murabahah

22
Kajian Reguler Pusat Kajian Ekonomi Islam (PAKEIS) ICMI Orsat Kairo, Level II Selasa, 6 November 2012 di Kantor ICMI Pembimbing: M. Rifqi Arriza, Lc. dan Azmi Ismail, Lc, Dipl Akad Bai’ Murabahah Oleh: Amal Khairat, Umar Abdullah, Lukmanul Hakim, Agususanto dan Hafiz Risal Mansyur Pendahuluan Dewasa ini, jual-beli murabahah menjadi salah satu skim fikih yang paling populer dan mendominasi sebagai salah satu produk unggulan berbagai bank syariah di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya porduk ini, timbul statemen yang mengecam dan mengkritik bahkan mengatakan bahwa murabahah tak lain hanyalah perwujudan lain dari riba. Namun di sisi lain, banyak pula yang mendukung produk perbankan syariah ini, semua pihak mengemukakan berbagai alasan dalam statemennya. Keambiguitasan ini memperburuk citra perbankan syariah di mata masyarakat. Padahal ketika dikaji lebih lanjut, sistem jual-beli murabahah ini merupakan akad jual-beli yang telah dilegalkan dalam agama Islam. Dari sisi hikmah terminologi, kata murabahah merupakan salah satu bentuk perubahan kata dalam gramatikal bahasa Arab yang mengindikasi ‘saling menguntungkan’ ( karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak penjual saling menguntungkan, penjual bertambah modal dagangannya dan pembeli bertambah aset usahanya). Dalam prakteknya, sistem murabahah mulai dikenalkan kepada masyarakat Indonesia sudah sejak lama. Namun ironisnya, seiring berkembangnya perekonomian dunia, sistem murabahah telah diadopsi perbankkan konvensional untuk meneruskan praktik riba dengan penamaan tersebut. Tidak sedikit masyarakat awam yang tertipu terhadap hal ini, karena sistem riba telah terbungkus rapi dengan istilah ekonomi yang Islami –sistem murabahah. Definisi Bai’ al-Murabahah 1

Upload: rey-adeni

Post on 04-Aug-2015

224 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kajian pakeis 6 november 2012

TRANSCRIPT

Page 1: murabahah

Kajian Reguler Pusat Kajian Ekonomi Islam(PAKEIS) ICMI Orsat Kairo, Level II

Selasa, 6 November 2012 di Kantor ICMIPembimbing: M. Rifqi Arriza, Lc. dan Azmi Ismail, Lc, Dipl

Akad Bai’ MurabahahOleh: Amal Khairat, Umar Abdullah, Lukmanul Hakim, Agususanto dan Hafiz Risal Mansyur

Pendahuluan

Dewasa ini, jual-beli murabahah menjadi salah satu skim fikih yang paling populer dan mendominasi sebagai salah satu produk unggulan berbagai bank syariah di Indonesia maupun dunia. Dengan berkembangnya porduk ini, timbul statemen yang mengecam dan mengkritik bahkan mengatakan bahwa murabahah tak lain hanyalah perwujudan lain dari riba. Namun di sisi lain, banyak pula yang mendukung produk perbankan syariah ini, semua pihak mengemukakan berbagai alasan dalam statemennya.

Keambiguitasan ini memperburuk citra perbankan syariah di mata masyarakat. Padahal ketika dikaji lebih lanjut, sistem jual-beli murabahah ini merupakan akad jual-beli yang telah dilegalkan dalam agama Islam. Dari sisi hikmah terminologi, kata murabahah merupakan salah satu bentuk perubahan kata dalam gramatikal bahasa Arab yang mengindikasi ‘saling menguntungkan’ (karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak penjual saling menguntungkan, penjual bertambah modal dagangannya dan pembeli bertambah aset usahanya).

Dalam prakteknya, sistem murabahah mulai dikenalkan kepada masyarakat Indonesia sudah sejak lama. Namun ironisnya, seiring berkembangnya perekonomian dunia, sistem murabahah telah diadopsi perbankkan konvensional untuk meneruskan praktik riba dengan penamaan tersebut. Tidak sedikit masyarakat awam yang tertipu terhadap hal ini, karena sistem riba telah terbungkus rapi dengan istilah ekonomi yang Islami –sistem murabahah.

Definisi Bai’ al-Murabahah

Untuk mendefnisikan Bai’ al-Murabahah perlu diketahui bahwasanya kalimat ini terdiri dari dua suku kata berasal dari bahasa Arab yaitu Bai’ dan al-Murabahah, untuk itulah kita harus mengetahui definisi dari masing-masing suku kata tersebut.

Pertama bai’ atau Jual-beli dalam hukum Islam diartikan sebagai suatu akad yang dibuat atas dasar kata sepakat antara dua pihak untuk melakukan tukar-menukar suatu benda dengan benda lain sebagai imbalan dengan memindahkan hak milik atas masing-masing benda itu dari pihak yang satu kepada pihak lain. Dalam hukum Islam, jual-beli meliputi tukar menukar barang dengan barang (barter, bai’ al-muqayadah), uang dengan uang (as-sarf), dan uang dengan barang (bai’ al-mutlaq).

Berdasarkan salah satu kategorinya, jual-beli dibedakan menjadi jual-beli tawar-menawar (bai’ al-musawamah), dan jual-beli amanah/kepercayaan (bai’ al-amanah). Yang dimaksud jual-beli tawar-menawar (al-musawamah) adalah suatu bentuk jual-beli yang

1

Page 2: murabahah

dikenal dalam fikih di mana pembeli tidak diberi tahu harga pokok barang yang dibeli oleh penjual. Sedangkan jual-beli kepercayaan (al-amanah) adalah suatu bentuk jual-beli di mana pembeli diberi tahu secara jujur harga pokok barang. Dengan demikian, pembeli mengetahui besarnya keuntungan yang diambil penjual. Adanya bentuk jual-beli jenis kedua ini dimaksudkan untuk mempertegas penerapan nilai-nilai etika bisnis Islam yang menghendaki adanya kejujuran sedemikian rupa dalam transaksi serta tidak membenarkan adanya penipuan (garar) dalam bentuk apapun, sehingga suatu kebohongan semata dianggap sebagai pengkhianatan dan penipuan yang berakibat dapat dibatalkannya transaksi tersebut. Bahkan diam semata juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk cacat kehendak (yaitu penipuan). Bentuk jual-beli ini bertujuan untuk melindungi orang yang tidak berpengalaman dan kurang informasi dalam transaksi, sehingga terhindar dari penipuan. Disebut jual-beli kepercayan (bai’ al-amanah), karena pembeli bersandar pada kejujuran penjual semata tentang informasi harga barang yang dibelinya.1

Jual-beli amanah (bai’ al-amanah) ini dalam fiqih Islam dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

1. Jual-beli murabahah (bai’ al-murabahah)Yaitu menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan.

2. Jual-beli di bawah harga pokok (bai’ al-wadi’ah)Yaitu menjual dengan harga jual di bawah harga asal dengan pengurangan yang diketahui.

3. Jual-beli kembali modal (bai’ at-tauliyah)Yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.

4. Jual-beli mengikutsertakan (bai’ al-isyrak)Yaitu pembeli membeli sebagian dari barang sesuai dengan prosentase harga pokok, sehingga pembeli bersekutu dengan penjual dalam pemilikan barang tersebut.2

Kedua al-Murabahah namun sebelum mendefinisikan murabahah, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu sistem ini secara historis. Dalam kitab Hâsyiyatu al-Mukhtâr karangan Ibnu Abidin, dapat dikonklusikan bahwa sistem jual-beli ini merupakan hasil adopsi dari sistem jual-beli di Persia yang merupakan negara adidaya saat itu pada abad pertama Hijriyah.

Secara etimologis, murabahah merupakan istilah serapan dari bahasa Arab dalam ranah ekonomi. diambil dari kata al-ribhu (الربح) yang berarti sesuatu yang tumbuh dalam

1 As-Sanhuri, Mashadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami (Beirut : Dar al-Fikr, t. t.), juz II, h. 166. 2 Ibid. h. 166-167 dan Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), jld. IV, h. 703. Juga ‘Ala’ ad-Din Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), cet. I, juz V, h. 331.

2

Page 3: murabahah

dagangan ( التجارة في atau kelebihan dan tambahan (keuntungan).4 Dan istilah ( 3النماءyang biasa digunakan dalam ekonomi adalah margin (kbbi: laba bruto).

Sedangkan secara terminologis menurut tiga mazhab umumnya; menurut ulama Syafi’iah, murabahah adalah penjualan komoditas dengan harga asli yang disertai dengan keuntungan dan syarat-syarat tertentu. Menurut ulama Hanafiah, murabahah adalah jual-beli dengan harga yang sama seperti harga pembelian (modal) yang ditambahi keuntungan. Dan menurut ulama Hanabilah, murabahah adalah jual-beli dengan harga modal yang ditambahi keuntungan yang diketahui.5

Definisi murabahah menurut ulama kontemporer tidak jauh berbeda. Wahbah al-Zuhaily sendiri mendefinisikan murabahah sebagai jual-beli dengan harga awal ditambah keuntungan.6 Sekilas dilihat dari definisi yang dilontarkan di atas, jual-beli murabahah seperti jual-beli yang lumrah dipraktikkan oleh masyarakat kita, akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, ada ketentuan-ketentuan yang menjadi karakteristik unggulan sistem ini, salah satunya; penjual harus memberitahukan harga asli dan keuntungan yang diinginkannya dari jual-beli itu.

Dalam kitab Bidâyatu al-Mujtahid, secara umum ulama membagi akad jual-beli menjadi dua; jual-beli musâwamah dan murabahah.7 Salah satu sisi yang membedakan jual-beli murabahah dengan jual-beli musawamah8 adalah transparansi harga beli (modal penjual) dan keuntungan yang diraupnya.

Murabahah termasuk dalam salah satu jual-beli yang bersifat amanah (buyû’ al-amânah).9 Istilah ini dikarenakan dalam praktiknya, jual-beli ini bergantung kepada amanah penjual dalam transparansi terhadap nilai jual suatu komoditas.10

Jual-beli murabahah memang tidak secara terang-terangan disebutkan dalam Alquran dan Hadis, akan tetapi secara ijmak ulama, sistem jual-beli ini dibolehkan. Karena

3 Kamus Lisânu al-‘Arâb. " ح – – ب "ر4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, hal. 463.5 Ibnu Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid, Darussalam, Kairo, 2009, hal. 1763.6 Wahbah Al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islâmy wa al-qadhâyâ al-mu’âshirah, jilid IV, Darul Fikr, Damaskus, 2010, hal. 491.7 Ibnu Rusyd, op.cit, hal. 1763.8 Jual-beli musawamah adalah jual-beli yang dalam praktiknya penjual tidak menyebutkan harga modal dan penentuan keuntungan yang diambilnya, jual-beli ini yang umumnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Lih. Wahbah Al-Zuhaily, Al-fiqh al-Islâmy wa al-qadhâyâ al-mu’âshirah, jilid IV, Darul Fikr, Damaskus, 2010, hal. 491.9 Wahbah Al-Zuhaily menyebutkan ada 4 mecam jual-beli yang bersifat amanah (buyû’ al-amânah):

Jual-beli murabahah, jual-beli dengan harga awal dan ditambah keuntungan dalam bentuk nominal langsung ataupun persenan.

Jual-beli tauliyah, harga jual sama dengan harga beli (sama dengan modal awal), seakan-akan pembeli menggantikan posisi penjual.

Jual-beli isyrâk, menjual salah satu bagian dari komoditas dengan sebagian dari harga asli tanpa penambahan dan pengurangan terhadap harga asli.

Jual-beli wadhî’ah, penjualan dengan harga jual yang lebih murah dari harga beli (modal).10 Wahbah Al-Zuhaily, Al-wajîz fî al-fiqh al-islâmy, Darul Fikr, Damaskus, 2010, hal. 104.

3

Page 4: murabahah

sejatinya, esensi dalam perihal muamalah adalah legal (dibolehkan), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Dari definisi-definisi di atas dan literatur lainnya, murabahah klasik menurut penulis adalah akad jual-beli yang mana harga jual sama dengan harga beli –termasuk biaya pengadaan barang ditambah dengan margin secara transparan sesuai kesepakatan bersama antara penjual dan pembeli. Dan dapat dikonklusikan kesepakatan unsur-unsur dalam pendefinisian murabahah, yaitu: Pertama, harga pokok ditambah biaya-biaya pasti lainnya (cost) dalam pembelian/pengadaan barang.11 Dan kedua, keuntungan transparan yang disepakati.

Landasan Hukum Murabahah

Segala sesuatu di dunia ini tidaklah terlepas dari batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh hukum yang berlaku, adakalanya hukum itu adalah hukum syar’i atau wad’i. Sebagai seorang muslim hendaknya kita dalam setiap langkah yang dilakukan harus berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh syar’i atau qanûny, dari makan dan minum misalnya, Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara yang baik melalui lisan Rasulallah Saw. dan hukum Islamiah yang harus diprioritaskan untuk menjadi landasan setiap langkah-langkah yang kita lalui.

Di dalam Islam terdapat beberapa sumber hukum yang mukhtalaf fihi dan ada pula yang muttafaq ‘alaihi. Sumber hukum yang mukhtalaf fihi adalah sumber-sumber yang di mana para ulama berbeda pendapat dalam legalitasnya. Misalnya, istihsan; imam Syafi’i tidak menjadikannya sebagai sumber hukum, namun beberapa ulama mazhab lainnya berpendapat bahwa pengambilan hukum menggunakan cara tersebut boleh. ‘Amalu ahli Madinah, menurut imam Malik merupakan salah satu sumber hukum, akan tetapi tidak bagi imam-imam mazhab lainnya, dan beberapa sumber hukum lainnya yang menjadi titik perbedaan ulama dalam legalitasnya sebagai sandaran penentu sebuah hukum perkara.

Adapun sumber-sumber hukum Islam yang muttafaq ‘alaihi, adalah sumber hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama atas kelayakannya untuk dijadikan landasan hukum yaitu ada empat, yaitu Alquran, Sunah, Ijmak dan Kias.

Untuk permasalahan murabahah, Islam telah meletakkan landasan hukum yang menunjukkan kalau transaksi murabahah telah disyariatkan melalui sumber hukum yang muttafaq ‘alaihi, yaitu Alquran dan Sunah:

Firman Allah Swt. : ا� ب الر� م� و�ح�ر� �ع� �ي �ب ال الله! �ح�ل� ayat ini menunjukkan bahwa jual-beli itu ,وأhukumnya halal, kecuali sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Murabahah termasuk dalam klasifikasi jual-beli yang dibolehkan, karena tidak ada dalil sharîh yang mengharamkannya.

11 Dalam hal ini, dana-dana pengadaan barang yang berupa estimasi hanya ulama Hanafiah dan Syafiiah yang membolehkan dengan syarat perinciannya jelas.

4

Page 5: murabahah

Pada ayat lain, Alquran juga telah menegaskan tentang pensyariatan bolehnya akad jual-beli murabahah, Allah Swt. berfirman:

� ن�كم� م� ت�ر�اض ن� ع� ت�ج�ار�ة� ت�ك�ون� أن� ا�ال ل� ل�ب�اط� ب�ا ن�ك�م ب�ي� ال�ك�م� و� ا�م� ال�تأك�لوا ن�وا ا#م� ن� ي� اال%ذ� ا �ي'ه� ال�ت�قت ي# ا�و� ل�و�ا م� ي� ر�ح� ب�ك�م� ك�ان� اهللا� إ�ن ك�م� س� �ن�ف� .أ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu di antara kalian dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu.”

Transaksi yang dilarang adalah transaksi yang mengandung kebatilan, jual-beli murabahah adalah jual-beli yang berasaskan keridaan antara dua belah pihak, oleh karena itu jual-beli murbahah termasuk jual-beli yang di syariatkan.

Dalam kaidah fikih telah dikatakan اإلباحة األصل المعامالت في , hukum dasar muamalah adalah mubah, kecuali apabila ada dalil shorih yang melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum dasarnya adalah haram, kecuali ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah Swt.

Adapun mengenai operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.

Muamalah berbasis pada adanya ilat dan kemaslahatan, Allah Swt. tidak melarang jual-beli kecuali yang mengandung kezaliman atau dikhawatirkan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar manusia (red:kemudaratan).

2. Rukun-rukun murabahah

Rukun murabahah sama seperti rukun jual-beli, yaitu: al-âqidain, shîghah dan Ma'qûd ‘alaih.

1. Al-âqidain adalah penjual dan pembeli, keduanya disyaratkan memiliki sifat ahliyatu al-tasharruf menurut konsensus ulama.

2. Shîghah terdiri dari ijab dan kabul. Tetapi murabahah dapat terjadi dengan setiap lafaz yang menunjukkan murabahah itu sendiri dari beberpa lafaz, sama saja dua orang yang bertransaksi itu melafazkan atau menuliskannya atau tidak, sebagaimana sahnya akad menggunakan isyarah bagi orang yang tidak mampu untuk menuturkannya, Menurut Hanafiah ijab adalah ucapan yang pertama kali keluar, baik dari penjual atau pembeli, sedangkan kabul adalah jawaban setelah ijab, baik dari penjual atau pembeli. Dan menurut mayoritas ulama ijab adalah ucapan dari penjual, sedangkan kabul adalah ucapan pembeli.

5

Page 6: murabahah

3. Ma'qûd ‘alaih adalah harga dan barang yang dijadikan objek jual-beli. Para ulama sepakat bahwa ma'qûd ‘alaih harus memilik syarat-syarat sebagai berikut: Barang tersebut wujudnya ada, maka tidak boleh menjual barang yang

wujudnya tidak ada, kecuali akad salam. Barang tersebut dapat dikatagorikan sebagai harta, maka tidak boleh

menjual orang merdeka dan bangkai, karena tidak termasuk dalam katagori harta.

Barang tersebut bisa dimiliki, maka tidak sah menjual air sungai dan rumput di tanah bebas yang belum dimiliki.

Barang tersebut sudah menjadi milik penjual. Barang tersebut dapat diserahkan pada si pembeli. Barang tersebut bisa diketahui, baik dengan melihat langsung atau

menyebutkan sifat atau ukurannya. Barang tersebut bisa bermanfaat menurut hukum Islam, maka tidak boleh

menjual kalajengking dan lalat, karena tidak ada manfaatnya.12

Adapun syarat-syarat murabahah ada lima, yaitu:

1. Mengetahui harga awal: artinya bahwa harga yang pertama diketahui oleh pembeli kedua.

2. Mengetahui keuntungan yang didapat, karena keuntungan ini termasuk bagian harga, dan mengetahui harga merupakan syarat didalam kesahihan jual-beli.

3. Bahwa modal awal sesuatu yang tergolong di dalam al-Mitsliyat.4. Tidak menggunakan barang-barang ribawi dalam transaksi murabahah5. Bahwa akad yang pertama telah sah, kalau akad yang pertama tidak memenuhi

syarat sahnya transaksi jual-beli maka murabahah tidak dapat diteruskan atau rusak.13

Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)

Kita sudah mempelajari definisi akad murabahah di atas. Dalam praktiknya, memang tampak seperti jual-beli biasa, tetapi ada keistimewaan tersendiri dalam akad murabahah. Jual-beli murabahah juga hanya mampu digunakan terhadap suatu barang yang sudah dimiliki oleh penjual secara kaffah pada waktu negosiasi.14 Jadi barang benar-benar kepemilikan resmi si penjual, bukan sedang dalam tahap angsuran ataupun menjadi kepemilikan orang lain.

Bank Syariah juga memiliki sistem yang serupa dan lebih dikenal dengan nama akad murabahah lil âmir bi al-Syirâ` alias (Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)). Akad ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli. Lugasnya, Murabahah KPP lebih kompleks, karena melibatkan tiga pihak: pembeli, lembaga keuangan dan penjual. Murabahah KPP juga mengandung dua akad dalam satu waktu, akad pertama 12 Muhammad Taufiq Ramadhan al Bouty, al Buyu' asy Syari'ah, Darul Fikr, Damaskus, cet. III, 2005, hal. 30-47.13 Wahbah al-Zuhaily, al mu’âmalât al-mâliah al-mu’âshirah, Darul Fikr, hal. 67-68.14 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, Cetakan Keduabelas, 2011, hal. 103

6

Page 7: murabahah

antara penjual dengan lembaga keuangan, sedangkan akad kedua adalah penjualan dari lembaga keuangan dengan penjual.

Sebenarnya, sistem jual-beli Murabahah KPP ini bukanlah perkara kontemporer ataupun baru, karena telah dijelaskan oleh para ulama terdahulu. Imam as-Syafi'i, dalam salah satu buku fenomenalnya15, berkata, “Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain sebuah barang seraya mengucapkan, ‘Belilah barang itu. Nanti akan saya beli barang itu darimu dan akan saya berikan keuntungan padamu sekian.’ Lantas orang yang dimaksud benar-benar membeli barang itu, maka jual-belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan ‘Saya akan memberikan keuntungan kepadamu’ memiliki hak pilih (khiyâr).” Maksudnya, apabila Fulan tersebut jadi untuk membeli barang yang dimaksud, maka ia akan melakukan jual-beli. Tapi bila tidak, maka dia tinggalkan atau dibatalkan juga boleh.

Definisi Murabahah KPP

Sebelum lebih lanjut membahas teknik praktiknya, pembahasan mengenai definisi dari Murabahah KPP sendiri sangatlah signifikan. Bisa dibilang, Murabahah KPP mempunyai beberapa rukun dan syarat yang hampir mirip dengan murabahah biasa dengan beberapa pengecualian. Lebih mudahnya, kita ambil dua buah kasus sebagai contoh.

Contoh pertama, calon pembeli datang ke bank dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer Z dengan harga Rp. 90 juta.” Pihak bank kemudian menuliskan akad jual-beli mobil tersebut kepada pemohon seraya berkata, “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 95 juta dalam tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer Z dan beli mobil impian anda.” Contoh kedua, ketika calon pembeli datang ke bank, kemudian melakukan transaksi dengan bank. Pihak bank lantas menghubungi petugas showroom dan berkata, “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayaran dilakukan via transfer oleh pihak bank. Petugas bank lantas berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.” Dan adakalanya petugas bank sendiri langsung mendatangi pihak showroom dan membeli mobil tersebut dan berkata, “Berikan mobil ini kepada Fulan.”

Kondisi yang pertama berarti bank tidak melakukan transaksi dengan pihak showroom, hanya bertransaksi dengan calon pembeli. Artinya bank sebenarnya tidak sedang menjual mobil atau barang apapun kepada si pembeli, tapi dia hanyalah meminjamkan uang kepada calon pembeli, karena yang diserahkan kepada si calon pembeli hanyalah uang. Jadi laba yang diperoleh pihak bank sebesar 5 juta tersebut hakikatnya adalah riba nasi’ah

15 Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, 1995, hal. 24

7

Page 8: murabahah

(tambahan yang diambil oleh pihak yang memberikan hutang (kreditor) dari orang yang berhutang (debitor) karena adanya tempo. Jelas ini hukumnya haram).

Kondisi yang kedua, bank memang menjual barang (tidak sedang meminjamkan uang) karena bank juga bertransaksi dengan pihak showroom. Bank terlebih dahulu membeli mobil dari showroom sehingga mobil menjadi hak resmi milik bank, baru dia menjualnya kembali kepada si pembeli. Kasus kedua inilah permisalan dari akad Murabahah KPP.

Dari kasus di atas, bisa kita simpulkan. Murabahah KPP adalah negosiasi antara dua pihak atau lebih, di mana pihak yang berkontrak (pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah produk/barang. Pemesan berjanji untuk mengganti pembelian produk tersebut dengan menambah nilai beli.16

Langkah dan Proses Murabahah KPP

Muamalah jual-beli Murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, di antaranya yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang. a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan

dengan sifat-sifat yang terperinci.b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang dari lembaga

tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan

pelaksanaan janji.c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah pada masa janji ini.

5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.a. Penentuan harga barang.

16 Muhammad Syafi'i Antonio, Op. Cit. hal. 103

8

Page 9: murabahah

b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.

c. Penentuan nisbat keuntungan (profit).d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.17

Dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ murabahah sebagai berikut:18

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual-beli Murabahah KPP ini terdiri dari:

1. Tiga pihak yang terkait yaitu:a. Pemohon atau pemesan barang dan dia adalah pembeli barang dari

lembaga keuangan.b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada

pemohon atau pemesan barang.

2. Dua akad transaksi yaitu:a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan

pemohon.

3. Tiga janji yaitu:a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk

pemohon.

17 http://ekonomisyariat.com, diakses minggu, 4 November 2012 pukul 14.30 WK.18 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, (Jakarta:Gema Insani,2001).

9

Page 10: murabahah

c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Pendapat ulama tentang Murabahah KPP.

Praktek muamalah seperti ini diperbolehkan dengan dalil perkataan Imam As-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Umm, "apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata, "Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian." Lalu dia membelinya, maka jual-belinya boleh.” Dan orang yang menyatakan "Saya akan memberikan keuntungan kepadamu," memiliki hak pilih (khiyaar). Apabila yang bersangkutan menginginkannya maka dia akan melakukan jual-beli dan bila tidak menginginkannya maka dia boleh meninggalkannya atau membatalkan akad. Begitu juga ulama Malikiyah memperbolehkan akad seperti ini.19

Imam al-Dardier dalam kitab al-syarhu al-shaghîr menyatakan, al-’Inah adalah jual-beli yang dimana sesorang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan barang tersebut tidak ada padanya untuk dijual kepada orang yang memintanya, setelah ada permintaan itu barulah dia membeli barang yang diminta. Hal seperti ini boleh, kecuali yang meminta menyatakan, "belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo." Maka hal seperti ini dilarang karena menyerupai hutang yang menghasilkan keuntungan (seperti ribawi), karena seakan-akan dia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.

Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual-beli muwaa’adah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual-beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual-beli murabahah menyerupai jual-beli itu sendiri, di mana disyaratkan pada waktu itu si penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual-beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual-belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual-beli diantara keduanya hingga barang tersebut di kepemilikan penjual.20

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual-beli Murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual-beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

19 Wahbah al-Zuhaily, al-fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, jilid 5, Darul Fikr, Damascus. 2004, hal. 3777. 20 www.ekonomisyariat.com, diakses Minggu, 4 November 2012 pukul 14.30 CLT.

10

Page 11: murabahah

1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.

2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.

3. Tidak terjadi transaksi jual-beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.

Namun ada juga pendapat yang melarang diadakannya praktik jual-beli Murabahah KPP dengan alasan :

Pertana Bai’ al-murabahah merupakan bai’ al-‘inah yang diharamkan.Bai’ al-‘Inah adalah suatu akad jual-beli di mana seseorang (penjual) menjual suatu barang kepada orang lain (pembeli) secara kontan, kemudian penjual tersebut membeli kembali barang tersebut secara tempo dengan harga yang lebih tinggi.21

Ulama Syafi’iyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa akad jual-beli ini sah dengan terpenuhinya rukun jual-beli, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hambaliyah, akad jual-beli ini batal berdasarkan sadd adz-dzari’ah. Demikian pula menurut Abu Hanifah, akad jual-beli ini fasid jika tidak ada pihak ketiga di antara pemilik barang dan pembeli. Manurut Wahbah az-Zuhaili, akad jual-beli ini hanya merupakan hilah menuju akad pinjam-meminjam yang mengandung riba dengan jalan atau perantaraan akad jual-beli.22

Dengan melihat bentuk akad bai’ al-‘inah di atas, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa bai’ al-murabahah di dalam praktek perbankan syari’ah tidak sama dengan bai’ al-‘inah. Di dalam bai’ al-‘inah pada hakekatnya tidak terjadi akad jual-beli, di mana kepemilikan barang tidak mengalami pergeseran, tetapi tetap pada pemilik semula. Sedangkan akad jual-beli hanya digunakan untuk hilah menuju akad pinjam-meminjam, yaitu untuk memperoleh uang pinjaman. Sedangkan di dalam bai’ al-murabahah benar-benar terjadi akad jual-beli dan terjadi perpindahan status kepemilikan barang dari penjual (bank) kepada pembeli (nasabah).

Keduan Bai’ al-murabahah merupakan jual beli barang yang tidak ada pada seseorang (bai’ al-ma’dum).

Larangan menjual barang yang tidak ada pada seseorang itu sendiri didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW. :

21 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, h. 466. 22 Ibid., h. 466-467.

11

Page 12: murabahah

ك " عند ليس ما بيع 23"وال

Menurut al-Baghawi, yang dikutip oleh asy-Syaukani, bahwa larangan di dalam hadis tersebut adalah larangan menjual barang yang belum dimiliki. Adapun menjual sesuatu yang ada di dalam tanggungan itu boleh secara akad salam dengan syarat-syarat tertentu. Jika seseorang menjual sesuatu yang ada dalam tanggungannya dan ditentukan secara konkret di tempat yang telah diperjanjikan, maka hal itu boleh, meskipun barang tersebut belum ada pada waktu akad.24 Menurut Ibn Taimiyah larangan tersebut bukan dari segi ada/ tidaknya obyek akad, tetapi disebabkan oleh adanya unsur garar, yaitu jual-beli sesuatu yang tidak dapat diserahkan.25

Dengan demikian, bai’ al-murabahah di dalam praktek perbankan syari’ah termasuk jual-beli yang dibolehkan karena pihak bank menjual barang kepada nasabah setelah barang tersebut dibeli oleh pihak bank dari supplier (penjual), baru kemudian dijual kepada nasabah. Bahkan di dalam proses negosiasi jenis barang dan harganya sudah dapat diketahui dengan jelas. Demikian pula, barang tersebut jelas-jelas berada di dalam tanggungan pihak bank untuk diadakan di kemudian hari.

Ketiga Bai’ al-murabahah merupakan dua jual beli dalam satu jual beli (bai’atani fi bai’ah)

Larangan adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan :

بيعة" "26 في بيعتين عن الله رسول نهى

Asy-Syafi’i memberikan dua takwil. Pertama, “aku jual barang ini dua ribu secara tempo, atau aku jual ini seribu secara kontan, maka ambillah yang kamu kehendaki”. Kedua, “aku jual rumahku kepadamu dengan syarat engkau jual kudamu kepadaku”. Menurutnya jual-beli ini fasid.27

Menurut ulama Hanafiyah, akad jual-beli ini fasid karena harganya tidak jelas dan disertai dengan syarat tertentu. Demikian pula menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah, akad jual-beli ini batal karena termasuk jual-beli yang mengandung garar. Sedangkan menurut Imam Malik, akad jual-beli ini sah karena dua jual-beli dalam satu jual-beli adalah dua harga yang berbeda antara kontan dan tempo, tinggal pembeli memilih antara keduanya.28

Terlepas dari berbagai penafsiran dan ketentuan hukum terhadap akad dua jual-beli dalam satu jual-beli di atas, nampaknya praktek bai’ al-murabahah dalam perbankan syari’ah tidak memiliki kesamaan dengan akad dua jual-beli dalam satu jual-beli tersebut. 23 H. R. al-Khamsah dan dianggap shahih oleh at-Tirmizi, Ibn Huzaimah dan al-Hakim, lihat ash-Shan’ani, Subul as-Salam…, h. 16. 24 Yusuf al-Qardawi, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ Kama Tajriyat al-Masharif al-Islamiyyah (t. t. p. : Mathba’ah Wahbah, 1987), h. 57.25 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, h. 429. 26 H. R. Ahmad dan an-Nasa’i dan dianggap shahih oleh at-Tirmizi dan Ibn Hibban, lihat ash-Shan’ani, Subul as-Salam…, h. 16. 27 Ibid. 28 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, h. 472.

12

Page 13: murabahah

Di dalam pelaksanaan bai’ al-murabahah hanya terdapat satu harga (harga pokok plus margin keuntungan) yang harus dibayar oleh nasabah di kemudian hari (tempo), tidak ada pilihan dua harga. Demikian pula di dalam bai’ al-murabahah tidak terdapat persyaratan pembeli (nasabah) harus menjual suatu barang kepada pihak bank (penjual).

Keempat Bai’ al-murabahah merupakan hilah untuk mengambil riba dan bentuk lain dari financing (bank konvensional).

Ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa bai’ al-murabahah dalam praktek perbankan syari’ah merupakan hilah untuk memperoleh riba atau menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional. Pada hakekatnya pembeli (nasabah) datang ke bank untuk mendapatkan pinjaman uang, dan bank tidak membeli barang (aset) kecuali dengan maksud untuk menjual barang kepada pembeli (nasabah) secara kredit.29

Hal tersebut kemungkinan didasarkan kepada anggapan bahwa mekanisme penetapan harga (pricing) di dalam pembiayaan bai’ al-murabahah menggunakan cara perhitungan yang sama dengan bank konvensional, yaitu dalam bentuk prosentase dari pembiayaan pertahun (% p.a).

Perbedaannya, di dalam bank konvensional, yang menjadi hutang nasabah terdiri dari pinjaman pokok dan hutang bunga (biaya dalam prosentase pertahun) yang wajib dibayar oleh nasabah secara tetap selama pinjaman pokok belum dilunasi. Demikian pula masih dimungkinkan adanya kenaikan suku bunga tanpa harus ada persetujuan dari pihak nasabah sehingga jumlah margin keuntungan menjadi tidak jelas karena tergantung kepada lamanya pembayaran dan besarnya suku bunga yang ada.

Sedangkan di dalam bai’ al-murabahah, margin keuntungan telah disepakati di muka antara nasabah (pembeli) dan pihak bank (penjual), kemudian disatukan dengan harga pokok barang menjadi harga baru yang harus dibayar oleh nasabah (pembeli) bila sudah jatuh tempo. Demikian pula, tidak diperkenankan adanya kenaikan margin keuntungan setelah akad sehingga harganya jelas dan pasti. Selain itu, di dalam bai’ al-murabahah nasabah tidak mendapatkan uang tunai, tetapi langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan.

Singkatnya, di dalam perbankan syari’ah, margin keuntungan telah disepakati di muka antara bank dan nasabah dan tidak diperkenankan adanya kenaikan margin keuntungan. Sedangkan, di dalam bank konvensional, dimungkinkan adanya kenaikan suku bunga tanpa harus ada persetujuan dari nasabah.

Hanya saja yang perlu diperhatikan oleh perbankan syari’ah adalah di dalam proses penetapan harga (pricing) jangan sampai mengambil margin keuntungan yang terlalu tinggi sehingga selisih harga barang yang dijual kepada nasabahnya tidak jauh berbeda dengan harga barang yang dijual dalam bank konvensional. Oleh karena itu diperlukan ketelitian dalam menetapkan tambahan/tingkat laba dalam transaksi penjualan murabahah. Pada kenyataannya, legitimasi transaksi penjualan murabahah atas dasar suatu jumlah yang tidak menyesatkan/curang tidak menutup kemungkinan menetapkan

29 Yusuf al-Qardawi, Bai’ al-Murabahah…, h. 26.

13

Page 14: murabahah

harga penjualan jauh lebih tinggi dari pada biaya semula. Laba yang tidak wajar dan berlebihan merupakan unsur riba yang dilarang oleh Islam.30

Berdasarkan hemat penulis, pendapat yang rajih adalah akad Murabahah KPP boleh berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi, "Hukum asal dari muamalah adalah boleh sampai ada dalil syar’i yang melarangnya ( mengharamkannya)."Selain itu ada juga satu hadis nabi yang kemudian di adopsi menjadi kaidah ushûliyyah, "Kaum muslimin harus menepati apa yang telah mereka sepakati bersama kecuali kesepakatan menghalalkan yang haram dan mengaharamkan yang haram."

Penutup

Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akad bai’ al-murabahah di dalam prakteknya bukan termasuk bai’ al-‘inah, bai’ al-ma’dum, bai’atani fi bai’ah atau hilah untuk mengambil riba.

Dengan demikian, bai’ al-murabahah termasuk jual-beli yang dibolehkan, yaitu jual-beli barang dengan harga yang pasti (harga pokok plus margin keuntungan) yang harus dibayar oleh pembeli (nasabah) pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan. Atau dengan kata lain, akad murabahah hukumnya sah (diperbolehkan), sedangkan yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama (fuqaha) adalah operasionalisasi akad murabahah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Sedangkan untuk meminimalisir --bahkan menghilangkan-- kesenjangan antara konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk murabahah, maka kita harus benar-benar istiqamah dalam menerapkan/merealisasikan produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-konsep yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih ditingkatkan, misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan cendekiawan muslim juga sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang produk-produk tersebut kepada masyarakat luas yang masih awam tentang operasionalisasi dan mekanisme perbankan syari’ah. Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah harus memiliki standar sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus bergantung pada standar dalam perhitungan bunga. Oleh karena itu, penentuan besarnya mark-up dalam murabahah harus mengacu pada perhitungan besarnya keuntungan yang diperoleh nasabah yang menjalankan transaksi murabahah, bukan mengacu pada suku bunga dalam bank konvensional. Wa Allah al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq.

30 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 205.

14

Page 15: murabahah

Daftar Pustaka

Abu Zaid, Bakr bin Abdillah, Fiqhu an-Nawâzil: Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, 1995.

Al-Zuhaily, Wahbah, Al-fiqh al-Islâmy wa al-qadhâyâ al-mu’âshirah, jilid IV, Darul Fikr, Damaskus, 2010.

---------- Al-wajîz fî al-fiqh al-islâmy, Darul Fikr, Damaskus, 2010.

---------- Al-mu’âmalât al-mâliah al-mu’âshirah, Darul Fikr.

Al-Bouty, Muhammad Taufiq Ramadhan, al Buyu' asy Syari'ah, Darul Fikr, Damaskus, cet. III, 2005.

Antonio, Syafi'i Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, Cetakan Keduabelas, 2011.

As-Sanhuri, Mashadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami (Beirut : Dar al-Fikr, t. t.), juz II

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

Ramadhan al Bouty, Muhammad Taufiq, al Buyu' asy Syari'ah, Darul Fikr, Damaskus, cet. III, 2005.

Rusyd, Ibnu, Bidâyatu al-Mujtahid, Darussalam, Kairo, 2009.

Website

http://ekonomisyariat.com

15