multipel sklerosis
DESCRIPTION
uugcjTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Di SSP, selubung mielin berasal dari prosesus sitoplasma sel oligodendroglia, yang
membungkus secara konsentris prosesus neuron dengan cara yang sama seperti sel schwan di
sistem saraf perifer. Fungsi mielin di SSP, seperti di sistem saraf perifer, adalah memberikan
isolasi bagi rosesus sel neuron sehingga ompuls saraf dapat dihantarkan dengan cepat di
sepanjang membran sel. Sejumlah penyakit mungkin mengganggu integritas selubung mielin
sehingga transmisi normal aktivitas listrik di dalam otak terganggu dan menyebabkan
penyakit neurologik. Proses ini mungkin mengenai mielin secara primer, badan sel
oligodendroglia, atau keduanya. Pada multipel sklerosis, mielin yang terbentuk normal
mengalami cedera, dan apa yang disebut sebagai leukodistrofi, pada keadaan tersebut terjadi
kesalahan metabolisme bawaan yang mengganggu pembentukan dan pemeliharaan mielin
secara normal (Robbin, et al., 2007).
DEFINISI
Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit neurologis kronis yang berkembang pada orang tua
antara lima belas dan empat puluh tahun dan ditandai oleh gangguan dalam mielinasi. Oleh
karena itu, akan mempengaruhi konduksi impuls saraf dan integritas sinyal. Secara klinis, hal
ini ditandai sebagai perubahan dalam gerakan dan sensitivitas. Pada MS, batang otak adalah
zona utama yang berubah dalam sistem saraf pusat (SSP), diikuti oleh substansia alba medual
spinalis (Jimenez B.R, et al., 2011).
EPIDEMIOLOGI
Sklerosis multipel adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering
menyerang orang muda (Price, et al., 2005). Penyakit ini lebih sering ditemukan di daerah
dengan iklim sedang daripada di katulistiwa dan pada orang keturuna Eropa. (Robbins, et al.,
2007). Di Amerika serikat diperkirakan 250.000 hingga 350.000 oang yang terinfeksi, 1 dari
1000 atau kurang dari sepersepuluh dari 1%. Perempuan terinfeksi dua kali lipat daripada
laki-laki, walaupun rasio perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki pada MS awitan
yang lebih lambat. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau setelah usia 60 tahun.
Usia rata-rata timbulnya gejala adalah 30 tahun, dengan kisaran antara 18 tahun hingga 40
tahun pada sebagian besar pasien (Price, et al., 2005).
ETIOLOGI
Sejumlah virus telah diajukan sebagai agen penyebab yang myngkin pada MS.
Beberapa peneliti menduga virus campak (rubeola). Berbagai antibodi campak telah
ditemukan dalam serum dan cairan serebrospinalis pasien MS, dan bukti yang ada
mengesankan antibodi ini dihasilkan dalam otak. Bila virus campak terlibat, kemungkinan
virus itu menyerang dalam awal kehidupan, tidak aktif selama beberapa tahun, dan kemudian
merangsang respons auotoimun (Price, et al., 2005). Campak, Rubella, Epstein-Barr, herpes
tipe 6 dan virus Herpes Zoster-paling disebutkan dan terkait dengan asal-usul penyakit MS.
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di Meksiko, melalui PCR real time, Varicella Zoster-
virus DNA ditemukan pada 95% pasien dengan MS saat eksaserbasi penyakit terjadi
(Jimenez, et al., 2011)
Teori lain menduga bahwa faktor genetik tertentu menyebabkan beberapa orang lebih
peka terhadap invasi SSP dengan berbagai virus. Antigen histokompatibilitas tertentu (HLA-
A3, HLA-A7) telah ditemukan lebih sering pada pasien MS dibandingkan dengan subjek
terkontrol. Adanya antigen ini mungkin berkaitan dengan defisiensi pertahanan imunologis
dalam melawan infeksi virus (Price, et al., 2005).
Beberapa gen tertentu dapat mempengaruhi kerentanan dari satu orang tetapi bukan
dari yang lain. Oleh karena itu memerlukan unsur-unsur lingkungan untuk "mengaktifkan"
mereka. Di antara orang-orang ini, termasuk daerah "wilayah geografis" di mana MS lebih
sering, seperti di kutub, merupakan daerah dengan jumlah cahaya matahari yang kurang. Ada
beberapa penelitian yang mengaitkan fitur ini dengan sintesis dan fungsi "vitamin D" sintesis.
Telah didokumentasikan bahwa vitamin D berinteraksi dengan HLA-DRB1, yang
mempengaruhi ekspresinya. Di MS, telah menunjukkan bahwa pasien memiliki kadar rendah
vitamin D. Salah satu faktor lingkungan dipertimbangkan adalah mengonsumsi tembakau,
namun hal ini belum sepenuhnya dijelaskan meskipun ada hipotesis yang menyatakan bahwa
nikotin, zat-zat lain dari asap rokok, menghasilkan efek immunotoxic dan mengubah
sinyalisasi sel T antigen-dimediasi.
Penemuan penyebab tunggal yang dapat dipercaya dan terdapat pada semua kasus
telah membuat frustasi usaha keras selama ini. Bukti terbaik baru-baru ini mendukung
mekanisme etiologi berikut ini: toksin-toksin langsung (termasuk agen biologis), mekanisme
imun yang diperantarai humoral dan diperantarai sel, serta oligodendrogliopati primer yang
mengakibatkan dimielisasi dan cedera akson. Beberapa keadaan yang biasanya dianggap
sebagai faktor pencetus adalah kehamilan, infeksi (khususnya dengan demam, stress
emosional, dan cedera (Price, et al., 2005).
PATOGENESIS dan PATOLOGI
Patogenesis MS belum sepenuhnya dipahami. Namun, cukup banyak bukti tak-
langsung bahwa MS adalah suatu penyakit autoimun akibat cedera selubung mielin dan atau
sel oligodendroglia yang diperantarai oleh sel T. Di dalam lesi, ditemukan baik sel T CD4+
maupun CD8+, dan banyak yang reaktif terhadap myelin basic protein. Sel ini menyebabkan
cedera dengan memebaskan sitokin serta sitotoksisitas langsung yang diperantarai oleh sel T
CD8+. Cedera yang diperantarai oleh antibodi juga tampaknya berperan. Antibodi terhadap
protein oligodendrosit mielin dan myelic basic protein bersama dengan komplemen aktif
dapat ditemukan pada lesi yang mengalami dimielinisasi.
Lesi MS hanya timbul pada substansia alba SSP. Pemeriksaan autopsi
memperlihatkan bahwa lesi paling menonjol terdapat dalam traktus piramidalis dan kolumna
spinamis posterior, sekitar ventrikel otak, di dalam traktus dan saraf optikus, pada batang otak
dan pedunkulus serebelum, serta sekitar vena-vena besar. Pada fase akut, daerah yang terkena
mengalami edema, meradang, dan bewarna merah muda. Ukuran diameter dapat bervariasi
dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Makrofag membuang daerah mielin
yang berdegenerasi, dan saat fase akut mereda, gliosis akan aktif kembali. Akibat akhir
adalah penciutan daerah yang mengalami demielinasi dan disebut sebagai plak. Akson
silinder dan sel tubuh tidak rusak, walaupun bekas luka tersebut dapat merusak serat akson
yang ada di bawahnya sehingga hantaran serabut saraf menjadi terganggu. Gejala MS
disebabkan oleh demielinasi yang menjadi ireversibel sesuai dengan makin memburuknya
penyakit.
KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:
1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang
gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan
klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala
hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi
secondary progressive multiple sclerosis.
2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan
pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali.
Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama
penglihatan).
3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak
terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang
biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan
MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan
kasus benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan,
meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis.
4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk
secondary progressive MS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun
frekuensi remisi cukup jarang (Jeffrey, 2009).
MANIFESTASI KLINIS
Lokasi nyeri menentukan manifestasi klinis MS. Kombinasi gejala dan tanda yang dapat
terjadi antara lain:
Gangguan penglihatan
Banyak pasien mengalami masalah visual sebagai gejala awal. Sering dilaporkan
adanya diploplia (pandangan kabur), distorsi warna merah hijau, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua mata. Salah satu
mata mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Gangguan-gangguan visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,
juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang nukleus atau serabut-
serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus.
Gangguan sensorik
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh
21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan
(parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada
satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi,
dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis,
mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila
terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan
yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam
beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik
adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu,
punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi
sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.
Kelemahan spastik anggota gerak
Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak pada satu sisi
tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Pasien mungkin mengeluh
merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang
sebelah terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat mengeluh tungkainya
kadang-kadang seakan–akan meloncat secara spontan terutama apabila ia sedang berada di
tempat tidur. Keadaan spatis yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks
tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respons plantar berupa
ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini merupakan indikasi terserangnya lintasan
kortikospinal.
Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus (gerakan osilasi bola
mata yang cepat dalam arah horisontal atau vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan
oleh gerakan-gerakan volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria
(bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan tersendat-sendat).
Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan pengaturan sfingter
sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas
kandung kemih yang spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.
Gangguan afek
Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak realistik. Hal ini
diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus frontalis. Tanda lain gangguan serebral
dapat berupa hilangnya daya ingat dan demensia.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Sadarilah bahwa presentasi klinis pada multiple sclerosis (MS) meliputi:
kehilangan atau pengurangan penglihatan 1 mata dengan gerakan mata yang
menyakitkan
penglihatan ganda
gangguan sensorik dan / atau kelemahan
masalah dengan keseimbangan, kegoyangan atau kejanggalan
.Sadarilah bahwa biasanya orang dengan MS hadir dengan gejala neurologis atau tanda-tanda
seperti yang dijelaskan dalam rekomendasi sebelumnya yang telah disebutkan dan:
sering berusia di bawah 50 dan
mungkin memiliki riwayat gejala neurologis sebelumnya dan
emiliki gejala yang telah berkembang selama lebih dari 24 jam dan
memiliki gejala yang dapat bertahan selama beberapa hari atau minggu dan kemudian
meningkatkan.
Jangan rutin menduga MS jika gejala utama seseorang adalah kelelahan, depresi atau
pusing kecuali mereka memiliki sejarah atau bukti gejala neurologis fokal atau tanda-tanda.
Sebelum merujuk orang yang dicurigai memiliki MS ke ahli saraf, termasuk
diagnosis alternatif dengan melakukan tes darah termasuk:
hitung darah lengkap
penanda inflamasi untuk tingkat sedimentasi eritrosit misalnya, C-reaktif
protein
tes fungsi hati
tes fungsi ginjal
kalsium
glukosa
Tes fungsi tiroid
vitamin B12
Serologi HIV.
Jangan mendiagnosa MS atas dasar temuan MRI saja. Hanya seorang ahli saraf
konsultan harus membuat diagnosis MS atas dasar kriteria McDonald.
(NICE, 2014)
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan
kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald
menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time (dua serangan atau
lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang
berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung
oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).
(Polman, et al., 2010)
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana
jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24
jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis
obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:
1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. Minimal 1 lesi infratentorial
3. Minimal 1 lesi juxtakortikal
4. Minimal 3 lesi periventrikel.
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh
pembesaran ventrikel.
Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu
diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat
peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk
memenuhi kriteria disseminated in space.
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang
cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi
pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP
secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum
terdapat gejala klinis neuritis optika.
PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8
Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi
menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC).
Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II
D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004
Kondisi Grade
Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik) menyebabkan
distres atau keterbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah muncul relaps :
intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5 hari
atau
dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama 3 - 5
hari.
A
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan
kortikosteroid. D
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3 kali
setahun harus dihindari D
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan
kecuali ada protokol lainD
Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23 g/hari agar
mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan kaya akan asam
linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai dan minyak safflower.
A
Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan khusus:
setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua risiko
dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain
dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat dibawah ini
dengan pemantauan ketat untuk efek samping.
D
pengobatan:
azathioprine
mitoxantrone
intravena imunoglobulin
plasma exchange
intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program
metilprednisolon dosis tinggi.A
Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian tidak
menunjukkan efek menguntungkan pada:
siklofosfamid
anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
cladribine
pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
hiperbarik oksigen
linomide
iradiasi seluruh tubuh
basic protein myelin (tipe apapun).
A
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah :
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise
seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,
spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,
dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan
respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan
atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi
infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem
apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat
antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan
urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus
diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup
jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat
membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi
bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan
disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat
terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan
sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.
Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan
depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang
memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat
digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang
bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien
MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga
dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti
influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.
Terapi relaps
1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi
gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan
antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga
dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi
relaps akut dan mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa
meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS.
Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus
mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga
lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena
dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari.
2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan
pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat,
dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan
dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.
Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus,
vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan
ini kurang.
Disease-Modifying Therapies
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek
serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan
awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a
(Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer
asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder
progresif MS yang memburuk.
1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai
imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang
digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan
glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo
control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi
inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini
meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan,
terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau
interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan
premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat
dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.
Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi,
depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek
samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang
untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20
mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar
sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien
dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon
beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat
pada MRI.
Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-
like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak
umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat
sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada
pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen
juga tidak terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen
antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen
dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada
pasien dengan bentuk Progressive MS.
Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya
cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau
untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang
harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang
berpengalaman (NICE,2014)
KOMPLIKASI
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih
PROGNOSIS
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang
signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki
fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru
yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan
beberapa tingkat kerusakan kognitif.
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan
respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.
Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan.
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi
sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg
varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan
koma atau kematian dalam beberapa hari.
DAFTAR PUSTAKA
Bennet JL. 2009. MULTIPLE SCLEROSIS PATHOPHYSIOLOGY. Colorado:
Departments of Neurology and Ophthalmology, University of Colorado Denver School of
Medicine, Aurora, Colorado. Available at
http://www.utasip.com/files/articlefiles/pdf/asip_issue_6_3p58_62.pdf. (accessed 7 April
2014)
Jimenez BR, dkk. 2010. Multiple sclerosis: An overview of the disease and current
concepts of its pathophysiology. Mexico: Journal of Neuroscience and Behavioural
Health. available at http://www.academicjournals.org/article/article1379672860_Bola
%C3%B1os-Jim%C3%A9nez%20et%20al.pdf (accessed 7 April 2014)
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta :
EGC
National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Multiple sclerosis
management of multiple sclerosis in primary and secondary care.
Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview (accessed 7 April 2014)
Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ (accessed 7 April 2014)
Polman CH, dkk. 2011. Diagnostic Criteria for Multiple Sclerosis: 2010 Revisions to
the McDonald Criteria. Amsterdam: Department of Neurology, VU Medical Center
Amsterdam. available at
http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.1002/ana.22366/asset/22366_ftp.pdf?
v=1&t=i89wn6m4&s=cf6d8ddaabc86d56a85543b9f905fdc971feae6a (accessed 7 April
2014)
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta
: EGC.