-praktek IFIs dan juga melakukan perubahan kebijakan di negara berkembang. Negara-

negara berkembang memiliki kekuatan yang amat sangat kecil untuk melakukan perubahan

radikal ini, namun mereka mampu berusaha untuk mengubah kebijakan mereka sendiri. Dan

untuk melakukan hal tersebut, bukanlah hal yang mudah mengingat adanya tekanan yang sangat

besar dari negara maju dan IFI. Namun langkah perubahan ini secara absolut dibutuhkan apabila

negara-negara berkembang tidak ingin mengorbankan pembangunan jangka panjang dan

kemakmuran rakyat mereka.

2

Page 3: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Pendahuluan

emenjak pertengahan tahun 2007, ekonomi dunia menghadapi tiga macam krisis:

finansial, pangan dan bahan bakar. Seabrook (2008), seorang jurnalis Inggris berkata

bahwa krisis pangan dan keuangan terkadang disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan

semestinya. Krisis pangan di negara negara berkembang adalah sebuah sinyal bahaya, terlebih

bagi negara dengan pendapatan yang rendah. Terjadinya krisis adalah sebuah pengingat bahwa

pertanian sangat penting bagi negara-negara berpenghasilan rendah yang kebanyakan bertumpu

pada sektor ini sebagai sumber utama pendapatan dan ekspor mereka. Lebih jauh lagi, pangan

merupakan kumpulan barang barang yang dikonsumsi oleh banyak orang di negara-negara

tersebut sehingga ketersediaan pangan merupakan hal yang amat krusial. Pangan menjadi sangat

krusial karena memiliki efek yang sifatnya langsung dan mendesak terhadap kehidupan kalangan

tidak mampu. Ketika krisis pangan terjadi di banyak wilayah di dunia, kita menyaksikan

bagaimana banyak orang keberatan terhadap tingginya harga makanan. Hal ini menjadi bukti

bagi kita tentang betapa seriusnya isu pangan ini.

S

Banyak faktor baik jangka panjang maupun jangka pendek yang mempengaruhi penawaran dan

permintaan telah memberikan kontribusi terhadap krisis pangan belakangan ini. Terkadang,

hanya secuil perhatian diberikan oleh para pembuat kebijakan di negara negara maju untuk

memperhatikan bagaimana kebijakan pertanian di negara-negara maju itu telah mempengaruhi

negara-negara berkembang. Kebijakan liberalisasi pertanian telah secara negatif mempengaruhi

produk pangan yang dihasilkan negara berkembang dan membuat pasar resah. Alhasil, pada

pertemuan Food summit di Roma awal Juni 2009, tercetuslah beberapa kebijakan yang dibuat

untuk menenangkan pasar dibawah kepemimpinan negara-negara maju, bukan sebuah solusi

yang saya kira tepat, karena sebaiknya dicetuskan kebijakan yang menyembuhkan pasar, tidak

hanya menenangkan. Delegasi dari Argentina dan beberapa negara Amerika Latin lainnya

berkata bahwa “deklarasi (pertemuan puncak ini) didasarkan pada diagnose yang salah atas

permasalahan utamanya, maka dari itu solusi yang dikeluarkan tidak akan benar-benar

menyentuh dasar akar permasalahan (SUNS, 7 Juni 2008).

Setidaknya terdapat dua faktor utama yang menjadi akar permasalahan krisis pangan, yang

pertama adalah pengaruh dominan pasar dunia yang didominasi oleh ideology neo-liberal.

3

Page 4: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Ideologi ini merupaka sebuah pendiktean yang dilakukan oleh negara maju ke negara

berkembang melalui institusi keuangan internasional, WTO dan kerjasama ekonomi bilateral

yang dimiliki antara negara berkembang dengan negara maju. Faktor kedua adalah kebijakan

pertanian dalam negeri negara maju. Kontras dengan apa yang mereka ‘khutbahkan’ kepada

negara negara berkembang, pemerintah negara maju telah dengan segenap tenaga mendukung

sektor pertanian mereka, yang menyebabkan produk negara berkembang gagal bersaing di

pasaran dengan produk negara maju yang berkualitas namun dengan persediaan terbatas.

Perubahan Terhadap Suplai Produk Makanan

Kekeringan pada tahun 2007-2008 telah menjadi salah satu penyebab kelangkaan pangan

yang mendorong juga krisis pangan dunia. Namun, tingkat signifikansinya tidak terlampau besar.

Maka dari itu untuk mengesampingkan faktor tersebut, marilah kita mengjadi perubahan yang

terjadi terhadap suplai pangan dan hubungannya dengan pertumbuhan GDP di negara

berkembang antara tahun 2000-06. Dalam periode ini GDP meningkat di hampir seluruh

belahan dunia dengan pengecualian Amerika Latin (lihat Tabel 1), namun tetap saha peningkatan

produksi pangan bukannya baik malah menurun secara merata, hampir di seluruh negara-negara

berkembang, terlebih lagi di daerah sub-sahara dan negara negara berpendapatan rendah

lainnya.1 Di wilayah sub-sahara pada khususnya, terjadi penurunan jumlah produksi pangan

sedangkan jumlah penduduk meningkat cukup tinggi (lihat table 1). Benua Afrika secara

keseluruhan telah menjadi pengimpor produk makanan yang cukup signifikan sejak cukup lama.

Kebijakan Apikultural dan dampaknya pada produksi

Tidak diragukan lagi, banyak faktor alami jangka singkat yang telah berkontribusi

terhadap krisis pangan, namun kebijakan pertanian negara maju dan juga negara berkembang

adalah faktor utama dan yang paling signifikan dalam mempengaruhi krisis pangan dunia.

Banyak tekanan ditujukan ke negara-negara berpendapatan rendah oleh dunia luar dan negara

maju. Mereka diharuskan untuk melakukan liberalisasi produksi dan perdagangan dari produk

pertanian, menghilangkan, atau mengurangi subsidi dari produk domestic dan membuka pangsa

pasar mereka terhadap produk asing. Perubahan-perubahan ini telah membuat produk pangan

1 Tingkat pertumbuhan dikalkulasikan dari tahun 1999/2001-2004/2006 untuk menghindari efek fluktuasi tahunan

4

Page 5: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

negara-negara berkembang terekspos terhadap tekanan kompetisi yang tidak adil baik di pasar

domestik maupun internasional. Harga produk pertanian di tingkatan Internasional telah

dipengaruhi oleh subsidi pertanian , langkah-langkah pendukung faktor produksi dan eskpor

yang semuanya dilakukan oleh negara maju. Uni Eropa melakukan intervensi pasar internasional

secara langsung untuk mengontrol harga dari 72% produk pertaniannya. Amerika Serikat

menetapkan harga minimum untuk banyak produk pertaniannya dan mengintervesi pasar dengan

segala upaya apabila harga komoditas mereka di pasar internasional jatuh dibawah harga

minimum yang mereka tetapkan (Jhamtani 2008). Negara maju menghabiskan dana hampir

sebesar 400 Milliar Dollar per tahun untuk mendukung produk pertanian mereka, yang bila

dibagi rata adalah sebesar US$ 1760 per penduduk yang tinggal di wilayah rural. Angka ini 55

kali lebih besar dari total ekspor produk pertanian dari seluruh benua Afrika.

Program pendukung pertanian yang dilaksanakan oleh Amerika, bersama dengan kebijakan

Common Agricultural Policy dari Uni Eropa telah menyebabkan surplus persediaan pada

produk-produk utama pertanian dan masih memiliki kelebihan dari produk pertanian mereka

yang tidak diserap pasar konsumsi domestic. Karena hal tersebut, mereka harus menciptakan

sebuah pasar ekspor bagi produk pertanian mereka di negara negara berkembang dengan jalan

memberikan subsidi bagi para eksportir di negara mereka. Alhasil, banyak negara berkembang

menjadi tergantung pada impor produk-produk makanan yang diberi subsidi oleh negara maju

tanpa memperhatikan tingkat keamanan atau bahkan mengorbankan cadangan makanan mereka

sendiri.

5

Page 6: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Table 1: Berbagai indicator dari pertumbuhan produk pertanian dan persentase GDP (1990-2006)

Beberapa Contoh Perubahan Suplai Pangan

6

Page 7: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Mari kita menilik beberapa contoh dari pengaruh negative kebijakan pertanian neo liberal

terhadap produksi pangan di beberapa negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di

Afrika, Ghana merupakan negara swasembada beras pada tahun 1970an. Mereka mulai

melakukan liberalisasi terhadap sektor pertaniannya pada awal 1980an. Pada tahun 2002, secara

menyedihkan, untuk memenuhi kebutuhan domestic, Ghana harus mengimpor 64% kebutuhan

stik berasnya dari luar negeri. Pada tahun 2003, naik ke angka 79% 2. Produksi domestic beras di

bagian utara Ghana pada tahun 1978-1980 adalah sebesar 56.000 ton, dan jatuh secara signifikan

ke level 27.000 ton pada tahun 1983. Untuk mengimbagi tingkat kebutuhan, Ghana mulai

melakukan impor beras dari Amerika Serikat yang harga berasnya jauh lebih murah sebesar 34%

dibandingkan dengan harga beras produksi Ghana sendiri. Alhasil jumlah impor yang pada awal

2003 hanya sebesar 111.000 ton3, meningkat ke angka 250.000 ton dan bahkan 415.150 Ton

pada awal 20084.

Meningkatnya ketergantungan Ghana pada produk impor tidak terbatas pada produk utama

pangan saja semisal beras ataupun gandum, namun juga produk olahaan jadi pertanian lainnya

contohnya tomat. Produk prosesan tomat dari Uni Eropa mendapatkan subsidi langsung sebsar

298 Juta Dollar, belum termasuk subsidi tidak langsung5. Produksi tomat negara Ghana yang

telah di privatisasi dan liberalisasi harus berhadapan dengan produk tomat Eropa yang telah

disubsidi sejak pertengahan 1990an. Produksi tomat Eropa sendiri telah meningkat dari hanya

3200 Ton pada 1994 ke angka 24.097 ton di tahun 2002. Sebuah ketimpangan yang sangat jelas

dapat kita lihat disini.

Hal lain adalah ekspor produk daging dari Uni Eropa ke Ghana dan negara-negara Afrika Barat

lainnya yang menikmati subsidi sebesar 254 Euro per ton daging dan secara langsung

mempengaruhi suplai domestik ayam di Ghana. Produk daging impor menguasai 89% pasar

domestic Ghana pada 2001. Sebuah peningkatan yang amat sangat drastic bila dibandingkan

dengan angka 5%pada tahun 1992. Di Kamerun, pengurangan tariff impor akibat tekanan negara

maju dan lembaga keuangan internasional telah menyebabkan impor daging ke negara itu naik

2 Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”3 Ibid4 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”5 Ibid dengan referensi 2-3

7

Page 8: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

enam kali lipat. Di Senegal, 70% produsen daging local tersingkirkan oleh produk asing 6. Di

Cote D’ivvore produksi daging local turun 23% antara tahun 2001 dan 2003. Di Mozambique

produksi minyak sawit local turun dari 21.000 ton pada 1981 ke 3.500 Ton pada 2002. Secara

kontras, ketika sebuah negara di Afrika tidak mengindahkan saran Bank Dunia dan IMF untuk

melakukan liberalisasi sektor pertaniannya, mereka tidak menghadapi krisis dan kekurangan

suplai. Contohnya adalah Malawi.

Di Asia, contoh dapat dilihat pada Indonesia dengan produk kedelai dan berasnya dan juga China

dengan produk kedelainya. Indonesia mengalami swasembada beras setidaknya hingga akhir

1990an. Semenjak 1967 melalui Orde baru, pemerintahan Soeharto berusaha mendukung

produksi beras dan menstabilkan harganya melalui operasi pasar hingga Indonesia diguncang

krisis keuangan pada tahun 1997. Pada tahun tersebutlah Indonesia mulai mesra dengan IMF.

Oleh desakan dan tekanan yang dilakukan oleh IMF, pemerintah memulai liberalisasi impor

beras dan mengurangi intervensi pemerintah pada pasar domestic. Pada 1997, harga beras impor

berada dibawah harga beli yang dibayarkan pemerintah pada petani lokal. Pada tahun 2000,

pasar beras di Indonesia telah secara utuh diliberalisasikan dan sektor privat mendistribusikan

90% kebutuhan beras nasional, dimana jumlah terbesar kebutuhan pasar nasional Indonesia

disuplai oleh beras Impor. Dominasi sektor privat juga telah memberikan kontribusi terhadap

spekulasi yang tidak menentu pada pasar domestik beras.7

Liberalisasi kedelai di Indonesia juga telah menyebabkan berkurangnya lahan pertanian kedelai

yang pada awalnya lebih kurang 1,7 juta hektar pada tahun 1992 menjadi hanya sebesar 457.000

hektar pada tahun 2007. Harga dari produk kedelai yang diimpor dari Amerika sendiri lebih

murah 22% bila dibandingkan dengan produk domestik8

Pada kasus China yang juga melakukan aksi impor kedelai, kebanyakan dari Amerika Serikat,

aksi China ini telah memiliki impikasi turunnya produksi dalam negeri. China dahulu merupakan

negara pengekspor kedelai dan mengalami swasembada kedelai hingga tahun 2000 sebelum

mereka masuk ke WTO. Masuknya China ke WTO diiringi oleh dikuranginya biaya bea masuk

produk kedelai ke China sebesar 3 persen. Pada tahun 2006, harga kedelai impor berada dibawah

6 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”7 Jhamtani, H. (2008), “Chickens Dying in the Barn: the Case of Indonesia”,8 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”

8

Page 9: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

harga kedelai produksi local yang banyak dihasilkan di provinsi Heilongjian. Harga produk asing

ini masih jauh lebih murah dibandingkan produk local walaupun harga produk local tidak

memperhitungkan komponen upah pekerja dan biaya produksi. 9 Sebagai hasilnya, impor kedelai

telah membumbung tinggi. Pada tahun 2007, produk kedelai impor menguasasi 2/3 pasar

konsumsi dan perdagangan kedelai di China 10. Saat ini impor kedelai ke China diperkirakan

sebesar 40% dari total produksi kedelai dunia. 11

Kontradiksi pada Aturan Dagang

Terdapat beberapa kontradiksi dalam filosofi ekonomi neo-liberal yang terefleksikan

dalam desain dan implementasi aturan dagang internasional (GATT/WTO). Kontradiksi ini

berkaitan dengan peranan pasar dan juga kebijakan pemerintah. Tentang peranan pasar, para neo-

liberalis merekomendasikan absennya campur tangan pemerintah di pasar dan dalam aliran

perdagangan internasional. Mereka seakan menutup mata terhadap meningkatnya power dari

MNC di perdagangan internasional dan juga produksi secara umum, yang dalam aplikasinya di

lapangan juga mencakup perdagangan internasional dan juga produksi produk pertanian. Karena

pada akhirnya mereka tidak mau dijadikan kambing hitam atas ketidakaturan pasar dan

kesemerawutan bisnis akibat kurang ditegakkannya peraturan (yang hanya bisa dilakukan oleh

pemerintah) dalam dunia perdagangan internasional.

Pembukaan GATT (1947) merujuk pada tujuan dari liberalisasi perdagangan. Namun

peraturan pembukaan GATT/WTO tidak menyebutkan sama sekali mengenai kemungkinan

meningkatnya kekuatan menguasai pasar dari MNC. Hal yang serupa juga terjadi ketika Bank

Dunia dan IMF mempublikasikan beberapa edisi jurnal yang berisi penelitian terhadap

liberalisasi perdagangan dan kebijakan kompetisi dan juga bagaimana mereka menaruh tekanan

terhadap negara-negara berkembang untuk meliberalisasikan perdagangan, dalam jurnal tersebut

tidak didiskusikan sama sekali kekuatan MNC yang jahat dan ganas di pasar. Diantara jutaan

MNC di dunia yang bergerak di bidang pangan dan pengolahannya, hanya lima ratus diantaranya

saja yang telah menguasai 70% perdagangan internasional di pasar. Dan diantara lima ratusan

perusahaan tersebut, hanya beberapa perusahaan yang dapat dihitung dengan jari yang

9 Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”10 Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”,11 Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”,

9

Page 10: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

menguasai pasar untuk produk pangan. Perusahaan-perusahaan ini termasuk : Cargil, Mona

Santo, Minsa-Aranica, International Agroinsa, maseca-Archer Daniel Midland dan lain-lain.12

Aktifitas Spekulatif dari MNC

Negara berkembang diberikan masukan oleh para neo-liberalis, dan diberikan tekanan

oleh IFIs untuk meliberalisasikan perdagangan produk pertanian mereka, selain itu negara

berkembang juga ditekan untuk membuat produk yang sama dan seragam. Namun di sisi lain,

“dorongan pasar” diciptakan untuk memiliki mekanisme operasi yang selektif dan memiliki

marjin keuntungan. MNC tidak hanya mendominasi produksi, perdagangan dan proses mengolah

produk makanan, namun mereka juga secara bebas ikutserta dala aktifitas spekulatif baik di pasar

internasional maupun pasar domesik negara-negara berkembang. Di pasaran internasional, krisis

keuangan dan pasar perumahan telah memotivasi mereka untuk lebih mengintensifkan kegiatan

spekulatif mereka di pasar komoditas yang termasuk di dalamnya Minyak Bumi, emas dan

produk makanan. 13

Terdapat beberapa contoh dari kegiatan dominasi dan spekulatif dari MNC dalam pasar domestic

di negara berkembang. Di China, ketika pemerintah mulai menarik diri dari pasar kedelai. 4

MNC mengontrol 85 persen pasar dan mereka juga terlibat dalam kegiatan spekulatif yang

menyebabkan kenaikan harga. Sebagai contoh, pada 2005, harga kedelai meningkat 60% dalam

dua bulan. 14 Di Mexico, spekulasi dan aktifitas hoarding oleh 4 MNC mendominasi pasar jagung

yang meningkatkan harga secara tajam di pasaran domestic jagung pada 2006. Kenaikan harga

mencapai 100%. Kenaikan harga jauh melampaui harga jagung di pasaran internasional. Harga

tersebut nampaknya tidak dipengaruhi oleh kenyataan bahwa terdapat persediaan jagung yang

cukup banyak di pasar domestik

Desain aturan GATT/WTO mengalami kontradiksi dari sisi lain juga. Ketika kita mendalami

filosofi dibalik aturan GATT/WTO itu, terdapat sebuah kenyataan bahwa aturan tersebut

terspesialisasi berdasarkan prinsip statis comparative advantages. Dan terdapat sebuah rahasia

bahwa sektor pertanian (dan juga sektor pekerja intensif yang membuat produk tersebut) telah

12 Wade, R.(2005),”What Strategies Are Viable for Developing Countries Today?13 Seabrook, J. (2008), “Global Hunger: Let them Crunch Credit”,14 Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”

10

Page 11: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

dikesampingkan dari GATT sejak awal mula. Negara maju memberikan justifikasi dan alasan-

alasan bahwa dukungan yang mereka berikan pada sektor pertanian mereka adalah upaya

mendukung kehidupan sosial (menambah pemasukan petani) dan juga nilai strategis (keamanan

cadangan makanan). Tidak jelas mengapa alasan sosial menjadi relevan untuk para petani di

negara maju yang rata-rata hidup dengan pendapatan per kepala sebesar 1.5 Juta Dollar per

tahun. Sangat kontras bila dibandingkan dengan para petani di negara berpendapatan rendah

yang mati-matian hidup dengan pemasukan kurang atau setara denga 1 dollar per hari

(Pemasukan per kapita kurang lebih adalah 366 dollar). Berdasarkan undang-undang baru di

Amerika, para pasangan petani yang memiliki pendapatan dari pertanian sebesar 1.5juta per

tahun juga akan menerima subsidi. Mengapa mereka mensubsidi golongan kaya? Sedangkan di

lain sisi mereka, para negara maju dan IFI menceramahi para petani di negara berkembang yang

kebanyakan hidup dengan upah kurang dari satu dollar per hari untuk meliberalisasi pertanian

mereka dengan iming-iming mendapat bagian dari kekayaan dunia, padahal yang sebenarnya

mematikan hidup mereka. Sebuah alasan yang absurd dan ketimpangan yang amat nyata terlihat

disini. Seabsurd alasan mereka untuk mensubsidi petani kaya dengan dalih mengamankan

cadangan makanan, bukanlah isu yang utama bagi negara miskin.

Lain Amerika, lain pula Uni Eropa. EU memiliki tujuan untuk mampu berswasembada

kebutuhan pangan pokok rakyat mereka, tidak peduli ongkos produksi yang cukup mahal di

negara anggota mereka. Namun di sisi lain, EU memberikan tekanan pada negara-negara di

Afrika, Karibia dan wilayah samudera pasifik untuk meliberalisasikan pertanian mereka dan

membuat mereka menjadi subyek pasar barang makanan murah yang disubsidi dari Eropa.

Dibawah tekanan, negara-negara ini “dipaksa” menandatangani EPA atau perjanjian kerjasama

ekonomi yang memberikan konsesi dengan landasan keuntungan bersama dan berbasis pada

kompetisi yang seimbang. Namun kenyataannya terjadi ketimpangan dalam kompetisi, dan

dalam kenyataannya tidak ada pasar kompetisi yang datar dimana semua pihak berdiri sama rata.

Pasar kompetisi pada kenyataannya tidak datar sama sekali, karena para pemain di dalamnya

tidak memiliki kemampuan yang setara baik dalam skill dan kekuatan.

Lebih jauh lagi, pemerintah dari Negara maju dan perusahaan pengimpor mereka menerapkan

aturan yang sangat ketat masalah SPS (sanitary and phytosanitary) atau standar keamanan dan

11

Page 12: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

sanitasi produk terhadap produk impor yang dating dari Negara berkembang. Namun dengan

“liciknya” mereka mengekspor makanan yang telah terkontaminasi dan telah termodifikasi

secara genetis baik melalui jalur bantuan pangan, maupun mengekspornya ke Negara

berkembang yang tidak memiliki system quality control.

Insiden ekspor produk-produk kualitas kelas “teri” itu telah dapat ditemui di Colombia, Bolivia,

Ecuador, Angola, Malawi, Zambia, Lesotho, Mozambique, Swaziland, Nigeria, Sudan dan Sierra

Leon. Pada beberapa kasus di Negara berkembang, semisal Sudan dan Angola, mereka telah

dipaksa untuk menerima makanan yang telah dimodifikasi secara genetis diluar kemauan

mereka. Makanan yang telah direkayasa secara genetis tidak hanya terbukti tidak aman, namun

juga tidak ekonomis. Kisah mengenai makanan yang direkayasa secara genetis tidak hanya

berhenti disini saja. Bahkan ketika Negara-negara berkembang sedang berupaya menumbuhkan

kapasitas mereka untuk dapat mengikuti aturan SPS yang ketat, Negara berkembang kembali

mengeluarkan isu mengenai limbah karbon di udara dengan dalih perlindungan lingkungan.

Sebagai contoh. Uni Eropa sedang mempertimbangkan larangan impor buah dan sayuran dari

Afrika yang dikirim melalui kargo udara dengan dalih untuk mengurangi pencemaran udara,

padahal mereka tidak berpikir apabila Uni Eropa terpaksa melakukan penanaman tanaman untuk

menghasilkan buah yang seharusnya mereka impor dari Afrika di Negara Eropa pada iklim yang

bukan habitatnya, maka akan menimbulkan efek lingkungan yang lebih buruk

Dilema Proposal Kebijakan

Bukan hal yang mengejutkan bahwa laporan dari “International Assessment of

Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development”, telah menyimpulkan bahwa

“…liberalisasi perdagangan secara eksesif dan cepat memiliki konsekwensi negatif terhadap

keamanan suplai makanan, meningkatnya kemiskinan dan juga berdampak negative pada

lingkungan.” Lebih jauh lagi, mereka menambahkan bahwa “kekuatan pasar secara tungga tidak

dapat menjamin ketersediaan cadangan makanan bagi kaum miskin”. Laporan autoritatif ini

disponsori oleh berbagai organisasi cabang PBB dan melibatkan lebih dari 400 peneliti dan

akademisi yang kompeten. Laporan ini telah menjadi “bukti dan bahan evaluasi bagi ribuan ahli

diseluruh dunia”. Namun cukup mengejutkan bahwa walaupun laporan ini berasal dari berbagai

12

Page 13: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

sumber terpercaya yang bergerak di berbagai lapisan masyarakat, namun hanya sedikit

pemerintah Negara maju yang mengakui laporan tersebut sebagai sebuah laporan. Bahkan

pemerintah Amerika Serikat memerintahkan diplomatnya di PBB untuk tidak menandatangai

laporan tersebut dan juga mengklaim bahwa laporan tersebut absurd, tidak seimbang dan

berkeberatan atas kesimpulan atas peranan pasar yang dianggap sangat negative, dan lebih

khususnya, Amerika keberatan atas pernyataan laporan tersebut yang berkata bahwa liberalisasi

pasar di negara berkembang membawa dampak negative.

Mr Zoelic, Presiden Bank Dunia memperingatkan bahwa krisis pangan dapat mendorong 100

juta orang di dunia ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Namun dia, tidak mengakui

tanggung jawab Bank Dunia yang sedikit banyak berkontribusi terhadap maslah tersebut, tidak

juga dia memberikan rujukan bahwa bank dapat belajar dari krisis untuk menghadapi program

penyesuaian structural. Pada kenyataannya, walaupun dunia telah diperingatkan melalui krisis

pangan, namun proposal kebijakan yang diajukan oleh kaum neolib, IFI dan organisasi

internasional lainnya tidak berubah. Tetap menyedot segala daya upaya negara berkembang dan

di lain sisi melakukan proteksi terhadap pertanian mereka sendidi.

Ayam yang mati di Lumbung padi: Studi Kasus Efek Neolib di Indonesia

Belakangan ini kita melihat terdapat kenaikan harga yang amat signifikan, khususnya pada

produk kedelai dan minyak goreng di Indonesia. Masih lekat dalam ingatan kita ketika pada

bulan Januari 2008, sekitar 10.000 pengerajin Tahun dan tempe melakukan demosntrasi di depan

Istana merdeka Jakarta. Para demonstran ini meminta pemerintah menurunkan harga kedelai dan

tidak lagi memperpanjang kebijakan perdagangan bebas kedelai yang pada prakteknya

mengijinkan perusahaan perseorangan untuk mengontrol harga. Sedangkan pada minyak goreng,

Indonesia sebagai negara terbesar penghasil kelapa sawit menyaksikan kenaikan harga yang

tidak logis pada komoditas minyak goreng. Harga komoditas ini meroket naik terlampau jaug,

dari Rp 6.000 (US$ 60 cents) hingga ke harga Rp.16.000 (US$ 1.60) pada akhir 2007. Anehnya,

kenaikan ini terjadi hanya pada harga minyak curah yang dijual di pasar tradisional, bukan

minyak yang berlabel yang dapat kita beli di supermarket maupun hypermarket. Kenaikan

minyak dan kedelai ini diikuti kenaikan di produk pangan lainnya semisal daging dan produk

13

Page 14: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

makanan olahan. Layaknya di negara berkembang lainnya sebagaimana yang telah kita sebutkan

diatas, kenaikan harga barang di Indonesia merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Namun

khusus di Indonesia, nampaknya kenaikan harga akibat diabaikannya kebijakan keamanan

persediaan pangan yang dikeluarkan pemerintah pada tingkatan nasional, dihilangkannya jaring

pengaman pemerintah yang mengontrol harga komoditas, dan yang paling parah adalah

liberalisasi perdagangan membuat harga barang pada level domestic sangat dipengaruhi oleh

harga barang yang diekspor atau diimpor.

Selama beberapa windu, terlebih pada era orde baru, beras bukanlah salah satu komoditas yang

menjadi subjek dari perdagangan bebas. Selain memberikan subsidi untuk pupuk, bibit dan

irigasi, pemerintah juga menyediakan subsidi bagi pembelian beras dari petani dengan Harga

Eceran terendah tertentu sehingga mampu mengontrol Harga Eceran Tertinggi beras di pasaran.

Sehingga harga beras terjangkau, terlebih bagi pada masyarakat urban yang banyak hidup

dibawah garis kemiskinan. Walaupun upaya – upaya ini disebut sebut memiliki motif politik

untuk menjaga kekuasaan politik mereka, namun sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa

Pemerintah telah berhasil melakukan stabilisasi harga dalam jangka panjang.

Sejak tahun 1967 pemerintah membentuk BULOG yang berfungsi untuk menstabilkan harga dan

supply barang, utamanya beras. Harga komoditas lain yang juga dicoba dijaga oleh BULOG

adalah gula, tepung terigu, kedelai, pakan ternak, minyak goreng, telur daging dan bahkan

rempah-rempah. Fungsi ini dilaksanakan secara ad hoc oleh BULOG ketika harga barang mulai

naik. 15 Hingga pertengahan 1990-an BULOG mempertahankan harga eceran terendah dan

tertinggi untuk banyak harga komoditas melalui empat instrument kebijakan. (1) Kontrol

Monopoli melalui perdagangan internasional beras; (2) akses terhadap pinjaman yang tidak

terbatas (dengan tingkat suku bunga yang benar-benar diberikan subsidi oleh pemerintah) ; (3)

pembelian sebanyak-banyaknya komoditas sembako untuk menjaga Harga Eceran terendah dan

tertinggi ; (4) Dukungan jaringan logistic yang ekstensif dan berskala nasional. Walaupun bulog

sering dinilai sebagai mesin politik, namun peranannya dalam menstabilkan harga komoditas

sembako di pasar dinilai sangat membantu kalangan kecil.

15 Saifullah, A., 2001, 'Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional' [online]. Dapat diunduh melalui: http://www.bulog.co.id/kajian%20Ilmiah/aPapBulBer.pdf

14

Page 15: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Namun pada tahun 1998, setahun setelah keterpurukan krisis ekonomi tahun 1997, intervensi

pemerintah tidak lagi dinilai sebagai kebijakan yang berpihak kepada kaum miskin. Sebagai

bagian dari syarat pinjaman darurat yang disediakan IMF, lembaga tersebut menetapkan banyak

persyaratan bagi pemerintahan dan pasar Indonesia, termasuk kebijakan yang terkait dengan

keamanan dan ketersediaan sembako di pasar domestic. Beberapa aturan yang diterapkan IMF

adalah : penghapusan dan atau pengurangan subsidi, pengurangan tariff impor pada komoditas

Sembako, terutama beras dan mengurangi peranan pemerintah dalam perdagangan pangan

dengan cara mentransformasi BULOG dari agen pemerintah non departemen ke BUMN

sehingga mengurangi peranan intervensi pasarnya.

Kemudian, IMF juga meminta pemerintah untuk mengurangi tariff impor beras sebesar 5%, dan

semenjak itulah sektor privat menguasai perdagangan beras di Indonesia dengan memasukkan

banyak beras Impor ke Indonesia. Pada tahun 1999, sektor privat bertanggung jawab atas 64%

impor beras ke Indonesia sehingga pasar kebanjiran beras dan pada akhirnya harga beras terjun

bebas. Pada awalnya nampaknya ini adalah sebuah kebijakan yang berpihak kepada kaum

kurang mampu, namun banyak kaum kurang mampu ini adalah para petani. Ketika harga beras

jatuh, hal tersebut juga melukai mereka. Semenjak revolusi hijau, banyak petani menjual hasil

panen mereka ke pasar melalui agen pemerintah semisal bulog, dan untuk memenuhi kebutuhan

sandang mereka, mereka membelinya dari pasar. Apabila harga beras jatuh terlalu rendah

sedangkan komoditas lain harganya tetap atau malah makin naik, secara otomatis akan

melemahkan daya beli mereka.

Tidak seperti di masa lalu, Bulog tidak lagi mampu membeli beras petani dengan harga yang

tetap dengan jumlah dana talangan yang tidak terbatas. Bulog saat ini hanya membeli gabah

dengan tujuan meningkatkan harga bibit beras, namun dengan batasan APBN yang sangat ketat

dan ketidakmampuan memberikan kredit kepada para petani. Posisi Bulog ini membuat mereka

tidak mampu membeli gabah dengan harga subsidi dan tidak mampu menstabilkan pasar. Saat ini

peranan Bulog hanya memformulasikan kebijakan dalam penentuan harga beli gabah dari petani

oleh pemetintah. Tidak memiliki lagi peranan control harga, Bulog dalam jangka waktu dekat

akan menjadi sebuah perusahaan dengan fungsi sosial.

15

Page 16: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Sebagai kesimpulan, pada Januari 2000, pasar beras telah diliberalisasikan sepenuhnya., Siapa

saja diberikan kebebasan untuk melakukan impor beras dengan biaya 30% tariff impor16. Hal ini

telah menciptakan beberapa permasalahan, yang pertama adalah distribusi beras oleh sektor

privat telah meningkat hingga 90% distribusi nasional dan bulog hanya menguasai 10% sisanya.

Kedua, harga beras telah menjadi sangat tidak terkendali dan tidak mampu diprediksi dan

merupakan mangsa empuk bagi para spekulan.

Hal yang paling meresahkan adalah kurangnya mekanisme perlindungan bagi para petani kecil,

sebuah mekanisme yang bahkan oleh negara maju masih sangat diperhatikan. Ambillah contoh

Eropa dan Amerika Serikat.perlu ditemukan sebuah mekanisme untuk memberkan pasar sebuah

produk dengan subsidi tanpa perlu memberikan untung pada pihak tertentu saja semisal program

raskin yang terbukti hanya menjangkau sebagian kecil rakyat miskin dan kebanyakan tidak

memiliki akses kepadanya. Kesalahan manajemen domestic dari kebijakan pertanian dan tekanan

internasional untuk meliberalisasi perdagangan pangan memiliki efek langsung yang sangat

merusak bagi pasar. Indonesia harus memformulasikan sebuah kebijakan yang menciptakan

jaring pengaman yang mampu memberikan rasa aman pada petani dan rakyat miskin. Menaikkan

produktifitas produk pertanian dan mengamankan kebijakan dalam negeri dari intervensi asing.

Kesimpulan

16 Timmer, P., 2004, 'Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook', Center for Global Development, Working Paper Number 48, November 2004; and Krishnamurthi, B., 2006, 'Fakta dan kebijakan perberasan', discussion paper in the WTO Forum mailing list, 20 January 2006.

16

Page 17: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

ita telah menelaah dengan singkat tentang akar permasalahan krisis pangan di negara

negara berkembang. Selain faktor alam yang mempengaruhi, kesalahan terbesar ada

pada kebijakan yang terlalu liberal dan menciptakan kekalahan pasar domestic atas

produk asing yang lebih murah dan disubsidi, walaupun keamanannya tidak senantiasa terjamin.

Kontribusi faktor structural terhadap krisis pangan menciptakan kenaikan harga yang akan tetap

berlanjut di masa depan kecuali pemerintah negara berkembang mampu membuat sebuah

perubahan kebijakan yang fundamental di negara mereka dan mampu mengatasi faktor-faktor

praktek IFI, terlebih yang memiliki kebijakan intervensi pasar dan menyangkut aturan aturan

WTO. Untuk mencari penawar bagi krisis pangan, Sekjen PBB Kim Bai Moon menyerukan pada

pertemuan Food Summit di Roma Juni 2008 untuk menciptakan sebuah jaring pengaman untuk

negara-negara miskin dengan jalan membangun kapasitas para petani untuk meningkatkan

kualitas dan kuantitas produk pangan dan juga menyediakan sumber daya bagi para petani

miskin secukup kebutuhan mereka untuk mendukung produksi. Produksi mereka tidak akan

meningkat kecuali mereka juga diberikan insentif, bantuan pertanian dan pemasaran dan juga

peraturan yang mampu memprediksikan harga pasaran produk pertanian. Neoliberalisme sudah

terbukti paham yang menguntungkan the have saja dan tidak membawa dampak positif bagi

negara-negara miskin semisal Indonesia.

K

Semua perubahan yang diperlukan dalam perbaikan system ekonomi di negara-negara miskin

akan sangat bertentangan dengan filosofi neo liberals, “Washington Consensus”, praktek-praktek

IFI dan perjanjian bilateral antara negara berkembang dengan negara maju. Tanpa perubahan

tersebut, sektor pertanian dan negara-negara dengan pendapatan rendah akan lebih tersiksa dalam

perdagangan internasional. Pertanian yang jatuh, menambah pelik permasalahan de-

industrialisasi negara-negara miskin ini dan akan berujung pada ketergantungan makanan impor,

bantuan asing, stagnansi dan intensifikasi kemiskinan. Membuat kebijakan yang menentang

system neo liberalism bukanlah hal yang mudah, namun sangat diperlukan untuk pembangunan

jangka panjang dan kemakmuran warga. Negara negara berkembang harus sebisa mungkin

menolak EPA dari Uni Eropa, dan melakukan tuntutan kepada negara maju untuk mengindahkan

hasil pertemuan Doha Round, terutama yang berkaitan dengan pengeluaran keuangan pemerintah

(subsidi yang terlalu besar) yang tidak sebanding. Sebuah perubahan radikal dalam system

perdagangan, praktek IFI dan kebijakan negara maju di negara berkembang juga sangat

17

Page 18: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

dibutuhkan demi kelangsungan masa depan dunia yang lebih sejahtera dan aman. Negara-negara

berkembang hanya memiliki kekuatan kecil untuk melakukan perubahan ini dan kebijakan local

mereka hanya membawa dampak kecil bagi keseluruhan ekonomi dunia. Untuk itu kemauan dari

kedua belah pihak sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan krisis pangan dunia

dan juga mengakhiri atau mencari alternative dari paham neo-liberalisme yang sudah terbukti

tidak ramah bagi banyak actor di dunia internasional.

Daftar Pustaka

Ghosh, J. (2008), “The global Food Crisis”, Kuliah Umum di University

of Turin, Italy,2 1, May 2008, available at www.networkideas.org.

18

Page 19: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Ho, MW (2008), “GM Crops are not the Answer to World Food Crisis”, dapat diunduh melalui

www.twnside.org.sg.

------- (2007), Genetic Engineering: Dream or Nightmare? The Brave New Word of Bad Science

and Big Business, (Third World Network, Gateway Books, Macmillan, Bath and New York and

penning). (Buku)

Jiajun Wen, D. (2008), “How to feed China A late of Two Paradigms”, dapat diunduh melalui

www.twnside.org.sg.

Jhamtani, H. (2008), “Chickens Dying in the Barn: the Case of Indonesia”, dapat diunduh melalui

www.twnside.org.sg.

Khor, M. (2008), “Food Crisis, climate Change and the Importance of Sustainable Agriculture”,

Presentasi pada FAO Food Security Summit, Rome, June 2008, dapat diunduh melalui

www.twnside.org.sg.

Mohanty, M. (2008), “Small Farmers and Doha round: Lessons from Mexico’s NAFTA

Experience” International Development Studies association dapat diunduh melalui

www.networkideas.org.

Oxfam, (2008), “Partnership or Power Play? How Europe Should Bring Development into Trade

Deals with African, Caribbean, and Pacific countries”, (Oxfam International, Oxford).

Seabrook, J. (2008), “Global Hunger: Let them Crunch Credit”, dapat diunduh melalui

www.twnside.org.sg.

Shafaeddin, M. (2005), Trade Policy at the Crossroads, the recent Experience of Developing

countries (Basingstock, UK and New York, Palgrave Macmillan). (buku)

19

Page 20: Neoliberalisasi Pertanian-Tugas Ekonomi Politik Internasional

Ari Wijanarko Adipratomo,A+.;A.A.;[KtGC].OBE--- Menjatuhkan Sektor Pertanian Pasca De-Industrialisasi :Sebuah pengaruh Buruk dari Neo-Liberalisme di Negara-Negara Berkembang – TUGAS AKHIR KELAS EPI

Saifullah, A., 2001, 'Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional' dapat diunduh melalui

www.bulog.co.id/kajian%20Ilmiah/aPapBulBer.pdf

Timmer, P., 2004, 'Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook',

Center for Global Development, Working Paper Number 48, November 2004; and

Krishnamurthi, B., 2006, 'Fakta dan kebijakan perberasan', discussion paper in the WTO Forum

mailing list, 20 January 2006.

Wade, R. 2005. “What Strategies are Visible For Developing Counties today? The World Trade

Organization and Shrinking of Development Space” in Gallagher, K.P. (2005) Putting

Development Forward. (buku)

20