modul psikologi hukumbadiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/... · sosial dan kognitif...

34
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019 MODUL PSIKOLOGI HUKUM DISUSUN OLEH : TIM PENYUSUN MODUL BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I. BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2019

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

    MODUL

    PSIKOLOGI HUKUM

    DISUSUN OLEH :

    TIM PENYUSUN MODUL BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

    BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

    JAKARTA 2019

  • i

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

    TIM PENYUSUN MODUL................................................................................. ii

    KATA PENGANTAR iii

    DAFTAR ISI......................................................................................................... iv

    I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1

    A. Latar Belakang.......................................................................................... 1

    B. Deskripsi Singkat..................................................................................... 3

    C. Tujuan Pembelajaran................................................................................ 3

    D. Indikator Keberhasilan............................................................................. 4

    E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok....................................................... 4

    II. PSIKOLOGI HUKUM.................................................................................. 5

    A. Pengertian ................................................................................................ 5

    B. Fungsi dan Peran Psikologi dalam Bidang Hukum................................. 6

    C. Ruang Lingkup dan Objek Psikologi Hukum.......................................... 12

    D. Kontribusi Psikologi dalam Dunia Peradilan........................................... 15

    E. Manfaat Psikologi dalam Hukum............................................................. 18

    F. Visum Et Repertum Psikiatrikum............................................................. 23

    III. PENUTUP..................................................................................................... 28

    DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 29

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I. A. Latar Belakang

    Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat dalam era reformasi adalah reformasi

    hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang

    efektif dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat sehari-hari1. Untuk

    mewujudkan hal tersebut pemerintah telah meluncurkan agenda Reformasi Hukum

    yang diharapkan melahirkan produk-produk hukum yang lebih responsif dan futuristik

    serta dapat diterapkan terhadap fenomena-fenomena baru dalam konteks pembangunan

    serta penegakan hukum yang profesional dan berintegritas. Sebab sebaik apa pun

    produk hukum atau substansi hukum tanpa didukung implementasi yang baik oleh

    penegak hukum yang berintegritas dan profesional, tidak akan tercapai tujuan hukum

    itu.

    Dalam rangka mengejawantahkan Reformasi Hukum yang dicanangkan, seluruh

    lembaga penegak hukum melakukan penataan dan menyusun rencana aksi yang

    berkaitan dengan kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia aparat

    hukum serta meningkatkan budaya taat hukum dan kesadaran hukum masyarakat

    seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis.

    Sikap Kejaksaan sendiri dalam melaksanakan reformasi hukum jelas dinyatakan oleh

    Jaksa Agung dalam pembukaan musyawarah nasional Persatuan Jaksa Indonesia

    (Jakarta, 19 Januari 2016) bahwa revitalisasi dan reformasi hukum merupakan sebuah

    upaya yang harus dilakukan oleh seluruh aparatur khususnya para penegak hukum bagi

    terciptanya pemulihan kepercayaan publik kepada hukum. Diharapkan program

    revitalisasi dan reformasi hukum di kejaksaan mendorong terciptanya agen perubahan

    (agent of change) terhadap pembentukan sikap professional warga adhyaksa. Program

    revitalisasi dan reformasi hukum harus dapat diterjemahkan dalam pola pikir dan aksi

    nyata para Jaksa dalam menciptakan penegakan hukum yang efektif, efisien dan

    berkeadilan. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan manfaat keadilan dan 1 Hendra Akhdiat dan Rosleny Marliani, Psikologi Hukum, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), hlm. 5

  • 2

    kepastian hukum seperti yang tergambar dalam Nawa Cita bahwa negara hadir dalam

    melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

    Dalam kerangka berpikir menciptakan agen perubahan, penguatan sumber daya

    manusia aparat hukum dan pembentukan sikap profesionalitas di lingkungan kejaksaan,

    Badan Diklat Kejaksaan memutuskan untuk memperluas materi pembelajaran dan

    mengajukan modul Psikologi Hukum sebagai salah satu pokok bahasan yang akan

    disajikan bagi peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa.

    Belum banyak literatur yang membahas tentang Psikologi Hukum. Dalam kata

    pengantar buku Psikologi Hukum karya Hendra Akhdiat dan Rosleny Marliani (2011),

    Dedi Ismatulah berpendapat bahwa psikologi hukum dapat dijadikan sebagai cabang

    ilmu hukum dengan penjelasan merupakan ilmu tentang kenyataan yang menyoroti

    hukum sebagai tingkah laku yang dapat dipelajari melalui metode studi yang berusaha

    mempelajari hukum secara lebih mendalam dari berbagai sudut pandang sebagaimana

    halnya dengan cabang ilmu sosiologi hukum, antropologi hukum, perbandingan hukum

    dan sejarah hukum.

    Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, terutama tingkah

    laku individu, dapat digunakan untuk mengetahui keadaan batin seseorang ketika

    melakukan perbuatan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan norma

    kehidupan yang berlaku di masyarakat. Apabila tindakan seseorang melanggar norma

    masyarakat maka pribadi bersangkutan dianggap telah melakukan tindak kejahatan dan

    untuk itu ia wajib mempertanggungjawabkan tindakannya dengan menjalani hukuman2.

    Untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa individu melakukan perbuatan

    melanggar norma dan faktor-faktor psikis apa yang mendorong individu melakukan

    perbuatannya, psikologi dapat memberikan penjelasan dan rekomendasi tentang

    tindakan yang akan dilakukan apabila terdapat penyimpangan tingkah laku untuk

    dikembalikan pada yang seharusnya.

    Hendra menganggap psikologi hukum sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan

    yang mempelajari tingkah laku atau sikap tindak hukum sebagai perwujudan gejala dan

    landasan kejiwaan dari tingkah laku tertentu lahir karena kebutuhan dan tuntutan

    terhadap kehadiran psikologi dalam studi hukum. Psikologi dibutuhkan bagi praktik

    2 Hendra Akhdiat dan Rosleny Marliani, Op. Cit, hlm. 12

  • 3

    penegakan hukum dan hasil-hasil penelitian psikologi juga banyak membahas tentang

    hubungan antara hukum dengan pola perilaku maupun kepribadian tertentu.

    I. B. Manfaat Modul

    Sesuai dengan maksud penyusunan modul sebagai kerangka acuan dalam

    penyajian bahan ajar pengenalan akan Psikologi Hukum, maka dengan membaca modul

    ini para peserta diklat/pelatihan akan mendapatkan pengetahuan mengenai konsep

    hubungan antara psikologi dan hukum. Manfaat lebih lanjut, dengan dimasukkannya

    materi Psikologi Hukum dalam kurikulum, diharapkan peserta diklat/pelatihan akan

    memiliki wawasan yang lebih luas dan pengetahuan yang baik akan hubungan perilaku

    individu dengan perbuatan melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga

    proses penegakan hukum dapat berhasil dengan baik.

    I. C. Tujuan Pembelajaran

    Diharapkan setelah mempelajari modul ini dan mengikuti pembelajaran Psikologi

    Hukum, para peserta diklat/pelatihan diharapkan:

    Mampu memahami dan mengerti akan ruang lingkup Psikologi Hukum (meliputi:

    pengertian, objek, dan aplikasi psikologi dalam sistem hukum)

    Indikator keberhasilan;

    Memahami konsep Psikologi Hukum (meliputi: pengertian, objek, teori dan

    aplikasi psikologi dalam system hukum);

    Mengerti dan mampu menjelaskan pengertian psikologi hukum, objek serta teori

    dan aplikasi psikologi dalam sistem hukum;

    Menjelaskan teori psikologi dalam hubungannya dengan perilaku melanggar norma

    masyarakat;

    Mampu menganalisa suatu kasus yang dapat dijelaskan dengan teori psikologi.

  • 4

    I. D. Indikator Keberhasilan

    Diharapkan setelah mempelajari modul ini dan mengikuti pembelajaran Psikologi

    Hukum, para peserta diklat/pelatihan memahami dan mengaplikasikan ilmu yang

    didapatkan dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai Jaksa dengan baik. Peserta

    diklat yang kemudian akan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum

    diharapkan memiliki persektif psikologi terutama memahami pelaku dan korban dalam

    suatu peristiwa hukum.

    I. E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

    Dalam modul ini akan dibahas tentang Pengertian Psikologi Hukum, Fungsi dan

    Peran Psikologi dalam Bidang Hukum, Ruang Lingkup dan Objek Psikologi Hukum,

    Kontribusi Psikologi dalam Dunia Peradilan, Manfaat Psikologi dalam Hukum, dan

    Visum Et Repertum Psikiatrikum.

  • 5

    BAB II

    PSIKOLOGI HUKUM

    II. A. Pengertian

    Ilmu psikologi yang diterapkan dalam bidang hukum lebih dikenal dengan istilah

    Psikologi Hukum. Psikologi Hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang

    mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari jiwa manusia. Ilmu pengetahuan

    ini mempelajari perilaku atau sikap tindakan hukum yang mungkin merupakan

    perwujudan dari gejala – gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari

    perilaku atau sikap tindakan tersebut3. Beberapa pendapat ahli tentang Psikologi

    Hukum:

    Soerjono Soekanto,

    Psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum

    sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan

    kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut

    Achmad Ali,

    Karena hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan pengadilan dan

    peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan

    karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. (Aliran

    pemikiran hukum historis).

    Edward E. Jones,

    Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari

    pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena

    hukum.

    Purnadi Purbacarak,

    Psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum

    sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia.

    Dari pandangan beberapa ahli tersebut dapat dirangkum bahwa Psikologi Hukum

    adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan

    dari jiwa manusia. Ilmu pengetahuan ini mempelajari perilaku atau sikap tindakan

    3 Soejono Soekanto, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 9

  • 6

    hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala–gejala kejiwaan tertentu, dan

    juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindakan tertentu. Psikologi hukum

    dapat diartikan juga sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan

    individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak

    berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang berasal dari dalam diri individu maupun

    lingkungan sosialnya. Sesuai dengan defini diatas sesungguhnya manusialah yang

    paling berkepentingan dengan ilmu psikologi. Dengan kata lain ilmu psikologi sangat

    erat hubungannya dengan interaksi manusia sehari-hari. Interaksi manusia yang diatur

    dalam sistem hukum memerlukan peranan ilmu psikologi untuk memahami prilaku

    manusia dalam interaksinya dengan manusia lain dianaranya dalam perbuatan pidana

    atau kejahatan.

    II. B. Fungsi dan Peran Psikologi dalam Bidang Hukum

    Dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan ilmu psikologi dalam bidang hukum,

    Farrington dan Hawkins (1970) berpendapat bahwa4 :

    “Peranan Psikologi dalam hukum dapat dibagi dalam tiga jenis, pertama psikologi

    yang digunakan untuk menguji kebenaran pra-anggapan yang dignakan dalam

    hukum itu sendiri, kedua digunakan dalam proses hukum dan ketiga digunakan

    dalam sistem hukum iu sendiri”.

    Sedangkan fungsi psikologi menurut Sarlito Wirawan adalah5:

    “Seperti ilmu-ilmu sosial lain, psikologi mempunyai dua fungsi yaitu, pertama

    adalah fungsi pengertian (understanding) dan kedua adalah fungsi peramalan

    (prediction)”.

    Di beberapa negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia

    mendefinisikan istilah psikologi hukum dengan pengalaman empirik maupun riset

    bidang psikologi terhadap sistem hukum, institusi hukum maupun profesi dan orang

    yang berhubungan dengan sistem hukum. Para psikolog yang berminat mengupas

    masalah hukum biasanya menerapkan dan menguji prinsip-prinsip pengetahuan ilmu

    4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Cetakan 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal.

    37 5 Ibid.

  • 7

    sosial dan kognitif dalam permasalahan yang terjadi di bidang sistem hukum. Mereka,

    misalnya, melakukan studi terhadap saksi dan ingatannya, bagaimana proses para juri

    membuat keputusan, proses investigasi dan interviu. Istilah psikologi hukum pada

    akhirnya digunakan untuk membedakannya dari penggunaan cabang ilmu psikologi

    lainnya yang disebut psikologi forensik.

    Keduanya, psikologi hukum dan psikologi forensik secara umum dikenal dengan

    bidang Psiokologi dan Hukum. Diawali dengan usaha para psikolog mempelajari segala

    sesuatu yang berhubungan dengan sistem hukum kini psikologi hukum digunakan bagi

    usaha-usaha yang mendorong terciptanya keadilan. Psikologi hukum diharapkan dapat

    menjelaskan sumbangan ilmu psikologi dalam memahami hukum dan sistem hukum

    melalui berbagai riset yang dilakukan disamping berperan sebagai sarana edukasi bagi

    para psikolog yang mempelajari isu-isu hukum maupun profesional di bidang hukum

    dalam memahami isu-isu psikologis. Di beberapa negara, penelitian mutakhir,

    pendidikan dan pelayanan di bidang psikologi dan hukum sudah menjadi keharusan

    untuk diinformasikan kepada komunitas psikologi dan profesional di bidang hukum

    maupun kepada masyarakat luas.

    Secara umum peran psikologi dibagi dua area, yaitu keilmuan dan aplikatif. Pada

    tataran keilmuwan, psikologi berperan dalam proses pengembangan hukum

    berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara pada tataran aplikatif, psikologi berperan

    dalam intervensi psikologis yang dapat membantu proses hukum. Friedman6

    mengatakan bahwa terdapat tiga aspek dalam sistem hukum. Pertama, Struktur, yang

    berkaitan lembaga yang membuat dan menegakkan hukum, termasuk DPR, kepolisian,

    kejaksaan, hakim dan para advokat. Kedua, Subtansi, yang menyangkut dari materi

    hukum baik yang tertulis atau yang tidak tertulis. Ketiga Budaya Hukum, yaitu sikap

    orang terhadap hukum dan sistem hukum yang meliputi kepercayaan, nilai, pikiran dan

    harapan.

    Meskipun psikologi hukum usianya relatif masih sangat muda namun di Indonesia

    kebutuhan akan cabang ilmu pengetahuan ini sangat dirasakan. Dalam bidang

    6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm.154

  • 8

    penegakan hukum Psikologi Hukum digunakan sebagai metode untuk menelaah faktor

    – faktor psikologi apakah yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah hukum

    (berperilaku normal) dan meneliti faktor – faktor apakah yang mendorong seseorang

    dalam melanggar kaidah hukum (berperilaku abnormal). Walaupun faktor lingkungan

    ada pengaruhnya, tetapi tinjauan utama adalah faktor pribadi sebagai individu.

    Pengungkapan faktor – faktor psikologis mengapa seseorang melakukan

    pelanggaran hukum, mempunyai arti penting dalam penegakan hukum pidana di

    pengadilan. Dalam hukum pidana misalnya dibedakan ancaman terhadap seseorang

    yang menghilangkan jiwa orang lain dengan sengaja dan tidak disengaja, yang

    direncanakan dan tidak direncanakan, yang dilakukan oleh orang yang sehat akal

    pikirannya dan yang dilakuan oleh orang yang tidak sehat akal pikirannya.

    Menurut Soerjono Soekanto, pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum,

    diantaranya yaitu7:

    Untuk memberikan penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta pengertiannya,

    misalnya seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, kemampuan indivu

    mempertanggungjawabkan perbuatan dan seterusnya.

    Untuk menerapkan hukum dengan mempertimbangkan keadaan psikologi pelaku

    tindak pidana

    Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketentraman yang menjadi tujuan utama

    dari hukum.

    Untuk sebanyak mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam upaya

    penegakan hukum.

    Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih

    mengenal diri atau lingkungannya.

    Di Indonesia peran Psikologi dalam Hukum sudah mulai terlihat semenjak

    hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi

    forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang

    7 Soejono Soekanto, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1979), hal.18

  • 9

    menimpa masyarakat. Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak hukum

    memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban.

    Peran Psikologi dalam Proses Hukum8

    P

    s

    i

    k

    o

    logi secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan proses penegakan hukum.

    Sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia, psikologi

    memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Peran psikologi terutama

    pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas) dan pihak-pihak yang

    terlibat (saksi, pelaku dan korban). Selain itu, psikologi juga berperan pada sistem

    hukum dan warga yang terkena cakupan hukum.

    Ada beberapa peran psikologi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu:

    Pertama, Psikologi berperan dalam memperkuat aparat penegak hukum dalam

    menegakkan hukum. misalnya bagaimana peranan intervensi psikologis dalam

    meningkatkan perfomance polisi. Hasil penelitian Arnetz dkk., (2009) menunjukkan

    bahwa hasil pelatihan resiliensi dapat meningkatkan performance polisi. Selain aparat

    penegak hukum, yang tidak kalah penting adalah keluarga aparat penegak hukum.

    Kedua, Psikologi berperan dalam menjelaskan kondisi psikologis pelaku, korban

    dan saksi sehingga aparat penegak hukum dapat mengambil keputusan dengan tepat.

    8 Probowati, Y. (2010). Psikologi dalam bidang Forensik di Indonesia. Ed. Supraktinya dan Tjipto Susana, hal

    374-399. 50 thn himpsi: redefinisi psikologi Indonesia dalam keberagaman.

    Area Peran

    Polisi Membantu polisi dalam melakukan penyidikan pada

    korban,saksi dan pelaku

    Kejaksaan Membantu jaksa dalam memahami kondisi psikologis

    pelaku,korban dan memberikan perlatihan tentang gaya

    bertanya kepada saksi.

    Pengadilan Sebagai saksi ahli dalam persidangan

    Lembaga Kemasyarakatan Asesmen dan intervensi psikologi pada narapidana

  • 10

    Ketiga, Psikologi berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam

    mematuhi hukum yang berlaku. Misalkan, psikologi dapat membantu polisi dalam

    membentuk masyarakat sadar dan taat aturan melalui kegiatan seminar dan aktifitas

    yang berbasiskan masyarakat.

    Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam empat

    tahap9:

    1. Pencegahan (deterrent)

    Pada Tahap Pencegahan, psikologi dapat membantu aparat penegak hukum

    memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah kepada masyarakat bagaimana cara

    mencegah tindakan kriminal. Misalkan, psikologi memberikan informasi

    mengenali pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut diharapkan

    masyarakat mampu mencegah perilaku kriminal.

    2. Penanganan (pengungkapan dan penyidikan)

    Pada Tahap Penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi dapat

    membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga polisi

    dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal profiling

    dan geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik

    investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur,

    tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan setting tempat

    kejadian (scene). Geographical profiling merupakan suatu teknik investigasi yang

    menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian

    tindakan kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan

    tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan.

    3. Pemidanaan

    Pada Tahap Pemidanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi

    psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan)

    sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku

    kejahatan. Ada beberapa teori yang terkait dengan tujuan pemindanaan. Pertama,

    9 Rizanizarli, 2008. Teori-teori Pemindanaan dan Perkembangan. Kanun, 33,177- 196

  • 11

    teori retributif (balas dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap orang harus

    bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya di harus menerima hukuman yang

    setimpal. kedua teori relatif (tujuan), teori ini bertujuan untuk mencegah orang

    melakukan perbuatan jahat. Teori ini sering disebut dengan teori deterrence

    (pencegahan). Ada dua jenis teori relatif, yaitu teori pencegahan dan teori

    penghambat. Teori pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan umum, efek

    pencegahan sebelum tindak pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman dan

    keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak pidana

    dilakukan. Sementara teori penghambatan, yaitu bahwa pemindanaan bertujuan

    untuk mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya

    lagi. Ketiga, behavioristik, teori ini berfokus pda perilaku. Teori ini dibagi dua,

    yaitu incapacitation theory, pemindanaan harus dilakukan agar pelaku tidak dapat

    berbuat pidana lagi dan Rehabilitation theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk

    memudahkan melakukan rehabilitasi.

    4. Pemenjaraan.

    Tahap terakhir adalah pemenjaraan. Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam

    lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan

    mengalami perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda,

    banyak pelaku kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi

    tetap melakukan tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas

    tindakan kejahatannya lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini terjadi karena

    terjadi proses pembelajaran sosial ketika di LP. Dalam konsep psikologi, LP

    haruslah menjadi tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi

    perubahan perilaku dan psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat

    menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat. Ada beberapa

    konsep psikoloogi yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di

    LP. Pertama, berorentasi personal, yaitu dengan cara terapi individual/kelompok,

    misalkan terapi kogniif. Kedua, berorentasi lingkungan, dengan menciptakan

    lingkungan fisik LP yang mendukung perubahan perilaku narapidana, misalkan

    jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi

  • 12

    kepadatan dan kesesakan yang berpotensi menimbulkan perilaku agresif

    narapidana.

    Menurut Costanzo, peran psikologi dalam hukum sangat luas dan beragam.

    Ia memberikan tiga peran10

    :

    i. Pertama, psikolog sebagai penasehat. Para psikolog sering kali digunakan

    sebagai penasehat hakim atau pengacara dalam proses persidangan. Psikolog

    diminta memberikan masukan apakah seorang terdakwa atau saksi layak

    dimintai keterangan dalam proses persidangan.

    ii. Kedua, psikolog sebagai evaluator. Sebagai seorang ilmuwan, psikolog

    dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu program yang disusun

    dalam rangka penerapan sanksi hukum. Misalnya penerapan program

    rehabilitasi dalam bentuk tertentu bagi remaja penyalahguna obat-obatan

    terlarang, apakah efektif atau tidak.

    iii. Ketiga, Psikolog sebagai pembaharu. Psikolog diharapkan menjadi

    pembaharu atau reformis dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan mampu

    mengaplikasi ilmu pengetahuannya ke dalam tataran aplikatif, sehingga

    sistem hukum, mulai dari proses penangkapan, persidangan, pembinaan, dan

    penghukuman berlandaskan kajian-kajian ilmiah (psikologis).

    II. C. Ruang Lingkup dan Objek Psikologi Hukum

    Dikemukakan oleh Soejono Seokanto bahwa dewasa ini hasil-hasil penelitian

    tentang hubungan antara hukum dan sektor kejiwaan, tersebar dalam publikasi

    hasil-hasil penelitian di berbagai bidang ilmu. Pada umumnya hasil-hasil penelitian

    tersebut menyoroti hubungan timbal balik antara faktor-faktor tertentu dari hukum,

    dengan beberapa aspek khusus dari kepribadian manusia. Masalah yang ditinjau

    berkisar pada soal-soal sebagai berikut:

    1) Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaedah hukum;

    2) Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola penyelesaian terhadap pelanggaran

    kaedah hukum;

    10

    Constanzo, Mark, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum. Diterjemahkan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 48

  • 13

    3) Akibat-akibat dari pola-pola sengketa tertentu.11

    Dengan demikian pokok-pokok ruang lingkup psikologi hukum adalah sebagai berikut:

    1) Segi psikologi terbentuknya norma atau kaedah hukum;

    2) Kepatuhan atau ketaan terhadap kaedah hukum;

    3) Perilaku menyimpang;

    4) Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.12

    Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi

    penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum

    dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan13

    :

    1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan

    spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli,

    kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan

    rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian

    saksi mata.

    2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu

    penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku

    pengacara, yuri, dan hakim.

    3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa

    orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan

    moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah

    hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.

    4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan

    informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).

    5. criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang

    menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada

    suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu

    penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana

    6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak

    dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi

    wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan

    11

    Soejono Soekanto,Op. Cit, hal.11 12

    Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Psikologi Hukum, (Bandung:Alumni,1983), hal.41 13

    Achmad Ali. 2008. “Triangular Concept Of Legal Pluralism, Teori Hukum Termutakhir”. Harian Fajar. 31 Desember 2008.

  • 14

    untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan

    datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.

    Menyadari adanya perbedaan yang fundamental pada budaya psikologi dan hukum

    Constanzo14

    menunjukkan ada banyak jembatan interaksi yang dapat dimanfaatkan

    bagi keduanya. Keduanya berusaha menyelesaikan masalah manusia serta memperbaiki

    kondisi manusia. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu:

    1. Psikologi dalam Hukum (Psychology in Law), mengacu akan penerapan spesifik

    ilmu psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli,

    menjelaskan kehandalan kesaksian saksi mata, menentukan realibitas kesaksian saksi

    mata, menetukan kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak

    penentuan perwalian anak;

    2. Psikologi dan Hukum (Psychology and Law), meliputi penelitian yang bersifat

    psikolegal yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian

    terhadap perilaku pengacara, juri dan hakim dalam keseluruhan sistem hukum;

    3. Psikologi Hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa

    orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi peraturan atau undang-undang tertentu,

    perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana,

    penelitian seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan;

    4. Psikologi Forensik (Forensic Psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan

    informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan);

    5. Psikologi Hukum Pidana (Criminal Psychology), sumbangan psikologi hukum yang

    menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada

    suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu

    penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana.

    Selanjutnya Constanzo15

    melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui

    bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:

    1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak

    seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah

    14

    Constanzo, Mark, Op. Cit. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 61 15

    Ibid

  • 15

    seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat

    dan kondisi tindakannya?

    2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan

    prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak

    kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi

    keputusan yang mereka ambil?

    3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita

    gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan?

    Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak

    akan menjadi orang yang berbahaya?

    4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi

    seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat?

    Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang

    diinginkan oleh para pengacara dan hakim?

    Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu

    tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan

    perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu

    psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari

    aktifitas psikis manusia.

    Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq dalam psikologi hukum akan

    dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas16

    :

    1. Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan

    mematuhi hukum.

    2. Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar

    hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.

    II. D. Kontribusi Psikologi dalam Dunia Peradilan

    Sebagai disiplin yang mempelajari manusia dan perilakunya dalam hubungannya

    dengan orang lain, psikologi memperlakukan masalah forensik maupun masalah

    kontribusi psikologi dalam dunia peradilan itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak

    konvensional, bahkan kontroversial, serta relatif baru. Dalam kaitan itu, cukup wajar

    apabila saat mendekati masalah yang relatif telah berada di luar ranah psikologi ini,

    16

    Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika), hal 37

  • 16

    berbagai kalangan dalam psikologi mendekatinya dengan cara berbeda-beda. Salahsatu

    indikasinya terlihat melalui fokus dan penyebutannya. Ada yang menyebut psychology

    of law, psychology and law, psychology in law, psycholegal, legal psychology,

    psychology and criminology, psychology of crime, psychology of criminal behavior,

    psychology of abnormal behavior, psychology of court room, psychology of judicial

    sentencing, psychology of judges, police psychology, psychology for police officer,

    psychology for law enforcement work, psychology for person identification,

    psychology of prison, psychology in prison, psychology of punishment, psychology of

    imprisonment, investigative psychology serta forensic psychology. Walaupun

    masing-masing sebutan itu memiliki fokus sendiri-sendiri, namun terdapat tiga hal yang

    selalu ada.17

    :

    Pertama, perbedaan konteks yang dihadapi psikologi. Jadi, bukan psikologinya

    yang berbeda, tetapi konteksnya. Adapun prinsip, teori dan metode psikologi yang

    berlaku, pada dasarnya sama.

    Kedua, dalam rangka menghadapi konteks yang berbeda-beda itu (apakah itu

    terkait dengan hakim, polisi atau petugas penjara), maka psikologi adalah satu dari

    berbagai ilmu yang berada pada posisi membantu. Oleh karena itu, pihak yang dibantu

    (entah itu disebut dengan „sistem hukum‟, „aparat hukum‟ atau „sistem peradilan

    pidana‟) dalam kesehariannya seolah-olah berada pada posisi lebih tinggi, minimal

    dalam menentukan kapan dirinya butuh bantuan serta bantuan macam apa.

    Ketiga, bantuan psikologi dalam hal ini hampir dapat dipastikan selalu dalam

    kerangka mencapai kebenaran hukum yang lebih akurat dan tinggi.

    Dari semua sebutan yang khas dan memiliki fokusnya sendiri-sendiri itu, terdapat

    sebutan payung (umbrella concept) yang dapat merangkul keseluruhannya yakni

    psikologi forensik. Sehingga, apabila didefinisikan, psikologi forensik adalah “segala

    bentuk penerapan psikologi dalam sistem hukum dalam rangka membantu aparat

    hukum mencapai kebenaran hukum”. Posisi inilah yang lalu membawa psikologi turut

    hadir dalam simposium ilmu-ilmu forensik. Sebagaimana sudah disebut, bahwa dari

    17 Adrianus Meliala, Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia , Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):56-59 Asosiasi Forensik Indonesia Diterbitkan di Jakarta, https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3211/230, diakses 16 Mei 2019

    https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3211/230

  • 17

    berbagai hal yang menjadi entry-point bagi psikologi untuk masuk dalam dunia hukum,

    salah satu yang dianggap krusial adalah dunia peradilan. Nuansanya dalam hal ini sama

    saja, yakni psikologi melihat terdapatnya praktek-praktek beracara di persidangan yang

    dapat mengganggu pencapaian kebenaran hukum tersebut. Nuansa ini pula yang

    menjadi sumber masalah baru, mengingat dunia hukum nampaknya tidak bisa

    menerima semua hal yang diindikasikan oleh kalangan psikologi sebagai sumber bias.

    Terdapat empat (kemungkinan) bentuk kontribusi psikologi dalam praktek

    beracara di persidangan sebagai berikut18

    :

    1. Sebagai saksi ahli, dimana psikolog (atau orang yang memiliki keahlian dalam

    bidang psikologi) memberikan keterangan ahli di depan persidangan sebagaimana

    dimintakan oleh hakim, jaksa atau pengacara;

    2. Sebagai pemberi nasehat ahli diluar persidangan untuk hal-hal yang terkait dengan

    persidangan pada umumnya. Nasehat berupa opini atau hasil penelitian tersebut

    dapat diberikan kepada majelis hakim atau badan peradilan pada umumnya

    (misalnya Mahkamah Agung), tersangka atau yang mewakilinya, demikian pula

    korban atau yang mewakilinya. Media massa atau kelompok LSM tertentu dapat pula

    menjadi pengguna opini si psikolog tersebut;

    3. Sebagai hakim ad-hoc, yakni para psikolog profesional yang karena keahliannya

    diminta bertugas sebagai hakim anggota dalam majelis hakim yang menyidangkan

    kasus tertentu;

    4. Sebagai pendidik para calon hakim atau pemberi penyegaran pada hakim senior,

    yang difokuskan menjadi sebuah awareness course terkait dengan tiga hal: situasi

    psikologik hakim sebagai manusia biasa saat menyidangkan perkara, proses

    persidangan itu sendiri sebagai suatu teater psikologis dan saat mengambil keputusan

    pidana.

    Dalam konteks saksi ahli, maka terdapat beberapa persoalan yang khas Indonesia

    sebagai berikut:

    Pertama, perihal siapakah yang bisa menjadi atau dipanggil sebagai saksi ahli psikolog.

    Bila dipergunakan pengertian bahwa psikolog adalah seseorang dengan latar belakang

    pendidikan S-1 Psikologi, maka terdapat permasalahan tidak meratanya penyebaran

    18

    Ibid

  • 18

    psikolog ataupun psikolog yang kebetulan ada di suatu kota ternyata tidak memiliki

    kemampuan sebagai saksi ahli.

    Kedua, lebih dari soal siapa yang menjadi saksi ahli, yang lebih substansial terkait saksi

    ahli adalah mengenai keterangan yang diberikan itu sendiri dimana perlu terdapat

    standar atau parameter sehingga bisa dibedakan mana keterangan saksi ahli yang

    memenuhi syarat atau yang tidak. Terdapat suatu „bahaya‟ dimana semua hal kemudian

    bisa dipsikologi-kan (psychologizing the crime) sehingga menjadi terlihat dicari-cari.

    Ketiga, sebagai sesuatu yang bersifat fakultatif atau opsional, maka selalu menarik

    untuk mengetahui, pada kasus apa saja atau kapan seorang psikolog dianggap perlu

    untuk dihadirkan ke depan persidangan. Terdapat kesan, hanya pada perkara-perkara

    dengan kemungkinan terdakwanya mengalami gangguan jiwa, dan dalam rangka

    menentukan kebertanggungjawabannya, dipanggillah saksi ahli psikolog. Tentu saja

    adakalanya saksi ahli diminta hadir oleh hakim, walau lebih sering dimintakan

    kehadirannya oleh pengacara terdakwa yang menginginkan kesaksian yang menyatakan

    dirinya tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

    II. E. Manfaat Psikologi dalam Hukum

    Kekuatan berlakunya aturan (hukum) dipengaruhi oleh sifatnya yang mengatur dan

    memaksa. Tidak semua peserta kelompok yang diatur serta merta patuh atau otomatis

    menggunakannya sebagai aturan yang sahih dan pasti. Menurut Kelman, bahwa orang

    taat pada hukum dipengaruhi oleh beberapa hal19

    :

    (a) Compliance yaitu jika seoarang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut

    akan sanksi.

    (b) Identification yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut

    hubungan baiknya dengan seorang menjadi rusak.

    (c) Internalization yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena

    ia merasa aturan itu sudah sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

    19 Achmad Ali. 1990. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta:Yarsif Watampone, 1998), hal. 196

  • 19

    Penyebab orang taat atau tidak taat pada hukum merupkan kajian hukum yang

    bersifat empiris, yang mengkaji hukum dalam kenyataan (law in action), yang dapat

    dikaji melalui sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum. Psikologi

    hukum yang melakukan studi terhadap fenomena hukum yang meliputi kenyataan

    sosial, kultur, perilaku dan lain-lain adalah kajian hukum yang bersifat deskriptif.

    Menurut Lawrence Wrigstman, karakteristik dari pendekatan psikologi terhadap hukum

    adalah20

    ”psychological approach to the law emphasizes the human determinants of the

    law. So do sociology and anthropology – but the focus in the psychological

    approach is on individual as the unit analysis. Individuals are seen as

    responsible for their own conduct and as contributing to its causation.

    Psychology looks at the impact of the police officer, the victim, the juror, the

    lawyer, the judge, the defendant, the prison guard, and the parole officer on the

    legal system. Psychology assumes that the characteristics of these participants

    in the legal system effect how the system operates. In “characteristics”, include

    these persons’ abilities, their perspectives, their values, their experience – all

    the factors that influence the is behavior”.

    (pendekatan psikologis terhadap hukum menekankan determinan manusia

    terhadap hukum. Demikian juga ilmu antropologi dan sosiologi - tetapi fokus di dalam

    pendekatan psikologi adalah pada individu sebagai unit analisis. Individu dilihat

    sebagai yang bertanggung jawab untuk tindakan dan akibat dari apa yang diperbuatnya.

    Psikologi meneliti pada dampak dari pegawai kepolisian, korban, anggota juri,

    pengacara, hakim, terdakwa, penjaga tahanan, dan pembebasan bersyarat pegawai

    dalam sistem hukum. Psikologi berasumsi bahwa karakteristik dari partisipan di dalam

    sistem yang hukum mempengaruhi bagaimana sistem hukum beroperasi. Di dalam

    "karakteristik", meliputi kemampuan dari pribadi orang tersebut, perspektif mereka,

    nilai-nilai yang mereka anut, pengalaman mereka - semua faktor yang mempengaruhi

    perilaku itu"). (terjemahan bebas oleh penulis)

    Selanjutnya Musakkir 21

    menguraikan bahwa kajian psikologi hukum menekankan

    kepada

    20

    Musakkir. ”Putusan Hakim Yang Diskriminatif dalam Perkara Pidana Di Sulawesi Selatan (Suatu Analisis Hukum Empiris)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005, hal 47 21

    Ibid

  • 20

    “Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok

    dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau

    perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi

    terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam

    melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka?

    Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan

    menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh

    kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak

    hukum lainnya”.

    Psikologi yang memasuki ranah hukum bernaung dalam satu bidang kajian yang

    dinamakan dengan „psikologi dan hukum‟ (psychology and law). Psikologi dan hukum

    memayungi beberapa kajian psikologi dalam ranah hukum. Secara garis besarnya ada

    sejumlah bidang kajian, yakni psikologi penegakan hukum (law enforcement

    psychology), psikologi untuk menangani narapidana (correctional psychology),

    psikologi forensik (forensic psychogy), dan psikologi hukum (legal psychology).

    Psikolologi penegakan hukum, psikologi narapidana, dan psikologi forensik adalah

    turunan dari psikologi klinis. Psikologi penegakan hukum memfokuskan penelitiannya

    pada aktivitas badan penegakan hukum dan menyediakan layanan psikologis untuk

    badan tersebut. Misalnya tes psikologis untuk calon polisi, promosi jabatan, pemecatan

    hubungan kerja, dan intervensi untuk polisi yang terlibat masalah. Tidak heran jika ada

    pula istilah psikologi polisi yang muncul dari hasil-hasil penelitian psikologi penegakan

    hukum ini. Sedangkan psikologi narapidana itu berfokus pada penanganan narapidana.

    Layanan yang diberikan misalnya mengajarkan strategi penanggulangan masalah,

    manajemen kemarahan, dan sebagainya. Sedangkan psikologi forensik membantu

    bidang hukum dalam melakukan analisis kompetensi seseorang apakah ia dapat

    mengikuti persidangan dan bertanggung jawab atas tindakan kejahatannya (criminal

    competence and responsibility), dampak psikologis yang dialami seseorang dalam

    persidangan, kompetensi mental seseorang pada situasi nonkriminal (mengatur

    keuangan, keputusan untuk menerima perawatan medis/psikiatris), otopsi psikologis

    (psychological autopsies) pada seseorang yang sudah meninggal dunia, criminal

    profiling, dan analisis kelayakan seseorang sebagai orangtua untuk penentuan hak asuh

    anak.

  • 21

    Berdasarkan uraian di atas krakteristik psikologi hukum dapat disimpulkan sebagai

    berikut:

    1. Karakteristik dari pada psikologi hukum yaitu pada partisipan penegak hukum yang

    dipengaruhi oleh perspektif mereka (partisipan hukum),, nilai yang

    dianut (value), pengalaman (exprience),kemampuan (ability) orang/partisipan

    hukum tersebut.

    2. Penekanan psikologi hukum pada faktor internal (pribadi) partisipan hukum, yang

    melihat pada fakta-fakta yang bersifat istimewa (idiosyncracy fact) tentang

    psikologi dan kepribadian individual.

    3. Merupakan kajian yang bersifat logis, empirik dan analitik yang memusatkan pada

    isu-isu yang sangat luas.

    4. Merupakan kajian yang bersifat deskriptif dan menjelaskan pengalaman dan

    perilaku manusia melalui logika, metode ilmu dan riset.

    5. Menekankan determinan-determinan manusia dari hukum (peraturan

    perundang-undangan dan putusan hakim).

    6. Secara umum objeknya adalah manusia dengan kegiatan-kegiatannya dalam

    hubungan dengan lingkungannya, yaitu perilaku (behaviour) dan fenomena hukum.

    7. Mempelajari hukum sebagai pembentukan hasil jiwa manusia (volkgeist) baik

    putusan pengadilan maupun perundang-undangan.

    8. Mempelajari faktor-faktor pribadi yang mendorong orang untuk mematuhi kaedah

    hukum dan melanggar kaidah hukum.

    Psikologi hukum sebagai pendekatan psikologi yang lebih bersifat individual terhadap

    hukum memiliki beberapa manfaat, menurut Soerjono Soekanto mengemukakan

    pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum sebagai berikut22

    :

    1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta

    pengertiannya, seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, tidak dapat menjalankan

    kewajiban sebagai suami isteri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    2. Untuk menerapkan hukum, dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku.

    3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketenteraman yang menjadi tujuan utama

    dari hukum.

    22

    Soejono Soekanto,Op. Cit, hal.34

  • 22

    4. Untuk sebanyak mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam penegakan

    hukum.

    5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih

    mengenal diri atau ligkungannya.

    6. Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan

    penciptaan kedamaian.

    Demikan halnya Munir Fuady, mengemukakan mengapa psikologi penting untuk

    diterapkan dalam ilmu hukum? Antara lain23

    :

    1. Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kondisi

    psikologis dari para penegak dan para penerap hukum.

    2. Menurut ilmu psikologi, khususnya psikologi baru (new psychology), berbagai

    konsep abstrak dari hukum hanyalah merupakan suatu ilusi yang berasal dari

    kebutuhan akan kepastian (certainty), perdamaian internal (inner pace), dan ilusi

    terhadap kebutuhan akan kepastian (exactness)

    3. Para penegak hukum dengan bantuan ilmu psikologi dapat mengetahui kebohongan

    dari saksi atau tersangka ketika diperiksa.

    4. Bahwa apa yang disebut perasaan hukum, kesadaran hukum dan jiwa

    bangsa (Volkgeist) tidak lain merupakan ungkapan-ungkapan yang

    berkonotasi psikologis.

    5. Penganut realisme hukum berpendapat bahwa setiap persolan hukum tidak lain

    hanya proses psikologi.

    6. Dengan bantuan ilmu psikologi, para penegak hukum dapat mengetahui keadaan

    psikologisnya sendiri ketika menegakkan dan menerapkan hukum. Karena itu

    mestinya seorang penegak hukum paham dengan konsep-konsep psikologis.

    Oleh karena psikologi sangat penting bagi ilmu hukum dalam mengetahui latar

    belakang kejiwaan seseorang, maka mempelajari psikologi hukum dapat diperoleh

    beberapa manfaat antara lain :

    1. Dapat melakukan analisis yang tajam antara fenomena hukum dengan hukum itu

    sendiri.

    23

    Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia), hal.14-15

  • 23

    2. Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap penegak

    hukum maka kita dapat mensinkronkan antara hukum dan perilaku penegak hukum.

    II. F. Visum Et Repertum Psikiatrikum

    Visum et Repertum (VeR) Psikiatrikum merupakan jenis visum yang dibuat untuk

    menerangkan status kejiwaan seseorang dengan menggunakan ilmu psikiatri dan

    berdasarkan hasil pemeriksaan psikiatri. Visum et Repertum (VeR) Psikiatrikum yang

    selanjutnya disingkatVeRP adalah keterangan dokter spesialis kedokteran jiwa yang

    berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan kesehatan jiwa pada seseorang di fasilitas

    pelayanan kesehatan untuk kepentingan penegakan hukum24

    . Visum ini penting untuk

    menentukan apakah tersangka pelaku tindak pidana tersebut dapat

    mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Seseorang terdakwa yang ternyata

    mempunyai kelainan kejiwaan baik karena pertumbuhannya maupun karena penyakit,

    dianggap tidak dapat bertangggung jawab atas perbuatannya sehingga tidak dapat

    dipidana.

    Sampai saat ini pembuatan VeR Psikiatri yang paling sering adalah untuk kasus

    pidana, dimana seseorang yang diduga menderita gangguan jiwa melakukan kekerasan,

    atau mengalami penganiayaan fisik atau psikis. Namun tidak jarang permintaan VeR

    Psikiatri untuk kasus perdata seperti pembatalan kontrak perjanjian karena salah satu

    pihak diduga menderita kelainan jiwa. Sehingga VeR Psikiatri bisa dijadikan acuan

    untuk25

    :

    1. Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa (diagnosis).

    2. Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara gangguan jiwa pada

    terperiksa dengan peristiwa hukumnya, dengan menentukan kemungkinan

    hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa

    hukum.

    3. Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada terperiksa.

    4. Membantu menentukan cakap atau tidaknya terperiksa mengambil keputusan

    dalam hukum.

    24

    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakkan Hukum Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 25

    Afandi, D. Visum et repertum Tata laksana dan Teknik Pembuatan. (Pekanbaru: UR Press. 2011)

    https://forensicmedindonesia.wordpress.com/2017/11/18/visum-et-repertum/https://forensicmedindonesia.wordpress.com/2017/11/18/visum-et-repertum/

  • 24

    Di Indonesia, salah satu kasus hukum yang prosesnya melibatkan peran ahli

    psikologi forensik adalah kasus Sumanto, “kanibal” asal Purbalingga, pada tahun 2003.

    Walaupun kesimpulan para psikolog menyatakan Sumanto menderita gangguan jiwa,

    pengadilan menjatuhkan pidana penjara 5 tahun kepadanya. Selanjutnya pada tahun

    2008, para psikolog forensik kembali disibukkan oleh kasus pembunuhan berantai oleh

    Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Para psikolog ini menjatuhkan penilaian bahwa

    Ryan seorang psikopat, dan berujung dijatuhkannya vonis mati kepadanya, baik oleh

    pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK).

    Salah satu permasalahan pelik di Indonesia adalah sistem hukum yang secara

    sederhana berasumsi bahwa tindak kejahatan yang dapat dipidana haruslah atas dasar

    pertimbangan rasional dan dipikirkan sebelumnya. Dengan demikian, pelaku tindak

    kejahatan yang didapati mengalami ketidakwarasan (insanity) otomatis tidak dipidana,

    dan hanya divonis untuk menjalani perawatan atau terapi kejiwaan. Standar hukum yang

    berlaku umum menyatakan bahwa seorang pelaku kejahatan tidak bertanggung jawab

    atas perbuatannya apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan itu dilakukannya dalam

    keadaan sedang menderita gangguan mental atau kejiwaan. Para psikolog tidak

    sepenuhnya sependapat dengan standar ini.

    Dalam kasus Ryan di atas, tindak kejahatan oleh seorang psikopat adalah salah satu

    contoh di mana standar hukum tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan. Seorang

    psikopat bukan haya menderita gangguan mental, tapi sudah mengarah ke kelainan

    kepribadian. Para psikopat itu bersifat antisosial, sangat berpotensi melakukan tindak

    kekerasan atau abnormal dalam relasi sosialnya, dan memiliki karakter yang sangat sulit

    diubah. Bagi seorang psikopat tidak ada definisi atau standar benar dan salah, dan demi

    mencapai keinginannya ia mampu melakukan apapun tanpa rasa bersalah, sekalipun

    tindakannya itu merugikan atau menyakiti orang lain.

    Hal ini tentu menjadi tantangan khususnya di negara-negara seperti Indonesia di

    mana sistem hukumnya belum secara jelas mengatur mengenai tindak kejahatan oleh

    seorang psikopat atau pengidap gangguan mental lainnya. Dalam hal inilah peran ahli

    psikologi forensik menjadi sangat penting dalam upaya menindaklanjuti kasus-kasus

    yang ada baik dari segi penyelesaian hukum mapun dari segi klinis dan terapis, terhadap

    pelaku maupun korbannya.

  • 25

    Dalam perkembangannya VeR Psikiatri dapat digunakan sebagai alat bukti di

    pengadilan untuk mendukung pembuktian Penuntut Umum menerangkan suatu

    peristiwa pidana yang dilakukan terhadap korban. Keguncangan jiwa yang dialami

    korban karena mengalami suatu tindak pidana dapat diterangkan melalui VeRP. Dalam

    Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-007/JA/A/10/2016 tentang Perlindungan

    terhadap Anak Korban Kekerasan tanggal 10 Oktober 2016 disebutkan bahwa “Dalam

    menangani Anak Korban Kekerasan, Penuntut Umum dapat melakukan koordinasi

    yang intensif dengan Penyidik untuk mendapatlan informasi dan data dari setiap

    lembaga penyedia layanan terkait yang membantu Anak Korban Kekerasan, informasi

    situasi dan kondisi Anak Korban Kekerasan tersebut wajib dibuat dalam bentuk tertulis

    guna menambah alat bukti surat/ keterangan ahli berupa: (a). Fakta yang terkait alat

    bukti dalam berkas perkara; (b). Visum et repertum; (c). Visum et psikiatrikum/ visum

    et psikologikum; dan/atau (d). Laporan ahli/BAP Ahli.”. Dapat dilihat bahwa VeRP

    dianggap sebagai alat bukti penting terkait pembuktian tindak pidana kekerasan

    terhadap anak. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap anak tidak ditemukan perlukaan

    pada alat kelamin ataupun di bagian tubuh lainnya, maka akan sulit bagi Penuntut

    Umum dalam membuktikan tindak pidana kekerasan yang dilakukan terhadap anak.

    Akan tetapi dengan melakukan pemeriksaan psikologi kepada anak korban yang

    kemudian dituangkan dalam VeRP maka Penuntut Umum akan lebih mudah

    mengungkap tindak pidana kerasaan yang dialami oleh anak korban.

    Dalam melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum

    dilaksanakan oleh tim. Tim dibentuk oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan

    (Fasyankes) melalui surat keputusan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga

    kesehatan terdiri 1(satu) dokter spesialis kedokteran jiwa yang merangkap sebagai ketua

    tim dan pembuat VeRP, dibantu sekurang- kurang nya 2 (dua) orang tenaga kesehatan

    lainnya, diantaranya dokter Sp. KJ, dokter Spesialistik lain, dokter umum, psikologi

    klinis, tenaga keperawatan maupun tenaga kesehatan lainnya26

    . Dokter Sp. KJ

    merangkap ketua tim bertugas melakukan pemeriksaan psikiatrik, memimpin rapat dan

    merangkum hasil temuan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan

    26

    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakkan Hukum.

  • 26

    lainnya, membuat analisis medikolegal serta menyusun laporan dalam bentuk VeRP.

    Tenaga kesehatan lainnya melakukan pemeriksaan sesuai dengan bidang keilmuan

    masing-masing, melakukan pencatatan dalam rekam medik, melaporkan hasil temuan

    kepada dokter Sp. KJ selaku ketua tim, dan membahas hasil temuan bersama anggota

    tim lain dalam menyusun kesimpulan pemeriksaan.

    Pada pemeriksaan perkara pidana dengan pelaku yang diduga mengalami

    gangguan jiwa, Bilamanana data yang diperlukan telah mencukupi maka Psikater dapat

    membuat kesimpulan pemeriksaan. Kesimpulan pemeriksaan setidaknya memuat 27

    :

    1. Apakah Pelaku tindak pidana sedang mengalami gangguan jiwa pada saat

    melakukan tindak pidana atau tidak? Bila jawaban Ya maka Psikiater harus

    menyebutkan nama penyakit dan diagnosis penyakit jiwa pelaku tindak pidana.

    Dari nama penyakit dapat diketahui gradasi, kronisitas dari penyakit tersebut

    2. Apakah tindak pidana yang dilakukan pelaku berhubungan dengan gejala penyakit

    penyakit yang dialami pelaku? Pada penyakit jiwa yang berlangsung kronis,

    beberapa gejala penyakit tidak hilang dan tetap dialami orang dengan gangguan

    jiwa. Namun demikian ada tindak pidana yang dilakukan oleh orang dengan

    gangguan jiwa tidak berhubungan dengan penyakit dan gejala penyakitnya.

    3. Apakah pelaku menyadari perbuatannya? Tahap kemampuan menyadari

    perbuatannya adalah tahap saat pelaku seharusnya dapat mempersepsi dan

    kemudian menginterpretasi dan mengambil kesimpulan dari stimulus yang

    diperoleh. Kesadaran disini ditentukan dengan memeriksa tingkat kesadaran seperti

    pada pemeriksaan psikiatrik pada umumnya. Dapat ditentukan apakah pelaku

    tersebut pada saat melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sadar penuh,

    berkabut, berubah, ngantuk dan lain sebagainya.

    4. Apakah pelaku memahami resiko perbuatannya? Kesimpulan ini diperoleh untuk

    melihat bagaimana pelaku tindak pidana setelah mendapat kesimpulan terhadap

    stimulus yang diterima maka pelaku akan mengembangkan berbagai respon untuk

    menjawab berbagai stimulus yang diperoleh. Dalam pengembangan dan pemilihan

    respon, pelaku akan menentukan respon-respon apa yang akan dilakukannya dan

    sesudah itu pelaku akan menelaah nilai (value) dari masing-masing respon tersebut

    27

    Ibid

  • 27

    bagi masyarakat. Dari menelaah nilai, pelaku juga akan menelaah kemungkinan

    resiko serta nilai resiko bagi dirinya dan masyarakat. Melalui penelaahan dan

    pemahaman dari nilai perbuatannya serta nilai resiko perbuatannya, maka pelaku

    memilih respon yang akan dilakukan dalam tindakan untuk menjawab stimulus.

    Kemampuan pemahaman ini dapat ditentukan melalui pemeriksaan discriminative

    insight, yaitu pemahan mengenai apa yang akan dilakukan, mengapa hal itu harus

    dilakukan, dan bagaimana proses pengembangan hal tersebut dilakukan.

    5. Apakah pelaku dapat memaksakan / mengendalikan perilakunya? Pemeriksa dapat

    menentukan apakah pelaku pada waktu melakukan perbuatannya bebas

    mempertimbangkan respon yang dipilih sebagai sebuah tindakan, atau yang

    bersangkutan dipengaruhi oleh gejala penyakitnya atau nilai-nilai budaya yang

    diyakininya.

  • 28

    BAB III

    PENUTUP

    Seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa psikologi adalah cabang ilmu tentang

    kejiwaan manusia. Dan hukum yang berisi peraturan yang mengatur manusia-manusia dalam

    masyarakat. Dan kedua ilmu ini, psikologi dan hukum memiliki keterkaitan dan menyatu dalam

    cabang ilmu psikologi hukum dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Psikologi hukum

    adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari jiwa

    manusia. Ilmu pengetahuan ini mempelajari perilaku atau sikap tindakan hukum yang mungkin

    merupakan perwujudan dari gejala – gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari

    perilaku atau sikap tindakan tersebut.

    Setiap tindakan manusia, dalam hal ini tindakan kriminal yang dilakukan oleh tersangka

    bisa jadi di latar belakangi oleh faktor psikologis. Dan ilmu psikologi hukum hadir dan memiliki

    andil dalam proses penyelidikan dan penegakan ilmu hukum. Peran psikologi dalam hukum

    memberikan manfaat yang besar dalam perkembangan ilmu hukum, serta memberikan banyak

    manfaat dalam penuntasan kasus-kasus hukum sesuai prespektif psikologi.

  • 29

    DAFTAR PUSTAKA

    Buku

    Achmad Ali. 1990. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta:Yarsif Watampone,

    1998)

    Afandi, D. Visum et repertum Tata laksana dan Teknik Pembuatan. (Pekanbaru: UR Press. 2011)

    Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Cetakan 1 (Jakarta: Ghalia

    Indonesia, 1986)

    Constanzo, Mark, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum. Diterjemahkan oleh Helly Prajitno

    Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

    Hendra Akhdiat dan Rosleny Marliani, Psikologi Hukum, (Bandung:Pustaka Setia, 2011)

    Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika)

    Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia)

    Rizanizarli, 2008. Teori-teori Pemindanaan dan Perkembangan. Kanun, 33,177- 196

    Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Psikologi Hukum, (Bandung:Alumni,1983)

    Soejono Soekanto, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1979)

    Wahjadi D, Nurhidayat AP. Psikiatri Forensik. (Jakarta; EGC. 2003)

    Jurnal

    Achmad Ali. 2008. “Triangular Concept Of Legal Pluralism, Teori

    Hukum Termutakhir”. Harian Fajar. 31 Desember 2008.

    Musakkir. ”Putusan Hakim Yang Diskriminatif dalam Perkara Pidana Di Sulawesi Selatan

    (Suatu Analisis Hukum Empiris)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,

    2005

  • 30

    Probowati, Y. (2010). Psikologi dalam bidang Forensik di Indonesia. Ed. Supraktinya dan Tjipto

    Susana, hal 374-399. 50 thn himpsi: redefinisi psikologi Indonesia dalam keberagaman.

    Internet

    Adrianus Meliala, Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia , Indonesian Journal of

    Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):56-59 Asosiasi Forensik Indonesia Diterbitkan di

    Jakarta, https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3211/230, diakses 16 Mei 2019

    VeR Psikiatri, https://forensicmedindonesia.wordpress.com/2018/03/29/ver-psikiatri/, diakses 16

    Mei 2019

    Peraturan Perundang-undangan

    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman

    Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakkan Hukum.

    https://ojs.unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3211/230https://forensicmedindonesia.wordpress.com/2018/03/29/ver-psikiatri/