modul vektor penyakit dan...
TRANSCRIPT
MODUL VEKTOR PENYAKIT DAN PENYAKIT OLEH YENNI TARIGAN, M.Sc
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga karya tulis
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimaksih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirnya. Modul ini saya buat dalam rangka memenuhi salah satu tugas saya sebagai dosen di
Universitas Sari Mutiara Indonesia pada Mata Kuliah Pengembangan dan pengorganisasian.
Modul mata kuliah ini berisi uraian singkat tentang konsep dasar dan ruang lingkup
Pengembangan dan Pengorganisasian serta penjelasannya. Dan harapan saya semoga buku ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi karya tulis agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya,saya yakin masih banyak
kekurangan dari karya tulis ini.oleh karna itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan buku ini
i
VISI DAN MISI
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
VISI
Menjadi program studi kesehatan yang unggul, berkarakter, berdaya saing global khususnya
dibidang kesehatan lingkungan tahun 2038
MISI
1. Melaksanakan pendidikan yang efektif, efesien dalam kesehatan masyarakat, khususnya
kesehatan linkungan sesuai dengan SN Dikti dan KKNI level 6 (enam)
2. Melaksanakan kregiatan penelitian dalam rangka memberikan solusi dalam berbagai
persoalan kesehatan khususnya kesehatan lingkungan
3. Melaksanakan kegiatan pengabdian maysarakat secara provesional untuk meningkatkan
status kesehatan masyarakat yang mendukung pencapaian progam pemerintah dalam
bidang kesehatan khususnya kesehatan lingkungan.
4. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta institusi,
asosiasi profesi dalam dan luar negeri dalam rangka pelaksanaan tridarma perguruan
tinggi
i
BAB I
Menjelaskan Tentang Vektor Penyakit
1.1 Pengendalian Vektor Penyakit
Peraturan Mentri No.374 tahun 2010 mendefinisikan bahwa pengendalian vektor
merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah
mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan penyakit di
suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit
yang dibawa oleh vektor dapat di cegah (MENKES,2010).
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau
mekanis, penggunaan agen biotik kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat
perkembangbiakannya dan atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan
mengembangkan kearifan loKal sebagai alternative. Beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya angka kesakitan penyakit bersumber binatang antara lain adanya perubahan iklim,
keadaan social-ekonomi dan perilaku masyarakat. Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko
kejadian penyakit tular vektor. Faktor risiko lainnya adalah keadaan rumah dan sanitasi yang
buruk, pelayanan kesehatan yang belum memadai, perpindahan penduduk yang non imun ke
daerah endemis.
Masalah yang di hadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia antara lain kondisi geografis
dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman vektor, belum teridentifikasinya spesies
vektor ( pemetaan sebaran vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan
penggunaan pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten beberapa vektor
terhadap pestisida tertentu, keterbatasan sumberdaya baik tenaga, logistik maupun biaya
operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian vektor.
Dalarn pengendalian vektor tidaklah mungkin dapat dilakukan pembasmian sampai
tuntas, yang mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi
kesatu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia. Namun hendaknya dapat
diusahakan agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor dapat mencapai hasil
yang baik. Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang sesuai, bahkan teknologi sederhana pun
yang penting di dasarkan prinsip dan konsep yang benar. Ada beberapa cara pengendalian vector
penyakit yaitu :
i
1. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT)
Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis dan social budaya,
maka pengendaliannya tidak hanya menjadi tanggung jawab sector kesehatan saja tetapi
memerlukan kerjasama lintas sector dan program. Pengendalian vektor dilakukan dengan
memakai metode pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metoda pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaannya serta dengan
mempertimbangkan kesinambungannya.
1. Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah
1. Dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi sebagai metode atau cara pengendalian
2. Dapat meningkatkan program pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit tular vektor
3. Melalui kerjasama lintas sector hasil yang dicapai lebih optimal dan saling
menguntungkan.
Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan pengendalian vektor menggunakan
prinsip-prinsip dasar management dan pertimbangan terhadap penularan dan pengendalian
peyakit. Pengendalian Vektor Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang
rasional agar sumberdaya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian lingkungan terjaga.
Prinsip-prinsip PVT meliputi:
1. Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor setempat,
dinamika penularan penyakit, ekosistem dan prilaku masyarakat yang bersifat spesifik
local( evidence based)
2. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sector dan program
terkait, LSM, Organisasi profesi, dunia usaha /swasta serta masyarakat.
3. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan metoda non kimia dan
menggunakan pestisida secara rasional serta bijaksana
4. Pertimbangan vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip ekonomi yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
i
Beberapa metode pengendalian vektor sebagai berikut:
1. Metode pengendalian fisik dan mekanik adalah upaya-upaya untuk mencegah,
mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik
dan mekanik.
Contohnya:
modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan (3M, pembersihan lumut,
penenman bakau, pengeringan, pengalihan/ drainase, dll)
Pemasangan kelambu
Memakai baju lengan panjang
Penggunaan hewan sebagai umpan nyamuk (cattle barrier)
Pemasangan kawat
2. Metode pengendalian dengan menggunakan agen biotic
predator pemakan jentik (ikan, mina padi,dll)
Bakteri, virus, fungi
Manipulasi gen ( penggunaan jantan mandul,dll)
3. Metode pengendalian secara kimia
Surface spray (IRS)
Kelambu berinsektisida
larvasida
Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor yang dapat dijadikan sebagai pegangan sebagai
berikut :
1. Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara pengendalian agar vektor
tetap berada di bawah garis batas yang tidak merugikan/ membahayakan.
2. Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologi terhadap tata
lingkungan hidup. (Nurmaini, 2001)
i
Pengendalian secara alamiah (naturalistic control) yaitu dengan memanfaatkan kondisi
alam yang dapat mempengaruhi kehidupan vector. Ini dapat dilakukan dalam jangka
waktu yang lama
Pengendalian terapan (applied control) yaitu dengan memberikan perlindungan bagi
kesehatan manusia dari gangguan vektor. Ini hanya dapat dilakukan sementara.
1. Upaya peningkatan sanitasi lingkungan (environmental sanitation improvement)
2. Pengendalian secara fisik-mekanik (physical-mechanical control) yaitu dengan
modifikasi/manipulasi lingkungan
3. Pengendalian secara biologis (biological control) yaitu dengan memanfaatkan
musuh alamiah atau pemangsa/predator, fertilisasi
4. Pengendalian dengan pendekatan per-UU (legal control) yaitu dengan karantina
5. Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (chemical control) (Afrizal,
2010).
1.2 Macam-macam vector penyakit
Sebagian dari Arthropoda dapat bertindak sebagai vektor, yang mempunyai ciri-ciri kakinya
beruas-ruas, dan merupakan salah satu phylum yang terbesar jumlahnya karena hampir meliputi
75% dari seluruh jumlah binatang (Nurmaini,2001). Berikut jenis dan klasifikasi vektor yang
dapat menularkan penyakit :
Arthropoda yang dibagi menjadi 4 kelas :
1. Kelas crustacea (berkaki 10): misalnya udang
2. Kelas Myriapoda : misalnya binatang berkaki seribu
3. Kelas Arachinodea (berkaki 8) : misalnya Tungau
4. Kelas hexapoda (berkaki 6) : misalnya nyamuk .
Dari kelas hexapoda dibagi menjadi 12 ordo, antara lain ordo yang perlu diperhatikan dalam
pengendalian adalah :
Ordo Dipthera yaitu nyamuk dan lalat
1) Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria
i
2) Nyamuk aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah
3) Lalat tse-tse sebagai vektor penyakit tidur
Ordo Siphonaptera yaitu pinjal
1) Pinjal tikus sebagai vektor penyakit pes
Ordo Anophera yaitu kutu kepala
1) Kutu kepala sebagai vektor penyakit demam bolak-balik dan typhus exantyematicus.
Selain vektor diatas, terdapat ordo dari kelas hexapoda yang bertindak sebagai binatang
pengganggu antara lain:
1) Ordo hemiptera, contoh kutu busuk.
2) Ordo isoptera, contoh rayap.
3) Ordo orthoptera, contoh belalang
4) Ordo coleoptera, contoh kecoak
Sedangkan dari phylum chordata yaitu tikus yang dapat dikatakan sebagai binatang
pengganggu, dapat dibagi menjadi 2 golongan :
1. Tikus besar, (Rat)
Contoh :
Rattus norvigicus (tikus riol )
Rattus-rattus diardiil (tikus atap)
Rattus-rattus frugivorus (tikus buah-buahan)
2. Tikus kecil (mice)
Contoh: Mussculus (tikus rumah)
i
Arthropoda [arthro + pous ] adalah filum dari kerajaan binatang yang terdiri dari organ yang
mempunyai lubang eksoskeleton bersendi dan keras, tungkai bersatu, dan termasuk di dalamnya
kelas Insecta, kelas Arachinida serta kelas Crustacea, yang kebanyakan speciesnya penting
secara medis, sebagai parasit, atau vektor organisme yang dapat menularkan penyakit pada
manusia (Chandra,2003).
1.3 Macam-macam binatang pengganggu
BAB II
Aspek Hukum Pengendalian Vektor Penyakit dan Binatang Pengganggu
2.1 Aspek Hukum Pengendalian
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR :
374/MENKES/PER/III/2010 TENTANG PENGENDALIAN VEKTOR
bahwa penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang dapat
menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran vektor; . bahwa upaya
pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada kebijakan pengendalian vektor terpadu melalui
suatu pendekatan pengendalian vektor dengan menggunakan satu atau kombinasi beberapa
metode pengendalian vektor; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud perlu
ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengendalian Vektor. Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);
2.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
i
3.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan
dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1973 Nomor 12);
5.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637);
6.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/ Menkes/Per/VIII/1986 tentang Jenis-jenis Penyakit
yang dapat Menimbulkan Wabah dan Tata Cara Pelaporannya;
7.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1350/Menkes/SK/XII/2001 tentang Pengelolaan
Pestisida;
8.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 439//Menkes/Per/VI/2009;
9.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/ Permentan/SR.140/2/2007 tentang Syarat dan Tata
Cara Pendaftaran Pestisida
10Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.140/2/2007 tentang pengawasan
pestisida
2.2 Vektor Penyakit dan Binatang Pengganggu
Secara umum, vektor mempunyai peranan yaitu sebagai pengganggu dan penular penyakit.
Vektor yang berperan sebagai pengganggu yaitu nyamuk, kecoa/lipas, lalat, semut, lipan,
kumbang, kutu kepala, kutu busuk, pinjal, dll. Penularan penyakit pada manusia melalui vektor
penyakit berupa serangga dikenal sebagai arthropod – borne diseases atau sering juga disebut
i
sebagai vector – borne diseases. Agen penyebab penyakit infeksi yang ditularkan pada manusia
yang rentan dapat melalui beberapa cara yaitu :
1. Dari orang ke orang
2. Melalui udara
3. Melalui makanan dan air
4. Melalui hewan
5. Melalui vektor arthropoda (Chandra,2003).
Vektor penyakit dari arthropoda yang berperan sebagai penular penyakit dikenal sebagai
arthropod – borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector – borne diseases.
1. Arthropods Borne Disease
Istilah ini mengandung pengertian bahwa arthropoda merupakan vektor yang bertanggung jawab
untuk terjadinya penularan penyakit dari satu host (pejamu) ke host lain. Paul A. Ketchum,
membuat klasifikasi arthropods borne diseases pada kejadian penyakit epidemis di Amerika
Serikat seperti terlihat pada tabel dibawah ini :
BAB III
Hubungan vector penyakit dengan binatang pengganggu terhadap kehidupan manusia
3.1 Hubungan vector penyakit dengan binatang pengganggu terhadap kehidupan manusia.
Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa seranggadikenal sebagai
i
arthropod-borne diseases atau sering juga disebut sebagai vektor-borne diseases ada 3 jenis cara
transmisi arthropod-bome diseases, yaitu :
1. kontak Langsung
Arthropoda secara langsung memindahkan penyakit atau investasi dari satu orang ke
orang lain melalui kontak langsung. Contohnya adalah scabies dan pediculus.
2. Transmisi secara Mekanik
Agen penyakit ditularkan secara mekanik oleh arthropoda, seperti penularan penyakit
diare, typhoid , keracunan makanan dan trachoma oleh lalat. Secara karakteristik arthropoda
sebagai vektor mekanik membawa agen penyakit darimanusia berupa tinja, darah, ulkus
supersisial, atau eksudat. Kontaminasi bisa hanya pada permukaan tubuh arthropoda tapi juga
bisa dicerna dan kemudian dimuntahkan atau dikeluarkan melalui ekskreta.Agen penyakit yang
paling banyak ditularkan melalui arthropoda adalahenteric bacteria yang ditularkan oleh lalat
rumah. Diantaranya adalah salmonellatyphosa, species lain dari salmonella, Escherichia coli, dan
Shigella dysentry yang paling sering ditemui dan paling penting. alat rumah dapat merupakan
vektor dar iagen penyakit tuberculosis, anthra;, tularemia, dan brucellosis.
BAB IV
Mengkaji pokok pokok pengendalian vector penyakit dan binatang pengganggu
4.1 Metodologi pengendalian vector penyakit dan binatang pengganggu.
i
Pengendalian vektor dan binatang pengganggu adalah upaya untuk mengurangi atau
menurunkan populasi vektor atau binatang pengganggu dengan maksud pencegahan atau
pemberantasan penyakit yang ditularkan atau gangguan (nuisance) oleh vektor dan binatang
pengganggu tersebut.
Penyakit tadi belum ada obatnya ataupun vaksinnya, seperti hamper semua penyakit yang
disebabkan oleh virus.Menurut WHO (Juli Soemirat,2009:180), pengendalian vektor penyakit
sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan :
1. Bila ada obat ataupun vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama
untuk penyakit parasiter
2. Berbagai penyakit di dapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga sulit
dikendalikan.
3. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis dan malaria.
4. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat seperti insekta yang
bersayap
BAB V
Pengendalian Nyamuk Aedes dengan larvasida, pengasapan, dan spraying.
i
5.1 Bionomik nyamuk Aedes Aegypti
a. Ketahanan hidup
Cuaca memegang peranan penting dalam daur hidup nyamuk sebagai vector demam berdarah.
Faktor yang berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Berkaitan
denganClimate change, semua factor menjadi tidak dominan karena ketidak pastian cuaca
memberikan kombinasi yang beragam (Tjatur, 2013). Perkembangan telur nyamuk tampak telah
mengalami embrionisasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperature udara 25-30 C dan
dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25- 27C dan
pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali Bila suhu kurang dari 10C atau lebih dari 40C.
Kalimantan merupakan daerah tropis, suhu udara 25% merupakan suhu optimum untuk
perkembangbiakan jentik (Ridha, 2013).
b. Kebiasaan mengigit
Aktivitas mengigit mencapai puncak pada saat perubahan intensitas cahaya tetapi bisa mengigit
sepanjang hari dan tertinggi sebelum matahari terbenam. Jarak terbang pendek yaitu 50-100
meter kecuali terbawa angin (Soegijanto, 2006). Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti
mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus
gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat
efektif sebagai penular penyakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
c. Perilaku istirahat
Nyamuk akan istirahat pada tempat-tempat yang gelap dan sejuk apabila sudah menghisap darah,
sampai proses penyerapan darah untuk perkembangan telur selesai. Nyamuk akan mencari
tempat berair untuk meletakan telurnya, kemudian bertelur dan kemudian nyamuk akan mulai
mencari darah lagi untuk siklus bertelur berikutnya (Soegijanto, 2006).
d. Kebiasaan berkembangbiak (Breeding Habit)
Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan,
drum, vas bunga, dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di daerah urban dan
suburban (Soegijanto, 2006).
5.2 Tata cara Pengendalian Nyamuk dengan larvasida, pengasapan, dan spraying.
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus bertujuan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah dengue hingga ke tingkat yang bukan
i
merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan pemberantasan nyamuk Aedes dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Pemberantasan nyamuk dewasa
a. Pengasapan (Fogging ) Pengasapan atau fogging
dengan menggunakan jenis insektisida misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid
synthetic (Supartha, 2008). Contohnya, malathion dan fenthoin, dosis yang dipakai adalah 1 liter
malathion 95% EC + 3 liter solar. Pengasapan dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan
sore antara jam 15.00-17.00 secara serempak (Depkes RI, 2004). Penyemprotan dilakukan dua
siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan pertama, semua nyamuk yang mengandung
virus dengue
(nyamuk infentif) dan nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan kedua bertujuan agar nyamuk
baru yang infektif akan terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang lain. Dalam waktu
singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini harus
diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat tetap
ditekan serendah-rendahnya (Chahaya, 2005).
b. Repelen Repelen yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat mengganggu
kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan dari hewan atau manusia. Dengan kata lain,
bahan itu berkhasiat mencegah nyamuk hinggap dan menggigit. Bahan tersebut memblokir
fungsi sensori pada nyamuk. Jika digunakan dengan benar, repelen nyamuk bermanfaat untuk
memberikan perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk selama jangka waktu
tertentu (Kardinan, 2007). Nyamuk dalam mengincar mangsanya lebih mengandalkan daya cium
dan panas tubuh calon korbannya. Daya penciuman itulah yang menjadi target dalam menghalau
nyamuk (Diah, 2008).
BAB VI
Pengendalian Nyamuk Anopheles.
6.1 Bionomik Nyamuk Anopheles.
i
Bionomi Anopheles Perilaku Berkembang Biak nyamuk Anopheles betina mempunyai
kemampuan memilih tempat perindukan atau tempatuntuk berkembang biak yang sesuai dengan
kesenangan dan kebutuhannya ada spesies yangsenang pada tempat-tempat yang kena sinar
matahari langsung ada pula yangsenang pada tempat-tempat teduh. Speies yang satu berkembang
dengan baik diair payau,campuran tawar dan air laut) misalnya dan seterusnya oleh Karen
perilaku berkembang biak ini sangat bervariasi, maka diperlukan suatu survai yang intensif untuk
inentarisasi tempat perindukan, yang sangat diperlukan dalam program pemberantasan.kepadatan
populasi nyamuk Anopheles sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi. entik-jentik nyamuk ini
mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2 minggu setelah tanamdan paling
banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai menjelang panen.di daerah
yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada
berbagai umur, maka nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puak kepadatan yang
terjadi sekitar bulan februari-april dan sekitar bulan juli-gustus.
6.2 Pengendalian Nyamuk Anopheles.
Penanggulangan malaria seharusnya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan antara
Host,Agent.
Dan evironment, pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan kepada sasaran yangtepat, yaitu
1.Pemberantasan vektor
penanggulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan
rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk maka parasit yang ada dalam tubuh,
pertumbuhannya di dalam tubuh tidak selesai, sehingga penyebaran transmisi penyakit dapat
terputus. Demikian juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempat-tempat
perindukan, sehingga perkembangan jumlah nyamuk dapat dikurangi dan akan berpengaruh
terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria.
BAB VII
Menjelaskan tentang Pengendalian Tikus (Rodent Control)
7.1 Pengendalian Tikus (Rodent Control) dan dampak kesehatan pada manusia.
i
Tikus adalah salah satu hama yang banyak menimbulkan ganguan/kerugian baik pada
area perkebunan, pertanian, pergudangan, pabrik pengolahan makanan, transportasi,
supermarket, perhotelan, restoran, perkantoran sampai ke rumah tinggal .
a. Kerugian yang ditimbulkan oleh tikus
1. Merusak fasilitas/konstruksi gedung, mengerat pintu, melubangi plafon, mengerat kabel
sehingga menimbulkan resiko arus pendek.
2. Merusak material di tempat penyimpanan baik dari segi kualitas dan kuantitas.
3. Menularkan berbagai bibit penyakit pada hewan dan manusia antara lain :
o Plague yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis.
o Murine Typus yang disebabkan oleh organisme ricketsial sejenis bakteri.
o Salmonelllosis (keracunan makanan) yang disebabkan oleh bakteri.
o Rat-bite Fever(demam akibat gigitan tikus) yang disebabkan oleh bakteri
Streptobacillis monoliformis yaitu pada air liur tikus.
o Leptospirosis yang disebakan oleh bakteri Leptospira menyebar melalui urine
tikus.
o Merusak estetika karena menimbulkan kesan daerah tersebut jorok, kotor dan
tidak sehat.
Cara dan teknik pengendalian Tikus
Sanitasi
Yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan dari ceceran makanan dan minuman
sehingga makan dan minuman tersebut tidak tersedia bagi tikus.
Rodent Proofing
Yaitu melakukan penutupan terhadap jalur – jalur yang dapat dilalui oleh tikus untuk
masuk kedalam bangunan.
Harborage Removel ( pemindahan dan penghilangan sarang )
Penggunaan perangkap ( Trapping )
Biasanya digunakan Live Traps atau Glue Traps pada area yang tidak memungkinkan
penggunaan bahan kimia.
i
Cara Kimiawi ( Rodentisida )
Yaitu dengan menggunakan racun akut (efeknya cepat) dan atau racun kronis/anti
koagulan (efeknya lambat) dengan system pengendalian 3 Ring yaitu :
1. Ring 1 yaitu pemasangan Rodent Bait station ( RBS) pada sepanjang sisi dalam
pagar dengan jarak 20 – 25 meter.
2. Ring 2 yaitu pemasangan RBS pada sepanjang sisi luar dinding bangunan dengan
jarak 15 – 20 meter.
3. Ring 3 yaitu pemasangan bait station pada area dalam bangunan dengan jarak 8 –
10 meter baik dengan menggunakan trapping maupun rodentisida (tergantung
kondisi dan kegunaan fasilitas )
7.2 Pengendalian Hama Tikus
Dalam melakukan pengendalian hama tikus Athena melakukan dalam beberapa tahapan-tahapan
meliputi :
Initial Treatment
Initial Treatment adalah suatu tahapan dalam melakukan pengendalian hama tikus yang
dilaksanakan pada bulan pertama atau pada awal kontrak yang sasarannya untuk mengendalikan
hama tikus yang ada pada lokasi tersebut. Cara pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan pengumpanan dan atau penggunaan perangkap secara menyeluruh pada
semua lokasi. Setelah dilakukan penempatan umpan dan atau perangkap, dilakukan pengecekan
dan penambahan/penggantian umpan
Reguler Treatment
Reguler treatment adalah suatu tahapan pengendalian yang dilaksanakan oleh Termindo setelah
Initial Treatment dan dilaksanakan pada bulan berikutnya. Hal ini bertujuan untuk melakukan
monitoring dan tindakan pengenadalian terhadap re-infestasi tikus dari area lain. Pada tahapan
ini Termindo akan melakukan instalasi bait Station pada area-area tertentu. Pelaksanaan
monitoring dilakukan dengan melakukan pemeriksaan jumlah umpan yang terdapat pada setiap
bait Station apakah terjadi pengurangan akibat termakan oleh tikus. Lingkungan disekitar
penempatan bait Station juga akan dimonitor apakah ditemukan adanya tanda-tanda keberadaan
i
tikus. Apabila pada Station terjadi pengurangan jumlah umpan maka akan dilakukan
penambahan umpan sehingga jumlahnya sama dengan Station sebelumnya. Apabila pengurangan
terjadi akibat termakan oleh tikus dan ditemukan adanya tanda-tanda keberadaan tikus disekitar
bait Station maka akan dilakukan penambahan umpan serta penambahan Station dan bila
memungkinkan (aman) akan dilakukan penyebaran umpan disekitar Station tersebut. Dalam
menempatkan bait Station dan perangkap Termindo akan menerapkan system perlindungan tiga
lapis yaitu :
Ring 1 ( Sisi pagar bagian dalam )
Pada sisi pagar bagian dalam akan ditempatkan Rodent Bait Station (RBS) yang dapat
berupa PVC paralon, kotak kaleng, kotak plastik dll. Jarak penempatan setiap Station
adalah 20 – 25 meter tergantung perkiraan kepadatan populasi atau keadaan lokasi.
Ring 2 ( Sisi Luar Gedung )
Pada sisi gedung bagian luar Termindo juga akan menepatkan Rodent Bait Station
(RBS) dengan jarak 15 – 20 meter untuk mengendalikan dan memonitot tikus pada
sekitar area tersebut,atau tikus yang lolos dari monitoring lapaisan pertama.
Ring 3 ( Sisi dalam gedung )
Pada lapisan bagian ini Termindo akan mengusahakan penggunaan bahan kimia
seminimal mungkin dan atas seijin dari manajemen building . Dan Bilamana penggunaan
bahan kimia atau Rodentisida juga tidak mendapat ijin utamanya pada area
produksi maka oleh Termindo akan melakukan pengendalian dengan penggunaan lem
tikus serta perangkap yang nantinya akan dipasang pada sekeliling sisi pinggir gedung
bagian dalam area produksi tersebut dengan jarak 8 – 10 meter atau akan disesuaikan
dengan kondisi lokasi.
BAB VIII
Menjelaskan tentang Pengendalian lalat
8.1 Bionomik Lalat
i
Lalat termasuk dalam kelompok serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha dan
ordo Diptera. Secara morfologi, lalat mempunyai struktur tubuh berbulu, mempunyai antena
yang berukuran pendek dan mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil
(berfungsi menjaga kestabilan saat terbang). Lalat mampu terbang sejauh 32 km dari tempat
perkembangbiakannya. Meskipun demikian, biasanya lalat hanya terbang 1,6-3,2 km dari tempat
tumbuh dan berkembangnya lalat.
Lalat juga dilengkapi dengan sistem penglihatan yang sangat canggih, yaitu adanya mata
majemuk. Sistem penglihatan lalat ini terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan.
Bahkan ada beberapa jenis lalat yang memiliki penglihatan tiga dimensi yang akurat. Model
penglihatan lalat ini juga menjadi “ilham” bagi ilmuwan kedokteran untuk menciptakan sebuah
alat pencitraan (scan) baru.
Mata lalat dapat mengindra getaran cahaya 330 kali per detik. Ditinjau dari sisi ini, mata
lalat enam kali lebih peka daripada mata manusia. Pada saat yang sama, mata lalat juga dapat
mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada spektrum cahaya yang tidak terlihat oleh kita.
Perangkat ini memudahkan lalat untuk menghindar dari musuhnya, terutama di lingkungan
gelap.
Beberapa jenis lalat dapat menyerang suatu peternakan. Namun 95% jenis lalat yang sering
ditemukan dipeternakan ialah lalat rumah (Musca domestica) dan little house fly (Fanny canicularis).
Jenis lalat lainnya seperti lalat buah (Lucilia sp.), lalat sampah berwana hitam (Ophyra aenescens)
maupun lalat pejuang (soldier flies) juga sering mengganggu lingkungan peternakan.
Siklus Hidup Lalat
Siklus hidup semua lalat terdiri dari 4 tahapan, yaitu telur, larva, pupa dan lalat dewasa. Lalat
dewasa akan menghasilkan telur berwarna putih dan berbentuk oval. Telur ini lalu berkembang menjadi
larva (berwarna coklat keputihan) di feses yang lembab (basah). Setelah larva menjadi dewasa, larva ini
keluar dari feses atau lokasi yang lembab menuju daerah yang relatif kering untuk berkembang menjadi
pupa. Dan akhirnya, pupa yang berwarna coklat ini berubah menjadi seekor lalat dewasa. Pada kondisi
yang optimal (cocok untuk perkembangbiakan lalat), 1 siklus hidup lalat tersebut (telur menjadi lalat
dewasa) hanya memerlukan waktu sekitar 7-10 hari dan biasanya lalat dewasa memiliki usia hidup selama
15-25 hari.
Dalam waktu 3-4 hari, seekor lalat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 500 butir. Dengan
kemampuan bertelur ini, maka dapat diprediksikan dalam waktu 3-4 bulan, sepasang lalat dapat beranak-
i
pinak menjadi 191,01 x 1018 ekor (dengan asumsi semua lalat hidup). Bisa kita bayangkan, dengan
kemampuan berkembang biak lalat tersebut dapat memberikan ancaman tersendiri.
8.2 Pengendalian lalat
Setelah mengetahui akibat berkembangnya lalat di peternakan kita, sudah merupakan
suatu kebutuhan bahwa kita harus bisa mengendalikan lalat tersebut. Sudah barang tentu,
pengendalian lalat ini membutuhkan teknik yang tepat. Jika tidak, bukan tidak mungkin gara-
gara lalat ini kita akan mengalami kerugian yang besar bahkan ditutupnya usaha kita.
Lalat tergolong salah satu insect atau serangga yang “bandel”. Keberadaannya di kandang
sangat mudah ditemui, terlebih lagi saat musim penghujan. Beberapa hal yang menjadikan lalat
bandel, ialah :
Mobilitas lalat sangat tinggi karena dilengkapi dengan sepasang sayap sejati (asli) dan
sepasang sayap kecil (yang menstabilkan terbang lalat)
Lalat mempunyai sistem penglihatan yang sangat baik, yaitu mata majemuk yang
tersusun atas lensa optik yang sangat banyak sehingga lalat mempunyai sudut pandang
yang lebar. Kepekaan penglihatan lalat ini 6 x lebih besar dibandingkan manusia. Selain
itu, lalat juga dapat mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada spetrum cahaya yang
tak terlihat oleh manusia. Dengan dua kemampuan ini (mobilitas dan penglihatan), lalat
dapat dengan mudah mengubah arah geraknya seketika saat ada bahaya yang mengancam
dirinya.
Lalat mempunyai kemampuan berkembang biak yang cepat dan dalam jumlah yang
banyak. Terlebih lagi jika kondisi lingkungan cocok bagi perkembangbiakan lalat.
Melihat ketiga kemampuan lalat tersebut, maka diperlukan teknik khusus untuk
mengatasi atau membasmi lalat. Langkah pengendalian lalat pun harus dilakukan secara
komprehensif (menyeluruh) dan terintegrasi. Langkah pengendalian lalat secara garis besar ialah
kontrol manajemen, biologi, mekanik dan kimia.
Kontrol manajemen
i
Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering merupakan teknik
pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu, feses yang lembab menjadi tempat
perkembangbiakan lalat yang sangat baik (termasuk tempat perkembangbiakan bibit
penyakit). Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat dijadikan tempat berkembang biak
(melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor lalat. Feses yang baru dikeluarkan oleh ayam yang
memiliki kadar air sebesar 75-80% merupakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan lalat.
Feses ini harus segera diturunkan kadar airnya menjadi 30% atau kurang untuk mencegah
perkembangbiakan lalat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat perkembangbiakan lalat ialah :
1. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini berdasarkan lama siklus hidup
lalat, dimana lalat bertelur setiap seminggu sekali
2. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai, terutama kandungan protein
kasar dan garam. Ransum dengan kandungan protein kasar dan garam yang tinggi dapat
memicu ayam minum banyak sehingga feses menjadi encer (basah)
3. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu pada litter sehingga dapat membantu
mengembalikan kemampuan tanah menyerap air
4. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum. Jangan sampai air minum
tumpah. Selain itu perhatikan kondisi tempat minum atau paralon dan segera perbaiki
kondisi genting yang bocor
5. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu (kadar air < 30%) dengan cara
dijemur diterik matahari (jika memungkinkan). Feses yang disimpan dalam kondisi
lembab bisa mempercepat perkembangbiakan larva lalat
6. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi kandang yang baik dapat
mempercepat proses pengeringan feses
7. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor
Pastikan intalasi saluran pembuangan air berfungsi baik, jangan biarkan air mengendap
BAB XI
i
Menjelaskan tentang Pengendalian kutu dan pinjal
9.1 Bionomik dan Pengendalian kutu dan pinjal.
1.Makanan
Pinjal pra dewasa mempunyai struktur mulut, organ anatomi dan fisiologi yang sangat
berbeda dengan pinjal dewasa. Sehingga jenis makanan yang dikonsumsi juga berbeda. Makanan
larva pinjal terdiri dari bahan-bahan organik yang ada disekitarnya, seperti darah yang
dikeluarkan melalui organ ekskresi pinjal (anus), bahan organik yang kaya akan protein dan
vitamin B. bila bahan-bahan makanan tersebut terpenuhi, maka larva pinjal akan tumbuh secara
maksimum. Pinjal jantan maupun betina merupakan serangga penghisap darah. Bagi pinjal
betina darah diperlukan untuk perkembangan telur. Pinjal akan sering menghisap darah di musim
panas daripada di musim penghujan atau dingin, karena di musim panas pinjal cepat kehilangan
air dari tubuhnya. Pinjal yang tidak makan tidak dapat hidup lama di lingkungan kering, tetapi di
lingkungan yang lembab, bila terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian,
maka ia bisa hidup selama 1 – 4 bulan (Soviana dan Hadi, 2006).
2.Perilaku
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam tubuh saat
membutuhkan makanan, tidak permanen seperti halnya kutu yang selalu menetap pada tubuh
inang. Jangka hidup pinjal bervariasi pada spesies pinjal, tergantung apakah mereka makan atau
tidak, dan tergantung pada derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Beberapa jenis pinjal
menghindari cahaya (fototaksis negatif). Pinjal jenis ini biasanya tidak mempunyai mata. Pada
sarang tikus yang kedalamannya dangkal populasi tidak akan ditemukan karena sinar matahari
mampu menembus sampai dasar liang. Sedangkan pada sarang tikus yang kedalamannya lebih
dalam dan mempunyai jalan yang berkelok, sinar matahari tidak dapat menembus sampai ke
dasar liang. Sehingga pada sarang tikus ini banyak ditemukan pinjal. Pinjal bergerak dengan
melompat, beberapa spesies bisa melompat setinggi 30 cm (Rozendaal, 1997; Soviana dan Hadi,
2006).
3.Habitat
i
Sebagian besar pinjal ditemukan di antara rambut atau bulu hewan atau di tempat tidur,
karpet dan pakaian orang. Pinjal tidak spesifik dalam memilih inangnya dan dapat makan pada
inang lain. Pada saat tidak menemukan kehadiran inang yang sesungguhnya, mereka mau makan
inang lain dan mereka dapat tahan hidup dalam periode lama (Rozendaal, 1997; Soviana dan
Hadi, 2006).
9.2 Pengendalian Pinjal
Pengamatan keberadaan pinjal merupakan tindakan terpenting dalam upaya
pengendalian terpadu terhadap pinjal. Cara sederhana untuk mengetahui keberadaan pinjal
adalah berjalan dalam ruang/rumah memakai kaos kaki putih dan menghitung jumlah pinjal yang
menempel pada kaos kaki tersebut. Selain itu dapat juga menggunakan penyedot debu manual
dengan memasukkan sapu tangan dalam kantong penampung debu (Kesuma, 2007).
Pengendalian yang dapat dilakukan terhadap keberadaan pinjal diantaranya adalah sebagai
berikut.
1.Mekanik atau Fisik
Pengendalian pinjal secara mekanik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas
kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan
menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur,
larva dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan memberikan lampu
pada kandang hewan peliharaan, membiarkan cahaya masuk ke dalam rumah karena beberapa
pinjal ada yang menghindari cahaya (fototaksis) (Soviana dan Hadi, 2006; Kesuma, 2007).
2.Kimiawi
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida.
Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan
pinjal. Secara umum, untuk mengatasi adanya pinjal, formulasi insektisida serbuk (dust) dapat
diaplikasikan dalam lantai rumah, jalan tikus/lubang tikus. Selain dalam bentuk serbuk, dapat
i
juga berupa fogs/aerosol (biasanya malathion) untuk fumigasi ruangan. Penggunaan insektisida
mempunyai efektifitas yang bervariasi dan perlu diperhatikan resistensi pinjal terhadap berbagai
jenis insektisida (Osbrinket al ., 1985; Kesuma, 2007). Upaya pengendalian pinjal di daerah
urban pada saat meluasnya kejadian pes atauMurine thyphus, diperlukan insektisida dan aplikasi
yang terencana dengan baik agar operasi berjalan dengan memuaskan. Pada saat yang sama
ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat
digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang
bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau
insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan
beberapa hari setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal
tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan menongkatkan transmisi
penyakit (Rust dan Dryden, 1997).
3.Biologi
Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan mengendalikan populasi tikus di daerah
pedesaan dan perkotaan melalui sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah yang baik, dan
memperbaiki sanitasi lingkungan yang rusak yang dapat dijadikan sebagai sarang tikus. Tidak
memiliki binatang peliharaan seperti kucing atau anjing, akan tetapi jika memang memelihara
kucing atau anjing harus terjaga sanitasi lingkungannya dengan baik (Soviana dan Hadi, 2006).
Selain cara diatas sekarang telah dikembangkan cara biologi terutama untuk memutus siklus
pinjal misalnya dengan bahan pengatur perkembangan serangga (insect growth regulator /IGR)
yang efeknya berupa penghambat kitin dan hormon juvenil ( jouvenile hormone andchitin
inhibitor ). IGR berfokus pada pengendalian pinjal pra dewasa, baik pada inang maupun
lingkungan. Bentuk-bentuk IGR berupa spray, shampoo collar bahkan dalam bentuk tablet yang
diminumkan pada hewan piaraan. Kemampuan beberapa jenis IGR ternyata juga berbeda-beda
tergantung pada tahap pra dewasa maupun umur setiap stadium (Hinket al.,1991). Selain
penggunaan IGR, juga dikembangkan pembuatan vaksin dengan menggunakan antigen yang
berasal dari membran usus pinjal, seperti keberhasilan penelitian vaksin yang memberikan
kekebalan sapi terhadap serangan caplak (Kesuma, 2007)
i
BAB X
Menjelaskan tentang Pengendalian kecoa
10.1 Bionomik dan Pengendalian kecoa.
Kecoa atau coro adalah insekta dari ordo Blattodea yang kurang lebih terdiri dari 3.500
spesies dalam 6 familia. Kecoa terdapat hampir di seluruh belahan bumi, kecuali di wilayah
kutub.Di antara spesies yang paling terkenal adalah kecoa Amerika, Periplaneta americana, yang
memiliki panjang 3 cm, kecoa Jerman, Blattella germanica, dengan panjang ±1½ cm, dan kecoa
Asia, Blattella asahinai, dengan panjang juga sekitar 1½ cm.
Siklus Hidup
Kecoa adalah serangga dengan metamorfosa tidak lengkap, hanya melalui tiga stadia
(tingkatan),yaitu stadium telur, stadium nimfa dan stadium dewasa yang dapat dibedakan jenis
jantan dan betinanya. Nimfa biasanya menyerupai yang dewasa, kecuali ukurannya, sedangkan
sayap dan alat genitalnya dalam taraf perkembangan.
Telur kecoa berada dalam kelompok yang diliputi oleh selaput keras yang menutupinya
kelompok telur kecoa tersebut dikenal sebagai kapsul telur atau “Ootheca”. Kapsul telur
dihasilkan oleh kecoa betina dan diletakkan pada tempat tersembunyi atau pada sudut-sudut dan
pemukaan sekatan kayu hingga menetas dalam waktu tertentu yang dikenal sebagai masa
inkubasi kapsul telur, tetapi pada spesies kecoa lainnya kapsul telur tetap menempel pada ujung
abdomen hingga menetas. Jumlah telur maupun masa inkubasinya tiap kapsul telur berbeda
menurut spesiesnya.
Dari kapsul telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi nimfa yang hidup bebas dan
bergerak aktif. Nimfa yang baru keluar dari kapsul telur berwarna putih seperti buturan beras,
kemudian berangsur-angsur berubah menjadi berwarna coklat, Nimfa tersebut berkembang
melalui sederetan instar dengan beberapa kali berganti kutikula sehingga mencapai stadium
dewasa. Periplanetta americana Linnaeus dewasa dapat dikenal dengan adanya perubahan dari
tidak bersayap pada stadium nimfa menjadi bersayap pada stadium dewasanya pada
P.Americana yang dewasa terdapat dua pasang sayap baik pada yang jantan maupun betinanya.
Daur hidup Periplaneta brunnea Burmeister dalam kondisi laboratorium dengan suhu rata-
rat 29 º C, dan kelembaban 78 % mencapai 7 bulan, terdiri atas masa inkubasi kapsul telur rata-
rata 40 hari, perkembangan stadium nimfa 5 sampai 6 bulan.
i
Masa inkubasi kapsul telur P.americana rata-rata 32 hari, perkembangan nimfa inkubasi
antar 5 sampai 6 bulan, serangga dewasa kemudian berkopulasi dan satu minggu kemudian
menghasilkan kapsul telur yang pertama sehingga daur hidup P americana memerlukan waktu
rata-rata 7 bulan.
Daur hidup Neostylopyga rhombifolia (Stoll) mencapai 6 bulan, meliputi masa inkubasi
kapsul telur rata-rata 30 hari, perkembangan nimfa antara 4 bulan dan 5 bulan. Serangga dewasa
kemudian berkopulasi dan 15 hari kemudian yang betina menghasilkan kapsul telur.
Daur hidup Periplaneta australasiae (Fabricius) mencapai 7 bulan, meliputi masa inkubasi
kapsul telur rata-rata 35 hari, perkembangan nimfa memerlukan waktu antara 4 bulan sampai 6
bulan, serangga dewasa kemudian berkopulasi dan 10 hari kemudian yang betina menghasilkan
kapsul telur yang pertama.
10.2 Pengendalian Kecoa
Cara pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap kapsul telur dan
kecoa :
1. Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara :
Mekanis yaitu mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-celah dinding, celah-celah
almari, celah-celah peralatan, dan dimusnahkan dengan membakar/dihancurkan.
2. Pemberantasan kecoa
Pemberantasan kecoa dapat dilakukan secara fisik dan kimia.
Secara fisik atau mekanis dengan :
Membunuh langsung kecoa dengan alat pemukul atau tangan.
Menyiram tempat perindukkan dengan air panas.
Menutup celah-celah dinding.
Secara Kimiawi :
Menggunakan bahan kimia (insektisida) dengan formulasi spray (pengasapan), dust (bubuk),
aerosol (semprotan) atau bait (umpan).
BAB XI
Menjelaskan tentang Pengendalian Cyclops (host intermediate dari cacing guinea)
i
11.1 Biologi dan pengendalian Cyclops (host intermediate dari cacing guinea).
Dracunculiasis, juga dikenal dengan nama penyakit cacing guinea atau guinea worm
disease (GWD), adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing guinea. Seseorang dapat terinfeksi
setelah meminum air yang mengandung kutu air yang terinfeksi oleh cacing guinea larva. Pada
awalnya tidak timbul gejala apa pun. Sekitar satu tahun kemudian, penderita merasakan rasa
terbakar yang menyakitkan saat cacing betina membentuk luka lepuh di bawah permukaan kulit,
biasanya di tubuh bagian bawah. Kemudian cacing keluar dari dalam kulit setelah beberapa
minggu. Saat itu terjadi, penderita mengalami kesulitan untuk berjalan dan bekerja. Penyakit ini
pada umumnya tidak menyebabkan kematian.
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang diketahui terinfeksi oleh cacing
guinea. Cacing ini memiliki lebar sekitar satu hingga dua milimeter dan betina dewasa dapat
mencapai panjang 60 hingga 100 sentimeter (jantan jauh lebih pendek). Di luar tubuh manusia,
telur cacing dapat bertahan hingga tiga minggu. Telur harus dimakan oleh kutu air sebelumnya.
Larva di dalam tubuh kutu air dapat bertahan hingga empat bulan. Jika penyakit terjadi pada
manusia setiap tahun, maka penyakit ini akan bertahan di daerah tersebut. Diagnosa penyakit ini
umumnya dibuat berdasarkan pertanda dan gejala penyakit.
Pencegahan dilakukan dengan diagnosa awal dari penyakit dan kemudian mencegah
penderita mencelupkan luka ke dalam sumber air minum. Usaha lain termasuk: meningkatkan
akses ke air bersih dan menyaring air jika diketahui air tidak bersih. Menyaring air dengan kain
pada umumnya sudah cukup. Air minum yang terkontaminasi dapat disterilkan dengan zat kimia
yang bernama temefos untuk membunuh larva. Tidak ada pengobatan atau vaksin untuk
melawan penyakit ini. Cacing dapat dikeluarkan perlahan-lahan selama beberapa minggu dengan
menggulungnya di batang kayu. Tukak yang terbentuk oleh keluarnya cacing dapat terinfeksi
oleh bakteri. Rasa sakit biasanya terus terasa hingga berbulan-bulan sejak cacing dikeluarkan.
Pada tahun 2013 terjadi 148 kasus yang dilaporkan. Jumlah ini telah menurun dari 3,5
juta kasus pada tahun 1986. Penyakit ini hanya ada di 4 negara di Afrika, berkurang dari 20
negara pada tahun 1980-an. Negara yang paling banyak terinfeksi adalah Sudan Selatan.
Kemungkinan penyakit ini akan menjadi penyakit parasit pertama yang dimusnahkan. Penyakit
cacing guinea telah dikenal sejak zaman kuno. Penyakit ini telah dituliskan di catatan medis
Mesir Papirus Ebers, yang bertanggal mulai 1550 SM. Nama dracunculiasis berasal dari Latin
i
"penderitaan bersama naga kecil", sementara nama "cacing guinea" muncul setelah orang Eropa
melihat penyakit ini terjadi di pesisir Guinea di Afrika Barat pada abad ketujuhbelas. Satu
spesies mirip seperti cacing guinea menyebabkan infeksi pada binatang lain. Spesies itu tidak
diketahui dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini diklasifikasikan sebagai penyakit tropis yang
diabaikan.
BAB XII
Karakteristik dan formulasi penyemprotan rumah dengan residual insektisida dan Peresapan
kelambu (long-lasting insecticidal nets (LLIN’s)), pakaian dan tirai.
12.1 Penyemprotan rumah dengan residual insektisida dan Peresapan kelambu (long-
lasting insecticidal nets (LLIN’s)), pakaian dan tirai.
Kelambu berinsektisida digunakan dalam program pengendalian vektor malaria.
Pemeliharaan kelambu berinsektisida merupakan faktor penting untuk menjamin efekti itas
kelambu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelambu vberinsektisida terhadap
nyamuk dan menganalisis pengetahuan, sikap, An. sundaicusperilaku masyarakat terhadap
kelambu tersebut. Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Nyamuk, Kabupaten Nunukan-
Kalimantan Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dan kuesioner
pengetahuan, sikap WHO Bioassay Cone Test dan perilaku (-KAP) terhadap penggunaan
kelambu knowledge, attitute, practicesberinsektisida. Pengujian efikasi kelambu berinsektisida
dilakukan terhadap kelompok perlakuan ( bulan, 12-23 bulan dan lebih dari 24 bulan pemakaian)
dan enamkontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelambu berinsektisida yang telah
digunakan selama bulan mempunyai efekti itas yang paling tinggi (94,13%). enamvKelambu
yang telah digunakan 12-23 bulan dan lebih dari 24 bulan menunjukkan ,tidak efektif karena
kematian nyamuk ujiadalah 71,74% dan 37,33%. Hasil studi KAP menunjukkan sikap 100%
setuju untuk menerima pembagian kelambu berinsektisida, tetapi tidak bersedia mencuci
kelambu tersebut. Efekti itas kelambu berinsektisida vberkorelasi dengan pencucian kelambu.
Penggunaan kelambu berinsektisida akan efektif mencegah penularan malaria bila didukung oleh
perawatan yang baik terhadap kelambu berinsektisida tersebut.
i
BAB XIII
Teknik-teknik penggunaan pestisida yang aman dari tahap pelabelan, penyimpanan, pemakaian,
maupun pembuangan.
13.1 Penggunaan pestisida dan Resistensi terhadap Vektor.
Pada saat jutaan manusia meninggal setiap tahun akibat penyakit yang ditularkan melalui
vektor, dan kerugian global akibat serangga, vektor penyakit, hama, dan hewan pengerat
diperkirakan mencapai lebih dari 100 milyar USD per tahun, sehinggah jelas bahwa
pengendalian berbagai organisme berbahaya sangat penting bagi pembangunan kesehatan
manusia, pertanian, dan industri. Dalam mengakomodasi kepentingan manusia, penggunaan
pestisida telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam program manajemen vektor global
yang terpadu.
13.2 Mekanisme Resistance
Mekanisme resistensi umumnya tergantung pada faktor genetik. Spesies yang telah
berada di bawah tekanan seleksi dengan satu atau berbagai berbeda insektisida, sering
mengumpulkan sejumlah resistensi (R)-gen dan mekanisme resistensi yang sesuai sehingga dapat
menyebabkan resistensi cross atau multi. Beberapa mekanisme yang berbeda tanggung jawab
untuk perkembangan resistensi insektisida pada serangga. Penggunaan detoksifikasi senyawa
toksik metabolisme biokimia atau toleransi karena dapat menurunkan sensitivitas terhadap
senyawa beracun. Biasanya, insektisida menembus cepat melalui integumen, mencapai lokasi
aksi misalnya enzim, jaringan saraf atau reseptor protein vital. Molekul insektisida mengikat ke
situs dan ketika telah mencapai konsentrasi ambang batas maka mengganggu proses vital
kemudian menyebabkan kematian serangga. Resistensi dapat dipilih pada setiap langkah dari
jalur ini misalnya integumen, mengurangi permeabilitas dapat terjadi sehingga mengurangi
tingkat masuknya insektisida; enzim metabolisme lebih berlimpah dapat dipilih sehingga
menyebabkan kerusakan insektisida lebih efisien; atau diubah sasaran - situs dapat dipilih untuk
yang insektisida tidak lagi mengikat. Dari ketiga jenis mekanisme, metabolisme dan
ketidakpekaan di lokasi tindakan yang paling penting. Penurunan tingkat penetrasi kutikula
membantu kedua jenis mekanisme cara sinergis ( Georghiou 1994) . Di samping mereka, bentuk
i
lain dari resistensi insektisida adalah perilaku resistensi, di mana perilaku serangga menjadi
dimodifikasi sehingga serangga tidak lagi datang ke cukup kontak dengan deposit insektisida.
BAB XIV
Melakukan Pengendalian Vektor Terpadu
14.1 Integrated Vector Management (IVM)
Pengendalian vektor dan binatang pengganggu adalah upaya untuk mengurangi atau
menurunkan populasi vektor atau binatang pengganggu dengan maksud pencegahan atau
pemberantasan penyakit yang ditularkan atau gangguan (nuisance) oleh vektor dan binatang
pengganggu tersebut.
Ada beberapa cara pengendalian vektor dan binatang pengganggu diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Pengendalian kimiawi
2. Pengendalian Fisika-Mekanika
3. Pengendalian Biologis
Pengendalian vektor penyakit ini merupakan konsep yang relative baru. Pada awalnya orang
berpikir tentang pembasmian vektor. Akan tetapi kemudian tampak bahwa pembasmian itu sulit
dicapai dan kurang realistis dilihat dari sisi ekologis. Oleh karenanya pengendalian vektor saat
ini akan ditujukan untuk mengurangi dan mencegah penyakit bawaan vektor sejauh dapat dicapai
dengan keadaan social-ekonomi yang ada serta keadaan endemic penyakit yang ada. Oleh
karenanya pemantauan keadaan populasi insekta secara kontinu menjadi sangat penting.
14.2 Konsep Pengendalian Vektor Terpadu
Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan Pengendalian Vektor
menggunakan prinsip-prinsip dasar manajemen dan pertimbangan terhadap penularan dan
pengendalian penyakit Pengendalian Vektor Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan
i
keputusan yang rasional agar sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian
lingkungan terjaga.
a. Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentangbioekologi vektor setempat, dinamika
penularan penyakit, ekosistem, dan perilaku masyarakat yang bersifat spesifik lokal (evidence
based)
b. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor dan program terkait,
LSM,18 organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta masyarakat
c. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan metode non kimia dan
menggunakan pestisida secara rasional serta bijaksana
d. Pengendalian vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip ekonomi yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, D. 2010. http://fkmutu.blogspot.com/2010/12/makalah-pengendalian-vektor-
penyakit.html diakses pada tanggal 5 Maret 2011
i
Chandra,budi. 2003.Vektor Penyakit Menular Pada Manusia. http://files.buku-
kedokteran.webnode.com/200000024-3716638102/Vektor%20Penyakit.pdf .
diakses tanggal 4 maret 2011.
Budiman dan Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan
Lingkungan.Jakarta : EGC
World Health Organization (WHO). Environmental Health. Disitasi dari : http://www.WHO.int.
Last Update : Januari 2008
"nies. '005.