negosiasi dan dimensi budaya

9
Negosiasi dan Dimensi Budaya Berkaitan dengan taktik atau strategi dalam bernegosiasi ini, seorang negosiator sifatnya wajib untuk membaca situasi, memetakan keadaan, dan mengerti culture, sehingga dia tahu harus menempatkan posisi seperti apa. Apalagi dalam suatu negosiasi bisnis yang berada di level internasional, seorang negosiator seharusnya cukup mumpuni untuk membaca situasi crosscultural maupun intercultural. Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan seorang negosiator untuk membaca situasi menentukan kebehasilannya dalam melakukan negosiasi. Kemampuan membaca budaya menjadi faktor yang cukup penting bagi seorang negosiator. Untuk itu, dalam paparan ini kita akan melihat dahulu dan memetakan, dalam kondisi negosiasi atau membincangkan kepentingan antara dua pihak atau lebih, situasi seperti apakah yang akan muncul berdasarkan dimensi komunikasi yang dikemukakan oleh Hosstede. Seperti yang dinyatakan oleh Hofstede bahwa budaya adalah daerah konsep mental yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku manusia, secara kolektif konsep mental sekelompok orang dalam suatu negara disebut dengan kebudayaan nasional. Berdasarkan analisis faktor budaya, Hofstede (1980) secara empiris menemukan ada empat dimensi program mental yang dikembangkan dan mempengaruhi proses terjadinya negosiasi, yaitu: a. Power Distance.

Upload: emanuel-rian

Post on 24-Jan-2016

415 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

good luck

TRANSCRIPT

Page 1: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

Negosiasi dan Dimensi Budaya

Berkaitan dengan taktik atau strategi dalam bernegosiasi ini, seorang negosiator sifatnya

wajib untuk membaca situasi, memetakan keadaan, dan mengerti culture, sehingga dia tahu

harus menempatkan posisi seperti apa. Apalagi dalam suatu negosiasi bisnis yang berada di

level internasional, seorang negosiator seharusnya cukup mumpuni untuk membaca situasi

crosscultural maupun intercultural.

Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan seorang negosiator untuk membaca situasi

menentukan kebehasilannya dalam melakukan negosiasi.

Kemampuan membaca budaya menjadi faktor yang cukup penting bagi seorang negosiator.

Untuk itu, dalam paparan ini kita akan melihat dahulu dan memetakan, dalam kondisi

negosiasi atau membincangkan kepentingan antara dua pihak atau lebih, situasi seperti

apakah yang akan muncul berdasarkan dimensi komunikasi yang dikemukakan oleh

Hosstede. Seperti yang dinyatakan oleh Hofstede bahwa budaya adalah daerah konsep mental

yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku manusia, secara kolektif konsep mental

sekelompok orang dalam suatu negara disebut dengan kebudayaan nasional.

Berdasarkan analisis faktor budaya, Hofstede (1980) secara empiris menemukan ada empat

dimensi program mental yang dikembangkan dan mempengaruhi proses terjadinya negosiasi,

yaitu:

a. Power Distance.

Merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya ketidaksejajaran (inequality) dari

anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam suatu institusi (keluarga, sekolah, dan

masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja).Perbedaan kekuasaan ini berbeda-beda

tergantung dari tingkatan sosial, tingkat pendidikan, dan jabatan. Misalnya politisi dapat

menyukai status dan kekuasaan, pebisnis menyukai kesejahteraan dan kekuasaan, dan

sebagainya. Ketidak sejajaran ini dapat terjadi dalam masyarakat (perbedaan dalam

karakteristik mental dan fisik, status sosial, kesejahteraan, kekuasaan, aturan, hukum, dan

hak), keluarga, sekolah, dan ditempat kerja/organisasi (nampak pada struktur organisasi dan

hubungan antara boss-subordinate).

Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari

suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang dianggap

Page 2: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur,

pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk

power distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi,

masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik.

Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat

persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang

disandang oleh seseorang.

b. Uncertainty Avoidance

Merupakan salah satu dimensi dari Hofstede mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan

dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap

perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,

cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan

mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada

keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk

menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan

uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk

ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima resiko, dapat memecahkan masalah,

memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang

dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh

kepercayaan.Ketidak pastian dalam suatu organisasi berkaitan dengan konsep dari lingkungan

yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang diluar kendali perusahaan.

c. Individualitas vs kolektivitas

Merupakan dimensi kebudayaan yang menunjukkan adanya sikap yang memandang

kepentingan pribadi dan keluarga sebagai kepentingan utama ataukah sebagai kepentingan

bersama di dalam suatu kelompok. Dimensi ini juga dapat terjadi di masyarakat dan

organisasi. Dalam organisasi yang masyarakatnya mempunyai

dimensi Collectivism memerlukan ketergantungan emosional yang lebih besar dibandingkan

dengan masyarakat yang memiliki dimensi Individualism(Hofstede: 1980 217). Beberapa

faktor yang mempengaruhi tingkat individualisme diantaranya adalah: tingkat pendidikan,

sejarah organisasi, besarnya organisasi, teknologi yang digunakan dalam organisasi, dan

subkultur yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan.

Page 3: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

d. Maskulinitas vs femininitas

Merupakan dimensi kebudayaan yangmenunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat

peran yangberbeda-beda tergantung jenis kelaminpara anggotanya. Padamasyarakat

maskulin, menganggap pria harus lebih berambisi,suka bersaing, dan berani menyatakan

pendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Dalam

masyarakatfeminin, kaum pria diharapkan untuk lebih memperhatikan kualitaskehidupan

dibandingkan dengan keberhasilan materialitas. Lebihjauh dijelaskan bahwa masyarakat dari

sudut pandang maskulinitasadalah masyarakat yang lebih menggambarkan sifat kelaki-

lakian,sedangkan masyarakat femininitas lebih menggambarkan sifat kewanitaan.

Untuk mempermudah bagaimana dimensi budaya ini mempunyai keterkaitan dengan

negosiasi internasional yang pasti mempunyai diferensiasi budaya yang nyata, Hofstede

dalam International Bussiness Negotiation melalui penelitiannya menampilkan sebuah bagan

yang menarik dan memudahkan kita untuk membaca bagaimana keterkaitan antara dimensi

budaya dengan negosiasi internasional.

Power Distance Individualism MasculinityUncertainty

Avoidance

Country Index Rank Index Rank Index Rank Index Rank

Spain

Sweden

Turkey

Uruguay

USA

Venezuela

Yugoslavia

57

31

66

61

40

81

76

23

6-7

35-36

28

16

48-49

42

51

71

37

36

91

12

27

34

43-44

26

25

53

4

19-21

42

5

45

38

62

73

21

16-17

1

21-22

12

39

51

5-6

36

29

35

100

46

76

88

39-44

4-5

37-38

50

11

32-33

46

Page 4: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

Region

East Africa

West Africa

Arab Countries

Bangladesh

Poland

64

77

80

31-33

43-44

47

27

20

38

19-21

13-15

27-28

41

46

53

15

23-24

31

52

54

68

18

20

27

Rank  1 = lowest ; Rank 53 = highest

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Hofstede mencoba mengajak melihat untuk melihat

bagaimana negosiasi yang terjadi dan bagaimana posisi negosiator dengan berbagai sebaran

dimensi budaya yang berbeda-beda. Melalui tabel di atas, Hofstede ingin mengatakan relasi

yang terjadi dalam negosiasi internasional dari sudut pandang dimensi budaya, sebagai

berikut :

1. Semakin besar jenjang power distance antara kedua negara yang melakukan negoasiasi,

akan semakin besar pula kemungkinan kontrol yang lebih terpusat dan pengambilan

keputusan negoasiasi yang lebih terstruktur (mengandalkan leader). Biasanya negosiasi

akan diakhiri dengan ikut sertanya otoritas struktural dalam pengambilan keputusan.

2. Untuk negara yang memiliki nilai kolektivitas yang tinggi, negosiasi bisa dilakukan dengan

cara yang lebih akrab dan bersifat kekeluargaan. Sifat keakraban yang terjalin dalam

masyarakat kolektivis merupakan kunci keberhasilan negosiasi. Oleh karenanya, apabila

terjadi penggantian orang dalam suatu proses negosiasi, ini akan menjadi ganguan yang

menyebabkan proses harus dimulai lagi dari awal. Konflik menjadi persoalan yang tabu dan

seorang mediator memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan dari suatu

negosiasi.

3. Dalam budaya yang maskulinitas, kekuatan menjadi titik tumpu dan etos kerja menjadi

acuan yang diandalkan. Sedangkan pada budaya feminis, nilai simpati menjadi faktor

perhatian dimana ego kadangkala ikut bermain di dalamnya. Oleh karenanya, negosiasi

Page 5: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

antara dua budaya maskulin jauh lebih sulit dan lebih keras menemukan titik temu karena

perilaku ego-boosting di antar amereka sama-sama kuat dan sama-sama ingin menunjukkan

kekuatannya. Misalnya saja perebutan wilayah yang pernah dilakukan oleh Argentina dan

Britania Raya pada tahun 1983. Meskipun pada akhirnya menghasilkan perjanjian damai,

untuk menuju perdamaian ini dua negara ini harus melewati pertempuran yang

menumpahkan darah selama beberapa tahun sebelumnya.

4. Uncertainty Avoidance menunjukkan bagaimana peran dan posisi seorang negosiator untuk

menghindari ketidakpastian dan nilai-nilai ambiguitas yang muncul dalam negosiasi.

Negosiator yang berasal dari negara yanguncertainty avoidancenya rendah lebih suka

menghindari budaya yang terstruktur dan ritual negosiasi yang prosedural.

Dalam dimensi yang berbeda, terkandung perspektif yang berbeda. Oleh karenanya,

dibutuhkan pula strategi yang berbeda pula dalam tiap-tiap masyarakat yang mempunyai

dimensi budaya yang berbeda. Dengan mampu melihat dan memetakan, maka proses

negosiasi yang terjadi juga akan lebih mudah ditaklukan. Beberapa strategi, dalam dua tataran

budaya yang berbeda ketika dalam situasi yang berbeda dapat dilakukan untuk melihat

bagaimana negosiasi yang terjadi. Cara yang pertama, adalah dengan melihat proses integrasi

maupun distribusi sebagai pendekatan atas masalah yang dikaji untuk menentukan posisi

strategis (Putnam, 1990). Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa tujuan awal dari para

negosiator adalah membentuk pilihan strategis yang mereka pilih. Negosiator yang memulai

dengan cara memaksimalkan keuntungan secara kolektif dengan menggunakan taktik

integratif secara profesional lebih sering dijumpai daripada negosiator yang menggunakan

taktik distributif profesional dengan mengedepankan individualitas. Pada praktiknya,

negosiasi selalu terjadi dinamis dan negosiator tidak hanya menggunakan satu strategi saja.

Namun biasanya salah satu pendekatan strategis, akan mendominasi dalam situasi negosiasi.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan ini kita bisa menyimpulkan bahwa budaya memegang peranan

penting dalam suatu negosiasi, apalagi negosiasi yang terjadi lintas budaya dan lintas negara.

Priut mencatat bahwa negosiasi yang mempertemukan dua kepentingan yang berbeda ini bisa

jadi menemukan titik temu yang win win solution (integratif), win lose solution (distributif),

atau sama sekali tidak menemukan kesepakatan. Berhasil atau tidaknya proses negosiasi ini

ditentukan oleh perbedaan budaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi.

Page 6: Negosiasi Dan Dimensi Budaya

Sebagaimana disebutkan oleh Hofstede,power distance, masculinity-feminimity, uncerrtainty

avoidance, dan individualist-collectivist akan menjadi penentu keberhasilan dalam proses

negosiasi budaya. Dari sinilah Lax dan Siberius menawarkan solusi bahwa dalam negosiasi

yang terjadi dengan dua budaya dan dua kepentingan yang berbeda, dapat dijembatani

dengan melihat latar belakang dan perbedaan dimensi budaya antara kedua pihak tersebut.

Sehingga, negosiasi bisa disiasati dan menghasilkan titik temu yang proporsional.