nafkah iddah pada perkara cerai gugat (a putusan...
TRANSCRIPT
x
NAFKAH IDDAH
PADA PERKARA CERAI GUGAT
(Analisis Putusan Nomor 2615/Pdt. G/2011/PA.JS.)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ERWIN HIKMATIAR
NIM.1110044100014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
ii
NAFKAH IDDAH
PADA PERKARA CERAI GUGAT
(Analisis Putusan Nomor 2615/Pdt. G/2011/PA.JS.)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ERWIN HIKMATIAR
NIM.1110044100014
Di Bawah Bimbingan:
Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag Hotnida Nasution, MA
NIP: 19730424200021210007 NIP: 197106301997032002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 10 September 2015
Erwin Hikmatiar
iv
v
ABSTRAK
Erwin Hikmatiar. NIM 1110044100014. NAFKAH IDDAH PADA PERKARA
CERAI GUGAT (Analisis Putusan Nomor 2615/Pdt. G/2011/PA.JS.). Program
Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui aspek keadilan penerapan nafkah
iddah pada perkara cerai gugat dengan alasan perselisihan terus menerus dalam
paraktiknya di pengadilan. Dalam artian putusan tersebut apakah sudah sesuai
dengan undang-undang atau tidak. Pada penelitian ini penulis mengambil objek
penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan menganalisis putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor 2615/Pdt. G/2011/PA.JS yang
memberikan nafkah idah pada isteri yang mendapat talak ba’in sughra, penulis
ingin mengetahui bagaimana hak nafkah iddah pada isteri meng menggugat cerai
suaminya dan aspek keadilan dalam putusan tersebut
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan yuridis
empiris.sedangkan untuk penentuan sampelnya digunakan metode wawanara
dengan melakukan wawancara kepada informan yaitu hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Sumber data primer berupa putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Perkara Nomor 2615/Pdt..G/2011/PA.JS. Menggunakan metode analisis
normatif kualitatif yang berarti berpedoman pada peraturan yang ada dan
membandingkan dengan fakta-fakta yang ada pada putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Teknik penulisan pada skripsi ini berdasarkan pada pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 149 menyatakan bahwasanya isteri yang ditalak ba’in oleh suaminya akan
kehilangan haknya untuk nafkah iddah, namun hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan memutuskan bahwasanya misteri yang meggugat cerai dan kemudian
mendapat talak ba’in sughra tetap menerima nafkah iddah dari suaminya dengan
pertimbangan melihat pada peristiwa hukum bahwa isteri tidak nusyuz dan asas
keadilan.
Kata kunci: Nafkah Iddah, Keadilan, Putusan Pengadilan Agama
Pembimbing : Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag dan Hotnida
Nasution, MA
Daftar pustaka : Tahun 2000 s.d. Tahun 2014
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيمPuji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua
umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda Drs H Tarjudin dan
ibunda Hj Darmi. Yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang,
dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.A dan Arip Purkon, M.A., Ketua Prodi dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga (ahwalu syakhsiyyah), Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag dan Ibu Hotnida Nasution, MA dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama
membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, Drs H Tarjudin,
Hj Darmi, dan Indra Wardana S.pd yang senantiasa memberikan dukungan
selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
6. KH. Bahrudin, S.Ag selaku pimpinan Pondok Pesantren Daar El-Hikaam
yang senantiasa mengayomi dan membina penulis tanpa lelah, serta sahabat
kobong wali Ghozali, Masboy, Pandy, Akrom, Ichwan, Nendi, serta sahabat
lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
7. Rekan seperjuangan Peradilan Agama Angkatan 2010 Dede Umu Kulsum,
Wardha, Irfan Zidny, Syahbana, Rifki Abdurrahman, Rusdi, Fauzan,
Nasruddin, Kahfi, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat
ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Ciputat, 10 September 2015
Erwin Hikmatiar
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 6
E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 8
F. Sistematika Penelitian ...................................................................... 9
BAB II CERAI GUGAT DALAM FIQH DAN UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Cerai Gugat ................................................................... 11
B. Cerai Gugat dalam Perspektif fiqh ................................................ 14
C. Cerai Gugat dalam Perspektif Undang-Undang ............................. 20
D. Akibat dari Cerai Gugat ................................................................... 27
BAB III KONSEP KEADILAN DAN NAFKAH IDDAH
A. Pengertian Nafkah Iddah ................................................................ 30
B. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Fiqh ............................................ 33
C. Nafkah Iddah Dalam Perspektif Undang-Undang .......................... 35
D. Konsep Keadilan dan Hikmah Nafkah Iddah .................................. 38
BAB IV PERTIMBANGAN DAN PENERAPAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN NAFKAH IDDAH A. Profil Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan ......................... 43
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
2615/Pdt.G/2011/PA.JS .................................................................. 50
C. Landasan dan Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan
Nafkah Iddah bagi Istri yang mengajukan Gugatan Cerai .............. 56
D. Penerapan Asas Keadilan ........................................................ 60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 63
B. Saran .............................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65
LAMPIRAN .......................................................................................................... 68
ix
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi................................................... 71
2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara ............................................. 72
3. Pedoman Wawancara ........................................................................................ 74
4. Hasil Wawancara ............................................................................................... 76
5. Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
No.2615/Pdt.G/2011/PA.JS .............................................................................. 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan manusia dan makhluk lainya dengan
berpasang-pasangan agar kita semua dapat hidup dengan bahagia serta
berkembang biak. Dari banyak makhluk yang berpasang-pasangan, Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan dari jenis manusia agar mereka dapat
berhubungan satu sama lain, sehingga mencintai, menghasilkan keturunan
serta hidup dalam kedamaian.1 Hal ini senada dengan firman Allah Q.S
Yasiin (63) : 36 yang berbunyi:
لمون ا ل يؼأ ض ومنأ ٱهفسيمأ وممذ رأ ألأ ا ثنبت ٱ ج كذيا ممذ ألزو
ي خلق ٱ لذ
ن ٱ بح (٣٦: (٣٦) )يس س
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan adalah
merupakan sebuah tuntutan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk
menghalalkan hubungan itu maka disyariatkanlah akad nikah. Pada dasarnya
setiap laki-laki muslim dapat saja kawin dengan wanita yang disukainya,
namun segera harus disebutkan bahwa prinsip itu tidak mutlak karena harus
ada batas batasnya.2 Pergaulan antara laki laki dengan perempuan yang telah
diatur dalam pernikahan ini tentunya akan mendapatkan nilai ibadah dan
sumber pahala bagi suami dan isteri. Adanya penikahan juga sebagai wadah
untuk kehalalan dalam melakukan jima‟ bagi suami dan isteri.
1 Abdurrahman, Perkawinan dalam syariat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 1.
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.II, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h.5.
2
Nikah merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainya dan perkenalan
itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainya.
Perkawinan dalam pengertian Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan
perkawinan menurut KHI pasal 2 adalah akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. 3
Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanankan
ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran
agama. Menurut ajaran agama Islam, tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga dengan maksud melanjutkan keturunan serta
mengusahakan agar dalan rumah tangga dapat diciptakan ketenangan
berdasarkan cinta dan kasih sayang.4
Perkawinan bagi umat Islam, bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriyah
antara seorang pria dengan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis, tapi
3 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986), h. 64 4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, cet.II, h. 27.
3
merupakan sunnah Rasulullah SAW, suatu perbuatan suci dan luhur yang
bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan mencapai ketenangan
dalam kehidupan rumah tangga.5
Dengan adanya pernikahan, yang merupakan salah satu hal yang
membedakan manusia yang memiliki akal dengan binatang yang berkembang
biak dimana saja dan kapan saja. Hal ini kemudian menjadi salah satu hal
yang sakral dan penting dalam kehidupan manusia, karena pernikahan
dipandang sebagai salah satu Hal yang suci dan mulia dan merupakan titik
balik perkembangan umat manusia. Melalui Jalan pernikahan, manusia bisa
saling memenuhi kebutuhan dan keperluanya serta dapat saling mengisi dan
melengkapi.6
Dalam perkawinan, perceraian merupakan pemutus tali pengikat antara
suami dan isteri. Perceraian merupakan salah satu akibat dari tidak
harmonisnya hubungan antara suami dan isteri dalam rangka menjalankan
hak dan kewajibanya di dalam sebuah keluarga. Ini adalah salah satu langkah
yang diambil oleh pasangan suami dan isteri dalam menyelesaikan masalah
rumah tangganya yang sudah tidak dapat lagi di selesaikan atau didamaikan.
Perceraian merupakan sebuah keputusan yang menyakitkan bagi
pasangan suami dan isteri. Dan juga perceraian merupakan sebuah hal yang
halal namun dibenci oleh Allah SWT.7 Dilihat dari Undang Undang No.7
tahun 1989 tentang peradilan Agama dan kompilasi hukum Islam dikenal
5 Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia, (Jakarta: P.T al-Mawardi, 2003), h. 171.
6 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 12.
7 Imam Muhammad bin Ismail, Subul Al-Salam, (Bandung, Dahlan, 1985) h. 168.
4
dengan istilah cerai talak dan cerai gugat. Perceraian yang dimaksud dalam
penulisan ini adalah perceraian karena talak dan perceraian karena gugatan
isteri. Dalam pasal 39 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan
“untuk melakukan sebuah perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami dan isteri tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri”. Cerai talak
merupakan cerai yang dilafadzkan oleh pihak suami sedangkan cerai gugat
merupakan cerai yang di ajukan oleh pihak wanita sebagai isteri.8 Dalam
Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang Talak, talak adalah ikrar suami
dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu penyebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,
130, 131 Kompilasi Hukum Islam.
Bila perceraian terjadi atas kehendak suami maka bekas isteri berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suaminya selama masa Iddah. Hal tersebut
tercantum dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan
nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama dalam masa iddah
kecuali bekas isteri dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil.9
Namun tidak semua putusan Pengadilan Agama yang menerapkan
demikian, pada Putusan Pengadilan Agama Nomor 2615/Pdt.G/2011/PA.JS
ternyata majelis hakim memutuskan bahwa mantan isteri selaku penggugat
8 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), h. 39.
9 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2007), h. 149
5
berhak atas nafkah selama masa iddah dari mantan suami selaku tergugat.
Padahal jenis perkaranya adalah gugatan dan talak yang dijatuhkan adalah
talak bain sughra. Hal ini yang kemudian menarik penulis untuk menulis
permasalahan pada skripsi ini dengan judul “Nafkah Iddah Pada Perkara
Cerai Gugat (Studi putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor.
2615/Pdt.G/2011/PA.JS)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih fokusnya penelitian ini dan supaya pembahasan skripsi ini
lebih terarah sehingga tercapai suatu pengertian yang lebih jelas, maka
penulis memberikan batasan pada permasalahan nafkah iddah pada
perceraian gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
2615/Pdt.G/2011/PA.JS
2. Perumusan Masalah
Dalam teorinya pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 menyebutkan
apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib
memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama
dalam masa iddah kecuali bekas isteri dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak hamil. namun pada praktiknya hakim memberikan
nafkah iddah kepada isteri yang melakukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama dan dijatuhkan talak ba‟in. Kemudian berdasarkan
perumusan masalah di atas menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai
berikut :
6
a. Bagaimana hak nafkah iddah untuk isteri yang mengajukan gugatan
perceraian
b. Apa yang menjadi landasan dan pertimbangan hakim untuk
memberikan nafkah iddah kepada isteri yang dicerai dengan talak ba‟in
c. Apakah penerapan tersebut sudah sesuai dengan asas keadilan
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan nafkah iddah
dalam Islam dan mengetahui proses ketentuan nafkah iddah bagi seorang
isteri pasca cerai gugat
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjadi sumbangsih
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan agar dapat membuka
wawasan secara teoritis serta dapat dijadikan sebagai bahan refrensi bagi
pihak yang ingin memperdalam dan mempelajari tentang nafkah iddah.
D. Studi Review
Setelah melakukan penelusuran terhadap karya ilmiah yang bertemakan
dengan nafkah iddah pada perceraian gugat di Perpustakaan Utama serta
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, penulis menemukan dua skripsi
yang terkait yang akan penulis bahas secara ringkas.
Pertama, skripsi Ahmad Faisal (108044100021) dengan judul
“Implementasi Pemberian Nafkah Iddah Bagi Isteri Nusyuz (Analisis Putusan
Perkara Nomor : 1223 Pdt.G/2011/PA.Depok)” tahun 2013. Pada skripsi ini
7
menjelaskan mengenai pemberian nafkah iddah pada kasus permohonan cerai
karena isteri melakukan nusyuz berbeda dengan skripsi yang penulis bahas
yakni mengenai kasus gugatan perceraian karena perselisihan.
Kedua, skripsi Rohmad Heri Tricahyo (109044100035), dengan judul
“Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan
Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013) pada tahun 2014. Dalam skripsi ini
membahas bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
nafkah iddah serta bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang dalam hal
pelaksanaan nafkah iddah. Perbedaan dengan skripsi ini adalah
pembahasanya mengenai nafkah iddah serta nafkah iddah yang ditetapkan
pada perkara cerai gugat dengan sudut pandang keadilan.
Ketiga, skripsi Defi Uswatun Hasanah (1110044100003), dengan judul
“Hak Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat dan Implementasinya di Pengadilan
Agama Tanjung Pati” pada tahun 2014. Dalam skripsi ini menjelaskan
mengenai penerapan nafkah iddah pada perceraian gugat akibat KDRT di
Pengadilan Agama Tanjung Pati dan pada putusanya ternyata Hakim di
pengadilan Tanjung Pati tidak memberikan nafkah iddah bagi isteri yang
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. perbedaan pada
skripsi ini yakni objek dari penelitian adalah putusan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam memberikan hak nafkah iddah bagi perceraian
gugat yang disebabkan oleh perselisihan serta sudut pandang pada penelitian
ini adalah prinsip serta teori keadilan.
8
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi
ini, maka penulis menggunakan metode:
1. Pendekatan Masalah dan Jenis Penelitian
a. Menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
2615/Pdt.G/2011/PA.JS
b. Kualitatif
Penelitian Kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati
dari orang orang (subjek) itu sendiri.
c. Penelitian Kepustakaan (library research)
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengkajian dari
buku buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan
skripsi ini yang dianalisa data-datanya dengan cara ini penulis
mengunjungi beberapa perpustakaan yang dapat dijangkau oleh
penulis di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya.
d. Studi Lapangan (field reseach)
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat
penelitian baik dengan cara observasi langsung maupun dengan
menggunakan data-data dalam bentuk resmi dari Pengadilan Agama
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu :
1) Putusan dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 2615/Pdt.G/2011/PA.JS
2) Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
9
b. Data Sekunder, yaitu data yang didapat dari buku-buku hukum dan
buku yang lain yang ada hubunganya dengan tema penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
a. Interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data yang akurat
untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu
dengan tanya-jawab secara langsung yang bebas dan terbuka. Dalam
hal ini penulis akan mengumpulkan sumber data dari Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pihak-pihak yang terkait
b. Observasi, yaitu peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk
memperoleh data-data yang diperlukan.
c. Studi literatur, terdiri dari buku, dokumen, arsip atau jurnal yang
kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teori
4. Teknik Penulisan
Dalam Penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman
kepada prinsip dan aturan yang telah diberlakukan serta dibukukan dalam
buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 Bab yang terdiri dari sub-
sub bab. Sistematika ini dimaksudkan untuk memudahkan jalanya penulisan
dan pengambilan kesimpulan akhir setelah diadakan analisa permasalahan
yang tercakup dalam sub-sub bab yang akan dipaparkan sebagai berikut :
10
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika Penulisan. Dalam bab pertama ini di ketengahkan keseluruhan isi
skripsi secara global namun dalam satu kesatuan yang utuh dan jelas.
Bab kedua berisi kajian teoritis cerai gugat, dan nafkah iddah yang mana
akan dipaparkan menurut perspektif fiqh dan menurut perundang-undangan di
Indonesia. Di dalamnya akan mengupas secara mendalam mulai dari
pengertian cerai gugat dan nafkah iddah, nafkah iddah dalam cerai gugat,
konsep keadilan dan hikmah disyariatkanya nafkah iddah .
Bab ketiga akan membahas mengenai profil Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Pada bab ini akan penulis coba uraikan tentang Sejarah Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Tugas dan wewenang Pengadilan Agama, serta tugas
pokok dan fungsi.
Bab keempat berisi analisa penulis terhadap putusan
No.2165/Pdt.G/2011/PA.JS tentang pemberian nafkah iddah bagi isteri yang
melakukan gugatan cerai. Pada bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimana
pertimbangan hakim dalam menentukan nafkah iddah pada perceraian gugat
dan penerapan asas keadilan dalam putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Bab kelima merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi, yang berisi
kesimpulan dan saran seputar persoalan yang diangkat dari awal sampai akhir
pembahasan.
11
BAB II
CERAI GUGAT DALAM FIQH DAN UNDANG-UNDANG
A. Pengertian Cerai Gugat
Pada masa pra-Islam kedudukan perempuan berada dalam kondisi yang
tidak terhormat, bahkan dalam batas tertentu tidak dianggap sebagai manusia.
Begitu pula dalam perkawinan, perempuan dianggap sebagai barang yang
dipertukarkan, tanpa ada ikatan yang jelas. Kedatangan Islam mengangkat
derajat dan martabat perempuan salah satunya dengan disyariatkan
perkawinan yang mana didalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban.
kemudian untuk menjaga kelangsungan lembaga perkawinan maka diciptakan
mekanisme perceraian agar laki-laki tidak mudah untuk menceraikan
isterinya.1
Perceraian adalah penderitaan yang tidak akan berhenti pada batasan
kalimat yang diucapkan suami ketika marah atau dalam situasi gila. Kalimat
perceraian adalah kalimat yang akan mengguncangkan langit sebelum
mengguncangkan eksistensi keluarga, dimana suami, isteri, dan anak-anak
semuanya akan merasakan guncangan tersebut dan mereka akan menenggak
pil kepahitan serta terhalang dari meraih impian yang didambakan yaitu
kehidupan keluarga yang penuh kehangatan.2
1 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
228.
2 Terjemahan kitab Butsainah as-Sayid al-Iraqi, Asror Fil Hayati al-Mullaqot, (Jakarta :
Pustaka al-sofwa, 2005), h. 210.
12
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara
lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya, atau
karena perceraian diantara keduanya.3 Perceraian dalam ikatan perkawinan
adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh
berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan,
namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai
sehingga yang terjadi adalah perceraian.4
Cerai yang dalam bahasa „Arab di sebut “Ath-tholaaq” itu mengandung
arti memutuskan atau meninggalkan. Menurut istilah, cerai adalah melepaskan
ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Talak artinya ialah
lepas atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai, dan berpisah.5 Di dalam
Islam, pada prinsipnya perceraian itu dilarang, kecuali ada alasan-alasan
obyektif yang menuntut adanya sebuah perceraian antara suami isteri. Dari Ibn
„Umar r.a., ia telah menyampaikan, Rasulullah SAW telah bersabda :
ا د بن خال غن غبيد هللا بن اموميد اموصذ ف غن محارب حدذ جنا نثري بن غبيد احلمس حدذ جنا محمذ
ر كا ل هللا بن دثر غن غبد هللا بن عل كال رسول هللا صلذ هللا ػليو وسلذمض ٱضبغض احللل ا
لق )رواه ابن جمح( امطذ6
“Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid Al-Himsi berkata, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidullah bin Al-
Walid Al-Washshafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar ia
berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: Perkara halal
yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian”. (Hadits Riwayat Ibnu
Majah).
3 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 229. 4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80.
5 Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Cet III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 212
6 Ibnu Majah: 2008
13
Secara umum pengertian dari cerai gugat yaitu isteri menggugat
suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan
mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri)
dengan tergugat.7 Dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia putusnya
perkawinan karena perceraian dapat dibagi menjadi dua bagian yakni
perceraian talak dan gugat. Perceraian talak adalah perceraian yang
dikehendaki oleh pihak suami dan diajukan ke Pengadilan Agama, dalam
proses peradilanya disebut permohonan cerai talak. Sedangkan perceraian
gugat dapat diartikan sebagai sebuah perceraian yang dikehendaki oleh pihak
isteri dan diajukan ke Pengadilan Agama, dalam proses peradilanya disebut
gugatan perceraian.
Gugatan cerai yang diajukan dapat dianggap sebagai salah satu upaya
tuntutan hak kepada pihak suami. Dengan kata lain seorang isteri yang
mengajukan gugatan cerai berarti menuntut haknya yang telah dirugikan oleh
suaminya sehingga ia memerlukan dan meminta perlindungan hukum yang
pasti dan adil kepada pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara perceraianya. Suatu tuntutan hak harus mempunyai
kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat
diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan.8
Untuk dapat mengajukan gugatan cerai di pengadilan maka harus
mempunyai kepentingan yang cukup dan layak serta memiliki dasar hukum.
7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, h. 906.
8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Press,
2006), h. 53
14
Alasan tersebut haruslah telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
sebagai hukum nasional serta termasuk ke dalam hukum Islam dan hukum
adat, yang menjadi alas atau dasar hukum bagi pengajuan gugatan cerai di
pengadilan.9
B. Cerai Gugat Dalam Perspektif Fiqh
Sesungguhnya Islam mengharuskan keberadaan akad pernikahan
selamanya. Pernikahan yang dilaksanakan antara suami isteri seharusnya terus
berlangsung hingga maut memisahkan antara mereka berdua. Namun
terkadang ada juga pernikahan yang pada akhirnya berakhir karena berbagai
alasan. Perbedaan pendapat dan pandangan biasanya menjadi alasan yang
fundamental dan mendasar dari setiap perceraian.
Selain talak yang menjadi wewenang laki-laki (suami), dalam khazanah
Islam juga dikenal istilah khulu yang memberikan hak bagi perempuan untuk
menuntut perceraian kepada suami yang ia tidak senangi. Namun hal tersebut
bukan menjadi sarana main-main kedua pasangan, tetapi menjadi jalan
terakhir bagi penyelesaian rumah tangga.10
Pada dasarnya talak/cerai itu adalah mutlak milik pihak suami. Artinya
hanya pihak suami yang berhak menceraikan. Apabila isteri menginginkan
terjadinya perceraian dengan suaminya maka ia harus meminta persetujuan
suaminya, biasanya permintaan itu diikuti dengan kompensasi agar pihak
suami mau melepas haknya. Perceraian seperti ini disebut khulu.11
9 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014)
h. 135. 10
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga, h. 230. 11
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 187.
15
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal dari perceraian.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum asalnya adalah makruh
sebagaimana hadist Rasulullah yang menunjukan kearah sana. Argumentasi
lain menyatakan bahwa hukum asal dari perceraian adalah makruh karena
perkawinan merupakan nikmat Allah sehingga ketika terjadi perceraian maka
dapat diartikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah dan
perceraian merupakan sumber dari segala derita yang akan dirasakan bukan
hanya oleh pihak suami dan isteri tapi juga pihak anak.12
Menurut madzhab Maliki, hukum asal perceraian bukan makruh, hanya
mendekati makruh saja, yang dikatakan oleh sebagian mereka hal ini
tergantung pada kuat atau tidaknya penyebab terjadinya perceraian.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila berat dugaan akan terjadi
perzinahan dengan perempuan itu sesudah diceraikanya atau dengan
perempuan lain. Dalam Madzhab Hanafiyah pendapat terpecah menjadi dua
kelompok, kelompok yang pertama menyatakan boleh atau jaiz sedangkan
pendapat yang kedua adalah haram. Namun ada pula sebagian ulama yang
menyatakan bahwa hukum asal dari perceraian adalah mubah.13
Istilah cerai gugat tidak dikenal sebelumnya dalam hukum Islam ,
karena cerai gugat merupakan keberanjakan dari Khulu. Dalam bahasa arab,
khulu berarti menghilangkan, diantara artinya ialah menanggalkan.14
Secara
syara khulu adalah berpisahnya suami dari isterinya dengan memberi ganti
12
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional” , h. 179.
13
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional”, h. 180.
14
Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), h. 340.
16
yang diambil suami dari isterinya atau selainnya, dengan kata kata tertentu.15
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda :
وب غن ٱب كل بة غن ٱب ٱمساء غن جوب ن كال كال حدذ جنا سلميان بن حرب حدذ جنا حذاد غن اي
ما امراة سأ مت زوجا طللا ف غري ما بأس فحرام ػليا راءحة رسول هلل صلذ هللا ػلىو وسلذ : ٱي
(امرتمذداود و )رواه ابو امجنذة
“Siapa saja perempuan yang meminta suaminya untuk menceraikanya dengan
tanpa alasan, maka haram baginya bau surga (HR. Abu Dawud dan At-
Tirmidzi).16
Ibnu Taimiyah mendeskripsikan mengenai khulu yakni seseorang
wanita tidak menyukai suami dan ingin berpisah kemudian dia memberikan
mahar atau sebagian dari penebus dirinya.17
Di dalam khulu terdapat beberapa
unsur yang merupakan karakteristik dan di dalam setiap unsur terdapat
beberapa syarat:
1. Suami yang menceraikan adalah seseorang yang ucapanya telah dapat
diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh dan berbuat atas
kehendaknya sendiri dan kesengajaan.
2. Isteri yang dikhulu adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami
dalam arti isterinya atau orang yang telah diceraikan, namun masih berada
dalam iddah raj‟i.
3. Adanya uang ganti dalam bentuk suatu yang berharga dan dapat dinilai,
yang nilainya sebanding dengan mahar yang diterimanya waktu akad
15
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga “Pedoman Berkeluarga dalam Islam”, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 68.
16
Sunan Abu Dawud, 1899. 17
Ibnu Taimiyah, Fatawa An-Nisa, penerjemah Khairun Na‟im, (Jakarta: Ailah, 2005), h. 351.
17
nikah. Ganti rugi ini diberikan oleh isteri sendiri atau oleh pihak ketiga
atas persetujuan suami-isteri.
4. Sighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang ada dalam
ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh. Tanpa
menyebutkan ganti ini ia menjadi talak biasa, seperti ucapan suami “saya
ceraikan kamu dengan tebusan sebuah sepeda motor”.18
Khulu adalah pengguguran dan bukan perceraian. Dengan demikian,
tidak ada ruju di dalamnya, karena ruju hanya bagi wanita-wanita yang
diceraikan. Demikian pula diantara hukum-hukum positif yang berkaitan
dengan khulu bahwasanya khulu dibolehkan pada saat wanita sedang
menjalani haid.19
Hal ini senada dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah (2) :
229 yang berbunyi:
ا ءاثيتموىنذ ل مك ٱن ثأخذوا ممذ ن ول ي حس مساك بمؼروف ٱو جرسحي ب
تن فا ق مرذ ل مطذ
لذ ٱ
يا ا ش
فل جناح ػليما ف للذ ن خفت ٱلذ يلميا حدود ٱ
فا للذ
ۦ ثكل حدود ٱن يافا ٱلذ يلميا حدود ٱ فتدت بو
ميا ٱ
لمون مظذ ئم ه ٱ فأوم للذ
فل ثؼتدوىا ومن يتؼدذ حدود ٱ للذ
(٢٢٩: (٢) )امبلراةٱ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim.”
Syaikh Hasan Ayyub berpendapat tidak ada larangan khulu di masa
haid dan masa suci Dimana suami menyetubuhi isterinya, karena cerai dimasa
18
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 133.
19
Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita, h. 341.
18
haid dilarang dengan alasan bahaya yang menimpa isteri karena lamanya
iddah. Sedangkan khulu bertujuan menghilangkan bahaya yang menimpa
isteri karena pergaulan yang buruk dan tinggal bersama orang yang
dibencinya. Hal tersebut dianggap lebih besar bahayanya dibandingkan
dengan lamanya masa iddah, sehingga boleh menolak bahaya yang lebih
tinggi dengan bahaya yang lebih rendah.20
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu, ulama menggunakan
beberapa kata yaitu fidyah, shulh, dan mubaraah. Walaupun dalam makna
yang sama namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang
digunakan. Apabila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu
adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah adalah khulu bila ganti rugi
adalah separuh dari mahar disebut shulh, bola ganti rugi lebih banyak dari
mahar yang diterima disebut fidyah, dan bila isteri bebas dari ganti rugi
disebut mubaraah.21
Jika isteri membenci suaminya karena fisiknya, akhlaknya, agamanya,
usianya yang tua, kelemahanya, atau yang semisalnya serta ia takut tidak bisa
menjalankan hak Allah untuk mentari suaminya maka ia boleh melakukan
khulu terhadap suaminya dengan memberikan kompensasi untuk menebus
dirinya.22
Perceraian yang terjadi akibat khulu mengakibatkan konsekuensi
adanya tebusan yang harus dikeluarkan oleh isterinya berupa benda, bisa
maskawin, bisa benda yang lebih murah dari maskawin, atau yang lebih
20
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 135.
21
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqh dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 136.
22
Muhammad Tholib, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pro-U, 2007) h. 261.
19
mahal tergantung pada kesepakatan suami. Khulu ini bisa dilakukan baik
dalam keadaan suci maupun keadaan haid, karena biasanya khulu terjadi
karena kehendak dan kemauan isteri. Adapun kehendak ini menunjukan
bahwasanya ia rela walaupun iddahnya menjadi panjang. Apalagi biasanya
khulu itu tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat
dipertahankan lagi.
Perceraian yang dilakukan dengan khulu ini berakibat jatuhnya talak
ba‟in sughra yakni bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh
menambah talak sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali
dengan akad yang baru. Khulu tidak boleh lahir karena kehendak suami dan
tekanan suami. Karena hal ini berarti paksaan terhadap isteri untuk
mengorbankan hartanya guna keuntungan suami dan apabila pihak suami
yang ingin bercerai atau pihak suami merasa benci kepada isterinya maka ia
dapat bertindak dengan cerai talak, sebab talak itu ada dalam kekuasaanya.23
Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya khulu tidak sah apabila
pihak suami mempersulit, menyusahkan, menganiaya, atau tidak memberikan
hak-hak isteri dengan tujuan agar isteri menebus dirinya dari suami. Dari
beberapa pemaparan yang telah disebutkan diatas, dapat dipahami
bahwasanya khulu merupakan solusi yang diberikan oleh hukum Islam
kepada isteri yang berkehendak untuk bercerai dari Suami, dengan tujuan
untuk menghindarkan isteri dari kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis serta menimbulkan kemudharatan jika dipertahankan.24
23
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 188.
24
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 136
20
C. Cerai Gugat Dalam Perspektif Undang-Undang
Pada dasarnya cerai gugat pada sistem hukum perkawinan di Indonesia
mengadopsi ketentuan khulu dari fiqh. Namun terjadi beberapa modifikasi
sehingga pada akhirnya terjadi perbedaan antara cerai gugat dan khulu. Antara
cerai gugat dan khulu sama-sama merupakan bentuk putusnya perkawinan
yang dikehendaki oleh pihak isteri namun cerai gugat tidak menetapkan
adanya uang tebusan sebagaimana khulu.
Keberanjakan (point of departure) hukum keluarga Islam dari fiqh
konvensional kepada peraturan perundang-undangan memberikan pengaruh
positif terhadap perkembangan hukum Islam, terutama dalam kasus
perceraian.25
Dalam perspektif Undang-Undang khulu merupakan perceraian
yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.
Hal ini berdasarkan Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
“ Perceraian dengan jalan khulu mengurangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk”.26
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masalah perceraian
diatur dalam pasal 38 sampai pasal 41 Undang-Undang Perkawinan No.1
tahun 1974 dan tata cara perceraian di atur dalam pasal 14 sampai dengan
pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1875 serta teknisnya diatur
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.27
Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 113 sampai dengan pasal 162 merumuskan garis hukum
25
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 230.
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, h. 78.
27
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, h. 74.
21
yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan
akibat hukumnya.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perceraian adalah “putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan
dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membetuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”. 28
Berbeda dengan aturan fiqh yang menganggap bahwa khulu dapat
dilakukan dimanapun, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia jelas
disebutkan bahwasanya gugatan cerai dan khulu hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama, diluar itu gugatan cerai tidak dapat
dilakukan. Hal ini sesuai dengan pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 “Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan”. Hal ini dipertegas
dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 yang menyatakan “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.”.29
Dalam ketentuan hukum perkawinan di Indonesia dikenal dengan
adanya asas mempersulit perceraian atau asas preventif, asas ini bertujuan
untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan dipersulitnya proses
perceraian maka diharapkan pihak yang mengajukan gugatan cerai akan
berfikir kembali untuk melakukan perceraian serta mengubah keinginanya
28
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986), h. 73.
29
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 151.
22
untuk bercerai.30
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur mengenai
proses gugatan cerai yang tercantum dalam pasal 39 :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut.
Aturan mengenai kemana seharusnya mengajukan gugatan terdapat
pada pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jis. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin penggugat.31
Dalam hal isteri sebagai penggugat
bertempat kediaman di luar negara maka gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.32
Dengan adanya aturan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan dan harus ada cukup alasan bahwa tidak akan terjadi
kerukunan maka disinilah terdapat ruang bagi hakim untuk mempersulit
30
Anik Farida, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 33.
31
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 197.
32
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 255.
23
perceraian dan mendamaikan pihak yang ingin bercerai. Kemudian Kompilasi
Hukum Islam mempertegas asas preventif ini dengan adanya ketentuan pada
pasal 131 :
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga
puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah
pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta
yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan talak.
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
menetapkan putusan perceraian menurut pasal 76 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jis. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, harus didengar keterangan saksi saksi yang berasal
dari keluarga atau orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Majelis
hakim Pengadilan Agama setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari
keluarga masing-masing pihak atau orang lain untuk menjadi hakam.33
Untuk melakukan perceraian di Pengadilan Agama tentu saja harus
melewati beberapa proses yang berlaku. Isteri yang akan mengajukan gugatan
cerai perlu memperhatikan persyaratan administrasi umum yang ditetapkan
baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, dan peraturan pelaksanaan lainya. Maksud dari
33
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 256.
24
persyaratan administrasi umum ini adalah syarat-syarat yang bersifat
administratif yang harus dipenuhi sebagai tahap awal dari rangkaian proses
hukum penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Persyaratan administrasi
tersebut tergantung kepada apakah para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya
atau tidak.34
Apabila pihak yang berperkara tidak didampingi oleh kuasa
hukumnya maka harus mempersiapkan surat permohonan atau gugatan.
Kemudian menyiapkan uang administrasi yang nantinya dibayarkan kepada
bagian pendaftaran permohonan atau gugatan di Pengadilan Agama. Setelah
membayar uang administrasi maka pihak pemohon atau penggugat akan
menerima SKHUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).
Apabila pihak yang berperkara memilih untuk didampingi oleh
penasihat hukum maka sebelum mengajukan ke pengadilan maka harus
membuat surat kuasa yang berisi pernyataan memberikan kuasa kepada
penasihat hukum untuk mewakili pemohon atau penggugat dalam
menyelesaikan perkara tersebut.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan
tugas dan administrasi pengadilan merupakan pedoman hukum bagi sistem
pelayanan perkara secara teknis administrasi di pengadilan yang
menggunakan sistem meja, yaitu sistem kelompok kerja yang terdiri dari
meja I (termasuk didalamnya kasir), Meja II, dan Meja III.
34
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 257.
25
Dalam berperkara di Pengadilan Agama ada baiknya apabila
penggugat tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum untuk
didampingi oleh penasihat hukum/advokat atau orang yang sudah
berpengalaman dalam proses pengajuan gugatan perceraian. Sebaliknya
pemohon atau penggugat tidak menanggap remeh persoalan yang sedang
dihadapi karena konsekuensi hukum yang akan terjadi dikemudian hari
memiliki sifat mengikat dan memaksa.35
Bagi suami atau isteri yang tidak
mampu secara finansial maka dapat mengajukan gugatan perceraian
berdasarkan prosedur pengajuan berperkara secara prodeo.
Dalam menyidangkan perkara perceraian, majelis hakim menurut
pasal 80 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 jis. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 melakukan
pemeriksaan atas gugatan perceraian selambat-lambatnya 30 hari setelah
berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan
Agama. Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam sidang tertutup, meskipun
pelaksanaan dengan sidang tertutup bertentangan dengan asas peradilan
namun untuk menjaga aib pihak suami dan isteri maka pengadilan berhak
mengadkan persidangan dengan tertutup.
Adanya waktu selama 30 hari sejak gugatan cerai diajukan
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada majelis hakim
Pengadilan Agama untuk memeriksa secara teliti dan cermat dalam rangka
mempelajari secara seksama substansi dari gugatan perceraian. Jangka waktu
35
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 372.
26
ini juga dapat diartikan bahwasanya Pengadilan Agama memberikan waktu
kepada pihak yang ingin bercerai untuk berfikir kembali perihal keinginanya
untuk melakukan perceraian.
Majelis hakim berdasarkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jis. Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 memiliki kewenangan untuk mendamaikan kedua belah
pihak. Upaya mencapai perdamaian wajib dilakukan dengan cara mediasi
dengan hakim yang ditunjuk sebagai mediator oleh Pengadilan Agama.
Mediasi dilakukan berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, dalam jangka
waktu paling 40 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari.
Jika mediasi gagal maka hakim mediator membuat surat keterangan
bahasa upaya perdamaian tidak tercapai pada majelis hakim dan proses
perkara segera dilanjutkan. Namun apabila tercapai perdamaian maka
mediator membuat surat keterangan bahwa suami isteri telah sepakat untuk
bersama dan tidak melanjutkan kehendak untuk bercerai yang selanjutnya
disampaikan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Menurut pasal 83 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jis. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah
diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai, dalam asas peradilan
pasal ini mengandung asas nebis ini idem.36
36
Nebis in Idem adalah salah satu asas dalam hukum yang memiliki pengertian sebagai
tindakan yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama, Nebis in idem
lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur
dalam pasal 1917 KUHPerdata.
27
Menurut pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
terjadinya perceraian terhitung sejak dinyatakan di depan ruang sidang
pengadilan. Selanjutnya pada pasal 34 gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala
akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
Hukum Islam tidak mengatur mengenai proses penyelesaian
perceraian secara khusus, dalam hukum Islam yang diatur hanya tentang sifat
hakim, budi pekerti hakim, saksi beserta sifat-sifatnya, jenis hukuman yang
dijatuhkan, dan sistem musyawarah atau yang biasa kita kenal saat ini adalah
peradilan.
D. Akibat Cerai Gugat
Setiap keputusan yang diambil tentu saja memiliki resiko yang harus
dihadapi. Dalam hal perkawinan ketika pihak isteri ataupun pihak suami
memilih untuk bercerai maka mereka harus siap menghadapi konsekuensinya.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia tidak disebutkan secara spesifik
mengenai akibat dari cerai gugat
Kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak kepada isterinya dapat
diuraikan kepada beberapa macam yakni pemberian mut‟ah, memberi nafkah
baik itu nafkah pakaian dan tempat kediaman untuk mantan isteri selama
dalam masa iddah, membayar atau memberikan pelunasan pada mas kawin,
membayar nafkah untuk anak-anaknya.37
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
37
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam “Suatu Analisis dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.
190.
28
Tahun 1974 menegaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusan
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.38
Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai putusnya
perkawinan sebagai akibat dari cerai gugat. Anak yang belum mumayyiz
berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita dalam garis
lurus ke atas dari ibu, kemudian ayah atau wanita dalam garis lurus ke atas
dari ayah, dan wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.39
Putusnya hubungan antara suami dan isteri tidak serta merta hubungan
dengan anak menjadi putus. Status suami dan isteri berubah menjadi mantan
suami dan isteri namun tidak bisa seorang anak. Oleh karena itu hak anak
haruslah tetap diperhatikan. Bagi anak yang sudah mumayyiz berhak memilih
untuk mendapatkan hak asuh dari ayah dan ibunya karena anak yang sudah
mumayyiz dianggap sudah mampu memilih yang baik untuk dirinya sendiri.
38
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, h. 74.
39
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 151.
29
Namun apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah
telah dicukupi, maka kerabat dapat mengajukan permohonan untuk
memindahkan hak Hadhanah kepada kerabat lain yang dalam ketentuan
memiliki hak Hadhanah.40
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menguraikan pedapatnya
mengenai akibat hukum perceraian terhadap nafkah anak yang mana dapat
dirinci sebagai berikut: 41
1. Kewajiban membiayai anak tidak hilang karena putusnya perkawinan
akibat adanya perceraian.
2. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah sampai anak dianggap
sudah dewasa dan mampu untuk menghidupi dirinya sendiri.
3. Apabila ayah tidak dapat memberi biaya pemeliharaan maka pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya hidup anak.
4. Apabila ayah tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan, maka isteri
bisa mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama atau
pengadilan negeri Diana proses cerai dilakukan.
40
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 151.
41
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 372.
30
BAB III
KONSEP KEADILAN DAN NAFKAH IDDAH
A. Pengertian Nafkah Iddah
Kata nafkah berasal dari bahasa Arab secara etimologi mengandung
arti berkurang. Dalam kamus Arab Indonesia al-Nafaqah memiliki arti “biaya,
belanja atau pengeluaran”. Nafkah dibagi menjadi dua. Pertama,
memprioritaskan nafkah untuk diri sendiri. Kedua, bernafkah kepada orang
lain yang mana disebabkan oleh hubungan pernikahan, hubungan kekerabatan,
dan hubungan kepemilikan.1
Al-Khatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan Sesuatu
yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik.2
Nafkah merupakan pengeluaran yang dilakukan kepada orang yang menjadi
tanggung jawabnya. Nafkah juga dapat dipahami sebagai konsekuensi dari
adanya ikatan perkawinan.Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad
nikah isteri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat
ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau
setelah tamkin atau ketika isteri telah pindah ke tempat kediaman suami. Ibnu
Hazm mengungkapkan bahwa adanya ikatan suami isteri sendirilah yang
menjadi sebab diperolehnya hak nafkah.3
1 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, penerjemah Muhammad Afifi,dkk (Jakarta: Al-Mahira, 2010), h. 41.
2 Syamsuddin Muhammad bin Muhamamd al-Khatin al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, Juz
V, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 151.
3 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, penerjemah Muhammad Afifi,dkk), h. 42.
31
Jumhur ulama berpendapat bahwasanya suami wajib memberikan
nafkah isterinya apabila Isteri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun
belum melakukan sengaja, Isteri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti
telah layak melakukan hubungan sengaja, perkawinan suami isteri itu telah
memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan, Tidak hilang hak suami untuk
menahan isteri disebabkan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.4
Kemudian iddah berasal dari kata al-add dan al-ihsha, yaitu sesuatu
yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan
masa. Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu
dan mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami atau berpisah
denganya.5 Macam macam iddah isteri yakni iddah karena talak raj‟i (cerai
tetapi suami masih diperkenankan untuk kembali ke pangkuan isteri), iddah
karena talak bai‟n (cerai yang dilakukan tiga kali oleh suami atau dengan
melalui talak khulu), iddah dalam masa hamil dan iddah sebab ditinggal mati
suaminya.6
Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi mengenai iddah yakni
jenjang waktu yang ditentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim)
dari pengaruh hubungan suami isteri setelah sang isteri diceraikan atau
ditinggal mati oleh suami, yaitu waktu yang biasa dipikul oleh isteri setelah
putus ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam
4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal.7376
5 Ali Yusuf as-subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), h. 348.
6 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, penerjemah Muhammad Afifi,dkk, (Jakarta: Al-Mahira, 2010), h. 53.
32
perngaruh hubungan kelamin atau yang sesamanya seperti bermesra-mesraan
(dengan pria lain jika ia segera menikah).7
Ibnu Taimiyah berpendapat. Iddah merupakan masa waktu terhitung di
mana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, di mana
pengetahuan ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan bulan atau
dengan perhitungan quru‟.8 Dalam masa idah seorang wanita tidak boleh
kawin dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya selesai. Adapun unsur-
unsur nafkah iddah yakni:9
1. Adanya satu tenggang waktu tertentu
2. Wajib dijalani oleh bekas misteri kecuali qobla dukhul
3. Karena diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya
4. Adanya keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddahnya
belum selesai
Iddah menurut penjelasan Soemiyati ialah masa menunggu atau
tenggang waktu sesudah jatuh talakdalam waktu Diana si suami boleh
merujuk kembali isterinya, sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh
melangsungkan perkawinan baru dengan yang lain. Adapun tujuan dan
kegunaan masa iddah adalah sebagai berikut:10
7 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU NO.1/74 sampai KHI, cet.III, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 241.
8 Ibnu Taimiyah, Kifayatul Akhyar h. 391.
9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, penerjemah Abdurrahim, dkk, (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2009), h. 118.
10
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 401.
33
1. Untuk memberi kesempatan berfikir kembali dengan fikiran yang jernih,
setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang
demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus.
2. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami iddah diadakan untuk
menunjukan rasa berkabung atas kematian suami
3. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah tersebut pihak isteri telah
mengandung atau tidak.
B. Nafkah Iddah dalam Perspektif Fiqh
Para ulama bersepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri
dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai iddah. Hanafi, maliki dan
hambali mengatakan bahwa apabila suami telah berkhalwat denganya, tetapi
dia tidak sampai mencampurinya lalu isterinya tersebut ditalak maka si
isterinya harus menjalani „iddah persis seperti isteri yang telah dicampuri.11
Selama iddah dalam talak raj‟i isteri berhak untuk menerima nafkah
serta seluruh hak-haknya, kecuali biaya merias diri karena dia bukan lagi milik
sang suami. Selain itu suami wajib memberikan nafkah kepada isterinya yang
dicerai jika isteri masih tamkin.
Isteri tidak berhak menerima nafkah dari suaminya karena talak ba‟in
dengan talak khulu atau talak tiga kali. Sebab, telah terputusnya hubungan
perkawinan sehingga status isteri adalah seperti perempuan yang ditinggal
mati oleh suaminya. Adapun talak ba‟in yang disebabkan oleh fasakh nikah
karena penyebab yang baru seperti murtad, satu susuan atau seperti sumpah
11
Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „ala Madzahib al-khamsah, penerjemah Afif
Muhammad,dkk, (Jakarta: Lentera, 1996), h. 464.
34
li‟an, jika tidak menafikan anaknya maka suami berkewajiban menafkahinya.
Adapun talak ba‟in karena fasakh nikah yang disebabkan aib dari salah satu
kedua belah pihak (suami-isteri), maka isteri tidak berhak mendapatkan
nafkah karena fasakh nikah membatalkan akad nikah yang telah dilakukan.12
Sedangkan perempuan yang dicerai dan menjalani masa iddah dalam
keadaan hamil maka ia berhak untuk mendapatkan nafkah dan pakaian serta
seluruh biaya hidup lainya. Namun, nafkah tidak wajib diberikan kepada
perempuan yang hamil karena wathi syubhat dan tidak dinikahi atau
perempuan yang hamil hasil dari nikah fasid. Tidak wajib memberikan nafkah
kepada isteri yang hamil kecuali bertul-betul hamil. Apabila dia telah nyata
hamil, maka suami wajib memberikan nafkah harian. Jumlah nafkah bagi
perempuan yang telah dicerai yaitu setara dengan kebutuhanya saat masih
bersama suami. Sedangkan perempuan yang iddah karena kematian suaminya
tidak berhak mendapatkan nafkah sekalipun ida dalam keadaan hamil.13
Dalam kajian hukum Islam, akad nikah yang sah menimbulkan hak
dan kewajiban antara suami-isteri, diantaranya, pihak isteri berhak untuk
mendapatkan nafkah dari pihak suami yang menafkahinya.14
Hal ini sesuai
dengan firman Allah:
12
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, h. 54.
13
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, h. 55
14
Satria Effendi Muh Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 152.
35
ت حأ ن ننذ ٱوم نذ وا لوا ػليأ وىنذ متضي دكأ ول ثضار ن وجأ كنوىنذ منأ حيأث سكنت م ل فأهفلوا ٱسأ
ن مكأ ف ضؼأ نأ ٱرألينذ فا ن حأ يضؼأ نذ حتذ تأ اثوىنذ ٱجورىنذ وٱأثمروا بيأ ػليأ ن ثؼاسأ
روف وا نك بمؼأ
رى ۥ ٱخأ ضع ل (٦( : ٦٥) امطلق)فسرتأ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (At-Thalaq: 6)
Imam Syafii berpendapat bahwa perempuan hamil tidak berhak
mendapatkan nafkah dari suami yang meninggal dunia, namun menurut
pendapat yang rajih pihak isteri berhak mendapatkan tempat tinggal.15
C. Nafkah Iddah dalam Perspektif Undang-Undang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak secara
spesifik mengatur tentang hak nafkah bagi mantan isteri yang telah dicerai.
Pasal 41 c dalam Undang-undang tersebut menjelaskan: “pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya”. 16
Namun untuk yang beragama Islam dan bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) memang ada ketentuan mengenai hal itu, yakni untuk yang beragama
Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sedang untuk Pegawai Negeri
15
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, h. 54
16
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986), h. 74.
36
Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo. Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1990.
Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak,
maka suaminya wajib:
1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul.
2. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian)
kepada bekas isteri selama masa „iddah, kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila
qabla ad dukhul.
4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.17
Apabila suami adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, maka sesuai
dengan ketentuan pasal 8 PP. No.10 tahun 1983 berlaku peraturan sebagai
berikut:
1. Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria,
maka ia wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk penghidupan
bekas isteri dan anaknya
2. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah sepertiga
untuk pegawai negeri pria yang bersangkutan, sepertiga untuk
bekas isterinya, dan sepertiga untuk anaknya.
3. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji
wajib disertakan oleh pegawai negeri sipil pria kepada bekas
isterinya ialah setengah dari gajinya.
4. Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak
berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya
5. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (4) tidak berlaku,
apabila isteri minta cerai karena dimadu 18
17
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2007), h. 149.
18 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986), h. 74.
37
Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan mengenai nafkah Iddah
diatur dalam pasal (153). Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya
berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami. Kemudian bagi seorang janda Apabila
perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, Apabila perkawinan putus karena
perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci
dengan sukurang-kurangnya sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.19
Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan dan
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. .
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Waktu
tunggu bagi isteri yang sedang haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak
haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal
tersebut apabila bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,
akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
19
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 150.
38
D. Konsep Keadilan dan Hikmah Nafkah Iddah
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak
sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa
pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar
orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,
perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua
orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Hans Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato, bahwa keadilan
didasarkan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik. Pengetahuan akan hal
yang baik secara fundamental merupakan persoalan di luar dunia. Hal tersebut
dapat diperoleh dengan kebijaksanaan.20
Konsep Keadilan oleh Plato
diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang
yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Salah
seorang pakar hukum teerkenal John Rawls lewat karyanya A Theory of
Justice mengemukakan 3 prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh
beberapa ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Konsep keadilan dalam perspektif Al-quran dapat dilihat pada
penggunaan lafaz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Lafaz al-
20
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Rajawali Press, 1990), h. 118.
39
„adlu adalah sebuah konsep yang mengandung beberapa makna. Secara
etimologis al-adl bermakna al-istiwa (keadaan lurus) juga bermakna: jujur,
adil, seimbang, sama, sesuai, sederhana, dan moderat bahkan kata „adl juga
bermakna al-I‟wjaj (keadaan menyimpang) atau kembali, dan
berpaling.Selanjutnya terdapat lafaz lain yang semakna atau sinonim dengan
kata al-adl yakni: al-qisthu dan al-Mizan.21
Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang
berasal dari bahasa Arab, yakni: عدل yang bermakna: istiqamah, seimbang,
harmonis, lurus, tegak, kembali, berpaling, dan lain-lain. Alquran
menggunakan beberapa lafaz yang bermakna adil yang dipakai dalam kontes
kalimat yang berbeda, yakni: lafaz قسط, عدل, dan ميزان yang bermakna perintah
Allah kepada manusia untuk berlaku adil,22
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para
pakar agama. Pertama, adil dalam arti “sama” kita dapat berkata bahwa si A
adil, karena yang dimaksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak
membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam firman Allah
Q.S. an-Nisa: (4) : 58, yang berbunyi :
مؼدل منذاس ٱن تكوا بأ
ذا حكت بني ٱ
ل ٱىليا وا
ت ا ن ألم
وا ٱ يأمرك ٱن ثؤد للذ
نذ ٱ
ا ا هؼمذ للذ
نذ ٱ
ا
يؼا بصريا كن مس للذ نذ ٱ
(٥٨( : ٤) النساء)يؼظك بوۦ ا
21
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1998), h. 112.
22
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,
h. 113.
40
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kata “adil” dalam ayat di atas bila diartikan “sama”- hanya mencakup
sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini
menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di
dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama
(dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,
kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya
yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan
dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata
kezaliman.23
Kedua, adil dalam arti “seimbang” Keseimbangan ditemukan pada
suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu
tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan
memenuhi tujuan kehadirannya. Hal ini senada dengan firman Allah Q.S al-
Infithar (87): 6-7 yang berbunyi :
ل ا ٱ أي ن م ي مكري وس
م ٱ ك برب ىم ا غرذ ي خللم فسوذ لذ
(٧-٦( : ٨٢) االنفطار) فؼدل ٱ
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.
23
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,
h. 114.
41
Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”. Pengertian inilah yang
didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi
pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Pengertian keadilan seperti ini,
melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti
“memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu.” Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari
struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka
membangun keadilan berarti menciptakan struktur-struktur yang
memungkinkan pelaksanaan keadilan.24
Disyariatkanya beriddah dan memberikan nafkah bagi isteri yang
sedang menjalankan iddah merupakan salah satu bentuk dari perwujudan
keadilan dalam Islam. Adanya ketentuan beriddah kepada Wanita yang telah
dicerai dengan tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai ia selesai
menjalani iddah-nya bertujuan agar rahim terhindar dari percampuran sperma
dari laki-laki yang berbeda. Maka jika ternyata ia hamil ditengah-tengah
menjalani masa iddah, maka akan jelas siapa ayah kandungnya. Ibnu Al-
Qayyim telah menjelaskan hikmah disyariatkanya iddah diantaranya:
1. Keagungan akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatanya, dan
menampakan kemuliaanya
24
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,
h. 116.
42
2. Memberikan waktu untuk kembali bagi yang bercerai. Diharapkan ia
menyesal dan kembali sehingga ia menemukan waktu yang
memungkinkan untuk kembali.
3. Memenuhi hak suami, menampakan pengaruh kehilanganya dalam
mencegah dari berhias. Oleh karena itu disyariatkan berkabung padanya
lebih lama dibanding berkabung kepada orang tua dan anak.
4. Berhati-hati atas hak suami, kemaslahatan isteri, hak anak, dan
melaksanakan hak Allah yang mewajibkanya.25
Nafkah pada masa iddah merupakan sebuah bentuk jaminan dan wujud
pertanggungjawaban dari suami kepada mantan isterinya. Adanya pemberian
nafkah pada masa iddah ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi mereka
yang telah bercerai untuk rujuk. Perwujudan dari konsep keadilan pada nafkah
iddah ini dapat kita lihat bahwasanya ketika perceraian terjadi pihak wanita
yang lebih merasakan dampak apalagi sebagian besar dari wanita tidak
memiliki penghasilan dalam artian hanya sebagai ibu rumah tangga.
Ketika perceraian terjadi maka nafkah iddah menjadi sumber daya bagi
isteri yang dicerai untuk menata ulang hidup mereka kembali dan sebagian
kalangan berpendapat nafkah iddah merupakan uang pelipur lara bagi isteri
yang dicerai. Adanya nafkah bagi mantan isteri yang telah diceraikan selama
masih masa iddahnya memberikan peluang yang cukup tinggi untuk
dipersatukannya kembali ikatan yang telah putus tersebut. Hal ini terjadi
karena adanya nafkah tersebut berarti masih tersisa rasa kasih sayang diantara
keduanya.
25
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 351.
43
BAB IV
PERTIMBANGAN DAN PENERAPAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN
NAFKAH IDDAH
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk
4. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua
Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama
yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah
Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan
selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi
Agama (PTA).1
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di
1 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id.
44
Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987
dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI
Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah
cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai
dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang di wilayahnya cukup
luas. Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu
menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang
kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar
Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. POLANA.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang
warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerjasama
dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak BISMAR
SIREGAR, S.H.2
Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal
tersebut ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenanganya.3 Sejak 1 April 1937, kewenangan Pengadilan Agama di
wilayah Jawa dan Madura dipersempit hanya berwenang mengadili kasus
2 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id
3 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id
45
perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi
wewenang Lanraad (sekarang menjadi Pengadilan Negeri). Sehingga sempat
beberapa orang termasuk Pak Hasan Mughni dan karena penetapan fatwa
waris sehingga sejak saat itu fatwa waris ditambah dengan kalimat “Jika Ada
Harta Peninggalan”.
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun
dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu
diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H.
Ichtijanto, S.A., S.H.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring
dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas–tugas kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi,
Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imron, keadaan
penempatan Kantor di serambi Masjid tersebut bertahan sampai pada tahun
1979.
Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati
gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN
Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim BA di angkat pula Hakim-Hakim
46
honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya:
KH. Ya‟kub, KH. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran,
Drs. H. Noer Chazin.4
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke
Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
dengan menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak
memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena
gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas
jalan III C. Namun sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang,
pembenahan–pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. H. Jayusman, S.H. Begitu pula pembenahan–
pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs.
Ahmad Kamil, S.H. pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan ini terus
ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. Rifát Yusuf.5
Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H.
pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik
diadakan sistem komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi
pada masa periode Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H.
4 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id.
5 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id.
47
Yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.
Perkembangan selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan
dijabat oleh Bapak Drs. H. A. Choiri, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan
semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online
komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil
pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak
di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.6
Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap,
tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan
Harahap, S.H., M.A.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru lainnya
di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian
pada awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas
perkantoran di gedung baru tersebut, pada saat itu Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin Hamid, S.H.7
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
6 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id.
7 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari
www.pa-jakartaselatan.go.id
48
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam
hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih
disertai dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok,
seperti program SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan
Agama) yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch
Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web
http://www.pa-jakartaselatan.go.id.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan pengadilan tingkat
pertama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara. Disamping tugas pokok yang sebagai badan
pelaksana kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama Jakarta Selatan memiliki
fungsi:8
1. Fungsi mengadili (judicial Power), yakni menerima, memeriksa
mengadili, dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan
pengadilan agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006)
2. Fungsi Pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional dibawah jajaranya baik
menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum atau perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan
(vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomo 3 tahun 2006 jo. KMA
Nomor KMA/080/VIII/2006)
8 Kamarusdiana, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013) h. 1.
49
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama dan KMA Nomor 5 tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan. Berikut ini adalah bagan struktur organisasi Pengadilan Agama:
50
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
2615/Pdt.G/2011/PA.JS
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
2165/Pdt.G/2011/PA.JS adalah perkara cerai gugat yang telah didaftarkan di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 14 November 2011 dengan
duduk perkara :
Penggugat merupakan seorang isteri berusia 32 tahun yang bekerja
sebagai karyawati dan bertempat tinggal di Jalan DD RT 010 RW 001 No.
46B Kelurahan Menteng Dalam Kecamatan Tebet Jakarta Selatan. Dalam
perkara ini penggugat memberikan kuasa kepada Hudi Yusup, SH., MH dan
Ori Rahman SH yang merupakan advokat pada kantor syahrir Yudaningrum
Miranti (SYM) Law Office.
Tergugat merupakan suami dari penggugat, beragana Islam dan bekerja
sebagai karyawan. Tergugat bertempat tinggal di Jalan DD RT 010 RW 001
No. 46B Kelurahan Menteng Dalam Kecamatan Tebet Jakarta Selatan.
Penggugat dengan tergugat melangsungkan pernikahan pada tanggal 11
September 2004 serta dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Lawang Kabupaten Lawang Jawa Timur sebagaimana kutipan akta nikah
Nomor.699/57/IX/2004. Kemudian dalam perkawinan tersebut dikaruniai
seorang anak perempuan yang lahir di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2007.
Kondisi rumah tangga antara penggugat dengan tergugat berjalan
harmonis setidaknya pada tahun pertama pernikahan mereka. Kemudian
dalam jangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun terjadi pertengkaran dan
51
perselisihan antara penggugat dengan tergugat sampai puncaknya pada tahun
2010 terjadi pertengkaran hebat antara penggugat dengan tergugat. Adanya
pertengkaran tersebut diakui oleh penggugat dan tergugat dikarenakan tidak
adanya persamaan visi dan pandangan hidup dalam membina rumah tangga.
Perselisihan dan pertengkaran diantara penggugat dengan tergugat
semakin memburuk dan berkepanjangan tanpa ada perdamaian diantara
keduanya. Intensitas komunikasi antara penggugat dengan tergugat sudah
berkurang bahkan hampir tidak ada komunikasi apalagi antara penggugat
dengan tergugat telah pisah ranjang selama 4 tahun. Kemudian akibat dari
perselisihan ini pula antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah
selama 8 bulan.
Penggugat selama ini telah berusaha untuk bersabar dan bertahan
dengan harapan agar perselisihan berakhir dan keadaan rumah tangga akan
menjadi lebih baik. Namun ternyata harapan hanya menjadi sebuah angan-
angan yang tak bisa menjadi nyata, tidak ada perubahan pada sikap tergugat
dan perselisihan masih saja terjadi diantara keduanya.
Perselisihan dan pertengkaran yang tidak terbendung ini menjadi dasar
alasan dari pihak penggugat untuk menyatakan bahwasanya rumah tangga
yang dijalani dengan tergugat saat ini tidak dapat terwujud keluarga yang
bahagia, tenteram, dan tidak ada lagi rasa saling mencintai dan kecocokan
diantara keduanya.
Kehidupan rumah tangga yang sedemikian rupa menyebabkan
penggugat merasa tidak memiliki harapan lagi serta tidak ada manfaatnya
52
untuk melanjutkan membina rumah tangga dengan tergugat. Karena apabila
tetap dipaksakan untuk bertahan maka yang akan terjadi adalah kemudharatan
dan kesengsaraan.
Pertemuan telah dilakukan antara penggugat dengan terugat dan juga
orang tua penggugat melalui telepon untuk membicarakan masalah yang
terjadi dan kelanjutan dari hubungan antara penggugat dengan tergugat.
Namun ternyata tidak ditemukan titik temu antara keduanya maka dari itu baik
penggugat maupun tergugat sepakat untuk melakukan perceraian.
Selama pernikahan antara penggugat dengan tergugat ada sebidang
tanah berikut bangunan rumah yang terletak di Jl. Kalibata Utara IV Nomor
C1, RT 007 RW 02 Kelurahan Kalibata Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
yang dibeli secara bersama-sama. Selain itu terdapat sebidang tanah berikut
bangunan rumah yang terletak di Jalan Blok D Nomor 05 Kabupaten Bogor
Kecamatan Cibinong Desa Nanggewer Mekar Jawa Barat dengan luas kurang
lebih 120 meter persegi.
Sebuah mobil Chevrolet warna abu-abu dengan nomor polisi B 8383
BN dengan nomor rangka KL1CA26FE8H307042 dan nomor mesin
Z24SED037071 yang dimiliki semasa perkawinan antara penggugat dengan
tergugat yang juga menjadi harta bersama. Sebelum diajukanya gugatan,
antara penggugat dengan tergugat sebelumnya telah sepakat untuk mengatur
mengenai harta bersama, hak asuh anak, biaya nafkah, dan biaya pendidikan
anak.
53
Penggugat dan tergugat telah sama-sama membuat dan menandatangani
perjanjian nomor 5 tanggal 7 Oktober 2011 yang dibuat dihadapan H Yunardi
SH selaku notaris di wilayah Jakarta Selatan yang mana mengatur mengenai
harta bersama dan hak asuh anak. Mobil chevrolet yang telah disebutkan di
atas telah diserahkan oleh penggugat kepada tergugat pada tanggal 7 Oktober
2011.
Dalam petitumnya penggugat meminta kepada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan untuk menetapkan hak asuh anak kepada penggugat.
Kemudian penggugat juga meminta untuk menetapkan bahwa tergugat sebagai
ayah untuk bertanggung jawab secara finansial untuk memberikan nafkah dan
biaya pendidikan anak sebesar Rp. 4.000.000.
Penggugat juga memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan
untuk menghukum tergugat untuk mentaati apa yang telah disepakati bersama
dihadapan Notaris. Adapun mengenai hak pasca perkawinan penggugat
meminta nafkah iddah kepada tergugat sebesar Rp 10.000.000.
Dari duduk perkara yang telah diuraikan di atas majelis hakim
memberikan pertimbangan antara lain : menimbang bahwasanya dasar hukum
dari gugatan perceraian ini adalah pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yang mana mengisyaratkan harus ada perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus antara suami isteri dan tidak ada harapan
akan rukun kembali dalam rumah tangganya.
Majelis hakim juga menimbang dari tanya jawab antara penggugat
dengan tergugat pada setiap persidangan telah ada upaya untuk mendamaikan
54
namun tetap tidak berhasil dan juga dari bukti yang telah diajukan oleh
penggugat dan tergugat maka majelis hakim menemukan sebuah fakta
bahwasanya di dalam rumah tangga penggugat dengan tergugat telah terjadi
percekcokan terus menerus yang mana segala usaha perdamaian telah
dilakukan dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak maka majelis
hakim menafsirkan bahwasanya hati kedua belah pihak telah pecah sehingga
memenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.
Selanjutnya majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa telah
apabila terbukti terjadi pertengkaran terus menerus antara penggugat dengan
tergugat dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga
tersebut maka tujuan perkawinan sebagaimana pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tidak akan tercapai dan juga apabila tidak diceraikan
maka akan mengakibatkan bertambahnya beban penderitaan lahir dan batin
kedua belah pihak. Pertimbangan ini juga didasarkan pada dalil dalam kitab
Ghoyatul Marom yang menyatakan “Di waktu si isteri sudah sangat tidak
senang terhadap suaminya, maka hakim dapat menjatuhkan talak si suami”.
Dalam hal nafkah iddah majelis hakim mempertimbangkan karena
tergugat tidak keberatan atas gugatan dari penggugat yang meminta nafkah
iddah pada tergugat sebesar Rp. 10.000.000 maka gugatan penggugat dapat
dikabulkan dan tergugat dihukum untuk membayar nafkah iddah sesuai
dengan yang dicantumkan dalam amar putusan.
55
Dari duduk perkara dan pertimbangan hakim sebagaimana yang telah
diuraikan diatas, majelis hakim memutuskan perkara ini dengan amar sebagai
berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat
2. Menjatuhkan talak ba‟in sughra tergugat terhadap penggugat
3. Menetapkan anak penggugat dan tergugat berada di bawah pemeliharaan
penggugat tanpa mengurangi hak-hak tergugat selaku ayah kandungnya
untuk menyalurkan kasih sayang
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya hadhanah kepada penggugat
setiap bulan minimal sejumlah Rp. 4.000.000 sampai anak tersebut dewasa
dan mandiri atau berumur 21 tahun
5. Menetapkan harta gono gini yang terdapat dalam perjanjian No. 5
tertanggal 7 Oktober 2011 yang dibuat dihadapan notaris Haji Yunardi,
SH adalah sebagai berikut :
a. 1 unit mobil merk Chevrolet warna abu-abu metalik ddengan nomor
polisi B-8383BN adalah milik tergugat.
b. Rumah dengan nomor sertifikat 1183/nanggewer mekar, beralamat di
blok D.05 Nomor 6 kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong dan rumah
dengan nomor sertifikat 377/Kalibata beralamat di Jalan Kalibata
Utara IV RT 007, RW 02 Nomor C1, Kecamatan Pancoran, Kelurahan
Kalibata adalah milik penggugat.
6. Menghukum tergugat untuk membayar nafkah iddah kepada penggugat
selama tiga bulan sebesar Rp. 10.000.000.
56
7. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 316.000.
C. Landasan dan Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah Iddah
bagi Isteri yang mengajukan Gugatan Cerai
Nafkah iddah merupakan kewajiban dari mantan suami kepada isteri
yang telah diceraikan. Hal ini merupakan suatu sikap yang sepatutnya
dilakukan oleh suami karena nafkah iddah bisa sedikit meringankan beban
hidup ketika menjalani masa iddah dan bisa menjadi pelipur lara bagi isteri
yang diceraikan.
Dengan merujuk pada kepentingan nafkah bagi isteri yang sedang
menjalani masa iddahnya dan mengingat bahwa psikologis pihak isteri yang
lebih rapuh setelah terjadinya perceraian, maka tepat kiranya dalam sistem
hukum perkawinan di Indonesia, jika suami menceraikan isterinya ia harus
membayar sejumlah uang dengan wujud pemberian nafkah, maskan, dan
kiswah isteri sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya.
Hak nafkah iddah sejatinya diberikan kepada isteri yang mendapat
cerai talak raj‟i sebagai kompensasi pihak suami kepada isterinya atas
putusnya hubungan perkawinan. Namun dewasa ini hak nafkah iddah tidak
hanya diberikan kepada isteri yang dicerai talak namun juga bagi isteri yang
menggugat cerai pun mendapatkan nafkah iddah.
Putusan cerai gugat biasanya tidak diikuti dengan kewajiban suami
untuk membayar nafkah iddah terhadap isteri yang telah diceraikan, hal ini
dikarenakan adanya peraturan yang mengatur bahwa isteri tidak akan
57
mendapat nafkah iddah apabila nusyuz atau mendapat talak ba‟in
sughra.sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 41 huruf (c) Undang-
Undang No.1 Tahun 1974. Namun hakim tentu saja tidak serta merta
mengikuti teks Undang-Undang melainkan juga melakukan pertimbangan
menggunakan ijtihadnya sebagai seorang hakim yang memiliki tujuan untuk
mencapai keadilan. Adapun yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menghukum tergugat diantaranya adalah nusyuz tidaknya isteri dan
kemampuan suami secara materi.9
Nusyuz isteri adalah suatu bentuk kedurhakaan atau ketidaktaatan
isteri terhadap suami baik dalam bentuk perbuatan maupun dalam bentuk
perkataan. Isteri yang tergolong nusyuz haknya untuk memperoleh nafkah
iddah dari suaminya pasca perceraian menjadi gugur. Suami selaku pemohon
tidak wajib memberikan nafkah iddah pada isteri yang nusyuz, sesuai dengan
pasal 152 Kompilasi Hukum Islam. 10
Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
menghukum tergugat adalah jika isteri terbukti tidak nusyuz dan suami
mempunyai penghasilan yang cukup. Selain itu hakim juga melihat
kemampuan dari isteri untuk menghidupi dirinya sendiri. Seorang isteri tidak
akan meminta cerai dari suami tanpa adanya faktor-faktor tertentu, hal ini
yang menjadi bagian yang harus dicermati oleh hakim dalam menetapkan hak
serta kewajiban suami isteri apabila perceraian terjadi.
9 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, h. 74.
10
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 149.
58
Dalam beberapa kasus, isteri mengajukan cerai karena adanya
kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun psikis, tidak adanya tanggung
jawab suami dalam hal menafkahi keluarga, adanya gangguan pihak ketiga,
tidak adanya keharmonisan, dan lain sebagainya yang pada akhirnya bermuara
pada keinginan untuk berpisah dan mengakhiri bahtera rumah tangga. Di sini
tugas hakim adalah harus bisa memahami dan mencermati pokok
permasalahan yang terjadi sebenarnya.
Dalam perkara cerai gugat yang penulis angkat, tidak adanya lagi
keharmonisan dan syiqaq menjadi alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan sebagaimana pada putusan Nomor 2615/Pdt.G/200/PA.JS11
.
Dalam kasus ini pihak suami telah menunaikan kewajiban dan tanggung
jawabnya selaku kepala rumah tangga dengan baik namun terjadinya
perselisihan antara keduanya seperti api yang tidak dapat dipadamkan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam posita, pada awal-awal
pernikahan isteri mengaku bahwa dia telah berusaha bersabar dan bertahan
demi keutuhan rumah tangga namun kemudian pihak isteri melihat tidak
adanya perubahan pada perilaku suami yang mana perselisihan dan keributan
antara keduanya tidak dapat terelakan. Dari kalimat ini kita bisa memahami
bahwasanya ternyata attitudde (sikap) seorang suami kepada isterinya yang
membuat isteri merasa bahwa perkawinan mereka tidak lagi harmonis dan
damai padahal salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk mewujudkan
menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Perbedaan
11
Di kalangan mazhab Syafi‟i seperti yang dikemukakan oleh Zakariya al-anshari bahwa
syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara suami misteri, dan perselisihan ini sangat
memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan ini diteruskan
59
prinsip dan pandangan hidup juga menjadi alasan isteri untuk menggugat cerai
suaminya.
Pada dasarnya perbedaan prinsip dan pandangan hidup merupakan hal
yang wajar mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dua insan
yang berbeda kelamin, keluarga, dan latar belakang sehingga perbedaan
pemikiran dan ideologi wajar adanya karena apa yang ada dalam fikiran
manusia yang satu dengan yang lainya berbeda. Biasanya untuk menghadapi
hal ini perlu hadirnya rasa pengertian dan saling memahami satu sama lain.
Namun dalam kasus ini tampaknya tidak ada upaya untuk mengerti dan
memahami sehingga tidak ada perubahan sikap suami.
Hakim menimbang bahwa peristiwa hukum yang terjadi pada putusan
ini bukan merupakan nusyuz seorang isteri sehingga memang pantas untuk
mendapatkan nafkah iddah. Dalam peraturan perundang-undangan memang
bagi isteri yang mengajukan gugatan cerai tidak mendapatkan nafkah iddah
namun hakim mengacu pada asas keadilan bahwa penggugat berhak atas
nafkah iddah meskipun talak yang dijatuhkan adalah talak ba‟in sughra.
Kebijakan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menetapkan
nafkah iddah merupakan sebuah langkah besar dalam upaya mewujudkan
keadilan. Hakim berani keluar dari Undang-Undang yang seharusnya tidak
memberikan nafkah iddah kepada isteri yang mengajukan gugatan cerai. Istri
dianggap memang berhak untuk mendapatkan nafkah iddah karena tidak ada
unsur nusyuz pada dirinya dan kemampuan suami untuk memberikan nafkah
pada masa iddah isteri.
60
D. Penerapan Asas Keadilan
Dalam fiqh diatur bahwasanya pemberian nafkah iddah berdasarkan
jatuhnya talak kepada isteri, nafkah iddah hanya diberikan kepada isteri yang
mendapat talak raj‟i. demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149
ayat (b) yang menyatakan bahwa “bilamana perkawinan putus karena talak
maka suami wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas
isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil” akan tetapi pada prakteknya
pemberian nafkah iddah pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan ditetapkan berdasarkan kerelaan suaminya dan juga dilihat dari segi
istrinya yang dinggap tidak melakukan nusyuz. Hal ini dilakukan dalam
rangka upaya hakim untuk menerapkan asas keadilan yang objektif.
Dalam wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Bapak Rusdi MH beliau menyatakan bahwasanya terkait dengan
penerapan nafkah iddah dalam putusan, hakim pengadilan agama sudah
seharusnya menjunjung asas keadilan. Beliau berpendapat bahwasanya hakim
bukan hanya sebatas pegawai negeri atau pegawai Undang-Undang yang
hanya mengikuti teks Undang-Undang namun hakim adalah pegawai keadilan
yang harusnya mengedepankan keadilan. Kalimat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” pada bagian awal setiap putusan
mencerminkan keadilan yang harus dijunjung tinggi oleh para hakim.12
12
Berdasarkan wawancara dengan Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.H pada tanggal 259
Mei 2015.
61
Sebagai pegawai keadilan, hakim harus bisa menilai bukan hanya
berdasarkan kepada Undang-Undang dan juga berdasarkan hati nurani.
Undang-Undang yang merupakan landasan pokok bagi hakim dalam
memutuskan setiap perkara yang ditanganinya, namun apabila terdapat
Undang-Undang yang menghalangi seorang hakim untuk dapat berlaku adil
maka hakim tersebut boleh menggunakan ijtihadnya dan tidak mengikuti
Undang-Undang.13
Memang dalam masalah penerapan nafkah iddah pada perkara cerai
gugat ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan hakim, sebagian
berpendapat bahwasanya apabila perceraian terjadi karena gugatan isteri
terhadap suaminya maka secara otomatis terlepas hak maskan, kiswah, dan
nafkah iddah kepadanya namun sebagian lagi berpendapat bahwasanya harus
dilihat terlebih dahulu penyebabnya isteri menggugat.
Untuk mencapai putusan yang adil, bapak Rusdi Tahir selaku hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyatakan harus dilihat terlebih dahulu
peristiwa hukumnya dengan seksama apakah memang hal tersebut perlu untuk
diputuskan. Yang harus diutamakan oleh seorang hakim dalam memutuskan
suatu perkara bukanlah undang-undang namun aspek keadilan.14
Apabila undang-undang yang menghalangi hakim untuk berlaku adil
maka hakim boleh untuk tidak menggunakanya dan memutuskan berdasarkan
ijtihad dan apa yang ia yakini keadilannya karena putusan hakim bersifat
13
Berdasarkan wawancara dengan Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.H pada tanggal 259
Mei 2015.
14
Berdasarkan wawancara dengan Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.H pada tanggal 259
Mei 2015.
62
setara dengan undang-undang bagi terhukum. Dalam hal ini dapat dilihat
bahwasanya hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pro gender kepada
pihak isteri.
Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menanamkan pemikiran
pro gender dan pro keadilan hakim dalam menetapkan setiap putusanya
sehingga putusan yang diambil kemudian hari lebih kepada obyektif dan tidak
ada pihak yang dirugikan.perlu adanya gebrakan baru dan keberanian hakim
terutama dalam hal-hal yang tersirat dan tersurat selama proses persidangan.
Dalam kaitan tugas hakim sebagai pembuat hokum pada kondisi tertentu harus
mampu membuat terobosan hokum yang tentu saja dilandasi dengan
argumentasi yang rasional dan filosofi dalam pendekatan masalah
hukumnya.15
15
Andi Syamsu Alam, Penulisan Argumentatif dalam Putusan, Suara Udilag II, no II
(Juli 2003), h. 68.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa
poin sebagai berikut:
1. Yang dimaksud cerai gugat adalah perceraian yang dikehendaki isteri dan
diajukan ke pengadilan agama, cerai gugat merupakan bentuk
keberanjakan dari khulu pada fiqh
2. Nafkah iddah merupakan nafkah yang diberikan suami kepada isteri yang
diceraikanya selama masa iddah. Dalam penerapan pemberian nafkah
iddah kepada isteri hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memandang
tidak hanya sebatas terpaku kepada Undang-Undang melainkan perlu
melihat kepada peristiwa hukumnya apakah isteri memang pantas untuk
mendapatkan nafkah iddah
3. Penerapan asas keadilan dalam putusan pengadilan agama merupakan
sebuah elemen penting dalam rangka upaya hakim untuk mencapai
keadilan. Hakim memiliki ijtihad yang mana memberikan akses untuk
menimbang apakah peraturan perundang-undangan sesuai untuk
diterapkan. Asas keadilan ini seharusnya bisa memberikan hakim
keleluasaan untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya.
64
B. Saran
Setelah penulis memaparkan beberapa hal tentang nafkah iddah pada
cerai gugat dan prinsip keadilan selanjutnya penulis ingin memaparkan saran-
saran sebagai berikut :
1. Cerai gugat biasanya isteri kehilangan haknya untuk mendapatkan nafkah
iddah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, namun dalam kasus cerai gugat tidak
semua istri yang menggugat dikategorikan nusyuz sehingga perlu adanya
pembaruan hukum yang kondusif untuk pemenuhan keadilan bagi isteri
yang menggugat cerai.
2. Asas keadilan merupakan elemen penting dalam penegakan hukum
khususnya dalam sengketa perceraian. Perlu adanya pemahaman yang
lebih mendalam mengenai asas keadilan, sehingga masyarakat mengerti
akan hak dan kewajibanya secara baik dan benar.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Perkawinan Dalam Syariat, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
________, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986.
Al-Husaini,Imam Taqiyudin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghayatil
Ikhtishaar, cet VI, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah,2012.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama, cet II, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqhu „ala Madzahibil Arba‟ah, Dar El-Hadith,
2004.
Al-Utsaimin, Muhammad. Shahih Fiqh Wanita, Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2009.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqh dan Hukum
Positif, Yogyakarta: UII Press, 2011.
As-subki, Ali Yusuf. Fiqh Keluarga “Pedoman Berkeluarga dalam Islam”.
Jakarta: Amzah, 2010.
As-Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin Muhamamd al-Khatin. Mugni al-
Muhtaj, Juz V, Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz. 10, Suriah : Dar al-Fikr
bi Damsyiq, 2002.
………........, Fiqh Imam Syafi‟i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits, penerjemah Muhammad Afifi,dkk, Jakarta: Al-
Mahira, 2010.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Kompilasi Hukum Islam.
Jakarta: Departemen Agama, 2011.
66
Farida, Anik. Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas Adat, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama,
2007.
Friedmann,. Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: PT Rajawali Press, 1990.
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Hamka, Buya. Tafsir Al-Azhar, cet III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.
Kamarusdiana. Hukum Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Press, 2006.
Mughniyah, Jawad. Al-Fiqh „ala Madzahib al-khamsah, penerjemah Afif
Muhammad,dkk, Jakarta: Lentera, 1996
Nuruddin, Amiur. dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
NO.1/74 sampai KHI, cet.III, Jakarta: Kencana, 2006.
Rasyid, Hamdan. Fiqh Indonesia, Jakarta: PT Al-Mawardi, 2003.
Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam “Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”,
Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah, Beirut : Darul Fikr, 1983.
Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: kajian fikih nikah lengkap, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1998.
67
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Supriyadi , Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia
Islam, Jakarta: Pustaka Al-Fikri, 2009.
Syaifuddin, Muhammad. dkk, Hukum Perceraian, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika,
2014.
Syamsu Alam. Andi Penulisan Argumentatif dalam Putusan, Suara Udilag II, no
II Juli, 2003
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003.
Taimiyah, Ibnu. Fatawa An-Nisa, penerjemah Khairun Na‟im, Jakarta: Ailah,
2005.
Tholib, Muhammad. Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U, 2007.
Zein, Satria Effendi Muh. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Jakarta: Kencana, 2010.
rr ,,KEMENTERIANAGAIUA
IINTVERSITAS ISLAM NECERI (Im.DsYARrr HTDAYATULLAH JAKAITTA
FAKULTAS SYARIAE DAN EUKTIM
n.lr. }|.Juandailo.95
NomorLampiranPerihal
reb. (62-21)Websfu:ru
1537,7&1W Foc (62-21
J;alE tu.,6 Februai2014
l:i. , .
: un.0fiF;.{iP, P.01.1tp , fn14
: ilg.hgn Kp.sediaan EenjaOiPenHnHnggtstpst
j': -:'-
Hkiayatullah Jakarta mengharapkan
Demikian atas kesediaan sardara kamiucapkan terirna kasih
Wassalamu'alaifum W. W.
An Dekan FakultasSyariahdan HukumK$FFofi HukumKeluarga' .-.' -' .'/. - .:; :; ,::4 ;,....
Tembusan: .1"I [ayurg Akademik &kemahasiswaan Fakunas syariahdan Hukum2. Sekretaris program Studi Ahwal rl Si.Lnrruyrr,-r;'-:"--"3. Arsip
rr-;l
KEMENTERIAN AGAMAuNTyERsrrAs rsl,aM NEGERi <ulNlsYaRrF HTDAyATULLaH rarai{r.l,
FAKULTAS SYARIAII DAN ITUKUMJuanda No. 95 Ciputat Jaka fta 15412 lndonesia
ffi:'ill1.1,,lll3l,l'Pt i3i i$;J.ffi INomor
Larhphan
Hal
uN.01/F4 /KM.OI.O3/1 07 nO$
Perm ohonan Data/Wawancara
KepadaYth. Kepala
Pengadilan Agama Jakarta Setatandi
Tempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
u.r.,?;k"n Fakurtas syariah dan Hukum UtN syarif Hidayaturah Jakarta menerangkan
NamaTempaUTanggalNIMSemesterPrggram StudiAlamai
Telp/Hp
; ERWN HIKMATIAR
Wakil DekarfBidang Akabemik
:Ja{arta, 24 Februan 20lS
Bekasi I 22 Juni 19921110c/,410001410
fliyii:I3lT,1ry (Hukum Keruarsa rsram)Jr una raharja2F26g komplek pamlalikramat jati asihBekasi Barat085710225040
Adalah benar vang bersangkutan mahasiswa Fakurtas syariah dan Hukum urNsvarif H idavatura h ;i;rd;;"s ;;;; menyusun skripsi den gan judur:
pand*g?lHa-kim datam Menetapkan Nafkah tddah padaP e rc e ra i a n e u g a{ 1 s t u a i i ri i " ii' ii rb
" a i a, i g i ; ;J;;;,hse/afan N o m o r.
untuk melengkapibahan,Fenurisan skripsi, dimohon kiranya Bapaurbu 0"0",,*"nr"ffi:,,::::""skuran
untui wawi;;*";;i" memperoreh 0"1"'s"rn" penurisan skripsi
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.Wqssalam,a.n. Dekan
-,
4H1''"# ,M.Ag 4ggeogzobz
Tembusan :
I .9"9 Fakuttas Syariah dan Ftukum UtN Syadf Hi<tayatuilah Jakarta2. Ka/SekprodiAkhwat Syakhsiyyah ti*ui ft"ir"rg" ,r,"ry / peraditan Asama
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATANJL. Harsono R.!{. No. 1 Ragunan, pasar Minggu, Jakarta seratan
Terp. (021) 78840013, Fax. (021) zagsgziS .lirarta 1 2ss0website:www.pa-jakartaselatan.go.id'e-mail:retuagpa;iiartasetatan.go.io.
SURAT KETERANGANNomor Wg.A4lgS o7 I HK.OS N tZO 1 s
Panitei'a Fengadiian Agarta iakaria Seiatan, berdasarkan surat WakilDekan Fakultas syariah dan Hukum ulN syarif Hidayatullah, No.un.01 tF4lKM.00-03/6 1412015, tanggar 03 Maret zols,menerangk"n o"h*r,
NamaNomor Pokok
Semester
TempaUTanggal Lahir
Jurusan/Konsentrasi
Alamat
Telp/Hp
ERWN HIKMATIAR
1110044100014
X (Sepuluh)
Bekasi, 22 Juni 1gg2
Ahwal Syakhsiyyah / peradilan AgamaJl. Tirta Raharja 2 F26g Komplek pam Jatikramat..latiiAsih - Bekasi Bar?t
48571C225040
Benar telah melakukan wawancara dan memperoleh data pada pengadilanAgama Jakarta Selatan sehubungan dengan penyusunan skripsi yang berjudul :
"Pandangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah lddah pada perceraian Gugat(Studi Putusan Fengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:26 1 5/Pdt. G/201 I /pa,J s) "
Demikian surat keterangan ini agar dapat dipergunakan sebagaimanamestinya.
Jakarta,2g Mei 2015
Panitera
PEDOIUAN WAWAIYCARA
Pertrnyaan:
1' Bagaimana Pendapat bapak selaku haldm mengenai hak nafkatr iddah yang diajukan
oleh isteri pada cerai gugat ?
2' Apakatr memang setiap isteri wajar mengajukan naftatr iddah pada cerai gugat ?
3' Hal apa saja yang mer{adi pertimbangan dalam menetapkan nafl<atr iddatr pada perkara
cerai gugat ?
4' Apakatr penetapan nafkah iddall tersebut sesuai dengan asas keadilan ?
5' Menunrt bapak apalah perlu adanya revisi pasal mengenai nafkah iddah ini mengingat
bahwapasal mengenai nafkah iddah masih bias gender?
HASIL WAWAI\TCARA
Informan : Drs. Muh.Rusydi Thahir, S.H., M.H
Hari/Tanggal : Jumat I 29 Mei}lllTempat : Pengadilan AgamaJalertaselatan
waktu : 13.30 wIB
l' Dalam menjatuhkan putusan, hakim memilliki pandangan yang berbeda-beda
tergantung dari ijtiha4nya me,nurut pandangan saya terlalu normatif, konservatif,, dan
klasik cara berfikir seorang hakim ketika perempuan yang mengajukan gugatan itu
tidak diberikan nafl<ah iddah. Bagaimana mungkinjika isteri selalu dipukul, tidak diberi
naftah baik lahir maupun batin lalu dia mengajukan gugatan lalu dia kehilangan haknya
untuk memperoleh nafkah iddalt" kira-kira hal seperti itu apakah bisa disebut adil. Bagi
sayahal semtrcam itu tidak dapat disebut adil dan tidak mutlakketentuan bahwaketika
isteri mengajukan cerai yang beral*rir pada talak ba'in sughra tidak mutlak kehilangan
haknya memperoleh nafkah iddah. Semua tergantung kepada peristiwa hukumnya,
kalau nr€mang isterinya nakal, keluar malam pulang subuh maka wajar tidak
mendapatkan nafkah iddah karena ia nusyuz.
2. Semuakembali lagi kepadaperistiwahukumnya, hakimharus bisamenganalisaapakah
memang isteri ini berhak mendapatkan nafl<ah iddah.
3' Dalam memutuskan suatu perkara tentunya sebagai seorang hakim sudatr
mempertimbangkan bagaimana putusan tersebut dapat adil. Kalau memang ada
Undang-Undang, Peraturan, dan ketentuan yang menghalangi hakim untuk berkaku
adil maka kesarnpingkan atau bahkan jangan dipakait kecuali kalau memang sesuai
dengan keadilan maka pakailah Undang-Undang, Peraturan, dan ketentuan tersebut.
Karena putusan hakim itu setingkat dengan Undang-Undang bagi yang dijahrhi
putusan. Hakim itu bukanrah pegawai undang-undang dan hakim juga bukan pegawainegeri yang bektrja berdasarkan undang-undang rurmun hakim adalah pegawaikeadilan atau petugas keadilan. Dia menjalankan tugas untuk memutuskan suatuperkara dengan adil
Menurut saya ijtihad hakim sudah sesuai dengan upaya untuk mencapai keadilandengan melihat lebih teliti peristiwa hukuqr yang terjadi.
Tidak perlu adanya revisi karena saat ini hakim masih bisa menggunakan ijtihadnyadan yurisprudensi sehingga apabila bertentangan dengan keyakinan hakim maka hakimmemiliki jalan lain untuk memutuskan perkara.
Jakarta" 22 Juni 20ls
4.
5.
@n. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.II)
Foto peneliti saat wawancara dengan Drs. Muh. Rusydi Thatrir SH.,MH Hakim pengadilanAgama Jakarta Selatan, Di ruang Hakim IV. Pada hari Senin 29 Mei 2015 jam 13.30 WIB
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
red255;SALINANP U T U S A N
Nomor xxxx/Pdt.G/2011/PA JS.
BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
Gugatan Cerai pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan
putusan sebagai berikut dalam perkara antara :
Penggugat, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati, tempat tinggal di Jalan
DD RT.010 RW. 001 No. 46 B Kelurahan Menteng Dalam Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Hudi
Yusup,SH.,MH.,dan Ori Rahman, SH., Advokat pada kantor SYAHRIR
YUDANINGRUM MIRANTI (“SYM”) Law Office beralamat di Gedung
Bursa Efek Indonesia, Tower 2 Lantai 17, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53,
Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 4 Nopember 2011,
sebagai Penggugat;
melawan
Tergugat, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan, tempat tinggal di Jalan DD
RT.010 RW. 001 No. 46 B Kelurahan Menteng Dalam Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut ;
Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara;
Setelah mendengar keterangan Penggugat, dan para saksi;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat Gugatannya tertanggal 24 Nopember
2011 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:
xxxx/Pdt.G/2011/PA JS. mengemukakan hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut :
1 Terjadi Perselisihan Dan Pertengkaran Terus Menerus Tanpa Kemungkinan
Untuk Rukun Kembali Sebagai Alasan Perceraian
1 Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang melangsungkan pernikahan
tanggal 11 September 2004, dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Lawang Kabupaten Lawang, Jawa Timur, sesuai Kutipan Akta
Nikah No.699/57/IX/2004 tertanggal 11 September 2004. (vide Bukti P-1)
2 Bahwa dalam perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah lahir 1 (satu) orang
anak bernama Anak Penggugat dan Tergugat, Perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 12
1
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.idMei 2007, sebagaimana Kutipan Akte Kelahiran tertanggal 16 Mei 2007 yang
dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kotamadya
Jakarta Selatan, No. 870/U/JS/2007 (vide Bukti P-2)
Selanjutnya disebut “Anak”
3 Bahwa pada 1 (satu) tahun perkawinan, kehidupan antara Penggugat dan Tergugat
berjalan secara harmonis, akan tetapi kira-kira melewati satu tahun perkawinan
sampai dengan tiga tahun perkawinan, hubungan antara Penggugat dan Tergugat
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus, tanpa kemungkinan untuk
rukun kembali. Dan puncak perselisihan terjadi pada tahun 2010, adanya
pertengkaran hebat antara Penggugat dan Tergugat.
4 Bahwa perselisihan dan pertengkaran terus menerus disebabkan karena
ketidaksamaan visi dan pandangan hidup masing-masing antara Penggugat dan
Tergugat dalam membina rumah tangga.
5 Bahwa pada tanggal 3 April 2011, terjadi pertemuan antara Penggugat dan Tergugat
serta orang tua Penggugat melalui telepon, yang membicarakan masalah rumah
tangga Penggugat dan Tergugat, dan kelanjutan hubungan perkawinan Penggugat dan
Tergugat. Oleh karena tidak tercapai titik temu kesepakatan penyelesaian karena
adanya ketidakcocokan, maka Penggugat dan Tergugat sepakat untuk bercerai.
6 Bahwa perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara Tergugat dan Penggugat
yang terjadi telah berkepanjangan dan hari ke hari kondisinya semakin memburuk,
dan tidak adanya komunikasi yang baik lagi antara Tergugat dengan Penggugat.
7 Bahwa akibat perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat, sudah 4 (empat) tahun
terakhir Penggugat dan Tergugat sudah pisah ranjang.
8 Bahwa akibat perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat, sudah 8 (delapan)
bulan terakhir Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah.
9 Bahwa Penggugat selama ini telah berusaha untuk bersabar dan menerima keadaan
untuk selalu bertahan, dengan harapan rumah tangganya akan kembali baik, namun
pada kenyataannya apa yang diharapkan Penggugat ternyata tidak terwujud, Tergugat
tetap saja tidak pernah ada perubahan sikap kepada Penggugat.
10 Bahwa dengan adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, maka Penggugat
tidak dapat lagi untuk hidup bersama dengan Tergugat dalam suatu ikatan
perkawinan, dan dalam diri Penggugat sudah tidak ada lagi rasa mencintai,
menghormati dan kecocokan dalam membentuk, membina dan meneruskan
kehidupan rumah tangga yang bahagia dalam suatu ikatan perkawinan, sehingga
tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tidak mungkin lagi tercapai.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
11 Bahwa kehidupan rumah tangga sebagaimana diuraikan pada butir 1 sampai dengan
butir 12 tersebut diatas, menyebabkan Penggugat tidak mempunyai harapan lagi dan
tidak ada manfaatnya untuk melanjutkan suatu ikatan perkawinan dengan Tergugat,
maka demi kepastian hukum atas suatu perkawinan antara Penggugat dan Tergugat,
mohon agar Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyatakan perkawinan antara
Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian.
II. Akibat Perceraian Terhadap Nafkah Anak, Biaya Pemeliharaan Anak, serta
Terhadap Harta Bersama Yang Diperoleh Selama Perkawinan (Gono Gini).
12 Bahwa selama dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat secara bersama-sama telah
membeli sebidang tanah berikut bangunan rumah yang terletak dan dikenal dengan
Jalan Kalibata Utara IV, Nomor C1, RT 007, RW 02, Kelurahan Kalibata, Kecamatan
Pancoran, Jakarta Selatan dengan luas kurang lebih 243 meter persegi yang dimiliki
semasa dalam ikatan perkawinan yang sah, maka tanah dan bangunan terebut
merupakan Harta Bersama antara Penggugat dan Tergugat.
13 Bahwa selama dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat secara bersama-sama telah
membeli sebidang tanah berikut bangunan rumah yang terletak dan dikenal dengan
Jalan Blok D. 05 Nomor 06, Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong, Desa
Nanggewer Mekar, Jawa Barat dengan luas kurang lebih 120 meter persegi yang
dimiliki semasa dalam ikatan perkawinan yang sah, maka tanah dan bangunan
tersebut merupakan Harta Bersama antara Penggugat dan Tergugat.
14 Bahwa selain itu semasa dalam ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat
juga telah membeli 1 (satu) unit mobil merk Chevrolet Warna Abu-abu Metalik No.
Pol. B-8383BN No. Rangka KL1CA26FE8H307042 No. Mesin Z24SED037071
dengan demikian mobil tersebut merupakan Harta Bersama.
15 Bahwa sebelum gugatan ini diajukan antara Penggugat dan tergugat telah sepakat
perihak pembagian harta bersama, hak asuh anak dan biaya nafkah dan biaya
pendidikan anak;
16 Bahwa sebelum gugatan ini diajukan antara Penggugat dan Tergugat telah membuat
dan mendatangani Perjanjian No.5 tanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat dihadapan H.
Yunardi, SH, Notaris di Jakarta Selatan, yang berisi kesepakatan mengatur hak
pengasuhan/pemeliharaan anak, dan pengaturan terhadap harta bersama. (vide Bukti
P-3)
17 Bahwa berkaitan dengan telah di buatnya akta perjanjian No. 5 (Lima) tertanggal 7
Oktober 2011 di hadapan Haji Yunardi, SH Notaris Jakarta Selatan, maka Tergugat
telah menandatangani Akta Persetujuan dan Kuasa Nomor 6 (Enam) (vide Bukti P-4),
7 (Tujuh) (vide Bukti P-5), dan 8 (Delapan) (vide Bukti P-6) tertanggal 7 Oktober
2011.
3
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
18 Bahwa Mobil Chevrolet telah diserahkan oleh Penggugat kepada Tergugat pada
tanggal 7 Oktober 2011.
Berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan sebagaimana terurai di atas, Penggugat memohon
kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini
kiranya sudi memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1 Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat berdasarkan Kutipan
Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Lawang
Kabupaten Lawang, Jawa Timur, sesuai Kutipan Akta Nikah No. 699/57/IX/2004
tertanggal 11 September 2004, putus karena perceraian.
3 Menetapkan bahwa anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat yang bernama
Anak Penggugat dan Tergugat, Perempuan, lahir di Jakarta tanggal 12 Mei 2007
berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.
4 Menetapkan Tergugat sebagai ayah yang bertanggung jawab secara financial
untuk membayar nafkah dan biaya pendidikan anak Tergugat setiap bulannya
sebesar Rp.4.000.000,- (empat juta rupiah).
5 Menetapkan Harta Gono Gini yang terdapat dalam Perjanjian No. 5
tertanggal 7 Oktober 2011 yang di buat di hadapan Notaris Haji Yunardi, SH
Notaris Jakarta Selatan adalah sebagai berikut :
a 1 (satu) unit mobil merk Chevrolet warna Abu-abu Metalik No Pol.
B-8383BN No. Rangka KL1CA26FE8H307042 No. Mesin
Z24SED037071 adalah milik Tergugat.
b Rumah No Sertifikat 1183/Nanggewer Mekar, beralamat di, Blok D.05
nomor 6 Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong dan Rumah No Sertifikat
377/Kalibata beralamat di Jalan Kalibata Utara IV RT 007, RW 02 Nomor
C1, Kecamatan Pancoran, Kelurahan Kalibata, adalah milik Penggugat
6 Menghukum Penggugat dan Tergugat agar mematuhi dan melaksanakan seluruh
isi Perjanjian No. 5 (lima) dan Akta Persetujuan dan Kuasa No. 6 (enam), 7
(tujuh), dan 8 (delapan) tanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat dihadapan H.
Yunardi, SH Notaris Jakarta Selatan.
7 Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
mengirimkan salinan Putusan Perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap kepad Kantor Pencatat Nikah yang berwenang untuk diadakan pencatatan.
8 Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah iddah kepada Penggugat selama
tiga bulan sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
9 Menghukum Penggugat membayar biaya perkara.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan seadil-
adilnya.
Apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat 1ain, mohon putusan
seadil- adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang ditetapkan kedua belah pihak yang
berperkara hadir di persidangan dan Pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak dan telah diperintahkan untuk mengikuti prosedur mediasi sesuai PERMA Nomor 1
Tahun 2008 dengan mediator Drs. HA. Nawawi Ali, S.H., namun berdasarkan laporan
mediator mediasi tidak berhasil, oleh karena itu pemeriksaan terhadap perkara ini
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan Penggugat yang ternyata isinya tetap
dipertahankan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut Tergugat dihadapan sidang
telah memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1 Bahwa Tergugat mengakui dalil-dalil gugatan Penggugat.
2 Bahwa Tergugat tidak keberatan atas gugatan Penggugat;
Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil Gugatannya, Penggugat telah
mengajukan bukti-bukti berupa :
A. Surat :
1 Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor: 699/57/IX/2004 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Lawang Kabupaten Lawang, Jawa Timur,
tertanggal 11 September 2004 (Bukti P-1);
2 Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran Anak Penggugat dan Tergugat, yang
dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya
Jakarta Selatan, No. 870/U/JS/2007 tertanggal 16 Mei 2007 (Bukti P-2);
3 Fotokopi Kartu Keluarga No. 4104068907 yang dikeluarkan oleh Kelurahan
Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (Bukti P-3);
4 Fotokopi Perjanjian No. 5 tertanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat di hadapan Haji
Yunardi, SH., Notaris di Jakarta Selatan (Bukti P-4);
5 Fotokopi Perjanjian No. 6 tertanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat di hadapan Haji
Yunardi, SH., Notaris di Jakarta Selatan (Bukti P-5);
6 Fotokopi Perjanjian No. 7 tertanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat di hadapan Haji
Yunardi, SH., Notaris di Jakarta Selatan (Bukti P-6);
7 Fotokopi Perjanjian No. 8 tertanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat di hadapan Haji
Yunardi, SH., Notaris di Jakarta Selatan (Bukti P-7);
8 Fotokopi Perjanjian Kredit Nomor 6603/PK/LPC/XII/04, tanggal 29 Desember
2004 antara Penggugat dengan PT. Bank Niaga Tbk (Bukti P-8);
9 Fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan Kantor Pertanahan
Kabupaten Bogor, Nomor 3495/07(Bukti P-9);
5
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id10 Fotokopi Perjanjian Kredit antara Tergugat dengan PT. Bank Central Asia Tbk
tanggal 29 Oktober 2010 dihadapan Notaris Sri Buena Brahmana, SH., M.Kn
(Bukti P-10);
11 Fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Selatan, Nomor 3368/2011 (Bukti P-11);
12 Fotokopi Pemberian Kuasa dari Penggugat kepada Tergugat untuk menjual 1 unit
kendaraan nomor F 7365937 G dibuat tanggal 5 Oktober 2011 dihadapan Haji
Yunardi, SH., Notaris di Jakarta Selatan (Bukti P-12);
13 Fotokopi BPKB kendaraan nomor F 7365937 G atas nama Penggugat (Bukti
P-13);
Fotokopi tersebut telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya kecuali P-3,
P-8, P-9, P-10 P-11 dan P-13 tidak ada aslinya dan telah bermaterai cukup dan telah
diperlihatkan kepada Tergugat dan Tergugat tidak membantahnya;
Menimbang, bahwa selain itu Penggugat juga mengajukan saksi-saksi yaitu :
B. Saksi-saksi :
1. Saksi I, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat
kediaman di Jalan H. Awaluddin II No. 11 Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan
Tanah Abang, Jakarta Pusat ;-,, di hadapan sidang saksi tersebut memberikan
keterangan dibawah sumpah secara agama Islam yang pada pokoknya sebagai
berikut :
• Bahwa saksi adalah teman dekat Penggugat dan Tergugat;
• Bahwa saksi kenal Penggugat dan Tergugat sejak kurang lebih 15 (lima
belas) tahun yang lalu;
• Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri dan sudah mempunyai
1 (satu) orang anak yang saat ini dalam asuhan Penggugat;
• Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat hidup rukun namun
sejak tahun 2010 sudah tidak harmonis lagi disebabkan sudah tidak ada
kecocokan lagi dan diatara Penggugat dan Tergugat kurang adanya
komunikasi;
• Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak Maret 2011
dimana Tergugat yang pergi meninggalkan tempat tinggal bersama;
• Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati dan mendamaikan
Penggugat dan Tergugat agar tidak bercerai namun usaha tersebut
berhasil;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi pertama tersebut Penggugat dan Tergugat
menyatakan tidak keberatan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id2. Saksi II, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat
kediaman di Jalan Nakula 6 A Blok C 19 RT.08/RW.02 Bekasi, Jawa Barat ;, di
hadapan sidang saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah secara
agama Islam yang pada pokoknya sebagai berikut :
• Bahwa saksi adalah teman dekat Penggugat dan Tergugat;
• Bahwa saksi kenal Penggugat dan Tergugat sejak tahun 2009;
• Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri dan sudah mempunyai
1 (satu) orang anak yang saat ini dalam asuhan Penggugat;
• Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat hidup rukun namun
sejak tahun 2010 sudah tidak harmonis lagi disebabkan sudah tidak ada
kecocokan lagi dan diatara Penggugat dan Tergugat kurang adanya
komunikasi;
• Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak Maret 2011
dimana Tergugat yang pergi meninggalkan tempat tinggal bersama;
• Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati dan mendamaikan
Penggugat dan Tergugat agar tidak bercerai namun usaha tersebut
berhasil;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi kedua tersebut Penggugat dan Tergugat
menyatakan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah mengajukan kesimpulan secara
lisan yang pada pokoknya tetap ingin bercerai dengan Tergugat sedangkan Tergugat
mengajukan kesimpulan secara lisan yang pada pokoknya tidak keberatan bercerai
dengan Penggugat;
Menimbang, bahwa baik Penggugat maupun Tergugat tidak akan mengajukan
apapun lagi dan mohon putusan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala sesuatu yang
berlangsung dalam persidangan dapat dilihat dalam berita acara persidangan perkara ini
yang dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan
ini ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat sebagaimana terurai
diatas;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat
dengan Tergugat dan telah diperintahkan kepada Penggugat dan Tergugat untuk
melakukan mediasi sesuai PERMA Nomor 1 tahun 2008 dengan mediator Drs. HA.
7
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Nawawi Ali, S.H., namun berdasarkan laporan Mediator mediasi tidak berhasil oleh
karenanya perdamaian dinyatakan tidak berhasil, oleh karenanya kemudian dibacakan
gugatan Penggugat yang ternyata isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa dasar hukum yang diajukan oleh Penggugat sebagai dasar
alasan cerai gugat ini adalah sebagaimana dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 yang mengisyaratkan harus ada perselisihan dan pertengkaran yang
terus-menerus antara suami isteri itu dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah
tangganya;
Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim perlu mempertimbangkan
tentang adanya alasan tersebut;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut Tergugat telah memberikan
jawaban secara lisan yang pada pokoknya mengakui dalil-dalil gugatan Penggugat dan
tidak keberatan dengan dalil-dalil gugatan Penggugat;
Menimbang, berdasarkan bukti P-1 berupa kutipan akta nikah maka terbukti
Penggugat adalah istri sah Tergugat sehingga mempunyai landasan hukum untuk
mengajukan gugatan cerai kepada Tergugat;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendengarkan keterangan saksi keluarga
dan atau orang dekat dengan kedua belah pihak, guna memenuhi ketentuan pasal 76
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 jo pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal
134 Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi keterangannya saling mendukung
dan memperkuat dalil-dalil gugatan Penggugat, kesaksian mana telah memenuhi
ketentuan pasal 171 ayat (1) dan 172 HIR setelah dihubungkan dengan keterangan pihak-
pihak serta bukti lain, maka dapatlah disimpulkan hal-hal/fakta-fakta hukum sebagai
berikut :
• Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri dan sudah mempunyai
1 (satu) orang anak yang saat ini dalam asuhan Penggugat;
• Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat hidup rukun namun
sejak tahun 2010 sudah tidak harmonis lagi disebabkan sudah tidak ada
kecocokan lagi dan diatara Penggugat dan Tergugat kurang adanya
komunikasi;
• Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak Maret 2011
dimana Tergugat yang pergi meninggalkan tempat tinggal bersama;
• Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati dan mendamaikan
Penggugat dan Tergugat agar tidak bercerai namun usaha tersebut
berhasil;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dari apa yang telah disimpulkan tersebut diatas, maka
terbuktilah bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus-menerus. Hal mana antara mereka tidak ada harapan untuk hidup
rukun lagi;
Menimbang, bahwa dari jawab menjawab Penggugat dengan Tergugat dalam
persidangan dan telah diupayakan oleh Majelis Hakim untuk mendamaikan Penggugat
dengan Tergugat di setiap persidangan namun tetap tidak berhasil dan juga dari bukti
yang diajukan Penggugat dan Tergugat maka Mejelis Hakim dapat menemukan fakta
dalam persidangan bahwa kehidupan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah
terjadi percekcokan secara terus menerus semua usaha perdamaian yang dilakukan tidak
berhasil menyatukan mereka kembali, maka yang demikian itu seharusnya ditafsirkan
bahwa hati kedua belah pihak (suami isteri) tersebut telah pecah, sehingga telah
memenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
sebagaimana Yurisprudensi Mahakamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1287 K/
sip/1995 tanggal 27 April 1997 demikian pula dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia No.38/K.AG/1990 yang menyatakan pecahnya perkawinan antara
suami dengan isteri, hakim tidak perlu meneliti siapa yang bersalah, melainkan yang
perlu diteliti apa perkawinannya dapat dirukunkan apa tidak;
Menimbang, bahwa dengan telah terbukti pula adanya perselisihan dan
pertengkaran yang terus-menerus antara Penggugat dengan Tergugat dan tidak ada
harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga tersebut, apabila perkawinan mereka
diteruskan, maka tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak akan
tercapai, bahkan sebaliknya apabila perkawinan mereka tidak diputuskan/diceraikan,
maka perselisihan dan pertengkaran yang tidak berkesudahan antara Penggugat dengan
Tergugat tersebut akan mengakibatkan makin beratnya beban penderitaan lahir dan
bathin kedua belah pihak, oleh karena itu Pengadilan berpendapat, bahwa perkawinan
antara Penggugat dengan Tergugat harus diceraikan, karena perceraian tersebut adalah
paling tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak;
Menimbang, bahwa Penggugat di dalam sidang telah menunjukkan sikap
kebenciannya dan keengganannya untuk rukun kembali dengan Tergugat yang pada
kesimpulannya Penggugat bertetap pada gugatannya, maka dalam perkara ini dapat
diterapkan dalil dari kitab Ghoyatul Marom berbunyi :
�� �� � � � � � � �� � �� � � � �� � � � � � � �� �� � � � � � � �� �� �� �� � � �� �� �� �� � � �� � � � �� �� �� � � � �� � � � � � � �� � �� � � ��
“ Di waktu si isteri sudah sangat tidak senang terhadap suaminya, maka hakim dapat
menjatuhkan talak si suami” ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan
telah terbukti pula bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat ternyata telah tidak
9
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dapat ditegakkan lagi, karena rumah tangga tersebut telah tidak ditopang diatas suasana
ketentraman, kecintaan, kasih-sayang, harmonisnya pergaulan serta masing-masing pihak
telah tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, sehingga dengan demikian
menurut pasal 70 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 gugatan Penggugat tersebut harus dikabulkan;
Menimbang, bahwa petitum nomor 3 Penggugat minta hak pemeliharaan
(hadhanah) terhadap anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Anak Penggugat dan
Tergugat, perempuan, lahir tanggal 12 Mei 2007;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-2 maka terbukti bahwa anak tersebut di
atas berumur dibawah 12 tahun;
Menimbang, bahwa pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam dalam hal
terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal -hal tersebut diatas dan sesuai dengan
Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 pasal 2 huruf b bahwa
penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak meliputi kepentingan yang terbaik bagi anak sehingga dengan
demikian dalil gugatan Penggugat tersebut dikabulkan sehingga hak pemeliharaan anak
Penggugat dan Tergugat tersebut ditetapkan kepada Penggugat;
Bahwa sekalipun anak tersebut di atas berada dibawah pemeliharaan (hadhanah)
Penggugat selaku ibunya, akan tetapi tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi
dengan Tergugat selaku bapak kandungnya, dan Tergugat mempunyai hak untuk
berkunjung/menjenguk dan membantu mendidik serta mencurahkan kasih sayangnya
sebagai seorang bapak terhadap anaknya;
Menimbang, bahwa Penggugat minta nafkah anak sebagaimana tersebut di atas
sejumlah Rp. 4.000.000;(empat juta rupiah) perbulan;
Menimbang, bahwa Tergugat tidak keberatan atas gugatan Penggugat tersebut;
Menimbang, bahwa pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
Menimbang, bahwa pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
akibat putusnya perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
Menimbang, bahwa oleh karena itu maka kepada Tergugat selaku ayah kandungnya
dihukum untuk memberikan nafkah terhadap anak tersebut di atas minimal sejumlah Rp.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4.000.000;(empat juta rupiah) setiap bulan yang dibayarkan melalui Penggugat sampai
anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
Menimbang, bahwa minta harta bersama sebagaimana termuat dalam gugatan
Penggugat;
Menimbang, bahwa Tergugat tidak keberatan atas gugatan Penggugat tersebut ;
Menimang, bahwa berdasarkan bukti P-4 yang tidak dibantah Tergugat maka
terbukti bahwa harta sebagaimana termuat dalam gugatan Penggugat terbukti harta
bersama Penggugat dan Tergugat oleh karenanya gugatan Penggugat tersebut dapat
dikabulkan;
Menimbang, bahwa Penggugat dengan Tergugat telah membuat surat perjanjian
tertanggal 7 Oktober 2011 sebagaimana bukti P-4 sampai dengan P-7 yang tidak dibantah
Tergugat dan mohon kepada majelis hakim agar dimasukkan dalam putusan;
Menimbang, Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan sesuai
dengan pasal 130 HIR maka kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi perdamaian
yang telah disepakati tersebut;
Menimbang, bahwa Penggugat minta nafkah iddah kepada tgsejumlah Rp.
10.000.000;(sepuluh juta rupiah);
Menimbang, bahwa Tergugat tidak keberatan atas gugatan Penggugat tersebut
maka oleh karena itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan dan kepada Tergugat dihukum
untuk membayar nafkah iddah sebagaimana termuat dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk bidang perkawinan maka
Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara ini sesuai dengan pasal 89 Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006;
Memperhatikan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Hukum
Syar'i yang berkaitan dengan perkara ini;
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (Nasrullah, ST bin M.Hoesni
Soelaiman, SH ) terhadap Penggugat (Penggugat);
. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
mengirimkan salinan putusan perkara ini kepada Kantor Urusan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama
tempat pernikahan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam
register yang tersedia untuk itu;
11
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4. Menetapkan anak yang bernama Anak Penggugat dan Tergugat, perempuan, lahir
tanggal 12 Mei 2007 berada di bawah pemeliharaan/hadhanah Penggugat tanpa
mengurangi hak-hak Tergugat selaku ayah kandungnya untuk menyalurkan kasih
sayangnya kepada anak tersebut.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya hadhanah (nafkah anak) tersebut
kepada Penggugat setiap bulan minimal sejumlah Rp.4.000.000,- ( empat juta
rupiah ) sampai anak tersebut dewasa dan mandiri atau berumur 21 tahun;
6 Menetapkan Harta Gono Gini yang terdapat dalam Perjanjian No. 5 tertanggal 7
Oktober 2011 yang di buat di hadapan Notaris Haji Yunardi, SH Notaris Jakarta
Selatan adalah sebagai berikut :
a 1 (satu) unit mobil merk Chevrolet warna Abu-abu Metalik No Pol.
B-8383BN No. Rangka KL1CA26FE8H307042 No. Mesin
Z24SED037071 adalah milik Tergugat.
b Rumah No Sertifikat 1183/Nanggewer Mekar, beralamat di, Blok D.05
nomor 6 Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong dan Rumah No Sertifikat
377/Kalibata beralamat di Jalan Kalibata Utara IV RT 007, RW 02 Nomor
C1, Kecamatan Pancoran, Kelurahan Kalibata, adalah milik Penggugat.
7 Menghukum Penggugat dan Tergugat agar mematuhi dan melaksanakan seluruh
isi Perjanjian No. 5 (lima) dan Akta Persetujuan dan Kuasa No. 6 (enam), 7
(tujuh), dan 8 (delapan) tanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat dihadapan H.
Yunardi, SH Notaris Jakarta Selatan.
8 Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah iddah kepada Penggugat selama
tiga bulan sebesar Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ) ;-
9 Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
316.000,- ( tiga ratus enam belas ribu rupiah ) ;-
Demikian diputuskan pada hari Senin tanggal 09 Januari 2012 Masehi bertepatan
dengan tanggal 15 Safar 1433 Hijriyah, oleh Hakim Pengadilan Agama di Jakarta Selatan
yang terdiri dari Tamah, S.H. sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Anwar Hidayat, S.H.
serta Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, M.H. sebagai hakim-hakim Anggota, putusan mana oleh
Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan
didampingi oleh Sajidan, S.H. sebagai panitera Pengganti Pengadilan Agama tersebut
dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat;
Hakim Anggota Hakim Ketua
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
ttd.
Drs. H. Anwar Hidayat, S.H.
ttd.
Tamah,S.H
Hakim Anggota
ttd.
Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, M.H.
Panitera Pengganti
ttd.
Sajidan, S.H.
Perincian Biaya Perkara :1. Biaya pendaftaran Rp. 30.000;
2. Biaya administrasi Rp. 75.000;
3. Biaya panggilan Rp. 200.000;
4. Biaya redaksi Rp. 5.000;
. Biaya Materai Rp. 6.000;
Jumlah Rp. 316. 000;
(tiga ratus enam belas ribu rupiah)
Untuk salinan yang sama bunyinya oleh
PANITERA PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Drs. Ach. Jufri, S.H.,M.H.
INSTRUMEN AMAR PUTUSAN
Nomor : xxxx/Pdt.G/2011/PA JS.
Hari dan Tgl. Putusan : Senin tanggal 09 Januari 2012
13
Untuk salinan yang sama bunyinya oleh PANITERA PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN
Ahmad Majid, S.H.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
MENGADILI
1 Mengabulkan gugatan Penggugat;
2 Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (Nasrullah, ST bin M.Hoesni
Soelaiman, SH ) terhadap Penggugat (Penggugat);
3 Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
mengirimkan salinan putusan perkara ini kepada Kantor Urusan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama
tempat pernikahan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam
register yang tersedia untuk itu;
4 Menetapkan anak yang bernama Anak Penggugat dan Tergugat, perempuan, lahir
tanggal 12 Mei 2007 berada di bawah pemeliharaan/hadhanah Penggugat tanpa
mengurangi hak-hak Tergugat selaku ayah kandungnya untuk menyalurkan kasih
sayangnya kepada anak tersebut.
5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya hadhanah (nafkah anak) tersebut
kepada Penggugat setiap bulan minimal sejumlah Rp.4.000.000,- ( empat juta
rupiah ) sampai anak tersebut dewasa dan mandiri atau berumur 21 tahun;
6 Menetapkan Harta Gono Gini yang terdapat dalam Perjanjian No. 5 tertanggal 7
Oktober 2011 yang di buat di hadapan Notaris Haji Yunardi, SH Notaris Jakarta
Selatan adalah sebagai berikut :
a 1 (satu) unit mobil merk Chevrolet warna Abu-abu Metalik No Pol.
B-8383BN No. Rangka KL1CA26FE8H307042 No. Mesin
Z24SED037071 adalah milik Tergugat.
b Rumah No Sertifikat 1183/Nanggewer Mekar, beralamat di, Blok D.05
nomor 6 Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong dan Rumah No Sertifikat
377/Kalibata beralamat di Jalan Kalibata Utara IV RT 007, RW 02 Nomor
C1, Kecamatan Pancoran, Kelurahan Kalibata, adalah milik Penggugat.
7 Menghukum Penggugat dan Tergugat agar mematuhi dan melaksanakan seluruh
isi Perjanjian No. 5 (lima) dan Akta Persetujuan dan Kuasa No. 6 (enam), 7
(tujuh), dan 8 (delapan) tanggal 7 Oktober 2011, yang dibuat dihadapan H.
Yunardi, SH Notaris Jakarta Selatan.
8 Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah iddah kepada Penggugat selama
tiga bulan sebesar Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ) ;-
9 Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
316.000,- ( tiga ratus enam belas ribu rupiah ) ;-
Ketua Majelis
ttd.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tamah, S.H.
Catatan Mediasi :
• Tgl penunjukan mediator : 19 Desember 2011
• Nama Mediator : Drs. H. Nawawi Ali, S.H.
• Tgl Laporan mediasi : 19 Desember 2011
• Hasil Mediasi : Gagal
15
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15