modul 1 eselon 2 akip

Upload: ananta212

Post on 07-Jul-2015

311 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Modul Kebijakan dan Pemantapan Praktek Akuntabilitas Dalam Sektor Publik

Diklat Teknis Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah(Accountability Of Government Institutional Performance)

Eselon II

SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di bidang diklat aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat. Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan (SCBDP), telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan daerah seperti peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan SDM melalui penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan, perencanaan berkelanjutan dan sebagainya. Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul diklatnya melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh empat) modul jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based training. Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang cukup panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil dari berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah yang menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai media, bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor, perguruan tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan tenaga ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung dalam anggota Technical Review Panel (TRP). Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer. Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelatihan di daerah masing-masing.

i

Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan modul diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai sumber daya di daerahnya masing-masing. Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara berkelanjutan. Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan kebijakan nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik kepada masyarakat dapat terwujud secara nyata.

ii

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH

Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai. Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional. Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah sebagai Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program peningkatan kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for Decentralization/ SCBD Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan pembiayaan bersama dari Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan dari Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan kontribusi masing-masing daerah. Proyek SCBD ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam aspek sistem, kelembagaan dan individu SDM aparatur Pemerintah Daerah melalui penyusunan dan implementasi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (Capacity Building Action Plan/CBAP).

iii

Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS. Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri. Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspekaspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber. Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan. Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada masyarakat semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai dengan lebih baik lagi.

iv

DAFTAR ISI

Sambutan Deputy IV - LAN........................................................................................... i Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri ................................................iii Daftar Isi ........................................................................................................................ v BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................... 1 A. Deskripsi Singkat ..................................................................................... 1 B. Hasil Belajar............................................................................................. 1 C. Indikator Hasil Belajar ............................................................................. 2 D. Pokok Bahasan ......................................................................................... 2 BAB II GOOD GOVERNANCE DAN AKUNTABILITAS SEKTOR PUBLIK......................................................................................................... 3 A. Revolusi Manajemen Publik .................................................................... 3 B. Pergeseran Paradigma New Public Management Ke Governance .............................................................................................. 6 C. Karakteristik Good Governance............................................................... 9 D. Konsep Akuntabilitas ............................................................................. 12 E. Latihan.................................................................................................... 16 F. Rangkuman............................................................................................. 16 BAB III STRATEGI AKUNTABILITAS MONITORING, CONTROL, AUDIT DAN EVALUASI.......................................................................... 18 A. Monitoring, Pengendalian, Audit Dan Evaluasi..................................... 18 B. Akuntabilitas Keuangan Dan Kinerja Pada Sektor Publik................ 221 C. Latihan.................................................................................................... 23 D. Rangkuman............................................................................................. 24 BAB IV AKUNTABILITAS PUBLIK KEBIJAKAN DAN PRAKTEKNYA DI INDONESIA ............................................................ 25 A. Kebijakan Akuntabilitas Di Indonesia. .................................................. 25 B. Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Di Indonesia. ............................................................................................... 32

v

C. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) ................. 45 D. Latihan.................................................................................................... 50 E. Rangkuman............................................................................................. 51 Daftar Pustaka

vi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Deskripsi Singkat Good Governance (GG) sebagai salah satu strategi dalam meningkatkan kinerja pemerintahan telah merubah paradigma manajemen sektor publik. Jika paradigma New Public Management (NPM) yang menjadi tonggak penting dalam reformasi manajemen publik memberikan penekanan pada hubungan antara negara/state dengan pasar/market, paradigma Good Governance melengkapi paradigma tersebut dengan memperbaharui bentuk dan mekanisme hubungan antara negara dengan warga negaranya. Salah satu karakteristik penting dalam konsep Good Governance adalah akuntabilitas. Ide dasar akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau organisasi atau penerima amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang memberikan amanat atau mandat tersebut. Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan. Akuntabilitas ini tidak dapat berjalan efektif tanpa adanya transparansi dan aturan hukum yang jelas, sehingga dalam pengembangan akuntabilitas dibutuhkan suatu mekanisme dan peraturan yang jelas. Transparansi dan dasar hukum yang jelas akan memperjelas posisi masing-masing pihak dalam akuntabilitas. Peraturan atau kebijakan merupakan dasar hukum yang kuat sebagai landasan dalam pelaksanaan kewenangan bagi seseorang dalam pelaksanaan mandat, sedangkan masyarakat dapat menggunakan peraturan sebagai dasar dalam mengontrol dan memonitor penggunaan wewenang yang mereka berikan pada seseorang/organisasi. Menyadari posisi penting mekanisme dan peraturan, modul ini juga akan membahas berbagai mekanisme akuntabilitas yang dapat diterapkan pada sektor publik. Selain tataran konsep mengenai mekanisme akuntabilitas, modul ini juga akan dilengkapi dengan berbagai contoh dan aplikasi mekanisme di atas. Secara specifik, modul ini juga akan membahas berbagai kebijakan yang mengatur tentang akuntabilitas instansi pemerintah di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai mekanisme dan metode pertanggungjawaban akuntabilitas. B. Hasil Belajar Setelah mengikuti mata ajar ini, peserta (Pejabat Eselon II) diharapkan mampu menjelaskan dan menganalisis berbagai konsep Good Governance, akuntabilitas, kebijakan dan aplikasi umum akuntabilitas di Indonesia serta mampu mendisain mekanisme akuntabilitas di instansi masing-masing dalam menciptakan kepemerintahan yang akuntabel.

1

2

C. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta mampu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menjelaskan Konsep Good Governance (GG). Menjelaskan Konsep Akuntabilitas. Menganalisis isi konsep GG dan akuntabilitas sehingga memahami konsep tersebut. Menjelaskan Strategi Akuntabilitas dalam Sektor Publik. Menganalisis isi Strategi Akuntabilitas sehingga memahami konsep tersebut. Familiar dengan Kebijakan tentang Akuntabilitas di Indonesia dan gambaran aplikasinya. Mampu mendisain strategi aplikasi Akuntabilitas di instansi masing-masing.

D. Pokok Bahasan Pokok Bahasan dalam Modul ini meliputi: 1. 2. 3. Good Governance dan Akuntabilitas bagi Sektor Publik. Strategi Akuntabilitas: Monitoring, Control, Audit dan Evaluasi. Akuntabilitas Publik di Indonesia: Kebijakan dan Prakteknya.

BAB II GOOD GOVERNANCE DAN AKUNTABILITAS SEKTOR PUBLIK

Kompetensi standar yang ingin dicapai pada Bab ini adalah: 1. Peserta mampu menjelaskan Konsep Good Governance (GG). 2. Peserta mampu menjelaskan Konsep Akuntabilitas. 3. Peserta mampu menganalisis isi konsep GG dan akuntabilitas sehingga memahami konsep tersebut.

A. Revolusi Manajemen Publik Dalam perkembangannya manajemen sektor publik telah mengalami transformasi besar-besaran pada pertengahan 1980-an. Perubahan yang terjadi ini diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan sebagai gantinya telah dikembangakan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar (Hughes, 1998, p i). Kekakuan model birokrasi Max Weber diyakini tidak mampu untuk mengikuti berbagai perkembangan, tuntutan masyarakat dan lingkungan. Sebagai akibatnya birokrasi pemerintah dianggap sebagai pihak yang menghalangi pembangunan dan tidak tanggap terhadap berbagai tuntutan masyarakat. Dalam paradigma baru, birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masayarakat dan perubahan lingkungan. Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada sektor publik sehingga dalam perkembangannya pendekatan tradisional dalam administrasi publik telah ditinggalkan dalam praktek penyelengaaraan pemerintahan, dan sebagai gantinya terjadi adopsi besar-besaran new public management (NPM). Perubahan ini bukan perubahan sederhana dalam management style dalam administrasi publik, tapi perubahan ini merupakan perubahan peranan pemerintah dalam masyarakat/society dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya/citizenry. Paradigma baru ini merupakan tantangan langsung atas berbagai fungsi prinsip administrasi publik yang telah diyakini sebagai paradigma terpenting selama hampir 20 abad. Minogue et. al (1998, pp. 2-4) telah mengelompokkan perubahan ide tentang administrasi publik dan manajemen ke dalam dua kelompok yaitu: orthodox forms of analysis/classic bureaucracy theory dan public policy and public management perspectives. Perbedaan pokok kedua konsep itu terletak pada perbedaan cara pandang terhadap fungsi dan peranan administrasi publik yang dilandasi oleh perbedaan karakteristik dalam menganalisa sektor publik dengan segala aktivitas, struktur organisasi dan prosesnya. Classic bureaucracy theory yang diperkenalkan oleh sosiolog Jerman, Max Weber, menempatkan organisasi pemerintah atau adminsitrasi publik sebagai institusi yang memfokuskan pada struktur formal dan peran institusi pemerintah.

3

4 Dari sudut pandang paradigma ini, pemerintah harus mengorganisir dirinya berdasarkan hirarki dan struktur birokrasi yang ada dalam organisasi pemerintah. Di sebutkan bahwa ketaatan terhadap prinsip-prinsip hirarki dan birokrasi merupakan cara terbaik dalam mengorganisir pemerintah. Dalam konsep ini, garis otoritas mengalir dari atas ke bawah dan garis akuntabilitas mengalir dari bawah ke atas. Prinsip lain dalam teori klasik ini adalah jika pemerintah terlibat dalam penyusunan kebijaksanaan, maka sebagai konsekuensinya instansi pemerintah ini juga yang akan menjadi penyelenggara dan provider barang dan jasa bagi masyarakat (Hughes 1998, p i). Pemerintah adalah aktor utama yang terlibat langsung dalam pelayanan publik (baik dalam bidang jasa maupun barang). Karakteristik lain yang tidak kalah pentingnya yang dianut oleh penyokong teori ini adalah konsep pemisahan administrasi dan politik. Politik (political leadership) adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijaksanaan dan strategi, sedangkan pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan/instructions adalah administrator. Dan untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif untuk terciptanya accountability, administrasi publik harus dibuat birokrat yang professional, di rekrut untuk seumur hidup untuk menjamin loyalitas, dan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan keinginan political master. Berbagai prinsip tersebut di atas telah di tantang oleh perspektif public policy dan public management. Dari sudut pandang paradigma ini, birokrat dan pemerintah bukanlah satu-satunya provider barang dan jasa masyarakat. Perspektif ini menempatkan organisasi swasta sebagai mitra pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan publik. Daripada terlibat langsung dalam menyediakan berbagai barang dan jasa, pemerintah memfasilitasi kebutuhan masyarakatnya melalui subsidi, pengaturan perundangan dan kontrak. Karena mekanisme akuntabilitas akan berjalan dengan baik jika birokrat dipisahkan dari masyarakat (Hughes 1998, p 2). Keterbukaan pemerintah juga ditekankan dalam paradigma baru ini, hal ini ditunjukkan dengan diadopsinya berbagai prinsip dan sistem manajemen sektor swasta kedalam sektor publik untuk memperbaiki kinerja birokrasi. Berbagai perubahan prinsip dapat juga dilihat pada paradigma baru administrasi publik, seperti acuan pendekatan yang diberikan oleh perspektif public policy yang memfokuskan pada proses kebijakan (yang meliputi berbagai aktivitas dan tindakan pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya) yaitu: 1. 2. 3. Konteks politik dalam pelaksanaan administrasi publik Organisasi dan personel yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan Kesuksesan, kegagalan, dan pentingnya suatu kebijaksanaan, dan sebagai akibatnya kelompok ini selalu menghubungkan implementasi dengan hasilnya

5 4. Konsep pokok negara sangat penting untuk menganalisa bentuk hubungan antara sistem administrasi dan politik, dan juga antara sistem politik, ekonomi dan masyarakat (Minogue 1998, p. 3).

Yang tidak kalah penting dari paradigma administrasi publik yang baru adalah perkembangan konsep public management. Pada awal tahun 1990-an telah berkembang konsep neo-classical economic principle yang juga dikenal dengan public management yang mengkritik ukuran (size), fungsi dan struktur sektor publik. Public management perspektif berpendapat bahwa sektor publik telah gagal dalam fungsinya sebagai agen pembangunan bahkan keberadaan sektor publik dianggap sebagai rintangan dalam pembangunan dengan birokrasinya. Akhirnya kelompok ini berpendapat bahwa sektor swasta adalah pihak atau agen yang memiliki kemampuan manajerial dan flesibilitas untuk mengelola berbagai kegiatan, aktifitas, penyedia barang dan jasa yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah. Dalam label public manajement ini terjadi perubahan besar-besaran dalam formasi tugas pemerintah karena banyak tugas pemerintah yang diprivatisasikan (di alihkan pada sektor swasta). Dalam perkembangannya, model baru dalam manajemen sektor publik telah berkembang dan diadopsi oleh berbagai negara, terutama negara-negara maju (Farnham dan Horton, 1996). Sehingga muncul berbagai istilah seperti managerialism (Pollit, 1993); new public management (Hood, 1991); marketbased public administration (Lan, Zhiyong dan Rosenbloom, 1992); the postbureaucratic paradigm (Barzelay, 1992), dan juga entrepreneurial government (Osborne dan Gaebler, 1992) (Hughes 1998, p 2). Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah untuk model baru manajemen sektor publik, semua istilah tersebut menggambarkan fenomena yang sama. Ferlie (dalam Minogue, 19981) mengelompokkan semuanya dalam label New Public Management (NPM) dan membaginya dalam empat model yakni: 1. 2. 3. 4. NPM Model 1: The Efficiency Drive NPM Model 2: Downsizing and Decentralization NPM Model 3: In Search of Excellent NPM Model 4: Public Service Orientation

Keempat model di atas menggambarkan bahwa terjadi perubahan fungsi sektor publik, pemerintah daerah, maupun sektor swasta yang kesemuanya ditujukan untuk pelayanan kepada masyarakat dengan bermuara pada pertimbangan ekonomi dan efisiensi. Untuk mencapai efisiensi, sektor publik dituntut untuk mentransfer berbagai perannya kepada sektor swasta, pemerintahan lokal dianjurkan untuk melakukan berbagai tender dan juga melalukan kompetisi secara bebas dengan sektor swasta, sedangkan perusahaan negara/daerah dituntut untuk mendatangkan profit dengan cara berkompetensi dengan sektor swasta (Minogue, 1998, p. 3). Semua tindakan itu dimaksudkan untuk melayani publik secara lebih baik dan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Dalam pandangan ini dapat

6 dikatakan bahwa label public management lebih dikonotasikan dengan perubahan hubungan antara pemerintah/publik dengan sektor swasta, dalam kerangka hubungan antara negara dengan pasar/market. Dalam mekanisme dan pola hubungan ini akuntailitas yang ada tidak hanya mengalir dari bawah ke atas, dalam arti pegawai secara hirarkis mempertanggungjawabkan kegiatan yang dilakukannya pada pejabat di atasnya, namun pertanggungjawaban juga dilakukan kepada pihak luar (eksternal) organisasi publik (misalnya masyarakat ataupun kepada sektor swasta). Pola hubungan ini semakin memperkuat cakupan administrasi negara yang pada dasarnya mempelajari ilmu manajemen dan kebijakan (publik). Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan publik (public policy) dengan berbagai formasi/tahapnya seperti agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi, evaluasi, perubahan dan penghentian kebijakan merupakan bagian dari ilmu administrasi negara. B. Pergeseran Paradigma New Public Management ke Governance Orientasi privatisasi yang terdapat pada new public management tidak berarti bahwa peran pemerintah berkurang. Peran pemerintah ini dapat berwujud dalam munculnya peranan pengaturan (regulations) terhadap keterlibatan sektor swasta dan juga dalam me-manage respon yang efektif terhadap tuntuntan sosial dan ekonomi masyarakat. World Bank (1997) menyebutkan bahwa meskipun terjadi kecenderungan privatisasi terhadap berbagai kegiatan pemerintah, hal ini tidak berarti bahwa peran pemerintah menjadi berkurang. Peran pemerintah masih sangat penting dalam development management/manajemen pembangunan. Peran pemerintah mungkin akan berkurang dalam central economic direction/arahan dan petunjuk dari pusat pemerintahan, akan tetapi pemerintah masih bertanggung jawab terhadap design/rancangan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik, terutama yang berkaitan dengan transformasi ekonomi, pengurangan kemiskinan, peningkatan kinerja sektor pertanian, ketenagakerjaan, fasilitas sosial dan umum, serta pengelolaan lingkungan hidup (UNDP, 1995). Hal lain yang mendukung bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam pelayanan publik adalah kenyataan bahwa prinsip ekonomi dan efisiensi tidak selau dapat diterapkan pada semua aktivitas pemerintah (misalnya fasilitas sosial dan fasilitas umum). Modern government tidak hanya mencakup efisiensi dan ekonomis, tapi juga merupakan hubungan akuntabilitas antara negara dengan warga negara, dimana warga negara tidak diberlakukan hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai warga negara/citizen yang memiliki hak untuk mendapatkan jaminan atas kebutuhan dasar dan menuntut pemerintah untuk bertanggung-jawab atas berbagai kebijakan yang dilakukan (Minogue, 1998, p 5). Ini merupakan perubahan pandangan dalam manajemen publik dari penekanan pada hubungan antara negara/state dengan pasar/market ke hubungan antara negara dengan warga negaranya, pandangan yang terakhir dikenal dengan governance. Governance atau kepemerintahan diartikan UNDP sebagai:

7 the exercise of political, economic and administrative authority in the management of a countrys affairs at all levelcomprises the complex mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, mediate their differences and exercise legal rights and obligations (UNDP, 1995). Dalam governance berbagai kewenangan baik yang menyangkut tentang politik, ekonomi dan administrasi berinteraksi satu dengan lainnya. Hubungan ini mencakup hubungan yang komplek antar berbagai kewenangan dalam semua level pemerintahan dalam bentuk mekanisme, proses dan pembentukan institusi dimana masyarakat dan kelompok masyarakat dapat menyampaikan keinginan, mengatur berbagai perbedaan, dan juga mendapatkan jaminan hukum (dan pengaturannya). Konsep ini lebih luas dari fungsi dan kapasitas sektor publik, akan tetapi konsep ini berkaitan dengan manajemen proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hubungan semua pihak ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang terpisah melainkan dalam kerangka keterpaduan dan kerja sama (co-arrangement) yang harmonis untuk pencapaian tujuan dan kepentingan bersama. Tujuan interaksi sosial-politik-ekonomi dalam pengertian ini adalah tercapainya suatu keseimbangan dan sinergi dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing-masing institusi dalam satu keselarasan dan keseimbangan/collibration (Dunsire, dikutip di PKKOD, 2001, p 10). Hal senada terungkap dalam definisi governance yang dikeluarkan World Bank yaitu: governance as the traditions and institutions by which authority in a country is exercised for the common good. This includes (I) the process by which those in authority are selected, monitored and replaced, (ii) the capacity of the government to effectively manage its resources and implement sound policies, and (iii) the respect of citizens and the state for the institutions that govern economic and social interactions among them. Bahwa pemegang kewenangan dalam suatu Negara selalu mengusahakan praktekpraktek terbaik dalam semua aspek kegiatan. Cakupan dalam governance juga meliputi proses pemilihan terhadap pemegang kewenangan, monitoring dan pengangkatannya; kapasitas pemerintah untuk mengelola sumber daya secara efektif dan pelaksanaan kebijakan; serta kepercayaan (dan penghormatan/ penghargaan) dari masyarakat dan Negara terhadap institusi yang mengurus ekonomi dan kehidupan social termasuk hubungan diantara mereka. Good Governance pada dasarnya ialah tentang hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.

8

Governance is wider t han government

GOVERNMENT

BUSINESS

CIVIL SOCIETY

Komitmen untuk selalu melaksanakan/praktek-praktek terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan inilah yang kemudian berkembang menjadi Konsep Good Governance. Dasar perkembangn konsep Good Governance adalah Deklarasi Manila pada Bulan Juni Tahun 1988 dalam the First International Conference of New or Restored Democracies. Konferensi digunakan sebagai forum untuk membahas tentang hubungan perdamaian (peace), demokrasi (democracy) dan pembangunan (development). Konferensi ini juga menyepakati 7 (tujuh) karakteristik GG/Kepemerintahan yang Baik yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan tanggap/peka terhadap kebutuhan masyarakat. Komitmen untuk mengembangkan GG ini secara konsisten dibahas dan dipromosikan dalam konferensi-konferensi selanjutnya seperti: 1. the Second International Conference of New or Restored Democracies (Juli Tahun 1994) yang berhasil menghasilkan The Managua Declaration and Plan of Action yang menegaskan perlunya untuk mempromosikan the universal right to democracy and development. the Third International Conference of New or Restored Democracies (September Tahun 1997) yang menghasilkan The Final Document of Bucharest yang membahas hubungan yang erat antara democracy, development and good governance

2.

9 3. Sedangkan pada konferensi yang ke-4 International Conference of New and Restored Democracies yang dilaksanakan di Benin pada Tahun 2000 terdapat beberapa kesepakatan antara lain: penghormatan terhadap political pluralism and the protection of rights and fundamental freedom, partisipasi masyarakat (terutama peran wanita/kesetaraan gender dan kelompok minoritas) dalam proses pengambilan keputusan, penegakan hukum, komitmen untuk melaksanakan GG dan melawan korupsi, kebebasan informasi, penguatan civic education, dan penciptaan civil society yang terorganisir, kuat, dan bebas sebagai elemen dasar demokrasi. Sedangkan The 5th International Conference (Ulan Bator 2003) menyepakati reformasi institusional untuk mencapai tujuan demokrasi; penguatan sistem demokrasi (sistem multi-partai, pengaturan perwakilan dalam parlemem, sistem pemilihan umum dan penguatan sistem demokrasi pada pemerintah daerah); peningkatan partisipasi dari wanita dalam proses pemilihan dan meningkatkan perwakilan wanita dalam semua bidang, termasuk dalam legislatif; jaminan terhadap institusi yang mengkoordinir pelaksanaan pemilihan umum, memonitor pelaksanaan kampanye dan transparansi pemilihan umum; dan menciptakan akses bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.

4.

Berbagai konferensi tersebut memperkuat pelaksanaan dan komitmen berbagai Negara untuk mengembangkan dan menciptakan Good Governance. C. Karakteristik Good Governance Dan dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, kita sering kali mendengar banyak karakteristik dan prinsip tentang GG. Salah satu yang menjadi tonggak adalah karakteristik GG yang dirumuskan pada deklarasi Manila yaitu: 1. Transparan mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan. Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi. Akuntabel dimana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya (stakeholders-nya). Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan. Adil dalam arti terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat.

2.

3.

10 4. Wajar dalam arti jaminan atas pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dan untuk alasan ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan konsistensi pelayanan. Demokratis dalam arti terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum yang bebas, langsung, dan jujur. Partisipatif dalam arti terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan). Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan dengan melibatkan organisasi non-pemerintah. Peran Organisasi non-pemerintah sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metode alternatif pelayanan publik dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat. Tanggap/peka/responsif bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua stakeholders-nya secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat).

5.

6.

7.

Karakteristik GG yang lain ditawarkan oleh UNDP yaitu: 1. Partisipasi: setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif. Aturan hukum (rule of law): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia. Pelaksanakan kepemerintahan yang baik membutuhkan kerangka hukum yang fair dan penegakan hukum dalam pelaksanaan tanpa terkecuali. Hal ini dibutuhkan sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia secara mutlak, terutama untuk kelompok minoritas. Penegakan hukum secara mutlak membutuhkan pengadilan yang independen dan pihak kepolisian yang tidak korupsi. Transparansi: transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi baru harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan informasinya

2.

3.

11 harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. 4. Daya tanggap (responsiveness): setiap isntitusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayanai berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Berorientasi konsensus (consensus orientation): dalam hubungan yang saling melengkapi antara pemerintah-masyarakat-sektor swasta, pemerintah bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. Berkeadilan (equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya. Efektivitas dan efisiensi: setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia. Akuntabilitas: para pengambil keputusan dalam organisasi pemerintah, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau external. Bervisi strategis: para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, cultural, dan komplesitas sosial yang mendasari perspektif mereka.

5.

6.

7.

8.

9.

10. Saling keterkaitan (interrelated): bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya informasi semakin mudah diakses berarti transparensi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektifitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaannya. Dan kelembagaan yang responsive haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan

12 Perundang-undangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan (disadur dari PKKOD-LAN, 2001, pp 11-12). Berdasarkan konsep-konsep di atas, dapat kita lihat bahwa good governance mempunyai tujuan yang lebih dari manajemen yang efisien dan penggunaan resources yang ekonomis. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang kuat, dan juga untuk membuat pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif, akuntable dan demokratis. Akan tetapi konsep good governance jika dikembangkan akan menciptakan modern governance (baik good national governance maupun good local governance) yang handal yang tidak hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga akuntabilitasnya dimata publik. Good Governance Dalam PenelitianKaufmann bersama dengan World Bank pada Tahun 1999 melakukan penelitian dengan menggunakan 300 ukuran pada 160 negara, dan mendapatkan 6 ciri dari Kepemerintahan yang baik (Good Governance), yaitu: mendengarkan/responsif terhadap suara rakyat dan akuntabel, stabilitas politik dan keamanan, efektivitas pemerintahan, mempunyai sifat mengarahkan daripada mengatur, berdasarkan hukum dan korupsi yang rendah. Selain ciri GG, penelitian ini juga memberikan beberapa kesimpulan diantaranya ialah: Pada beberapa negara berkembang dengan tingkat korupsi sangat rendah, standar kehidupan dapat mencapai 300% lebih tinggi daripada negara yang secara signifikan korup. Negara yang memerangi korupsi, akan mendorong peningkatan investasi luar negeri; Melalui upaya yang keras, aksi pemberantasan korupsi akan memperlihatkan kemajuan yang nyata setelah 6 sampai 8 tahun. Kaufmann juga menemukan beberapa keuntungan dalam Kepemerintahan yang Baik yaitu: Kepemerintahan yang baik menghasilkan Good Governance dividend rata-rata 400% dan meningkatkan pendapatan rata-rata masyarakat.; Tingkat kematian bayi berkurang 75%; Pertumbuhan usaha meningkat 3% per tahun.

a. b. c.

Studi lain tentang GG dilakukan oleh Landman. Dengan menggunakan metoda purposive random sampling terhadap para pemimpin (pejabat pemerintah yang menduduki jabatan struktural)., Landman menemukan 5 ciri kepemerintahan yang mendorong terciptanya GG, yaitu: a. b. c. d. Memberikan kebebasan kepada masyarakat. Rendahnya tingkat keterlibatan dalam (kejahatan) politik. Mendapatkan penilaian yang baik dari ahli dan atau lembaga internasional. Mendapatkan hasil pengukuran yang baik tentang GG dari dunia internasional.

Sumber: Russell, 2005, Good Governance and Evident Base.

D. Konsep Akuntabilitas Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi, tapi juga berkaitan dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan publik kepada stakeholder-nya. Ide dasar dari akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau organisasi atau penerima amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang memberikan amanat atau mandat tersebut. Semua unit organisasi, apakah dipilih atau ditunjuk, dikatakan

13 akuntabel ketika mereka mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan semua tindakan/kegiatan yang mereka lakukan, dan menerima sanksi untuk tindakan yang tidak layak (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Konsep dan aplikasi akuntabilitas sebenarnya sudah ada namun seiring dengan perubahan lingkungan tuntutan akuntabilitas menjadi semakin besar. Secara garis besar terdapat 4 model akuntabilitas. Perkembangan model ini lebih banyak dipengaruhi karena perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. 1. Model tradisional Westminster; Model menyebutkan bahwa garis pertanggungjawaban akuntabilitas dari bawah ke atas (hierakhi), dan garis kewenangan (otoritas) dari atas ke bawah atau akuntabilitas Ministerial (simply upward). Model akuntabilitas ini sesuai dengan konsep birokrasi yang diterapkan oleh Weber sehingga disebut juga sebagai administrative accountability. Dalam konsep ini setiap individu memberikan pertanggungjawaban terhadap suatu tugas spesifik yang diberikan kepadanya kepada atasannya secara hirarkis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontrol atasan terhadap kinerja bawahan. 2. Model tradisional yang dikembangkan (upward, inward dan outward); Model ini merupakan pengembangan Model Tradisional Westminster yang memiliki beberapa kelemahan yang antara lain: a. Ide pertanggungjawaban yang menekankan pada penjelasan dan pembenaran atas suatu tindakan dianggap tidak cukup digunakan untuk melihat kinerja suatu tindakan. Hubungan dalam pertanggungjawaban yang bersifat interpersonal. Kontrol yang bersifat Top-down.

b. c.

Dengan berbagai kelemahan tersebut dan tuntutan global yang menuntut transparansi dan kejujuran organisasi pemerintah, maka dikembangkan konsep pertanggungjawaban akuntabilitas yang tidak hanya dari bawah ke atas, tetapi juga bersifat kedalam (perorangan) dan keluar (masyarakat). Dan untuk mendukung akuntabilitas internal dan eksternal ini, pendukung konsep ini menyarankan diciptakannya berbagai mekanisme dan sistem akuntabilitas seperti pengembangan jaminan kebebasan mendapatkan informasi dan pembentukan berbagai lembaga independen yang bertujuan untuk mengontrol kinerja sektor publik seperti ombudsman dan lembaga peradilan yang kuat. 3. Model Stone; Dalam model ini pertanggungjawaban/akuntabilitas dibagi dalam 5 kategori, yaitu: a. Kontrol dari Parlemen (DPR); b. Managerialism;

14 c. d. e. Pengadilan/Lembaga semi peradilan; Perwakilan Masyarakat; Pasar (konsumen-pengusaha).

Hubungan dalam sistem akuntabilitas model ini dapat digambarkan

Kategori Dasar Hubungan Kontrol Parlemen Supervisi/ Komando (DPR) Managerialism Pengadilan/Lembaga Semi Peradilan Perwakilan Masyarakat Pasar

Bentuk Hubungan Atasan-Bawahan

Kontrak Principal-Agent Hak individu Komplain dari responden /Kewajiban secara procedural Perwakilan/Responsif Pemilih Perwakilan Kompetisi/pemenuhan kebutuhan konsumen Konsumen- sektor swasta

Figure by Romzek and Dubnik dalam Stone, 1995.

Lima kategori yang diberikan Romzek and Dubnik di atas memberikan beberapa aspek penting dalam akuntabilitas: a. Akuntabilitas tidak hanya tentang disain institusi secara administratif tetapi juga mencakup berbagai cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan akuntabilitas. Lima konsepsi di atas menawarkan berbagai pengaturan yang komplek dan perubahan signifikan yang kemungkinan memiliki konsekuensi biaya dan juga menimbulkan ke-tidak-konsisten-an/gejolak. Karena institusi dan cara yang dapat digunakan dalam sektor publik untuk mengembangkan akuntabilis sangat kompleks dan bervariasi, maka memunculkan pertanyaan bagaimana kita memilih sistem akuntabilitas yang tepat dari berbagai pilihan yang ada, atau bagaimana mengkombinasikan berbagai sistem tersebut agar dapat berguna dan dapat diterapkan.

b.

c.

4.

Model Jaringan Kerja (Jaringan yang kompleks) Para pihak terkait satu dengan yang lain membentuk suatu jaringan kerja yang kompleks dan saling memberikan kontribusi dan informasi. Model ini menekankan pada pola hubungan yang terjalin dalam suatu kerjasama. Dalam suatu sistem kerjasama, semua pihak yang terkait saling melakukan komunikasi, pemberian informasi dan hubungan kerja yang saling melengkapi untuk mencapai tujuan dari jaringan kerja yang dibuat.

15 Selain model akuntabilitas yang menekankan pada cara dan institusi pendukung dalam pelaksanaan akuntabilitas, pertanyaan lain yang penting adalah tentang mekanisme akuntablitas. Pengembangan Mekanisme akuntabilitas diarahkan untuk: a. b. c. d. e. Kejelasan tugas dan peran Hasil akhir yang speseifik Proses yang transparan Ukuran keberhasilan kinerja Konsultasi dan inspeksi publik.

Mekanisme akuntabilitas juga meliputi aspek yaitu siapa yang harus melakukan akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas ini dilakukan, untuk apa akuntabilitas dilakukan, bagaimana dan prosesnya. Mekanisme akuntablitas ini sangat bervariasi dan sangat ditentukan oleh apakah keputusan atau aktivitas yang dilakukan suatu organisasi mengikat organisasi secara internal atau eksternal. Kepada siapa kita harus bertanggung jawab, tergantung dari siapa kita mendapatkan mandat tersebut dan seberapa besar berbagai tindakan yang kita lakukan mempengaruhi orang lain. Pertanggungjawaban dapat diberikan kepada masyarakat (pelanggan), Pemerintah Pusat dan Daerah (termasuk dalam hal ini Presiden, Menteri, Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Struktural dalam Birokrasi Pemerintah), Organisasi Kemasyarakatan/NGOs, Organisasi pemerintah lainnya misalnya BUMN, lembaga penilai organisasi pulik yang diatur dalam undang-undang. Mulgan, Richard (2003) dalam bukunya Holding Power to Account, membuat matriks mekanisme akuntabilitas pemerintah. Contoh dari matrik yang dikembangkan sebagai berikut:MEKANISME AKUNTABILITAS PEMERINTAH Mekanisme Pemilu Siapa 1. Partai Politik 2. Individu (yang dipilih) 1. Pemerintah 2. Birokrasi Kepada Siapa Pemilih Untuk Apa Bagaimana Prosesnya bagaimanaDiskusi Amandemen

Kinerja Kampanye secara total Partai Politik

Media

Wartawan Publik

Kinerja secara umum Keputusan khusus

Laporan pers Wawancara Laporan dari informan

Informasi Diskusi

16Akses publik secara langsung Birokrasi Publik Kebijakan umum Keputusan khusus Prosedur pengaduan Prosedur FOI Angaran dasarInformasi Diskusi (bukan FOI) Amandemen (bukan FOI)

E. Latihan Aktivitas 1 1. 2. 3. Gambarkan kondisi karakteristik Good Governance berdasarkan Deklarasi Manila di instansi anda asing-masing saat ini! Dari karakterstik di atas mana yang masih bermasalah? Mengapa masalah itu ada? Apa yang dapat anda lakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Aktivitas 2 1. 2. 3. 4. 5. Bagaimana kondisi akuntabilitas di instansi anda? Mekanisme akuntabilitas yang bagaimana yang ingin anda kembangkan di intansi anda? Kapan anda berencana untuk melaksanakannya? Siapa yang akan anda libatkan? Buatlah rencana mekanisme akuntabilitas ini dalam bentuk Matrik seperti yang dikembangkan Richard Mulgan untuk menjawab mekanisme yang digunakan, siapa yang melakukan akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas dilakukan, untuk apa, bagaimana dan prosesnya!

F.

Rangkuman Good Governance merupakan suatu gerakan internasional yang berusaha menciptakan berbagai praktek kepemimpinan terbaik. Berbagai karakteristik dikemukakan untuk menggambarkan GG ini diantaranya adalah akuntabilitas. Akuntabilitas adalah konsep tentang kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan mandat yang diterima kepada orang yang memberikan mandat tersebut. Konsep akuntabilitas adalah sebuah konsep yang dinamis, dimana berbagai model akuntabilitas selalu berkembang untuk menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan dan perubahan lingkungan.

17 Berdasarkan perbedaan kondisi, karakteristik dan kebutuhan, tiap-tiap organisasi membutuhkan dan dapat mengembangkan mekanisme akuntabilitas yang berbeda.

BAB III STRATEGI AKUNTABILITAS: MONITORING, CONTROL, AUDIT DAN EVALUASIKompetensi standart yang ingin dicapai pada Bab ini adalah: 1. Peserta mampu menjelaskan Strategi Akuntabilitas dalam Sektor Publik. 2. Peserta mampu menganalisis isi Strategi Akuntabilitas sehingga memahami konsep tersebut.

A. Monitoring, Pengendalian, Audit Dan Evaluasi Salah satu konsep penting dalam upaya akuntabilitas adalah Performance Management atau Manajemen Kinerja. Manajemen Kinerja adalah suatu pola pemikiran stratejik untuk mengkombinasikan dan menggunakan berbagai fungsi manajemen dengan sistem administratif dan struktur organisasi. Dalam konsep ini pengelolaan suatu organisasi tidak hanya berhenti sampai pada proses perencanaan namun dilanjutkan sampai pada tingkat operasi pengawasan, serta pengukuran kinerja. Semua hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan panduan pelaksanaan dan informasi yang baik dan tepat sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Definisi di atas mengarisbawahi bahwa dalam sistem manajemen kinerja termasuk berbagai teknik untuk memonitor dan mengefektifkan perilaku dalam organisasi. Dalam pelaksanaan monitoring kita melakukan serangkaian kegiatan pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang kinrerja sesungguhnya dari sutau tindakan. Dan informasi yang baik (secara kualtitatif dan kuantitatif) akan dapat digunakan sebagai pedoman dalam untuk mengurangi resiko dalam proses pengambilan keputusan (baik keputusan teknis maupun stratejik). Selain itu informasi kinerja yang disusun dengan baik dapat digunakan sebagai media untuk akuntabilitas kinerja (sektor publik) kepada massyarakat (stakeholders) dan juga sebagai media transparansi kinerja sektor publik. Atau dengan kata lain pengukuran kinerja (performance measurement) merupakan inti dalam penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Organisasi. Dikenal beberapa istilah dalam ilmu manajemen yang terkait dengan upaya meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas melalui monitoring kegiatan sektor publik, yaitu monitoring, pengendalian, audit dan evaluasi. Monitoring merupakan proses dimana pihak supervisi berwenang mengawasi secara detail kecenderungan yang terjadi atas kinerja unit yang diawasinya. Bentuk monitoring antara lain: 1. 2. Backlog Reports (Kumpulan Laporan) misalnya laporan-laporan proses administratif, daftar antrian dalam Rumah Sakit, laporan harian. Critical Incident Report atau laporan kejadian-kejadian penting dalam suatu organisasi.

18

19 3. 4. Laporan Keuangan. Daftar atau kumpulan kritik dari pelanggan.

Untuk mendapatkan hasil monitoring yang maksimal maka kegiatan ini seharusnya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Dilakukan secara reguler (misalnya bulanan, triwulan, atau enam bulan sekali). Dilakukan secara sistematis (misalnya dengan menganalisis kecenderungan yang terjadi). Didukung dengan data dan informasi yang valid baik secara kualitatf dan kuantitatif (menggunakan informasi yang baik). Fokus pada pengukuran hal-hal yang penting. Tepat waktu (menggunakan informasi terbaru). Melibatkan ahli untuk menginterpretasikan data dan informasi yang diperoleh. Bermanfaat untuk digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan (peningkatan) kinerja.

Sedangkan pengendalian (control) adalah proses formal dimana seorang pimpinan secara langsung mengawasi dan merubah kinerja (unit) organisasi yang dipimpinnya. Seperti halnya monitoring, pengendalian dilakukan selama suatu kegiatan sedang berlangsung. Dalam pengendalian dibutuhkan: 1. 2. 3. Manajemen dan bawahan memiliki kejelasan atas tujuan yang ingin dicapai. Mekanisme pelaporan yang memungkinkan manajemen mengetahui kondisi organisasi yang sebenarnya. Batasan bagi manajemen dalam memberikan pengarahan dan melakukan perubahan.

Beberapa bentuk Pengendalian antara lain: 1. 2. Pengendalian keuangan melalui proses persetujuan, wewenang dalam proses pengambilan dan penyetoran dana. Pengendalian Sumber Daya Manusia melalui persetujuan jumlah, golongan, dan pembayaran atas karyawan yang terlibat dalam suatu kegiatan serta wewenang untuk menunjuk pimpinan dalam pelaksanaan kegiatan serta mengganti karyawan yang terlibat dalam kegiatan.

20 3. Pengendalian Kebijakan (bersifat pengaturan) misalnya kebijakan persetujuan untuk menghentikan atau melanjutkan suatu kegiatan atau kontrak, pengaturan tentang sanksi dan reward dalam kontrak maupun pelaksanaan kegiatan.

Upaya lain yang dilakukan oleh manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi dan dalam rangka akuntabilitas adalah dilakukannya audit. Audit terkait kepada penilaian pihak yang independen atas kinerja keuangan dan operasional atau kepatuhan terhadap kontrak yang disepakati. Audit biasanya dilakukan setelah kegiatan selesai. Tipe-tipe audit seperti: 1. 2. 3. 4. Audit atas keuangan, merupakan audit terhadap laporan keuangan yang dilakukan oleh pejabat auditor. Audit kinerja, operasional atau efisiensi, merupakan suatu pengujian sendiri atas kinerja suatu fungsi. Efektivitas Audit adalah suatu kebijakan atas efektivitas pencapaian tujuan tertentu Audit internal, adalah tim internal yang melaporkan kepada Dewan Direksi atau Pimpinan, baik hal-hal yang terkait dengan keuangan maupun nonkeuangan.

Beberapa contoh audit adalah audit keuangan tahunan dan audit terhadap kinerja tertentu. Audit ini dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Evaluasi merupakan suatu proses penilaian independen terhadap suatu proyek atau program, biasanya dilakukan setelah kegiatan selesai, dalam rangka membantu manajemen untuk melakukan perbaikan sebelum siklus aktivitas dimulai kembali. Tipe-tipe Evaluasi: Evaluasi Program, suatu pengujian yang mandiri menyeluruh dari sasaran, strategi dan kemajuan suatu program pemerintah diselesaikan secara signifikan. Evaluasi Proyek, suatu pengujian yang menyeluruh atas penyelesaian apa yang dapat dipelajari dari implementasi suatu proyek yang penting, seperti suatu kelengkapan proyek konstruksi. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa monitoring dan kontrol dilakukan real time, pada saat perubahan masih dapat dilakukan untuk merubah (meningkatkan) kinerja. Sedangkan Audit dan Evaluasi biasanya dilakukan sesudah suatu tindakan (kegiatan) selesai dilakukan, sehingga perubahan dalam peningkatan kinerja sudah tidak dapat dilakukan. Namun audit dan evaluasi ini sangat berguna dalam proses

21 pengambilan keputusan lebih lanjut (misalnya perubahan strategi, dilanjutkan atau dihentikannya suatu kegiatan, perubahan kebijakan dan lain-lain). Dalam proses akuntabilitas, yang sering digunakan untuk informasi publik dan penyusunan laporan kineja instansi publik adalah hasil kegiatan evaluasi dan audit. Hasil proses monitoring dan pengendalikan dimungkinkan digunakan untuk kepentingan akuntabilitas kepada publik, namun mengingat bahwa kedua kegiatan ini masih terbuka untuk tindakan koreksi maka dengan pertimbangan tertentu transparansi kepada publik atas kedua hasil tersebut jarang sekali digunakan. B. Akuntabilitas Keuangan Dan Kinerja Pada Sektor Publik 1. Akuntabilitas Keuangan Sistem pengangaran sektor publik juga mengalami perubahan seiring dengan Perubahan Paradigma Managemen Sektor Publik. Perubahan sistem penganggaran sektor publik dipengaruhi oleh perubahan dalam manajemen pemerintahan dari model tradisional (berfokus kepada input) menjadi model baru (manajemen publik baru: berfokus kepada hasil). Perbedaan antara manajemen publik baru dan model tradisional, antara lain: MANAJEMEN PUBLIK BARU Nilai-nilai Kewiraswastaan, Fleksibilitas, kreativitas, Pemerintah yang lebih kecil Mengambil resiko, Manajemen resiko Akuntabilitas untuk hasil, Nilai untuk uang Desentralisasi, kerjasama, kontrak ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TRADISIONAL Kebijaksanaan, stabilitas, kejujuran, Pemerintah yang lebih besar Menentang resiko Proses akuntabilitas, efisiensi Sentralisasi, hirarkis

Toleran Resiko Akuntabilitas Struktur

Sedangkan dalam penganggaran terdapat 3 model perubahan, yaitu : a. b. c. Sistem penganggaran model line item (yang berfokus kepada organisasi), Penganggaran berbasis program (yang berfokus pada apa yang kita kerjakan), dan Penganggaran berbasis hasil (yang berfokus kepada apa yang kita hasilkan).

22 2. Akuntabilitas Kinerja Beberapa kriteria yang disarankan untuk menyiapkan laporan untuk informasi kinerja: a. Tujuan dan Ruang Lingkup; 1) Harus dinyatakan dengan jelas. 2) Juga mencakup informasi tentang isi lengkap dari laporan. b. Pernyataan tentang tujuan utama dan sasaran; 1) Nyatakan tentang tujuan utama dan sasaran dari organisasi. 2) Alasan (sumber) tujuan dan sasaran tersebut. c. Partisipasi dalam menyusunan tujuan dan sasaran; Cantumkan proses diskusi dengan masyarakat, wakil rakyat, manajemen, pegawai dalam penyusunan tujuan dan sasaran. d. Tingkatan dari Laporan; 1) Informasi kinerja harus disajikan dalam level yang berbeda dalam laporan. 2) Hubungan antara informasi kinerja yang tersedia dalam level yang berbeda harus dikomunikasikan dan harus menyertakan bagaimana pengguna dapat mencari informasi dalam level/tingkatan yang berbeda. e. Analisis tentang hasil dan tantangan; 1) Mencakup analisis esekutif atau manajemen. 2) Identifikasi tantangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan. f. Difokuskan pada pengukuran kunci; 1) Laporan harus difokuskan pada pengukuran kunci dari laporan kinerja yang mencakup dasar dalam mengukur hasil dari program atau pelayanan kunci, utama atau kritis. 2) Harus padat, tapi juga komprehensif. g. Informasi yang dapat diandalkan; Mencakup informasi dimana pengguna dapat memanfaatkan keakuratan dari informasi kinerja yang dilaporkan. h. Pengukuran yang relevan terhadap hasil; 1) Relevan dengan tujuan organisasi yang sudah disepakati. 2) Berhubungan dengan misi, tujuan dan sasaran.

23 i. Sumber daya yang digunakan dan efisiensi; 1) Mencakup informasi tentang sumber daya yang digunakan atau biaya dari program atau pelayanan. 2) Laporan Informasi Kinerja Juga Mencantumkan Hubungan Antara Biaya dengan output atau outcomes (pengukuran efisiensi). j. Persepsi Masyarakat dan Pelanggan; Persepsi masyarakat dan pelanggan tentang kualitas dan hasil dari program-program dan pelayanan-pelayanan utama dan kritis harus dilaporkan. k. Perbandingan untuk Mengevaluasi Kinerja; Mencantumkan informasi yang bersifat perbandingan untuk mengevaluasi kinerja. l. Faktor yang mempengaruhi hasil; Termasuk diskusi tentang identifikasi faktor ekternal dan internal yang mempengaruhi kinerja secara signifikan. m. Komprehensifitas dan ketidak-komprehensifitas informasi; Komprehensifitas dan ketidak-komprehensifitas informasi disesuaikan dengan kebutuhan dan ketertarikan pengguna. n. Konsistensi; Laporan pengukuran kinerja harus konsisten dari waktu ke waktu. o. Mudah dicari, diakses dan dimengerti; 1) Cara untuk mendapatkan laporan harus dikomunikasikan secara luas melalui mekanisme-mekanisme yang layak untuk organisasi maupun pengguna lain. 2) Informasi Kinerja Harus Dikomunikasikan Melalu Media Dan Metode Yang Bervariasi Da Layak Bagi Pengguna. p. Laporan yang teratur dan tepat waktu; 1) Laporan kinerja harus dilakukan/dilaporkan secara teratur. 2) Informasi yang dilaporkan harus dibuat secepatnya. C. Latihan 1. Bagaimana organisasi anda melakukan monitoring, pengendalian, audit dan evaluasi? harus

24 2. Dari berbagai metode dan cara monitoring, pengendalian, audit dan evaluasi mana yang paling berguna untuk diterapkan di organisasi anda?

D. Rangkuman Dasar pelaksanaan akuntabilitas adalah pengukuran terhadap kinerja (pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan). Untuk mendapatkan informasi untuk pelaksanaan pengukuran kinerja, strategi yang digunakan adalah dengan monitoring, pengendalian, audit dan evaluasi. Hasil kegiatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan akuntabilitas, meskipun untuk pelaksanaan akuntabilitas (terbuka) kepada publik seorang pemimpin yang efektif harus mempertimbangkannya secara masak-masak. Salah satu karakteristik penting yang mendasari pertimbangan tersebut bahwa monitoring dan pengendalian dilaksanakan secara real time, pada saat perubahan masih dapat dilakukan untuk merubah (meningkatkan) kinerja. Sedangkan Audit dan Evaluasi dilakukan sesudah suatu tindakan (kegiatan) selesai dilakukan, sehingga perubahan dalam peningkatan kinerja sudah tidak dapat dilakukan. Namun audit dan evaluasi ini sangat berguna dalam proses pengambilan keputusan lebih lanjut (misalnya perubahan strategi, dilanjutkan atau dihentikannya suatu kegiatan, perubahan kebijakan dan lain-lain).

BAB IV AKUNTABILITAS PUBLIK: KEBIJAKAN DAN PRAKTEKNYA DI INDONESIA

Kompetensi standart yang ingin dicapai pada Bab ini adalah: 1. Peserta familiar dengan Kebijakan tentang Akuntabilitas di Indonesia dan gambaran aplikasinya. 2. Peserta mampu mendisain strategi aplikasi Akuntabilitas di instansi masing-masing.

A. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia Pengembangan kebijakan akuntabilitas di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh dua hal penting yaitu, satu, tuntutan internal (Indonesia) antara lain agar sektor publik semakin transparan dan mampu mempertanggungjawabkan atas berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan yang ditujujan untuk menyelesaikan dan memnuhi tuntutan publik. Dua, perubahan dalam lingkungan global dalam hal manajemen sektor publik misalnya tuntutan Good Governance dan Performance Management. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa azas penyelenggaraan Kepemerintahan Yang Baik meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Azas Kepastian Hukum. Azas Tertib Penyelenggaraan Negara. Azas Kepentingan Umum. Azas Keterbukaan. Azas Proporsionalitas. Azas Profesionalistas. Azas Akuntabilitas.

Azas akuntabilitas disini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat di-pertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

25

26 Siklus Sistem Akuntabilitas Publik

LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT

AMANAH PUBLIC ACCOUNTABILITY

FORMULASI KEBIJAKAN PERENCANAAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN

MONITORING DAN EVALUASI PENGENDALIAN

LAPORAN AKUNTABILITAS

AKUNTABILITAS

Berbagai kebijakan di atas pada dasarnya menggarisbawahi bahwa Sistem AKIP pada dasarnya harus dapat menggambarkan kinerja instansi pemerintah yang sebenarnya, secara jelas (berdasar data yang tepat & akurat) dan transparan kepada publik (pemberi amanah), dan pihak-pihak yang berkepentingan/stakeholders, mengenai kemampuan (keberhasilan atau kegagalan) setiap pimpinan instansi pemerintah/unit kerja dalam melaksanakan misi, tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya. Semuanya itu diarahkan pada upaya untuk mendorong (Djoko Susilo, 2005): 1. 2. 3. 4. 5. percepatan reformasi birokrasi; penerapan prinsip-prinsip good governance dan fungsi-fungsi manajemen kinerja secara taat asas; pencegahan terjadinya KKN; pengelolaan dana dan sumber daya lainnya menjadi efisien dan efektif; pengukuran tingkat keberhasilan dan atau kegagalan setiap pimpinan instansi pemerintah/unit kerja dalam menjalankan misi, tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan; penyempurnaan struktur organisasi, kebijakan publik, sistem perencanaan dan penganggaran, ketatalaksanaan, metoda kerja dan prosedur pelayanan masyarakat;

6.

27 7. kreativitas, produktivitas, sensitivitas, disiplin dan tanggung jawab aparatur Negara.

Dalam tataran praktis Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah wujud nyata penerapan akuntabilitas di Indonesia. Inpres ini mendefinisikan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) sebagai pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan misi dan visi instansi pemerintah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui seperangkat indikator kinerja. Dalam konteks AKIP ini, instansi pemerintah diharapkan dapat menyediakan informasi kinerja yang dapat dipahami dan digunakan sebagai alat ukur keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran tersebut. Tuntutan agar instansi pemerintah terutama bagi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk dapat mengukur kinerja organisasinya sendiri semakin besar dengan dikeluarkannya PP 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah . Kedua PP tersebut secara eksplisit menuntut agar pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak lagi hanya berfokus kepada pertanggungjawaban keuangan (input oriented). Kepala Daerah sebagai pimpinan penyelenggara pemerintahan di daerah diminta pula untuk dapat mempertanggungjawabkan hasil atau efektifitas kebijakan-kebijakan dan programprogram yang dilaksanakannya. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota diminta untuk menjelaskan apakah dana-dana masyarakat telah dibelanjakan secara lebih ekonomis, efisien dan efektif pada sektor-sektor yang merupakan prioritas utama yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini juga masih menjadi komitmen dalam berbagai PP yang diterbitkan Pemerintah seiring dengan pelaksanaan UU No 32 Tahun 2004, bahwa tuntutan untuk dapat memepertanggungjawabakan kinerja berdasarkan hasil atau manfaat kepada masyarakat menjadi keharusan bagi Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota. Berbagai peraturan mewajibkan daerah untuk menerapkan anggaran berbasis kinerja dan mempertanggungjawabkan dalam bentuk Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja.

1

Seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai ganti UU No 22 Tahun 1999, berbagai PP juga diterbitkan misalnya PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah untuk menggantikan PP No. 105 Tahun 2000.

28 Penyusunan Anggaran dan Pertanggungjawaban Daerah sebagai mekanisme akuntabilitas dapat digambarkan sebagai berikut:RENSTRA PEMDA AKU STRATAS RENJA PEMDA RAPBD APB D LAKIP PEMDA RASK DASK RENJA RENJ SATKER A K T U A L I S A S I Perencanaan Kinerja RENSTRA SATKER Perencanaan Strategis

Pengukuran Kinerja

LPJ

LAPKE LPA, LAK, NERACA

LAKIP SATKER

Pelaporan Kinerja

Peraturan Perundang-undangan di atas pada prinsipnya mendorong instansi pemerintah untuk mulai dapat merancang dan mengukur kinerja nya organisasinya secara lebih komprehensif. Namun, perlu dipahami dan disadari bersama bahwa merancang dan mengimplementasikan sistem pengukuran kinerja sebagaimana yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah. Untuk mengembangkan pedoman atau pegangan yang jelas dalam pelaksanaan akuntabilitas ini serta mengembangkan sistem pengukuran kinerja, merumuskan indikator kinerja dan mengumpulkan data kinerja, kebijakan-kebijakan di atas ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 589/IX/6/YY/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Kesemuanya itu adalah payung kebijakan untuk membangun sistem akuntabilitas di Indonesia. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara ini telah diperbaiki dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Perbaikan ini dilakukan sesudah mendapatkan saran dan masukan dari berbagai instansi pemerintah yang menerapkan kebijakan akuntabilitas ini. Tujuan perbaikan antara lain: 1. Untuk menyempurnakan sistem lama yang belum dapat memperlihatkan keterkaitan antara kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan sasaran, tujuan, misi dan visi;

29 2. 3. Memudahkan implementasi; Mendorong instansi pemerintah untuk dapat menyusun LAKIP dengan lebih obyektif.

Perbandingan antara keduanya dapat digambarkan sebagai berikut: PENYEMPURNAAN PEDOMAN PENYUSUNAN PELAPORAN AKIPKeputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/99 Rencana Stratejik - Visi - Misi - Tujuan dan sasaran - Strategi: * Kebijakan * Program * Kegiatan PS 1 dan PS 2 Rencana Kinerja Tidak Ada Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 Rencana Stratejik - Visi - Misi - Tujuan dan sasaran - Strategi: * Kebijakan * Program RS Rencana Stratejik - Sasaran dan Indikator Pencapaian Sasaran - Program - Kegiatan dan Indikator Kinerja Kegiatan RKT Pengukuran dan Evaluasi Kinerja - Dapat digunakan pembobotan (jika diperlukan) - Pendekatan kuantitatif dan kualitatif - Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) - Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) - Analisis Kinerja - Evaluasi Kinerja - Memberikan keleluasaaan kepada instansi pemerintah dalam melakukan analisis dan evaluasi kinerjanya.

Pengukuran - Digunakan pembobotan untuk Indikator Kinerja Kegiatan - Pendekatan Kuantitatif dengan metode agregasi - Instrumen: PK, EK1, EK2 dan EK3 - Sangat Subyektif

Laporan AKIP - Menyajikan berbagai informasi kinerja kegiatan, program dan kebijakan yang telah dilakukan pengukurannya pada proses pengukuran kinerja - Memaknai capaian kinerja kegiatan, program dan kebijakan - Merekomendasikan pemecahan masalah

Laporan AKIP - Menyajikan berbagai informasi kinerja kegiatan, program dan pencapaian sasaran yang telah dilakukan pengukurannya pada proses pengukuran dan evaluasi kinerja - Memaknai capaian kinerja kegiatan, program dan pencapaian sasaran dilengkapi dengan berbagai informasi kualitatif yang diperoleh ketika proses pelaksanaan kegiatan - Memberikan informasi sejauh-mana

30Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/99 Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan mencapai sasaran yang telah ditetapkan, sejauhmana sasaransasaran telah sesuai dengan tujuan Menyajikan akuntabilitas keuangan Merekomendasikan strategi pemecahan masalah

Sumber: LAN-Pusdiklat SPIMNAS, 2004

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) merupakan instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi (LAN, 2004, hal. 63). Sebagai suatu sistem, SAKIP terdiri dari komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan, yakni perencanaan strategik, perencanaan kinerja, pengukuran dan evaluasi kinerja, serta pelaporan kinerja. Komponen dalam SAKIP ini menceminkan semua proses yang ada dalam manajemen kinerja. Kebijakan lain yang terkait dengan Sistem SAKIP di Indonesia adalah: 1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang ini mewajibkan adanya integrasi dari sistem akuntabilitas kinerja dan sistem penganggaran serta penerapan anggaran berbasis kinerja pada seluruh instansi pemerintah. UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; yang mengamanatkan penyusunan PP tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional. Dalam UU ini disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi: 1) Penyusunan Rencana, 2) Penetapan Rencana, 3) Pengendalian Pelaksanaan Rencana, dan 4) Evaluasi Pelaksanaan Rencana. Dalam konsep manajemen kinerja, keseluruhan proses perencanaan ini mengarah pada upaya akuntabilitas berbagai tapan kegiatan yang dilaksanakan pada sektor Publik. Inpres No.5/2004 berkaitan dengan penyusunan penetapan kinerja sebagai upaya peningkatan kualitas penerapan sistem AKIP selama ini. Perpres No 9/2005 yang mewajibkan setiap Instansi Pemerintah untuk melaksanakan Sistem AKIP.

2. 3.

4. 5.

31

UU 25/2004

INPRES 7/ 1999 & PERPRES NO.9/2005

STRATEGI C PLANMulti-Year Planning Annual Performance Plans Annual Budget Request

UU 17/ 2003

Annual Budget Appropriation

Inpres 5/ 2004 Performanc eAnnual Operating Plan

UU 1/ 2004

Performance Report

Sumber: Djoko Susilo, 2005,Good Governance melelui Implementasi SAKIP, Menpan.

32 Posisi LAKIP dalam kaitannya dengan adopsi sistem penganggaran berbasis kinerja digambarkan sebagai berikut:

Kerangka Integrasi Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Sistem Anggaran Berbasis kinerjaRENSTRA KPJM Jangka Menengah (3-5 tahun)

Pokok pokok Kebijakan Fiskal Karangka Makro RENJA RKA Kebijakan Umum Prioritas Anggaran

Tahunan

Pengukuran Kinerja

Pelaksanaan Anggaran

LAKIP

Laporan Pertg jwb Keuangan

LPPA (Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran)

B. Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah di Indonesia Siklus Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah setidaknya memiliki empat fase penting yang membentuk siklus akuntabilitas kinerja yang tidak terputus dan terpadu. Keempat fase tersebut mencakup: (1) Perencanaan Stratejik, (2) Perencanaan Kinerja, (3) Pengukuran dan Evaluasi Kinerja, dan (4) Pelaporan Kinerja.

33 Hubungan komponen tersebut digambarkan sebagai berikut:

Perencaan Stratejik

Perencanaan Kinerja

Pelaporan Kinerja

Akuntabilitas Kinerja

Pengukuran dan Evaluasi Kinerja

Sumber: LAN, 2004, Modul SAKIP.

Sedangkan terkait dengan berbagai kebijakan tentang SAKIP, hubungan keempat fase tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

RPJ MRencana Strategis

Rencana Kinerja Tahunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)

Kontrak Kinerja (Performance Contract/Agreement)

LAKIP

Laporan pertanggungjawaban keuangan

34 1. Perencanaan Stratejik Perencanaan stratejik merupakan proses penyusunan rencana strategis organisasi yang berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu (biasanya 3-5 tahun) dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau mungkin timbul. Analisis terhadap lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan tantangan/kendala (threats). Analisis terhadap unsur-unsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar bagi perwujudan visi dan misi serta strategi instansi pemerintah (LAN, 2004, hal. 64). Dokumen yang dihasilkan dari proses perencanaan stratejik disebut Rencana Stratejik atau populer disebut Renstra. Format Renstra meski variatif dalam praktiknya, namun setidaknya mengandung informasi tentang hal-hal sebagai berikut: a. b. Where do we want to be? Merupakan arah masa depan organisasi yang ingin dituju (Visi, Tujuan dan Sasaran Stratejik). Where are we now? Analisis organisasi tentang nilai-nilai luhur yang dimiliki, kekuatan, kelemahan, kesempatan dan kendala organisasi (SWOT analysis) serta tugas pokok dan fungsi utama organisasi yang menunjukkan alasan utama keberadaan organisasi (misi) How do we get there? Merupakan langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Langkah-langkah ini biasanya dituangkan dalam kebijakan, program dan kegiatan organisasi. How do we measure our progress? Berkaitan dengan cara organisasi menetapkan ukuran-ukuran keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Karenanya, setiap tujuan dan sasaran yang ditetapkan harus dapat terukur dengan seperangkat indikator kinerja yang idealnya merupakan indikator kinerja outcome atau setidaknya output.

c.

d.

Dalam Modul SAKIP Lembaga Administrasi (2004) disebutkan bahwa cakupan Renstra meliputi: (1) Pernyataan visi, misi; (2) Perumusan Tujuan dan Sasaran beserta indikator kinerjanya; (3) Uraian tentang cara mencapai Tujuan dan sasaran (strategi) yang dijabarkan kedalam kebijakan dan program. Dalam Modul LAN ini juga disajikan formulir untuk mempermudah pembuatan Renstra (dasar penyusunan Renstra). Formulir ini memperlihatkan keterkaitan visi, misi, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program.

35 Formulir RS Rencana Stratejik Tahun . s.d ........... Instansi Visi Misi : ................... : ................... : ................... Sasaran Uraian 2 Indikator 3 Cara Mencapai Tujuan dan Sasaran Kebijakan Program 4 5

Tujuan 1

Keterangan 6

Formulir ini merupakan dasar dalam penyusunan Dokumen Renstra yang disahkan oleh pimpinan instansi. Meskipun isi Renstra dimungkinkan untuk dikembangkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan organisasi, namun secara garis besar Renstra harus memuat: a. b. c. Visi dan Misi yang memuat visi dan misi instansi. Tujuan dan Sasaran yang memuat rumusan tujuan dan sasaran deserta indikator-indikator pencapainnya. Strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran) yang memuat kebijakan dan program.

Sebagai alternatif Modul SAKIP LAN (2004) memberikan outline Renstra yaitu:

RENCANA STRATEJIK Pengantar Bab I Bab II Pendahuluan Memuat latar belakang, asumsi-asumsi, manfaat, dan lain-lain Tugas Pokok dan Fungsi Memuat tugas pokok dan fungsi sebagaimana dituangkan dalam landasan hukum instansi masing-masing Analisis Stratejik Memuat hasil analisis stratejik: analisis lingkungan, CSFs, dan SWOT.

Bab III

36

Bab IV

Bab V

Rencana Stratejik Memuat Visi, Misi, Tujuan, Sasaran serta Stratejik (Kebijakan dan Program) Penutup

2.

Perencanaan Kinerja Setiap tahun perencanaan stratejik dituangkan dalam suatu perencanaan kinerja tahunan (annual performance plan). Perencanaan kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan keputusan di depan untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa yang akan datang. Rencana kinerja ini merupakan rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari perencanaan stratejik, di dalamnya memuat seluruh target kinerja yang hendak dicapai dalam suatu tahun yang dituangkan dalam sejumlah indikator kinerja (performance indicators) yang relevan. Rencana kinerja ini merupakan tolok ukur yang digunakan untuk menilai keberhasilan/kegagalan penyelenggaraan pemerintahan untuk suatu periode tertentu. Idealnya, rencana kinerja ini diajukan kepada para pemberi amanat untuk kemudian para pihak mengikat suatu kesepakatan terhadap rencana kinerja yang telah disusun. Kesepakatan yang demikian dikenal sebagai suatu Kesepakatan Kinerja (Kontrak Kinerja/Performance Agreement). Secara eksplisit, meski aturan dan ketentuan Rencana Kinerja dan Kesepakatan Kinerja belum tertuang jelas dalam Inpres No. 7/1999, namun esensi dari keduanya secara implisit telah terkandung dalam pokok-pokok pikiran Inpres tersebut. Selain sebagai dasar dalam penyusunan kontrak kinerja, perencanaan kinerja ini juga merupakan dasar dalam penyusunan dan pengajuan anggaran kinerja (performance basedbudgeting). Modul SAKIP (LAN, 2004) menyebutkan bahwa dokumen dalam rencana kinerja antara lain berisikan informasi mengenai: a. b. c. Sasaran, indikator kinerja, dan target yang akan dicapai pada periode yang bersangkutan. Program yang akan dilaksanakan. Kegiatan, indikator kinerja, dan target yang diharapkan dalam suatu kegiatan.

Dokumen tersebut dituangkan dalam bentuk Formulir Rencana Kinerja Tahunan (RKT).

37

Formulir RKT Rencana Kinerja Tahunan Tahun .. Instansi : ..Sasaran Uraian 1 Indikator Kinerja 2 Rencana Tingkat Capaian (Target) 3 Program Uraian 5 Kegiatan Indikator Kinerja 6 Satuan 7 Rencana Tingkat Capaian (Target) 8 Ket.

4

9

3.

Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Fase berikutnya dari sistem akuntabilitas kinerja adalah menetapkan pengukuran dan evaluasi kinerja. Dalam SAKIP pengukuran dan evaluasi ini merupakan komponen penting dalam Pelaporan Kinerja yang merupakan bagian penting untuk menjamin akuntabilitas sektor publik. Selama melaksanakan kegiatan pengukuran dan evaluasi kinerja, seluruh data kinerja (performance data) dikumpulkan dan diakumulasikan. Data kinerja ini merupakan capaian kinerja (performance result) yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja yang diperoleh selama satu periode pelaksanaan tertentu. Untuk dapat memperoleh dan memelihara data kinerja yang demikian, instansi pemerintah harus mengembangkan Sistem Pengumpulan dan Pengolahan Data Kinerja, yakni tatanan, instrumen, metode pengumpulan data kinerja yang digunakan oleh instansi pemerintah untuk memperoleh data mengenai realisasi capaian kinerja untuk suatu periode pelaksanaan tertentu. Untuk dapat menerapkan dan menjaga sistem pengukuran dan evaluasi kinerja perlu diperhatikan beberapa hal antara lain (1) menjaga dan menjamin konsistensi data dan informasi; (2) melibatkan pimpinan puncak untuk menjamin konsistensi dan kesiapan organisasi dalam mengembangkan Sistem Pengumpulan dan Pengolahan Data Kinerja; (3) selalu menempatkan pengukuran dan evaluasi sebagai hal yang penting dalam menjalankan berbagai aktivitas (menjaga sense of urgency); (4) melibatkan karyawan dalam pengembangan Sistem Pengumpulan dan Pengolahan Data Kinerja; (5) selaras dengan tujuan organisasi secara keseluruhan; (6) menempatkan Sistem

38 Pengumpulan dan Pengolahan Data Kinerja dalam keseluruhan proses manajemen; dan (7) mengembangkan komunikasi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas Sistem Pengumpulan dan Pengolahan Data Kinerja (LAN, 2004, hal. 232-234). a. Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja hendaknya dapat dibangun dalam suatu kerangka sistem pengukuran kinerja. Sistem ini mencakup perancangan indikator kinerja yang ditetapkan pada saat instansi menyusun Renstra dan kontrak kinerja yang tertuang dalam perencanaan kinerja. ...pada tahap pengukuran kinerja ini kita tidak merubah indikator kinerja kegiatan dan satuan indikator kinerja yang telah disepakati dan ditetapkan di dalam dokumen Rencana Kinerja Tahunan(LAN, 2004). Pengukuran kinerja adalah jembatan untuk perencanaan strategis dengan pelaporan akuntabilitas (LAN, 2004, hal. 65). Kinerja adalah hasil kerja suatu organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan strategik, kepuasan pelanggan dan kontribusinya terhadap lingkungan strategik. Bernadin, Kane dan Johnson (1995) mendefinisi kinerja sebagai outcome hasil kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan strategik yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Secara sepintas kinerja dapat diartikan sebagai perilaku berkarya, berpenampilan atau hasil karya. Oleh karena itu kinerja merupakan bentuk bangunan yang multi dimensional, sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung kepada banyak faktor (Bates dan Holton, 1995). Selain perbedaan cara pengukura, hal atau aspek yang diukur juga berbeda, beberapa diantaranya adalah aspek finansial, kepuasan pelanggan, operasi bisnis internal, kepuasan pegawai, kepuasan komunitas dan shareholders/ stakeholders, serta waktu. Seperti disebukan di atas bahwa dasar pengukuran kinerja adalah indikator kinerja. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk dapat menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, baik pada tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) maupun tahap setelah kegiatan selesai (ex-post). Syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu indikator kinerja adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) Spesifik dan jelas untuk menghindari kesalahan interpretasi; Dapat diukur secara obyektif baik secara kualitatif maupun kuantitatif; Menangani aspek-aspek yang relevan;

39 4) 5) 6) Harus penting/berguna untuk menunjukkan keberhasilan input, output, hasil / outcome, manfaat maupun dampak serta proses; Fleksibel dan sensitif terhadap perubahan pelaksanaan; Efektif, dalam arti datanya mudah diperoleh, diolah, dianalisis dengan biaya yang tersedia.

Penetapan indikator kinerja harus berlandaskan pada hasil perumusan perencanaan strategik yang meliputi tujuan, sasaran dan strateji organisasi. Kemudian diidentifikasi data, informasi yang lengkap, akurat dan relevan untuk memudahkan pemilihan indikator kinerja. Pengalaman atas penyelenggaraan misi organisasi sangat membantu dalam memilih indikator kinerja yang relevan, yakni yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan kegiatan kerja, program operasional maupun implementasi kebijakan. Terdapat 5 (lima) macam indikator kinerja yang umumnya digunakan yakni : indikator kinerja input, indikator kinerja output, indikator kinerja outcome, indikator kinerja manfaat dan indikator kinerja dampak. 1) Indikator kinerja input (masukan) adalah indikator segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat menghasilkan keluaran yang ditentukan; misal dana, SDM, informasi, kebijakan dan lain-lain. 2) Indikator kinerja output (keluaran) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik. 3) Indikator kinerja outcome (hasil) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran (output) kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). 4) Indikator kinerja benefit (manfaat) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. 5) Indikator kinerja impact (dampak) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan penyusunan Renstra dan Rencana Kinerja (Renja), cakupan pengukuran kinerja meliputi (Modul SAKIP LAN, 2004): 1) Kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capain) dari masing-masing kelompok indikator kinerja kegiatan. Alat bantu yang digunakan adalah Formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) berikut ini:

40

Formulir PKK Pengukuran Kinerja Kegiatan Tahun .. Instansi : .. KegiatanProgram Uraian Indikator Kinerja Satuan Rencana Tingkat Capaian (Target) Realisasi Persentase Pencapaian Rencana Tingkat Capaian

Ket. 8

1

2

3

4

5

6

7

a.

Tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing indikator sasaran yang telah ditetapkan sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rencana Kinerja. Alat bantu yang digunakan adalah Formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) berikut ini:

Formulir PPS Pengukuran Pencapaian Sasaran Tahun Instansi : Indikator Sasaran 2 Rencana Tingkat Capaian (Target) 3 Persentase Pencapaian Rencana Tingkat Capaian 5

Sasaran 1

Realisasi 4

Ket. 6

41 b. Evaluasi Kinerja Tahap selanjutnya setelah pengukuran kinerja adalah evaluasi kinerja yang bertujuan untuk mengetahui progress realisasi kinerja yang dihasilkan, maupun kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mencapai sasaran kinerja. Evaluasi kinerja ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka pencapaian misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan dimasa yang akan datang (LAN, 2004, hal. 66). Evaluasi kinerja dapat digunakan untuk melihat efisiensi, efektivitas, ekonomi maupun perbedaan kinerja (gap). Hasil analisis dan evaluasi lebih lanjut dapat digunakan sebagai umpan balik untuk mengetahui pencapaian implementasi perencanaan strategik. Fungsi evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi dan memberikan masukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Sedangkan keuntungan yang diperoleh antara lain untuk perbaikan perencanaan, strategi, kebijakan; untuk pengambilan keputusan; untuk tujuan pengendalian program/kegiatan; untuk perbaikan input, proses, dan output, perbaikan tatanan atau sistem prosedur. LAN-RI (2004b, hal. 66) menyebutkan beberapa perbandingan yang dapat digunakan untuk kegiatan analisis dan evaluasi kinerja yaitu: a. b. c. d. Kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan. Kinerja nyata dengan kinerja tahun-tahun sebelumnya. Kinerja suatu instansi dengan kinerja instansi lainnya yang unggul dibidangnya ataupun dengan kinerja sektor swasta. Kinerja nyata dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar internasional.

Sedangkan fokus evaluasi kinerja ini meliputi: 1) Evaluasi masukan (input evaluation), 2) Evaluasi proses (process evaluation), 3) Evaluasi keluaran (output evaluation), 4) Evaluasi hasil (outcome evaluation), serta 4) Evaluasi dampak (impact evaluation). Sedangkan beberapa metode yang digunakan untuk evaluasi antara lain analisis dan evaluasi biaya dan manfaat (cost and expenses), metode evaluasi eksperimental, quasi-experimental, noneksperimental, evaluasi dengan metode kualitatif, metode kuantitatif, metode deskriptif, dan sebagainya. Evaluasi kinerja instansi pemerintah dapat dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan dan sasaran, serta evaluasi program dan kebijakan. Diasumsikan setiap instansi pemerintah mempunyai kebijakan-kebijakan, programprogram, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran dalam rangka menjalankan misi maupun tugas pokok dan

42 fungsi instansi tersebut. Oleh karena itu, kinerja instansi dapat dievaluasi dengan mengevaluasi seluruh atau sebagian dari kebijakan, program dan kegiatan-kegiatannya. Dari hasil evaluasi terhadap berbagai kegiatan, program dan kebijakan ini diharapkan dapat menarik kesimpulan mengenai kinerja organisasi instansi secara keseluruhan. Evaluasi terhadap kegiatan d