pendidikan berkarakter

38
Ikin Salikin Iskandar,S.Pd.,M.Pd. Berbicara Masalah Pendidikan Berkarakter Pengertian Pendidikan Karakter Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang Anda lakukan yang mempengaruhi karakter anak-anak yang Anda ajar. Namun secara lebih fokus, kita lihat seperti yang diutarakan Dr Thomas Lickona mengenai definisi Pendidikan Berkarakter, bahwa pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti .” Dalam bukunya, Educating for Character,1 Dr Lickona menegaskan bahwa “Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadi benar - bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. ” Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang

Upload: ikin-salikin-iskandar

Post on 25-Jun-2015

3.067 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan Berkarakter

Ikin Salikin Iskandar,S.Pd.,M.Pd.

Berbicara Masalah Pendidikan Berkarakter

Pengertian Pendidikan Karakter

Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang Anda

lakukan yang mempengaruhi karakter anak-anak yang Anda ajar. Namun secara

lebih fokus, kita lihat seperti yang diutarakan Dr Thomas Lickona mengenai

definisi Pendidikan Berkarakter, bahwa “pendidikan berkarakter adalah usaha

sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan

nilai-nilai etika inti.” Dalam bukunya, Educating for Character,1 Dr Lickona

menegaskan bahwa “Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan

bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar,

peduli secara mendalam tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa

yang mereka yakini untuk menjadi benar - bahkan dalam menghadapi tekanan dari

luar dan godaan dari dalam. ”

Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak;

sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang

daripada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat

yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah

tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak

atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.

Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah member

instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan,

sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits yang telah dikutip sebelumnya: “Ilmu

diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi

santun.” (HR Bukhari)

Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses

pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan

Page 2: Pendidikan Berkarakter

kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-

keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.

Apa yang dikemukan dalam model Dr Lickona adalah bahwa hal itu

menggambarkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan, perasaan,

dan tindakan, dan dengan demikian menyediakan dasar yang terpadu untuk

struktur yang koheren dan komprehensif. Ini memberitahu kita bahwa kita perlu

terlibat dalam kegiatan anak-anak kita yang membuat mereka berpikir kritis

tentang pertanyaan-pertanyaan moral dan etika, mengilhami mereka untuk

menjadi berkomitmen untuk tindakan moral dan etika, dan memberi mereka

banyak kesempatan untuk mempraktekkan perilaku moral dan etika.

Seperti Apakah Pendidikan Berkarakter itu?

Pengertian ini masih menyimpan kontroversial, dan sangat bergantung pada

hasil yang Anda inginkan. Banyak orang percaya bahwa menghasilkan anak-anak

yang patuh dalam melakukan apa yang diperintahkan adalah pendidikan

berkarakter. Ide ini sering mengarah kepada munculnya seperangkat aturan dan

sistem imbalan dan hukuman (reward and punishment) yang bersifat sementara

dan terbatas dalam merubah perilaku, namun sedikit sekali atau sama sekali tidak

mempengaruhi karakter yang mendasar bagi anak-anak. Ada orang lain yang

berpendapat bahwa seharusnya tujuan kita adalah mengembangkan pemikir

independen yang memiliki komitmen moral dalam kehidupan mereka, dan yang

cenderung melakukan hal yang benar bahkan dalam keadaan menantang.

Inisiatif Pendidikan Berkarakter bisa sangat sederhana, seperti salah satu

guru yang baik melakukan beberapa hal dengan benar, atau mereka dapat menjadi

sangat rumit, melibatkan semua orang dan segala sesuatu di sekolah. Apa yang

Anda lakukan mungkin akan tergantung pada keadaan Anda. Berikut adalah

beberapa pilihan.

Kebijakan populer berpendapat bahwa cara terbaik untuk menerapkan

pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang mengintegrasikan

pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan ini

Page 3: Pendidikan Berkarakter

juga dikenal sebagai reformasi sekolah keseluruhan, dan itu adalah masalah besar.

Berikut adalah beberapa fitur yang membedakan model holistik:

segala sesuatu di sekolah ini disusun di sekitar pengembangan hubungan

antara dan di kalangan siswa, staf, dan masyarakat.

sekolah adalah komunitas pelajar peduli di mana ada ikatan yang terasa

menghubungkan siswa, staf, dan sekolah.

pembelajaran sosial dan emosional ditekankan sebanyak pembelajaran

akademis.

kerjasama dan kolaborasi antar siswa ditekankan atas persaingan.

nilai-nilai seperti keadilan, menghormati, dan kejujuran adalah bagian dari

pelajaran sehari-hari dalam dan diluar kelas.

siswa diberi kesempatan yang luas untuk mempraktekkan perilaku moral

melalui berbagai kegiatan seperti belajar melayani.

disiplin dan pengelolaan kelas berkonsentrasi pada pemecahan masalah

daripada imbalan dan hukuman (reward and punishment)

model lama yang berpusat pada guru kelas ditinggalkan dan diganti

menjadi kelas demokratis di mana guru dan siswa kelas mengadakan

pertemuan untuk membangun kesatuan, menetapkan norma-norma, dan

memecahkan masalah.

Komponen Pendidikan Berkarakter

Partisipasi masyarakat. Apakah pendidik, orangtua, siswa, dan anggota

masyarakat menginvestasikan diri dalam proses pembangunan konsensus

untuk menemukan landasan bersama yang sangat penting bagi keberhasilan

jangka panjang.

Kebijakan pendidikan karakter. Membuat pendidikan karakter bagian dari

filosofi, tujuan atau pernyataan misi dengan mengadopsi kebijakan formal.

Jangan sebatas tulisan dan perkataan saja.

Kesepakatan. Ada pertemuan orang tua, guru dan perwakilan masyarakat dan

menggunakan konsensus untuk memperoleh kesepakatan di mana karakter

untuk memperkuat dan apa definisi yang digunakannya.

Page 4: Pendidikan Berkarakter

Kurikulum Terpadu. Membuat pendidikan karakter bagian integral dari

kurikulum di semua tingkatan kelas. Mengambil sifat-sifat yang telah Anda

pilih dan menghubungkan mereka ke kelas pelajaran, sehingga murid-murid

melihat bagaimana suatu sifat mungkin angka ke dalam sebuah cerita atau

menjadi bagian dari sebuah percobaan ilmiah atau bagaimana mungkin

mempengaruhi mereka. Membuat karakter ini merupakan bagian dari setiap

kelas dan setiap subjek.

Pengalaman pembelajaran. Biarkan siswa Anda untuk melihat sifat dalam

tindakan, pengalaman itu dan mengungkapkannya. Sertakan berbasis

masyarakat, dunia nyata pengalaman dalam kurikulum yang

menggambarkan karakter (misalnya, layanan belajar, pembelajaran

kooperatif dan rekan mentoring). Luangkan waktu untuk diskusi dan

refleksi.

Evaluasi. Evaluasi pendidikan karakter dari dua perspektif: (1) apakah program

yang mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku siswa, prestasi

akademik dan kognitif pemahaman tentang ciri-ciri? (2) apakah proses

pelaksanaan menyediakan alat dan dukungan guru perlu?

Model peran dewasa. Anak-anak “mempelajari apa yang mereka tinggal,” jadi

penting bahwa orang dewasa menunjukkan karakter positif di rumah,

sekolah dan dalam masyarakat. Jika orang dewasa tidak model perilaku

yang mereka ajarkan, seluruh program akan gagal.

Pengembangan staf. Menyediakan waktu pelatihan dan pengembangan untuk staf

Anda sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan

karakter secara berkelanjutan. Termasuk waktu untuk diskusi dan

pemahaman dari kedua proses dan program, serta untuk menciptakan

rencana pelajaran dan kurikulum.

Keterlibatan siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang sesuai dengan usia dan

memungkinkan mereka untuk terhubungkan dengan pendidikan karakter

untuk pembelajaran mereka, keputusan-keputsan dan tujuan-tujuan pribadi

Anda mengintegrasikan proses ke sekolah mereka.

Page 5: Pendidikan Berkarakter

Mempertahankan program. Program pendidikan karakter dipertahankan dan

diperbarui melalui pelaksanaan Sembilan elemen pertama, dengan perhatian

khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas: dana yang memadai;

dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi dan

pengembangan professional berkelanjutan dan sebuah jaringan dan

dukungan system bagi guru yang melaksanakan program.

Enam Pilar Pendidikan Karakter

KARAKTER! pendekatan pendidikan karakter tidak mengecualikan siapa

pun. Itu sebabnya pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa

setiap orang dapat menyetujui - nilai-nilai yang tidak mengandung politis,

religius, atau bias budaya. Gunakan poin di bawah ini untuk membantu siswa

memahami enam pilar pendidikan karekter.

1. Trustworthiness / Kepercayaan

Jujur • Jangan menipu, menjiplak atau mencuri • Jadilah handal - melakukan

apa yang Anda katakan Anda akan melakukannya • Minta keberanian untuk

melakukan hal yang benar • Bangun reputasi yang baik • Patuh - berdiri dengan

keluarga, teman dan negara

2. Respect / Respect

Bersikap toleran terhadap perbedaan •Gunakan sopan santun, bukan bahasa

yang buruk •Pertimbangkan perasaan orang lain •Jangan mengancam,

memukul atau menyakiti orang lain • Damailah dengan kemarahan, hinaan dan

perselisihan

3. Responsibility/Tanggungjawab

Selalu lakukan yang terbaik • Gunakan control diri • Disiplin • Berpikirlah

sebelum bertindak- mempertimbangkan konsekuensi • Bertanggung jawab atas

pilihan Anda

4. Fairness/Keadilan

Bermain sesuai aturan • Ambil seperlunya dan berbagi • Berpikiran terbuka:

mendengarkan orang lain • Jangan mengambil keuntungan dari orang lain •

Jangaan menyalahkan orang lain sembarangan

Page 6: Pendidikan Berkarakter

5. Carring/Peduli

Bersikaplah kasih saying dan menunjukkan Anda peduli • Ungkapkan rasa

syukur • Maafkan orang lain • Membantu orang yang membutuhkan

6. Citizenship/Kewarganegaraan

Apakah Anda berbagi untuk membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih

baik • Bekerjasama • Libatkan diri dalam urusan masyarakat • Stay informed;

suara • Jadilah tetangga yang baik • Taatilah hokum dan aturan • Hormati

otoritas • Melindungi lingkungan hidup

Pendidikan Berkarakter untuk Menjawab Persoalan Bangsa

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kini

semakin disadari, sukses suatu bangsa amat ditentukan oleh pembentukan karakter

bangsa itu. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan yang utuh yang mampu

melahirkan manusia-manusia berkarakter yang siap menjadi pemimpin menjadi

sangat penting. "Pendidikan karakter tidak bisa diajarkan, karena kalau diajarkan

akan membuat jauh peserta didik untuk mau belajar, akan tetapi pendidikan

karakter harus dicontohkan kepada peserta didik, ketika kita ingin anak bisa jujur,

maka contohkan kejujuran itu, jangan sempat sampai mengajarkan,". Pendidikan

ini, jangan sampai memunculkan mata pelajaran atau mata kuliah baru, sebab di

seluruh mata pelajaran maupun mata kuliah itu ada muatannya pendidikan

karakter. Pendidikan karakter, harus berdasarkan kebijakan sebab kalau tidak ada

kebijakan sebuah sekolah tidak akan bisa melaksanakan pendidikan karakter.

Perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk

terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep

pendidikan berkarakter. Disebutkan, kepemilikan soft skill siswa hanya dapat

didorong jika guru telah memiliki soft skill. Soft skill hanya dapat ditularkan,

dilatihkan dan dicontohkan.

Tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke

dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara

menyeluruh serta menjadi manusia yang jujur dan bijak. Manusia yang terdidik

Page 7: Pendidikan Berkarakter

seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk

hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh

aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.

Kualitas SDM Indonesia berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah

(nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan

bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam.

Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh

TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34.

Sekolah dan kampus merupakan institusi yang memiliki tugas penting

bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan keilmuan saja, tetapi juga bertugas

dalam pembentukan kapasitas moralitas anak didik. Di Indonesia, pendidikan

agama telah diajarkan di sekolah-sekolah, namun pendidikan moral masih

berjalan di tempat, dibuktikan dengan adanya konflik horizontal yang semakin

meningkat. Dilihat dari penerapannya pendidikan agama tampaknya masih

bermuara pada dasar-dasar agama sehingga mengabaikan kandungan nilai-nilai

dan akhlak.

Pendekatan yang dipakai dalam pendidikan agama pun masih berpusat pada

ranah kognitif dan banyak menekankan hafalan, penguasaan materi tanpa

menyentuh perasaan, emosi dan nurani peserta didik. Pendidikan karakter

mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang

salah,lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal-hal

yang baik sehingga siswa didik menjadi paham tentang mana yang baik dan salah,

mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

"Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng, pelajar yang

ketahuan melihat kunci jawaban saat UN dan siswa terlibat tawuran antar siswa

serta guru yang memberikan kunci jawaban kepada siswa adalah contoh kasus.

Serentetan fakta akhir-akhir ini cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam

sistem pendidikan kita makanya perlu pemimpin yang jujur dan bijak.

Penyelenggara pendidikan mampu mengatasi dan mencermati betul permasalahan

ini.

Page 8: Pendidikan Berkarakter

Di tengah rupa-rupa perubahan yang terus terjadi saat ini dengan segala

dampak yang ditimbulkannya, menghadirkan pendidikan yang berkarakter adalah

pilihan mutlak. "Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem

pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke

jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai

bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja.

Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah

olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1

persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa

Indonesia). "Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk

menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban

kurikulum yang luar biasa beratnya”.

Jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa

pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih

difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar

mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan

berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak

akan separah sekarang.

Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang

handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih

memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas

SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun

kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia khusunya Sumbar sejak usia SD sudah

habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu

mengikutinya.

Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai

secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya

meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang

berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi,

dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan. Kemampuanu untuk menguasai

Page 9: Pendidikan Berkarakter

emosi (kecerdasan emosi) yang merupakan buah dari pendidikan karekter lebih

menentukan hasil pendidikan daripada kemampuan intelektual.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah

dan kuliah. "Ajang unjuk kebolehan siswa dengan berbagai keterampilan ini

merupakan dukungan bagi dunia pendidikan anak agar mereka memiliki

kemampuan yang lebih baik dan siap bertarung dalam mencari pekerjaan,"

"Dengan pola pembelajaran tersebut, diharapkan nantinya dapat mencetak para

siswa yang berprestasi baik formal maupun nonformal".

Pendidikan Berkarakter adalah Solusi Wednesday

Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di

Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang

perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada

potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja.

Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada

pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan

kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal,

abstraksi atau ukuran IQ).

Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena

berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi

akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya.

Hukum alam selalu menunjukkan bahwa di mana pun manusia di muka

bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah

penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka –yang kecerdasannya bukan

pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi-

dimensi lainnya –misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau

hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”. Kualitas produksi barang dan jasa pun

sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini.

Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan

untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan barang dan

jasa yang berkualitas tinggi.

Page 10: Pendidikan Berkarakter

Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah dengan

Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana

menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional -yang merupakan

bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10

persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu

terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi

tenaga kerja yang handal.

Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang

populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi

setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan

strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang – terutama

pendidikan dasar — dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-

anak.

Lain halnya dengan Indonesia, sistem pendidikan di negara justru

menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf),

sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga

hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka

yang mempunyai IQ di atas 115.

Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah

olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1

persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa

Indonesia). Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk

menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban

kurikulum yang luar biasa beratnya.

Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran

tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya

energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85

persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional,

mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi,

mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.

Page 11: Pendidikan Berkarakter

Apa yang telah ditanam pemerintah (pemegang dan pembuat kebijakan)

selama ini, ternyata membuahkan hasil. Kualitas SDM (Human Development

Index) Indonesia ’terjun bebas’ berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah

(nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan

bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam.

Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh

TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Mengapa

kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Jelas sebabnya adalah para pemimpin

Indonesia, sejak merdeka hingga kini tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu

dalam membawa bangsa ini melesat jauh ke depan.

Namun Jepang dan Jerman mempunyai strategi utama untuk mencetak

tenaga kerja handal. Yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan

pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk

mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi

baru, perlupendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga

mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi.

Jerman dan Jepang terkenal dengan apprentice system (keterampilan) yang

handal, sehingga produk-produk mereka terkenal paling bagus kualitasnya di

dunia, karena dikerjakan oleh para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya

diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang

mendukung.

Mereka adalah para pekerja manual, bukan saintis atau ilmuwan. Tentu saja

Jerman dan Jepang juga memperhatikan perguruan tinggi untuk menampung 15

persen penduduk terpandai (yang daya abstraksi dan analitiknya tinggi). Namun

demikian, tidak dengan cara memaksakan target perguruan tinggi –supaya

menjadi ilmuwan - kepada 85 persen lainnya.

Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang

handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih

memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas

SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun

Page 12: Pendidikan Berkarakter

kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia sejak usia SD sudah habis energinya

mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya. 

Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori

perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi

kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah

pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja,

tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh

dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah.

Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak

menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan

ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan

(SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang

keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya

menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan –

bukan memiliki keterampilan kerja. 

Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai

secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya

meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang

berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi,

dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (lihat bab mengenai

bahasan multiple intelligences - sembilan aspek kecerdasan). 

Kalaupun ada, maka orientasinya pun lebih kepada kognitif (hafalan), tidak

ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan untuk belajar

dan mendalami materi lebih lanjut. Celakanya, pendekatan yang terlalu kognitif

telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih

nilai tinggi. 

Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang

tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya. Mata pelajaran yang

bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa

tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan yang

Page 13: Pendidikan Berkarakter

lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, para siswa tidak

mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata.

Sistem pendidikan seperti ini membuat manusia berpikir secara parsial,

terkotak-kotak, yang menurut David Orr adalah akar dari permasalahan yang ada:

“Isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala

sesuatu secara keseluruhan. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir

secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir secara

keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar kotak-kotak tersebut, atau untuk

mempertanyakan bagaimana suatu kotak (perspektif) dapat terkait dengan kotak-

kotak lainnya” (Clark1997).

Hal yang sama diungkapkan oleh Fitjrof Capra, bahwa betapa pengetahuan

manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak,

sehingga manusia tidak mampu melihat gambar keseluruhan (wholeness) dari

setiap fenomena. 

Akibatnya banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi

berbagai segi kehidupan manusia didekati pula secara fragmented (parsial),

sehingga tidak dapat memperbaiki masalah, tetapi justru semakin

memperburuknya. Inti pemikiran Fitjrof Capra adalah menekankan pentingnya

untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan : “multidisciplinary, holistic

approach to reality.”

Apabila dalam dunia fisika paradigma telah bergeser dari pendekatan

mekanistik dan terfragmentasi dalam menelaah partikel-partikel benda mati ke

arah pendekatan menyeluruh, maka sudah seharusnya pendekatan yang sama

diterapkan dalam bidang-bidang keilmuan lainnya, terutama yang menyangkut

bagaimana mempelajari manusia dan semua unsur-unsur peradabannya. 

Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih

kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui

pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan holistik,

seperti yang dikatakan oleh J. Krishnamurti, adalah “The highest function of

education is to bring about an integrated individual who is capable of dealing with

life as a whole”. 

Page 14: Pendidikan Berkarakter

Sizer (1999) mengatakan bahwa tujuan pendidikan selain untuk

mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk

membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang

bijak (thoughtful and decent human being).

Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling

mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and

smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat

menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup

secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga,

bermasyarakat, dan bernegara.

Karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat

membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam

mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti menurut

Socrates: "Then the man who's going to be a fine and good guardian of the city for

us will in nature be philosophic, spirited, swift, and strong" (Bloom, A.: 1991).

Kurikulum Holistik Berkarakter

Perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik

Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan

kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah

kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi,

keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.

Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada

di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang

terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif,

pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam

dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu

dan menyeluruh (Holistik). 

Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema

yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan

alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu

Page 15: Pendidikan Berkarakter

proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait

dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.

Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak

dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak

didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara”

mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu

mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang. 

Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila

pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak,

dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran

terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan

bahan-bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat

model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.

Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah mmbentuk manusia

secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi,

sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk

membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). Yaitu dengan:

Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu

metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi

manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang

konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student

active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated

learning);

Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning

community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana

yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan

memberikan semangat;

Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan

erkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the

good, and acting the good;

Page 16: Pendidikan Berkarakter

Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak,

yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan

manusia; 5. Seluruh pendekatan di atas menerapkanprinsip-prinsip.

Pilih Pintar atau Berkarakter?

Pendidikan karakter ramai dibicarakan orang untuk menunjang siswa

menjadi sosok yang sopan dan bermoral, mengapa hangat dibicarakan saat terjadi

tragedi moral yang menerpa sejumlah siswa dengan kelakuan siswa tidak

ber”moral”. Pada jejaring sosial Facebook sejumlah siswa memaki gurunya

dengan perkataan menyakitkan dan membuat sang guru meradang, Pihak sekolah

akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah tersebut. Perkara

moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal

praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas

publik oleh demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya

untuk menjalani hidup dalam suasana demokrasi yang sopan dan penuh unggah-

ungguh. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan identitas, ikut arus,

terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan. Apapun bisa menjadi

senjata untuk merusak fasilitas yang seharusnya dipelihara dan diperindah.

Mungkin suasana di sekolahan akhir-akhir ini bukan seperti tempat yang

melahirkan kaum terpelajar yang mampu mengukur diri dan merumuskan

identitas  membangun masa depan, Rasanya setiap sekolah terlalu trobsesi untuk

menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional,

mendorong siswa aktif hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus

bertambah saat guru-guru memasang target tinggi nilai kelulusan. Padahal

sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses merumuskan jati dirinya

menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang diserap

adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat

sekitarnya. Setelah siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya

sendiri yang harus mampu menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya, bukan

Page 17: Pendidikan Berkarakter

ekslusif dan identik dengan  gambaran pelajar yang hanya berkutat pada buku dan

tugas.

Mungkin karena beratnya beban tugas menyebabkan siswa tidak sempat

merenung dan mengambil inisiatif  ditengah masyarakat yang sedang gamang

oleh masalah yang membelit seperti korupsi, nepotisme dan kesenjangan sosial.

Panyak anak usia sekolah turun ke jalan karena tidak ada pendampingan yang

sistemik dari orang-orang di sekitarnya atau keluarganya. Akibat kegamangan dan

kecanggungan pelajar mereka mencari bentuk sendiri untuk melampiaskan

kekesalannya akibat tugas-tugas yang menumpuk dari sekolah.

Lalu bentuk sekolah yang bagaimana yang ideal untuk membentuk

generasi penerus yang berkarakter, seperti halnya  negara Jepang dan bangsa maju

lainnya seperti Singapura, Jerman, Amerika, Inggris, Australia. Kadang sekolah

hanya mengadopsi bentuk kurikulum tapi melupakan fasilitas yang menjadi hak

siswa untuk mewujudkan pembentukan siswa berkarakter. Jarang siswa di dorong

untuk mencoba hadir ditengah masyarakat dan belajar dari kehidupan. Pendidikan

hanyalah abstraksi dari tuntutan demi tuntutan yang harus dilewati siswa. Ukuran

nilai menjadi bias dari subyektifitas yang juga berperan sentral. Kebijakan

konversi UAN dan nilai UAN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan. Siswa

hanya didorong untuk menjadi pintar tapi melupakan pendidikan proses yang

menjadi hak siswa untuk bisa menggapai identitas diri yang sempurna.

Indikator guru berkarakter

1. Memiliki pengetahuan keagamaan yang luas dan mengamalkannya dalam

kehidupan sehari-hari secara aktif

2. Meningkatkan kualitas keilmuan secara berkelanjutan

3. Zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridha Tuhan

4. Bersih jasmani dan rohani

5. Pemaaf, penyabar, dan jujur

6. Berlaku adil terhadap peserta didik dan semua stakeholders pendidikan

7. Mempunyai watak dan sifat robbaniyah yang tercermin dalam pola pikir,

ucapan, dan tingkah laku

8.Tegas bertindak, profesional, dan proporsional

Page 18: Pendidikan Berkarakter

9.Tanggap terhadap berbagai kondisi yang mungkin dapat mempengaruhi jiwa,

keyakinan, dan pola pikir peserta didik

10.Menumbuhkan kesadaran diri sebagai da’i

Pendidikan Berbasis Karakter

Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu

terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan

dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi

satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan untuk menyesuaikan

kurikulum dan sarana pendidikan mereka dengan berbagai teknologi canggih agar

bisa menghasilkan siswa yang mampu bersaing di Era ‘Global Village’.

Ditengah begitu semangatnya berbagai lembaga pendidikan mengejar

keunggulan teknologi, terbersit satu pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat

kita untuk mengejar keunggulan karakter siswa-siswa kita?’ Mengapa Karakter?

Beberapa hadits berikut menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah

kita untuk memperhatikan masalah pembentukan akhlak pada anak-anak

didiknya: “innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq” Sesungguhnya aku

diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (HR Malik)

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang

menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah

keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap

sekolah menjadikan kualitas akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality

Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya. Tentunya kita

semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah

yang beriman, sebagaimana pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU

No. 20/2003, bahwa:

‘Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

Page 19: Pendidikan Berkarakter

negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Dan sekarang resapilah hadits

berikut:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik

akhlaknya diantara mereka.” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah). Jika ternyata

baiknya akhlak menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi

sekolah kita untuk menomor duakan keseriusan dalam upaya pembentukan

akhlak/karakter dibanding keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Bahkan

yakinlah, bahwa jika anak didik kita memiliki akhlak/karakter yang baik, insya

Allah merekapun akan lebih mudah kita pacu untuk mengejar prestasi lainnya.

Tak kurang, para peneliti, dan tokoh kelas dunia pun dengan jelas ikut

menyuarakan pentingmya masalah pembentukan karakter ini:

Theodore Roosevelt, mantan presiden USA yang mengatakan: “To educate a

person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik

seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman

mara-bahaya kepada masyarakat). Mahatma Gandhi memperingatkan tentang

salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu “education without character” (pendidikan

tanpa karakter)

Beberapa hasil penelitian dan survey berikut mungkin akan membuat dahi

kita berkerut:

90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia

11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara

mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah

(Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia,

Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia)

Herien Puspitasari (Disertasi Doktor IPB), mempublikasikan hasil

penelitiannya di Kompas Cyber Media 18/05/2006). Dalam penelitiannya yang

dilaksanakan pada tahun 2002-2003, dengan menggunakan responden sejumlah

667 siswa (550 siswa Sekolah Negeri & 117 siswa Sekolah Swasta), 540 putra

dan 127 putri, semuanya berasal dari siswa kelas 2 SMA dan SMK di Bogor.

Mendapatkan hasil yang mencengangkan: Dari 667 responden tersebut, tidak

kurang 10 persen para responden sudah melakukan hubungan seks bebas!

Page 20: Pendidikan Berkarakter

Jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada

tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793

anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data

tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD

pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun

tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793

anak .

Tentunya masih banyak data dan fakta lain yang bisa kita ungkap. Tapi

data-data di atas cukup mewakili bagaimana potret anak usia sekolah di negeri ini.

Menurut Thomas Lickona (1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara

lain:

1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja

2. ketidak jujuran yang membudaya

3. semakin rendah rasa tidak hormat kepada kedua orang tua, guru dan

figure pemimpin,

4. meningkatnya kecurigaan dan kebencian

5. penggunaan bahasa yang memburuk

6. penurunan etos kerja

7. menurunnya rasa tanggung-jawab individu dan warga negara

8. meningginya perilaku merusak diri

9. semakin kaburnya pedoman moral.

Jika kita cermati satu persatu tanda-tanda kehancuran di atas, berapa

point yang sudah muncul di bangsa kita? Sepertinya kita sepakat bahwa

seluruhnya sudah tampak di bangsa kita! Akankah bangsa kita mengalami

kehancuran? Jawabannya adalah ‘YA’ bila bangsa kita tidak melakukan

perbaikan. Dan kita para pengelola sekolah dan para pendidik harus ikut

melakukan langkah perbaikan. Inilah peran strategis yang harus kita ambil,

MELAKUKAN PEMBINAAN AKHLAK UNTUK MENGHINDARKAN

BANGSA DARI KEHANCURAN!

Page 21: Pendidikan Berkarakter

Peran Sekolah

“FithrataLlahil latii fatharan naasa ‘alaiha. Laa tabdiila likhalqiLlah.” “…

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…” (Ar Rum:30)

“Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan

menjadi santun.” (HR Bukhari)

Pendidikan menurut Pasal 1 Butir 1 UU 20/2003: “Pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara”

Pendidikan Karakter pada Sekolah Islam Terpadu (SIT)

Sekolah Islam Terpadu menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar

utama dalam proses penyelenggaraannya. Oleh karena itu, SIT mengembangkan

prinsip-prinsip pendidikan sebagai berikut:

1. Menjadikan Islam sebagai landasan filosofis.

2. Mengintegrasikan nilai Islam ke dalam bangunan kurikulum.

3. Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk

mencapai optimalisasi proses belajar mengajar.

4. Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta

didik.

5. Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah:

menumbuhkan kemaslahatan dan meniadakan kemaksiatan dan

kemungkaran.

6. Melibatkan peran-serta orangtua dan masyarakat dalam mendukung

tercapainya tujuan pendidikan.

7. Mengutamakan nilai ukhuwwah dalam semua interaksi antar warga

sekolah.

8. Membangun budaya rawat, resik, rapih, runut, ringkas, sehat dan asri.

Page 22: Pendidikan Berkarakter

9. Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi

pada mutu.

10. Menumbuhkan budaya profesionalisme

Nilai-nilai Islam menjadi inspirasi dan sekaligus pemandu utama dalam

penyelenggaraan pendidikan di SIT. SIT meyakini bahwa pendidikan Islam akan

mampu:

1. Membentuk sikap dan kepribadian yang kuat berdasarkan prinsip-

prinsip nilai keilahiyahan. Dengan aqidah yang benar, seorang muslim

akan mampu menunjukkan sikapnya yang tegar, tsabat, istiqomah dan

selalu berfihak dan membela al Haq.

2. Memompa semangat keilmuan dan karya. Islam mengajarkan

pemeluknya untuk selalu berfikir dan berkarya. Doktrin Islam adalah:

”sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling memberi manfaat bagi

orang lain”

3. Membangun karakter/pribadi yang saleh : selalu menegakkan nilai-nilai

dan praktek ibadah. Pendidikan agama Islam mendidik dan

mendisiplinkan pemeluknya untuk selalu taat beribadah kepada Allah

SWT. Dengan perilaku ibadah yang bersih, niscaya akan terbentuk

karakter muttaqien, selalu menjauhi perilaku negatif dan destruktif

4. Membangun Sikap Peduli: Islam selalu mengajarkan sikap peduli kepada

orang lain, hewan dan lingkungan. Sikap peduli akan melahirkan sikap

yang selalu membangun dan memecahkan segala permasalahan sosial.

5. Membentuk pandangan yang visioner, berfikir, bekerja dan bertindak

untuk kepentingan masa depan.

Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di sekolah?

Menurut Ratna Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada tiga

tahap pembentukan karakter:

MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti

kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik.

Dan apa manfaat berperilaku baik

Page 23: Pendidikan Berkarakter

MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak

yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik.

Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.

MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi

tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap

sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral

behavior

Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan

praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat

baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.

Masih menurut Indonesia Heritage Foundation, ada 9 pilar karakter yang harus

ditumbuhkan dalam diri anak:

1. Cinta Allah, dg segenap ciptaanNya

2. Kemandirian ,tanggung jawab

3. Kejujuran, bijaksana

4. Hormat, santun

5. Dermawan, suka menolong, gotong royong

6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras

7. Kepemimpinan, keadilan

8. Baik hati, rendah hati

9. Toleransi, Kedamaian, kesatuan

Tips untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah

Berikut adalah tips untuk sukses menerapkan pendidikan berbasis karakter di

sekolah:

Memiliki nilai-nilai yang dianut dan disampaikan kepada seluruh stake

holder sekolah melalui berbagai media : buku panduan untuk orang tua

(dan siswa), news untuk orang tua, pelatihan.

Staf pengajar dan administrasi termasuk tenaga kebersihan dan keamanan

mendiskusikan nilai-nilai yang dianut, Nilai-nilai ini merupakan

penjabaran dari nilai-nilai yang diyakini sekolah.

Page 24: Pendidikan Berkarakter

Siswa dan guru mengembangkan nilai-nilai yang dianut di kelas masing-

masing.

Memberikan dilema-dilema dalam mengajarkan suatu nilai, misalnya

tentang kejujuran.

Pembiasaan penerapan nilai di setiap kesempatan

Mendiskusikan masalah yang terjadi apabila ada pelanggaran

Mendiskusikan masalah dengan orang tua apabila masalah dengan anak

adalah masalah besar atau masalahnya tidak selesai

Dari semua komponen sekolah, yang paling berperan mensukseskan program

pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah GURU. Tentunya diperlukan

GURU BERKARAKTER untuk menghasilkan SISWA BERKARAKTER. Meski

diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang berakhlak

dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi penyebab

seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya!***

(Penulis adalah Wakasek SMPN Satu Atap 1 Cimerak, Anggota Guru Penulis

Nasional (Agupena) Jabar).