modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

81
MODUL PENDIDIKAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA DAN TEKNOLOGI Oleh: Drs. Suparlan, M.Ed SKS: 2 (dua) Semester: II (kedua) FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Upload: muamarray

Post on 30-Jun-2015

244 views

Category:

Career


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

MODULPENDIDIKAN LINGKUNGAN

SOSIAL BUDAYA DAN TEKNOLOGI

Oleh:Drs. Suparlan, M.Ed

SKS: 2 (dua)Semester: II (kedua)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS UTAMA JAGAKARSA

Jalan Letjen TB Simatupang Nomor 152Tanjung Barat, Jakarta Selatan 12530

Telepon: (021) 7890965, 7829919, 78831838, 7890634Fax: (021) 7890966

Page 2: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Kata Sambutan

Ibarat sebuah negara, kita menyadari sepenuhnya bahwa Universitas Tama Jagakarsa termasuk adalah universitas yang masih sedang berkembang. Oleh karena itu, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk universitas ini. Salah satu di antaranya adalah meningkatkan kemampuan dosen yang dapat menghasilkan produk ilmiah berupa tulisan yang dimuat di berbagai media massa, atau bahkan diterbitkan dalam bentuk modul atau pun buku ilmiah.

Upaya Drs. Suparlan, M.Ed untuk menulis dan menerbitkan modul untuk mata kuliah yang diampunya patut mendapatkan sambutan kita semua. Sebagai dosen yang mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang mahasiswanya banyak yang berasal dari para guru dan calon guru yang sedang mengajar di sekolahnya, kami menyadari bahwa penyusunan modul menjadi satu keniscayaan. Mengapa? Karena modul menjadi sumber belajar yang sangat diperlukan. Sambil melaksanakan tugas mengajar, para mahasiswa dapat belajar secara mandiri dengan membaca modul ini. Apalagi, selain materi kuliah yang telah dirinci dalam 16 (enam belas) kali pertemuan dalam satu semester, di dalam modul ini juga disertai pula dengan tes yang harus dikerjakan oleh mahasiswa. Tes ini disusun pula untuk setiap kali pertemuan sebagai ter formatif yang harus dijawab oleh mahasiswa, dan kemudian didiskusikan dalam pertemuan berikut sebagai appersepsi di awal perkuliahan berikutnya. Selain itu, modul ini diharapkan juga dapat menjadi media promosi bagi calon mahasiswa yang akan mengikuti kuliah di universitas ini. Semakin banyak warga masyarakat yang akan memasuki universitas ini, semakin besarlah nama baik universitas ini. Dengan demikian, secara bertahap universitas ini diharapkan akan mengganti label dari universitas yang sedang berkembang menjadi universitas dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas yang maju di negeri tercinta ini.

Kami berharap rintisan penulisan modul bagi mahasiswa ini segera dapat diikuti oleh para dosen lain di seluruh universitas yang kita cintai ini. Amin.

Jakarta, 20 Mei 2009

Rektor,

Prof. Drs. Tama Sembiring, SH, MM.

1

Page 3: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Daftar Isi

1. Pendahuluan..................................................................................................................32. Kompetensi....................................................................................................................43. Tujuan Pembelajaran.....................................................................................................44. Kegiatan Pembelajaran..................................................................................................4

4.1. Rincian Materi Pembelajaran................................................................................44.2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran dan Contoh.................................................54.3. Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan.................................................274.4. Umpan Balik........................................................................................................33

5. Referensi......................................................................................................................346. Lampiran.....................................................................................................................34

6.1. Lampiran 1: Pendidikan Terbaik Di Dunia.........................................................346.2. Lampiran 2: Artikel “Bangsa Jepang Yang Luar Biasa”....................................366.3. Lampiran 3: Artikel Pilihan 3 Artikel Anak Tiri Bernama bernama Pendidikan416.4. Lampiran 4: Artikel Pilihan 4..............................................................................426.5. Lampiran 5: Power Point.....................................................................................50

2

Page 4: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

1. Pendahuluan

Education is not a preparation for life, education is life itself. Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Dengan demikian, umur pendidikan sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini.

Ketika Adam diciptakan oleh Tuhan, bersama itu pulalah proses pendidikan telah berlangsung, sebagai suatu sistem yang dibangun oleh Allah SWT. Adam diajari untuk dapat menyebutkan nama-nama yang ada di bumi, tempat kehidupan Adam dan keturunannya. Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan sebenarnya memang dengan makna kehidupan itu sendiri.

Tidak demikianlah halnya dengan malaikat dan iblis. Adam dapat menyebutkan nama-nama, sementara malaikat dan iblis tidak dapat menyebutkan nama-nama itu. Mengapa? Karena hanya manusialah yang telah memperoleh pendidikan, langsung dari Allah SWT. Itulah proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia untuk pertama kalinya. Proses itu kemudian dikembangkan sendiri oleh manusia, karena manusia memiliki otak, faktot penentu kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk lain yang sama-sama diciptakan Allah SWT.

Untuk menjadi manusia yang sempurna, manusia tidak boleh tidak memang harus belajar, atau harus memperoleh pendidikan. Manusia merupakan mahluk yang dapat diajar dan dapat mengajar. Animat educandum dan animal educancus. Manudia mahluk pembelajar, mahluk yang dapat dididik dan dapat mendidik.

Untuk menjadi manusia saja, manusia memang tidak boleh berhenti belajar. Apalagi untuk menjadi guru yang akan mengajar. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik, calon guru harus memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadan, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Kompetensi pedagogis adalah kompetensi guru yang terkait dengan penguasaan materi tentang teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, termasuk di dalamnya penguasaan materi tentang ilmu pendidikan. Siapa yang berhenti belajar, artinya ia telah mati.

Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi ini akan diajarkan kepada mahasiswa agar mahasiswa dapat menjadi bekal pengetahuan bagi para calon guru tentang berbagai aspek yang terkait dengan konsep dan dasar-dasar ilmu-ilmu pendidikan dalam konteks kehidupan manusia.

Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi yang akan Anda pelajari ini mencakup: (1) kondisi lingkungan sosial budaya dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, dan (2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara pendidikan dan kondisi sosial budaya dan teknologi itu sendiri. Kedua aspek tersebut akan menjadi materi utama yang akan dibahas dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi.

3

Page 5: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

2. Kompetensi

Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi ini, diharapkan mahasiswa dapat memiliki kompetensi sebagai berikut:

2.1. Memahami hakikat manusia dalam kehidupannya;2.2. Memahami hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia;2.3. Memahami hubungan antara pendidikan dan kebudayaan;2.4. Memahami pendidikan sebagai suatu sistem;2.5. Memahami hak azasi manusia dalam memperoleh pendidikan;2.6. Memahami pilar-pilar pendidikan;2.7. Memahami teori nativisme;2.8. Memahami teori empirisme;2.9. Memahami teori konvergensi;2.10. Memahami kondisi sosial budaya dan teknologi sebagai lingkungan

pendidikan;2.11. Memahami nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat;2.12. Memahami teknologi sebagai salah satu faset kebudayaan.

3. Tujuan Pembelajaran

3.1. Menjelaskan makna pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia;3.2. Menjelaskan makna pendidikan sebagai proses kehidupan manusia;3.3. Menjelaskan hubungan antara pendidikan dengan kebudayaan;3.4. Menjelaskan pendidikan sebagai suatu sistem; 3.5. Menjelaskan hak azasi manusia untuk memperoleh pendidikan;3.6. Menjelaskan pilar-pilar pendidikan;3.7. Menyebutkan tiga teori pendidikan;3.8. Menjelaskan tokoh, pengertian, dan implikasi dari ketiga teori pendidikan;3.9. Menyebutkan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat;3.10. Menjelaskan pengaruh norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam

masyarakat terhadap proses pendidikan;3.11. Menjelaskan teknologi sebagai faset kebudayaan.

4. Kegiatan Pembelajaran

4.1. Rincian Materi Pembelajaran

Mata kuliah ini disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan rindian materi pembelajaran, termasuk dua kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) sebagai berikut:

Pertemuan Materi pembelajaranI Informasi Mata Kuliah dan Kontrak PerkuliahanII Hakikat Manusia dan KehidupannyaIII Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia

4

Page 6: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

IV Pendidikan dan KebudayaanV Pendidikan Sebagai Suatu SistemVI Hak Azasi Memperoleh PendidikanVII Pilar-pilar PendidikanVIII UTS IX Teori Pendidikan: NativismeX Teori Pendidikan: EmpirismeXII Teori Pendidikan: KonvergensiXII Lingkungan PendidikanXIII Nilai-nilai Sosial BudayaXIV Kebudayaan dan TeknologiXV Kritik Terhadap PendidikanXVI UAS dan Tugas Mandiri

4.2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran dan Contoh

Pertemuan I: Informasi Mata Kuliah dan Kontrak Perkuliahan

Dalam pertemuan pertama ini mahasiswa akan menerima fotokopi silabus mata kuliah, agar secara dini mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester. Bahkan akan lebih baik jika mahasiswa menerima modul yang dapat dipelajari secara mandiri. Bagi mahasiswa tugas belajar, sebagai misal, mudul akan menjadi bahan ajar yang akan sangat membantu mahasiswa untuk dapat menguasai kompetensi yang diharapkan.

Di samping itu, mahasiswa diminta untuk paling tidak memiliki satu buku referensi yang ada di dalam modul atau silabus mata kuliah. Mahasiswa harus melaporkan dan menunjukkan buku referensi apa yang dimiliki.

Pertamuan pertama ini dilakukan dengan cara dialog. Kemudian antara dosen dan mahasiswa dapat melakukan kontrak perkuliahan, misalnya tingkat kehadiran mahasiswa 80%, kurang dari 80% mahasiswa tidak dapat mengikuti UTS dan UAS, dan sebagainya.

Pertemuan II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya

Tuhan Yang Maha Esa adalah maha pencipta (khalik). Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (makhluk). Manusia adalah mahluk yang tertinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ketinggian derajat tersebut ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada sang khalik-Nya, karena Khalik-Nya telah memberikan otak kepada manusia. Namun manusia dapat menjadi serendah-rendahnya derajat tersebut jika manusia tidak menggunakan akal dengan sebaik-baiknya.

Namun manusia akan menjadi manusia seutuhnya jika ia hidup dan diasuh oleh manusia dengan cara manusia. Contoh: cerita Kama dan Kamala, tentang mahluk manusia serigala. Ceritanya begini. Ada anak kembar yang baru dilahirkan di

5

Page 7: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

negeri antah berantah. Kedua bayi ini dibuang ke hutan, karena orangtuanya merasa malu kepada masyarakat, lantaran bayi itu telah lahir dari hubungan zinah. Kedua bayi itu dipelihara oleh serigala. Maka jadilah anak serigala. Dengan instinknya, serigala memelihara kedua bayi itu, dan jadilah keduanya menjadi manusia serigala.

Manusia dapat disebut sebagai mahluk pembelajar. Dengan otaknya, manusia menyesuaikan dan mengembangkan peradaban manusia sesuai dengan perkembangan zaman. Hasil karya manusia selalu berubah dan berkembang dari zaman ke zaman. Bedakan sarang burung dan rumah manusia. Sarang burung tidak mengalami perubahan. Bandingkan antara tangga rumah panggung di Kalimantan dengan eskalator atau lift di gedung bertingkat di kota-kota besar.

Manusia sama sekali berbeda dengan binatang dalam kehidupannya. Manusia dapat dan harus dididik karena memiliki akal. Sedang binatang hidup karena instinknya. Oleh karena itu jika manusia dapat dan harus dididik, maka binatang tidak dapat dididik. Manusia hanya dapat dilatih dengan instink tersebut.

Pertemuan III: Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia

Materi yang akan dibahas dalam pertemuan ini adalah tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pendidikan itu, baik dari segi etimologis maupun terminologis.

Dari segi etimologis (asal usul kata), pedagogy or paedagogy is the art or science of being a teacher. The term generally refers to strategies of instruction, or a style of instruction (wikipedia.com). Pendidikan adalah seni atau ilmu tentang bagimana menjadi seorang guru. Istilah itu pada umumnya merujuk pada beberapa strategi pengajaran atau gaya mengajar. Secara etimologis paedagogy berasal dari akar kata Bahasa Latin “pais” artinya anak, dan “gogos” artinya membimbing. Dengan demikian, pendidikan artinya membimbing anak. Paedagogy dalam Bahasa Inggris dikenal dengan “education” yang juga berasal dari akan kata Bahasa Latim “educare” yang artinya membawa keluar yang tersimpan di dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.

Untuk memberikan wawasan tentang hakikat pendidikan, berikut ini disebutkan beberapa definisi pendidikan dari beberapa ahli dalam tabel berikut.

Tabel III.1: Beberapa Definisi Pendidikan

No. Ahli Pendidikan Definisi Pendidikan

1 Brubacher Education should thought os as the process of man’s reciprocal adjustment to nature, to his fellows, and to the ultimates nature of the cosmos. Pendidikan haru dipikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik antara manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan dengan semesta alam.

6

Page 8: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

2 M.J. Langeveld Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.

3 Hoogveld Mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggungan sendiri

4 Sis Heyster Mendidikadalah membantu manusia dalam pertumbuhannya agar ia kelas mendapat kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya dengan tidak mengganggu orang lain

5 John Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.

6 Ki Hajar Dewantara

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, agar mereka dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.

7. D. Marimba Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

8 Sumantri Brojonogoro

Pendidikan adalah memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan agar dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau dengan secara singkat pendidikan adalah tuntunan kepada pertumbuhnan manusia mulai lahir sampai tercapainya kedewasaan, dalam arti jasmaniah dan rohaniah.

9 M. Noor Syam Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, cipta, karsa, rasa dan budi nurani) dan jasmani (penginderaan serta keterampilan-keterampilan).

10 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

7

Page 9: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Pendidikan Nasional

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sumber: Madyo Ekosusilo, 1987: 13 – 15.

Selain definisi tersbut, cobalah berusaha untuk memahami pandangan John Dewey tentang pendidikan dalam tulisannya sebagai berikut: “In sum, I believe that the individual who is to be educated is a social individual and that society is an organic union of individuals. If we eliminate the social factor from the child we are left only with an abstraction; if we eliminate the individual factor from society, we are left only with an inert and lifeless mass. Education, therefore, must begin with a psychological insight into the child's capacities, interests, and habits. It must be controlled at every point by reference to these same considerations. These powers, interests, and habits must be continually interpreted--we must know what they mean. They must be translated into terms of their social equivalents--into terms of what they are capable of in the way of social service”.

Menurut John Dewey, pendidikan merupakan proses sosial. Individu yang akan memperoleh pendidikan --- mulai sejak bayi yang dilahirkan --- berada dalam kehidupan sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan individu tersebut. Individu tersebut disebut sebagai ”social individual” atau individu yang dalam kehidupan sosial. Sedang masyarakat adalah satu kesatuan organik dari individual-individual. Jika akan memisahkan faktor sosial dari individu, maka yang tertinggal adalah hanyalah sebuah abstraksi. Sebaliknya, jika akan memisahkan faktor indovidu dari masyarakat, maka yang tersisa adalah masyarakat tanpa kehidupan.

Kehidupan pada hakikatnya sebagai proses pendidikan yang sebenarnya (the true educational process). Education is not preparation for life; education is life itself. Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey berpesan kepada kita.

Proses pendidikan telah membentuk manusia secara individual. Proses pendidikan pulalah yang telah membentuk manusia sebagai komunitas, atau bahkan sebagai bangsa dan negara. Kita dapat belajar dari sejarah kehidupan suatu bangsa, katakanlah bangsa Jepang, yang melatarbelakangi bagaimana bangsa Jepang telah mendidik bangsanya menjadi negara dan bangsa yang maju di dunia. Ketika Jepang mengalami kehancuran karena kalah dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang menanyakan ”berapa guru yang masih tersisa”. Beliau tidak menanyakan berapa tentara yang masih ada. Bukan pula kekayaan alam yang masih ada. Tetapi dengan guru yang masih tersisa, bangsa Jepang mulai membangun bangsanya. Ternyata, kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh melimpahnya kekayaan alamnya, tetapi oleh kegigihan bangsa itu dalam perjuangan hidupnya.

Kehidupan manusia sejak penciptaan yang pertama sampai dengan saat ini dapat diklasifikasikan dalam empat zaman atau era:

8

Page 10: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

1. Food Gathering2. Green Revolution3. Industrial Revolution4. Teknologi Informasi

Dalam era food gathering, manusia hidup dalam pola mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam. Kehidupannya masih nomaden atau berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain, susuai dengan kondisi bahan makanan yang tersedia. Mereka hidup dalam gua-gua. Di samping mengumpulkan bahan makanan, mereka juga hidup dengan berburu.

Dalam era green revolution, manusia sudah hidup menetap (sedenter) dan telah dapat membuka lahan untuk menghasilkan bahan makanan. Bahkan merka juga telah membuka hutan untuk dikonversi menjadi sawah dan perkebunan untuk dapat menghasilkan bahan makanan yang dibutuhkan. Ketika tanahnya sudah tidak subur lagi untuk dapat menghasilkan bahan makanan, manusia juga telah berhasil dalam melakukan program intensifikasi pertanian.

Dalam era industrial revolution, manusia telah menemukan berbagai mesin. Sistem produksi tidak lagi dikerjakan dengan tangan atau memanfaatkan hewan, tetapi telah menggunakan mesin. Berkat penggunaan mesin tersebut lahirlah jenis pekerjaan yang dikenal dengan industri, yakni usaha untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Tingkat produktitas menjadi melimpah (over production), dan oleh karena itu memerlukan perluasan pasar. Pada era inilah lahir usaha negara produsen untuk menjual barangnya ke negara lain. Mula-mula mereka mengadakan perdagangan dengan negara-negara itu. Lama-kelamaan muncul gagasan untuk menguasai daerah tersebut sebagai daerah jajahan. Maka lahirlah masa imperalisme, dengan membawa slogan 3 G’s, yaitu (1) gold, (2) glory, dan (3) gospel. Gold dimaknai sebagai kekayaan, glory dimaknai sebagai kejayaan, dan gospel dimaknai sebagai penyebaran agama dan keyakinan.

Sejarah kehidupan manusia harus dapat menjadi bahan pelajaran bagi manusia. Panggung sejarah manusia menunjukkan bahwa kehidupan manusia saat ini merupakan gambaran dari usaha untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya agar manusia dapat menjadi khalifah di dunia ini.

Manusia memang unik. Manusia yang berhasil karena tempaan kesulitan hidupnya. Tempaan hidup dapat berupa pengalaman, bahkan berupa cobaan hidup yang menderanya. Mereka yang tahan terhadap tempaan hidup ini akhirnya akan membentuk diri manusia yang sesungguhnya. Ada beberapa contoh bahwa kehidupan sebagai proses pendidikan. Bacalah biografi beberapa orang penting. Misalnya ”who’s who”, biografi para presiden, biografi para tokoh, biografi pada penemu, dan sebagainya. Tuliskan kembali apa yang telah Anda baca. Silahkan membuka lampiran 1: power point tentang refleksi dan tindakan.

Pertemuan IV: Pendidikan dan Kebudayaan

9

Page 11: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Pendidikan adalah pembudayaan. Demikian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Tonny D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, 2004: (52 – 87) menjelaskan tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Pendidikan merupakan proses pewarisan budaya, dan sekaligus pengembangan budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai produk masyarakat, maka pendidikan adalah prosesnya. Jika kebudayaan sebagai“that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” atau kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, seni, teknologi, dan banyak kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga masyarakat, maka pendidikan adalah keseluruhan proses yang kompleks untuk menghasilkan semua itu. Proses apa yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat? Prose situ adalah pendidikan. Proses apa yang membentuk kepercayaan dalam masyarakat? Sudah tentu masyarakat pula yang membangunnya. Demikian seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan lain dalam masyarakat. Semuanya merupakan produk dari satu proses yang dinamakan pendidikan. Singkat kata, “education enables people and societies to be what they can be” Pendidikan menjadikan manusia dan masyarakat mampu menghasilkan apa yang dapat mereka inginkan. Demikian Bill Richardson menjelaskan peran pendidikan dalam melahirkan kemampuan tertentu dalam masyarakat.

Untuk mewariskan budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga proses yang saling kait mengait yang tidak terpisahkan, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan (3) peneladanan (role model). Dengan demikian pengertian pendidikan jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian pengejaran. Pendidikan adalah pembudayaan. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses pembentukan, pelestarian, dan pengembangan budaya dalam masyarakat. Pendidikan adalah proses yang dirancang dan dilaksanakan agar masyarakat dapat menghasilkan produk beruba budaya.

Immanuel Kant menyebutkan bahwa manusia merupakan animal educancum dan animal educandus, mahluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Oleh karena itu, maka sama sekali tidak benar jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa “anak itu tidak dapat dididik”. Tidak! Proses dan metode yang digunakanlah yang kemungkan tidak tepat digunakan. Justru anak manusia akan menjadi manusia jika melalui proses pendidikan, oleh manusia, dan dengan cara yang manusiawi, melalui ketiga proses tersebut. Pemaknaan pendidikan ini menolak penyempitan makna pendidikan sebagai peyekolahan, atau juga pendidikan sebagai pengajaran. Proses pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri. Manusia terlibat dalam keseluruhan proses pendidikan, baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri (Fuad Hassan, 2004: 53). Dalam pengertian inilah maka UNESCO (United Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) menyatakan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat (lifelong education). Konsep ini persis sama dengan konsep “belajar sepanjang hayat” atau “tholabul ilmi faridhotun alal muslimin walmuslimat” atau “menuntut ilmu kewajiban bagi muslimin dan muslimat”. Konsep ini juga persis sama bahwa “pendidikan

10

Page 12: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

berlangsung sejak lahir (bahkan ketika masih dalam kandungan) sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave).

Pendidikan sebagai proses pembentukan kebiasaan terutama terjadi dalam pendidikan keluarga. Keluarga adalam lembaga pendidikan utama dan pertama. Namun demikian, pembentukan kebiasaan juga dapat dikembangkan secara sistematis di lingkungan sekolah. Dalam model sekolah berasrama, peserta didik akan dituntut untuk mengikuti pola-pola perilaku yang akan dibentuk oleh lembaga pendidikan itu. Tetapi perlu disadari bahwa pola-pola pembiasaan yang terjadi dalam keluarga akan lebih kuat dibandingkan pola-pola yang dibentuk di luar pendidikan keluarga. Ada pepatah yang mengingatkan bahwa “pendidikan di waktu kecil ibarat mengukir di atas batu, pendidikan di waktu besar ibarat mengukir di atas air”. Artinya, proses pembentukan kebiasaan di waktu kecil akan sudah dilakukan, tetapi hasilnya juga akan sudah diubah. Sementara pembentukan kebiasaan di waktu besar akan lebih mudah dibentuk tetapi akan lebih mudah pula berubah. Cobalah baca berbagai artikel pilihan yang terlampir dalam modul ini.

Proses pengajaran dan pembelajaran sebagian besar berlangsung dalam jalur pendidikan formal atau dalam lembaga pendidikan sekolah. Proses ini memang lebih bersifat formal, dalam arti dengan menggunakan pola-pola yang sudah tersistem, baik dari aspek struktur persekolahannya, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan, media, metode, dan alat peraga atau alat bantu pembelajaran yang digunakan, serta sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan.

Manusia adalah pengemban budaya (culture bearer), dan manusia yang hidup dalam tatanan masyarakatnya akan mewariskan kebudayaannya tersebut kepada keturunannya. Proses pendidikan tidak lain merupakan proses transformasi budaya, yakni proses untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi muda.

Pengertian pendidikan jauh lebih luas dari pengertian pengajaran. Proses pendidikan bukan hanya sebagai pengalihan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik (transfer of knowledge and skills) tetapi juga pengalihan nilai-nilai sosial dan budaya (transmission of social and culture values and norms). Untuk memperdalam pemahaman Anda tentang hal ini, cobalah buat tabel yang membedakan antara keduanya. Baca buku referensi, dan cari materi yang terkait dengan perbedaan pendidikan dan pengajaran.

Pertemuan V: Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan jagad raya dan seisinya sebagai suatu sistem. Sistem Tata Surya diciptakan sebagai suatu sistem. Ada matahari, ada planet-planet dengan bulan-bulannya. Salah satu planet tersebut adalah bumi dan bulan yang selalu menyinari bumi di malam hari. Di dalam dan permukaan bumi terdapat mahluk hidup, termasuk di dalamnya adalah manusia.

Manusia juga sebagai suatu sistem karena dibangun dari berbagai unsur yang saling kait mengait tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupannya, manusia membangun sistem sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan sebagainya, termasuk

11

Page 13: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

pendidikan. Kehidupan sosial manusia juga sebagai suatu sistem. Kehidupan ekonomi juga sebagai suatu sistem. Kehidupan politik, budaya, ideologi, dan semua aspek kehidupan manusia tercipta sebagai suatu sistem.

Dari kacamata kehidupan manusia sebagai sistem, aspek-aspek kehidupan manusia itu menjadi susbsistemnya. Subsistem sebagai entitas dapat menjadi suatu sistem, karena dia dibangun dari komponen-komponen yang saling kait-mengait. Sampai ke suatu subsistem yang terkecil sekalipun ia dapat menjadi sistem tersendiri sebagai suatu entitas. Katakanlah misalnya, mikroorganisme sebagai suatu sistem, pembelajaran sebagai suatu sistem, penilaian sebagai suatu sistem, dan seterusnya. Dengan demikian, apa yang terdapat dalam jagat raya ini merupakan suatu sistem. Termasuk di dalamnya pendidikan di suatu negara, atau pendidikan nasional.

Pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan pengertian pendidikan nasional sebagai suatu sistem sebagai berikut:

“Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.

Pendidikan juga sebagai sistem, yang terdiri dari berbagai komponen yang saling kait mengait tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagai suatu sistem dapat digambarkan sebagai berikut.

Sumber: EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO, hal. 36.

Enabling inputs

Teaching and learning materialsPhysical infrastructur and facilities Human resources: teachers, principles,

inspectors, supervisors, administratorsSchool governance

Outcomes

Literacy, numeracy and life skills

Creative and emotional skills

ValuesSocial benefits

Learner Characteristics

AptitudePerseveranceSchool readinessPrior knowledgeBarriers to learning

Teaching and learningLearning timeTeaching methodsAssessment, feedback, incentivesClass size

12

Context

o Economic and labour market conditions in the community

o Educational knowledge and support infrastructure

o Public resources available

o Philosophical standpoint of teacher and learner

o Peer effects

o National standardso Public expectationo Labour market demands

o Socio-cultural and rreligious factors

for educationo Competitiveness of the

o Parental supporto Time available for

o Globalization

o (Aid strategies) teaching profession on the labour market

Schooling and homework

o National governance and management strategies

Page 14: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Berdasarkan bagan tersebut, mutu pendidikan menyangkut banyak variabel, dimensi, dan komponen yang saling kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi.

Peserta Didik (learners). Peserta didik memiliki karakteristik yang amat beragam dari satu tempat ke tempat lain, sesuai dengan kondisi alam, sosial-ekonomi-budaya pendukungnya. Secara spesifik, karakteristik yang mempengaruhi mutu pendidikan antara lain adalah (a) kondisi sosial ekonomi keluarga, (b) kondisi sosial-budaya keluarga, (c) keterpencilan peserta didik karena faktor geografis, (d) kemampuan peserta didik dari aspek akademis dan nonakademisnya, dan (e) karakteristik lain yang menyangkut gender, disabilitas, ras dan etnisitas, dan sebagainya.

Dengan alasan mutu pendidikan, banyak sekolah yang menerapkan tes masuk yang ketat sebagai alat untuk menyeleksi peserta didik yang akan diterima di sekolahnya. Ada dua karakteristik yang pada ujungnya digunakan untuk menilai mereka. Pertama, kemampuan akademis peserta didik untuk jenjang pendidikan menengah. Misalnya sekolah menerapkan peringkat hasil ujian akhir untuk menerima siswa baru. Kedua, selain itu sekolah juga melihat kemampuan orang tua siswa secara sosial ekonominya.

Sekolah yang telah sangat selektif dalam penerimaan siswa baru sebenarnya telah berbuat terlalu egois, karena berfikir dan bertindak hanya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya sendiri. Dengan seleksi seperti itu, maka sesungguhnya sekolah memang akan menjadi sangat dimudahkan dalam melaksanakan proses belajar mengajar di sekolahnya. Karena peserta didik yang masuk di sekolah itu memang peserta didik pilihan. Sebaliknya, sekolah yang menerima sisanya atau siswa dengan syarat yang lebih rendah, sekolah harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Mengingat kondisi seperti itu, sekolah yang bermutu pada hakikatnya yang menerima siswa dalam kategori kemampuan yang rendah, tetapi dapat meningkatkan mutunya setara atau lebih baik dari sekolah yang telah mengadakan seleksi dengan kategori lebih tinggi tersebut.

Masukan (input). Yang termasuk dalam kategori atau dimensi ini adalah sumber daya manusia (human resources): kepala sekolah, pendidik atau guru, pengawas sekolah, pegawai Dinas Pendidikan, pegawai tata usaha sekolah, penjaga sekolah, pengembang kurikulum, teknisi sumber belajar, dan sebagainya. Dimensi kedua adalah sumber daya material (material resources) seperti buku pelajaran (textbooks), bahan ajar (learning materials), ruang kelas (classrooms), perpustakaan (library), fasilitas sekolah (school facilities). Dimensi lainnya adalah lingkungan sekolah, antara lain adalah kepedulian pemerintah dan pemerintah daerah, keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Semua kategori masukan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya material, sesungguhnya akan menjadi sekedar penunjang, karena tanpa dikelola dengan baik (school-level governance), semua masukan itu akan sia-sia. Guru yang telah dilatih berkali-kali, para pegawai tata usaha yang juga telah diikutkan inhouse-training, gedung sekolah yang mentereng, buku-buku pelajaran yang telah

13

Page 15: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

dikirim dari pusat, dan sebagainya, hanya akan bermakna besar untuk meningkatkan mutu pendidikan jika dikelola dengan kepemimpinan yang kuat, dengan manajemen yang transparan dan akuntabel. Dengan kata lain, dimensi masukan instrumental (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input) akan tergantung pada dimensi yang lain, yakni dimensi proses.

Proses (processes). Dimensi yang dimaksud di sini adalah proses penyelenggaraan pendidikan, terutama adalah proses belajar mengajar di dalam kelas. Dimensi ini meliputi: (a) waktu yang benar-benar digunakan dalam proses pembelajaran (time on task), (b) metode mengajar yang digunakan, (c) media yang dipakai, (d) penilaian yang digunakan untuk menilai proses pembelajaran, dan (e) besarnya siswa dalam setiap kelas (class size).

Konteks (context). Dimensi ini sesungguhnya lebih banyak berasal dari masukan instrumental, yang berasal dari faktor-faktor ekstern sekolah. Masuk dalam dimensi ini misalnya adalah (a) kondisi sosial-ekonomi masyarakat, (b) faktor sosial-budaya dan keagamaan, (c) infrastruktur dan sumber daya yang tersedia dalam masyarakat, (d) persaingan profesi guru dalam bursa tenaga kerja, (e) tata kelola pemerintahan, dan strategi manajemen pemerintahan, (f) semangat dan nilai-nilai filosofi yang dianut guru dan siswa, (g) efek dari pertemanan sebaya, (h) dukungan orangtua siwa dan masyarakat, (h) standar nasional yang ditetapkan, (i) harapan masyarakat, (j) permintaan pasar tenaga kerja, dan (k) globalisasi.

Hasil pendidikan (outcomes). Hasil pendidikan terkait dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan filosofi pendidikan yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hasil pendidikan harus diukur dari tujuan tersebut, yang bukan hanya kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi kecerdasan komprehensif. Dalam hal ini, hasil pendidikan terutama meliputi kemampuan baca-tulis-hitung (literacy, numeracy) dan kecakapan hidup (life skills) untuk jenjang pendidikan dasar. Selain itu, pada jenjang pendidikan menengah, yang hasil pendidikan adalah kemampuan akademis, sikap, nilai-nilai, kecerdasan emosional, sosial, dan seni, serta kesiapan untuk terjun dalam pasar kerja amat diperlukan pada semua jenis dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan menengah kejuruan.

Pertemuan VI: Hak Azasi Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan

Hak azasi manusia merupakan hak yang melekat pada setiap individu manusia. Hak azasi itu meliputi hak azasi dalam berbagai bidang, politik, ekonomi, budaya, dan sosial, termasuk di dalamnya adalah hak azasi dalam bidang pendidikan.

”Everyone has the right to education ... Education shall be directed to the full development of human personality and to strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 – Universal Declaration of Human Rights)

14

Page 16: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan diarahkan menuju pengembangan personalitas kemanusiaan secara penuh dan memperkuat penghargaan terhadap kebebasan fundamental dan hak azasi manusia. Pendidikan juga harus meningkatkan pemahaman, toleransi dan persahabatan antara semua bangsa, kelompok agama dan ras, dan mendorong berbagai kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian (Pasal 26 Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia).

Berdasarkan Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia tersebut, setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, harus memiliki akses untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, dalam pendidikan tidak boleh terjadi adanya bias gender. Dengan kata lain pemerataan pendidikan dasar yang bermutu merupakan hak azasi setiap orang. Tidak boleh ada diskriminasi untuk memperoleh mutu layanan pendidikan bagi semua warga negara.

Di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi Pemerintah Indoensia berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1990, ada empat hak anak yang harus diberikan kepada anak, yaitu:

1. Hak untuk bertahan hidup (right for survival);2. Hak perlindungan (right for protection);3. Hak berpartisipasi (right for participation); dan 4. Hak tumbuh kembang (right for development)

Dalam dokumen tentang visi, misi, dan program yang harus diserahkan sebagai calon presiden dan wakil presiden tahun 2004 – 2009, Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla menyebutkan sepuluh hak dasar rakyat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan;2. Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum;3. Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman;4. Hak rakyat untuk memiliki akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan

papan) yang terjangkau;5. Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;6. Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan;7. Hak rakyat untuk memperoleh keadilan;8. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam politik dan perubahan;9. Hak rakyat untuk berinovasi; dan10. Hak rakyat untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.

Agar hak-hak dasar rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan, Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla mengajukan beberapa agenda dan program peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, yaitu:

1. Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun;

15

Page 17: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

2. Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat;

3. Meningkatkan penyediaan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan nonformal yang bermutu;

4. Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik;

5. Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik;6. Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu

mengembangkan kompetensinya;7. Menyempurnakan manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan;8. Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan

membentuk karakter dan kecakapan hidup, sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia produktif.

Pertemuan VII: Pilar-pilar Pendidikan

UNESCO (United Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) mengingatkan tentang Empat Pilar Pendidikan, yaitu:

1. Learning to know;2. Learning to do;3. Learning to be, dan 4. Learning how to live together.

Empat pilar pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa hasil pendidikan dewasa ini diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang memiliki ciri-ciri manusia paripurna sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Pertama, learning to know. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar ini termasuk dalam kategori sebagai belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif.

Kedua, learning to do. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk membuat peserta didik bukan hanya mengetahui, tetapi lebih kepada dapat melakukan atau mengerjakan kegiatan tertentu. Fokus pembelajaran dalam pilar ini lebih memfokuskan pada ranah psikomotorik.

Ketiga, learning to be. Dalam pilar ketiga ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan peserta didik sebagai dirinya sendiri. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Howard Gardner menyebutkan ada delapan tipe kecerdasan, yang biasa disingkat SLIM n BIL atau:

16

Page 18: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

1. spatial atau keruangan;2. language atau bahasa;3. interpersonal atau hubungan social;4. music atau musik;5. naturalist atau cinta alam;6. bodily kinesthetics atau olah raga atau gerak badan, 7. intrapersonal atau melihat diri sendiri, dan 8. logical mathematics atau logis matematis.

Keempat, learning how to live together. Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial (social intelligence).

Peringatan UNESCO yang sangat merdu ini menyadarkan kita bahwa proses belajar mengajar di dalam kelas bukan hanya diperlukan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya semata-mata, tetapi harus lebih banyak memperoleh pengalaman, diberikan kesempatan agar pada akhirnya dapat melakukan atau mengerjakan sendiri. Dengan proses seperti itu, peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensi bakat dan minat yang mereka miliki. Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah agar peserta didik mampu untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang semakin majemuk. 

Peringatan UNESCO tersebut juga memberikan penegasan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya mementingkan hasil nya --- apalagi hanya dalam bidang akademis ---, tetapi justru yang lebih penting adalah prosesnya.

Pertemuan VIII: UTS

Dalam pertemuan V ini, mahasiswa akan menjawab menjawab soal-soal berikut.

Bentuk True-False (B/S)

1. Education is preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey menjelaskan makna pendidikan dalam kehidupan kita (B/S)

2. Manusia adalah mahluk pembelajar (B/S)3. Manusia dapat dididik dan dapat mendidik (B/S)4. Manusia lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan

dibuat dari api, sedang manusia hanya dibuat dari tanah (B/S)5. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),

kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah negara Amerika Serikat (B/S)6. Orientasi pendidikan kita dewasa ini masih menitikberatkan pada hasil

daripada prosesnya (B/S)7. Pendidikan antara lain dapat diupayakan melalui habit formation (B/S)8. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang

lahat (B/S)9. Pendidikan dapat diupayakan melalui role model (B/S)10. Pendidikan dapat diupayakan melalui teaching and learning process (B/S)

17

Page 19: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

11. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang berlangsung pada lembaga pendidikan sekolah (B/S)

12. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam lembaga kursus atau yang berlangsung dalam masyarakat (B/S)

13. Jalur pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal (B/S)14. Jenjang pendidikan meliputi SD, SMP, SMA (B/S)15. Jenis pendidikan meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi (B/S)16. Satuan pendidikan meliputi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan

pendidikan kedinasan (B/S)17. Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values and

norms (B/S)18. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam

keluarga (B/S)19. Pendidikan sama dengan pengajaran (B/S)20. Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S)21. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian

pendidikan (B/S)22. Pendidikan informal dikenal dengan pendidikan sekolah (B/S)23. Pendidikan merupakan proses transformasi budaya (B/S)24. Makna pengajaran jauh lebih luas dari makna pendidikan (B/S)25. Kebudayaan adalah produk masyarakat (B/S)

Bentuk Short Essay Test atau Uraian Singkat

1. Sebut dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO.2. Sebut dan jelaslah empat era sejarah peradaban manusia.

Pertemuan IX: Teori Pendidikan: Nativisme

Telah cukup banyak dibicarakan hal-ihwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan hekikat kehidupan manusia, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses pendidikan.

Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, baik secara fisik maupun rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua faktor itu secara bersama-sama. Dari faktor yang pertama timbullah teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata ”nativus” artinya pembawaan.

Teori nativisme dikenal juga dikenal dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu upaya itu justru akan dapat merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan

18

Page 20: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.

Teori ini dipelopori oleh Schopenhauer, nama lengkapnya Arthur Schopenhauer (February 22, 1788 – September 21, 1860), seorang ahli filsafat bangsa Jerman. Dalam salah satu tulisannya Schopenhauer menjelaskan bahwa kebanyakan pembelajaran adalah bersifat superfisial.

Of human knowledge as a whole and in every branch of it, by far the largest part exists nowhere but on paper -- I mean, in books, that paper memory of mankind. Only a small part of it is at any given period really active in the minds of particular persons. This is due, in the main, to the brevity and uncertainty of life; but it also comes from the fact that men are lazy and bent on pleasure. Every generation attains, on its hasty passage through existence, just so much of human knowledge as it needs, and then soon disappears. Most men of learning are very superficial. Then follows a new generation, full of hope, but ignorant, and with everything to learn from the beginning. It seizes, in its turn, just so much as it can grasp or find useful on its brief journey and then too goes its way. How badly it would fare with human knowledge if it were not for the art of writing and printing! This it is that makes libraries the only sure and lasting memory of the human race, for its individual members have all of them but a very limited and imperfect one. Hence most men of learning as are loth to have their knowledge examined as merchants to lay bare their books.

Pandangan Schopenhauer didukung oleh Prof. Heymans dan sejalan pula dengan pandangan J.J. Rousseau, penganut teori naturalisme.

Jean-Jacques Rousseau, (June 28, 1712 – July 2, 1778), lahir di Geneva, Switzerland, seorang ahli filsafat politik.

19

Schopenhauer(Wikipedia.com)

J.J. Rousseau(Wikippedia.com)

Page 21: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Rousseau set out his views on education in Émile, a semi-fictitious work detailing the growth of a young boy of that name, presided over by Rousseau himself. He brings him up in the countryside, where, he believes, humans are most naturally suited, rather than in a city, where we only learn bad habits, both physical and intellectual. The aim of education, Rousseau says, is to learn how to live righteously. This is accomplished by following a guardian who can guide his pupil through various contrived learning experiences.

The growth of a child is divided into three sections, first to the age of about 12, when calculating and complex thinking is not possible, and children, according to his deepest conviction, live like animals. Second, from 12 to about 16, when reason starts to develop, and finally from the age of 16 onwards, when the child develops into an adult. During this stage, the young adult should learn a skill, such as carpentry. This trade is offered because it requires creativity and thought, but would not compromise one's morals. It is at this age that Emile finds a young woman to complement him.

The book is based on Rousseau's ideals of healthy living. The boy must work out how to follow his social instincts and be protected from the vices of urban individualism and self-consciousness.

Rousseau's account of the education of Emile is, however, not an account of education of a gender-neutral "child." The education he proposes for Sophie, the young woman Emile is destined to marry, is importantly different to that of Emile. Sophie (as a representative of ideal womanhood) is educated to be governed (by her husband) while Emile (as a representative of the ideal man) is educated to be self-governing. This is not an accidental feature of Rousseau's educational and political philosophy; it is essential to his account of the distinction between private, personal relations and the public world of political relations. The private sphere as Rousseau imagines it depends on the (naturalized) subordination of women in order for both it and the public political sphere (upon which it depends) to function as Rousseau imagines it could and should.

The education proposed in Émile has been criticized for being impractical, and the topic itself (the education of children) has led the text to be ignored by many studying Rousseau’s more “political” works. However, of particular interest to anyone interested in Rousseau’s intentions in Émile is a letter he wrote to his friend Cramer on October 13, 1764. In the letter, Rousseau answers the criticism of impracticability: “You say quite correctly that it is impossible to produce an Emile. But I cannot believe that you take the book that carries this name for a true treatise on education. It is rather a philosophical work on this principle advanced by the author in other writings that man is naturally good”.

Pertemuan X: Teori Pendidikan: Empirisme

Teori empirisme berlawanan dengan teori nativisme. Teori empirisme dikenal juga sebagai teori optimisme. Teori ini juga dikenal sebagai teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan sebagai kertas putih. Dalam

20

Page 22: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

perjalanan kehidupannya, kertas putih itu akan akan ”dipenuhi dengan lukisan” dari semua pengalam dan pengaruh dari luar yang akan mempengaruhi pertumbuhkembangan manusia. Dengan demikian, teori empirisme berpandangan bahwa pertumbuhkembangan manusia ditentukan oleh faktor pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan.

Tokoh yang mendukung teori empirisme antara lain adalah John Locke dan David Hume. Dalam hal ini, David Hume amat dikenal dengan teori tabula rasa. Teori ini memperoleh dukungan dari teori stimulus-respon atau teori behaviorisme yang dipelopori oleh Pavlov (Rusia) dan Watson (Amerika Serikat). Teori ini mengabaikan sama sekali aspek bakat dan pembawaan yang dimiliki peserta didik, potensi kecerdasan peserta didik.

Teori ini menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat agar menyediakan lingkungan belajar yang kondusif untuk peserta didik. Penyediaan fasilitas belajar yang lengkap dan memadai akan memberikan sebanyak mungkin pengalaman belajar peserta didik.

Pertemuan XI: Teori Pendidikan: Konvergensi

Kedua teori tersebut kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan, yang kemudian dikenal dengan teori konvergensi.

Penggagas teori ini antara lain adalah William Stern.Teori ini berpendapat bahwa selain manusia itu memang telah dibekali potensi dasar berupa bakat dan kemampuan, tetapi bakat dan kemampuan itu akan dipengaruhi oleh ruang (space) dan waktu (time). Dalam hal ini, William Stern percaya bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi. Jika potensi ini diibaratkan dengan bibit unggul, maka bibit unggul itu akan akan tumbuh secara optimal jika bibit unggul itu ditanam di tempat persemaian yang subur, dan memperoleh rawatan secara intensif. Teori ini meyakini bahwa bakat dan pembawaan yang bagus akan berkembang secara optimal apabila diberikan rangsangan faktor dari luar berupa pemberian pengalaman belajar melalui proses pendidikan, pelatihan, dan pembimbingan.

Teori “dasar” dan “ajar” menurut Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya sama dengan teori konvergensi. Makna dasar tidak lain adalah bakat dan kemampuan. Sementara ajar pada hakikatnya adalah proses mempengaruhi peserta didik, baik dari lingkungan maupun proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Proses pendidikan menurut teori ini

Pertemuan XII: Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan dikenal juga sebagai miliu pendidikan. Dalam teori empirisme, miliu pendidikan dipercaya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan proses pendidikan. Sementara teori nativisme menafikan pengaruh lingkungan pendidikan, karena bakat dan pembawaan peserta didik dinilai mempunyai pengaruh lebih dominan terhadap proses pertumbuhkembangan manusia. Bagaimana pun juga, teori konvergensi sangat mengakui pengaruh bakat

21

Page 23: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

dan pembawaan seseorang. Namun bukan satu-satunya. Pengaruh bakat dan kemampuan akan bertemu denga pengaruh dari lingkungan belajar, intervensi berupa pendidikan, pelatiha, pembimbingan. Pendek kata pertumuhkembangan manusia dipengaruhi secara bersama-sama antara keduanya, yakni bakat dan pembawaan serta pengaruh lingkungan pendidikan.

Lingkungan pendidikan antara lain berupa: (1) keadaan alam, misalnya pinggir pantai, daerah pedalaman, pegunungan; (2) kondisi sosial ekonomi masyarakat, misanya keadaan sosial ekonomi yang rendah, mata pencaharian penduduk dalam bidang pertanian, perkebunan, industri, perdagangan, jasa, dan sebagainya.

Lingkungan pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran. Teori pembelajaran konstruktivisme mengajarkan kepada kita bahwa peserta didik harus dapat membangun pemahaman sendiri tentang konsep yang diambil dari sumber-sumber pembelajaran yang berasal dari lingkungan sekitar siswa.

Proses pendidikan seharusnya dapat menjadi agen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, misalnya dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat agar warga masyarakatnya lebih hemat, gemar menabung, memiliki jiwa demokratis, dan menghormati hak azasi manusia, cinta damai dan menjunjung nilai-nilai kebersamaan, menanamkan semangat kerja keras, semangat antikorupsi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pertemuan XIII: Nilai-nilai Sosial Budaya

Di dunia ini terdapat negara yang maju, di samping negara yang miskin. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah faktor apa yang menyebabkan negara itu telah berkembang menjadi negara yang maju, sementara yang lain tidak? Apakah karena faktor (1) umur negara itu, (2) sumber daya alamnya, atau (3) faktor rasnya.

Ternyata, masyarakat negara yang maju memiliki nilai-nilai sosial budaya yang dijunjung tinggi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu adalah sebagai berikut.

1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari2. Kejujuran dan integritas3. Bertanggung jawab4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat5. Hormat pada hak orang/warga lain6. Cinta pada pekerjaan7. Berusaha keras untuk menabung & investasi8. Mau bekerja keras9. Tepat waktu

Setiap daerah atau tempat memiliki nilai-nilai social budaya yang berbeda-beda. Penduduk suku terasing, sebagai contoh, ternyata telah memiliki nilai-nilai social budaya yang cukup akrab dengan alam. Suku Kubu di Sumatera, konon dikenal

22

Page 24: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

memiliki nilai-nilai social budaya yang sangat bermanfaat untuk melindungi alam dari kerusakan oleh tangan-tangan manusia.

Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) dikenal menjadi negara nasional (national state) yang memiliki lebih dari 200-an suku bangsa dengan bahasa daerahnya masing-masing. Di Kabupaten Ende, Provinsi Nusatenggara Timur, sebagai contoh, terdapat dua suku bangsa, yakni suku bangsa Ende dan suku bangsa Lao, dengan bahasa daerahnya yang berbeda. Ja’o ata Ende (saya orang Ende) adalah kalimat dalam Bahasa Ende.

Di daerah suku Minang, sebagai contoh yang lain, dikenal dengan nilai-nilai sosial yang masih kuat dipegang oleh masyarakat suku ini, yakni “hidup bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah” atau hidup bersendi hukum sarak, sarak bersendi kitabullah. Masih banyak nilai-nilai sosial budaya yang perlu digali kembali untuk dinilai mana-mana yang masih selaras dengan perkembangan zaman. Untuk ini peran generasi muda perlu dibangkitkan untuk mampu memberikan penilaian terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu.

Pancasila dikenal sebagai kristalisasi butir-butir nilai sosial budaya, ideologi dan politik Bangsa Indonesia. Dalam sejarah diriwayatkan bahwa butir-butir nilai Pancasila itu telah digali dari nilai-nilai yang terdapat dalam bumi pertiwi kita sendiri. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende oleh Belanda, konon Bung Karno menyempatkan untuk melakukan perenungan tentang nilai-nilai Pancasila itu di bawah pohon Sukun. Saat ini tempat itu dinilai sebagai situs sejarah yang masih dipelihara oleh rakyat Ende.

Pertemuan XIV: Kebudayaan dan Teknologi

Menurut Koentjaraningrat, teknologi merupakan salah satu faset dari 7 (tujuh) faset kebudayaan. Dalam pertemuan ini akan dibicarakan tentang pengertian, wujud, dan faset kebudayaan atau ranah kebudayaan.

Budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan atau dihasilkan dari budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan. Dalam hal ini kebudayaan diartikan sebagai usaha mengolah tanah atau bertani. Culture sering diterjemahkan dengan "kultur" dalam bahasa Indonesia (www.id.wikipedia.org). Misalnya monokultur artinya pertanian dengan satu macam jenis tanaman. Sebaliknya, polikultur artinya pertanian dengan beberapa macam tanaman,

Para ahli antropologi telah melahirkan beberapa definisi kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

E. B. Tylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Dengan kata lain kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di dalamnya pengetahuan,

23

Page 25: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan banyak kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga masyarakat.

E Adamson Hoebel, dalam bukunya An Anthropology: The Study of Man, menyatakan bahwa:

“The integrated system of learned behavior pattern which are characteristic of the members of a society and which are not the result of biological inheritance ….culture is not noninstinctive … [culture] is wholly the result of social invention and is transmitted and maintatined solely through community communication and learning”.

Upacara kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, AfrikaSumber: www.id.wikpedia.org

24

FotoDadak Merak atau Singobarong, lengkap dengan jatilan (penari anak-

anak) yang duduk di atas kepala singa atau harimau(Sumber: Josko Petkovic dan Charlie Jebb)

Page 26: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Kebudayaan sangat erat kaitanyya dengan masyarakat (society). Kebudayaan adalah produk dari masyarakat. Masyarakat telah melahirkan kebudayaannya sendiri, yang unik, yang berbeda dari kebudayaan yang telah dihasilkan kelompok masyarakat lain. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun yang telah dilahirkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sedang Andreas Eppink menjelaskan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, yang meliputi tata nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, yang merupakan keseluruhan kristaliasasi intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas utama suatu masyarakat (www.id.wipedia.org).

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, setiap masyarakat akan melahirkan satu ciri kebudayaan yang unik, yang berbeda dengan kebudayaan yang lahir dari masyarakat di daerh yang lain. Keunikan tersebut menjadi karakteristik kebudayaan tertentu, dan menjadi esensi pembeda dengan kebudayaan lannya

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

1. alat-alat teknologi;2. sistem ekonomi;3. keluarga; dan 4. kekuasaan politik.

Sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya;

2. organisasi ekonomi;

25

Page 27: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama), dan

4. organisasi kekuatan (politik).

Sementara Koentjoroningrat menyebutkan adanya 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni:

1. sistem kepercayaan;2. sistem kekerabatan dan organisasi sosial;3. sistem mata pencarian hidup;4. bahasa;5. sistem ilmu pengetahuan;6. kesenian, dan 7. peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)

Pertemuan XV: Kritik Terhadap Pendidikan

Sejarah telah mengubah dunia demikian cepat. Pendidikan sebagai satu pranata sosial telah berubah menjadi sistem persekolahaan yang dinilai semakin terlepas dari akar-akar nilai sosial budaya dalam masyarakat. Beberapa kritik terhadap sistem persekolahan dapat dicatat sebagai berikut;

1. Penyempitan arti pendidikan menjadi persekolahan. Ivan Illich memberikan kritik dalam bukunya bertajuk ”Dschooling society’. Tokoh pendidikan luar sekolah ini memberikan kritik bahwa sekolah telah berubah menjadi dogma-dogma keagamaan, sebagaimana kutbah yang diberikan di tempat-tempat ibadah.

2. Terkait dengan itu, bahkan muncul kritik bahwa sekolah telah menjadi semacam ”penjara” bagi anak-anak. Anak-anak merasa kehilangan masa untuk dapat bersenang-senangnya sebagai anak-anak. Sekolah tidak lagi sebagai masa untuk bersenang-senang sebagaimana makna awal yang sebenarnya pada arti kata sekolah, yakni ”escole” yang artinya ”the age of leasure”.

3. Kritik paling populer dewasa ini adalah soal liberalisasi pendidikan. Pendidikan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya yang banyak duitnya. Sekolah yang berkualitas tinggi biayanya menjulang langit. Sekolah seperti itu didirikan oleh para korporat atau milyuner. Bahkan sekolah asing telah bebas dibuka di negara yang masih sedang berkembang. Itulah sebabnya terjadilah proses marginalisasi (peminggiran) anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Anak-anak dari keluarga tidak mampu menjadi pengemis di jalan-jalan raya, pengamen, pemulung, dan bahkan pekerja anak yang diperas tenaganya oleh pemilik modal di suatu industri.

4. Koran Sindo tanggal 20 Mei 2008 telah memuat suara mahasiswa dengan tajuk ”Anak Tiri Bernama Pendidikan” yang ditulis oleh Lavinda, seorang mahasiswi jurnalistik Fikom Unpad. Sungguh, satu tulisan yang seharusnya dapat mengetuk nurani para pemimpin di tanah air. Tulisan ini sebenarnya sejalan dengan tulisan Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, yang menyatakan bahwa masalah mendasar pendidikan di negeri ini adalah (1) rendahnya komitmen para pemimpin terhadap pendidikan, (2)

26

Page 28: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

rendahnya anggaran pendidikan. Mahasiswa ini mengingatkan kita semua tentang kata-kata bijak dari Bapak Pendidikan Bangsa Vietnam, Ho Chi Minh, yang menyatakan bahwa ”No teacher, no education. No education, no economic and social development”. Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Tidak ada pendidikan, tidak ada pembangunan ekonomi dan sosial.

5. Masih banyak kritik terhadap pendidikan yang sebenarnya dapat ditulis dalam modul ini, khususnya terhadap pendidikan di tanah air tercinta. Sebagai mahasiswa, diharapkan dapat lebih berfikir kritis terhadap semua permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat, termasuk masalah pendidikan. Cobalah Anda mengamati kondisi pendidikan di masyarakat, dan tuangkanlah dalam sebuah tulisan. Cobalah mengirimkan tulisan Anda ke media massa.

Pertemuan XVI: UAS dan Tugas Mandiri

Tugas Mandiri:

1. Berikan komentar singkat terhadap beberapa quotations berikut:a. Education is seen as a way to empower people, improve their quality of

life and increase their capacity to participate in the decision-making processes leading to social, cultural and economic policies (UNESCO)

b. Education is too important to be left only to government (US Secretary of Education)

c. Education should allow children to reach their fullest potential in terms of cognitive, emotional and creative capacities (EFA Global Monitoring Report 2005, hal 30)

2. Cari dari internet atau dari buku yang Anda baca, miminal lima quotations tentang pendidikan dan kehidupan manusia dan kemudian tulis komentar Anda minimal dalam satu halaman kertas berukuran A4.

3. Tulis sebuah artikel pendidikan bertajuk bebas berupa karangan sendiri, dengan tema yang sesuai dengan materi mata kuliah ini.

4. Carilah artikel tentang pendidikan dari www.google.com, minimal tiga artikel, berilah komentar masing-masing setengah halaman ukuran A4.

5. Lakukan wawancara kecil dengan seorang guru. Tanyakan kesan dan pesan guru kepada Anda. Tulislah minimal dalam 1 (satu) halaman A4.

6. Buatlah kliping tentang artikel dari surat kabar, minimal 2 (dua) artikel, dan komentari dalam satu halaman.

Pilihlah salah satu dari beberapa alternatif tugas tersebut. Nilai tugas mandiri ini mempunyai bobot 1, dan akan digabung nilai-nilai dari tes formatif (bobot 2) dan nilai UAS (bobot 3) untuk menentukan nilai akhir semester Anda. Lakukan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab.

4.3. Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan

Tes Formatif Pertemuan II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya

Tes formatif dalam bentuk esai.

27

Page 29: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

1. Manusia sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya. Jelaskan dengan beberapa contoh yang membuktikan pernyataan tersebut.

2. Jelaskan perbedaan manusia dengan binatang!3. Dapatkah binatang itu dididik? Jelaskan pendapat Anda.4. Apa yang dapat dipetik dari cerita Kama dan Kamala.5. Apa yang dimaksud manusia disebut sebagai mahluk pembelajar!

Tes Formatif Pertemuan III: Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia

1. Jelaskan pengertian pendidikan atau pedagogi secara etimologis.2. Jelaskan pengertian pendidikan menurut UU Nomor 20 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.3. Jelaskan pendapat Dewey yang menyatakan pendidikan adalah proses sosial,

proses kehidupan!4. Jelaskan apa pernyataan Kaisar Jepang ketika mendapati negaranya hancur

lebur karena bom nuklir dalam Perang Dunia II.5. Panggung sejarah umat manusia ini telah melalui empat fase. Sebutkan dan

jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan IV: Pendidikan dan Kebudayaan

1. Fuad Hassan menulis bahwa pendidikan adalah pembudayaan. Coba jelaskan apa maksudnya.

2. Sebut dan jelaskan tiga proses pendidikan dalam kehidupan manusia.3. Apakah yang dimaksud lifelong education. Jelaskan kaitannya dengan

pandangan Agama Islam tentang pendidikan.4. Apakah yang dimaksud animal educandum dan animal educandus. Siapakah

yang menyakatan demikian?5. Pendidikan bukankah semata-mata sebagai ”transfer of knowledge” tetapi

lebih sebagai “transmission of social and culture values and norms”. Jelaskan maknanya.

Tes Formatif Pertemuan V: Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

1. Tuhan telah menciptakan jagat raya ini sebagai suatu sistem. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri!

2. Jelaskan pengertian sistem pendidikan nasional menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Sebutkan dan sedikit jelaskan komponen utama dalam sistem pendidikan nasional.

4. Sebutkan komponen apa yang paling penting! Jelaskan alasan Anda.5. Komponen apa saja yang menurut Anda masih kurang mendapatkan

perhatian? Jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan VI: Hak Azasi Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan

28

Page 30: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

1. Terjemahkan dokumen PBB tentang hak azasi manusia dalam bidang pendidikan sebagai berikut.”Everyone has the right to education ... Education shall be directed to the full development of human personality and to strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 – Universal Declaration of Human Rights)

2. Sebutkan empat hak anak yang harus diberikan kepada anak menurut Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dalam Keppres Nomor 26 Tahun 1990!

Tes Formatif Pertemuan VII: Pilar-pilar Pendidikan

1. Sebut dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO!2. Sebutkan delapan tipe kecerdasan ganda menurut Howard Gardner. Coba

renungkan diri Anda. Kecerdasan apakah yang sesungguhnya Anda miliki?

Tes Formatif Pertemuan VIII: UTS (Tes II)

1. Manusia dapat dididik dan dapat mendidik. Binatang demikian juga (B/S)2. Manusia sebagai mahluk pembelajar (B/S)3. Manusia harus dididik oleh manusia dan dengan cara manusia (B/S)4. Istilah pedagogi sama dengan pendidikan dalam Bahasa Indonesia, dan sama

dengan education dalam Bahasa Inggris (B/S)5. Selaki waktu, pendidikan atas manusia dapat dilakukan dengan cara

pemaksaan (B/S)6. Kaisar Jepang sangat menghargai keberadaan guru untuk membangun bangsa

Jepang di masa depan (B/S)7. Pendidikan merupakan proses sosial, proses kehidupan itu sendiri. Demikian

pendapat Kant (B/S)8. Pendidikan harus diberikan kepada anak sesuai dengan zamannya. Demikian

pandangan Nabi Muhammad SAW (B/S)9. Secara keseluruhan, dunia dewasa ini kita berada pada era food gathering

(B/S)10. Ungkapan gold, glory, dan gospel lahir pada era industrial revolution (B/S)11. Secara etimologis berasal dari kata ”paes” yang artinya membimbing, dan

”gogos” yang berarti anak (B/S)12. Pendidikan adalah pembudayaan. Demikian menurut Fuad Hassan (B/S)13. Lifelong education artinya pendidikan anak usia dini (B/S)14. Pendidikan semata-mata hanya dapat diartikan sebagai pemindahan ilmu

pengetahuan dan teknologi (B/S)15. Pendidikan merupakan transmission of social dan culture values and norms

(B/S).16. Sesungguhnya semua ciptaan ini dalam bentuk sistem (B/S).17. Pendidikan diciptakan sebagai suatu sistem (B/S)18. Guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting (B/S)

29

Page 31: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

19. Proses pendidikan hanya dapat terjadi di gedung sekolah yang lengkap fasilitas pendidikannya (B/S)

20. Semua manusia memiliki hak hidup (B/S)21. Pelaksanaan hak-hak azasi mansuia dapat melanggar hak azasi orang lain

(B/S)22. Memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak azasi menusia (B/S)23. Learning to know artinya pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan (B/S)24. Learning to live together pembelajaran untuk memupuk diri menjadi dirinya

sendiri (B/S)25. Learning to do artinya pembelajaran agar siswa bukan hanya mengetahui

teori, tetapi juga dapat memiliki kecakapan tertentu (B/S)26. Kecerdasan bodily kinesthetics perlu dikembangkan untuk memupuk bakat

olah raga (B/S)27. Kecerdasan interpersonal diperlukan bagi mereka yang ingin menjadi

diplomat atau menjadi pedagang besar (B/S)28. Kecerdasan language perlu dikembangkan bagi mereka yang akan meniti

karir sebagai wartawan atau penulis buku (B/S)29. Kecerdasan music perlu dikembangkan bagi mereka yang akan menjadi

olahragawan (B/S)30. Kecerdasan logical mathematics perlu dikembangkan bagi mereka yang akan

menekuni karir sebagai ilmuwan (B/S).

Tes Formatif Pertemuan IX: Teori Pendidikan: Nativisme

1. Jelaskan pandangan teori nativisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalam kehidupannya.

2. Sebutkan beberapa tokoh yang menganut teori nativisme dan bagaimana pendapatnya.

3. Teori nativisme dikenal juga dengan teori pesimisme. Mengapa demikian?4. Bagaimana pendapat Anda terhadap teori nativisme tersebut. Berikan

beberapa alasannya.

Tes Formatif Pertemuan X: Teori Pendidikan: Empirisme

1. Jelaskan pandangan teori empirisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalah kehidupannya.

2. Sebutkan beberapa tokoh penganut teori empirisme dan bagaimana pendapatnya.

3. Teori empirisme dikenal juga dengan teori optimisme. Mengapa demikian?4. Apa yang dimaksud dengan teori tabula rasa.5. Bagaimana pendapat Anda tentang teori empirisme. Jelaskan beberapa

alasannya.

Tes Formatif Pertemuan XI: Teori Pendidikan: Konvergensi

1. Jelaskan pandangan teori konvergensi tentang pertumbuhkembangan manusia dalam kehidupannya.

2. Siapakah tokoh-tokoh penganut teori konvergensi.3. Apa pendapat Ki Hajar Dewantara tentang teori konvergensi.

30

Page 32: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

4. Bagaimana pendapat Anda tentang teori konvergensi. Jelaskan.5. Isilah tabel berikut untuk membedakan secara sekilas tentang tiga teori

pendidikan.

Aspek pembeda Nativisme Emipirisme KonvergensiPenemu, atau tokoh penganut teori pendidikan

Inti teorinya

Implikasi terhadap proses pendidikan yang diselenggarakan

Tes Formatif Pertemuan XII: Lingkungan Pendidikan

1. Apakah yang dimaksud miliu pendidikan.2. Sebutkan yang miliu pendidikan yang Anda ketahui. Jelaskan.3. Daerah yang terpencil dewasa ini telah mulai mendapatkan perhatian dari

pemerintah. Apa nasib anak-anak yang berasal dari daerah terpencil seperti itu?

4. Mengapa pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang SMP Satu Atap (Satap). Apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut?

5. Lembaga pendidikan seharusnya dapat menjadi agen (pelaku) pemberdayaan masyarakat. Bukan malah sebaliknya. Jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan XIII: Nilai-nilai Sosial Budaya

1. Setiap masyarakat tertentu memiliki nilai-nilai sosial budaya masing-masing yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya hingga saat ini. Berikan contoh nilai-nilai sosial budaya yang ada di daerah Anda.

2. Berikan contoh bahwa umur negara, sumber daya alam, dan ras yang tinggal di negara tersebut tidak dapat menjadi faktor yang signifikan yang mempengaruhi kemajuan negara tersebut. Berikan beberapa contoh sebagai argumentasi.

3. Apakah yang dimaksud “n ach”? Jelaskan.4. Sebutkan beberapa nilai sosial budaya dan teknologi yang besar pengaruhnya

terhadap perkembangan suatu negara.

Tes Formatif Pertemuan XIV: Kebudayaan dan Teknologi

1. Jelaskan pengertian etimologis kebudayaan!

31

Page 33: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

2. Bedakan antara monokultur dengan polikultur!

3. Jelaskan definisi kebudayaan menurut E.B. Tylor (1981). Sebutkan unsur-unsur definisinya.

4. Sebutkan empat komponen kebudayaan menurut Melville J. Herskovits.

5. Sebutkan tujuh mata bajak kebudayaan menurut Koentjoroningrat. Jelaskan masing-masing faset kebudayaan tersebut.

Tes Formatif Pertemuan XV: Kritik Terhadap Pendidikan

1. Apakah yang dimaksud ”deschooling society” menurut Ivan Illich.2. Istilah sekolah berasal dari akar kata ”escole”. Apakah yang dimaksud

”escole” tersebut?6. ”No teacher, no education. No education, no economic and social

development”. Apakah artinya? Siapakah yang menyatakan?

Tes UAS (Pertemuan XVI)

Tes tertulis dalam bentuk Benas Salah

1. Seperti manusia, binatang dapat dididik (B/S).2. Biografi seorang tokoh dapat menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita

(B/S).3. Cerita Kama dan Kamala menunjukkan bahwa untuk menjadi manusia

seutuhnya manusia harus dididik oleh manusia dan dengan cara manusia (B/S).

4. Dari teori nativisme dan teori konvergensi lahirlah teori empirisme (B/S).5. Education enables people and societies to be what they can be. Pendidikan

membuat manusia dan masyarakat menjadi apa yang mereka inginkan. Demikian pendapat Bill Richardson (B/S).

6. Education for all (EFA) artinya pendidikan untuk semua anak usia sekolah (B/S).

7. Education is a preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey berpesan kepada kita (B/S)

8. Faset kebudayaan yang paling mudah diubah adalah teknologi (B/S)9. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia (B/S).10. Keluarga adalah sebagai ”madrasatul ula” (B/S). 11. Keluarga broken home dapat menjadi miliu pendidikan yang negatif terhadap

pendidikan anak. Demikian implikasi dari teori empirisme (B/S).12. Kerja keras dan menghargai waktu merupakan beberapa nilai sosial budaya

masyarakat yang maju (B/S).13. Korupsi menjadi musuh besar pembangunan suatu negara (B/S).14. Lingkungan pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran

(B/S)15. Manusia adalah mahluk pembelajar (B/S)16. Manusia adalah pengemban budaya (culture bearer) dan sekaligus sebagai

pewaris kebudayaan (B/S)

32

Page 34: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

17. Manusia dapat dididik dan dilatih. Binatang dapat dilatih saja (B/S).18. Manusia dapat dididik dan mendidik (B/S)19. Manusia lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan

dibuat dari api, sedang manusia dibuat dari tanah (B/S)20. Manusia merupakan animal educancum dan animal educandus (B/S).21. Manusia sebagai mahluk pembelajar (B/S)22. Manusia sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya (B/S). 23. Manusia sebagai mahluk yang unik. Meski kembar sekalipun keduanya pasti

akan berbeda (B/S)24. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),

kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah Negara Jepang (B/S)25. Miliu atau lingkungan pendidikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

pendidikan. Itulah inti teori nativisme (B/S). 26. Nilai sosial budaya masyarakat di negara yang maju pada umumnya tidak

tepat waktu (B/S)27. Nilai-nilai sosial budaya dan pendidikan menjadi faktor kunci apakah yang

paling berpengaruh terhadap maju mundurnya suatu negara (B/S).28. Pendidikan antara lain dapat diupayakan melalui habit formation (B/S)29. Pendidikan berlangsung pada usia sekolah (B/S).30. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang

lahat (B/S)31. Pendidikan dapat diupayakan melalui role model (B/S)32. Pendidikan dapat diupayakan melalui teaching and learning process (B/S)33. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang berlangsung pada lembaga

pendidikan sekolah (B/S)34. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam lembaga

kursus atau yang berlangsung dalam masyarakat (B/S)35. Pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal (B/S)36. Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values and

norms (B/S)37. Pendidikan merupakan transmisi budaya dalam masyarakat (B/S). 38. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam

keluarga (B/S)39. Pendidikan sama dengan pengajaran (B/S)40. Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S)41. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dari pengertian pendidikan (B/S).42. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian

pendidikan (B/S).43. Penyediaan fasilitas belajar yang lengkap untuk memberikan sebanyak

mungkin pengalaman belajar peserta didik merupakan kebijakan pendidikan yang dilandasi oleh teori nativisme (B/S).

44. Peran utama pendidikan adalah menemukan potensi dasar peserta didik untuk kemudian dikembangkan melalui proses pendidikan (B/S).

45. Potensi otak manusia terkait erat dengan kelahiran kebudayaan dari suatu masyarakat (B/S).

46. Proses pendidikan dilaksanakan melalui upaya habit formation, teaching and learning process, dan role model (B/S).

47. Proses pendidikan seharusnya dapat menjadi agen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (B/S).

33

Page 35: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

48. Reading habit sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan dengan masyarakat Jepang (B/S).

49. Sistem kepercayaan masyarakat merupakan faset kebudayaan yang paling sulit diubah (B/S).

50. Teori ”dasar” dan ”ajar” dari bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara sebenarnya sama dengan teori nativisme (B/S).

4.4. Umpan Balik

1. Tugas mandiri dan tes yang akan dinilai adalah: (A) tugas mandiri, (B) tes formatif, (C) UTS (ujian tengah semester), dan (D) UAS (ujian akhir semester).

2. Bobot A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 43. Nilai Akhir Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3) + (DX4) : 4.4. Dengan skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan sebagai berikut:

Baik Sekali = 80 – 100Baik = 70 – 79Sedang = 60 – 69Kurang = < 60

5. Referensi

Abdul Latif. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Madyo Ekosusilo, dkk. 1987. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing.

Nurani Soyomukti. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi. Yogyakarta: Hikayat Publishing

Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.

6. Lampiran

6.1. Lampiran 1: Pendidikan Terbaik Di Dunia

PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIAOleh : Andri Aji Saputro

Sumber: [email protected]

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu tidak mengapa, karena memang banyak orang yang tidak tahu bahwa peringkat pertama kualitas pendidikan adalah Finlandia.

34

Page 36: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.

Peringkat pertama dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas.

Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi top momor 1 dunia? Dalam masalahanggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.

Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsilainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!

Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula.

Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyaktesting membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru diFinlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan

35

Page 37: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

bekeja lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Di sini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.

Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.

Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.

6.2. Lampiran 2: Artikel “Bangsa Jepang Yang Luar Biasa”

BANGSA JEPANG YANG LUAR BIASA

Oleh Yuli Setyo IndartonoMahasiswa S3 di Graduate School

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri

36

Page 38: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta.

Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.

01. Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah meli hat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.

Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari system pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.

Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.

37

Page 39: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di Negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.

02.Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah meli hatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam

38

Page 40: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli .

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.

03.Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi m eli hat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Kemana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum,

39

Page 41: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya m eli hat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.

04.Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta.

Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang hádala yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2. Nasehat "tengoklah dari kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.

05.Kesehatan dan rumah sakit

40

Page 42: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya.

Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat.

Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi - apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya. Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian.

Saling percaya adalah kuncinya.

Diambil dari DetikForum

6.3. Lampiran 3: Artikel Pilihan 3 Artikel Anak Tiri Bernama bernama Pendidikan

ANAK TIRI BERNAMA PENDIDIKAN

Oleh Lavinda *)Koran Sindo, Tuesday, 20 May 2008

MOMENTUM kebangkitan nasional yang ditandai dengan pengukuhan nasionalisme bangsa menyeruak seratus tahun lalu. Tepat pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo lahir sebagai organisasi cikal bakal penggerak kebangkitan bangsa.

41

Page 43: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

Ketika itu dr Soetomo beserta kaum muda berpendidikan lain memunculkan kesadaran untuk melawan penjajah dan bangkit dari keterpurukan,kemiskinan,serta keterbelakangan. Banyaknya kaum terpelajar di Indonesia kala itu merupakan faktor munculnya kebangkitan nasional.Ini membuktikan bahwa pendidikan mampu membawa perubahan bagi bangsa.

Pendidikan diibaratkan sebagai sekrup multiguna, karena mampu bersanding dengan murid dari sektor-sektor lain. Sayang, pendidikan di negeri ini sering kali dianaktirikan. Bidang ini belum menjadi prioritas dan dianggap tidak lebih penting dari sektor lain. Asumsi pun mengudara,”Apa sebegitu kurang seksinya dunia pendidikan ini sehingga para penguasa enggan berinovasi?” Jawabannya hanya satu: entah.

Masalah itu sudah masuk ke ranah political will. Itulah yang akan menjadi gambaran nyata arah ketertarikan penguasa. Lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun sistem merefleksikan kemunduran negara. Indonesia belum mampu menciptakan inovasi dalam sistem pendidikan.Anggaran pendidikan pun masih kurang. Pendidikan layak hanya bisa dinikmati kalangan berpunya.

Pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 12% dari total APBN 2008. Pemerintah masih belum bisa menjalankan amanat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 hasil amendemen keempat yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Atensi terhadap kesejahteraan guru pun tak jauh berbeda.

Realitanya,masih ada saja guru yang diupah tidak lebih dari tiga ratus ribu sebulan. Padahal, dalam konteks pendidikan, guru adalah ujung tombak. Mungkin itulah yang menjadi landasan berpikir bagi Ho Chi Minh (bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan ”No teacher no education. No education, no economic and social development”. Premisnya sangat lugas dan jelas. Jika ditelisik ke massa silam, tak banyak yang tahu bahwa banyak pahlawan tanah air kita mengawali kariernya sebagai guru.

Sebut saja Ir Soekarno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Agus Salim, dan Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa bangsa kita besar dan bangkit karena pendidikan. Kebangkitan pendidikan Indonesia dapat diwujudkan dengan mereformasi sistem pendidikan. Pemerintah mesti sadar bahwa kecerdasan tidak semata-mata diukur oleh angka. Sistem tidak perlu membuat pendidikan menjadi tumbal bagi kepentingan politis.

Selain itu, pemerintah harus memberi perhatian penuh terhadap kesejahteraan para pelaku pendidikan. Pada dasarnya, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai proses sejarah. Penghargaan itu diwujudkan dengan mengembangkan pendidikan yang menciptakan pemikiran-pemikiran terbaik bagi kebangkitan bangsa. Berantas kebodohan dengan pendidikan.

Sesungguhnya kebodohan akan melahirkan berbagai bentuk penjajahan. Sama halnya ketika Belanda dengan leluasa menjajah negeri ini selama berabad-abad, akibat kebodohan yang mendarah daging. Kebodohan yang dibiarkan terus-menerus menggerogoti raga bangsa sekian lama. Apatah ada kebangkitan nasional jika si empunya (pendidikan) kian dianaktirikan dan tersingkir?

42

Page 44: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

*) Mahasiswi Jurnalistik Fikom Unpad

6.4. Lampiran 4: Artikel Pilihan 4

MY PEDAGOGIC CREED

John Dewey's famous declaration concerning education. First published in The School Journal, Volume LIV, Number 3 (January 16, 1897), pages 77-80.

ARTICLE I--What Education Is

I believe that all education proceeds by the participation of the individual in the social consciousness of the race. This process begins unconsciously almost at birth, and is continually shaping the individual's powers, saturating his consciousness, forming his habits, training his ideas, and arousing his feelings and emotions. Through this unconscious education the individual gradually comes to share in the intellectual and moral resources which humanity has succeeded in getting together. He becomes an inheritor of the funded capital of civilization. The most formal and technical education in the world cannot safely depart from this general process. It can only organize it or differentiate it in some particular direction.

I believe that the only true education comes through the stimulation of the child's powers by the demands of the social situations in which he finds himself. Through these demands he is stimulated to act as a member of a unity, to emerge from his original narrowness of action and feeling, and to conceive of himself from the standpoint of the welfare of the group to which he belongs. Through the responses which others make to his own activities he comes to know what these mean in social terms. The value which they have is reflected back into them. For instance, through the response which is made to the child's instinctive babblings the child comes to know what those babblings mean; they are transformed into articulate language and thus the child is introduced into the consolidated wealth of ideas and emotions which are now summed up in language.

I believe that this educational process has two sides-one psychological and one sociological; and that neither can be subordinated to the other or neglected without evil results following. Of these two sides, the psychological is the basis. The child's own instincts and powers furnish the material and give the starting point for all education. Save as the efforts of the educator connect with some activity which the child is carrying on of his own initiative independent of the educator, education becomes reduced to a pressure from without. It may, indeed, give certain external results, but cannot truly be called educative. Without insight into the psychological structure and activities of the individual, the educative process will, therefore, be haphazard and arbitrary. If it chances to coincide with the child's activity it will get a leverage; if it does not, it will result in friction, or disintegration, or arrest of the child nature.

I believe that knowledge of social conditions, of the present state of civilization, is necessary in order properly to interpret the child's powers. The child has his own instincts and tendencies, but we do not know what these mean until we can translate them into their social equivalents. We must be able to carry them back into a social past and see them as the inheritance of previous race activities. We must also be able to project them into the future to see what their outcome and end will be. In the illustration just used, it is the ability to see in the child's babblings the promise and potency of a future social intercourse and conversation which enables one to deal in the proper way with that instinct.

43

Page 45: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

I believe that the psychological and social sides are organically related and that education cannot be regarded as a compromise between the two, or a superimposition of one upon the other. We are told that the psychological definition of education is barren and formal--that it gives us only the idea of a development of all the mental powers without giving us any idea of the use to which these powers are put. On the other hand, it is urged that the social definition of education, as getting adjusted to civilization, makes of it a forced and external process, and results in subordinating the freedom of the individual to a preconceived social and political status.

I believe that each of these objections is true when urged against one side isolated from the other. In order to know what a power really is we must know what its end, use, or function is; and this we cannot know save as we conceive of the individual as active in social relationships. But, on the other hand, the only possible adjustment which we can give to the child under existing conditions, is that which arises through putting him in complete possession of all his powers. With the advent of democracy and modern industrial conditions, it is impossible to foretell definitely just what civilization will be twenty years from now. Hence it is impossible to prepare the child for any precise set of conditions. To prepare him for the future life means to give him command of himself; it means so to train him that he will have the full and ready use of all his capacities; that his eye and ear and hand may be tools ready to command, that his judgment may be capable of grasping the conditions under which it has to work, and the executive forces be trained to act economically and efficiently. It is impossible to reach this sort of adjustment save as constant regard is had to the individual's own powers, tastes, and interests-say, that is, as education is continually converted into psychological terms.

In sum, I believe that the individual who is to be educated is a social individual and that society is an organic union of individuals. If we eliminate the social factor from the child we are left only with an abstraction; if we eliminate the individual factor from society, we are left only with an inert and lifeless mass. Education, therefore, must begin with a psychological insight into the child's capacities, interests, and habits. It must be controlled at every point by reference to these same considerations. These powers, interests, and habits must be continually interpreted--we must know what they mean. They must be translated into terms of their social equivalents--into terms of what they are capable of in the way of social service.

ARTICLE II--What the School Is

I believe that the school is primarily a social institution. Education being a social process, the school is simply that form of community life in which all those agencies are concentrated that will be most effective in bringing the child to share in the inherited resources of the race, and to use his own powers for social ends.

I believe that education, therefore, is a process of living and not a preparation for future living.

I believe that the school must represent present life-life as real and vital to the child as that which he carries on in the home, in the neighborhood, or on the playground.

I believe that education which does not occur through forms of life, or that are worth living for their own sake, is always a poor substitute for the genuine reality and tends to cramp and to deaden.

I believe that the school, as an institution, should simplify existing social life; should reduce it, as it were, to an embryonic form. Existing life is so complex that the child cannot be brought into contact with it without either confusion or distraction; he is either overwhelmed by the multiplicity of activities which are going on, so that he loses his own power of orderly reaction, or he is so

44

Page 46: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

stimulated by these various activities that his powers are prematurely called into play and he becomes either unduly specialized or else disintegrated.

I believe that as such simplified social life, the school life should grow gradually out of the home life; that it should take up and continue the activities with which the child is already familiar in the home.

I believe that it should exhibit these activities to the child, and reproduce them in such ways that the child will gradually learn the meaning of them, and be capable of playing his own part in relation to them.

I believe that this is a psychological necessity, because it is the only way of securing continuity in the child's growth, the only way of giving a back-ground of past experience to the new ideas given in school.

I believe that it is also a social necessity because the home is the form of social life in which the child has been nurtured and in connection with which he has had his moral training. It is the business of the school to deepen and extend his sense of the values bound up in his home life.

I believe that much of present education fails because it neglects this fundamental principle of the school as a form of community life. It conceives the school as a place where certain information is to be given, where certain lessons are to be ]earned, or where certain habits are to be formed. The value of these is conceived as lying largely in the remote future; the child must do these things for the sake of something else he is to do; they are mere preparation. As a result they do not become a part of the life experience of the child and so are not truly educative.

I believe that the moral education centers upon this conception of the school as a mode of social life, that the best and deepest moral training is precisely that which one gets through having to enter into proper relations with others in a unity of work and thought. The present educational systems, so far as they destroy or neglect this unity, render it difficult or impossible to get any genuine, regular moral training.

I believe that the child should be stimulated and controlled in his work through the life of the community.

I believe that under existing conditions far too much of the stimulus and control proceeds from the teacher, because of neglect of the idea of the school as a form of social life.

I believe that the teacher's place and work in the school is to be interpreted from this same basis. The teacher is not in the school to impose certain ideas or to form certain habits in the child, but is there as a member of the community to select the influences which shall affect the child and to assist him in properly responding to these influences.

I believe that the discipline of the school should proceed from the life of the school as a whole and not directly from the teacher.

I believe that the teacher's business is simply to determine on the basis of larger experience and riper wisdom, how the discipline of life shall come to the child.

I believe that all questions of the grading of the child and his promotion should be determined by reference to the same standard. Examinations are of use only so far as they test the child's fitness

45

Page 47: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

for social life and reveal the place in which he can be of the most service and where he can receive the most help.

ARTICLE III--The Subject-Matter of Education

I believe that the social life of the child is the basis of concentration, or correlation, in all his training or growth. The social life gives the unconscious unity and the background of all his efforts and of all his attainments.

I believe that the subject-matter of the school curriculum should mark a gradual differentiation out of the primitive unconscious unity of social life.

I believe that we violate the child's nature and render difficult the best ethical results, by introducing the child too abruptly to a number of special studies, of reading, writing, geography, etc., out of relation to this social life.

I believe, therefore, that the true center of correlation on the school subjects is not science, nor literature, nor history, nor geography, but the child's own social activities.

I believe that education cannot be unified in the study of science, or so called nature study, because apart from human activity, nature itself is not a unity; nature in itself is a number of diverse objects in space and time, and to attempt to make it the center of work by itself, is to introduce a principle of radiation rather than one of concentration.

I believe that literature is the reflex expression and interpretation of social experience; that hence it must follow upon and not precede such experience. It, therefore, cannot be made the basis, although it may be made the summary of unification.

I believe once more that history is of educative value in so far as it presents phases of social life and growth. It must be controlled by reference to social life. When taken simply as history it is thrown into the distant past and becomes dead and inert. Taken as the record of man's social life and progress it becomes full of meaning. I believe, however, that it cannot be so taken excepting as the child is also introduced directly into social life.

I believe accordingly that the primary basis of education is in the child's powers at work along the same general constructive lines as those which have brought civilization into being.

I believe that the only way to make the child conscious of his social heritage is to enable him to perform those fundamental types of activity which make civilization what it is.

I believe, therefore, in the so-called expressive or constructive activities as the center of correlation.

I believe that this gives the standard for the place of cooking, sewing, manual training, etc., in the school.

I believe that they are not special studies which are to be introduced over and above a lot of others in the way of relaxation or relief, or as additional accomplishments. I believe rather that they represent, as types, fundamental forms of social activity; and that it is possible and desirable that the child's introduction into the more formal subjects of the curriculum be through the medium of these activities.

46

Page 48: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

I believe that the study of science is educational in so far as it brings out the materials and processes which make social life what it is.

I believe that one of the greatest difficulties in the present teaching of science is that the material is presented in purely objective form, or is treated as a new peculiar kind of experience which the child can add to that which he has already had. In reality, science is of value because it gives the ability to interpret and control the experience already had. It should be introduced, not as so much new subject-matter, but as showing the factors already involved in previous experience and as furnishing tools by which that experience can be more easily and effectively regulated.

I believe that at present we lose much of the value of literature and language studies because of our elimination of the social element. Language is almost always treated in the books of pedagogy simply as the expression of thought. It is true that language is a logical instrument, but it is fundamentally and primarily a social instrument. Language is the device for communication; it is the tool through which one individual comes to share the ideas and feelings of others. When treated simply as a way of getting individual information, or as a means of showing off what one has learned, it loses its social motive and end.

I believe that there is, therefore, no succession of studies in the ideal school curriculum. If education is life, all life has, from the outset, a scientific aspect, an aspect of art and culture, and an aspect of communication. It cannot, therefore, be true that the proper studies for one grade are mere reading and writing, and that at a later grade, reading, or literature, or science, may be introduced. The progress is not in the succession of studies but in the development of new attitudes towards, and new interests in, experience.

I believe finally, that education must be conceived as a continuing reconstruction of experience; that the process and the goal of education are one and the same thing.

I believe that to set up any end outside of education, as furnishing its goal and standard, is to deprive the educational process of much of its meaning and tends to make us rely upon false and external stimuli in dealing with the child.

ARTICLE IV--The Nature of Method

I believe that the question of method is ultimately reducible to the question of the order of development of the child's powers and interests. The law for presenting and treating material is the law implicit within the child's own nature. Because this is so I believe the following statements are of supreme importance as determining the spirit in which education is carried on:

1. I believe that the active side precedes the passive in the development of the child nature; that expression comes before conscious impression; that the muscular development precedes the sensory; that movements come before conscious sensations; I believe that consciousness is essentially motor or impulsive; that conscious states tend to project themselves in action.

I believe that the neglect of this principle is the cause of a large part of the waste of time and strength in school work. The child is thrown into a passive, receptive, or absorbing attitude. The conditions are such that he is not permitted to follow the law of his nature; the result is friction and waste.

I believe that ideas (intellectual and rational processes) also result from action and devolve for the sake of the better control of action. What we term reason is primarily the law of orderly or effective action. To attempt to develop the reasoning powers, the powers of judgment, without

47

Page 49: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

reference to the selection and arrangement of means in action, is the fundamental fallacy in our present methods of dealing with this matter. As a result we present the child with arbitrary symbols. Symbols are a necessity in mental development, but they have their place as tools for economizing effort; presented by themselves they are a mass of meaningless and arbitrary ideas imposed from without.

2. I believe that the image is the great instrument of instruction. What a child gets out of any subject presented to him is simply the images which he himself forms with regard to it.

I believe that if nine tenths of the energy at present directed towards making the child learn certain things, were spent in seeing to it that the child was forming proper images, the work of instruction would be indefinitely facilitated.

I believe that much of the time and attention now given to the preparation and presentation of lessons might be more wisely and profitably expended in training the child's power of imagery and in seeing to it that he was continually forming definite, vivid, and growing images of the various subjects with which he comes in contact in his experience.

3. I believe that interests are the signs and symptoms of growing power. I believe that they represent dawning capacities. Accordingly the constant and careful observation of interests is of the utmost importance for the educator.

I believe that these interests are to be observed as showing the state of development which the child has reached.

I believe that they prophesy the stage upon which he is about to enter.

I believe that only through the continual and sympathetic observation of childhood's interests can the adult enter into the child's life and see what it is ready for, and upon what material it could work most readily and fruitfully.

I believe that these interests are neither to be humored nor repressed. To repress interest is to substitute the adult for the child, and so to weaken intellectual curiosity and alertness, to suppress initiative, and to deaden interest. To humor the interests is to substitute the transient for the permanent. The interest is always the sign of some power below; the important thing is to discover this power. To humor the interest is to fail to penetrate below the surface and its sure result is to substitute caprice and whim for genuine interest.

4. I believe that the emotions are the reflex of actions.

I believe that to endeavor to stimulate or arouse the emotions apart from their corresponding activities, is to introduce an unhealthy and morbid state of mind.

I believe that if we can only secure right habits of action and thought, with reference to the good, the true, and the beautiful, the emotions will for the most part take care of themselves.

I believe that next to deadness and dullness, formalism and routine, our education is threatened with no greater evil than sentimentalism.

I believe that this sentimentalism is the necessary result of the attempt to divorce feeling from action.

48

Page 50: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

ARTICLE V-The School and Social Progress

I believe that education is the fundamental method of social progress and reform.

I believe that all reforms which rest simply upon the enactment of law, or the threatening of certain penalties, or upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile.

I believe that education is a regulation of the process of coming to share in the social consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basis of this social consciousness is the only sure method of social reconstruction.

I believe that this conception has due regard for both the individualistic and socialistic ideals. It is duly individual because it recognizes the formation of a certain character as the only genuine basis of right living. It is socialistic because it recognizes that this right character is not to be formed by merely individual precept, example, or exhortation, but rather by the influence of a certain form of institutional or community life upon the individual, and that the social organism through the school, as its organ, may determine ethical results.

I believe that in the ideal school we have the reconciliation of the individualistic and the institutional ideals.

I believe that the community's duty to education is, therefore, its paramount moral duty. By law and punishment, by social agitation and discussion, society can regulate and form itself in a more or less haphazard and chance way. But through education society can formulate its own purposes, can organize its own means and resources, and thus shape itself with definiteness and economy in the direction in which it wishes to move.

I believe that when society once recognizes the possibilities in this direction, and the obligations which these possibilities impose, it is impossible to conceive of the resources of time, attention, and money which will be put at the disposal of the educator.

I believe that it is the business of every one interested in education to insist upon the school as the primary and most effective interest of social progress and reform in order that society may be awakened to realize what the school stands for, and aroused to the necessity of endowing the educator with sufficient equipment properly to perform his task.

I believe that education thus conceived marks the most perfect and intimate union of science and art conceivable in human experience.

I believe that the art of thus giving shape to human powers and adapting them to social service, is the supreme art; one calling into its service the best of artists; that no insight, sympathy, tact, executive power, is too great for such service.

I believe that with the growth of psychological service, giving added insight into individual structure and laws of growth; and with growth of social science, adding to our knowledge of the right organization of individuals, all scientific resources can be utilized for the purposes of education.

I believe that when science and art thus join hands the most commanding motive for human action will be reached; the most genuine springs of human conduct aroused and the best service that human nature is capable of guaranteed.

49

Page 51: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

I believe, finally, that the teacher is engaged, not simply in the training of individuals, but in the formation of the proper social life.

I believe that every teacher should realize the dignity of his calling; that he is a social servant set apart for the maintenance of proper social order and the securing of the right social growth.

I believe that in this way the teacher always is the prophet of the true God and the usherer in of the true kingdom of God.

How to cite this piece: Dewey, John (1897) 'My pedagogic creed', The School Journal, Volume LIV, Number 3 (January 16, 1897), pages 77-80. Also available in the informal education archives, http://www.infed.org/archives/e-texts/e-dew-pc.htm.

This article is available elsewhere under a GNU Free Documentation Licence. As a result it has been reproduced here on the understanding that it is not subject to any copyright restrictions, and that it is, and will remain, in the public domain.

6.5. Lampiran 5: Power Point

to reflect and to act . . . . . . . .

REFLEKSI & TINDAKAN

TO REFLECT & TO ACT

Pesan ini saya terjemahkan dari suatu tulisanberbahasa inggris yang saya terima melalui email

dari seorang kawan.maaf bila salah/kurang tepat menerjemahkannya

to reflect and to act . . . . . . . .

Perbedaannegara berkembang (miskin)

dan negara maju (kaya)

•Umurnegara?

•Sumberdayaalam?

•Ras (warnakulit)?

to reflect and to act . . . . . . . .

• Di sisi lain –Singapura, Kanada, Australia & New Zealand– negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah

bagian dari negara maju di dunia, danpenduduknya tidak lagi miskin

50

Page 52: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

to reflect and to act . . . . . . . .

• Ketersediaan sumber daya alam darisuatu negara juga tidak menjamin

negara itu menjadi kaya atau miskin

Sumberdayaalam?

to reflect and to act . . . . . . . .

• Jepang mempunyai area yang sangat terbatas.

• Daratannya, 80% berupapegunungan dan tidak cukup

untuk meningkatkan pertanian& peternakan

to reflect and to act . . . . . . . .

• Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasaekonomi nomor dua di dunia.

• Jepang laksana suatu negara “industriterapung” yang besar sekali, mengimpor

bahan baku dari semua negara di dunia danmengekspor barang jadinya

to reflect and to act . . . . . . . .

• Swiss tidak mempunyai perkebunancoklat tetapi sebagai negara pembuatcoklat terbaik di dunia.

• Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami.

to reflect and to act . . . . . . . .

• Swiss juga mengolah susu dengankualitas terbaik. (Nestle adalah salah satuperusahaan makanan terbesar di dunia).

• Swiss juga tidak mempunyai cukupreputasi dalam keamanan, integritas, danketertiban – tetapi saat ini bank-bank diSwiss menjadi bank yang sangat disukai didunia.

51

Page 53: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

to reflect and to act . . . . . . . .

• Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya darinegara terbelakang akan sependapat

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan

to reflect and to act . . . . . . . .

• Ras atau warna kulit juga bukanfaktor penting.

• Para imigran yang dinyatakanpemalas di negara asalnya ternyatamenjadi sumber daya yang sangatproduktif di negara-negaramaju/kaya di Eropa

•Ras (warnakulit)?

to reflect and to act . . . . . . . .

• Lalu……. apa yang menyebabkanperbedaan itu?

to reflect and to act . . . . . . . .

• Perbedaannya adalahpada sikap/perilakumasyarakatnya, yang telahdibentuk sepanjang tahunmelalui

KEBUDAYAAN & PENDIDIKAN.

to reflect and to act . . . . . . . .

•• BerdasarkanBerdasarkan analisisanalisis atasatas perilakuperilakumasyarakatmasyarakat didi negaranegara majumaju, , ternyataternyata

bahwabahwa mayoritasmayoritas penduduknyapenduduknya seharisehari--harinyaharinya mengikuti/mematuhimengikuti/mematuhi prinsipprinsip--

prinsipprinsip dasardasar kehidupankehidupan sebagaisebagai berikutberikut..

to reflect and to act . . . . . . . .

1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari

2. Kejujuran dan integritas

3. Bertanggung jawab

4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat

5. Hormat pada hak orang/warga lain

6. Cinta pada pekerjaan

7. Berusaha keras untuk menabung & investasi

8. Mau bekerja keras

9. Tepat waktu

PrinsipPrinsip DasarDasar K ehidupanK ehidupan

to reflect and to act . . . . . . . .

•• Di Di negaranegara terbelakang/miskinterbelakang/miskin/ / berkembangberkembang, , hanyahanya sebagiansebagian kecilkecil

masyarakatnyamasyarakatnya mematuhimematuhi prinsipprinsipdasardasar kehidupankehidupan tersebuttersebut

minoritas

mayoritastidak patuh

to reflect and to act . . . . . . . .

•• Kita Kita bukanbukan miskinmiskin ((terbelakangterbelakang) ) karenakarena kurangkurang sumbersumber dayadayaalamalam, , atauatau karenakarena alamalam yang yang

kejamkejam kepadakepada kitakita..

52

Page 54: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

to reflect and to act . . . . . . . .

• Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kitayang kurang/tidak baik akibat pendidikan yang

kurang.

• Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi danmengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akanmemungkinkan masyarakat kita pantas membangun

masyarakat, ekonomi, dan negara.

to reflect and to act . . . . . . . .

• Jika Anda tidak meneruskan pesan ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri Anda!!!

• Hewan peliharaan Anda tidak akan mati, Andatidak akan kehilangan pekerjaan, Anda tidakakan mendapat kesialan dalam 7 tahun, juga

Anda tidak akan sakit.

to reflect and to act . . . . . . . .

• TETAPI….. jika Anda tidak meneruskan pesanini, tidak akan terjadi perubahan apa-apadalam negara kita. Negara kita akan tetap

berlanjut dalam Kebodohan dan Kemiskinan... serta akan menjadi lebih Bodoh serta Miskin

lagi.

to reflect and to act . . . . . . . .

•• JikaJika AndaAnda mencintaimencintai negaranegara kitakita, , teruskanteruskan pesanpesaniniini kepadakepada temanteman--temanteman AndaAnda. . BiarlahBiarlah merekamereka

merefleksikanmerefleksikan halhal iniini..

•• Kita Kita harusharus mulaimulai daridari manamana sajasaja. Kita . Kita ingininginBERUBAH !BERUBAH !

dandan …………. PERUBAHAN DIMULAI DARI . PERUBAHAN DIMULAI DARI

DIRI K ITA SENDIRI,DIRI K ITA SENDIRI,

DIMULAI DARI HAL Y ANG K ECIL DANDIMULAI DARI HAL Y ANG K ECIL DAN

LAK UK AN MULAI SAAT INI J UGA ...!!!LAK UK AN MULAI SAAT INI J UGA ...!!!

53

Page 55: Modul pendidikan lingkungan sosbud dan teknologi final

54