naskah akademik ranperda penyelenggaraan pendidikan filepenyelenggaraan pendidikan, diperlukan pula...
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIK RANPERDA
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA
DAN FAKULTAS HUKUM UNUD
2015
2
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN JEMBRANA
TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
3
TIM PENELITI
1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH
2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH
3. AA I Ari Atu Dewi.,SH.,MH
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015
PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, menyebutkan bahwa Bupati/ Walikota berhak membentuk
kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan.
Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang
(urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar
meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka
inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar >> i Daftar Isi >> ii
Daftar Tabel >>iv
BAB I. PENDAHULUAN >> 1
A. Latar Belakang >> 1 B. Identifikasi Masalah >>>9
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
Akademik
>> 10
D. Metode Penelitian >>11
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>12
A. Kajian Teoritis >>12 B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma
>>15
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>18 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan
Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya
Terhadap Beban Keuangan Daerah
>>19
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>21
A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>21
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain
>>21
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
>>23
A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
>>23 B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan
Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan
>>28
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
>>33
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>33
B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>33
BAB VI PENUTUP >>33 A. RANGKUMAN >>>78
B. KONKLUSI >>>81
C. REKOMENDASI >>>82 DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>83
DAFTAR PUSTAKA >>>83
iii
LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana
v
Tabel 1 : Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013 2
Tabel 2 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013 2
Tabel 3 : Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013 3
Tabel 4 : Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013 4
Tabel 5 : Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir
(Tingkat Pendidikan) 4
Tabel 6 : APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013
6
Tabel 7 : APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008–
2013 7
Tabel 8 : Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten
Jembrana 8
Tabel 9 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013
9
Tabel 10. : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik
Indonesia Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan
pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, Bupati/ Walikota berhak membentuk kebijakan daerah dalam
bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan. Penyelenggaraan
pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan
pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional.
Dalam Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa Penyelenggaraan
Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar
hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk
Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3 2011)
menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU
PDRD 2009). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1)
2
Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan)
dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai
dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua
juga memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau
penjelasan)Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia dini.
Di Kabupaten Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu
:7- 12 tahun (SD/MI) ; 13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18
(SMU/SMK/MA). Distribusi penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah
pada kelompok usia 7 – 12 tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk
sedangkan paling sedikit adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun
(SMU/SMK/MA) dengan jumlah sebanyak 12.505 penduduk. Berikut
adalah disajikan tabel jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia
di Kabupaten Jembrana
Tabel 1. Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013
No. TAHUN
Murid SD usia 7 - 12
tahun
Murid SLTP usia 13 - 15
tahun
Murid SLTA usia 16 - 18
tahun
1 2009 25.527 10.363 7.860
2 2010 25.729 11.034 8.291
3 2011 25.944 10.811 8.606
4 2012 25.952 10.580 9.686
5 2013 28.353 12.505 12.505
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.
Jembrana
Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi :
SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling
banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan
jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang
SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.
Tabel 2. Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013
No. TAHUN Jumlah
Murid SD
Jumlah Murid SLTP
Jumlah Murid SLTA
1 2009 29.258 12.437 7.775
2 2010 29.485 12.852 10.496
3 2011 30.433 12.845 10.753
3
No. TAHUN Jumlah Murid SD
Jumlah Murid SLTP
Jumlah Murid SLTA 4 2012 29.907 12.674 10.957
5 2013 29.472 13.018 11.275
J u m l a h
148.555 63.826 51.156
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana
Fasilitas pendidikan berupa sekolah merupakan persyaratan utama
agar kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan. Dengan adanya fasilitas
tersebut, guru yang merupakan tenaga pendidik utama dapat
melaksanakan tugasnya sehingga kegiatan belajar dan mengajar dapat
berjalan dengan baik. Berikut disajikan jumlah sekolah dan jumlah guru
tiap jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana.
Tabel 3. Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013
NO.
JENIS JUMLAH JUMLAH JUMLAH
GURU
PER
KELAS
JUMLAH JUMLAH RATA-
RATA
MURID
PER
KELAS
SEKOLAH SEKOLAH GURU KELAS MURID
1 SD 197 1.428 238 1.128 29.472 26,5
2 SLTP 34 865 811 323 13.018 34,4
3 SLTA/SMU 29 907 820 171 11.275 34,0
Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014
Rasio guru terhadap murid adalah jumlah guru tingkat pendidikan
dasar per 1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio ini mengindikasikan
ketersediaan tenaga pengajar. Di samping itu juga untuk mengukur jumlah
ideal murid untuk satu guru agar tercapai mutu pengajaran. Berikut adalah
rasio guru terhadap murid di Kabupaten Jembrana pada tahun 2013.
Tabel 4. Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013
No. Jenis Jumlah Jumlah Guru
Rasio
Sekolah Murid
1 SD 29.472 1.428 20,64
2 SLTP 13.018 865 15,05
4
3 SLTA/SMU 6.731 544 12,37
4 SMK 4.454 363 12,27
Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014
Tingkat pendikan yang dimiliki oleh penduduk Kabupaten Jembrana
berjenjang mulai belum pernah menginjak bangku sekolah hingga sarjana.
Jumlah tertinggi adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Tamat SD
sebesar 29%, kemudian posisi kedua diikuti dengan belum pernah sekolah
sebesar 23% dan hanya sebagian kecil saja prosentase jumlah penduduk
yang tamat akademi/Universitas yaitu sebesar 2 %.
Tabel 5. Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan)
Tahun 2013
No. Pendidikan Akhir Yang Ditamatkan
Jenis kelamin Total
Negara Mendoyo Pekutatan Melaya Jembrana
1. Tidak/Belum Sekolah
18.076 11.900 5.218 12.003 11.329 58.526
2. Belum Tamat SD
10.830 8.007 3.628 7.917 7.453 37.835
3. Tamat SD 27.034 20.968 10.375 18.274 17.470 94.121
4. Tamat SMP 12.228 9.675 4.154 9.020 7.412 42.489
5. Tamat SMU 18.723 16.672 6.195 12.075 14.419 68.084
6. Tamat D1/D2 772 709 403 601 735 3.220
7. Tamat D3 1.039 946 366 693 931 3.975
8. Tamat S1 2.411 1.564 678 1.361 2.290 8.304
9. Tamat S2 154 88 34 71 179 526
10.
Tamat S3 13 5 1 12 6 37
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan SipilKab. Jembrana, Tahun 2014
5
Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Akhirdi Kabupaten Jembrana Tahun 2013
Indikator Pencapaian Pendidikan
A. Angka Partisipasi Kasar
Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai perbandingan antara
jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan
sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan
dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan
tertentu makin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang
bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai APK bisa
lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia
resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah
perbatasan.
Angka Partisipasi Kasar selama lima tahun terakhir pada semua
jenjang pendidikan mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Pada tahun
2013 rata-rata pencapaian Angka Partisipasi Kasar tingkat Sekolah Dasar
mencapai 114,03 %. Sedangkan pada tingkat SLTP mencapai 118,04 % dan
pada tingkat SLTA mencapai 98,71 %. Hal ini menunjukkan bahwa
6
partisipasi masyarakat pada tingkat SLTA masih perlu ditingkatkan.
Tabel 6. APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013
No. Angka Partisipasi
Kasar
2008 2009 2010 2011 2012 2013
1. SD/ MI 110,27 110,63 115,55 115,55 113,95 114,03
2. SLTP/ Mtsn 105,38 106,46 110,50 110,50 117,01 118,04
3. SMA/ SMK/ MA 82,90 81,35 95,00 95,00 98,21 98,71
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.
Jembrana, Tahun 2014
Gambar 2. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar di Kabupaten
Jembrana
Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan
antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan
tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam
persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya
anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang
sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang
bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu.Angka
Partisipasi Murni dalam lima tahun terkahir di Kabupaten Jembrana
mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya pada tahun 2012 APM pada masing – masing jenjang
pendidikan, hanya APM pada tingkat SLTA/SMA/MA mengalami kenaikan.
7
Berikut adalah APM di Kabupaten Jembrana selama lima tahun terakhir.
Tabel 7.APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013
No. Angka Partisipasi
Murni
2008 2009 2010 2011 2012 2013
1. SD/ MI 96,01 96,45 98,50 98,50 93,97 98,94
2. SLTP/ MTSn 80,13 85,89 90,00 90,00 86,03 94,02
3. SLTA/ SMA/ MA 64,37 69,78 75,60 75,60 100,00 89,10
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.
Jembrana, Tahun 2014
Grafik Perkembangan Angka Partisipasi Murni di KabupatenJembrana
Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang
dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama
sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Rata-rata
lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk
usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah
diikuti. Untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, pemerintah telah
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun atau pendidikan dasar
hingga tingkat SLTP.
Tabel 8. Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten Jembrana
8
Keterangan
Tahun
2008 200
9
201
0
201
1
201
2
201
3
Rata-rata Lama Sekolah
6,50 7,00 7,80 7,80 7,80 7,87
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014
Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk
masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau
kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat
menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur
dalam aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis
maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM. Berdasarkan data dari
Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Jembrana, Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana setiap
tahunnya terus mengalami peningkatan. Angka Melek Huruf paling tinggi
adalah pada tahun 2013 dengan angka 92,65 %. Berikut adalah Angka
Melek Huruf di Kab. Jembrana selama 5 (lima) tahun terakhir.
Tabel 8. Angka Melek Huruf di Kab. Jembrana Tahun 2008-2013
Tahun Angka Melek Huruf ( % )
2008 88,96
2009 89,60
2010 89,82
2011 90,69
2012 91,36
2013 92,65
Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014
9
Gambar 6.4Perkembangan Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana
Tabel 9 Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana
Tahun 2009-2013
No. TAHUN Jumlah
Murid SD
Jumlah Murid SLTP
Jumlah Murid SLTA
1 2009 29.258 12.437 7.775
2 2010 29.485 12.852 10.496
3 2011 30.433 12.845 10.753
4 2012 29.907 12.674 10.957
5 2013 29.472 13.018 11.275
J u m l a h
148.555 63.826 51.156
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana
Berdasarkan daya dukung yang dimiliki di Kabupaten Jembrana dan
dasar kewenangan pendelegasian pembentukan Peraturan Daerah yang
sangat penting dimana posisi Penyelenggaraan Pendidikan baik terhadap
masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan
Naskah Akademik.
B. Identifikasi Masalah
Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4
(empat) masalah pokok:
10
1. Penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yang pada
prinsipnya meliputi kepastian tentang penyelenggaraan
pendidikan di Kabupaten Jembrana.
2. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan.
3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
4. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan
dirumuskan sebagai berikut:
1. Menjelaskan penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan.
2. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan sebagai dasar untuk memastikan
objek dan subjek penyelenggaraan pendidikan.
3. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan.
4. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pengaturan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah
sebagai acuan:
1. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
2. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
11
Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis
dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Penyelenggaraan Pendidikan.
D. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan berbasiskan
metode penelitian hukum, dalam pengertian sumber bahannya adalah
norma hukum (dalam peraturan perundang-undangan) dan dianalisis
secara hermeneutika hukum yang berbasiskan pada penggunaan
interpretasi hukum secara holistik dalam memahami norma hukum baik
sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian-bagiannya yang membentuk
sebagai keseluruhan itu.
Sumber bahan hukum tersebut di atas disebut juga sumber bahan
hukum otoritatif (atau bahan hukum primer) karena berasal dari lembaga
yang berkewenangan. Selain itu, digunakan juga sumber bahan hukum
persuasif yakni dari pandangan para ahli, dan didukung dengan sumber
bahan informatif (informasi dari masyarakat dan/atau pejabat publik)
mengenai tematik terkait dengan penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Penyelenggaraan Pendidikan.
12
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Pada dasarnya pengertian pendidikan dalam UU Sisdiknas adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata
pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan
akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau
perbuatan mendidik.
Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan. Paradigma filsafat
pendidikan, telah berulang kali dinyatakan bahwa pendidikan adalah
persoalan yang melekat secaca kodrati di dalam diri manusia.1Pendidikan
terbesar di seluruh sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam
dimensi horizontal maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan
dirinya disitulah ada pendidikan.Ketika manusia berinteraksi dengan
sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula
pendidikan ketika manusia berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada
pendidikan. Antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan
isinya. Dengan kata lain hubungan kodrat pendidikan dan manusia, pada
taraf eksistensial, bagaikan hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika
jiwa berpotensi menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan
oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan
manusia kehilangan roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi
tidak kreatif dan pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh
kehidupan itu sendiri.
1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91
13
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik
menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk
memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut Langeveld adalah pendewasaan diri
dengan ciri-ciri yaitu : kematangan berfikir, kematangan emosional,
memiliki harga diri, sikap dan tingkah laku yang dapat diteladani serta
kemampuan pengevaluasian diri. Kecakapan atau sikap mandiri, yaitu
dapat ditandai pada sedikitnya ketergantungan pada orang lain dan selalu
berusaha mencari sesuatu tanpa melihat orang lain.
Tujuan pendidikan menurut Jacques Delors,cs.,dikenal Empat Pilar
Pendidikan versi UNESCO sebagai berikut:
a. Learning to know(belajar untuk mengetahui);
b. Learning to do(belajar untuk dapat berbuat);
c. Learning to be(belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan d. Learning to live together(belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain)2
Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk
membangun karakter bangsa (national character building), tujuan
pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual,
emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang
berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan
pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya,
masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang
bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3
Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan
umumnya dilakukan melalui 4 cara antaral lain :
1. Sistem pendidikan diatur secara legal;
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada
ketaatan pada aturan dan obyektivitas;
3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan
2 JacquesDelors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi
Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, h.6.
3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”, 2008, Pustaka Pelajar, h. 30.
14
4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah
berlangsung dalam konteks politik tertentu.4
Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan serta akhlak manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional. Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia (Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,Pasal 31 ayat(1,2,3,4,5).
Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan sesuatu yang amat urgen
dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu
dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam
rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara,yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan” , 2005, Raja Grafindo Persada, hal 63
15
B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN
NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam
pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137
UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik”, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
5 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), hlm. 238-309.
16
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas
sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah; dan
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian
antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pendidikan dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan pendidikan bertujuan:
(1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang
bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan
pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah
melakukan penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kepada
masyarakat.Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah efektivitas,
efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan penyelenggaraan pendidikan dengan Peraturan Daerah
dilakukan oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama
DPRD Kabupaten Jembrana. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau
dari DPRD.
17
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan
Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang
diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis,
yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan penyelenggaraan pendidikan;
(2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan pendidikan,
termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan
penyelenggaraan pendidikan memang dapat memberikan manfaat, baik
bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan penyelenggaraan
pendidikan memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib
penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan dalam
kondisi eksisting di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan
sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum
dalam Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan yang
menjamin kepastian.
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
18
masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal
6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang penyelenggaraan
pendidikan , yakni:
1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat.
2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan
pendidikan.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari
tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan
pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk
SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI
sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa
sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental
dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang
SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di
kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di
tingkat SD/MI. Tingginya jumlah kelurahan/desa yang masih mempunyai
APS tinggi dapat di sebabkan oleh salah satu atau keduanya dari dua faktor
yaitu ketersediaan layanan yang masih rendah atau karena kemampuan
masyarakat yang rendah.
Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai
keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu
pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas
(AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input
Pendidikan,dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas
mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang
19
bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih
cukup besar.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat
sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan
berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan
menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program
pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan
semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa
Indonesia.Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman,
bahwa beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan
Penyelenggaraan Pendidikan, yang juga merupakan permasalahan yang
dihadapi masyarakat, perlu mendapat perhatian.
Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan
dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di
bidang pendidikan akan mencakupi:
1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);
2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan
jenjang Sekolah Menengah Pertama;
3. Pendidikan Menengah;
4. Pendidikan Non formal;
5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan
6. Manajemen Layanan Pendidikan.
Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum
yang perlu mendapat perhatian.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN
DAERAH
Dalam lingkup pengaturan penyelenggaraan pendidikan, terdapat
dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang
sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:
20
a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan
pendidikan;
b. Struktur atau kelembagaan dalam penyelenggaraan
pendidikan;
c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam penyelenggaraan
pendidikan;
d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan
penyelenggaraan pendididkan;
e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan penyelenggaraan
pendidikan;
f. Ketenagaan;
g. Kekayaan; dan
h. Sanksi.
Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan
yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang
meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi:
a. Pendirian sekolah;
b. Pengisian kelembagaan pendidikan;
c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan;
d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;
e. Status aset sekolah;
f. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan;
g. Pengadaan ketenagaan;
h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan
i. Pengalihan bentuk sekolah.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan ini tidak akan menimbulkan
dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada
penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini.
21
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA
Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan
pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, Bupati/ Walikota Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam
Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan. Penyelenggaraan
pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan
pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional.Dalam pasal itu juga disebutkan bahwa
Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang urgensi
membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi
argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.
B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Materi Pokok Penyelenggaraan pendidikan yang hendak diatur dalam
Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai
keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
22
Tabel 10. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN
UU Pendidikan UU 23 Tahun 2014
Pasal 29 ayat (2) PP No. 17 Tahun 2010 Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang
b. kabupaten/kota; c. rencana
pembangunan jangka menengah
d. kabupaten/kota; e. rencana strategis
pendidikan kabupaten/kota;
f. rencana kerja pemerintah kabupaten/kota;
g. rencana kerja dan anggaran tahunan
h. kabupaten/kota; i. peraturan daerah
di bidang pendidikan; dan
j. peraturan bupati/ k. walikota di bidang l. pendidikan
Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Dalam Pasal 12 ayat Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; Lampiran, huruf a.Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan Sub Bidang: Manajemen pendidikan Meliputi :
a. Pengelolaan pendidikan
dasar.
b. Pengelolaan pendidikan
anak usia dini dan
pendidikan non formal
Sumber : Diolah dari UU Pemda, UU Sisdiknas, PP Penyelenggaraan Pendidikan
Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU
Sisdiknas, melainkan juga dengan peraturan perundang-undangan
pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang PengelolaanPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Jembrana.
23
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS
A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada
istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang
mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap
Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,
yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi
syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan
(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai
dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa
norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan
pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,
pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih
oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide
mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan
diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:
Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.
19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36.
24
serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh
Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah
satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin
keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya
dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan
mereka satu sama lain.8
Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu
konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya
berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang
diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav
Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the
law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan
kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu
adalah:
1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu
suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki
keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang
berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia
maupun hubungan-hubungan diantara mereka.
2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu
tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-
pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang
hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama
tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan
dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi
kehidupan mereka.
3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif
dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka
apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus
diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau
8 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19.
25
petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan
diberlakukan.9
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan
kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,
yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:
1. Keadilan sebagai suatu cita ─ seperti telah ditunjukkan oleh
Aristoteles ─ tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus
diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan
pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.
Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus
menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.
3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,
keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.
Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian
yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-
pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur
relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,
hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.
Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan
lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus
diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10
Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara
satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu
dengan yang lainnya.11Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang
demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang
berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk
9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies
Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 10W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan
(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43.
11Ibid., hlm. 109 -110.
26
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi
kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12
Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.
Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.UU P3 2011
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3
(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai
berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
12 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20.
27
Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,
dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal
57 12/2011, yang menentukan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berikutnya dalam Pasal 63 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan
mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya,
ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur
tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan
yuridis, adalah sebagai berikut:
1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
28
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan
dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan
berikut:
Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.
B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur
filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan
undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
29
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur
tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan.Termasuk kesesuaian jenis dan
materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansilandasan keabsahan tersebut dengan pengaturan
penyelenggaraan pendidikan adalah pengaturan penyelenggaraan
pendidikan mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,
yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing
pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah
otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
30
telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penyelenggaraan pendidikan daerah merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek
penyelenggaraan pendidikan daerah dan pemberian diskresi dalam
penetapan tarif. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan daerah dan
penyelenggaraan pendidikan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan
akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.13
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis
pengaturan penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan
pendidikan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,
peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi
daerah.
Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang
penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan
dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum
pemungutan penyelenggaraan pendidikan, yang merupakansalah satu
13 Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Penyelenggaraan pendidikan Daerah.
31
sumber pendapatan Kabupaten Jembrana yang penting gunamembiayai
pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Jembrana.
Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiona, l
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang
Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dan
kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 tahun 2014, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang, ditentukan sebagai urusan pemerintah (pusat).
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan
daerah untuk kabupaten dan kota yaitu, meliputi:
a. Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
32
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah social;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
33
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka arah pengaturan adalah
mengarahkan agar pengaturan penyelenggaraan pendidikan dirumuskan
secara berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.
Jangkauan pengaturannya adalah agar penyelenggaraan pendidikan
secara abasah berdasarkan Peratruran Daerah. Jadi, pentingnya disusun
Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan ini
adalah memberikan landasan hukum penyelenggaraan pendidikan, yang
disusun berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, untuk
pencapaian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pendidikan tersebut.
B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Ruang lingkup materi muatan raperda penyelenggaraan pendidikan
adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda
penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi materi yang boleh dan materi
yang tidak boleh dimuat dalam raperda penyelenggaraan pendidikan.14
Jadi, yang dimaksud dengan materi muatan baik mengenai batas materi
muatan maupun lingkup materi muatan.
Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-
normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai
materi muatan Perda tentang penyelenggaraan pendidikan.
14 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija
Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14.
34
Pengelompokan tersebut mesti mengacu pada Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, angka 1 dan angka 62 TP3, mengenai
kerangka Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang
tubuh Peraturan Perundang-undangan, yakni:
1. Judul
2. Konsiderans ( Menimbang)
3. Dasar hukum Mengingat
4. Bab I Ketentuan Umum
5. Bab II Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan
6. Bab III Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat
7. Bab IV Satuan Pendidikan
8. Bab V Peserta Didik
9. Bab VI Pendidikan Formal
10. Bab VII Pendidikan Non Formal
11. Bab VIII Pendidikan Anak Usia Dini
12. Bab IX Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
13. Bab X Pendidikan Keagamaan
14. Bab XI Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis
Keunggulan Lokal
15. Bab XII Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Asing
16. Bab XIII Pendidik dan Lembaga Kependidikan
17. Bab XIV Sarana dan Prasarana Pendidikan
18. Bab XV Evaluasi
19. Bab XVI Akreditasi
20. Bab XVII Pengawasan
21. Bab XVIII Wajib Belajar
22. Bab XIX Partisipasi Masyarakat
23. Bab XX Pendanaan Pendidikan
24. Bab XXI Penyidikan
25. Bab XXII Sanksi Administrasi
26. Bab XXIII Ketentuan Pidana
27. Bab XXIV Ketentuan Penutup
35
Adapun uraian dari seting produk hukum baru mengenai
Penyelenggaraan Pendidikan dalam bentuk Peraturan Daerah adalah
sebagai berikut :
1. Judul.
Sesuai dengan lampiran TP3 angka 2 dan 3 Judul Perundang-
undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan
dan nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan
mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.
Judul yang digunakan adalah sesuai dengan jenis yang hendak diatur.
Sehingga judul yang digunakan adalah Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana Nomor…..Tahun…..tentang Penyelenggaraan Pendidikan
2. Konsiderans ( Menimbang).
Dasar pertimbangan yang digunakan dalam Rancangan Peraturan
Daerah ini meliputi pertimbangan yang bersifat filosofis, yuridis dan
sosiologis yakni :
a. bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara Indonesia;
b. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Kabupaten
Jembrana berwenang dalam Penyelenggaraan Pendidikan;
c. bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana
diarahkan untuk mewujudkan upaya peningkatan sumber daya
manusia yang memiliki daya saing global;
d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan;
3. Dasar hukum Mengingat.
Dalam merumuskan dasar hukum yang mengacu Pedoman angka 28
TP3, bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan, dengan ungkapan lain dasar hukum
peraturan daerah memuat dasar hukum formal yakni yang berkaitan
dengan kewenangan pembentukan peraturan daerah, dan dasar hukum
36
substansial yakni yang berkaitan dengan substansi peraturan daerah Dasar
hukum formal maupun substansial yang dipergunakan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I
Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Prasekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3411);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3412)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara
37
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 90, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3763);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3413) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3764);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3460);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Sekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3461);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga
Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3641) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3974);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta
Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3485);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana (Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan
38
Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4);
15. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah;
16. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
087/U/2002 tentang Akreditasi Sekolah;
17. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala
Sekolah;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Peran Serta
Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4960);
19. Peraturan WaliKabupaten Jembrana Nomor 30 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Jembrana Tahun 2010 – 2015.
4. Bab Ketentuan Umum.
Adapun isi ketentuan umum sesuai dengan Pedoman angka 98 TP3
adalah sebagai berikut:
a. Batasan pengertian atau definisi;
b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan
c. Hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan
sendiri dalam pasal atau bab.
Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka Ketentuan Umum dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Penyelenggaraan pendidikan menyangkut batasan pengertian
1. belajar, hasil belajar, kinerjatenaga kependidikan dan
kelembagaan.
2. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal dan nonformal.
39
3. Satuan pendidikan negeri adalah satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten.
4. Satuan pendidikan swasta adalah satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh organisasi masyarakat atau yayasan yang
berbadan hukum.
atau difinisi sebagai berikut:
5. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana.
6. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.
7. Bupati adalah Bupati Kabupaten Jembrana.
8. Dinas adalah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga
Kabupaten Jembrana.
9. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Jembrana.
10. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
11. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam
bidang pendidikan.
12. Penyelenggaraan Pendidikan adalah pengelolaan pendidikan yang
mencakup seluruh kegiatan pendidikan formal dan pendidikan
non formal baik yang diselenggaraakan Pemerintah Kabupaten
dan masyarakat dalam lingkup Dinas maupun departemen Agama
sesuai urusan daerah.
13. Manajemen dan kelembagaan pendidikan adalah seperangkat
pengaturan mengenai pendirian dan pengelolaan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal.
14. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
40
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-
masing satuan pendidikan.
16. Standar kompetensi adalah kemampuan minimal yang
diharapkan dapat dicapai peserta didik melalui pendidikan dalam
satuan pendidikan tertentu.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
18. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian suatu sekolah
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh
badan akreditasi sekolah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk
pengakuan peringkat kelayakan.
19. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
20. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut.
21. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan
menengah.
22. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang.
23. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan.
41
24. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap proses
25. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang terdiri dari
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
26. Wajib belajar adalah program pendidikan dasar 9 tahun dan
pendidikan menengah 3 tahun yang harus diikuti oleh warga
masyarakat atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah.
27. Manajemen berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan
pendidikan yang sesuai dengan potensi masyarakat.
28. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggaraan pendidikan.
29. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
5. Bab Materi Pokok Yang Diatur
a. Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Tujuan Penyelenggaraan pendidikan adalah pemerataan kesempatan
pendidikan, meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar
danmengembangkan manajemen pendidikan bertumpu pada partisipasi
masyarakat, transparansi anggaran pendidikan dan akuntabilitas
penyelengaraan pendidikan secara keseluruhan.
Ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan meliputi:
a. peserta didik;
b. penyelenggaraan pendidikan formal;
c. penyelenggaraan pendidikan non formal;
d. pendidikan anak usia dini;
e. pendidikan khusus;
f. pendidikan keagamaan;
g. pendidikan bertaraf internasional dan pendidikan berbasis
42
keunggulan lokal;
h. penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing;
i. pendidik dan tenaga kependidikan;
j. sarana dan prasarana pendidikan;
k. evaluasi;
l. akreditasi;
m. pengawasan;
n. wajib belajar;
o. partisipasi masyarakat; dan
p. pendanaan pendidikan yang menjadi batas kewenangan
Pemerintah Kabupaten.
Prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah :
a. pendidikan diselenggarakan sebagai investasi sumber daya
manusia jangka panjang;
b. pendidikan diselenggarakan sebagai kesatuan yang sistematik,
terbuka, demokratis dan adil melalui proses pembudayaan dan
pemberdayaan masyarakat meliputi penyelenggaraan dan
pengendalian layanan mutu pendidikan;
c. pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai budaya, lingkungan dan kemajemukan
bangsa yang berlangsung sepanjang hayat;
d. pendidikan diselengarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat;
e. pengelolaan pendidikan harus berdasarkan penerapan prinsip-
prinsip manajemen pendidikan yang aktual;
f. Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah;
g. Pemerintah Kabupaten memfasilitasi terselenggaranya satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan pendidikan luar
biasa;
h. Pemerintah Kabupaten wajib menyusun dan melaksanakan
Standar Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Standar
43
Pelayanan Minimal (SPM);
i. Satuan Pendidikan wajib menyusun dan melaksanakan Standar
Penyelenggaraan Pelayanan Publik; dan
j. Satuan Pendidikan wajib melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
b.Hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat
Pemerintah Kabupaten berhak mengelola, memantau dan
mengendalikan penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten
berkewajiban:
a. menyelenggarakan pendidikan, mendayagunakan dan
mengembangkan pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum,
buku ajar, peralatan pendidikan, tanah dan bangunan atau
gedung serta pemeliharaannya untuk sekolah yang
diselenggarakan Pemerintah Kabupaten;
b. membantu penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat;
c. menjamin terlaksananya sistem pendidikan yang berkualitas
melalui layanan dan kemudahan pendidikan;
d. menyediakan anggaran pendidikan; dan
e. menyelenggarakan wajib belajar.
Masyarakat mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk
memperoleh pendidikan sesuai prinsip-prinsip penyelenggaraan
pendidikan.Masyarakat wajib berpartisipasi demi kemajuan pendidikan
guna mendukung terlaksananya penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu.
c. Satuan Pendidikan
Setiap satuan pendidikan berhak untuk :
a. memperoleh dana operasional dan pemeliharaan pendidikan bagi
Satuan Pendidikan Negeri;
b. memperoleh bantuan dana operasional dan pemeliharaan
44
pendidikan bagi Satuan Pendidikan Swasta; dan
c. merencanakan dan menyusun kurikulum.
Setiap Satuan Pendidikan berkewajiban untuk :
a. menjamin pelaksanaan hak-hak peserta didik untuk memperoleh
pendidikan tanpa membedakan status sosial peserta didik;
b. memfasilitasi dan bekerja sama dengan Komite Sekolah untuk
menerapkan dan mengembangkan manajemen berbasis sekolah;
c. menyusun dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), dan pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah kepada Komite Sekolah dan seluruh
orang tua/wali peserta didik;
d. menyusun dan melaksanakan Standar Penyelenggaraan
Pelayanan Publik;
e. melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM);
f. melaksanakan kurikulum.
d. Peserta Didik
Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak untuk:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama serta
memperoleh jaminan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan
agama yang dipeluknya;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat
dan kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa atau penghargaan bagi peserta didik yang
berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik;
d. mendapatkan bantuan fasilitas belajar, bantuan biaya
pendidikan, kesehatan dan santunan kecelakaan, kematian serta
peningkatan gizi yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Bupati;
e. mendapat pembebasan biaya pendidikan bagi mereka yang
orangtuanya tergolong keluarga miskin; dan
f. menyelesaikan batas waktu program pendidikan sesuai dengan
45
kecepatan belajar masing-masing dengan tidak menyimpang dari
persyaratan yang ditetapkan.
Setiap peserta didik berkewajiban untuk :
a. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
b. menghormati tenaga kependidikan dan pendidik;
c. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
berlangsungnya proses dan keberhasilan pendidikan;
d. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut; dan
e. ikut memelihara kebersihan, ketertiban dan keamanan sarana
dan prasarana pendidikan.
Penerimaan dan Daftar Ulang
(1)Penerimaan peserta didik dilaksanakan oleh Pengelola Satuan
Pendidikan sesuai dengan daya tampung pada satuan pendidikan.
(2)Apabila jumlah pendaftar melebihi kapasitas daya tampung, maka
sistem dan mekanisme penerimaan peserta didik dilaksanakan
melalui seleksi dengan berdasarkan pada asas keadilan dan
keterbukaan.
(3)Warga Negara Asing dapat menjadi peserta didik dalam satuan
pendidikan yang diselenggarakan di Kota.
(4)Pada Taman Kanak-kanak (TK) atau bentuk lain yang sederajat
jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar/kelas paling
sedikit 10 (sepuluh) peserta didik dan paling banyak 25 (duapuluh
lima) peserta didik.
(5)Pada Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) jumlah peserta didik
dalam satu rombongan belajar/kelas paling sedikit 20 (duapuluh)
peserta didik dan paling banyak 40 (empat puluh) peserta didik.
(6)Pada Sekolah Menengah Kejuruan jumlah peserta didik dalam satu
rombongan belajar/kelas berkisar antara 20 (duapuluh) peserta didik
sampai dengan 40 (empat puluh) peserta didik untuk kelompok
46
regular, dan 20 (duapuluh) peserta didik sampai dengan 36
(tigapuluh enam) peserta didik untuk kelompok RSBI.
(7)Daftar ulang hanya diberlakukan terhadap peserta didik yang tidak
naik kelas dan tidak lulus dengan tanpa dipungut biaya.
(8)Sistem dan tata cara penerimaan peserta didik ditetapkan dengan
Peraturan bupati.
Mutasi
(1)Mutasi peserta didik dapat dilakukan dalam, jenjang pendidikan yang
sejenis dan setara oleh Pengelola Satuan Pendidikan di bawah
koordinasi Dinas.
(2)Peserta didik yang berasal dari luar daerah, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama untuk mengikuti pendidikan pada Satuan
Pendidikan dan jalur pendidikan lain yang setara.
e. Pendidikan Formal
Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pendidikan dasar yang meliputi:
a. pengadaan, pendayagunaan tenaga kependidikan dan pendidik,
buku pelajaran, sarana dan prasarana pendidikan serta
pemeliharaannya; dan
b. pengembangan tenaga kependidikan dan pendidik serta sarana
dan prasarana pendidikan.
Tanggung Jawab Masyarakat, Organisasi dan Yayasan Masyarakat,
organisasi atau yayasan yang berbadan hukum yang mendirikan dan
menyelenggarakan satuan pendidikan, bertanggung jawab atas:
a. pengadaan sarana dan prasarana pendidikan;
b. tenaga kependidikan dan pendidik; dan
c. keberlangsungan serta mutu satuan pendidikan yang didirikan.
Pendirian dan Pengintegrasian Satuan Pendidikan
(1) Pemerintah Kabupaten, masyarakat, organisasi atau yayasan yang
berbadan hukum dapat mendirikan satuan pendidikan formal.
(2) Walikota menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan Pendidikan
Negeri.
47
(3) Kepala Dinas menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan
Pendidikan Swasta.
(4) Pendirian satuan pendidikan formal, didasarkan pada kebutuhan
masyarakat dan perencanaan pengembangan pendidikan secara lokal,
regional, nasional maupun internasional.
(1)Pendirian satuan pendidikan formal harus memenuhi syarat studi
kelayakan yang meliputi:
a. sumber peserta didik;
b. tenaga kependidikan dan pendidik;
c. kurikulum dan program kegiatan belajar;
d. sumber pembiayaan;
e. sarana dan prasarana; dan
f. manajemen penyelenggaraan sekolah.
(2)Pendirian satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) juga
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. adanya potensi lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan
tamatan SMK yang akan didirikan dengan mempertimbangkan
pemetaan satuan pendidikan sejenis sesuai dengan kebutuhan
masyarakat; dan
b. adanya dukungan masyarakat termasuk dunia usaha, dunia
industri dan unit produksi yang dikembangkan di satuan
pendidikan.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat teknis
pendirian satuan pendidikan formal diatur dengan Peraturan bupati.
Satuan Pendidikan Formal
(1)Satuan pendidikan formal yang dintegrasikan harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Penyelenggara satuan pendidikan formal tidak mampu
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran;
b. Tidak dipenuhinya jumlah minimal peserta didik; dan
c. Satuan pendidikan yang diintegrasikan harus sesuai dengan
jenjang dan jenisnya.
48
(2)Satuan pendidikan formal yang diintegrasikan mengalihkan tanggung
jawab edukatif dan administratif peserta didik, tenaga kependidikan
dan pendidik kepada satuan hasil integrasi.
(3)Tata cara dan syarat teknis pengintegrasian satuan pendidikan formal
diatur dengan Peraturan bupati.
Penutupan Satuan Pendidikan
(1)Penutupan satuan pendidikan formal dapat berupa penghentian
kegiatan belajar mengajar atau penghapusan satuan pendidikan.
(2)Penutupan satuan pendidikan formal dilakukan apabila satuan
pendidikan tidak lagi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran.
Kurikulum Pendidikan Formal
(1)Pelaksanaan kurikulum pendidikan formal berpedoman pada standar
nasional dan dimungkinkan untuk menerapkan standar
internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2)Diversifikasi kurikulum pada setiap satuan pendidikan formal
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan potensi satuan
pendidikan sesuai dengan kewenangannya.
(3)Satuan pendidikan menyusun kurikulum muatan lokal berbasis
kompetensi dengan memperhatikan:
a. agama;
b. peningkatan iman dan taqwa;
c. peningkatan akhlak mulia;
d. peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik;
e. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
f. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
g. tuntutan dunia kerja;
h. perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni budaya;
i. dinamika perkembangan global;
j. persatuan nasional serta nilai-nilai kebangsaan.
(4)Pengembangan mata pelajaran muatan lokal diserahkan pada satuan
pendidikan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
49
kemampuan peserta didik serta sumber daya yang dimiliki oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5)Penjabaran kurikulum harus sesuai dengan target waktu yang sudah
ditentukan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab tenaga
pendidik.
Bahasa Pengantar
(1)Bahasa pengantar dalam pendidikan formal adalah Bahasa Indonesia.
(2)Bahasa Bali dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap
awal pendidikan.
(3)Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran Bahasa
Bali wajib diajarkan.
(4)Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada
satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan
berbahasa asing peserta didik.
f. Pendidikan Non Formal
Manajemen dan Kelembagaan
(1)Pendidikan non formal dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
Kabupaten atau masyarakat atau organisasi non yayasan yang
berbadan hukum.
(2)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten dilaksanakan oleh Dinas dan/atau instansi terkait serta
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
(3)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan masyarakat
dan organisasi non yayasan yang berbadan hukum dilaksanakan
oleh Lembaga Kursus, Lembaga Pelatihan, Kelompok Belajar, Pusat
Kegiatan Masyarakat serta satuan pendidikan sejenis.
(4)Manajemen pendidikan non formal melibatkan unsur:
a. pembina;
b. penyelenggara;
c. pendidik;
d. tenaga kependidikan;
e. penilik; dan
f. warga belajar.
50
(5)Lembaga penyetaraan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah
melakukan proses penilaian terhadap satuan pendidikan dengan
mengacu kepada Standar Nasional.
Pendidikan Non Formal
(1)Pendidikan non formal diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah dan/atau pendukung pendidikan formal dalam rangka
pendidikan sepanjang hayat.
(2)Penyelenggaraan kursus dan program yang berhubungan dengan
pendidikan non formal bertujuan untuk mengembangkan potensi
warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.
(3)Penyelenggaraan pendidikan non formal harus dikoordinasikan
dengan Dinas.
(4)Penyelenggaraan pendidikan non formal untuk tujuan khusus harus
mendapat ijin dari Dinas.
(5)Ketentuan mengenai persyaratan, penilaian, kelayakan dan tata cara
memperoleh ijin dan/atau rekomendasi diatur dengan Peraturan
bupati.
Jenis Pendidikan Non Formal
(1)Pendidikan non formal meliputi:
a. pendidikan kecakapan hidup;
b. pendidikan anak usia dini;
c. pendidikan kepemudaan;
d. pendidikan pemberdayaan perempuan;
e. pendidikan keaksaraan;
f. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja;
g. pendidikan kesetaraan; dan
h. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan warga belajar.
51
(2)Pelaksanaan pendidikan non formal diprioritaskan pada kebutuhan
masyarakat dan dunia usaha serta dunia industri.
(3)Pemerintah memberikan peluang dan dukungan untuk
mengembangkan jenis dan program pendidikan non formal
unggulan.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan/atau pengelolaan
pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati.
Kurikulum Pendidikan Non Formal
(1)Kurikulum pendidikan non formal merupakan kegiatan bimbingan,
pengajaran dan/atau pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai
standar sesuai dengan peraturan perundang-0undangan yang
berlaku.
(2)Ketentuan mengenai penyusunan dan pengembangan isi kurikulum
pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati.
F.Pendidikan Anak Usia Dini
(1)Pendidikan anak usia dini diberikan sebelum jenjang pendidikan
dasar.
(2)Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur:
a. pendidikan formal;
b. pendidikan non formal; dan/atau
c. pendidikan informal.
(3)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
a. Taman Kanak-kanak (TK); atau
b. bentuk lain yang sederajat
(4)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal
berbentuk:
a. Kelompok Bermain (KB);
b. Taman Penitipan Anak (TPA); atau
c. Satuan Paud Sejenis (SPS)
(5)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk:
a. pendidikan keluarga; atau
b. pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
d. Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
(1) Pendidikan khusus merupakan layanan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki kebutuhan khusus karena kelaian fisik,
52
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
(2) Pendidikan khusus dapat berbentuk:
a. pendidikan inklusif;
b. akselerasi;
c. eskalasi.
(3) Pendidikan layanan khusus merupakan program pendidikan bagi
peserta didik di daerah yang mengalami bencana alam, bencana
sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi.
e. Pendidikan Keagamaan
(1) Pendidikan keagamaan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten
dan/atau dapat diselenggarakan oleh kelompok masyarakat dan
pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan:
a. formal;
b. non formal; atau
c. informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenisnya.
(5) Bentuk pendidikan keagamaan diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
f. Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal
(1)Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan
yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
agar mampu bersaing serta berkolaborasi secara global.
53
(2)Tujuan penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional adalah
untuk mengakomodasi peserta didik yang ingin bekerja/melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi di luar negeri.
(3)Penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dilaksanakan oleh
satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri.
(4)Peserta didik pendidikan bertaraf internasional adalah lulusan pada
jenjang di bawah satuan pendidikan yang memenuhi persyaratn-
persyaratan yang diatur secara khusus dengan Peraturan bupati.
(5)Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah satuan pendidikan
dasar dan menengah yang menyelenggarakan pendidikan dengan
acuan kurikulum yang menunjang upaya pengembangan potensi,
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat daerah setempat.
(6)Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal
adalah untuk mengakomodasi peserta didik dalam upaya
mengembangkan potensi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
daerah setempat.
(7)Penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dilakukan
oleh satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri.
(8)Peserta didik pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah lulusan
pada jenjang di bawah satuan pendidikan yang memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diatur secara khusus dengan
Peraturan bupati.
Kurikulum dan Ujian Akhir
(1)Kurikulum pendidikan bertaraf internasional dikembangan oleh
satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi agar mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
(2)Kurikulum pendidikan berbasis keunggulan lokal dikembangan oleh
satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan yang diperkaya dan kembangkan sesuai dengan potensi
dan kekhasan daerah.
54
(3)Ujian akhir pada satuan pendidikan bertaraf internasional wajib
mengikuti ujian nasional dan uji kompetensi sesuai tuntutan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global.
(4)Ujian akhir pada satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal
mengacu pada ujian nasional dan uji kompetensi sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah.
Bahasa Pengantar, Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Sarana
Prasarana
(1) Bahasa pengantar pada satuan pendidikan bertaraf internasional
adalah:
a. Bahasa Indonesia;
b. Bahasa Inggris; dan/atau
c. bahasa asing lainnya sesuai kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan.
(2) Satuan pendidikan bertaraf internasional harus memiliki pendidik
dan tenaga kependidikan, dan sarana/prasarana sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan serta tuntutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi global.
(3) Satuan pendidikan bertaraf internasional dapat mempekerjakan
pendidik dan tenaga kependidikan asing untuk mendukung proses
pembelajaran dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pembiayaan
(1)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan
pendidikan bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Kabupaten disediakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten.
(2)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan
pendidikan berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Kabupaten menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten dan dapat dibantu oleh Pemerintah Provinsi Bali
dan/atau Pemerintah Pusat.
55
(3)Pembiayaan untuk pendirian tahap awal satuan pendidikan bertaraf
internasional dan/atau yang berbasis keunggulan lokal, yang
diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh yayasan atau
lembaga yang berbadan hukum.
(4)Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah
Kabupaten memfasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional
dan/atau yang berbasis keunggulan lokal untuk memperoleh sumber
dana yang diperlukan untuk pengembangan program pendidikan.
Peran Pemerintah Kabupaten
(1)Pemerintah Kabupaten menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis
keunggulan lokal pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
(2)Satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis
keunggulan lokal dapat diselenggarakan sebagai satuan pendidikan
terpadu.
(3)Perguruan Tinggi dan lembaga lain yang kompeten dapat berperan
memberikan pembinaan terhadap tenaga kependidikan berkaitan
dengan bahasa pengantar khususnya Bahasa Inggris dan bahasa
asing lainnya.
Pengawasan
Pemerintah Daerah dan Dewan Pendidikan melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dan
penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal sesuai dengan
kewenangan masing-masing.
g. Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Pihak Asing
(1)Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di
negaranya dapat menyelenggarakan Pendidikan Dasar dan
Menengah di Kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2)Tujuan pendidikan pada lembaga pendidikan asing tidak boleh
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3)Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing wajib
bekerja sama dengan lembaga pendidikan nasional dan mengikutkan
56
Warga Negara Indonesia sebagai pendidik dan pengelola masing-
masing minimal 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan
pendidik dan 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan
pengelola pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang
didirikan secara bersama tersebut.
(4)Peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing mencakup Warga
Negara Indonesia dan warga negara asing.
Sarana Pendidikan
Satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh lembaga
pendidikan asing harus memiliki sarana pendidikan, buku pelajaran,
sumber belajar, pendidik dan tenaga kependidikan sesuai tuntutan
kemajuan teknologi secara global.
Kurikulum, Bahasa Pengantar dan Ujian Akhir
(1)Struktur kurikulum pendidikan dan sistem ujian pada lembaga
pendidikan asing mengikuti kurikulum pendidikan di negara asalnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
(2)Selain mengikuti kurikulum dan sistem ujian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), lembaga pendidikan asing wajib memberikan
pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga
Negara Indonesia.
(3)Bahasa pengantar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan asing adalah bahasa yang digunakan di negara
asal dan bahasa Indonesia.
(4)Ujian akhir pada lembaga pendidikan asing terdiri atas ujian akhir
yang berlaku di negara asal dan bagi peserta didik Warga Negara
Indonesia wajib mengikuti ujian nasional.
Akreditasi dan Pengawasan
(1)Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
asing wajib mengikuti proses akreditasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
57
(2)Pemerintah Kabupaten berwenang melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing di
Kabupaten.
(3)Prosedur pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh
lembaga pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan bupati.
h. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Tenaga Pendidik
(1)Calon tenaga pendidik yang akan diangkat pada satuan pendidikan
formal baik negeri maupun swasta harus memiliki kualifikasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Guru mata pelajaran agama yang akan diangkat sebagai tenaga
pendidik selain harus memenuhi persyaratan sebagai tenaga
pendidik, juga harus menganut agama sesuai dengan agama yang
diajarkan.
(3)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan tenaga pendidik pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dengan
mengangkat dan/atau menempatkan tenaga pendidik yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk kurun waktu tertentu berdasarkan
permintaan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dengan
mempertimbangkan kondisi dan kemampuan yang ada.
(4)Pengangkatan dan penempatan Tenaga Pendidik yang tidak berstatus
Pegawai Negeri Sipil pada satuan pendidikan swasta dilakukan oleh
penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Kepala Sekolah
(1)Pendidik yang memenuhi persyaratan tertentu dapat diberi tugas
tambahan sebagai Kepala Sekolah.
(2)Pengangkatan Kepala Sekolah harus memenuhi persyaratan umum
dan persyaratan khusus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3)Tata cara pengangkatan Kepala Sekolah ditetapkan sebagai berikut:
58
a. Pengawas Sekolah bersama-sama Kepala Sekolah dan Komite
Sekolah setempat mengusulkan calon Kepala Sekolah yang
memenuhi persyaratan berdasarkan aspirasi pendidik;
b. Usulan calon Kepala Sekolah sebagai dimaksud pada huruf a
disampaikan kepada Kepala Dinas oleh Kepala Sekolah;
c. Kepala Dinas membentuk tim seleksi Calon Kepala Sekolah
(TPPKS);
d. Seleksi Calon Kepala Sekolah dilakukan secara objektif dan
transparan;
e. Berdasarkan hasil seleksi, Kepala Dinas mengusulkan calon
Kepala Sekolah yang memenuhi persyaratan dan kompetensi,
kepada Bupati;
f. Penetapan calon Kepala Sekolah yang lulus seleksi ditetapkan
dengan Keputusan Bupati; dan
g. Bupati mengeluarkan Keputusan Pengangkatan dan
Penempatan Kepala Sekolah.
(4)Pendidik yang berstatus PNS yang diangkat menjadi Kepala Sekolah
oleh satuan pendidikan swasta harus mendapat ijin dari Bupati.
(5)Tata cara pengangkatan dan penempatan Kepala Sekolah pada
satuan pendidikan swasta, dilakukan oleh penyelenggara pendidikan
yang bersangkutan.
Tugas Kepala Sekolah
Tugas Kepala Sekolah adalah sebagai brikut:
a. pemimpin;
b. manajer;
c. pendidik;
d. administrator;
e. wirausahawan;
f. pencipta iklim kerja; dan
g. penyelia
Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Sekolah
(1)Tanggung jawab Kepala Sekolah adalah:
59
a. melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan
melibatkan secara aktif warga sekolah dan komite sekolah; dan
b. melakukan koordinasi dengan warga sekolah dan komite
sekolah dalam setiap pengambilan keputusan sekolah.
(2)Kepala Sekolah mempunyai wewenang memilih dan menentukan
metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik
profesi.
Masa Tugas Kepala Sekolah
(1)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri adalah 4
(empat) tahun.
(2)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta
ditentukan oleh penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
(3)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila berprestasi baik
berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi kinerja Kepala Sekolah
dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(4)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta dapat diangkat
kembali untuk masa tugas berikutnya berdasarkan mekanisme yang
berlaku pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri, yang sudah
melaksanakan 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat
diangkat kembali menjadi Kepala Sekolah apabila:
a. telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu)
kali masa tugas; atau
b. memiliki prestasi yang istimewa, dengan tanpa tenggang waktu
dan ditugaskan di sekolah lain.
(6)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi
diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah, tetap melaksanakan tugas
sebagai pendidik sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban
melaksanakan proses belajar mengajar atau bimbingan dan
konseling sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
60
(7)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi
diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dan memiliki prestasi yang sangat baik, dapat
dipromosikan ke dalam jabatan fungsional maupun struktural sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberhentian Kepala Sekolah
(1)Kepala Sekolah dapat diberhentikan karena:
a. permohonan sendiri;
b. masa ugas berakhir; atau
c. dinilai tidak berhasil melaksanakan tugas.
(2)Kepala Sekolah diberhentikan dari penugasan karena:
a. telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru;
b. diangkat pada jabatan lain;
c. dikenakan hukuman disiplin sesdang dan berat;
d. diberhentikan dari jabatan guru; atau
e. meninggal dunia.
(3)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh
Bupati.
(4)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh
penyelenggara pendidikan.
Pemindahan dan Penempatan
(1)Tenaga kependidikan yang berstatus PNS dapat dipindahkan dari
satuan pendidikan satu ke satuan pendidikan lainnya atas dasar
permohonan yang bersangkutan dan/atau untuk kepentingan Dinas.
(2)Pemindahan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berkedudukan sebagai tenaga pendidik dari jenjang
pendidikan satu ke jenjang pendidikan lainnya, dapat dilaksanakan
sepanjang tenaga pendidik yang bersangkutan memiliki potensi dan
kemampuan yang sangat dibutuhkan serta memenuhi ketentuan
yang berlaku.
61
(3)Pemindahan juga dapat dilakukan pada tenaga pendidik yang masih
berstatus sebagai Guru Bantu/Guru Tenaga Pekerja Harian Lepas
dari satuan pendidikan formal ke satuan pendidikan formal lainnya.
(4)Untuk memenuhi kekurangan tenaga pendidik, Pemerintah
Kabupaten dapat mengangkat tenaga pendidik yang baru atau
menempatkan PNS lainnya yang memiliki akta pendidikan dan
sertifikasi profesi.
(5)Pemeindahan dan penempatan tenaga kependidikan didasarkan pada
asas pemerataan, domisili dan formasi.
(6)Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) dilaksanakan oleh Bupati.
Pengembangan Karir Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(1)Pengembangan karir tenaga kependidikan berdasarkan kinerjanya.
(2)Dalam rangka pengembangan karir, tenaga kependidikan yang
berprestasi mendapatkan penghargaan dalam jenjang jabatan atau
bentuk lain.
(3)Pendidik dapat diberi tugas tambahan dalam kedudukan sebagai
Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah/Pembantu Kepala Sekolah,
Ketua Bidang Keahlian/Kepala Instalasi, Ketua Program
Studi/Ketua Jurusan, Wali Kelas, Instruktur, Guru Inti Pemandu
Mata Pelajaran, dan tugas tambahan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)Ketentuan pangkat dan jabatan tenaga kependidikan diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)Pendidik yang mendapat tugas tambahan mendapatkan tunjangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(6)Jabatan tenaga kependidikan yang tidak berkedudukan sebagai PNS
pada satuan pendidikan swasta ditentukan oleh penyelenggara
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(7)Tenaga kependidikan wajib mengembangkan kemampuan
profesionalnya sesuai dengan standar kompetensi profesi, ilmu
62
pengetahuan dan teknologi serta pembangunan nasional dan
daerah.
(8)Pengelola satuan pendidikan berkewajiban memberikan kesempatan
kepada tenaga kependidikan untuk mengembangkan kempuan
professional masing-masing.
(9)Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab meningkatkan
kemampuan profesi tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan
tenaga kependidikan dalam mencapai standar profesi.
(10) Dalam memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
yata (3), Bupati memberdayakan peran Dinas, lembaga penjamin
mutu, organisasi profesi serta lembaga pendidikan dan pelatihan
lainnya secara optimal.
(11) Pengembangan kemampuan profesi tenaga kependidikan akan
diatur dengan Peraturan bupati.
Hak, Tunjangan/Bantuan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(1)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan/tunjangan
kesejahteraan pegawai kepada pendidik atau tenaga kependidikan
yang memenuhi persyaratan baik yang berstatus PNS maupun yang
tidak berstatus PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan kemampuan keuangan Kabupaten.
(2)Masyarakat, organisasi atau yayasan yang berbadan hukum
penyelenggara pendidikan, berkewajiban memberikan gaji dan
tunjangan kepada tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tetap
yayasan atau tenaga honorer secara berkala.
(3)Pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus PNS dan tidak
berstatus PNS berhak memperoleh perlindungan hukum, pelayanan
pendidikan, pelayanan kesehatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kebutuhan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pada Satuan
Pendidikan
(1)Pada satuan pendidikan prasekolah sekurang-kurangnya terdapat
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi:
a. Kepala Taman Kanak-kanak (TK) atau sederajat; dan
63
b. Pendidik dan Pegawai Tata Usaha.
(2)Pada satuan pendidikan Sekolah Dasar sekurang-kurangnya terdapat
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi:
a. Kepala Sekolah;
b. guru kelas;
c. guru mata pelajaran pendidikan agama;
d. guru mata pelajaran pendidikan jasmani;
e. pegawai tata usaha; dan
f. dapat diadakan guru bimbingan dan penyuluhan/konselor,
pustakawan, laboran serta teknisi sumber belajar.
(3)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekurang-
kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
meliputi:
a. Kepala Sekolah;
b. Wakil Kepala Sekolah;
c. walikelas;
d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran;
e. guru bimbingan dan konseling/konselor;
f. guru khusus;
g. kepala tata usaha;
h. pegawai tata usaha;
i. pustakawan;
j. laboran; dan
k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber
belajar.
(4)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sekurang-
kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
meliputi:
a. Kepala Sekolah;
b. Wakil Kepala Sekolah;
c. walikelas;
d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran;
e. guru bimbingan dan konseling/konselor;
64
f. guru khusus;
g. kepala tata usaha;
h. pegawai tata usaha;
i. pustakawan;
j. laboran; dan
k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber
belajar.
(5)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sekurang-kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan meliputi:
a. Kepala Sekolah;
b. Wakil Kepala Sekolah;
c. ketua bidang keahlian/kepala instalasi/ketua jurusan;
d. ketua program keahlian/kepala bengkel/kepala laboratorium;
e. guru program diklat;
f. guru bimbingandan konseling/bimbingan karir/konselor;
g. guru khusus;
h. kepala tata usaha;
i. pegawai tata usaha;
j. teknisi;
k. pustakawan;
l. laboran; dan
m. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan Kepala Asrama.
Organisasi Profesi Pendidikan
(1)Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan dapat membentuk dan
ikut bergabung ke dalam organisasi profesi pendidikan yang diakui
dan berbadan hukum sebagai wahana pembinaan professional,
pengabdian dan perjuangan.
(2)Organisasi profesi pendidikan merupakan mitra Pemerintah
Kabupaten dalam mencapai tujuan pendidikan.
(3)Ketentuan mengenai tujuan, peran, fungsi, tata kerja organisasi
profesi, diatur dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga
masing-masing organisasi.
65
i. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Buku Ajar
(1)Setiap peserta didik berhak menerima buku ajar sebagai buku wajib
dalam proses belajar mengajar tanpa dipungut biaya.
(2)Pengadaan buku ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten.
(3)Selain bukun ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekolah dapat
menggunakan buku ajar lain sebagai buku pendamping.
(4)Tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan komite sekolah dilarang
melakukan penjualan buku ajar kepada peserta didik.
Ruangan
(1) Setiap satuan pendidikan sekurang-kurangnya memiliki:
a. ruang pendidikan;
b. ruang administrasi; dan
c. ruang penunjang.
(2) Spesifikasi dan ukurannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah Kabupaten menyediakan dana pemeliharaan dan
perawatan ruang dan bangunan satuan pendidikan sesuai dengan
kemampuan.
j.Evaluasi
Tujuan dan Sasaran Evaluasi
(1)Evaluasi dilakukan dalam rangka:
a. pengendalian mutu pendidikan serta memperoleh masukan
guna pengembangan pendidikan selanjutnya; dan
b. sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(2)Evaluasi dilakukan terhadap:
a. peserta didik;
b. tenaga pendidik dan tenaga kependidikan;
c. lembaga dan program pendidikan pada semua jenjang satuan
dan jenis pendidikan.
Evaluasi Belajar
66
(1)Evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan
satuan pendidikan yang bersangkutan, yang meliputi proses dan
hasil belajar dengan menerapkan prinsip ketuntasan belajar secara
berkesinambungan.
(2)Jenis evaluasi belajar pada satuan pendidikan meliputi:
a. penilaian kelas;
b. ujian akhir;
c. tes kemampuan dasar; dan
d. penilaian mutu.
(3)Evaluasi peserta didik dilakukan secara berkala, menyeluruh,
transparan dan sistemik untuk mencapai standar kompetensi
tertentu.
(4)Peserta didik berhak mendapatkan sertifikasi atas dasar evaluasi
yang dilakukan.
(5)Sertifikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) berbentuk
ijazah dan sertifikasi kompetensi.
(6)Lembaga pendidikan yang terakreditasi berhak member ijazah kepada
peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajat dan/atau
penyelesaian suatu satuan pendidikan setelah lulus dalam ujian.
(7)Penyelenggara pendidikan dan pelatihan berhak memberikan
sertifikat kompetensi kepada peserta didik dan warga masyarakat
sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan
pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi.
Evaluasi Kinerja
(1)Evaluasi kinerja tenaga pendidik menjadi tanggung jawab atasan
langsung yang meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan;
c. penilaian hasil belajar;
d. analisis hasil belajar; dan
e. perbaikan dan pengayaan.
(2)Evaluasi kinerja tenaga pendidik dilakukan secara berkala,
menyeluruh, transparan dan sistemik.
67
(3)Tes kompetensi dan sertifikasi tenaga pendidik merupakan salah satu
bentuk evaluasi kinerja tenaga pendidik dalam rangka peningkatan
dan pengembangan tenaga kependidikan.
(4)Evaluasi kinerja yang dilakukan masyarakat atas penyelenggaraan
pelayanan yang diterima dari satuan pendidkan berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi kinerja diatur
dengan Peraturan bupati.
k. Akreditasi
(1)Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan
satuan pada jalur pendidikan formal dan non formal di setiap jenjang
dan jenis pendidikan.
(2)Akreditasi terhadap satuan pendidikan dilakukan oleh Badan
Akreditasi Sekolah (BAS).
(3)Akreditasi dilakukan atas dasar criteria yang bersifat transparan,
objektif dan akuntabel yang meliputi aspek:
a. kurikulum dan proses belajar mengajar;
b. administrasi/manajemen sekolah;
c. organisasi/kelembagaan sekolah;
d. sarana dan prasarana;
e. ketenagaan;
f. pembiayaan;
g. peserta didik/siswa;
h. peran serta masyarakat; dan
i. lingkungan/kultur sekolah.
(4)Satuan pendidikan yang telah diakreditasi berhak mendapatkan
sertifikat dari BAS sesuai dengan tingkat kelayakannya.
(5)Keanggotaan BAS terdiri dari unsur-unsur:
a. Dinas Pendidikan;
b. Dewan Pendidikan;
c. organisasi profesi;
d. Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS);
e. pengawas; dan
68
f. masyarakat.
(6)Susunan keanggotaan BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk jenjang SD dan SMP,
serta Keputusan Gubernur untuk tingkat SMA dan SMK.
(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara akreditasi diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
l. Pengawasan
(1)Pemerintah Kabupaten melakukan pengawasan atas penyelenggaraan
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan luar sekolah.
(2)Pengawasan bidang teknis edukatif dilakukan oleh tenaga fungsional
Pengawas Profesional yang terdiri dari pengawas TK/SD, Pengawas
Rumpun Mata Pelajaran, Pengawas Bimbingan Konseling serta
dilaporkan secara berkala (tri wulan) kepada Kepala Dinas.
(3)Pengawas pendidikan non formal dilakukan oleh Penilik Pendidikan
Luar Sekolah.
(4)Pengawasan di bidang administratif manajerial dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten.
(5)Pada setiap satuan pendidikan terdapat fungsi pengawasan melekat.
(6)Dewan Pendidikan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap
kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
(7)Komite Sekolah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap
kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan
satuan pendidikan.
Kedudukan dan Tugas Pengawas Sekolah dan Penilik Sekolah
(1)Pengawas sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan
sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan
terhadap sejumlah sekolah yang ditunjuk/ditetapkan.
(2)Penilik sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai
pelaksana teknis.
(3)Pengawas sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina
penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik
negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya.
69
(4)Penilik sekolah mempunyai tugas pokok merencanakan,
melaksanakan, membimbing dan melaporkan kegiatan penilikan
pendidikan non formal.
Tanggung Jawab dan Wewenang Pengawas Sekolah dan Penilik
(1)Tanggung jawab Pengawas Sekolah adalah:
a. melaksanakan pengawasan pada penyelenggaraan pendidikan
di sekolah sesuai dengan penugasannya pada Taman Kanak-
kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, rumpun mata
pelajaran/mata pelajaran dan bimbingan konseling; dan
b. meningkatkan proses belajar mengajar/bimbingan dan hasil
prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian
tujuan pendidikan.
(2)Wewenang Pengawas Sekolah adalah:
a. memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil
yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan kode etik profesi; dan
b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta
melakukan pembinaan.
(3)Tanggung jawab Penilik:
a. melaksanakan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara
pendidikan non formal;
b. meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan dalam
rangka pencapaian tujuan pendidikan;
c. melaksanakan pemantauan dan bimbingan pada lembaga
penyelenggara program pendidikan non formal yang meliputi:
1) program pengembangan anak usia dini;
2) program keaksaraan fungsional;
3) program paket A setara SD;
4) program paket B setara SMP;
5) program paket C setara SMA;
6) program kelompok belajar usaha;
70
7) pembinaan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh
masyarakat;
8) program pembinaan generasi muda;
9) program keolahragaan; dan
10) program taman bacaan masyarakat.
d. meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan dalam
rangka meningkatkan mutu keluaran
(4)Wewenang Penilik:
a. memberi penilaian; dan
b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta
melakukan pembinaan.
Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik
Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik dilakukan secara terbuka,
objektif dan transparan oleh Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
m. Wajib Belajar
(1)Pemerintah Daerah berkewajiban :
a. Menetapkan wajib belajar 12 (duabelas) tahun meliputi
pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan pendidikan menengah
3 (tiga) tahun;
b. Menjamin setiap anak mendapatkan kesempatan belajar mulai
dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah;
dan
c. Membebaskan biaya pendidikan dasar bagi wajib belajar
pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun.
(2)Pelayanan program wajib belajar mengikutsertakan semua lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun
lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
n. Partisipasi Masyarakat
71
(1)Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
yang meliputi:
a. Perencanaan;
b. Pelaksanaan;
c. Pengawasan dan evaluasi program pendidikan; dan/atau
d. Pengembangan sarana prasarana melalui:
1) Dewan Pendidikan;
2) Komite Sekolah; dan/atau
3) yayasan penyelenggara pendidikan.
(2)Dunia usaha dan dunia industri wajib membantu penyelenggaraan
pendidikan untuk pencapaian standar kemampuan sesuai dengan
tuntutan jabatan pekerjaan atau profesi tertentu yang berlaku di
lapangan kerja dan member kemudahan dalam proses pembelajaran
yang terkait dengan industri, pelaksanaan praktik kerja industri,
pendidikan sistem ganda serta membantu penyaluran tenaga.
(3)Dunia usaha dan dunia industri wajib membina perkembangan unit
produksi satuan pendidikan.
(4)Dunia usaha, dunia industri, Dinas Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan
Industri Daerah, Asosiasi dan Organisasi Profesi, berkewajiban
membantu satuan pendidikan dalam perencanaan, pelaksanaan dan
member pengakuan sertifikasi profesi sesuai program keahlian yang
ada pada satuan pendidikan.
(5)Pemerintah Kabupaten memberikan penghargaan atas peran
masyarakat, dunia usaha dan dunia industri dalam membantu
penyelenggaraan pendidikan dan ditetapkan dengan Keputusan
Bupati.
o. Dewan Pendidikan
(1)Dewan pendidikan mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan
pendidikan.
(2)Dewan Pendidikan bertujuan:
72
a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat
dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan;
b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh
lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan
c. menciptakan suasana dan kondisi tramsparan, akuntabel dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan
yang bermutu.
(3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan
Pendidikan berfungsi sebagai:
a. pemberi pertimbangan;
b. pendukung;
c. pengontrol; dan
d. mediator.
(4)Keanggotaan Dewan Pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5)Dewan Pendidikan bertanggung jawab kepada Bupati.
p. Komite Sekolah
(1)Komite Sekolah mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka :
a. peningkatan mutu;
b. pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan pada satuan
pendidikan.
(2)Komite Sekolah bertujuan :
a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat
dalam melahirkan kebijakan operasional dan program
pendidikan di satuan pendidikan;
b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh
lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan; dan
c. menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan
yang bermutu di satuan pendidikan.
73
(3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Komite
Sekolah berfungsi sebagai:
a. pemberi pertimbangan;
b. pendukung;
c. pengontrol; dan
d. mediator.
(4)Keanggotaan Komite Sekolah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5)Komite Sekolah bertanggung jawab kepada masyarakat.
q. Pendanaan Pendidikan
Sumber dan Penggunaan
(1)Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Provinsi; dan
c. Pemerintah Daerah.
(2)Pemerintah Daerah menetapkan biaya pendidikan selain gaji tenaga
kependidikan dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% dari
anggaran Pendapatan dan Belanja daerah.
(3)Pembiayaan pendidikan terdiri atas:
a. biaya investasi;
b. biaya operasional; dan
c. biaya personal.
(4)Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a meliputi:
a. Biaya penyediaan sarana dan prasarana;
b. Pengembangan sumber daya manusia; dan
c. Modal kerja tetap.
(5)Biaya operasional satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b meliputi:
a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan
yang melekat pada gaji;
74
b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai; dan
c. biaya operasi pendidikan yang tidak langsung berupa:
1) daya;
2) air;
3) jasa telekomunikasi;
4) pemeliharaan sarana dan prasarana;
5) uang lembur;
6) transportasi;
7) konsumsi;
8) pajak; dan
9) asuransi.
(6)Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, adalah
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk
bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan.
Sumbangan Pendidikan
(1)Biaya penyelenggaraan yang bersumber dari masyarakat dipungut
bagi orang tua/wali peserta didik secara sukarela meliputi:
a. Sumbangan Pengembangan Institusi;
b. iuran dana operasional sekolah;
c. lain-lain.
(2)Penentuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak satuan
pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik dengan
berpedoman pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah (RAPBS) dan kemampuan orang tua/wali peserta didik
melalui rapat pleno;
b. bagi orang tua/wali peserta didik yang berasal dari keluarga
miskin dibebaskan dari sumbangan;
c. mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Kabupaten.
(3)Sumbangan Pengembangan Institusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dilakukan setelah peserta didik dinyatakan diterima
dan selesai daftar ulang di sekolah tersebut.
75
(4)Sumbangan Pengembangan Institusi dikenakan hanya pada peserta
didik baru disetiap jenjang satuan pendidikan.
(5)Dana dan Sumbangan Pengembangan Institusi yang berasal dari
orangtua/wali peserta didik, penggunaannya diprioritaskan untuk
biaya investasi sesuai Daftar Skala Prioritas (DSP). Dan tidak boleh
digunakan untuk membiayan gaji pendidik dan tenaga kependidikan
serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
(6)Dana sumbangan yang diterima dari tokoh/anggota masyarakat,
pengusaha, organisasi sosial/kemasyarakatan yang diterima
langsung penggunaannya diprioritaskan untuk pengembangan
institusi.
(7)Pengelolaan biaya pendidikan harus berprinsip pada:
a. keadilan;
b. efisiensi;
c. transparansi; dan
d. akuntabilitas.
(8)Setiap satuan pendidikan wajib menyusun Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dengan melibatkan Komite
Sekolah dan/atau penyelenggara satuan pendidikan untuk
memperoleh pengesahan dari Dinas pendidikan.
(9)RAPBS yang telah disahkan menjadi Anggaran Belanja dan
Pendapatan Sekolah (APBS) dan laporan pertanggung jawaban APBS
dipublikasikan di papan pengumuman sekolah.
(10) Satuan pendidikan dapat mengembangkan unit produksi yang
menghasilkan sumber dana pendidikan dalam bentuk kerjasama
dengan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(11) Dana bantuan pengembangan satuan pendidikan (block grant) dan
pemerintah, dan/atau pemerintah Daerah, pelaksanaannya
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
76
(12) Tenaga Kependidikan pada satuan pendidikan, tidak
diperkenankan menarik dana di luar ketentuan yang sudah
ditetapkan.
r. Penyidikan
(1)Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran Peraturan
Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2)Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai
adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat
kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal
dari tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat
petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan.
s. Sanksi Administrasi
77
(1)Bupati berwenang memberikan sanksi administratif terhadap
penyelenggara pendidikan pada semua tingkatan, yang melakukan
pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini.
(2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. teguran/peringatan;
b. pencabutan ijin;
c. pembubaran.
(3)Pelanggaran terhadap peraturan daerah ini bagi Pegawai Negeri Sipil
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
t. Ketentuan Pidana
(1)Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa ijin Bupati
atau Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (3) diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
(2)Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4), ayat (5)
dan ayat (6), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 36 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), pasal 52
ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) diancam pidana kurungan paling lama
6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta
rupiah).
(3)Selain tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dapat dikenakan pidana lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
u. Ketentuan Penutup
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini,
sepanjang mengenai teknik pelaksanaan, akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan bupati dan/atau Keputusan Bupati.
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
78
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana.
BAB VI
PENUTUP
A. Rangkuman
Landasan yuridis pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan di daerah
adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-Undang ini menegaskan di dalam Berdasarkan Pasal 50
ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa, Pemerintah
Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah,
serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Selanjutnya,
pengelolaan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati
memberikan hak membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan
Daerah di Bidang Pendidikan kepada Bupati/Bupati. Penyelenggaraan
pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan
79
pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Berkait dengan itu maka Penyelenggaraan
Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Landasan Sosiologis, Kabupaten Jembrana tidak memiliki peraturan
daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan,namun di sisi
yang lain kebutuhan hukum masyarakat tentang penyelenggaraan
pendidikan sangat diperlukan sehingga memerlukan Peraturan Daerah
yang dapat menjamin bahwa penyelenggaraan pendidikan.
Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang
Penyelenggaraan Pendidikan dalam Peraturan Daerah adalah Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal dan
yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang
Penyelenggaraan pendidikan adalah:
1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Penyelenggaraan pendidikan
bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai
siapa dan apa yang diatur dalam penyelenggaraan pendidikan; dan
(2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kabupaten untuk
menyelenggarakan pendidikan, sehingga tujuan negara Kesatuan
Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat
tercapai.
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Pengaturan
Penyelenggaraan Pendidikan dengan Peraturan Daerah dilakukan
oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama DPRD
Kabupaten Jembrana.
3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan
pendidikan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan
Pendidikan .
4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan harus memperhatikan beberapa aspek:
(1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan
80
pendidikan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam
penyelenggaraan pendidikan, termasuk subsansinya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan penyelenggaraan pendidikan
memang dapat memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah
Kabupaten maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penyelenggaraan
pendidikan di Kabupaten Jembrana.
6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan esuai persyaratan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan menjamin
kepastian.
7. Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam
artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan,
baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Kabupaten
untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan
relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu,
maka terlebih dahulu Pemerintah Kabupaten memberikan informasi
tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Penyelenggaraan
pendidikan:
1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan
81
mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut norma
hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma
hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Pendidikan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.
2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Materi
muatan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan tidak
berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin
perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.
3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan dituntut dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti.
Dalam artian, norma hukum Penyelenggaraan Pendidikan harus
sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim
dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan
jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan
Penyelenggaraan pendidikan, termasuk norma hukum
penyelenggaraan pendidikan dan sanksinya atas pelanggarannya
tidak boleh berlaku surut.
4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum
dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan harus
mengandung keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban
membayar penyelenggaraan pendidikan dengan hak yang
didapatkannya dengan membayar penyelenggaraan pendidikan.
B. Konklusi
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di bab-babsebelumnya,
dapat ditarik konklusi sebagai berikut :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana belum mempunyai Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Berdasarkan Pasal 50
ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
82
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati
Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan
Daerah di Bidang Pendidikanterlebihdahulu dipersiapkan konsep
awal rancangannya.
2. Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati Berhak Membentuk
Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang
Pendidikan.
C. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan
pendidikan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya,
adalah:
1. Agar segera disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Pendidikan.
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan,
sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (1) UU
Pemerintahan Daerah 2014.
83
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
………, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);.
…….., Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
…….., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang
Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan
84
DAFTAR PUSTAKA
Ali Imron, Kebijaksanaa Pendidikan Di Indonesia ( Proses, Produk dan Masa depan),
(Bumi Aksara, 2002)
Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996).
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, (Gramedia, Jakarta, 1987).
Friedmann, W., Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990).
Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950).
Hamid S. Attamimi A., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990).
..........., ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II
85
Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995).
M Sirozi, Politik pendidikan, Raja Grafindo Persada, 2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000).
Suparlan Suhartono, AR-RUZZ Media, 2005, hal 91Filasat Pendidikan
Van Der Vlies, I.C., Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005.
Ali Muhdi Amnur,ed., Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007.
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.