kedudukan ahli waris istri setelah perkawinan …€¦ · pembatalan perkawinan adalah pembatalan...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN AHLI WARIS ISTRI SETELAH PERKAWINAN
DIBATALKAN (STUDI PUTUSAN NOMOR: 568.K/AG/2017)
JURNAL ILMIAH
Oleh:
ARI ADE KAMULA
D1A115031
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
KEDUDUKAN AHLI WARIS ISTRI SETELAH PERKAWINAN
DIBATALKAN (STUDI PUTUSAN NOMOR: 568.K/AG/2017)
Oleh:
ARI ADE KAMULA
D1A115031
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
(H. Israfil., SH., M.Hum)
NIP.195703021986031003
KEDUDUKAN AHLI WARIS ISTRI SETELAH PERKAWINAN DIBATALKAN
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 568.K/AG/2017)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ARI ADE KAMULA
D1A115031
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkama
Agung Nomor: 568.K/AG/2017., dalam memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Agama
Mataram Nomor: 0007/Pdt.G/2017/PTA. MTR., tentang pembatalan perkawinan dan untuk
mengetahui kedudukan ahli waris istri setelah perkawinan dibatalkan. Jenis penelitian ini adalah
penelitian normative, menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual,
pendekatan kasus. Majelis Hakim Mahkama Agung dalam putusanya memperkuat putusan
Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang dalam putusanya menyatakan perkawinan antara
almarhum Eddy Supratman dengan Hj. Ismayani tidak sah. Putusan tersebut bertentangan
dengan putusan Pengadilan Agama Praya Nomor: 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra., yang dalam
putusanya menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Kedudukan istri sebagai ahli waris akan
hilang setelah perkawinan diputuskan tidak sah oleh pengadilan.
Kata kunci: Putusan, Pembatalan, Kedudukan Ahli Waris
ABSTRACT
THE STANDING OF A WIFE AS A HEIR POST MARRIAGE NULLIFICATION (A
REVIEW OF DECREE NO: 568.K/AG/2017)
This research aims to figure out the legal consideration that was used by the panel of judges of
the Supreme Court in issuing the decree 568.K/AG/2017, which confirmed the decree of High
Court of Mataram 0007/Pdt.G/2017/PTA.MTR about marriage nullification. Another objective is
to identify the standing of the wife as a heir of her late husband after the decree was issued. This
research is a normative research, which analyze literature with regulation, conceptual, and case
approach. Finding of this research shows that the decree issued by the Supreme Court, which
confirmed the one issued by the High Court of Mataram, states that the marriage between the
late Eddy Supratman and Hj. Ismayani was invalid. However, that decree is contradictory with
the decree of the Religious Court of Praya No:0087/Pdt.G/2016/PA.Pra, According to the
analysis, the case of marriage nullification is supposed to be decided by Religious Court instead
of District Court and High Court as it is the domain of Religious Court.
Keywords: Decree, Nullification, the Standing as a Heir
i
I. PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami atau istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Indonesia.1
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, mengatur mengenai syarat sahnya perkawinan, yaitu:2
“(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukakan menurut hukum masing
masing agama dan kepercayaanya itu; (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Perkawinan dikatakan sah apabila secara hukum Agama dan hukum
Negara perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat-
syarat perkawinan serta dicatatkan oleh Negara.
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat putus karena:
a.Kematian; b.Perceraian dan; c.Atas Keputusan Pengadilan.”3
Meninggalnya salah satu pihak dalam perkawinan baik itu suami/istri
akan menimbulkan hak mewarisi bagi istri/suami dan anak, terhadap harta yang
1 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, (LNRI No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019), Pasal 1 2 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, (LNRI No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019), Pasal 2 3 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, (LNRI No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019), Pasal 38
ditinggalkan. Hubungan mewarisi antara suami dan istri adalah ketika pewaris
pada saat meninggal dunia masih dalam ikatan perkawinan sah dengan
pasangan yang hidup terlama.4
Selain akibat kematian, putusnya suatu perkawinan dapat juga disebabkan
karena adanya pembatalan perkawinan oleh putusan pengadilan. Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkannya
akad nikah.5 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa:
”Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melaksanakan perkawinan”.6
Salah satu contoh kasus pembatalan perkawinan adalah dalam Perkara
Nomor: 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra. putusnya perkawinan terjadi karena adanya
poligami yang dilakukan oleh suami dan poliandri yang dilakukan oleh istri
serta adanya pemalsuan identitas yang dilakukan keduanya. Putusnya
perkawinan akibat pembatalan dapat menimbulkan akibat hukum baru bagi para
pihak, terutama ketika salah satu pihak meninggal dunia. Meninggalnya salah
satu pihak dalam perkawinan menyebabkan timbulnya hak mewarisi bagi istri
atau suami yang ditinggalkan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan suatu penelitian dengan Judul: “Kedudukan Ahli Waris Istri Setelah
Perkawinan Dibatalkan (Studi Putusan Nomor: 568.K/AG/2017).
4 H.M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktek, Cet. 2, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2017, hlm. 28 5 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 37
6 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, (LNRI No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019), Pasal 22
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah dasar pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Nomor: 568.K/AG/2017. terkait
pembatalan perkawinan? 2. Bagaimakah kedudukan Ahli Waris Istri setelah
perkawinan dibatalkan berdasarkan putusan Nomor: 568.K/AG/2017?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dasar
pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam Putusan
Nomor: 568.K/AG/2017. terkait pembatalan perkawinan. 2. Untuk mengetahui
kedudukan ahli waris istri setelah perkawinan tersebut dibatalkan berdasarkan
Putusan Nomor: 568.K/AG/2017.
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat
Teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dan peningkatan ilmu khususnya dalam bidang perkawinan. 2.
Manfaat Praktis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan dan sumber
informasi bagi kalangan penegak hukum dalam masalah kedudukan ahli waris
istri setelah perkawinan dibatalkan.
Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah: 1. Jenis
penelitian hukum normatif, 2. Metode pendekatan yang digunakan yaitu
Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan
konseptual (conceptual approach), Pendektan kasus (case approach). 4. Teknik
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi dokumen. 5.
Analisis bahan hukum yang digunakan yaitu analisis secara kualitatif.
II. PEMBAHASAN
Dasar Pertimbangan Hukum Yang Digunakan Oleh Majelis Hakim
Dalam Putusan Nomor: 568.K/AG/2017.
Berdasarkan putusan Nomor : 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra. yang dibatalkan
oleh Putusan Nomor: 007/Pdt.G/2017/PTA.MTR. dan dikuatkan oleh Putusan
Mahkama Agung Nomor: 568.K/AG/2017. yang penulis teliti, bahwa yang
menjadi dasar pengajuan gugatan adalah karena diduga adanya perkawinan
poligami dan poliandri dalam Perkawinan antara Almarhum Eddy Supratman
SH dan Hj. Ismayani. Perkawinan terebut dilakukan tanpa ada persetujuan
dari istri dan suami terdahulu, serta tidak ada ijin dari pengadilan agama untuk
melakukan poligami dan poliandri. Selain itu, adanya terdapat pemalsuan
identitas (data palsu) dengan mengaku berstatus Jejaka dan Perawan dalam
status pernikah antara Almarhum Eddy Supratman, SH dan Hj. Ismayani. Saat
Almarhum Eddy Supratman, SH meninggal dunia, beliau meninggalkan Ahli
Waris dan sejumlah harta warisan, namun sebagian besar harta warisan
tersebut dikuasai secara melawan hukum oleh Hj. Ismayani.
Dalam perkara tersebut, putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap
adalah Putusan Mahkama Agung Nomor: 568.K/AG/2017., sebagaimana
dalam pertimbangan Hakim Mahkama Agung menyatakan bahwa alasan-
alasan permohonan kasasai tidak dapat dibenarkan, oleh karenanya putusan
Judx Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang
membatalkan Putusan Pengadilan Agama Praya tidak salah dalam
menerapkan hukum, karena putusanya telah didasarkan pada pertimbangan
yang tepat dan benar.7
Pertimbangan hukum Hakim pengadilan Tinggi Agama Mataram
memutus mengadili sendiri dalam putusanya. Putusan pengadilan Tinggi
Agama Mataram membatalkan Putusan Pengadilan Agama Praya Nomor
0087/Pdt.G/20016/PA.Pra tanggal 25 Oktober 2016, sebagaimana dalam amar
putusanya menyatakan bahwa: 1.Mengabulkan gugatan penggugatan para
penggugat sebagian; 2.Menyatakan perkawinan Eddy Supratman bin
Muhammad dengan Ismayani binti H. ismail yang dilaksanakan pada tanggal
17 Desember 2000 tidak sah; 3.Menyatakan kutipan akta nikah yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Praya tengah,
Kabupaten Lombok Tengah Nomor 288/38/IV/2012 tanggal 13 April 2012
tidak berkekuatan hukum; 4.Menolak gugatan Para Penggugat selainya.8
Dalam perkara a quo dijelaskan bahwa berdasarkan alat bukti dan
keterangan para saksi dalam persidangan para penggugat dapat membuktikan
dalil-dalil gugatanya, bahwa benar perkawinan antara almarhum Eddy
Supratman, SH bin Muhammad dengan Hj. Ismayani binti H. Ismail pada
tanggal 17 Desember 2000, terdapat halangan perkawinan, karena dalam
7 Salinan Putusan MA Nomor: 568.K/AG/2017
8 Salinan Putusan PTA Mataram Nomor: 0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr.
perkawinan tersebut almarhum Eddy Supratman, SH terbukti masih terikat
perkawinan dengan Elma Nuraida binti sahar, dan Hj. Ismayani binti Hj.
Ismail pada saat perkawinan juga masih terikat perkawinan dengan laki-laki
lain yaitu Sukarman bin Amaq Suhaimi yang menikah pada tanggal 25
Oktober 1999.
Berdasarkan hal tersebut yang menjadi dasar pertimbangan hukum
yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara pembatalan
perkawinan dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor :
0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr. adalah Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, Pasal 40 huruf (a), Pasal 71 huruf (a) dan huruf (b),
serta Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. 9
Menurut penulis, Putusan Mahkama Agung Nomor: 568.K/AG/2017.,
dalam memperkuat Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor:
0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr., sudah tepat. Berdasarkan Judex Facti dalam
Pengadilan Tinggi Agama Mataram tidak salah dalam menerapkan hukum,
perkara tersebut merupakan perkara dalam bidang perkwinan. Perkara tersebut
sudah memenuhi syarat untuk dapat diterima gugatanya dan menjadi
kopentesi dari Pengadilan Agama. Hal ini tidak sesuai dengan Putusan
Pengadilan Agama Praya Nomor: 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra. yang memutus
perkara dengan tidak menerima gugatan para penggugat seluruhnya.10
Hakim
9 Salinan Putusan PTA Mataram Nomor: 0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr.
10 Salinan Putusan PA Praya Nomor: 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra.
pengadilan Agama Praya memutus dengan alasan bahwa dalam perkara
tersebut terkandung unsur pidana sehingga hakim Pengdilan Agama Praya
harus menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut. Dalam hal ini, Penulis tidak sependapat dengan Putusan Pengadilan
Agama Peraya Nomor: 0087/Pdt.G/2016/PA.Pra. karena berdasarkan
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
perkara tersebut termasuk dalam perkara Perkawinan yang merupakan
kewenangan Pengadilan Agama.
Menurut pernyataan Abdul Manan yang dikutip oleh Aris Bintania,
bahwa suatu gugatan untuk dapat diterima dan diselesaikan oleh Pengadilan,
harus terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan. Diataranya adanya dasar
hukum, adanya kepentingan hukum serta adanya sengketa.11
Dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa keluarga
dalam garis keturunan lurus ke bawah dalam hal ini anak dapat mengajukan
pembatalan perkawinan terhadap perkawinan orang tuanya.
Terkait dengan permasalahan kewarisan dimana diputuskannya
pembatalan perkawinan setelah salah satu pihak meninggal dunia, dalam
putusan tersebut tidak ada keterangan yang menetapkan dan menjelaskan
11
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, Rajawali
pers, Jakarta, 2012, hlm. 4-6
mengenai hak dan kedudukan istri sebagai ahli waris setelah almarhum suami
meninggal dunia.
Kedudukan Ahli Waris Istri Setelah Perkawinan Dibatalkan
Pada Putusan Nomor: 0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr., menjatukan putusan
dengan menyatakan perkawinan Eddy Supratman bin Muhammd dengan Hj.
Ismayani binti H. Ismail yang dilangsungkan pada tanggal 17 Desember 2000
tidak sah dan menyatakan Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah
Nomor 288/38/IV/2012 tanggal 13 april 2012 tidak berkekuatan hukum.
Dengan demikian perkawinan antara Almarhum Eddy Supratman dengan Hj.
Ismayani dianggap batal atau tidak pernah ada. Putusan tersebut dikeluarkan
setelah Almarhum Eddy Supratman meninggal dunia.
Meninggalnya salah satu pihak dalam perkawinan dengan sendirinya
akan menyebabkan perkawinan tersebut putus. Dengan meninggalnya salah
satu pihak, maka pihak lain berhak mewarisi atas harta peninggalan yang
meninggal.12
Dalam hal ini dengan sendirinya istri memiliki kedudukan
sebagai ahli waris ketika suami meninggal dunia.
12
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.6,
Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 120
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.13
Dalam hukum Islam terdapat beberapa asas yang terkait dengan hukum
kewarisan islam diantaranya:14
a .Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti
bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya. b. Asas bilateral
dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian
warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari
kerabat keturunan perempuan. c. Asas individual dalam hukum kewarisan
Islam berarti harta warisan dapat dibagi kepada ahli waris untuk dimiliki
secara perorangan. d. Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam
berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Dalam hukum kewarisan Islam
ditemukan adanya prinsip dua berbanding satu, artinya anak laki-laki
mendapatkan bagian dua kali bagian anak perempuan. e. Asas akibat kematian
dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia. Kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang.
13
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 1 tahun 1991, (LLSN Tahun 1991), Pasal
171 huruf c 14 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004. hlm. 17-18
Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa kelompok
yang dapat menerima warisan sebagai berikut:15
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a) Menurut hubungan darah:
(1) golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek;
(2) golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek;
b) menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan
bagian”.16
Mengenai hak dan kedudukan ahli waris istri yang ditinggalkan terhadap
harta peninggalan pewaris tidak ditetapkan dalam Putusan Nomor:
0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr. Namun, menurut penulis dalam hal terjadinya
pembatalan perkawinan setelah salah satu pihak meninggal dunia, segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah mewarisi tersebut dapat
diselesaikan secara musyawarah antara keluarga para ahli waris, jadi dapat
disimpulkan bahwa hak dan kedudukan istri akibat dari putusan pembatalan
perkawinan tersebut dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat bagi para
pihak.
15
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 1 tahun 1991, (LLSN Tahun 1991) 16
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 1 tahun 1991, (LLSN Tahun 1991), Pasal
180
Dalam Pasal 171 huruf c KHI ditegaskan bahwa yang disebutkan ahli
waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal:17
1.Memiliki hubungan
darah dengan pewaris; 2.Memiliki hubungan perkawinan dengan pewaris
duda atau janda; 3.Beragama Islam; 4.Tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Akibat batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa
keputusan tidak berlaku surut terhadap:18
1.Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut; 2.Suami atau istri yang beritikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bilamana pembatalan perkawinan didasarkan atas perkawinan
yang lain yang terlebih dahulu (perkawinan rangkap); 3. Orang ketiga lainya
tidak termasuk dalam sub a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Dari beberapa penjelasan di atas, putusnya perkawinan akibat kematiaan
akan menimbulkan hak mewarisi bagi istri yang ditinggalkan. Berdasarkan
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam Hak mewarisi tersebut timbul
akibat adanya ikatan perlawinan yang sah. Hak mewarisi tersebut akan hilang
apabila perkawinan tersebut diputuskan batal oleh pengadilan. Akibat putusan
17
Irma Devita Purnamasari, Dalam Riki Budi Aji, Perbandingan Pembagian Warisan Untuk
Janda Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam, JOM Fakultas
Hukum Vol. 1 Nomor 1 Februari 2015, hlm. 9 18
R. Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di
Indonesia, Cet. 5, Airlangga University Perss, Surabaya, 2012, hlm. 87-89
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap Suami atau istri yang
beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bilamana pembatalan
perkawinan didasarkan atas perkawinan yang lain yang terlebih dahulu
(perkawinan rangkap).19
Berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam setelah
Pengadilan Tinggi Agama Mataram memutus perkara Nomor:
0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr. dengan isi putusan menyatakan perkawinan Eddy
Supratman bin Muhammad dengan Ismayani binti H. Ismail yang
dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2000 tidak sah,20
yang diperkuat
dengan putusan Mahkama Agung Nomor: 568.K/AG/2017, maka Hj. Ismani
tidak lagi berkedudukan sebagai ahli waris dari harta peninggalan Almarhum
Eddy Supratman. Kedudukan ahli waris dari harta peninggalan almarhum
Eddy Supratman beralih yang dari awalnya Hj. Ismayani berkedudkan sebagai
ahli waris kemudian setelah dikeluarkanya putusan inkrah kedudukan tersebut
berpindah keanak dari perkawinan antara almarhum Eddy Supratman dengan
Emi Nuraida yaitu Erisa Septiani dan Achmad Jaka Dwena Putra.
19
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU NO. 1 Tahun 1974, (LNRI No. 1
Tahun 1974, TLN No. 3019), Pasal 28 ayat (2) huruf b 20
Salinan Putusan PTA Mataram Nomor: 0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkama
Agung Nomor: 568.K/AG/2017. tentang Kedudukan Ahli Waris Istri Setelah
Perkawinan Dibatalkan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut: 1. Pertimbangan Hakim Mahkama Agung Nomor: 568.K/AG/2017
dalam memperkuat Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor:
0007/Pdt.G/2017/PTA.Mtr. sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 40 huruf (a), Pasal 71 huruf (a) dan
huruf (b), serta Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Mataram dalam amar putusanya menyatakan perkawinan
antara Almarhum Eddy Supratmann dengan Hj. Ismayani tidak sah atau tidak
pernah ada, meski gugatan tersebut diajukan setelah meninggalnya Eddy
Supratman; 2. Kedudukan istri sebagai ahli waris akan hilang setelah
perkawinan diputuskan batal oleh pengadilan, hal ini berdasarkan pasal 171
huruf c menjelaskan bahwa ahli waris adalah orang yang memiliki hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Namun, tetap ada
pembagian harta bersama apabila para pihak beritikat baik dan dalam
perkawinan tersebut tidak terdapat unsur kesengajaan dalam arti tidak ada
unsur kesengajaan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar
hukum yang berlaku, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (2) huruf b.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka penulis
mengajukan saran sebagai berikut: 1.Bagi pegawai pencatat akta nikah,
hendaknya meneliti dan berhati-hati dalam melakukan pencatatan akta nikah,
agar tidak merugikan para pihak ketika akta nika tersebut diterbitkan;
2.Mengenai peraturan Perundang-undnagan yang telah penulis teliti,
diharapkan diperjelas agar tidak terjadi penafsiran yang dapat merugikan para
pihak dalam penyelesaian suatu perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Aris Bimantara, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqih Al-
Qadha, Rajawali Pers, 2012.
H.M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam Dalam Teori Dan Praktek, Cet.
2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017.
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,
Cet. 6, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2007.
R. Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam perundang-undangan
perkawinan di Indonesia, Cet. 5, Airlangga University Perss,
Surabaya, 2012.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2007.
Udang-Undang
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
(LNRI No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019).
Indonesia, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.