monthly report on edisi no. ii/thn i/agustus 2007 ... filemahasiswa islam indonesia (pmii)...

13
Edisi No. II/n I/Agustus 2007 Edisi No. II/Thn I/Agustus 2007 Monthly Report on RELIGIOUS ISSUES 1. Kasus Bulletin Sapulidi Samarinda M ASSA yang mengatasnamakan dirinya Forum Masyarakat Peduli Umat Islam (FMPUI) Sa- marinda, Kalimantan Timur menggelar demontrasi di depan Gedung Sekolah Tinggi Agama Islam Neg- eri (STAIN) Samarinda, Jln. KH. Abdul Hasan No.3 Samarinda, (13/07). Demontrasi digelar sebagai reaksi terhadap penerbitan Bulletin Sapulidi edisi III/ Juni 2007. Bulletin Sapulidi dianggap telah dengan sengaja memuat karikatur Nabi Muhammad Saw yang disand- ingkan dengan gambar bom, sehingga menimbulkan amarah FMPUI Samarinda. Pimpinan Redaksi Bulletin Sapulidi, Bil Haqi, mem- bantah telah membuat karikatur Nabi Muhammad. Ia menyatakan gambar itu mengilustrasikan gerakan Islam ekstrim yang keberadaannya harus diwaspadai. Namun FMPUI mengangap gambar itu karikatur Nabi Muhammad Saw, sehingga Bulletin Sapulidi dinilai te- lah melakukan pelecehan dan penghinaan kepada Sang Rasul. Sebagai informasi, Bullatin Sapulidi merupakan bul- letin dwi mingguan yang diterbitkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Se- kolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Samarinda, Ka- limantan Timur. Sapulidi berisi 10 halaman dan dice- tak (fotocopy) sebanyak 50 eksemplar. Pembaca Bulletin Sapulidi adalah warga kampus STAIN Samarinda, Ka- limantan Timur. Massa FMPUI berencana akan menuntut beberapa hal kepada pihak rektorat STAIN Samarinda. Pertama, menyatakan bahwa Bulletin Sapulidi telah melakukan pelecehan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw. Kedua, meminta kepada rektorat STAIN agar mengeluarkan seluruh redaksi Bulletin Sapulidi dari STAIN Samarinda. Ketiga, meminta kepada rektorat Otoritas Agama dan Politik Mayoritas-Minoritas Pengantar E disi II laporan ini mengetengahkan berbagai kasus dan isu-isu keagamaan yang muncul pada bulan Juli sampai pertangahan Agustus 2007, meskipun beberapa kasus rentetan peristiwanya sudah terjadi pada periode sebelum pelaporan disusun. Laporan ini dibagi dalam empat bagian yang semuanya melaporkan peristiwa-peristiwa keagamaan yang sempat kami rekam. 1) Soal Bulletin Sapulidi di Samarinda yang sempat membuat geger di wilayah itu; 2) Penyerbuan warga Ahmadiyah yang masih terjadi dan kali ini di Duri Riau; 3) Ketegangan di Lembah Karmel yang nyaris bentrok antara aparat kepolisian dengan sekelompok massa; 4) Kasus tempat ibadah yang terjadi di lima tempat. Banyaknya kasus yang terjadi pada periode pelaporan ini menunjukkan, agama senantiasa menjadi poros penting yang sangat mempengaruhi dinamika sosial, baik dalam arti positif maupun negatif. Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi |Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari dan Nurun Nisa’ | Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: e Wahid Institute, Jln Taman Amir Hamzah 8 Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected]

Upload: dangtuyen

Post on 06-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

Edisi No. II/Thn I/Agustus 2007Monthly Report on Religious issues

1. KasusBulletinSapulidiSamarinda

Massa yang mengatasnamakan dirinya Forum Masyarakat Peduli Umat Islam (FMPUI) sa-

marinda, Kalimantan Timur menggelar demontrasi di depan Gedung sekolah Tinggi agama Islam Neg-eri (sTaIN) samarinda, Jln. KH. abdul Hasan No.3 samarinda, (13/07). Demontrasi digelar sebagai reaksi terhadap penerbitan Bulletin sapulidi edisi III/ Juni 2007. Bulletin sapulidi dianggap telah dengan sengaja memuat karikatur Nabi Muhammad saw yang disand-ingkan dengan gambar bom, sehingga menimbulkan amarah FMPUI samarinda.

Pimpinan Redaksi Bulletin Sapulidi, Bil Haqi, mem-bantah telah membuat karikatur Nabi Muhammad. Ia menyatakan gambar itu mengilustrasikan gerakan Islam ekstrim yang keberadaannya harus diwaspadai. Namun FMPUI mengangap gambar itu karikatur Nabi Muhammad saw, sehingga Bulletin Sapulidi dinilai te-lah melakukan pelecehan dan penghinaan kepada sang Rasul.

sebagai informasi, Bullatin Sapulidi merupakan bul-letin dwi mingguan yang diterbitkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat se-kolah Tinggi agama Islam (sTaIN) samarinda, Ka-limantan Timur. Sapulidi berisi 10 halaman dan dice-tak (fotocopy) sebanyak 50 eksemplar. Pembaca Bulletin Sapulidi adalah warga kampus sTaIN samarinda, Ka-limantan Timur.

Massa FMPUI berencana akan menuntut beberapa hal kepada pihak rektorat sTaIN samarinda. Pertama, menyatakan bahwa Bulletin sapulidi telah melakukan pelecehan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, meminta kepada rektorat sTaIN agar mengeluarkan seluruh redaksi Bulletin sapulidi dari sTaIN samarinda. Ketiga, meminta kepada rektorat

OtoritasAgamadanPolitikMayoritas-Minoritas

Pengan tar

Edisi II laporan ini mengetengahkan berbagai kasus dan isu-isu

keagamaan yang muncul pada bulan Juli sampai pertangahan Agustus 2007, meskipun beberapa kasus rentetan peristiwanya sudah terjadi pada periode sebelum pelaporan disusun. Laporan ini dibagi dalam empat bagian yang semuanya melaporkan peristiwa-peristiwa keagamaan yang sempat kami rekam. 1) Soal Bulletin Sapulidi di Samarinda yang sempat membuat geger di wilayah itu; 2) Penyerbuan warga Ahmadiyah yang masih terjadi dan kali ini di Duri Riau; 3) Ketegangan di Lembah Karmel yang nyaris bentrok antara aparat kepolisian dengan sekelompok massa; 4) Kasus tempat ibadah yang terjadi di lima tempat. Banyaknya kasus yang terjadi pada periode pelaporan ini menunjukkan, agama senantiasa menjadi poros penting yang sangat mempengaruhi dinamika sosial, baik dalam arti positif maupun negatif.

Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, ahmad suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi |sidang Redaksi: ahmad suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, abd Moqsith Ghazali. staf Redaksi: M. subhi azhari dan Nurun Nisa’ | Lay out: Widhi Cahya alamat Redaksi: The Wahid Institute, Jln Taman amir Hamzah 8 Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected]

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

sTaIN dan Departemen agama agar komunitas PMII samarinda dibubarkan. Keempat, meminta kepada rektorat sTaIN samarinda agar mensterilkan mahasiswa sTaIN dari paham-paham sekularisme, dan liberalisme.

Di lain pihak, Forum Umat Islam Cinta Damai (FUICD) samarinda, melalui sele-barannya menyerukan kepada umat Islam, agar persoalan kontroversi seputar kari-katur Nabi Muhammad saw diselesaikan dengan cara yang arif dan damai. Mereka menganggap dengan sudah adanya per-mintaan maaf dari redaksi Bulletin Sapuli-di, permasalahan ini tidak perlu dibesar-besarkan lagi.

Karena desakan massa, redaksi Bulletin Sapulidi secara resmi akhirnya menarik Bulletin Sapulidi edisi III. Langkah ini ditempuh sebagai upaya meredam kon-troversi seputar pemuatan karikatur Nabi Muhammad saw. dalam bulletin dwi ming-guan itu.

“Menarik secara resmi Bulletin sapulidi edisi III bulan Juli dari peredaran,” kata Bil Haq, pemimpin redaksi Bulletin Sapulidi. Di samping itu, redaksi Sapulidi juga mem-ohon maaf kepada segenap masyarakat muslim samarinda, Kalimantan Timur, yang terganggu atas penerbitan Bulletin Sapulidi edisi III/Juni.

Bil Haq meminta kepada semua pihak untuk mengedepankan jalan dialog untuk menyelesaikan persoalan dan mengede-pankan nilai-nilai keislaman yang penuh kasih sayang, kelembutan dan asas persau-daraan antar sesama muslim. Redaksi juga telah berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) samarinda dan sepakat untuk meredam persoalan.

Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Timur melaporkan kasus pemuatan kari-katur di Bulletin Sapulidi kepada ke Pol-res Kota (Polresta) samarinda (12/07/07), dengan tuduhan telah melakukan tindakan penistaan terhadap umat Islam. Ketua FPI Kaltim, Muhammad alwi assegaf menga-

dukan Pengurus Komisariat PMII sTaIN samarinda sebagai penerbit Bulletin Sapu-lidi.

“Ini bukan tuntutan FPI Kaltim tetapi kami hanya meneruskan gejolak masyara-kat atas pemuatan karikatur itu,” katanya. ”Ucapan minta maaf saja, tidak cukup. Ka-rikatur itu telah melukai perasaan ummat Islam sehingga penerbit harus bertang-gung jawab secara hukum,” imbuh alwi seperti dikutip Antara.

sejauh ini, laporan tersebut belum jelas tindak lanjutnya. Namun yang jelas, kasus ini sempat memunculkan ketegangan di samarinda..

2.PenyerbuanAhmadiyahdiDuriRiau

PENDERITaaN Jemaat ahmadiyah tampaknya belum akan berakhir. sete-

lah penyerangan di Leuwisari Tasikma-laya (16/06/07), beberapa hari berikutnya (28/06/07) Markas Jemaat ahmadiyah Indonesia di Jalan Petani RT 3/RW 5 Ka-wasan Puncak, Desa sebanga, Kecamatan Mandau (sekitar 18 kilometer dari Duri, red) Riau diserbu warga anti ahmadiyah.

Peristiwa itu terjadi usai pengajian dan salat asar di Musalla al-Furqan kawasan setempat. Masjid al-Mubarak dan rumah mubaligh Jemaat ahmadiyah yang men-jadi sasaran diobrak-abrik.

awalnya, pergerakan massa tertahan be-berapa meter dari halaman masjid. Dan-ramil 06 Mandau Kapten (art) sudiyono yang turun ke lapangan meminta massa tak terlalu mendekat. Pasalnya, Camat H. Ro-zali saidun sH dan aparat terkait lainnya se-dang mengupayakan jalan untuk berdialog dengan pemimpin ahmadiyah setempat. Karena tidak sabar menunggu, tak berse-lang lama massa yang mengusung berb-agai poster anti ahmadiyah itu, merangsek masuk ke halaman masjid. Poster-poster yang mereka bawa ditempelkan di depan masjid tersebut. Tak lama kemudian, situasi makin tak terkendali dan massa akhirnya

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

kasus-kasusbulanini

masuk ke masjid. suara cukup gaduh ter-dengar kala itu.

Massa yang menerobos masuk ke masjid merobohkan papan pembatas dalam rumah ibadah itu. Beberapa brosur dan pamflet yang ditempel di papan partisi juga diam-bil. Tak hanya itu, massa juga sempat mem-balikkan podium di mihrab masjid yang tak memakai plang nama itu. Pimpinan ah-madiyah yang diharapkan kehadirannya pun tak kunjung muncul. Massa pun makin leluasa. Bangunan tempat mengaji anak-anak yang terletak terpisah di depan mihrab masjid juga dimasuki warga. Tak lama ke-mudian, pintu depan dan samping masjid itu pun dipalang warga dengan kayu.

Rumah mubaligh ahmadiyah yang ter-letak persis di samping Utara masjid al-Mubarak pun tak luput dari tangan massa. Rumah yang sedang tidak ada penghuni itu pun menjadi sasaran dalam waktu ham-pir bersamaan. Pengobrak-abrikan pun tak terelakkan. Isi rumah terutama buku-buku dan arsip milik Jemaat ahmadiyah dibawa keluar lalu ditumpukkan di halaman.

Di sela-sela tumpukan arsip yang dige-letakkan begitu saja terlihat beberapa figura foto. Dengan marah, figura-figura itu pun diremukkan warga hingga hancur. Di situ terlihat foto Mirza Ghulam ahmad serta para khalifahnya. sesaat kemudian, seluruh buku dan arsip ahmadiyah yang ada dalam rumah itu pun digelandang ke luar.

Pada awalnya, tumpukan arsip tersebut hendak dibakar massa, namun tidak jadi. akhirnya, buku-buku dan berbagai arsip itu diamankan pihak satpol PP Mandau. satu-dua dari arsip tersebut juga dibawa berb-agai pihak untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut terhadap paham ahmadiyah yang mereka nilai menyimpang itu. Kini sebagian buku dan arsip ahmadiyah itu di-simpan di markas satpol PP Mandau.

Kendati terlambat, anggota Jemaat ah-madiyah yang ada di tempat itu pun beru-paya menyelamatkan sisa-sisa arsip dan be-berapa barang milik mubaligh ahmadiyah

di rumah tersebut. Diantaranya al-Qur`an terbitan ahmadiyah yang tiga jilid. satu diantaranya sempat dipinjam seorang ibu dari Duri, kepada remaja putri pengikut ahmadiyah yang menyelamatkannya.

Dalam aksi ini tidak ada bentrok fisik. Puluhan aparat satpol PP terlihat ber-jaga-jaga di TKP. Upika Mandau yang terdiri dari Camat H. Rozali saidun sH serta Danramil 06 Kapten (arh.) sudiyo-no, maupun pejabat instansi terkait seperti Kepala KUa Drs H. syamsir Js juga turun ke lapangan untuk mengantisipasi keadaan. Ketika massa sampai dan akhirnya mema-lang pintu masjid serta mengobrak-abrik rumah mubalighnya, tak satu pun anggota Jemaat ahmadiyah yang datang untuk memberikan perlawanan.

anggota ahmadiyah, Kasbi (70) serta suroso (37), yang sempat ditemui Riau Pos menjelang penyerbuan ke tempat itu, men-gaku bahwa Jemaat ahmadiyah tidak akan memberikan perlawanan. Kendati demi-kian, mereka sangat berharap agar kejadian seperti pembakaran Musalla ahmadiyah tahun 1990-an silam tak terulang kembali. Namun, harapan mereka tak kesampaian walaupun aksi main bakar tidak terjadi.

Dialog Upika Mandau dan instansi terkait dan para tokoh agama, juga sempat berlangsung di jalan depan komplek Mas-jid ahmadiyah. Kesimpulan akhir pembic-araan itu memutuskan akan diadakan dia-log dengan pihak ahmadiyah yang diatur Kepala KUa Mandau dalam waktu dekat.

sebelum itu di halaman Masjid ahmadi-yah, perwakilan massa yang hadir juga sem-pat membacakan tiga tuntutan berkaitan dengan keberadaan ahmadiyah di tempat ini. Di antaranya, mengusir mubalig ah-madiyah dari Desa sebangar, membubar-kan ahmadiyah, serta meminta aparat un-tuk melindungi Ketua RT 6 RW 5 Desa sebangar yang terancam jiwanya. Walau maksud dari terancam, tak dijelaskan mere-ka kala itu.

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

3.KasusLembahKarmelCianjur

sEDIKITNYa 1.000 orang bergerak menuju Lembah Karmel, Kampung

Cikanyere, Kecamatan sukaresmi, Ka-bupaten Cianjur. Mereka menentang pelaksanaan konferensi ‘Tritunggal Maha Kudus’ (20/7/07). Massa yang tergabung dalam Konsorsium Umat Islam (KUI) Ka-bupaten Cianjur itu sudah berada sekitar 100 meter dari Lembah Karmel. Mereka memprotes pelaksanaan Konferensi Tri-tunggal Mahakudus yang diikuti para pastur dari seluruh dunia di pusat ziarah keagamaan tersebut, 24-29 Juli 2007.

Massa bergerak seusai salat Jumat dari Masjid siti Hajar, yang terletak sekitar 1 KM dari Lembah Karmel. selain massa dari Cianjur, massa dari Bandung juga ikut bergabung dalam aksi ini. Massa bergerak menuju Lembah Karmel dengan berjalan kaki. sebelumnya, di Masjid siti Hajar mereka berorasi yang intinya menentang konferensi di Lembah Karmel, karena izin prinsip dan pembangunan bangunan itu bukanlah sebagai kawasan peribadatan.

Di tengah jalan, sekitar 30 polisi meng-hadang ribuan orang itu. Namun, karena aparat terlalu sedikit, massa pun bisa lolos dari barikade polisi. Dan 100 meter men-jelang Lembah Karmel, puluhan polisi kembali menghadang mereka. Kali ini, laju massa terhenti. sebab, aparat kepoli-sian tampak berbekal tameng, helm, dan senapan gas air mata. aparat juga menger-ahkan sejumlah anjing pelacak. Massa pun akhirnya melakukan orasi-orasi kembali. Teriakan takbir terdengar nyaring. Dalam orasinya, salah seorang orator menyam-paikan protes terhadap pelaksanaan konfe-rensi tersebut.

Panglima Gerakan aksi Reformis Is-lam Cianjur Chep Hernawan mengklaim, umat Islam di seluruh Jawa Barat meno-lak kegiatan konferensi yang dilakukan di wilayah Cianjur tersebut. Menurut Chep, pihak Lembah Karmel menyalahi atu-

ran lantaran tempat tersebut bukan pusat peribadatan, melainkan pusat ziarah keag-amaan. “Jika kegiatan ini tetap dilaksana-kan, kami akan membubarkannya dengan paksa,” ujarnya.

seperti juga Chep, sekretaris Jenderal Forum Umat Islam, Hedi Muhammad menegaskan bahwa pihak aparat keamanan jangan memihak dan melindungi kegia-tan di Lembah Karmel tersebut. selain itu, kata Hedi, pihaknya juga meminta Majelis Ulama Indonesia setempat agar tegas men-yikapi masalah tersebut. Hedi menjelaskan, pihaknya tetap menolak kegiatan tersebut dilaksanakan dengan alasan tidak mengan-tongi izin. “Kami ingin bukti kalau mereka memiliki izin kegiatan. Kalau tidak, mereka harus bubar sebelum dibubarkan secara paksa oleh kami,” tukas Hedi.

Kepala Kepolisian Resor Cianjur, ajun Komisaris Besar syaiful Zachri menga-takan, pihaknya mendapat pemberitahuan dari pihak Lembah Karmel. Menurut syai-ful Zachri, untuk kegiatan-kegiatan keaga-maan tidak perlu mengantongi izin, cukup dengan surat pemberitahuan. “Untuk kegia-tan ini kami mendapatkan pemberitahuan secara tertulis berupa tembusan dari Mabes Polri,” katanya.

Untuk masalah keberatan dari pihak umat Islam, syaiful Zachri berjanji akan menyampaikan kepada pihak penyelengga-ra. selain itu, pihaknya pun akan melaku-kan koordinasi dengan unsur Musyawa-rah Pimpinan Daerah Kabupaten Cianjur. “Kami akan membawa persoalan ini ke dalam pertemuan Muspida. Nanti, kita ke-tahui apakah keputusannya memindahkan kegiatan ini atau tidak. Mudah-mudahan kita bisa menghasilkan keputusan terbaik,” kata syaiful Zachri.

Di pintu gerbang Lembah Karmel, ter-jadi aksi saling dorong antar massa dan aparat kepolisian, sebelum akhirnya mereka diperbolehkan menggelar orasi, tapi tidak diperbolehkan memasuki lokasi Lembah Karmel. sekitar pukul 16.00 WIB, ribuan

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

kasus-kasusbulanini

massa membubarkan diri lantaran tidak berhasil bertemu dengan pihak Lembah Karmel.

Pihak pengelola Lembah Karmel mem-bantah kegiatan yang akan diikuti utusan beberapa negara itu sebagai konferensi, melainkan hanya sebatas reuni bagi para pastur dan pendeta. Materi acara hanya penyegaran rohani dan doa-doa bersama. Kegiatan tersebut dilakukan setiap empat tahun sekali. Pengelola Lembah Karmel sudah meminta izin pihak Kepolisian RI dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) termasuk izin bagi tamu dari luar negeri yang mengikuti kegiatan itu.

“Pada prinsipnya, semua perizinan sudah diurus termasuk persyaratan administrasi peserta. Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari,” ujar seorang pengelola Lembah Karmel (Sinar Harapan, 21 Juli 2007).

Konferensi Internasional Tritunggal Maha Kudus di Lembah Karmel di Kam-pung Cikanyere, Kecamatan sukaresmi, Kabupaten Cianjur, akhirnya resmi dibatal-kan. Pembatalan konferensi ini diputuskan setelah ada pertemuan antara Muspida Ka-bupaten Cianjur, 50 perwakilan ormas Is-lam, dan perwakilan dari Lembah Karmel di Mapolres Cianjur (23/7/2007). setelah berjalan sekitar 2 jam, pertemuan terse-but sempat diskors selama satu jam karena deadlock.

Namun sekitar pukul 13.00 WIB, pe-rundingan kembali dilanjutkan. Dalam per-temuan ini, pihak Lembah Karmel akhirn-ya membatalkan menggelar konferensi ini. Menurut suster Lisa Martosudjito, humas Lembah Karmel, pemberitahuan kegiatan tersebut sebenarnya telah dilakukan sejak tanggal 8 Juli 2007 lalu. Namun dia men-gakui izin pemberitahuaan itu langsung disampaikan ke Mabes Polri dan ditem-buskan ke Pemkab Cianjur.

“Pemberitahuan atas kegiatan itu telah dilakukan jauh hari, namun kalau prosedur yang ditempuh itu salah, pihak Lembah Karmel tidak keberatan jika tetap harus

dibatalkan,” ujarnya. Lisa menambahkan, kegiatan yang akan berlangsung dari tang-gal 24-29 Juli tersebut hanya sebatas doa bersama dan reuni antar kaum Katolik yang tergabung dalam Tritunggal Maha Kudus.

sementara itu, Deny saepulrohman, salah satu perwakilan dari pondok pesant-ren di Kabupaten Cianjur menyambut baik pembatalan kegiatan di Lembah Karmel tersebut. sebab, kata Deny, kegiatan terse-but tidak memiliki izin dan dikategorikan liar. “Kami tidak keberatan jika acara terse-but diadakan di tempat lain, asal tidak di Kabupaten Cianjur, karena keberadaan Karmel sendiri hingga saat ini masih ber-masalah. Dan sangat ironis jika kegiatan internasional itu tidak memiliki izin teru-tama dari Pemda setempat,” kata Deny.

Deny juga menyambut baik rencana Pemkab Cianjur yang akan membentuk tim investigasi untuk meninjau ulang ke-beradaan Lembah Karmel. “apa pun kepu-tusan pemerintah, kami akan dukung. Jika pemerintah tidak memiliki keberanian, kami akan tekan terus tanpa ingin meng-ganggu keharmonisan situasi keagamaan di Cianjur dan toleransi antar umat beragama di Cianjur,” ujarnya.

Kapolres Cianjur aKBP saiful Zahri menjelaskan pembatalan kegiatan terse-but datang langsung dari pihak Lembah Karmel tanpa ada tekanan dari siapa pun. Menurut Kapolres, seharusnnya pihak Lembah Karmel memberikan pemaha-man kegiatan tersebut kepada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan gejolak. Dari hasil pertemuan itu, kata Kapolres, Lembah Karmel menyadari belum tepatnya kegiatan tersebut diadakan di Cianjur.

“Lembah Karmel menyadari seratus persen bahwa kegiatan itu belum tepat diadakan saat ini. Kurangnnya sosialisasi pemahaman konferensi internasional itu yang tidak dilakukan kepada masyarakat walaupun kegiatan itu hanya reuni rutin yang selalu diadakan setiap tahunnya,” kata Kapolres (detikcom 23/07/2007).

GPdIImmanuelSukapura

Pada tahun 2007 ini, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Immanuel suka-

pura sekurang-kurangnya telah mengala-mi empat kali pencegatan, mblokiran dan pengusiran jemaat yang akan dan sedang melaksanakan ibadah.

aksi penolakan pertama dilakukan pada tanggal 29 april 2007, saat itu diadakan ibadah di sebuah bedeng di atas tanah milik gereja. Massa yang melakukan pe-nolakan memblokade jalan menuju tanah gereja. aksi penolakan disertai pengusiran kedua dilakukan pada tanggal 6 Mei 2007. Penolakan dilakukan dengan cara menutup akses jalan menuju lahan gereja. aksi keti-ga dilakukan pada tanggal 13 Mei 2007. Jemaat yang sedang melaksanakan ibadah di tempat lama yang selama ini mereka pergunakan dipaksa untuk menghentikan kegiatan ibadah.

aksi terakhir dilakukan pada tanggal 5 agustus 2007, dimana jemaat yang akan melaksanakan ibadah di tanah gereja sama sekali tidak bisa menuju lokasi karena sudah diblokade oleh warga. akhirnya jemaat yang sudah berkumpul melaksana-kan ibadah di jalan. Namun hal itu rupanya mengundang emosi warga yang kemudian melakukan pengusiran terhadap jemaat yang sedang beribadah.

Keempat rangkaian penolakan, intimi-dasi dan pengusiran yang dilakukan warga ini hanya sedikit gambaran dari nasib bu-ruk yang dialami GPdI Immanuel suka-pura selama melakukan kegiatan ibadah di dua buah bedeng yang masing-masing berlokasi di Komplek Bea Cukai dan Kom-plek PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Kelurahan sukapura, Kecamatan Cilinc-ing Jakarta Utara. Penolakan tersebut di-lakukan oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Paguyuban Pe-milik Kavling PT. Pelindo II yang merasa

4. Konflik Tempat Ibadah

Penutupan tempat ibadah agaknya menjadi problem nyata umat beragama di Indonesia. aksi pelarangan dan pengusiran yang dilakukan sekelompok massa terhadap aktifitas ibadah

kembali menimpa minoritas agama di Indonesia. Dalam kurun bulan april – Juli 2007, seti-daknya telah terjadi pelarangan dan represi terhadap kegiatan peribadatan 5 gereja di Jakarta dan sekitarnya. Gereja-gereja tersebut adalah:

GPdI Immanuel sukapura, Cilincing, Jakarta UtaraGKI Jatibening Indah, Pondok Gede, Bekasi, Jawa BaratTiga buah persekutuan gereja yakni Gereja Baptis, Gereja Bethel dan Gereja Pentakosta yang berlokasi di kawasan Bojong Menteng, Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat.

Kelima gereja tersebut merupakan tempat ibadah umat Kristen Protestan. Pelarangan iba-dah dilakukan oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan warga muslim setempat, yang tidak menginginkan adanya peribadatan umat agama lain. Mereka menganggap kegiatan ibadah adalah gangguan terhadap kenyamanan lingkungan, karena itu dengan berbagai cara harus di-hentikan.

Jika dilihat dari latar belakang pelarangan, terdapat perbedaan yang mendasar dari tiga lokasi di mana gereja-gereja tersebut berada. Namun benang merah yang dapat ditarik adalah, adanya perubahan sikap yang sangat drastis dari sebagian masyarakat dalam memandang keberadaan tempat ibadah agama lain. Jika sebelumnya kegiatan peribadatan tidak pernah dipersoalkan, maka saat ini hal itu harus dipersoalkan dengan berbagai alasan yang mungkin dipakai.

1.2.3.

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

keberatan dengan adanya rencana pendir-ian gereja di areal kavling.

sejatinya, kegiatan peribadatan GPdI su-kapura telah berlangsung sejak 1989, kare-na mereka belum memiliki gereja, kegiatan ibadah dilakukan dari rumah ke rumah. Hingga pada 1997, gereja yang memiliki jemaat sebanyak 513 orang ini diberi ijin meminjam tanah di Komplek Bea Cukai untuk membuat bangunan semi permanen (semacam bedeng) sebagai tempat ibadah. selama melaksanakan ibadah di tempat sementara ini, tidak ada sedikit pun gang-guan maupun keberatan dari masyarakat sekitar. Terlebih gereja juga aktif berpar-tisipasi dalam berbagai kegiatan Idul Fitri yang dirayakan tetangganya yang muslim. Begitu juga ketika Natal, para tetangganya juga datang untuk sekedar memberi uca-pan selamat.

seiring semakin banyaknya jemaat yang bergabung dalam GPdI Immanuel su-kapura dan semakin tidak tertampung-nya jemaat tersebut dalam menjalankan ibadah, pengurus GPdI berencana mem-bangun gereja dengan mengajukan per-mohonan lokasi kepada Walikota Jakarta Utara untuk pembangunan gereja yang lebih permanen dan representatif. Pengu-rus GPdI juga memperoleh persetujuan dari masyarakat yang telah diketahui Lu-rah sukapura.

Permasalahan muncul ketika ijin pem-injaman lahan di tempat lama habis dan kegiatan ibadah dipindahkan ke Komplek PT. Pelindo II, di sebuah kavling yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk gereja. Lahan ini terletak di sebuah tanah lapang, belum berpenghuni dan belum masuk dalam salah satu wilayah rukun warga setempat.

Namun, kepindahan jemaat yang dip-impin Pendeta Paul E. Refi ini ternyata menyulut reaksi penolakan dari mereka yang juga merasa memiliki kavling terse-but. setiap kali kegiatan ibadah akan di-laksanakan, selalu terjadi demonstrasi

yang tidak jarang menjadi kekerasan fisik dan psikis terhadap para jemaat. alhasil, peribadatan dilaksanakan dalam suasana ketakutan dan mencekam. Dan puncaknya ketika jemaat harus beribadah di jalanan diiringi teriakan “bakar”, “usir”, “hancur-kan” dari para pendemo.

Menyikapi kondisi seperti ini, pihak gereja tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan agar kegiatan ibadah yang merupakan hak asasi setiap warga negara tetap bisa dilakukan. Namun demi meng-hindari benturan yang lebih luas, pihak gereja tidak segan-segan melakukan pen-dekatan secara persuasif baik kepada warga sekitar maupun aparat yang berwenang.

Upaya itu misalnya dilakukan dengan menghadiri musyawarah dengan aparat pemerintahan dan warga sukapura, mus-yawarah dengan Muspika Cilincing hing-ga rapat audiensi dengan Walikota Jakarta Utara. Bahkan dalam rapat audiensi ini, Lurah sukapura sebagai penanggungja-wab wilayah menyatakan pembangunan gereja tidak ada masalah dari sisi lokasi. Namun nampaknya rekomendasi tersebut tidak tidak menunjukkan kondisi yang ses-ungguhnya sebagaimana yang diharapkan, karena hampir seluruh Ketua RW sekitar lokasi menyatakan penolakan.

Dengan demikian status gereja semakin tidak jelas, terlebih dengan keluarnya su-rat Perintah dari Kepala suku Dinas Pe-nataan dan Pengawasan Bangunan yang berisi perintah menghentikan kegiatan pekerjaan pembangunan.

Upaya lain juga dilakukan dengan meminta perlindungan dari pihak kepoli-sian melalui Koalisi Pembela Kebebasan Beragama. Upaya inipun tidak banyak membantu. Meskipun aparat kepolisian hadir pada berbagai peristiwa penghadan-gan, akan tetapi aparat kepolisian hampir tidak melakukan tindakan apapun untuk menjamin dan melindungi jemaat melaku-kan aibadah. Dan sebaliknya, membiarkan kelompok massa melakukan pemblokiran

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

kasus-kasusbulanini

jalan, yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum serta fungsi dan tugas kepolisian itu sendiri.

sikap pembiaran yang dilakukan pihak kepolisian, memberi peluang bagi masyar-akat untuk bertindak lebih jauh, mereka semakin leluasa melakukan pelarangan dengan cara-cara yang lebih keras. selain itu, ketidaktegasan pemerintah setem-pat, dimanfaatkan oleh para penolak un-tuk menggunakan cara-cara paksaan agar pihak gereja segera menghentikan aktifitas peribadatan. Tidak ada ruang kompromi, karena mereka menganggap yang dilaku-kan GPdI sukapura telah mengganggu ketertiban umum warga sekitar. Dalam surat Pernyataan Bersama pada tanggal 12 agustus lalu misalnya, tokoh-tokoh setempat memerintahkan agar GPdI su-kapura melaksanakan peribadatan dari ru-mah ke rumah dan bukan di tanah gereja yang ada. Jika tidak, maka pihak gereja di-anggap sebagai pihak yang menginginkan tidak adanya ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Pernyataan Bersama semacam ini adalah bentuk kongkrit dari lemahnya fungsi so-sial kemasyarakatan baik dari Kelurahan sukapura hingga Walikota Jakarta Utara. Fungsi ini kemudian diambil alih oleh warga, dengan mengatasnamakan mayori-tas untuk mengintimidasi GPdI sukapura. Dan tentu saja kondisi ini adalah awal dari konflik horizontal yang lebih luas. Dan satu lagi catatan buruk sikap negara yang tidak netral. Hingga laporan ini ditulis, belum ada jalan keluar yang memuaskan bagi semua pihak.

GKIJatibeningIndah

KasUs kedua menimpa Gereja Kris-ten Indonesia (GKI) Jatibening In-

dah. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi memerintahkan penutupan tempat ibadah yang selama ini mereka gunakan. Perintah penutupan

ini keluar seiring adanya pengaduan dari Rukun Tetengga (RT) dan Rukun Warga (RW) setempat yang mensinyalir adanya penggunaan rumah tinggal sebagai tem-pat ibadah. Dengan berdasar pengaduan tersebut, FKUB secara tegas meminta Walikota Bekasi untuk bertindak tegas dengan menutup gereja yang berlokasi di Jalan Batam Blok B no. 135 Komplek aL Jatibening Indah Rt 006/10, Kel. Jatiben-ing, Kec. Pondok Gede, Bekasi Jawa, Barat tersebut.

Dalam surat bertanggal 31 Mei 2007 ini, FKUB mencantumkan sejumlah prosedur yang telah dilakukannya hingga mencapai kesimpulan penutupan. seperti melakukan penelitian dan peninjauan secara seksama, meminta masukan masyarakat sekitar, memperhatikan berbagai aturan Walikota Bekasi tentang rumah ibadah, memper-hatikan Peraturan Bersama Dua Menteri tahun 2006 tentang Rumah Ibadah. Dan yang terakhir, memperhatikan daya tolak masyarakat setempat yang sangat kuat dan merata atas penggunaan rumah tinggal se-bagai tempat ibadah. Berbagai pertimban-gan di atas, menjadi alasan FKUB memin-ta GKI Jatibening Indah ditutup.

Beberapa minggu setelah itu, tepatnya tanggal 26 Juli 2007, keluar surat perintah yang sama dari Kecamatan Pondok Gede. Namun berbeda dengan surat FKUB, su-rat yang ditandatangani aang sumarna s.sos, Camat Pondok Gede ini, berdasar pada hasil musyawarah beberapa hari se-belumnya yang juga dihadiri pihak GKI Jatibening Indah.

Menurut surat ini, pihak gereja bersama tokoh masyarakat dan RT/RW telah sepa-kat untuk mengembalikan fungsi gereja sebagai rumah tinggal. sebagaimana di-jelaskan dalam lampiran surat ini, salah satu butir kesepakatan tersebut berbunyi, “Pihak Majelis Gereja Kristen Indonesia bersedia untuk menutup dan menghen-tikan semua kegiatan yang berkaitan den-gan kebaktian, mengingat bangunan yang

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

digunakan peribadatan tersebut adalah se-bagai rumah tinggal”. Karena itu menurut Camat, tidak ada alasan bagi gereja untuk tetap melanjutkan kegiatan ibadah, karena jika tidak berarti pihak gereja telah meng-ingkari hasil kesepakatan.

Namun apa yang tampak dalam kesepa-katan di atas ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena 3 orang perwak-ilan GKI dalam rapat tersebut merasa ter-paksa menandatangani surat kesepakatan, apalagi kemudian tim pendamping Ma-jelis Jemaat GKI Jatibening Indah (MJ-GKI-JI) dalam suratnya kepada Walikota Bekasi menandaskan adanya keterlibatan pihak ketiga dalam memperkeruh suasana dan mengambil keuntungan pribadi.

GKI Jatibening Indah berdiri pada 8 Jan-uari 2003. sebelumnya, gereja ini adalah gereja bakal jemaat yang berada di bawah GKI Rawamangun. sejak berdiri sebagai bakal jemaat tahun 1989 hingga menjadi GKI Jatibening Indah, kegiatan peribada-tan berjalan secara aman dan tertib tanpa adanya keberatan dari warga setempat.

Pemicu dari permasalahan bermula ta-hun 2004, ketika muncul konflik internal antara pengurus GKI Jatibening Indah dengan seorang jemaat bernama Jonathan O. Marthen. Persoalan yang tampak di permukaan adalah status gereja, yang hing-ga saat ini tidak memiliki izin sebagai ru-mah ibadah. Namun pangkal masalahnya adalah, keberadaan rumah yang digunakan sebagai tempat ibadah dalam status seng-keta antara pihak GKI dengan Jonathan.

Menurut Tim Pendamping MJ-GKI-JI, rumah tersebut saat ini adalah sah milik GKI Jetibening Indah karena sudah dibeli sesuai dengan aturan hukum. sebaliknya Jonathan merasa tetap menjadi pemilik rumah, karena akad jual beli rumah itu dilakukan oleh istrinya sebagai pihak pen-jual. Masalah sengketa jual beli ini kemu-dian merembet menjadi persoalan status peribadatan, dan dalam pandangan Tim Pendamping MJ-GKI-JI, pihak Jonathan

sengaja memperuncing masalah dengan membenturkan pengurus GKI dengan warga sekitar, yang sebelumnya tidak per-nah ada masalah.

Jonathan, lanjut tim ini, sering meng-klaim dirinya sebagai pengurus GKI ter-masuk ketika bermusyawarah dengan pihak kecamatan, kelurahan, sehingga masyarakat pun menganggap bahwa yang bersangkutan adalah pengurus GKI.

“Untuk diketahui semua surat menyurat yang menyangkut tempat ibadah ini dari instansi pemerintah, baik Kecamatan Pon-dok Gede, Kelurahan Jatibening, RW 10, RW 06 tidak pernah sampai ke Majelis Jemaat GKI. Tetapi semua disampaikan kepada sdr. Jonathan O. Marthen. Padahal yang bersangkutan bukan pengurus GKI Jatibening yang selalu mengatasnamakan GKI Jatibening. Dengan adanya desakan dari RT dan RW setempat untuk segera menutup kegiatan beribadah kepada Ma-jelis Jemaat GKI Jatibening Indah, sangat mengagetkan Majelis Jemaat yang tidak tahu menahu persoalan yang terjadi antara warga setempat dengan sdr. Jonathan O. Marthen tersebut,” jelas tim pendamping yang diketuai Marthen Manefe, sH.

Pihak Majelis Jemaat GKI Jatibening, yang memiliki jemaah sekitar 230 orang ini, menyadari sepenuhnya bahwa tempat ibadah saat ini bukan tempat yang sesuai peruntukannya. Pihak GKI telah berusa-ha untuk mencari tempat yang sesuai peruntukannya sejak tahun 2003. “Tapi upaya Majelis Jemaat ini selalu dihambat oleh sdr. Jonathan dengan berbagai cara. Bahkan Majelis Jemaat telah dilaporkan ke kepolisian dengan sangkaan penggela-pan uang jemaat dalam upaya pencarian lahan pengganti ini,” jelas tim.

Menurut Untari, salah seorang Calon Pendeta di GKI Jatibening, Jonathan saat ini secara keimanan dalam proses karanti-na agar yang bersangkutan menyadari ber-bagai kekeliruan yang telah diperbuatnya. “Ia diperlakukan demikian karena berbagai

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

kasus-kasusbulanini

�0

sikapnya selama ini,” jelas Untari.Namun demikian, di luar permasala-

han di atas, pihak GKI Jatibening terus berupaya agar kegiatan ibadah tetap bisa dilaksanakan. Misalnya dengan meminta perlindungan hukum kepada Walikota Bekasi, agar kegiatan ibadah berjalan sep-erti biasa. sampai diselesaikannya masalah pemindahan tempat ibadah itu ke tempat yang sesuai dengan peruntukannya. selain itu, karena desakan sampai hari ini terus mereka hadapi, pendekatan kemasyaraka-tan terus dilakukan, minimal untuk tidak mengganggu ibadah di tempat sementara ini.

Upaya selanjutnya, meminta bantuan pemerintah dalam upaya GKI Jatibening Indah mencari lahan Fasos/Fasum yang sesuai untuk pembangunan tempat ibadah beserta perijinannya. Upaya ini diharap-kan menjadi solusi terbaik, baik bagi warga Kalibening maupun jemaat gereja sendiri.

PersekutuanGerejaBaptis,GerejaBetheldanGerejaPentakosta

sEPERTI halnya GKI Jatibening In-dah, masalah perizinan menjadi batu

sandungan bagi keberlangsungan kegiatan ibadah persekutuan tiga gereja di kawasan Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat. Keti-ga gereja tersebut adalah Gereja Baptis, Gereja Bethel dan Gereja Pentakosta yang sejak tahun 1987 telah melakukan kegia-tan ibadah di sana.

Namun pada awal Mei 2007 lalu, sejum-lah warga mendesak agar kegiatan periba-datan segera dihentikan karena dianggap ilegal dan mengganggu ketertiban ling-kungan. Desakan tersebut diperkuat den-gan surat keputusan bersama sejumlah RT, RW serta puluhan tandatangan dari warga sekitar.

Gereja-gereja yang lebih dikenal sebagai

Jemaat Cipendawa ini selama ini memang melaksanakan ibadah di sebuah rumah tinggal dan beberapa rumah kontrakan yang berlokasi di Jl. Cipendawa Rt 04/06, Kelurahan Bojong Menteng Bekasi. Gere-ja Bethel dengan 50 orang jemaat menem-pati rumah Daud Idris. Gereja Baptis (50 jemaat) dan Gereja Pentakosta (30 jemaat) menempati rumah kontrakan tidak jauh dari Gereja Bethel.

Tempat-tempat ibadah tersebut menurut jemaat ini adalah tempat sementara dan si-fatnya pinjam, karena itulah belum dibuat surat ijin. Namun sebagai tanggungjawab sosial, pihak jemaat sudah memberitahu-kan kegiatan ibadah kepada pihak keca-matan, kepolisian, Koramil dan kelurahan. Bahkan keberadaan ibadah di lingkungan tersebut juga sudah mendapat persetujuan dari 60 warga sekitar. Hingga kemudian pada tahun ini Gereja Pusat membelikan tempat yang sedang dalam proses permo-honan ijin.

Kenyataan di atas bukanlah bahan per-timbangan bagi para penentang gereja. Mereka sudah bulat untuk menutup tem-pat ibadah tersebut. Berbagai cara di-lakukan, mulai dari intimidasi, ancaman melalui sMs gelap, hingga ancaman lang-sung berupa tindakan anarkis. Kondisi ini diperburuk dengan ketidaknetralan aparat pemerintah dan pihak keamanan yang se-harusnya menjadi pengayom semua war-ganya.

Dalam sebuah musyawarah di Kantor Kelurahan Bojong Menteng pada tanggal 4 Mei lalu, baik dari Lurah, Babinsa, Bim-naspol, Ketua-ketua RT dan RW yang ha-dir sepakat mendesak Jemaat Cipendawa menghentikan kegiatan ibadah. Pihak gereja yang diwakili Daud Idris (Gereja Bethel) terpaksa menandatangani berita acara penutupan tempat ibadah.

Kesepakatan rapat tersebut menjadi bu-merang, karena setelah itu para penentang semakin berani melakukan ancaman. Leb-ih dari itu mereka juga mengancam akan

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

��

mengerahkan massa jika ibadah tetap di-laksanakan. Karena itu, kegiatan ibadah nyaris tidak pernah dilaksanakan. Hal ini tentu saja membuat jemaat gereja semakin mencekam. Pihak gereja tidak berani kon-frontatif, karena jelas-jelas pihak pemer-intah dan keamanan tidak melindungi mereka.

Karena itu, pihak jemaat berinisiatif un-tuk meminta perlindungan dari Lembaga advokasi Hukum dan Hak asasi Manu-sia (ELHaM) agar ibadah kembali bisa dilaksanakan. Namun upaya seperti ini malah memicu reaksi yang lebih kuat dari para penentang. Klimaksnya ketika pihak jemaat secara total tidak bisa lagi beriba-dah di Cipendawa, sehingga harus men-cari tempat di Cibubur Jakarta Timur. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ibadah bagi para jemaat tidak boleh dihalangi oleh alasan tempat. Karena yang terpenting, ibadah tetap bisa dilaksanakan meskipun dalam kondisi yang memprihatinkan.

satu hal yang disesalkan oleh jemaat adalah sikap Kelurahan Bojong Menteng, yang sama sekali tidak punya itikad baik untuk mencari solusi yang adil, sebagaim-ana tugas dan fungsinya sebagai pejabat publik. Malah pihak kelurahan terkesan mengambangkan nasib jemaat dan mem-biarkan para penentang untuk bertindak semaunya.

Hal ini jelas terlihat ketika 25 orang, yang sebagian tidak dikenal, pada tanggal 24 Juni mendatangi gereja. Meskipun pada

hari itu tidak ada aktifitas ibadah, mereka tetap meminta ibadah dihentikan. Mereka juga memaksa pihak gereja agar mencabut tandatangan dari warga yang menyetujui keberadaan gereja, sebagaimana dijelaskan di atas, sudah ada 60 orang yang men-dukung adanya gereja. Tidak lupa mereka juga mengancam akan mengerahkan mas-sa yang lebih besar jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

setali tiga uang dengan sikap kelurahan, FKUB Kota Bekasi juga menunjukkan sikap yang tidak jelas, bahkan cenderung mendukung mereka yang menolak adan-ya gereja. Dalam sebuah musyawarah pada tanggal 3 Juli lalu misalnya, FKUB meminta pihak gereja untuk menghentikan kegiatan ibadah, kecuali memperoleh ijin kembali dari 60 orang ber KTP. sebuah persyaratan yang hampir tidak masuk akal, dalam kondisi yang sangat tidak mengun-tungkan pihak gereja.

Lebih jauh dari itu, apakah FKUB memi-liki wewenang untuk melarang seseorang atau sekelompok orang untuk beribadah? satu pertanyaan yang bagi pihak gereja juga sangat sulit dipahami. “Bahkan berib-adah di rumahpun FKUB melarang,” kata Daud Idris. Meskipun dalam keanggotaan FKUB Kota Bekasi ada perwakilan dari Nasrani, namun tidak memiliki dampak apapun, karena logika mayoritas masih tetap menentukan ke mana FKUB harus bersikap.

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

kasus-kasusbulanini

��

Edisi N

o. II/Thn I/A

gustus 2007

an

ali

sa

rek

om

en

da

si

Dari berbagai kasus yang terjadi sepanjang bulan Juli sampai per-tengahan agustus 2007 kita masih menyaksikan adanya peristiwa dalam tema yang sama dengan bulan se-belumnya. Berbagai kasus tersebut menggambarkan, potensi konflik dalam masyarakat, isu agama tetap menjadi bahaya laten yang perlu diwaspadai. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan muncul problem yang lebih besar.

Memang sekarang ini ada kecen-derungan, kasus-kasus keagamaan terjadi secara sporadis dan terpen-car-pencar. Sejauh ini, belum ada isu keagamaan yang menggerakkan kekuatan di berbagai daerah dan menjadi isu nasional. isu ahmadiyah misalnya, meskipun pada mulanya menjadi isu nasional, tapi isu ini ma-sih tetap berhembus di wilayah-wi-layah tertentu.

Demikian juga dengan soal tem-pat ibadah, isu ini muncul secara sporadis, meskipun untuk beberapa saat pernah menjadi isu besar ketika terjadi penutupan sejumlah tempat ibadah di Bandung, yang kemudian ditindaklanjuti dengan revisi terha-dap SKB Menteri agama dan Men-teri dalam Negeri No. 1/Ber/MDN-MaG/1969 tentang tempat ibadah.

Dari berbagai kasus tersebut, ada beberapa hal yang bisa dicatat pada periode pelaporan ini. Pertama, kon-trol kelompok-kelompok tertentu yang seolah menjadi “polisi agama” masih menjadi bagian dari kehidu-pan beragama di indonesia. Hal ini

bisa dilihat dari kasus Bulletin Sapu-lidi yang dituduh membuat karikatur Nabi Muhammad Saw, dan juga ka-sus ahmadiyah di Duri riau, kasus Lembah Karmel dan sebagainya. Bila tidak ditangani dengan serius, feno-mena “polisi agama” ini akan terus menghantui masyarakat.

Kedua, persoalan “polisi agama” tersebut juga merembet pada masa-lah hubungan antar agama, teruta-ma menyangkut kontrol kelompok mayoritas terhadap pendirian tempat ibadah kelompok minoritas.

Pada periode pelaporan ini seti-daknya ada lima kasus tempat iba-dah yang terjadi di sekitar Jakarta dan sekitarnya. Kami yakin, kasus tempat ibadah pada periode ini lebih banyak dari itu. Dari berbagai kasus tempat ibadah ada pola yang nyaris sama, yaitu:

Persoalan izin tempat ibadah yang tidak keluar dari pemerintah dengan berbagai alasan;

Masalah dukungan masyarakat sekitar;

ada pembubaran secara paksa dengan berbagai modus, seperti mengintimidasi, memaksa pemimpin agama menandatangani pernyataan untuk tidak lagi melakukan kegiatan ibadah yang biasanya dilakukan di depan aparat pemerintah dan tokoh masyarakat;

Tempat ibadah dianggap meng-ganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

adanya kelompok dari luar yang memprovokasi, dan sebagainya.

Ana l i s i s

��

Ketiga, regulasi tempat ibadah, Perber Mendagri dan Menag No. 8 dan 9 tahun 2006 ternyata tidak bisa menyelesaikan problem tempat iba-dah. aturan itu memang diperlukan, namun hal yang jauh lebih penting adalah adanya birokrasi yang netral di satu sisi, dan kedewasaan masya-rakat dalam beragama di sisi lain.

Keempat, dalam Perber tempat ibadah ada institusi yang diberi tugas untuk menyeleksi kelayakan pen-dirian tempat ibadah, yaitu Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibuat di tiap kabupaten. Dalam praktiknya, politik mayoritas-minori-tas sangat mewarnai FKUB, sehing-ga FKUB dalam banyak kasus justru menjadi “tempat aborsi” kehendak untuk mendirikan tempat ibadah bagi kelompok minoritas. Hal ini terkait dengan kenyataan, bahwa sebagian besar FKUB diisi oleh tokoh-tokoh yang kurang mempunyai kepekaan terhadap isu-isu pluralisme.

Edi

si N

o. II

/Thn

I/A

gust

us 2

007

rek

om

en

da

si

Rekomendas iDengan demikian ada beberapa rekomendasi yang penting untuk diperhatikan:

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus mempunyai sensitifitas terhadap masalah pluralisme. Mereka harus berpegang teguh pada konstitusi, netral dari berbagai kepentingan kelompok, dan tidak mudah diintimidasi massa. Dalam kasus Lembah Karmel, aparat penegak hukum sebenarnya bertindak cukup baik dan berhasil mencegah terjadinya kekerasan. Namun demikian, secara psikologis perasaan keterancaman kelompok yang “diserang” tidak sepenuhnya terlindungi, bahkan mereka akhirnya membatalkan acara karena keterancaman itu.

Menyangkut pendirian tempat ibadah, pemerintah hendaknya bisa membaca secara jeli berbagai kasus penolakan yang mengatasnamakan warga setempat. Dalam banyak kasus, penolakan warga setempat ini merupakan hasil gerilya dari kelompok di luar wilayah itu.

FKUB seharusnya menjadi lembaga yang bisa menfasilitasi kebutuhan umat beragama untuk mendirikan tempat ibadah dengan kepekaan yang tinggi terhadap pluralitas, bukan menjadi kepanjangan tangan kelompok mayoritas untuk merepresi minoritas.[]

1.

2.

3.