masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan ditinjau …

16
MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM, UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (ANALISIS KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk DAN NOMOR 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno) Rizqo Ayu Garnasi, Farida Prihatini, dan Wismar 'Ain Marzuki Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum E-mail: [email protected] Abstrak Putusnya perkawinan tentu akan mempunyai banyak akibat kepada para pihak. Salah satu akibatnya terhadap pihak perempuan adalah masa ‘iddah. Terhadap perkawinan yang dibatalkan di Pengadilan Agama Depok dan Wonosari dapat penulis teliti apakah masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan dapat diperhitungkan serta apakah Hakim Pengadilan Agama tersebut menerapkan ketentuan hukum mengenai masa ‘iddah dalam putusannya. Penulis akan menganalisis dengan mengacu kepada metode pendekatan yuridis normatif. Karena begitu penting ditetapkannya masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah putus perkawinannya termasuk dari pembatalan perkawinan. ‘Iddah Period Due to Nullification of Marriage in Terms of Islamic Law, Marriage Act Number 1 of 1974, and Compilation of Islamic Law (Analysis of Religious Court's Verdict Number 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk and Number 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno) Abstract The breakdown of marriage will certainly have a lot due to the parties. One of the women is a result of the waiting period. Against the marriage was canceled in Depok Religious Court and can Wonosari authors carefully whether the waiting period can be taken into account due to the cancellation of marriage and whether the judge courts for applying the legal provisions regarding the waiting period in its decision. The author will analyze with reference to the normative juridical approach. Because it is so important stipulation of the waiting period that must be taken by the woman after the break up of a marriage, including the nullification of the marriage. Key words: Marriage, Nullification of Marriage , The Period Of 'Iddah. Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM, UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (ANALISIS KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk DAN NOMOR 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)

Rizqo Ayu Garnasi, Farida Prihatini, dan Wismar 'Ain Marzuki

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

E-mail: [email protected]

Abstrak

Putusnya perkawinan tentu akan mempunyai banyak akibat kepada para pihak. Salah satu akibatnya terhadap pihak perempuan adalah masa ‘iddah. Terhadap perkawinan yang dibatalkan di Pengadilan Agama Depok dan Wonosari dapat penulis teliti apakah masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan dapat diperhitungkan serta apakah Hakim Pengadilan Agama tersebut menerapkan ketentuan hukum mengenai masa ‘iddah dalam putusannya. Penulis akan menganalisis dengan mengacu kepada metode pendekatan yuridis normatif. Karena begitu penting ditetapkannya masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah putus perkawinannya termasuk dari pembatalan perkawinan.

‘Iddah Period Due to Nullification of Marriage in Terms of Islamic Law, Marriage Act

Number 1 of 1974, and Compilation of Islamic Law (Analysis of Religious Court's

Verdict Number 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk and Number 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)

Abstract

The breakdown of marriage will certainly have a lot due to the parties. One of the women is a result of the waiting period. Against the marriage was canceled in Depok Religious Court and can Wonosari authors carefully whether the waiting period can be taken into account due to the cancellation of marriage and whether the judge courts for applying the legal provisions regarding the waiting period in its decision. The author will analyze with reference to the normative juridical approach. Because it is so important stipulation of the waiting period that must be taken by the woman after the break up of a marriage, including the nullification of the marriage.

Key words: Marriage, Nullification of Marriage , The Period Of 'Iddah.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 2: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

Pendahuluan

Latar Belakang

Sudah sewajarnya apabila keluarga merupakan kehidupan umat manusia yang

terpenting yang mula pertamanya dibentuk oleh paling tidak seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang kemudian dari fungsi reproduksinya bertambahlah anggota keluarganya

yaitu seorang anak. Diantara laki-laki dan perempuan tersebut diikat oleh suatu perjanjian

yang suci dan kokoh untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi. Perjanjian itu lebih

dikenal dengan nama perkawinan.

Kodrat alam telah menggariskan, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin

yang berlainan, seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling menarik satu sama

lain untuk hidup bersama membentuk suatu keluarga. Sebagaimana hukum Islam dalam

Qur’an Surah Ar-rum:21 yang terjemahannya adalah: 1

“Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia ciptakan untuk kamu jodoh dari

jenis kamu sendiri, supaya kamu menemukan ketentraman (sakinah) pada jodoh itu, dan Dia

jadikan diantara kamu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)...”

Perkawinan dianggap sebagai suatu yang sakral karena perkawinan merupakan

masalah keagamaan, sehingga perkawinan harus dilaksanakan dengan rangkaian upacara

yang bersifat religius dan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan

dari para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan peraturan yang bersifat umum,

sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang bersifat khusus, karena hanya

diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Disamping itu Kompilasi

Hukum Islam juga dijadikan pegangan bagi para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia

dalam melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan

perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh Yayayasan

Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Darus Sunnah, 2002), hal. 407. 2 Indonesia (a), Undang-undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Pasal 2.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 3: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

Dalam sistem ajaran Islam atau ad dinul Islam terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak.

Pada komponen syariah dan akhlak ruang lingkupnya jelas mengenai ibadah, muamalah dan

sikap terhadap Khalik (Allah) serta makhluk. Pada komponen akidah, ruang lingkup itu akan

tampak pula jika dihubungkan dengan iman kepada Allah dan para Nabi serta Rasul-Nya.

Perkawinan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan,

baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sehingga Islam menganjurkan untuk

melakukan perkawinan. Dalam sistem hukum Islam ada 5 (lima) hukum atau kaidah yang

dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di

lapangan muamalah kaidah tersebut disebut al ahkam al khamsah yaitu ja’iz atau mubah atau

ibahah, sunnat, makruh, wajib dan haram.3

Adapun melakukan suatu perkawinan adalah ibahah atau kebolehan yakni norma atau kaidah

hukum Islam yang mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini sebagaimana pendapat sebagian

sarjana hukum Islam berdasarkan pertimbangan atas keseluruhan dalil dan alasan yang

berkenaan dengan Qur’an Surah An-nisa ayat : (1), (3) dan (24). Namun berdasarkan kepada

perubahan ‘illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat

beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. 4

a. Hukumnya beralih menjadi sunnah.

Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya

telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka

baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan perkawinan. Kalau dia kawin dia

mendapat pahala dan kalau dia tidak atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa

dan juga tidak mendapat pahala.

b. Hukumnya beralih menjadi wajib.

Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah

mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat

mendesak untuk kawin, sehingga kalau dia tidak kawin dia akan terjerumus

3 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 32. 4 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986), hal 49.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 4: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. Kalau dia

tidak kawin dia akan mendapat dosa dan kalau dia kawin dia mendapat pahala,

baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan.

c. Hukumnya beralih menjadi makruh.

Dengan ‘illah : seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya

telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada

biaya hidup sehingga kalau dia kawin dia hanya akan membawa kesengsaraan

hidup bagi isteri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Kalau

dia kawin dia tidak berdosa dan tidak pula dapat pahala. Sedangkan kalau dia

tidak kawin dengan pertimbangan yang telah dikemukakan itu tadi, maka dia akan

mendapat pahala.

d. Hukumnya beralih menjadi haram.

Dengan ‘illah : apabila seorang laki-laki hendak mengawini seseorang wanita

dengan maksud menganiayanya atau memperolo-olokannya maka haramlah bagi

laki-laki itu kawin. Kalau dia kawin juga untuk maksud yang terlarang itu, dia

berdosa walaupun perkawinan itu tetap sah asal telah memenuhi ketentuan-

ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak jadikan

perkawinan itu sehingga tidak langsung perkawinannya dengan maksud yang

diizinkan al-Qur’an itu makan dia akan mendapat pahala.5

Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang

dianggap luhur untuk dilakukan. Perkawinan yang baik menurut agama Islam dimana di

dalam rumah tangga harus dilandasi atas dasar ma’ruf. 6 Pergaulan hidup suami isteri yang

baik dan tenteram dengan rasa cinta-mencintai dan santun-menyantuni. Istilah bentuk

pergaulan suami isteri menurut al-Qur’an adalah pergaulan yang baik dan tenteram serta

cinta-mencintai dan santun menyantuni. Ketentuan itu disebut dengan kata-kata : baik dari

kata-kata ma’ruf, tenteram dari kata-kata sakinah, cinta-mencintai dari kata mawaddah,

santun menyantuni dari kata-kata rahmah.

5 Ibid. 6 Ibid., hal. 74.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 5: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami isteri yang meliputi pula arti saling

memerlukan dalam hubungan sebagai suami isteri. Umumnya hal tersebut sangat diperlukan

oleh pasangan suami isteri yang masih muda dan berkurang secara berangsur peranannya

pada orang tua. Walaupun tidak menjadi habis. Rasa mawaddah itu ditambah bagi pasangan

yang telah menjadi tua dengan rasa santun menyantuni, saling membela dan saling

memerlukan di masa tua. Perasaan ini disebut al-Qur’an dengan sebutan rahmah. .7

Dalam hal ini berarti perkawinan dipandang sebagai usaha untuk mewujudkan

kehidupan yang berbahagia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,

untuk maksud tersebut diperlukan adanya peraturan yang akan menentukan persyaratan apa

yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan sehingga dapat memberi suatu

kekuatan yang lebih baik lagi kedepannya untuk mengatasi permasalahan rumah tangga. 8

Tetapi memang masih seringkali pasangan suami isteri masih menemui kendala yang pada

akhirnya kandas di tengah jalan dan berakhir dengan perceraian. 9

Banyak faktor yang mengakibatkan sebuah perkawinan berakhir dengan perceraian.

Baik dari faktor eksternal maupun faktor internal antara suami isteri itu sendiri. Namun tidak

semua perkawinan berakhir dengan hanya melalui sebuah perceraian. Baik di dalam UU No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam juga terdapat

suatu cara yang mengakibatkan putusnya hubungan suatu perkawinan selain dari perceraian

dan kematian, juga atas keputusan Pengadilan. Dalam hal ini penulis akan membahas

mengenai pembatalan perkawinan.

Pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.10 Tanpa ketentuan yang membatasi maka

pembatalan perkawinan akan mempunyai akibat, bahwa perkawinan itu dianggap tidak

pernah ada.11 Dalam pembatalan perkawinan, yang dibatalkan adalah perkawinan yang sudah

dilangsungkan kemudian dibatalkan dengan suatu keputusan Pengadilan yang mempunyai

7 Thalib, Op. Cit., hal 80. 8 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal 103. 9 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,

(Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005), hal. 163. 10Ibid., hal 106. 11 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata, jilid 1, (Jakarta: Rizkita, 2009), hal. 101.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 6: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Dalam Pasal 37 PP

No. 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan

oleh Pengadilan.” 12

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan

atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah

merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.13 Dari

putusnya hubungan suatu perkawinan baik akibat perceraian dan pembatalan perkawinan

tersebut tentu mempunyai dampak-dampak serta akibat tertentu bagi para pihak, baik bagi

suami maupun isteri. Suatu dampak bagi isteri atau pihak perempuan dari suatu perceraian

dan pembatalan perkawinan tersebut adalah masa tunggu atau yang biasa kita kenal dengan

“masa ‘iddah”.

Masa ‘iddah sudah dikenal pada masa jahilyah. Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap

diakui sebagai salah satu dari ajaran syari’at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama

telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada firman Allah Ta’ala. 14 Pada bab 79

Fiqih Lima Mahzab, para ulama mahzab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum

dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai ‘iddah. Hanafi, Maliki, dan

Hambali mengatakan: apabila suami telah ber-khalwat dengannya, tetapi dia tidak sampai

mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak, maka si isteri harus menjalani ‘iddah, persis

seperti isteri yang telah dicampuri. Sedangkan Imamiyah dan Syafi’i mengatakan : khalwat

tidak membawa akibat apapun. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya juga, seperti yang

telah dikemukakan ketika berbicara tentang pembagian talak dalam talak raj’i dan talak

ba’in, bahwa menurut Imamiyah, wanita menepouse yang pernah dicampuri tidak wajib

menjalani masa ‘iddah. 15

Masa ‘iddah apabila dilihat dari sudut kata-kata mempunyai arti hitungan waktu atau

tenggang waktu. Dengan demikian dilihat dari segi si isteri, maka masa ‘iddah itu akan

12 Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, LN No. 9 Tahun 1975, TLN No. 3050, Pasal 37.

13 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta,UII Press, 2000) hal . 85. 14 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar. (Jakarta:

Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal. 448.

15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, cet. 5, (Jakarta: PT Lentera Basritama,1999), hal. 464.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 7: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana si isteri belum dapat melangsungkan

perkawinan baru dengan pihak laki-laki lain. 16 Menurut istilah Fuqaha’ Iddah berarti masa

menunggu wanita sehingga halal bagi laki-laki yang akan menjadi suaminya lagi nanti. Dari

pengertian diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa masa ‘iddah ialah masa

menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh

suaminya (cerai hidup atau cerai mati) yang tujuannya untuk mengetahui kandungan

perempuan itu berisi (hamil) atau tidak, serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah

SWT. 17

Adapun hikmah dan tujuan diwajibkannya menjalani masa ‘iddah tersebut salah

satunya untuk taadud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah. SWT. 18

Penelitian yang penulis lakukan adalah berangkat dari Putusan Pengadilan Agama Depok

dengan Nomor perkara 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk. mengenai pembatalan perkawinan. Penulis

akan menganalisa masa iddah yang seharusnya atau tidak seharusnya dilaksanakan oleh si

isteri sebagai Pemohon dalam pembatalan perkawinan tersebut. Hal ini karena isteri yang

telah sempat dalam beberapa waktu tinggal serumah dengan suaminya telah melaksanakan

hubungan sebagai suami isteri atau ba’da dukhul dan setelah dikeluarkannya putusan

pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama Depok tersebut Pemohon sebagai pihak

perempuan apabila tidak ditentukan masa ‘iddahnya, sedangkan Pemohon tidak mengetahui

bahwa terdapat ketentuan mengenai masa ‘iddah bagi dirinya dikhawatirkan akan

melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain dan akan mengakibatkan pencampuran

benih yang ada dalam rahimnya.

Oleh sebab itu, masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan tersebut seharusnya ikut

diperhitungkan dalam putusan yang dikeluarkan sebagai suatu tenggang waktu dalam mana ia

belum dapat melangsungkan perkawinan baru dengan pihak laki-laki lain. Bahwa tentang

duduknya perkara, Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan tercatat pada

hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan

Agama Kecamatan Kota Depok. Setelah melangsungkan pernikahan kemudian Pemohon dan

Termohon tinggal satu rumah di kediaman Pemohon di Kota Depok, Jawa Barat. Pada saat

melangsungkan pernikahan, Termohon mengaku telah memenuhi persyaratan sebagaimana

16 Ibid., hal. 134. 17 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hal. 414.

18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 305.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 8: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan orang Islam yang berlaku di

Indonesia.

Yang menarik dalam kasus pembatalan perkawinan tersebut adalah alasan dari

Pemohon dalam mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana biasanya yang

menganggap terdapat syarat sahnya sebuah perkawinan yang tidak terpenuhi sebagaimana

rukun perkawinan yang harus dilaksanakan melainkan bahwa semula Pemohon mengira atau

menyangka Termohon telah benar-benar menganut agama Islam sebagaimana ketentuan

hukum Islam, namun ternyata Termohon tidak bersungguh-sungguh menjadi seorang yang

berakidah Islam hal mana telah diakui sendiri oleh Termohon melalui Mas Media. Termohon

pada awalnya memang beragama Kristen namun pada tanggal 21 Agustus 2013 Termohon

telah menjadi seorang muslim yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia Kecamatan

Beji Kota Depok, Jawa Barat. Oleh sebab itu perkawinan Pemohon dan Termohon

sebenarnya telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam.

Selanjutnya terdapat kasus yang sama dalam hal pembatalan perkawinan namun

penyebab dibatalkannya perkawinan tersebut adalah berbeda, yaitu dari putusan Pengadilan

Agama Nomor:0230/Pdt.G/2007/PA.Wno. dalam hal ini selama pernikahan tersebut

Pemohon dengan Termohon belum pernah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri

(Qobla dukhul). Bahwa setelah sehari pernikahan diketahui dari hasil pemeriksaan bidan,

ternyata Termohon dalam keadaan hamil 2 bulan dan menurut pengakuan Termohon,

kehamilan tersebut akibat hubungan dengan seorang laki-laki lain. Bahwa dengan keadaan

tersebut, Pemohon merasa tertipu karena Pemohon baru kenal dengan Termohon selama satu

bulan sebelum pernikahan.

Oleh karena itu pada kedua kasus diatas sebagaimana dalam Pasal 27 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 72 Kompilasi Hukum

Islam butir b, yaitu bahwa: “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka

mengenai diri suami atau isteri.” Inilah dasar hukum Pemohon mengajukan pembatalan

perkawinan dengan Termohon. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis terdorong untuk

mengkaji tentang masa ‘iddah, seperti yang terjadi di Pengadilan Agama yang segala

problematikanya serta mengangkat masalah tersebut dalam judul : “Masa ‘Iddah Akibat

Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (Analisis Putusan Pengadilan Agama

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 9: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

Depok Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan Putusan Pengadilan Agama Wonosari Nomor

0230/Pdt.G/2007/PA.Wno).”

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami tentang masa

iddah dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan

Hukum Islam.

Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui apakah masa ‘iddah dalam perkawinan yang dibatalkan dapat

ikut diperhitungkan ditinjau dari hukum Islam, UU no. 1 Tahun 1947 tentang

Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui apakah Hakim Pengadilan Agama dalam putusannya Nomor

2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno telah

menerapkan ketentuan hukum yang berlaku mengenai masa ‘iddah.

Metode Penelitian

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh

dari masyarakat disebut sebagai data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka lazimnya disebut sebagai data sekunder. .19

Adapun bentuk-bentuk metode penelitian yang dilakukan adalah :

a. Bentuk penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif.

Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan

norma-norma hukum secara tertulis yang terdapat di peraturan perundang-undangan

yang dalam hal ini berhubungan dengan masa iddah. Metode penelitian yang

19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.6,

(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 51.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 10: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

digunakan adalah penelitian kepustakaaan karena dilakukan dengan meneliti bahan

pustaka, yang tujuannya mengkaji dan menguji ketentuan hukum yang berkaitan

dengan masa iddah akibat pembatalan perkawinan.

b. Ditinjau dari tipologi penelitian yaitu dari sudut sifatnya, penelitian ini merupakan

penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif, dimana data yang akan

diperoleh akan memberikan gambaran secara rinci dan menyeluruh tentang masalah-

masalah masa iddah akibat pembatalan perkawinan.

c. Data utama yang digunakan pada jenis penelitian yuridis normatif ini adalah data

sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian ini

menggambarakan berbagai masalah hukum dan fakta beserta masalah lainnya yang

berkaitan dengan masa iddah akibat pembatalan perkawinan. Bahan-bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yurisprudensi,

merupakan bahan utama sebagai dasar landasan hukum yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti, yaitu hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Pengadilan Agama Depok dan

Wonosari.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-

hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer dan implementasinya. 20

Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Ensiklopedi Hukum

Islam dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

d. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi studi dokumen

atau bahan pustaka. Hal ini disebabkan karena penelitian yang digunakan hanya

sebatas pada jenis data sekunder.

e. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis dan kualitatif yang

dilakukan dengan memaknai data yang diperoleh, menjabarkan dengan kata-kata

20 Ibid., hal. 31.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 11: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

sehingga diperoleh bahasan yang sistematis. Analisa data dengan metode kualitatif ini

menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran

penelitian yang bersangkutan secara tertulis dan perilaku nyata. 21

Dengan demikian penelitian ini menghasilkan sifat deskriptif analitis, yang memberikan

gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi permasalahan masa ‘iddah dalam

pembatalan perkawinan tersebut, kemudian menganalisis fakta tersebut dengan bantuan data

yang diperoleh sehingga memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang

telah dilakukan.

Pembahasan

Dasar hukum keberadaan masa ‘iddah dalam hukum Islam cukup banyak, di

antaranya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang artinya: 22

”Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru', tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Dalam ayat lain Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 234 Allah SWT berfirman yang

artinya: 23 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri

(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari…”

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaannya tidak mencantumkan istilah ‘iddah, tetapi yang

dicantumkannya adalah istilah “waktu tunggu”. Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa bagi seorang wanita yang

putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan tenggang waktu tersebut akan diatur

21 Ibid., hal. 67. 22 Departemen Agama, Op. Cit., hal. 56. 23 Ibid., hal. 59.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 12: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan pemerintah yang dimaksud dalam pasal

tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 39.24

Hukum masa ‘iddah di dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih menjelaskan

penelitian penulis bahwasanya fasakh berlaku masa ‘iddah sebagaimana masa ‘iddahnya

seseorang perempuan yang di talak. Sebagaimana di dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum

Islam, dimana waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan

li`an berlaku ‘iddah talak.

Mengenai masa ‘iddah yang berlaku bagi Pemohon, dalam Putusan Nomor

2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk tidak memuat secara jelas masa ‘iddah yang berlaku bagi

Pemohon. Padahal terhitung dari hari pernikahan hingga permohonan pembatalan

perkawinan yang diajukan oleh Pemohon sendiri yaitu selama 21 hari tinggal bersama dalam

satu rumah dengan saling mencintai satu sama lain, maka sudah seharusnya masa ‘iddah

akibat pembatalan perkawinan tersebut diperhitungkan bagi Pemohon. Karena masa ‘iddah

tidak melihat dari sebab putusnya perkawinan oleh karena perceraian maupun oleh putusan

pengadilan atau pembatalan perkawinan melainkan dilihat dari kondisi pihak perempuannya

itu sendiri.

Apabila perempuan yang putus perkawinannya dalam masa produktif atau masih

mengalami haid maka baginya ‘iddah selama 3 kali suci. Sedangkan apabila perempuan yang

putus perkawinannya belum pernah mengalami haid, maka ‘iddah baginya 3 bulan saja,

sedangkan bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya maka masa ‘iddahnya adalah 4

bulan 10 hari, karena perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dimungkinkan tidak

mengetahui apabila ia tengah mengandung karena kesedihannya, namun pada usia 4 bulan

kandungan waktu Allah SWT meniupkan ruh kedalam rahimnya barulah ia tersadar, maka

dari itu ia harus menunggu waktu dimana ia telah memastikan apabila rahimnya benar-benar

kosong. Begitu juga dengan Putusan Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno yang tidak di

tegaskan berapa lama waktu yang harus dilalui oleh perempuan yang tengah hamil tersebut.

Seharusnya Hakim dalam memutuskan perkara memberi tahukan di dalam putusan apabila ia

harus menunggu hingga ia melahirkan anak di dalam kandungannya terlebih dahulu apabila

ia akan menikah kembali dengan laki-laki lain.

Beberapa hal yang dikemukakan langsung oleh Allah SWT dalam Qur’an Surat an-

Nisa ayat 228 mengenai kegunaan adanya masa ‘iddah ini adalah: 25

24 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, cet.1, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), hal. 379.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 13: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

a. Memberikan suatu jangka waktu kepada suami isteri yang mungkin masih panas-

panasnya menghadapi suatu kekeruhan rumah tangga yang telah sampai pada puncak

keributan besar hingga terjadi perceraian, agar waktu ini menenangkan fikirannya.

Apabila fikiran mereka telah dingin kembali, mungkin hasutan-hasutan syaitan lahir

atau batin telah tidak berpengaruh lagi atau setidak-tidaknya berkurang pengaruhnya,

menjadi sangat mungkin akan timbul kejernihan fikiran kembali. Dengan demikian

diharapkan si suami akan rujuk atau kembali kepada istrinya dan begitupun si istri

tidak menolak rujuk suaminya itu. Sehingga mereka menjadi suami istri yang baik

kemudiannya.

b. Juga selama masa ‘iddah itu yang berkisar antara tiga atau empat bulan akan dapat

diketahui apakah si wanita itu sedang hamil atau tidak. Dengan demikian

diusahakanlah menjadikan suatu ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si

anak yang seandainya telah ada dalam rahim perempuan tersebut.

Arti masa ‘iddah dapat dilihat dari dua segi pandangan, yaitu:26

a. Segi kemungkinan keutuhan perkawinan.

Tenggang waktu sesudah jatuh talak, dimana suami dapat merujuk kepada

isterinya.

b. Segi si istri

Tenggang waktu dimana si istri belum dapat melangsungkan perkawinan baru

dengan pria lain.

Menurut Sayyid Sabiq hikmah di balik pemberlakuan ‘iddah adalah sebagai berikut

:27

1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara

keturunan seorang laki-laki dengan yang laki-laki lainnya.

2. Memberi kesempatan kepada suami isteri yang berpisah untuk kembali membina rumah

tangga yang diharapkan member kebaikan bagi suami istri..

3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang arif

mengkaji masalahnya dan memberikan waktu untuk berpikir panjang. Jika tidak diberi

25 Thalib, Op. Cit., hal.122. 26 Anshori Umar Sitanggal, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa’, tanpa tahun), hal. 122. 27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. 1, (Bandung: Alma’arif, 1987), hal. 140.

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 14: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar

disusun, sebentar lagi dirusaknya.

4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri sama-sama hidup

lama dalam ikatan akadnya. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan

tersebut, maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan tersebut harus diberi

tempo beberapa saat memikirkannya dan memperhatikan apa kerugiannya.

Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini serta uraian dan penjelasan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

Masa ‘iddah harus dijalani perempuan yang putus perkawinannya termasuk akibat

pembatalan perkawinan sebelum ia menikah kembali dengan laki-laki lain. Mengenai

ketentuan berapa lama masa ‘iddah yang harus dijalani perempuan yang dibatalkan

perkawinanya atau fasakh mengacu pada Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, dimana waktu

‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku ‘iddah

talak. Tujuan dari masa ‘iddah salah satunya antara lain adalah untuk menjaga kemurnian

benih yang ada di dalam rahim perempuan.

Hakim Pengadilan Agama dalam putusannya Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan

Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno belum menerapkan ketentuan hukum yang berlaku

mengenai masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah perkawinannya

putus. Menurut Hakim yang memutus perkara Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk bahwasanya

tidak dituliskan di dalam putusan karena memang tidak ada pengaturan yang mengharuskan

menulis aturan mengenai masa ‘iddah di dalam putusan. Namun, Hakim menyampaikan

secara lisan saja pada saat membacakan putusan untuk pihak perempuannya apabila ia harus

menjalani masa ‘iddah terlebih dahulu sebelum perempuan tersebut menikah kembali dengan

laki-laki lain.

Saran

1. Dalam hal memutuskan perkara perkawinan, seharusnya Hakim Pengadilan Agama

dalam putusannya menuliskan secara jelas masa ‘iddah yang harus dijalani perempuan

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 15: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

setelah perkawinannya putus, karena begitu pentingnya masa ‘iddah baik bagi

perempuan itu sendiri maupun janin yang ada di dalam rahimnya.

2. Para pasangan yang akan menikah seharusnya meneliti secara baik terlebih dahulu

calon pasangan yang akan dinikahi, agar setidaknya benar-benar mengetahui secara

jelas informasi yang ada pada calon pasangan suami atau istri tersebut, baik itu dari

agama maupun dari kondisinya agar pada selanjutnya tidak ada lagi pihak yang merasa

tertipu dengan laki-laki atau perempuan yang telah dinikahinya. Sehingga pembatalan-

pembatalan perkawinan ataupun perceraian di kemudian hari tidak terjadi lagi pada

pasangan-pasangan selanjutnya.

3. Bagi pihak perempuan agar mencari tahu ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh

Allah SWT mengenai dirinya. Termasuk ketentuan mengenai masa ‘iddah. Bukan saja

hanya untuk perempuan yang mengalami putus perkawinan saja, namun juga kepada

perempuan yang tetap terjaga perkawinannya agar perempuan tersebut dapat

memberitahukan hal tersebut kepada perempuan lain yang putus perkawinannya

sedang ia tidak mengetahui ketentuan mengenai masa ‘iddah tersebut.

4. Kepada lembaga-lembaga baik dari lembaga agama maupun sosial khususnya yang

berjalan di bidang pemberdayaan perempuan, agar dapat mensosialisasikan mengenai

ketentuan waktu tunggu atau masa ‘iddah tersebut kepada para perempuan agar

menambah pengetahuan mereka betapa pentingnya masa ‘iddah tersebut tidak hanya

bagi dirinya, melainkan bagi calon janin yang ada di dalam kandungannya, serta

menjadikan suatu kesempatan pula dimana mereka masih dapat rujuk dengan

suaminya.

Daftar Referensi

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta,UII Press, 2000)

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam, cet.1, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988)

Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata, jilid 1, (Jakarta: Rizkita, 2009)

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014

Page 16: MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU …

Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam

di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998)

Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh

Yayayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Darus

Sunnah, 2002)

Indonesia (a), Undang-undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019.

Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, LN

No. 9 Tahun 1975, TLN No. 3050

Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mahzab diterjemahkan oleh Masykur

A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, cet. 5, (Jakarta: PT Lentera

Basritama,1999)

Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh. Fiqih Wanita diterjemahkan oleh M. Abdul

Ghoffar. (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 1998)

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011)

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, cet. 1, (Bandung: Alma’arif, 1987.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, cet.6, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003)

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986)

Umar Sitanggal, Anshori. Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa’, tanpa tahun)

Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014