molluscum contangiosum terbaru 2

24
Pengalaman dengan Molluscum Contagiosum dan Reaksi Inflamasi yang Berhubungan pada Praktek Dermatologi Pediatrik Tujuan: Mengetahui frekuensi, epidemiologim gambaran klinis dan prognosis dari lesi molluscum contagiosum yang mengalami inflamasi, dermatitis molluscum, erupsi papula reaksi sindrom Gianotti Crosti, dan dermatitis atopic pada pasien dengan Moluscum contagioasum. Desain: Review grafik medical restrospektif Setting: Praktek dermatologis pediatric berbasis universitas. Pasien: Total pasien sebanyak 696 pasien (usia rata-rata 5,5 tahun)dengan molluscum Ukuran Outcome: Frekuensi, karakteristik, dan gambaran klinis yang berhubungan dengan reaksi inflamasi molluscum contagiosum pada pasien dengan atau tanpa dermatitis atopic. Hasil :dermatitis Molluscum, lesi MC terinflamasi, dan Gianotti-Crosti syndrome–like reactions (GCLRs) terjadi pada 270 (38.8%), 155 (22.3%), dan 34 (4.9%) pasien. Total 259 pasien (37,2%) empunyai riwayat dermatitis atopic. Individu dengan dermatitis atopi mempunyai jumlah lesi MC yang lebih banyak (P <0,01) dan meningkatkan

Upload: phil-adit-r

Post on 31-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

Pengalaman dengan Molluscum Contagiosum dan Reaksi Inflamasi yang

Berhubungan pada Praktek Dermatologi Pediatrik

Tujuan: Mengetahui frekuensi, epidemiologim gambaran klinis dan prognosis dari

lesi molluscum contagiosum yang mengalami inflamasi, dermatitis molluscum,

erupsi papula reaksi sindrom Gianotti Crosti, dan dermatitis atopic pada pasien

dengan Moluscum contagioasum.

Desain: Review grafik medical restrospektif

Setting: Praktek dermatologis pediatric berbasis universitas.

Pasien: Total pasien sebanyak 696 pasien (usia rata-rata 5,5 tahun)dengan

molluscum

Ukuran Outcome: Frekuensi, karakteristik, dan gambaran klinis yang berhubungan

dengan reaksi inflamasi molluscum contagiosum pada pasien dengan atau tanpa

dermatitis atopic.

Hasil :dermatitis Molluscum, lesi MC terinflamasi, dan Gianotti-Crosti syndrome–like

reactions (GCLRs) terjadi pada 270 (38.8%), 155 (22.3%), dan 34 (4.9%) pasien. Total

259 pasien (37,2%) empunyai riwayat dermatitis atopic. Individu dengan dermatitis

atopi mempunyai jumlah lesi MC yang lebih banyak (P <0,01) dan meningkatkan

kecenderungan terjadinya dermatitis molluscum (50.6% vs 31.8%; P<001). Pada

pasien dengan dermatitis moluscum, jumlah lesi MC meningkat selama 3 bulan

pertama pada 23,4% pasien yang diberikan terapi kortikosteroid topikal, dan 33,3%

pada pasien yang tidak diberikan kortikosteroid topikal, berbanding dengan 16,8%

pasien tanpa dermatitis. Pasien dengan lesi MC terinflamasi lebih jarang mengalami

peningkatan lesi MC selama lebih dari 3 bulan pertama dibandingkan dengan pasien

tanpa lesi MC atau dermatitis (5.2% vs 18.4%; P< 03). GCLR berhubungan dengan lesi

MC terinflamasi (P<0,01), sering ditemukan pada daerah siku dan lutut, cenderung

Page 2: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

gatal dan sering dianggap sebagai fase penyembuhan MC. Pada dua orang pasien

timbul erupsi mirip exanthema laterothoracic.

Kesimpulan: Reaksi inflamasi terhadap MC, sering terjadi GCLR yang tidak disadari.

Terapi dermatitis molusum dapat menurunkan penyebaran MC melalui

autoinokulasi akibat garukan, dimana lesi MC inflamasi dan GCLR merefleksikan

respons imun mediasi sel yang mengakibatkan clearens virus.

MOLLUSCUM CONTAGIOSUM

Molluscum Contagiosum (MC) adalah infeksi kulit akibat virus swasirna dan muncul

berupa papul berkelompok dan terjadi terutama pada anak-anak. Penelitian

berbasis populasi yang baru saja dilakukan menemukan bahwa 20% anak anak

Jepang menderita MC pada usia 6 tahun. Salah satu survey yang dilakukan oleh

dokter umum

Survei yang dilakukan oleh dokter umum di Belanda (1987 dan 2001) dan di UK

(1994-2003) menunjukkan bahwa insiden kumulatif molloscum contagiosum pada

usia 15 tahun adalah sebesar 17%, dengan sedikit peningkatan insidens dalam

tahun-tahun terakhir. Hanya 5% sampai dengan 10% kasus MC pada penelitian ini

terjadi pada individu dengan usia beberapa bulan sampai dengan 14 tahun. Pada

mayoritas anak-anak yang menderita, MC akan sembuh spontan dalam beberapa

bulan sampai dengan beberapa tahun. Berbagai macam terapi telah digunakan

untuk mempercepat penyembuhannya dengan berbagai macam gejala ataupun

pertimbangan kosmetik.Sapai dengan 39% orang dewasa dalam populasi umum

telah mempunyai antibodi terhadap virus MC, yang menunjukkan adanya infeksi

subklinis ringan atau subklinis.Beberapa jenis reaksi inflamasi dapat terjadi dan

berhubungan dengan MC. Lesi lesi MC dapat mengalami peradangan dan sering

Page 3: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

dikelilingi oleh dermatitis eksematosa (“dermatitis molluscum).Gianotti-Crosti

syndrome–like reactions (GCLRs) juga dilaporkan terdapat pada beberapa pasien

yang dikenali dengan baik sebagai manifestasi infeksi MC, terapat beberapa data

yang dipublikasikan mengenai frekuensi, epidemiologi, spectrum klinis, dan

prognosis.Lebih lanjut, efek dari dermatitis atopic berulang dan adanya riwayat

dermatitis atopi (AD) terhadap insidens, penyebaran dan respons terhadap terapi

MC sangat bervariasi pada berbagai penelitian.

Untuk mengetahui karakteristik demografi dan gambaran klinis terhadap respons

inflamasi MC, kami melakukan penelitian retrospektif pada 696 pasien dengan MC

yang terdapat pada praktek dokter kulit berbasis pediatric di universitas kami

dengan periode selama 5 tahun. MC berhubungan dengan GCLR terjadi pada 34

pasien, dan relevansinya terhadap lokasi infeksi telah dicatat. Data mengenai

jumlah, lokasi, dan durasi MC pada pasien dengan atau tanpa AD dan reaksi

inflamasi juga dikumpulkan.Sebagai tambahan, terapi yang digunakan untuk MC dan

dermatitis yang berhubungan juga didokumentasikan.

Review retrospektif dilakukan terhadap grafik medis pasien pada New York

University Pediatric Dermatology FacultyPractice yang terdiagnosis MC sejak 1

Januari 2005 sampai dengan 31 desember 2010, berdasarkanInternational

Classification of Diseases, Ninth Revision,Clinical Modification. Data yang kami

dapatkan dari demografi pasien ini (usia, jenis kelamin), riwayat medis dan keluarga,

jumlah dan distribusi MC, ada nya AD aktif, dan reaksi inflamasi kulit lainnya,

pemeriksaan laboratorium, terapi, dan terjadinya MC serta durasi. Estimasi kualitatif

dari jumlah lesi MC di konversikan menjadi range kuantitatif sebagai berikut: 5 atau

kurang = sedikit; 6 sampai dengan 15 lesi = multiple; 31 sampai dengan 50 lesi =

banyak; dan lebih dari 50 lesi = sangat banyak atau tak terhitung (tidak ada estimasi

kuantitatif untuk kategori 16-30). Pada kurang dari 10 pasien yang mendapatkan

cimetidine dan jumlah lesi tidak spesifik, maka diperkirakan jumlah lesi adalah 31

Page 4: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

sampai dengan 50; karena dalam prakteknya kami hanya memberikan cimetidine

kepada pasien dengan lesi lebih dari 30 lesi MC. Periode waktu dicatat menjadi

beberapa minggu atau bulan dan dikonversikan menjadi 3 minggu atau bulan.

Persetujuan dari the New York University Medical Center institutionalreview board

didapatkan sebelum memulai review grafik medis tersebut. Analisis statistic

dilakukan melalui perhitungan frekuensi deskriptif, dan menggunakan table 2 kali 2

(menggunakan software komersial) untuk perbandingan antar grup.

KARAKTERISTIK PASIEN

Total sejumlah 696 pasien (336 anak laki-laki, 360 anak perempuan) dengan MC

diidentifikasi. Usia rata-rata pada saat timbulnya MC adalah 5,5 tahun (median 5

tahun dengan range 7 bulan sampai dengan 17 tahun( (gambar 1). 2 anak menderita

gangguan imun (defisiensi IgA dan familial Mediterranean fever treated yang

diterapi menggunakan colchicine). Lima pasien lainnya mendapatkan setidaknya

satu macam imunosupresan : prednisone (2 pasien), mycophenolatemofetil (2

pasien), cyclosporine, dan 6-mercaptopurine.

Tidak ada dari pasien ini yang diketahui menderita human immune deficiency virus

(HIV).

Sejumlah 307 anak (44.1%) mempunyai riwayat atopi.Pada kelompok ini termasuk

259 pasien (37.2%) dengan AD dan 138 pasien(19.8%) dengan asthma atau alergi

(lingkungan maupun makanan).

Diantara pasiendengan riwayat AD, 169 (65.3%) mempunyai dermatitis aktif

dermatitis: 53.9% hanya pada tempat MC, 22.5% hanya di tempat lain, dan 23.7%

pada kedua daerah MC dan tempat lainnya.

Total 293 pasien (42.1%) mempunyai riwayat keluarga atopi (AD, asthma, atau alergi

lingkungan), dan 179 pasien (25.7%) mempunyai satu atau lebih anggota keluarga

dengan MC (176 saudara kandung, 2 orang tua, dan 1 kakek/nenek).

Page 5: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

LOKASI DAN JUMLAH LESI MC

Distribusi lesi MC pasien terdapat pada table 1. Lesi molluscum contagiosum

terbatas hanya satu lokasi pada 213 pasien (30.6%), lebih sering pada ekstremitas

(125 pasien [18.0%]) ataupunggung (39 pasien [5.6%]). Lesi molluscum contagiosum

terdapat di ekstremitas dan punggung pada 302 pasien (43.4%).Jumlah terbanyak

lesi MC pada mayoritas pasien adalah kurang dari 50 (gambar 3).

Beberapa pola inflamasi berhubungan dengan adanya lebih dari 50 lesi MC. 51 dari

259 pasien (19.7%) dengan AD (aktif maupun tidak aktif) mempunyai lebih dari 50

lesi MC berbanding 22 dari 437 pasien (5.0%)tanpa AD (P <0, 001). Hal yang serupa,

46 dari 270 pasien (17.0%) dengan molluscum dermatitis mempunyai lebih dari 50

lesi MC berbanding 27 dari 426 pasien (6.3%) tanpa molluscumdermatitis (P

<0 .001). 25 dari 155 pasien (16.1%) dengan lesi MC inflamasi mempunyai lebih dari

50 lesi berbanding 48 dari 541 pasien (8.8%) tanpa lesi MC inflamasi P <0 .02).

Sebaliknya, pasiendengan GCLR jarang yang mempunyai lesi lebih dari 50 lesi MC (3

dari 34[8.8%] vs 70 dari 662 [10.6%]; P <0.99).

LESI MC TERINFLAMASI

Total 155 pasien (22.3%) mempunyai setidaknya satu buah lesi MC terinflamasi, dan

102 pasien (14.7%) mempunyai setidaknya 2 lesi MC terinflamasi. Lesi MC

terinflamasi dikarakteristikan dengan eritema substansial dan pembengkakan,

termasuk lesi pustular atau fluktuan. Lokasi lesi lesi ini terlihat pada table 1.

Antibiotik sistemik diberikan kepada 24 anak anak dengan lesi MC terinflamasi

dengan kecurigaan adanya infeksi (furunkulosis

[22 pasien] atau selulitis [2 pasien]).

Organisme apatogenik (Staphylococcus aureus) dapat diisolasi pada 2 dari 10 contoh

kultur yang diambil dari eksudat purulent lesi lesi tersebut. Lesi MC terinflamasi

Page 6: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

umumnya sama pada pasien dengan atau tanpa AD (57 dari 259 [22.0%] berbanding

98 dari 437 [22.4%], P = 0.93). Diantara 58 pasien yang dating untuk melakukan

follow up dalam 3 bulan dan mempunyai lesi MC terinflamasi, jumlah keseluruhan

lesi MC meningkat pada 3 pasien (5.2%), tetap pada 12 pasien (20.7%), dan

menurun pada 43 pasien (74.1%). Rata-rata, jumlah lesi MC menurun sebanyak

65.0% pada grup terkahir, dan resolusi lengkap terjadi pada 12.1% pasien ini.

Jumlah lesi MC umumnya meningkat selama 3 bulan pada pasien dengan lesi MC

terinflamasi (3 dari 58 pasien [5.2%]) dibandingkan pada pasien tanpa lesi MC

terinflamasi atau dermatitis (16 dari 87 pasien[18.4%]; P<0 .03) (Table 2).

MOLLUSCUM DERMATITIS

Molluscum dermatitis (dermatitis eksematosa yang mengelilingi lesi MC) terdapat

pada 270 pasien (38.8%).Pasien dengan riwayat AD, saat dibandingkand engan

pasien tanpa riwayat AD, mempunyai kecenderungan mempunyai dermatitis yang

berhubungan dengan lesi MC mereka (50.6% berbanding 31.8%; P<0 .001). Lokasi

dermatitis molluscum terlihat pada table 1. Total 249 pasien dengan molluscum

dermatitis (92.2%) diterapi dengan kortikosteroid topical ( agen dengan potensi

tomid yang rendah). Diantara 146 pasien dengan molluscum dermatitis yang

melakukan follow up dalam waktu 3 bulan (table 2), jumlah lesi MC meningkat pada

32 dari 137 pasien (23.4%) yang mendapatkan terapi kortikosteroid topical dan 3

dari 9 pasien (33.3%) yang tidak diterapi dengan kortikosteroid topical (P = 0.44).

Walaupun proporsi pasientanpa dermatitis lebih sedikit (19 dari 113 [16.8%]) yang

mengalami peningkatan jumlah lesi MC setelah 3 bulan follow upu dibandingkan

dengan pasien yang menderita dermatitis (35 dari 146 [24.0%]), perbedaan ini tidak

bermakna (P =0 .16).

GIANOTTI-CROSTI SYNDROME–LIKE REACTIONS

Page 7: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

34pasien (12 anak perempuandan 22 anak laki-laki) mengalami GCLRselama

terjadinya MC. GCLR dikarakteristikkan dengan erupsi sejumlah monomorfi, edema,

eritematosa papul atau papulovesikel yang terpisah dari lesi MC (gambar 4). Usia

rata-rata pasien adalah 5,6 tahum (usia median 5,5 tahun dengan range 11 bulan

sampai dengan 12 tahun). Pruritus merupakan gambaran yang jelas dari GCLR pada

27pasien (79.4%). Erupsi terdapat pada kunjungan awal 17 pasien (50.0%), dan

pada yang lain terjadi pada 1,7 bulan setelah kunjungan pertama. Terapi MC dimulai

dalam bulan pertama onset GCLR pada 13 pasien (38.2%).

GCLR mencakup ekstremitas pada 32 pasien(94.1%), mengenai tangan pada30

pasien dan kaki pada 29 pasien. Erupsi terjadi bilateral pada semua pasien.Duapuluh

tiga pasien (67.6%) dengan GCLR terjadi pada ekstensor ekstremitas, dan lesi

terbatas pada lutut dan atau siku pada 12 pasien(35.3%).Lesi Palmoplantar terjadi

hanya pada 1 pasien.Area lain yang terkenaGCLR adalah wajah (7 pasien), punggung

(5 pasien), dan bokong (4 pasien). Duapasien (anak laki-laki berusia 1 dan 4 tahun)

awalnya hanya mengalami GVLR pada satu sisi punggung yang menyerupai

exantema laterothoracic unilateral = unilateral laterothoracic exanthem (ULTE).

Pada satu dari anak-anak tersebut, lesi MC terbatas pada region punggung yang

sama, dan GCLR yang lebih klasik mengenai aspek ekstensor ekstremitas timbul

kemudian.

Lokasi lesi MC padapasien tanpa a GCLR (Table 1) sama pada keseluruhan populasi

penelitian. Pada pasientanpaGCLR, jumlah lesi MC adalah 5 lesi atau kurang pada

23.5%, 6 sampai dengan 15 pada 11.8%, 16 sampai dengan 30 pada 35.3%, 31

sampai dengan 50 pada 14.7%, dan lebih dari 50 pada 8.8%. GCLR biasanya serupa

pada pasiendengan atau tanpa AD (13 dari 259 [5.0%] vs 21 dari 437 [4.8%]; P

<0 .99).

Biopsi dilakukan terhadap GCLR pada satu pasien.Evaluasi histologis menunjukkan

infiltrar perivaskuler superficial dan mid-dermal tercampur dengan limfosit, histiosit,

Page 8: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

dan serbuk eosinophil (gambar 5).Beberapa limfosit meluas sampai kedalam

epidermis. Spongiosis, vesikulasi intraepidermal, dan scale crust fokal merupakan

bukti dari hal tersebut.

Durasi rata-rata dari GCLR adalah 6 minggu pada 13 pasien. Erupsi berlangsung

kurang dari satu bulan pada 5 pasien dan rata-rata 2 bulan pada 8 pasien

lainnya.GCLR umunya diterapi dengan kortikosteroid topical dengan potensi sedang

atau lebih tinggi dan biasanya memberikan respon dengan perbaikan yang nyata

dalam waktu satu minggu.Waktu rata-rata onset GCLR dan resolusi lesi MC adalah 2

bulan (median 5 minggu dengan range 1-8 bulan) pada 12 pasien.

Umumnya, penurunan substansial (50%-95%) jumlah lesi MC terjadi pada 9 pasien

dengan GCLR yang di follow up selama sekurangnya 2 bulan setelah onset, tetapi

kemudian tidak melakukan follow up lagi sebelum mengalami resolusi lengkap dari

lesi MC.

HUBUNGAN ANTARA BERBAGAI JENIS REAKSI INFLAMASI

Lesi MC terinflamasi diobservasi ada 22 dari34 pasien(64.7%) dengan

GCLR,dibandingkan hanya 133 dari 662 pasien (20.1%) dengan GCLR (P <0 .001).

Sebaliknya, pasien dengan atau tanpa GCLR umumnya mempunyai molluscum

dermatitis (12 dari 34 [35.3%] berbanding 258 dari 662 [39.0%]; P =0 .67). Proporsi

yang serupa terjadi pada pasien dengan dan tanpa molluscum dermatitis dan

mempunyai molluscum terinflamasi(70 dari 270 [25.9%] berbanding 85 dari 426

[20.0%]; P = 0.08).

TERAPI dan TATALAKSANA

Data tentang pemberian terapi tercantum pada gambar 6. Cantharidin (0.7% dalam

collodion based) diberikan pada 475 pasien (nilai rata-rata 1.9 sesi terapi, dengan

range 1-10; area terapi dicuci dengan air dan sabun 2-3 jam setelah pemberian), dan

Page 9: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

curretage dilakukan pada 100 pasien (nilai rata-rata 1.4 sesi terapi per pasien

[range, 1-5 sesi]). Agen kedua kemudian diberikan pada beberapa pasien yang

awalnya diterapi dengan cantharidin atau curretage, termasuk krim imiquimod

cream pada 35 pasien, retinoid topikal pada 17 pasien, dan cimetidine oral (kurang

lebih 40 mg/kg perhari terbagi menjadi 2 dosis, maksimum 1600 mg perhari) pada

111 pasien. Tidak ada satupun pasien yang mengalami efek lanjut serius

berhubungan dengan terapi yang diberika. Pada 42 pasien (diterapi dengan berbagai

macam obat) data onset dan penyembuhan MC tersedia, nilai rata rata terdapatnya

lesi MC adalah 8,0 bulan (nilai median 6,6 bulan [range, 1.5-29.0 bulan).

COMMENT

Penelitian ini lebih lanjut mengkarakteristikan jenis reaksi inflamasi yang

berhubungan dengan MC baik jenis klasik dan jenis lain yang baru diketahui. Data

dari penelitian serial berskala besar lainnya pada pasien pediatrik dengan MC yang

menggambarkan frekuensi lesi inflamasi MC, dermatitis molluscum, dan AD

teringkas padaTable 3.

Lesi MC terinflamasi umumnya muncul berupa papul edema eritematosa, dan

papulonodul yang menjadi pustular atau fluktuan. Pada penelitian ini dan 2

penelitian serial mengenai MC dalam skala besar lainnya memberikan data

mengenai pola reaksi ini (tabel3), 20.8% keseluruhan pasien (343 dari 1646)

diketahui mempunyai lesi MC inflamasi. Selain bentuk lesi inflamasi yang seperti

bisul, hasil dari penelitian ini memastikan bahwa eksudat purulen dari lesi inflamasi

MC biasanya steril. from inflamedMClesions is usually sterile. Tetapi, sering terjadi

superinfeksi dengan Saureus, dan pemberian antibiotik (dan drainase bila perlu)

harus dipertimbangkan bila terdapat lymphangitic atau penyebaran eritema yang

mencurigakan terjadinya selulitis.

Inflamasi biasanya menyebabkan regrsi lesi MC yang terkena dan terkadang

menghambat penyembuhan erupsi secara keseluruhan, termasuk lesi yang tidak

Page 10: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

berkembang menjadi inflamasi secara klinis. Pada penelitian ini, pasientanpalesi

inflamasi MC lebih jarang mengalami peningkatan jumlah lesi MC selama beberapa

bulan kedepan dibandingkan pasien yang mempunyai lesi inflamasi MC.

Imunitas cell-mediated mungkin memainkan peranan dalam penyembuhan MC, hal

ini menjelaskan kecenderungan peningkatan penyebaran, keparahan, dan

persistensi MC pada pasien tanpa infeksi HIV.Secara histologis, lesi inflamasi MC

menunjukkan infiltrar inflamasi campuran (yaitu limfosit histiosit, dan neutrophil).

Pada penelitian ini, adanya lesi inflamasi MC berhubungan dengan berkembangnya

GCLR, yang akan merupakan penghambat bagi penyembuhan MC dan umumnya

juga berdasarkan imunitas cell mediated tetapi bukan dermatitis molluscum.

Sayangnya, terbatasnya data follow up pada penelitian retrospektif ini dan

penelitian serial sebelumnya menghambat analisis lebih lanjut mengenai durasi MC

pada pasien dengan dan tanpa lesi inflamasi, terutama pasien pasien yang sudah

mulai sembuh tidak kembali untuk melakukan follow up.

Dermatitis molluscum merupakan erupsi eksematosa pruritic pada kulit di sekitar

lesi MC. Dermatitis dapat berupa difus atau nummular dan mungkin lebih menonjol

daripada lesi MC nya sendiri, dengan lesi MC yang tersamarkan oleh pola dermatitis

dan plak. Dermatitis moluscum terdapat pada 38,8% pasien pada penelitian ini dan

pada 9% sampai dengan 47% pada penelitian serial MC sebelumnya, dengan

keseluruhan insidens sebesar 27% (505 dari 1896; Table 3).

Seperti penelitian yang dilakuakn oleh Osio dan lain lain, penelitian ini menemukan

bahwa dermatitis moluscum lebih sering terjadi pada anak anak dengan riwayat AD,

dan paling banyak terdapat pada pasien dalam penelitian ini (50.6%). Tetapi,

hubungan antara dermatitis moluscum dan perkembangan lesi inflamasi MC atau

GCLR tidak diobservasi, sehingga diperkirakan adanya jalur inflamasi yang berbeda

pada reaksi noneksematosa ini.

Page 11: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

Pasien dengan dermatitis moluscum lebih sering mempunyai lesi MC dalam jumlah

besar, tampaknya disebabkan karena penyebaran lesi MC akibat garukan karena

meningkatnya rasa gatal.Terdapat bukti bahwa MC lebih sering pada anak anak

dengan AD dibadingkan pada anak anak tanpa AD. Prevalensi tingkat AD pada

penelitian ini dan serial MC ediatrik lainnya di Amerika Serikat Amerika Selatan,

Eropa, Australia, dan Jepang mempunyai range dari 18% sampai dengan 45% (table

3), dengan nilai rata rata keseluruhan sebesar 36% (944 dari 2656).

Angka ini lebih tinggi daripada prevalensi estimasi AD sebesar 10% sampai dengan

20%pada populasi pediatric. Bagaimanapun juga, anak anak yang terinfeksi MC

dengan riwayat AD lebih sering berobat karena masalah kulit, yang mempunyai

potensi mempengaruhi hasil serial MC berdasarkan medical record. Sebuah

penelitian yang dilakukan tahun 2010 pada sekolah perawatan anak-anak di Jepang

menemukan bahwa eadanya peningkatan sebesar 1,6 kali lipat pada anak anak

dengan AD (95% CI, 1.00-2.68). Pada serial saat ini, anak anak dengan riwayat AD

mempunyai kecenderungan mempunyai lesi MC yang lebih banyak daripada yang

tanpa AD. Sama dengan pada penelitian terbaru mengenai terapi curettage pada

MC, pasien dengan AD mempunyai lesi yang lebih banyak dan lebih sering

mengalami frekuensi daripada yang tanpa AD.Sebaliknya, riwayat AD tidak

berhubungan dengan jumlah lesi MC atau rekurensi MC pada penelitian serial yang

dilakukan di Perancis. PAda penelitian ini, riwayat AD berhubungan dengan adanya

dermatitis yang mengelilingi lesi MC (seperti yang telah dibicarakan sebelumnya)

tetapi tanpa berkembangnya lesi inflamasi MC atau GCLR.

Gianotti-Crosti syndrome (papular acrodermatitis pada anak-anak), merupakan

eksantema yang dipicu oleh infeksi berbagai jenis virus, termasuk Epstein-Barr virus

(EBV) dan hepatitis B virus.Sindrom ini berupa erupsi monomorfik simetris, papul

eritematosa edematous, atau papulovesikel yang berlokasi pada permukaan

ekstensor ekstremitas, bokong, dan pipi. Menurut pengetahuan kami, sebelum 34

Page 12: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

kasus yang telah diterangkan, hanya dua kasus yang dilaporkan dari pasien (anak

anak berusia 5 dan 8 tahun) yang menderita GLCR dan berhubungan dengan MC.

Salah satu dari anak ini mempunyai hasil negative dari pemeriksaan serologis

terhadap berbagai macam virus (termasuk EBV dan hepatitis B), dan lainnya

mempunyai dermatitis moluscum ko-eksisten dan terdiagnosis mempunyai “id

reaction”

Karakteristik morfologi, distribusi, dan pruritus GCLR pada MC mengingatkan akan id

reactions (eksema diseminata berhubungan dengan dermatitis kontak alergika atau

infeksi dermatofit). Dibandingkan dengan sindrom Gianotti-Crosti klasik,GCLRs

dipicu oleh kecenderungan MC menghambat timbulnya pruritus yang lebih hebat,

distribusinya lebih terlokalisir ( terbatas hanya pada lutut dan siku), dan respons

terhadap terapi korikosteroid local yang lebih baik. Gambaran histologis yang

ditemukan pada pasien dengan GCLR yang di-biopsi adalah spongiosis epidermal dan

infiltrate limfohistiositik perivaskuler, yang hamper menyerupai Gianotti-Crosti

syndrome atau id reaction.

Observasi GCLR pada 5% pasien dengan MC dalam seial ini menunjukkan bahwa

respons inflamasi terhadap MC lebih sering terjadi dibandingkan dengan laporan

sebelumnya.Hubungan antara GCLR tanpa MC mungkin tidak diketahui bila lesi MC

hanya berjumlah sedikit, pada daerah yang tersembunyi (misalnya ketiak atau lipat

paha), tertutup oleh inflamasi, atau terkaburkan olrh dermatitis. Karena papul atau

papulovesikel GCLR dapat mengaburkan lesi MC, maka GCLR dianggap (terutama

oleh orang tua) sebagai peningkatan jumlah molluscum yang mengalami inflamasi.

Dermoskopi dapat membantu mengidentifikasi lesi MC, yyang dikarakteristikkan

dengan lesi multilobulasi, berwarna putih sampai dengan kuning, struktur sentral

amorfous yang dikelinlingi oleh “mahkota” pembuluh darah.

Moluscum yang berkaitan dengan GCLR cenderung lebih singkat, berlangsung

selama 6 minggu pada pasien dalam penelitian ini yang kembali melakukan follow

Page 13: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

up dan tiga minggu atau kurang (setelah pengangkatan lesi MC dengan curettage)

pada 2 laporan terdahulu. Perkembangan GCLR pada pasien dengan MC tampaknya

mempunyai prognostic yang baik.Semua pasien dengan GCLR yang datanya telah

kami simpan mengalami penurunan jumlah lesi MC secara dramatis, dengan

penyembuhan lesi MC secara lengkap yang terjadi dalam median 5 minggu setelah

onset GCLR.

Dua orang pasien dalam serial ini mempunyai erupsi popular reaktif yang awalnya

mencakup 1 buah ketiak dan punggung ipsilateral, menyerupai ULTE.Seperti

Gianotti-Crosti syndrome, ULTE dianggap terpicu oleh virus, tapi tidak ada agen

etiologic yang terlihat secara konsisten. Anak anak yang terkena ULTE tanpa erupsi

morbiliformis atau eksematosa biasanya hanya terkena pada satu buah ketiak dan

punggunf dan atau lengan atas, biasanya akan menjadi bilateral.

Osio dan kawan-kawan mencatat penggunaan kortikosteroid topikal dalam 3 bulan

sebelumnya berhubungan dengan risiko rekurensi yang lebih tinggi setelah terapi

MC. Diantara pasien dalam penelitian terhadap moluscum kontagiosum ini, jumlah

lesi MC akan meningkat selama 3 bulan berikutnya pada 23,4% pasien yang diterapi

dengan kortikosteroid topikal dan 33,3% pasien yang tidak diterapi dengan

kortikosteroid topikal (table 2). Proporsi yang lebih kecil (16.8%) adalah pasien

dengan dermatitis dan peningkatan lesi MC selama waktu penelitian. Hasil ini

menyatakan bahwa dermatitis eksematosa lebih mempunyai peranan terhadap

perkembangan lesi MC baru dibandingkan dengan efek imunomodulator dari

kortikosteoroid yang digunakan.Hubungan antara penggunaan kortikosteroid topikal

dan rekurensi MC yang diobservasi oleh Osio dan kawan-kawan dapat dijelaskan

dengan autoinokulasi virus MC yang berhubungan dengan pruritus dan resultansi

garukan dermatitis yang telah diterapi. Penggunaan kortikosteroid topikal juga

sebelumnya tersamarkan oleh lesi MC dengan dermatitis menjadi lebih terlihat,

sehingga dapat dicari penjelasan mengenai rekurensi MC. Observasi penelitian saat

Page 14: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

ini dan pengalaman dari dermatologis pediatric lainnya menganjurkan control pada

sekeliling dermatitis akan membantu untuk mencegah penyebaran MC yang sering

terjadi sebagai akibat garukan.

Pada serial penelitian yang meliputi anak anak dengan MC, proporsi pasien dengan

kelainan imun yang diketahui (misalnya infeksi HIV, imunodefisiensi primer) atau

menggunakan obat obatan imunosupresan sangatlah rendah. Contohnya, hanya 7

dari 696 pasien (1.0%; tidak satupun dengan infeksi HIV) dalam serial ini, dan tidak

satupun dari 661 pasien pediatrik dengan MC yang menderita immunocompromised

pada penelitian berskala besar yang dilakukan sebelumnya.

Pada pusat perawatan tersier, pasiendenganriwayat medis yang sulit (termasuk

kelainan imun dan pemberian terapi imunomodulator) umumnya mempunyai

proporsi pasien MC yang lebih besar daripada komunitas umum. Pada penelitian

berbasis populasi selama 5 tahun terhadap Native Americans dan Alaskan Natives,

hanya 13 dari 13700 kunjungan (<0.1%) mengenai MC selama periode 5 tahun dan

mengikut sertakan pasien dengan infeksi HIV.

Tidak ada baku emas untuk terapi MC, seperti yang tergambarkan pada berbagai

metde destrukti dan imunomdulator yang digunakan. Walaupun hanya dengan

melihat sudah cukup tepat untuk panyakit swasirna seperti MC, terapi dapat

membantu untuk menghilangkan pruritus dan rasa tidak nyaman, mencegah

penyevaran melalui inokulasi atau transmisi terhadap anak lainnya, dan

mengeleminasi stigma sosial terhadap lesi yang terlihat. Dalam penelitian terbaru

pada anggota the Society for Pediatric Dermatology, metode terapi yang paling

sering digunakan untuk MC adalah cantharidin, imiquimod, dan curettage

(digunakanoleh 95%, 85%, dan 72% of responden, kurang lebih). Tiap metode ini

sering digunakan dalam penelitian yang sedang dilakukan (gambar 6), yang mana

paling sering digunakan sampai saat ini adalah cantharidin (475 pasien). Penelitian

ini dan serial lain, seperti laporan terapi cantharidin pada 300 pasientanpa MC oleh

Page 15: Molluscum Contangiosum Terbaru 2

Silverberg dan kawan-kawantahun 2000, memberikan bukti mengenai keamananan

dan efisiensi cantharidin.

Tendendi penyembuhan spontan MC menyebabkan sulitnya menentukan efektivitas

terapi dalam serial retrospektif dan penelitian tanpa kontrol. Salah satu penelitian

retrospektif menemukan bahwa curretage (setelah penggunaan anestesi topikal

dengan atau tanpa sedasi sistemik) memerlukan kunjungan pasien yang lebih sedikit

untuk eliminasi MC dan tingkat efek samping yang lebih rendah dibandingkan

aplikasi cantharidin topikal atau imiquimod. Salah satu penelitian randomisasi juga

menunjukkan bahwa terapi Imiquimod MC mempunyai efektifitas serupa dengan

cryoterapi atau aplikasi pottasiun hidrooksida topikal. Walaupun cryoterapi (saat

dilakukan setiap minggu) mengakibatkan menghilangnya lesi MC yang lebih cepat

dibandingkan imiquimod ( 3-6 minggu berbanding 6-12 minggu), jenis yang

sebelumnya lebih terasa tidak nyaman dan menyebabkan sekuel pigmentasi.

Diperlukan penelitian terkontrol tambahan untuk mengevaluasi keuntungan dan

toleransi pasien terhadap terapi MC yang berbeda. Kesimpulan, serial ini mencatat

frekuensi dan gambaran klinis reaksi inflamasi MC, menggaris bawahi hubungannya

satu dengan yang lain, AD, dan terjadinya infeksi MC. Insiden, gambaran klinis, dan

implikasi prognostik dari mengetahui GCLR pada pasien MC pada saat awal.

Mengerti dengan lebih baik tentang patogenesis reaksi ibflamasi ini dan efeknya

terhadap riawayat MC sebelumnya membantu mengembangkan terapi yang lebih

efektif untuk infeksi yang sering terdapat pada anak-anak tersebut.