modul analisa wacana

34
UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN BROADCASTING PROGRAM KELAS KARYAWAN Modul 11 & 12 Analisa Wacana (Discourse Analisis) Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh karena itulah, ia dinamakan analisis wacana (Heryanto, dalam Sukandi, 1999:115). Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya denagn motivasi atau kepentingan subjektif tertentu (rasional atau irasional). Terlepas dari apa pun motivasi atau kepentingan orang ini, kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah “aturan” gramatika yang berada di luar kemauan, atau kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik. Sebenarnya, analisis wacana tidaklah berhenti disitu saja. Uraian diatas masih terlelu memisahkan motivasi/maksud/niat seorang penutur di satu pihak, dan Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA MODUL KULIAH MK. STUDI MEDIA

Upload: klphns

Post on 02-Dec-2015

250 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: modul analisa wacana

UNIVERSITAS MERCU BUANAFAKULTAS ILMU KOMUNIKASIJURUSAN BROADCASTINGPROGRAM KELAS KARYAWAN

Modul 11 & 12

Analisa Wacana (Discourse Analisis)

Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya

sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh

karena itulah, ia dinamakan analisis wacana (Heryanto, dalam Sukandi,

1999:115).

Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang

membentuknya denagn motivasi atau kepentingan subjektif tertentu (rasional

atau irasional). Terlepas dari apa pun motivasi atau kepentingan orang ini,

kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang

bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia

tunduk pada sejumlah “aturan” gramatika yang berada di luar kemauan, atau

kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara

individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi

milik bersama di ruang publik.

Sebenarnya, analisis wacana tidaklah berhenti disitu saja. Uraian diatas

masih terlelu memisahkan motivasi/maksud/niat seorang penutur di satu pihak,

dan kalimat yang tunduk pada pagar-pagar gramatika di pihak lain. Seakan-akan

ada pemisahan yang tegas antara isi dan bentuk. Menurut pemahaman teori

wacana lebih jauh, motivasi/maksud/niat manusia sangat ditentukan oleh bahasa

yang dikenalnya. Hal yang berada di luar bahasa orang itu tidak dapat dipikirkan

olehnya, maka juga tidak dapat diperjuangkannya. Dengan kata lain, ada

kesatuan yang organic antara isi dan bentuk.

Hingga di sini, teori wacana ini tampaknya sangat strukturalis dan fatalis.

Seakan-akan tak ada tempat bagi otonomi kesadaran manusia dan kemandirian

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

MODUL KULIAHMK. STUDI MEDIA

Page 2: modul analisa wacana

kreatif yang bebas dari pagar-pagar bahasa. Sebetulnya, pandangan teori

wacana tidak sesuran itu. Ada kemungkinan bagi manusia bergulat dalam jarring-

jaring bahasa. Misalnya, dalam pandangan Heryanto (2000a:344), sedikitnya ada

dua sumber harapan terjadinya gejolak perlawanan dan perubahan sosial.

Pertama, manusia berkenalan dengan lebih dari satu bahasa, dengan demikian

berkenalan lebih dari satu tata-dunia. Ini memungkinkan terjadinya serangkain

bentrok antar tata dunia. Kedua, setiap bahasa mengandung berbagai celah

kebocoran dan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Tanpa pertemuan dengan

bahasa lain pun, setiap bahasa tidak pernah sepenuhnya stabil dan statis.

Sebenarnya, teori wacana dalam tradisi filsafat sudah sangat tua. Arsitoteles

pernah membahasnya secara teliti dalam karyanya De Interpretatione (Kleden,

1997:34). Teori wacana menjadi actual lagi dalam diskusi filsafat kontemporer

dengan munculnya strukturalisme yang berpendapat bahwa arti bahasa tidak

bergantung dari maksud pembicara atau pendengar ataupun dari referensinya

pada kenyataan tertentu; arti bergantung pada struktur bahasa itu sendiri. Yang

dimaksud struktur di sini ialah jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil

bahasa yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup (Hjelmslev,

dalam Kleden, 1997).

A. Pendekatan Analisis Wacana

Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun

belakangan ini. Aliran-aliran linguistic selama ini membatasi penganalisisannya

hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa

memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis, 1993:12).

Memang, penganalisisan bahasa atau teori-teori bahasa dan penganalisisan

kalimat sudah berjalan lama dan tulisan-tulisan yang demikian pun sudah tidak

terhitung lagi jumlahnya, maka penganalisisan wacana beru saja dilakukan dan

pelbagai tulisan tentang wacana ini pun masih sedikit jumlahnya. Hal ini diakui

oleh beberapa pakar bahasa. Syamsudin, misalnya, menyatakan, “pembahasan

dan analisis wacana merupakan suatu bidang yang relative baru dan masih

kurang mendapat perhatian para ahli bahasa (linguis) pada umumnya”

(Syamsudin, 1992:4). Pernyataan senada dikatakan Harris (dalam Syamsudin,

1992:4) bahwa “discourse” analysis is a fact disappointing”. Ungkapan seperti itu

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 3: modul analisa wacana

didukung oleh kenyataan bahwa pada mulanya pembahasan wacana itu

dilakukan oleh para ahli sosiologi, antropologi, serta filsafat, bukan oleh ahli

bahasa. Coulthard (1978), seperti dikutip Syamsudin, mengemukakan : “…the

serious study of spoken discourse is only just beginning and currently mush of

the work is being undertaken not by linguis but by sociologist, anthropologist, and

philosophers”. Oleh karena itu dapat dimaklumi jika hingga sekarang

pembahasan dan rujukan tentang wacana dan analisisnya masih jarang, lebih-

lebih dalam bahasa Indonesia.

Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi

pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan

pada “how the ideological significance of news is part and parcel of the methods

used process news (bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian

dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media)

(Tuchman,dalam Jensen dan Jankowski, ed., 1991:83).

Lantas, apakah yang disebut analisis wacana itu? Jika kita coba rumuskan,

analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih

nyata lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik)

bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana.

Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar kalimat

dna suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain

(Tarigan. 1993:24). Analisis wacana lahir dari kesadaranbahwa persoalan yang

terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau

bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih

kompleks dan inheren yang disebut wacana (Littlejohn, 1996:84). Dengan upaya

menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis

wawancara bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, mortologi, dan fonologi.

Tingkatan-tingkatan keilmubahasaan menurut kaum strukturakis terdapat

pada studi bahasa yang mesti dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang

lain. Tingkatan-tingkatan itu ialah fonetik dengan satuan terkecilnya yang berupa

bunyi (bahasa), fonologi dengan satuan terkecilnya yang berupa fonem,

morfologi dengan satuan terkecilnya yang berwujud morferm, dan sintaksis

dengan satuan kecil yang berupa kata atau frase (Samsuri, dalam Amirudin, ed.,

1990:33).

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 4: modul analisa wacana

Dalam pandangan Littlejohn, meski menulis dan bahkan bentuk-bentuk

nonverbal dapat dianggap wacana, kebanyakan analisis wacana berkonsentrasi

pada percakapan yang muncul secara wajar. Menurutnya, terdapat beberapa

untai analisis wacana, bersama-sama menggunakan seperangkat perhatian

(Littlejohn, 1996:84-85). Pertama, seluruhnya mengenai cara-cara wacana

disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan

memahami percakapan atau tipe-tipe pecan lainnya. Ahli analisis wacana melihat

pada pembicaraan nyata dna btnuk-bentuk nonverbal seperti mendengar dan

melihat, dna mereka melakukan studi makna dari bentuk-bentuk yang teramati di

dalam konteks. Beberapa teori melihat bagaimana pesan tinggal terstruktur untuk

membuat pernyataan koheren. Teori yang lainnya melihat pola bercakap-cakap

di antara orang-orang dalam suatu percakapan.

Kedua, wacana dipandang sebagai aksi; ia adalah cara melakukan segala

hal, biasanya denagn kata-kata. Ahli analisis wacana berasumsi bahwa

pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa kalimat,

namun juga aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam

menyelesaikan tujuan-tujuan pragmatic dalam situasi sosial. Bahasa digunakan

denagn suatu strategis guna mencapai tujuan yang diinginkan seperti memuat

suatu permohonan, mendapat giliran, bersikap sopan, atau memperoleh

kerjasama. Ahli analisis wacana tertarik dalam hal bagaimana sesungguhnya

cara pembicara menyusun pesan-pesan mereka untuk menyelesaikan hal-hal

tersebut. Menurut Littlejohn. “Discourse analysis does not treat organization as

an end in itself, but aims to uncover its function,” analisis wacana tidak

memperlakukan penyusunan sebagai suatu tujuan itu sendiri, namun bertujuan

menemukan fungsi-fungsinya.

Ketiga, analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang

digunakan oleh komunikator actual dari perspektif mereka; ia tidak

mempedulikan cirri/sifat psikologis tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap

proplem percakapan sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan. Contohnya,

kita menanggapi pesan-pesan dari orang lain denagn cara-cara yang kelihatan

logis dan alami serta tidak mengacaukan arus percakapan.

Littlejohn melihat, banyak tujuan-tujuan komunikasi kita diselesaikan

bersama-sama dengan cara ulang-alik. Linguistik berurusan dengan aturan-

aturan bahasa, analisis wacana tertarik pada aturan-aturan transaksi pesan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 5: modul analisa wacana

Dari segi analisisnya, cirri dna sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai

berikut (Syamsuddin, 1992:6) :

a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat

(rule of use - menurut Widdowson);

b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks,

teks, dan situasi (Firth);

c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui

interprestasi semantic (Beller);

d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa daalam tindak

berbahasa (What is said from what is done - menurut Labov);

e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara

fungsional (functional use of language - menurut Coulthard).

B. Wacana Tulis, Teks, dan Konteks

1. Wacana Tulis

Wacana tulis, dalam pandangan Ricoeur (1976:28), lebih dari sekadar fiksasi

yang material sifatnya. Filsuf Prancis ini memberi contoh menarik. Melalui tulisan,

tercipta kemungkinan penerusan tata aturan ke ruang dan waktu yang berbeda

tanpa distorsi yang berarti. Ini menciptakan peluang bagi sebuah negara untuk

melaksanakan penataan politis jarak jauh yang pada gilirannya memungkinkan

lahirnya negara-negara jajahan. Dari fiksasi pelbagai aturan juga dapat tercipta

hubungan-hubungan pasar yang kemudian melahirkan ekonomi. Sejarah lahir

dari adanya arsip. Sementara fiksasi hukum untuk standar pengambilan

keputusan yang bebas dari pendapat subjektif hakim memungkinkan lahirnya

lembaga hukum dengan kode-kodenya. Dampak yang begitu luas menunjukkan

bahwa wacana manusia bukan hanya terselamatkan dari kelenyapan dan

keterlupaan dengan cara menuangkannya ke dalam bentuk teks tertulis, tetapi

bahwa kemanusiaan itu sendiri terpengaruh dan tertransformasikan secara

mendalam bahkan sampai ke tahap eksistensial. Transformasi eksistensial ini

menjadi mungkin karena kebebasan yang dimiliki pembaca ketika ia membaca

sebuah teks tertulis.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 6: modul analisa wacana

Persoalan tulisan sebenarnya sudah dibicarakan oleh para ilmuwan sejak

dahulu kala. Sebagai ilustrasi, menarik untuk diketahui bahwa Plato tampaknya

tidak meyetujui adanya tulisan, tetapi ironisnya Plato sendiri melahirkan cukup

banyak tulisan. Penolakannya terhadap tulisan berangkat dari pemikiran tentang

adanya hubungan antara jiwa dengan pengetahuan yang pada gilirannya akan

melibatkan tulisan. Ia mengkaji mite yang menceritakan kisah raja Mesir yang

menerima kedatangan Dewa Toth, yaitu dewa yang meperkenalkan

pengetahuan pada manusia, misalnya bilangan, geometri, astronomi, dan ia pula

yang memperkenalkan grammata, yaitu karakter tulisan. Toth menganggap

bahwa pengetahuan grammata dapat menjadikan orang Mesir lebih bijaksana

dan lebih mampu untuk mengingat sesuatu. Tetapi Raja Mesir menolak kalau

rakyatnya diajari menulis, karena tulisan dianggap dapat memperlemah

kemampuan jiwa untuk mengingat.

Jadi, di dalam pendangan Plato ini tersimpan kekhawatiran logosentris.

Kekhawatiran ini muncul bersama asumsi adanya sumber pengetahuan yang

otentik, murni, benar, serta ada cara untuk menyampaikan kebenaran itu. Melalui

tulisan, penyampaian logos dapat dilangsungkan oleh siapa pun, bahkan juga

oleh mereka yang tidak mempunyai wewenang. Mengulang Plato dalam

percakapan antara Raja Mesir Thamus dan Dewa Toth yang dikutip Derrida

(dalam Leksono, 1999), “Terima kasih kepadamu dan untuk temuanmu, murid-

muridmu akan leluasa membaca tanpa keuntungan memperoleh pengajaran

seorang guru.”

Kesan yang sama dapat kita temukan pada Socrates. Pandangan Socrates

dalam hal tulisan tidak lebih menarik daripada Plato (Kleden-Probonegoro, 1998).

Bagi Socrates, tulisan seperti halnya lukisan yang menggeneralisasikan makhluk

hidup menjadi makhlik-makhluk yang tidak hidup, karena mereka akan tetap

diam kalau kita Tanya. Demikain pula halnya dengan tulisan, yang tetap diam

meskipun kita ingin mengetahui sesuatu yang tertulis itu. Aristoteles

menganggap bahwa tulisan mempunyai status yang kurang penting, karena

secara umum tulisan adalah jiplakan dari bahasa. Ia menganggap bicara adalah

simbol jiwa dan tulisan adalah ciri simbol dari simbol dalam bicara. Baginya, kata-

kata dalam ucapan lebih dianggap penting daripada tulisan, karena suara

manusia mempunyai gubungan yang langsung dengan pikiran. Dengan demikian

tulisan dianggap menjadi sesuatu yang kurang penting.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 7: modul analisa wacana

Pernyataan atau penjelasan di atas memperlihatkan adanya kecenderungan

logosentris, yaitu gerakan yang berpusat pada pemikiran yang mendukung

fonosentris yang menganggap pentingnya suara. Derrida (1984, dalam Kleden-

Probonegoro, 1998) adalah orang yang boleh dianggap mempunyai andil cukup

besar, yang menganggap bahwa tulisan itu penting. Baginya, tulisan bukan

Cuma sekedar “literal pictographic” atau sekedar inskripsi yang bersifat ideografik

saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya

untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang

dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui

tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-padang

rumput itu. Apa yang terjadi sekarang adalah, tulisan telah menjadi apa yang

oleh Derrida sebut sebagai cybernetic program yang mencakup konsep jiwa,

konsep hidup, nilai, pilihan, dan memori. Kini, tulisan telah mempunyai ciri

historis metafisiknya yang berbeda dari masa fono-logosentris, dan orang dapat

langsung bahasa lain.

2.Teks

Apa yang dimaksud teks itu? Bagi Barthes, teks adalah sebuah objek

kenikmatan, sebagaimana diproklamasikannya dalam buku Sadel Fourier /

Loyola : “The text is an object of pleasure. (Teks adalah objek kenikmatan)”

(Culler, 1963, dalam Kurniawan, 2001:101). Sebuah kenikmatan dalam

pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi

halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan tercipta yang hanya dirasakan

oleh si pembaca sendiri. Kenikmatan pembacaan itu bersifat individual. Kita tak

akan bisa merasakan betapa asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak

meperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba

merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan yang

individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu sendiri, yang

dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan, 2001:202). Imajinasi itu

sendiri merupakan suatu daya yang muncul dari dalam diri manusia, yang antara

lain, memiliki ciri personal (Tedjoworo, 2001:59).

Kenikmatan dalam membaca itu dilukiskan Barthes (1975, dalam Kurniawan

2001:102), seperti ini : “What I enjoy in a strory, is not directly its content, nor

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 8: modul analisa wacana

even its structure, but the abrasion I impose on the fine surface : I speed ahead, I

skip, I look up, I dip in again” (Apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan

secara langsung isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikiran yang

aku terapkan pada permukaan dasarnya : aku ngebut ke depan, aku lewatkan,

aku perhatikan, aku cari, aku masuk ke dalam lagi).

Tampaknya, kenikmatan yang dimaksudkan Barthes, seperti dilukiskan

Kurniawan (2001:103), bukanlah pembacan biasa. Kenikmatan itu adalah

kenikmatan atas teks atau naskah. Barthes secara konsisten masih bergerak di

lapangan strukturalisme yang mengunggulkan bahasa di atas apa pun. Demikian

pula dengan kenikmatan yang dimaksudkannya, terkait dengan bahasa itu

sendiri.

Kenikmatan yang dimaksud Barthes, selain pada ranah bahasa (teks), juga

terkait dengan tubuh. Dalam The Pleasure of the Text, Barthes menunjukkan

bahwa konsep kenikmatan yang dianutnya menyangkut atau berada dalam

rangka aktivitas semiolog maupun analisis tekstual. Dengan membaca kembali

dan berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan

menyusunnya kembali, yang merupakan rekonstruksi utama dalam semiologi

dan analisis tekstual atau analisis structural itulah Barthes menemukan

kenikmatan yang dimaksudnya,

Ricoeur mengajukan suatu definisi yang mengatakan bahwa teks adalah

wacana (berarti lisan) yang difiksikan ke dalam bentuk tulisan (Kleden-

Probonegoro, 1998:119). Dengan demikian jelas bahwa teks adalah “fiksasi atau

pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan” (Hidayat,

1996:129-130). Dalam definisi tersebut secara implicit sebenarnya telah

diperlihatkan adanya hubungan antara tulisan denagn teks. Apabila tulisan

adalah bahasa lisan yang difiksikan (ke dalam bentuk tulisan), maka teks adalah

wacana (lisan) yang difiksikan ke dalam bentuk teks.

Teks juga bisa kita artikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan

dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan

dengan kode-kode tertentu” (Budiman, 1999b:115-116). Pihak penerima – yang

menerima tanda-tanda tersebut sebagai teks – segera mencoba menafsirkannya

berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Dalam upaya mendekati

tuturan kesastraan (literary ulterance) sebagai teks, kita dapat memperlakukan

tuturan tersebut sebagai sesuatu yang terbuka bagi interprestasi, walaupun tetap

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 9: modul analisa wacana

dikaitkan dengan norma-norma generik tertentu. Sementara itu, teks pun kadang

kala secara sengaja dipertentangkan dengan karya (work). Dalam hal ini sebuah

karya dianggap berkebalikan dengan sifat-sifatnya yang menyederhanakan suatu

entitas, tertutup, dan mencukupi diri sendiri. Walaupun demikian, pembedaan

antara teks dan karya ini bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan sekedar soal

penekanan dna nuansa.

Sebuah teks pada dasarnya tidka dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain.

Sebuah karya sastra, misalnya, baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam

kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah

dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adapt istiadat,

kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu,

karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan

tersebut, baik secara umum maupun khusus (Ratih, dalam Jabrohim, 2001:137).

Suatu karya sastra yang berwujud teks dan tertulis dengan bahasa yang khas

itu tidak akan berfungsi jika tidak ada pembacanya yang menjadi penyambut,

penafsir, dan pemberi makna. Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena

mempunyai struktur tertentu – suatu kerangka yang menentukan dan

mendukung bentuk – tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.

Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya

dalam kawasan tekstual. Inilah yang disebut intertekstual, yaitu pengertian

bahwa suatu teks tidak dapat dipengaruhi oleh teks baru, baik perbedaannya

maupun persamaannya (Partini 1991, dalam Ratih, 2001:135).

Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari himpunan huruf

yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai denagn system tanda yang

disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa

mengungkapkan makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, dari sudut

pandang mahzab transendentalisme hermeneutic, kebenaran yang lebih

konsisten justru ketika tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarangnya

yang kadangkala labil dan situasional. Dalam jajaran ini, Immanuel Kant dan

Rene Descartes sangat berjasa dalam meletakkan dasar teori. Namun, dari

sudut pandang psikologi dan sosiologi, bahasa lisan jelas lebih utama ketimbang

bahasa tulis, karena perasaan yang jauh lebih kompleks. Lebih dari itu,

masyarakat bisa berkembang dan bertahan tanpa tulisan, tetapi tidak mungkin

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 10: modul analisa wacana

bisa bertahan tanpa bahasa lisan (Hidayat, 1996). Memang sulit dibayangkan

mengandalkan bahasa tulis.

Dalam pandangan Recoeur, pengertian teks sebatas bentuk tulisan masih

bisa didiskusikan lagi. Jika teks adalah rekaman dari sebuah wacana, misalnya

saja transkip sebuah seminar, bukankah hal itu sesungguhnya masih berupa

wacana yang diabadikan dalam format tulisan? Artinya, dalam pengertian yang

lebih ketat, teks dikatakan teks hanya ketika sebuah gagasan secara sadar dan

sengaja dituliskan oleh pengarangnya, bukannya transkip dari sebuah wacana.

Jika pengertian kedua diambil, maka sebuah teks pidato tidak memenuhi syarat

sebagai sebuah teks, karena tujuannya untuk dibacakan di depan pendengar, di

mana antara pembicara dan pendengar terjadi kontak langsung. Artinya, naskah

pidato baru menjadi teks ketika jatuh ke tangan orang yang tidak hadir dalam

peristiwa pembacaannya.

Dalam membaca, seseorang diharapkan untuk melakukan dialog imajinatif

dengan pengarangnya, meskipun antara keduanya hidup dalam kurun waktu

serta tempat yang berbeda. Maka, disinilah kita dihadapkan pada sebuah

prasangka hermeneutik. Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara

kritis, bisa-bisa kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks (Hidayat, 1996:132).

Meski demikian, merupakan hal yang tidak mudah bagi seseorang untuk

memperoleh data yang akurat mengenai asal-usul sebuah teks dan juga

pengarangnya. Karenanya benar apa yang dikatana Gadamer, seseorang sudah

terlahir dalam kebub prasangka dan cenderung untuk menerima sumber otoritas

tanpa argumentasi kritis (Hidayat, 1996:133).

Jika kita amati pada masyarakat tradisional, tokoh-tokoh agama dan para

dukun kerapkali dipandang sebagai sumber otoritas dalam menafsirkan realitas

sosial. Pelbagai prasangka yang sudah mengendap dari seseorang tanpa

disadari berperan aktif ketika menafsirkan sebuah teks, terlebih lagi ketika dalam

membaca tidak terjadi perjumpaan langsung antara kedua belah pihak. Pihak

pembaca tidak hadir sewaktu pembaca menelaah bukunya. Di sinilah jelas

terbentang tabir yang menutupi proses komunikasi timbale balik secara

langsung, sementara instruksi bawah sadarnya (sub-conscious) pembaca ikut

menafsikran dan mengarahkan kesimpulan yang hendak diambil, apakah mau

diterima atau ditolak. Dengan terpisahnya teks dari pengarangnya dan dari

situasi sosial yang melahirkannya, maka implikasinya lebih jauh, sebuah teks

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 11: modul analisa wacana

bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak

pembaca; sebab, sebuah karya tulis pada umumnya merupakan respons

terhadap situasi yang dihadapi oleh penulis dalam waktu dan ruang tertentu.

Betuk apa yang disarankan oleh Komaruddin Hidayat, agar pembaca tidak

terbawa oleh subjektivitas pengarangnya dalam menelaah teks, diperlukan

counter-prejudice. Artinya, pembaca perlu “curiga” atau kritis terhadap diri sendiri

dan terhadap teks, agar terjadi wacana yang cerdas dan seobjektif mungkin

antara pihak pembaca dna penulis (Hidayat, 1996:134). Kata “curiga” di sini

sengaja diberi tanda kutip, karena dimaksudkan untuk tujuan positif.

3.Konteks

Sebetulnya, antara teksm konteks, dan wacana merupakan satu kesatuan yang

tak terpisahkan. Gus Cook, misalnya, menyebut ada tiga hal yang sentral dalam

pengertian wacana : teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai

semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas,

tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara,

citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada

di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam

bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan

sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks

bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks

dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini,

dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran

spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan

konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan

komunikasi tanpa partisipan, interteks, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:9).

Berkaitan dengan konteks, ini menarik untuk kita singgung, sebab dahulu,

para ahli bahasa menganalisis kalimat di luar konteks. Arti atau makna dari

sebuah kalimat sebenarnya barulah dapat dikatakan benar bila kita ketahui siapa

pembicaranya, siapa pendengarnya bila diucapkan dan lain-lain. Oleh sebab

itulah maka ahli wacana menagalisis kalimat-kalimat itu dengan menganalisis

konteksnya lebih dahulu. Ahli analisis wacana memeprlakukan datanya sebagai

teks yang berada dalam satu konteks.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 12: modul analisa wacana

Dalam salah satu tulisannya, “Topics ini Lexical Semantics,” Fillmore

(1997:19) mengemukakan :

The task is to determine what we can know about the meaning and context of

an utterance given only the knowledge that the unterance has occurred…I

find that whenever I notice some sentences in context, immediately find

myself asking what the effect would have been in the context had been

slightly different.

Berdasarkan pernyataan Fillmore di atas kita ketahui betapa pentingnya

konteks itu untuk menentukan makna suatu ujaran. Dan bila konteks berubah

maka berubah pulalah makna itu.

Pada dasarnya, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat

macam, yaitu : (1) konteks fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya

pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam

peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam

peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis (epistemic context) atau latar

belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun

pendengae; (3) konteks linguistik (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-

kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu

dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context) yaitu relasi

sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur)

dengan pendengar (Syafi’ie, 1990, dalam Lubis, 1993:58). Keempat konteks

tersebut jelas mempengaruhi kelancaran komunikasi.

Untuk memperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan konteks, kita

bisa perhatikan contoh berikut :

2. Dengan pemogokan kami yang hanya tiga jam itu, telah menyebabkan

majikan menyetujui tuntutan butuh, dengan mengeluarkan ketua cabang dari

perusahaan. Kurasa majikan tidak rugi apa-apa.

3. Ketua berhenti atau tidak, tak ada arti apa-apa bagi majikan. Itulah

dampaknya yang kulihat. Tinggal sekarang organisasi harus mencari ketua

baru yang tak dapatb disuap. Siap yang akan dicalonkan dan bagaimana

caranya aku belum tahu.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 13: modul analisa wacana

4. Hanya kata Otong, anggota-anggota mencalonkan ketua ranting, Masrun

menjadi ketua cabang, sebab dia benar-benar akan membela kepentingan

buruh. Dan Otong akan menggantikan sebagai ketua ranting.

Dalam teks kedua, banyak yang tidak kita pahami jika tidak ada teks

pertama. Kata ‘ketua’ pada teks itu tidak jelas. Begitu pula kata ‘majikan’,

organisasi. Makna dan apa yang jadi referensi dari kata-kata itu kita ketahui

apabila kita baca teks pertama. Ketua yang dimaksud adalah ketua cabang,

majikan adalah majikan buruh-buruh itu, dan organisasi tentulah organisasi

buruh-buruh itu juga.

Demikian pula di teks ketiga. Kata-kata anggota, ketua ranting, ketua cabang,

buruh, akan jelas referensinya kalau kit abaca teks sebelumnya. Kata anggota

pada teks ini adalah anggota organisasi buruh itu; ketua ranting adalah ketua

ranting organisasi mereka; dan demikian pula ketua cabang ketua cabang

organisasi buruh itu.

C. Pokok-Pokok Pikiran Roger Fowler tentang Wacana

Pikiran-pikiran Roger Fowler dalam analisis wacana ditandai dengan

diterbitkannya buku Language and Control (1979) yang menjadi tonggak

munculnya pendekatan critical linguistic yang memandang bahasa sebagai

praktik social, yang dengannya sebuah kelompok memantapkan dan

menyebarkan ideologynya. Fowler dan teman-temannya (Robert Hodge, Gunter

Kress, dan Tony Trew) melihat tata bahasa atau grammar tertentu dalam pilihan

kosakata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu pula.

Analisis yang dibangun oleh Fowler dkk berpijak pada penjelasan Halliday

mengenai srtruktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa ini menjadi

dasar struktur bahasa, di mana tata bahasa menyediakan alat untuk

dikomunikasikan kepada khalayak.

Fowler dkk meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannya untuk mengetahui

prektik ideologi.

Elemen-elemen yang Dipelajari Fowler A. Kosakata

Roger Fowler mamandang bahasa sebagai system klasifikasi. Bahasa

menggambarkan bagaimana dunia dilihat, memberikan kemungkinan kepada

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 14: modul analisa wacana

seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitis sosial.

Namun, system klarifikasi ini berbeda-beda antara seseorang atau satu

kelompok dan kelompok lain, sebab masing-masing kelompok memiliki

pengalaman budaya, sosial, dan polkitik yang berbeda-beda. Keberbedaan

pengalaman itu dapat dilihat dari bahasa yang dipakai, yang menggambarkan

pertarungan sosial yang terjadi. Arti penting klarifikasi ini dapat dilihat dari

bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dibahasakan dengan bahasa

yang berbeda. Misalnya, perkosaan dapat dikatakan sebagai memperkosa,

meniduri, menggagahi, memerawani, dan sebagainya. Di sini peryang sama

dibahasakan secara berbeda. Kata-kata yang berbeda itu tidak dipandang

secara teknis, tetapi sebagai sebuah praktik ideology tertentu. Tentu saja, ketika

diterima khalayak, bahasa yang berbeda itu akan menghasilkan realitas yang

berbeda pula. Intinya : bahasa menyediakan alat bagaimana realitas itu harus

dipahami oleh khalayak.

1. Kosakata : membuat Kalsifikasi Klasifikasi terjadi karena realitias begitu komplek, sehingga orang

membuat penyederhanaan dan abstraksi dari realitas. Realitas tersebut bukan

hanya dapat dikenali, melainkan pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan

yang lain. Klasifikasi menyediakan asrena untuk mengontrol informasi dan

pengalaman. Contoh : tindakan pasukan Interfet ketika berada di Timor Timur

yang memborgol, menodong, dan menggeledah penduduk yang dicurigai

sebagai milisi. Jika diklarifikasikan, maka contoh ini akan menjelaskan

bagaimana bahasa menghasilkan realitas yang dipahami.

Klasifikasi (Anti-Interfet) Klasifikasi (Pro-Interfet) Masalah dalam negeri Masalah internasional Intervensi, konspirasi internasional Bantuan kemanusiaan Menambah kekerasaan Menghentikan kekerasan Nasionalisme Hak asasi manusia, hukum internasional,

nilai kemanusiaan

2. Kosakata : Membatasi PandanganMenurut Fowler dkk bahasa pada dasarnya bersifat membatasi kita diajak

untuk memehami ”yang seperti itu”, bukan yang lain. Klasifikasi menyediakan

arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Kosakat berpengaruh

terhadap bagaimana kita memahani dan memaknai sebuah peristiwa. Hal ini

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 15: modul analisa wacana

karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti sebuah peristiwa secara

langsung. Oleh karena nitu, ketika membaca sebuah kosakata tertentu, kita akan

dihubungkan dengan realitas tertentu. Cont\oh : kasus Tobelo, Galela, dan

Jailolo (Maluku). Sekitar 20 ribu warga Kristen menyerang 3 kecamatan : Tobelo,

Galela dan Jailolo yang dihuni oleh 7.000 jiwa. Total korban dari peristiwa ini

konon mencapai 3.000 jiwa.

Klarifikasi oleh media (Republika, Suara Pembaruan, dan Kompas) atas

kasus itu terlihat dalam tabel berikut ini :

Kosakata Perang(Republika)

Kosakata Penghalusan(Suara Pembaruan dan Kompas)

Perang, pembunuhan, pembantaian, pembasmian, pertempuran, pembumihangusan, pembersihan

Tragedi, insiden, masalah

Perang antara Islam dan Kristen, pertempuran antara laskar Islam dan Kristen, pembantaian pasukan Kristen terhadap mujahidin Islam

Kerusuhan berbau SARA, konflik berbau SARA, pertikaian bernuansa SARA, pertikaian antar agama

3. Kosakata : Pertarungan Wacana Menurut Fowler, kosakata juga dapat dipahami dalam konteks

pertarungan wacana. Dalam sebuah pemberitahuan, setiap pihak mempunyai

versi atau pendapat sendiri-sendiri atas sebuah masalah. Mereka mempunyai

klaim kebenaran, dasar pembenaran, dan penjelas mengenai sebuah masalah.

Mereka bukan hanya mempunyai versi yang berdeda, tetapi juga berusaha agar

versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam

mempengaruhi opini publik. Untuk itu, masing-masing pihak menggunakan

kosakata sendiri dan berusaha memaskakan agar kosakata itulah yang lebih

diterima oleh publik. Contoh : konflik antara TNI dan GAM yang terjadi selama 3

bulan, dari 1 Mei sampai 31 Juli 1999. masing-masing pihak memiliki gambaran

yang berbeda mengenai kasus tersebut. Berikut ini tabelnya :

PERISTIWA VERSI MILITER VERSI GAMKreung Geukuh Militer terpaksa

melakukan penembakan karena massa yang telah diprovokasi GAM hendak menyerang Detasemen Rudal 001. Akibat bentrok antara massa dan militer,

Tidak ada konrak dalam peristiwa tersebut. Mliliter secara membabibuta melakukan penembakana ke arah massa. Akibatnya, sebanyak 31 masyarakat

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 16: modul analisa wacana

31 orang tewas. tewas.Pulo Rungkem Kelompok tak dikenal,

yang diidentifikasikan sebagai GAM, secara membabibuta menyerang dan melemparkan granat ke Detasemen Rudal 001

Pelemparan granat itu dilakukan sendiri oleh militer untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus Kreung Geukuh. Terbukti tidak ada kerusakan serius

Peudada Kelompok GAM menyerang dan mengabisi bukan saja tentara tapi juga tenaga medis yang mengemban misi kemanusiaan

Militer secara sengaja melakukan tenaga medis sdebagai tameng dan pelindung kalau-kalau diserang kelompok GAM.

Alue Nireh Truk TNI yang beriringan diserang kelompok GAM. Militer membalas tembakan tetapi yang tertembak justru 5 masyarakat yang kebetulan berada di lokasi kejadian

Truk yang ditumpangi TNI benyak meletus. Anggota TNI mengira ada serangan mendadak, secara reflek melepaskan tembakan. Akibat salah sasaran tembak menyebabkan 5 masyarakat tewas.

Rheung Kreung Truk militer yang sedang dalam perjalanan pulang ke markas, diberondong tembakan GAM, akibatnya 5 orang anggotanya tewas.

Granat yang di pakai militer meledak sendiri, mengakibatkan 5 orang militer tewas.

Bantaqiah Militer menyerbu markas Bantaqiah karena di sana tersimpan ratusan senjata, salah satu markas GAM, dan terdapat usaha penanaman ganja. Dalam sebuah pertempuran, 51 orang tewas.

Kelompok Bantaqiah hanya perkumpulan pengajian biasa, dan tidak ada senjata. Ketika menewaskan 51 orang pengikut Bantaqiah, tidak terjadi pertempuran atau perlawanan dari kelompok Bantaqiah.

Media memaknai peristiwa-peristiwa tersebut secara berbeda, seperti dalam tabel berikut ini:

KOSAKATA MILITER KOSAKATA GAMkontak senjata pembantaianbaku tembak pembunuhanBentrok kekerasanKerusuhan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 17: modul analisa wacana

4. Kosakata: marjinalisasi

Roger Fowler dkk mendasari argumennya pada pilihan linguistik tertentu

kata, kalimat, proposisi membawa nilai ideologis tertentu. Kata dipandang bukan

sebagai sesuatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Di sini,

pemakaian kata, kalimat, susuna, dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak

dipandang semata-mata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik,

tetapi ekspresi dari ideologi: upaya untuk membentuk pendapat umum,

meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain.

Contoh: berita mengenai perkosaan dapat digambarkan dengan pilihan kosakata

berikut:

AKTOR PERISTIWA AKTORSeorang gadis Diperkosa Oleh pemudaSeorang wanita Digagahi PemudaGadis kecil Dinodai PemudaGadis SMA Diperawani Seorang pengangguran

Ayah kandungnyaSeorang anak Disetubuhi

Aktor(korban)

KeteranganAktor(korban)

Peristiwa Aktor (pelaku) KeteranganAktor (pelaku)

Gadis Cantik Diperkosa Pemuda PengangguranSeorang wanita Yang bekerja di

barDigagahi Pemuda Yang sedang

mabukGadis kecil Yang masih

ingusanDinodai Pemuda Dari keluarga

broken homeGadis SMA Yang sering

keluar malamDiperawani Laki-laki Tak dikenal

Seroang anak Yang montok Disetubuhi Ayahnyasendiri

Yang barebercerai

Peristiwa, pemerkosaan dapat dibahasakan dengan pilihan kosakata

yang beraneka, baik dari korban (wanita), pelaku (laki-laki) maupun dari peristiwa

pemerkosaan (event). Pilihan kosakata itu sangat berkaitan dengan ideologi,

dalam arti bagaimana laki-laki dan wanita direpresentasikan dalam teks. Dengan

memberikan penamaan wanita dengan sebutan seperti "gadis penjaga bar",

kalimat secara tidak langsung mengasosiasikan bahwa wanita tersebut bukan

wanita baik-baik, sehingga tidak aneh jika diperkosa. Penamaan semacam itu

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 18: modul analisa wacana

bukan hanya "membenarkan" tindak pemerkosaan tetapi juga memberi asosiasi

yang buruk. Apakah kalau ia penjaga bar maka ia pasti wanita tidak baik? Kalau

ya, apakah karena itu ia bisa diperkosa?pemakaian kata inisecara tidak langsung

menunjukkan bagaimana penggambaran itu menyudutkan wanita sebagai korban

kekerasan.

B. Tata BahasaRoger fowler memandang bahwa bahasa sebagai salah satu set kategori

dan proses. Kategori yang penting disebut sebagai "model" yang

menggambarkan hubungan antara objek dan peristiwa. Secara umum ada tidak

model yang diperkenalkan oleh Fowler. Pertama, model transitif Model ini

berhubungan dengan proses, yakni melihat bagian mana yang dianggap sebagai

penyebab sebuah tindakan, dan bagian lain sebagai akibat dari sebuah tindakan.

Model transitif dipakai untuk menunjukkan tindakan yang dilihat sebagai

dilakukan oleh aktor melalu sebuah proses yang ditunjukkan oleh kata kerja

(verba). Misalnya kalimat "Polisi memukul mahasiswa". Model kedua, intransitif.

Dalam model ini seorang aktor dihubungkan dengan sebuah proses tetapi tanpa

menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. Misalnya:

"polisi berlari" atau "polisi menembak". Ketiga, model relasional. Model ini

menggambarkan hubungan dua entitas/bagian. Hubungan tersebut bisa berupa

ekuatif, yakni hubungan antara sama-sama kata benda. Misalnya dalam kalimat

"korban polisi tersebut adalah seorang ayah dari 1 anak". Hubungan itu bisa juga

atributif, yakni kata benda dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan

sebuah kualitas atau penilaian tertentu. Misalnya kalimat "polisi itu sangat

garang". Fowler menyebut ketiga model tersebut sebagai model sintagmatik.

Model ini digambarkan sebagai berikut:

Aksional Transitif Intransitif

Relasional Ekuatif Atributif

Salah satu aspek penting dan khas dari pemikiran Roger Fowler dkk

adalah tranformasi. Tata kalimat tersebut bukan sesuatu yang baku, tetapi dapat

diubah susunannya, dipertukarkan, dihilangkan, ditambah, dan dikombinasikan

dengan kalimat lain dan disusun ulang. Perubahan-perubahan itu bukan hanya

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 19: modul analisa wacana

mengubah struktur kalimat tetapi juga bisa mengubah makna dari bahasa yang

digunakan secara keseluruhan. Salah satu tipe transformasi itu adalah pasivasi,

yakni mengubah tata susunan kalimat dari bentuk aktif menjadi pasif.

Aktif Seorang ayah memerkosa anak gadisnya sendiri yang baru berusia 12 tahun.

Pasif Seorang anak gadis yang baru berusia 12 tahun diperkosa oleh ayahnya sendiri.

Tipe transformasi lainnya adalah nominalisasi, yaitu ketika kalimat atau

bagian dari kalimat, gambaran dari sebuah tindakan atau partisipan dibentuk

dalam kata benda, umumnya mengubah kata kerja (verba) ke dalam kata benda

(nomina).

Verba Seorang ayah memerkosa anak gadisnya sendiri yang baru berusia 12TahunNominalisasi Pemerkosaan menimpa anak gadis yang baru berusia 12 tahun.

1. Efek bentuk kalimat pasif: penghilangan pelakuTata bahasa bukan hanya berhubungan dengan persoalan teknis

kebahasaan, juga bukan melulu persoalan cara menulis, karena bentuk kalimat

menentukan makna yang dihasilkan oleh susunan kalimat tersebut. Ada dua

bentuk kalimat: kalimat aktif dan kalimat pasif. Dalam kalimat aktif yang

ditekankan adalah subjek pelaku, sedangkan dalam kalimat pasif yang

ditekankan adalah sasaran pelaku atau tindakan. Contoh: peristiwa demonstrasi

di depan Gedung DPR/MPR, polisi menembak 5 orang mahasiswa. Dalam

kalimat aktif, peristiwa itu dibahasan sebagai berikut:

polisi menembak 5 orang mahasiswa Dalam demonstrasidi depan gedungDPR kemarin

Subjek (Pelaku) Predikat Objek (Sasaran) Keterangan

Dalam kalimat pasif, peristiwa itu dapat dibahasakan sebagai berikut:

Dalam demonstrasidi depan gedung

5 orang mahasiswa Ditembak ...

DPR kemarin

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 20: modul analisa wacana

Keterangan(sasaran)

Subjek Predikat Pelaku

Dalam demonstrasidi depan gedung

5 orang mahasiwa Tertembak ...

DPR kemarinKeterangan Subjek (sasaran) Predikat PelakuDalam demonstrasidi depan gedung

5 orang mahasiwa Kena tembak

DPR kemarin

Keterangan(sasaran)

Subjek Predikat Pelaku

1. Efek nominalisasi: penghilangan pelakuNominalisasi dapat menghilangkan subjek pelaku karena dalam bentuk

nominal bukan lagi kegiatan/tindakan yang ditekankan, tetapi sebuah peristiwa.

Kalimat kasus di atas hanya menunjukkan bahwa ada peristiwa penembakan

dalam demonstrasi di depan gedung DPR.

Dalam demonstrasi di depan gedung

polisi menembak 4 orang mahasiswa

DPR kemarin

Keterangan Subjek (sasaran) Predikat Objek (pelaku)

Dalam demonstrasi didepan gedung

4 orangmahasiswa

mengalami penembakan ...

DPR kemarin

Keterangan(sasaran)

Subjek Predikat Keterangan Pelaku

Titik perhatian utama Roger Fowler dkk adalah representasi, yaitu

bagaiman kelompok, seseorang, kegiatan, atau peristiwa tertentu ditampilkan

dalam wacana publik. Proses representasi selalu melalui medium (umumnya

bahasa) yang terutama digunakan untuk melakukan representasi. Yang menjadi

fokus utama di sini bukan bias atau distorsi dari pemakaian bahasa, tetapi

bagaimana pemakaian bahasa tertentu tidak objektif dan membawa nilai

ideologis tertentu.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 21: modul analisa wacana

C. Kerangka Analisis

Dalam memakai model analisis Roger Fowler dkk, yang harus

diperhatikan pertama kali adalah bahasa yang digunakan oleh media bukanlah

sesuatu yang netral, tetapi mempunyai aspek atau nilai ideologis tertentu.

Permasalahan pentingnya adalah bagaimana realitas itu dibahasakan oleh

media. Realitas itu bisa berarti bagaimana peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat

dalam peristiwa itu direpresentasikan dalam pemberitaan melalui bahasa yang

dipakai.

Roger Fowler dkk ingin menggambarkan teks berita dalam rangkaian

bagaimana dia ditampilkan dalam bahasa, dan bagaimana bahasa yang dipakai

itu membawa konsekuensi tertentu ketika diterima oleh khalayak. Fowler

memperhatikan konteks sejarah teks. Bahasa dipahami sebagai perangkat

sistem abstrak menuju interaksi antara bahasa dan konteks.

D. Analisis Wacana Model van Dijk

Menurut Teun A. van Dijk, penelitian atas wacana tidak hanya didasarkan

pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi

yang harus diamati. Model van Dijk, melihat suatu wacana terdiri atas berbagai

struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung dan

membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu:

1. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang

dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks.

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan

elemen wacana disusun dalam teks secara utuh.

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan

menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang

dipakai dan sebagainya.

Jadi fokus penelitian wacana analisis yang dilakukan penulis adalah

menelaah mengenai aneka fungsi ( pragmatik ) bahasa yang juga mencakup

struktur pesan yang terdapat pada pemberitaan kasus suap Irawady Joenoes

dalam program berita seputar Indonesia.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 22: modul analisa wacana

Struktur pesan atau wacana dengan menggunakan model van Dijk antara

lain, yaitu:

1. Tematik

Secara harafiah tema berarti " sesuatu yang telah diuraikan ", tetapi

jika dilihat dari sudut sebuah tulisan yang telah selesai, tema adalah

suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui

tulisannya.

2. Skematik

Menggambarkan bentuk umum dari suatu teks. Skematik adalah

strategi wartawan untuk mendukung tema atau topik tertentu yang

ingin disampaikan dengan menyusun bagian - bagian dengan urut -

urutan tertentu, mana yang harus didahulukan dan bagian mana yang

bisa kemudian dengan maksud untuk menyembunyikan informasi

penting.

3. Semantik

Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan

lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Semantik

dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal ( local

meaning ), yakni makna yang muncul dari hubungan antar kalimat,

hubungan antar proposisi yang menbangun makna tertentu dalam

suatu bangunan teks. Dengan kata lain semantik tidak hanya

mendefinisikan bagian mana yang terpenting dari struktur wacana

tetapi juga menggiring kearah sisi tertentu dari sebuah peristiwa.

4. Sintaksis

Strategi untuk menampilkan salah satu hal secara positif dan hal lain

secara negatif dengan menggunakan pemakaian kata, aturan tata

kata, penggunaan kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat,

pemakaian kalimat kompleks dan sebagainya.

5. Stilistik

Cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk

menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai

sarana atau gaga bahasa. Gaya bahasa mencakup diksi atau

pemilihan leksikal, struktur kalimat, majas, dan citraan.

6. Retoris

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA

Page 23: modul analisa wacana

Gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis

misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan maknanya

(hiperbolik) atau bertele - tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif

dan berhubungan erat dengan bagaimana peran itu ingin disampaikan

kepada khalayak.

Struktur pesan/wacana yang dikemukakan van Dijk dapat digambarkan

seperti berikut:

Tabel Pendekatan Model van Dijk

Struktur Wacana. Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro TEMATIK Topik( Apa yang dikatakan? )

Superstruktur SKEMATIK Skema( Bagaimana pendapatdisusun dan dirangkai? )

Struktur Mikro SEMANTIK( Makna apa yang inginditekankan dalam teksberita? )

Latar, detail, maksud,praangapan

Struktur MikroSfNTAKSIS( Bagaimana pendapatdisampaikan? )

Bentuk kalimat,koherensi, kata ganti

Struktur Mikro STILISTIK Leksikon( Pilihan kata apa yangdipakai? )

Struktur Mikro RETORIS Metafora, gaya bahasa( Bagaimana dan dengancara apa penekanandilakukan?

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraISTUDI MEDIA