menjadi lebih efektif dengan partisipasi masyarakat fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan...

8
KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG April 2019 - II edisi #12 MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT S eringkali kegiatan konsultasi dengan masyarakat dipandang semata-mata sebagai bagian dari melaksanakan tugas saja. Seolah-olah, kita sudah memenuhi salah satu komponen akuntabilitas. Padahal jika kita benar-benar menaruh perhatian pada pengetahuan masyarakat, terutama tentang hal-hal yang ada di lingkungan, merekalah ahlinya. Di Kelurahan Panau, sebagian besar warganya bermatapencaharian sebagai nelayan. Berbagai jenis ikan bisa didapatkan, tergantung pada musimnya, demikian juga alat yang dibutuhkan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Salah satu jenis ikan yang bernilai tinggi adalah rono, sejenis ikan teri. Jika pada musim tangkap rono, para nelayan bisa mendapatkan 5 termos penuh untuk sekali turun ke laut. Rata-rata berat per termosnya kurang lebih 25-30 kilogram. Untuk rono yang kecil, harga per termosnya bisa mencapai 500 ribu rupiah. Sedangkan untuk yang berukuran besar hanya sekitar 100 ribu rupiah. “Ibaratnya emas kalau rono yang kecil-kecil itu,” kata Rendra, salah seorang nelayan. Sayangnya, musim tangkap rono hanyalah empat bulan dalam satu tahunnya. “Biasanya dari bulan November sampai dengan Februari,” tambah Rendra. Musim tangkap rono tersebut ditandai dengan arah arus air laut yang menuju daratan. Karena ukurannya yang kecil, akan bergerak sesuai dengan arah arus. Untuk menangkap rono, para nelayan membutuhkan perahu khusus. Suhardin Salasah (Hardin), fasilitator dari Karsa Institute, menyatakan bahwa para nelayan di kelurahan Panau lebih memilih perahu rono karena nilai rono yang cukup tinggi. Perahu tersebut berbentuk ramping dengan panjang hampir tujuh meter. Perahu jenis in dibutuhkan agar dapat bergerak lincah ketika menangkap rono. “Jenis kayu pun mereka tentukan,” kata Hardin. “Berdasarkan pengalaman mereka sebagai nelayan, hanya ada 2 jenis kayu yang layak dipakai, yaitu tea tambaita dan kayamo,” tambahnya. Bersambung ke halaman 6... Widya Setiabudi, Suhardin Salasah, dan Harma Rademaker dari Cordaid (paling kanan) bersama para nelayan di Kelurahan Panau melihat perahu bantuan untuk kelompok nelayan di kelurahan tersebut. Foto: Martin Dody/ERCB

Upload: ngodat

Post on 11-Aug-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG

April 2019 - II edisi #12

MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Seringkali kegiatan konsultasi dengan masyarakat dipandang semata-mata sebagai bagian dari melaksanakan tugas saja. Seolah-olah, kita sudah

memenuhi salah satu komponen akuntabilitas. Padahal jika kita benar-benar menaruh perhatian pada pengetahuan masyarakat, terutama tentang hal-hal yang ada di lingkungan, merekalah ahlinya.

Di Kelurahan Panau, sebagian besar warganya bermatapencaharian sebagai nelayan. Berbagai jenis ikan bisa didapatkan, tergantung pada musimnya, demikian juga alat yang dibutuhkan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Salah satu jenis ikan yang bernilai tinggi adalah rono, sejenis ikan teri.

Jika pada musim tangkap rono, para nelayan bisa mendapatkan 5 termos penuh untuk sekali turun ke laut. Rata-rata berat per termosnya kurang lebih 25-30 kilogram. Untuk rono yang kecil, harga per termosnya bisa mencapai 500 ribu rupiah. Sedangkan untuk yang berukuran besar hanya sekitar 100 ribu rupiah.

“Ibaratnya emas kalau rono yang kecil-kecil itu,” kata Rendra, salah seorang nelayan.

Sayangnya, musim tangkap rono hanyalah empat bulan dalam satu tahunnya.

“Biasanya dari bulan November sampai dengan Februari,” tambah Rendra. Musim tangkap rono tersebut ditandai dengan arah arus air laut yang menuju daratan. Karena ukurannya yang kecil, akan bergerak sesuai dengan arah arus.

Untuk menangkap rono, para nelayan membutuhkan perahu khusus. Suhardin Salasah (Hardin), fasilitator dari Karsa Institute, menyatakan bahwa para nelayan di kelurahan Panau lebih memilih perahu rono karena nilai rono yang cukup tinggi. Perahu tersebut berbentuk ramping dengan panjang hampir tujuh meter. Perahu jenis in dibutuhkan agar dapat bergerak lincah ketika menangkap rono.

“Jenis kayu pun mereka tentukan,” kata Hardin. “Berdasarkan pengalaman mereka sebagai nelayan, hanya ada

2 jenis kayu yang layak dipakai, yaitu tea tambaita dan kayamo,” tambahnya.

Bersambung ke halaman 6...

Widya Setiabudi, Suhardin Salasah, dan Harma Rademaker dari Cordaid (paling

kanan) bersama para nelayan di Kelurahan Panau melihat perahu bantuan untuk

kelompok nelayan di kelurahan tersebut. Foto: Martin Dody/ERCB

Page 2: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Kelurahan Talise adalah salah satu daerah penghasil garam di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian

yang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti profesi sebagai petani garam.

Pada saat bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi 6 bulan lalu (28/9/18) melanda wilayah Sulawesi Tengah, tambak-tambak garam di Talise ini rusak dan dipenuhi oleh sampah dan puing-puing.

Awal April lalu, Kareba Palu Koro meluncur menuju ke Talise untuk melihat kondisi tambak-tambak garam tersebut. Hampir tidak ada petani garam yang bekerja karena saat itu turun hujan. Terlihat tambak-tambak tersebut sudah mulai difungsikan kembali. Puing-puing sudah sebagian besar dibersihkan dan tambak-tambak diratakan.

Ketika hujan mulai reda, kami merapat ke sebuah bangunan

semi permanen yang ada di pinggiran tambak tersebut. Di sana kami bertemu Muhammad Ali (50), salah seorang petani garam.

“Ada sekitar 18 hektar tambak garam disini,” kata Ali. “Kurang lebih ada 160 petani garam yang mengelola, dibagi

dalam 16 kelompok,” katanya.Ali menjadi petani garam sudah puluhan tahun. Profesi ini

merupakan profesi turun temurun dari orang tuanya. “Belajar dari pengalaman juga bagaimana caranya bisa hasilkan

garam yang banyak dan bagus,” kata Ali. Untuk mengalirkan air laut ke tambak-tambak tersebut juga

tidak bisa sembarangan. Ada semacam bak penunggu untuk ‘menginapkan’ air laut tersebut selama beberapa hari sebelum kemudian dialirkan ke meja-meja, istilah petani lokal untuk menyebut tambak garam.

Bersambung ke halaman 8...

PETANI GARAM TALISE: PERLU DUA TAHUN LAGI MEMANEN GARAM BAGUS

Mohammad Ali, petani garam Talise.

Foto: Martin Dody/ERCB

2

Page 3: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Terdengar suara mesin jahit di salah satu sudut hunian sementara yang dibangun secara swadaya oleh warga Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi. Dorce, demikian

nama ibu yang terlihat sedang menjahit tersebut. Teras rumah sementaranya disulap menjadi tempat kerja. Terlihat mesin jahit dan tumpukan bahan serta baju, baik yang sudah jadi maupun belum.

“Ini ada pesanan pakaian adat dari Kepala Desa Gimpu,” jawab Dorce ketika Kareba Palu Koro mendatangi rumahnya untuk sedikit berbincang-bincang.

Gimpu adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kulawi Selatan. Dorce memiliki empat orang anak, yang kesemuanya telah menikah. Untuk kehidupan sehari-hari, suaminya, Hamza Yangka, bekerja sebagai petani.

Dorce membantu kelangsungan ekonomi di keluarganya dengan menjadi penjahit. Ia menerima pesanan baik dari warga sekitar maupun dari warga di luar desanya, seperti pesanan sekarang yang berasal dari Desa Gimpu.

“Cukup lumayan untuk menambah penghasilan dan hidup sehari-hari,” kata Dorce.

Ia mulai belajar menjahit sejak duduk di bangku SMP. Pakaian adat daerah Kulawi tersebut dinamakan halili untuk yang dikenakan oleh perempuan. Pakaian-pakaian adat tersebut biasanya dikenakan pada saat ada pesta.

Bencana gempa yang terjadi 6 bulan yang lalu (28/09/18) menghancurkan rumahnya. Yang membuatnya semakin sedih adalah mesin jahit kesayangannya ikut rusak akibat tertimpa material dari rumahnya ketika gempa terjadi.

“Rusak, tertimpa dinding dan lain-lain. Sekarang (mesin jahitnya) tidak bisa diperbaiki lagi,” kata Dorce.

Mesin jahit yang digunakannya sekarang ini merupakan pinjaman dari tetangganya, Maryam. Kebetulan mesin tersebut tidak sedang digunakan oleh Maryam.

“Jadi saya pinjam dulu saja mesin jahit ini dari dia,” kata Dorce. Sehingga Dorce dapat melanjutkan mata pencaharian sebagai

penjahit. “Saya bersyukur para pelanggan masih tetap mencari saya

walaupun sementara ini pindah kesini,” kata Dorce. Penghasilan sebagai penjahit dirasa agak menurun. Hal

tersebut mungkin berhubungan dengan kondisi masyarakat pasca bencana yang pada masa enam bulan setelah bencana masih mencoba untuk menata kembali perekonomian mereka.

“Sebenarnya, kalau rutin ada yang pesan baju lumayan juga. Tapi untuk sekarang ini tidak dan kalau langsung bikin baju tidak bisa, tidak ada modal,” kata Dorce.

“Kalau ada yang memesan baju barulah saya beli bahannya,” tambahnya. Untuk mengisi kekosongan ketika tidak ada pesanan, Dorce membuat bembengan. Kebiasaan masyarakat di Sulawesi Tengah, ketika ada pesta atau kedukaan, mereka datang sambil membawa beras. Bembengan adalah tempat untuk membawa beras tersebut.

“Daripada hanya diikat-ikat begitu saja, kan kalau pakai ini (bembengan) kelihatan lebih baik,” kata Dorce.

“Sampai Palolo bembengan buatan saya ini,” tambahnya sambil tersenyum. Palolo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sigi.

Bersambung ke halaman 7...

DORCE: MENJAHIT KEMBALI HARAPAN

Dorce, warga Dusun 3 Desa Boladangko, menunjukkan Halili buatannya.

Foto: Martin Dody/ERCB

3

Page 4: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Desa Salua, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kulawi, berjarak sekitar 60 kilometer dari kota Palu. Desa ini termasuk yang terdampak ketika bencana

gempa (28/9/18) melanda wilayah Sulawesi Tengah. Untuk wilayah desa ini, ancaman tidak hanya datang dari gempa, namun justru ancaman yang sering kali mengintai desa ini adalah banjir bandang.

Terhitung sejak bencana gempa lalu (28/9/18), Desa Salua telah diterjang banjir bandang yang cukup besar sebanyak dua kali. Yang pertama terjadi pada tanggal 11 Desember 2018 dan yang kedua belum lama terjadi, tepatnya pada tanggal 9 Maret 2019.

Banjir bandang yang pertama berdampak pada 79 kepala keluarga. Lebih dari 40 rumah sudah tidak layak huni lagi saat itu. Selain perumahan warga, pasar, banjir tersebut juga merusakkan fasilitas pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah pertama (SMP) yang kesemuanya terletak di Dusun 3, Desa Salua. Banjir bandang yang kedua semakin

membuat dusun tersebut tidak layak huni. Selain membawa material lumpur, banjir-banjir bandang tersebut juga membawa potongan-potongan kayu yang cukup besar.

Adnan (33), seorang warga Dusun 3 mengatakan jika banjir ini tidak ada hubungannya dengan perambahan hutan di wilayah atas

“Kalau dilihat dari kayu yang tercerabut dari akarnya juga usianya, bukan dari akibat penebangan liar,” kata Adnan.

Gempa yang terjadi September 2018 lalu disinyalir membuat retakan atau rekahan di wilayah perbukitan.

“Ketika hujan datang, rekahan-rekahan tersebut terisi air yang membuat wilayah di perbukitan rapuh. Sehingga ketika terjadi banjir, dampaknya luar biasa,” tambah Adnan.

Warga Dusun 3 untuk sementara tinggal bersama saudara mereka. Sebagian ada yang membangun hunian-hunian sementara menggunakan material yang ada, termasuk memanfaatkan kayu-kayu yang dihanyutkan oleh banjir bandang.

Dewi Fatimah, menunjukkan alat belajar dan kondisi bangunan TK

Pelangi di Desa Salua. Foto: Martin Dody/ERCB

PELANGI DI SALUA

4

Page 5: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Dewi Fatimah (30), warga Dusun 3 yang juga mengajar di TK Pelangi Salua menyampaikan keprihatinannya tentang kondisi bangunan sementara TK tempat dimana ia mengajar. TK yang dulunya terletak di Dusun 3 sudah direlokasi ke halaman milik Gereja Bala Keselamatan Salua beberapa saat lalu. Dibangun dengan menggunakan bambu, kondisinya saat ini membutuhkan perhatian.

“Bambu-bambunya sudah keluar bubuk semua. Takut juga kalau ketika sedang digunakan tiba-tiba ada apa-apa dengan bangunannya,” kata Dewi.

Kareba Palu Koro yang menyempatkan melihat kondisi bangunan TK tersebut juga melihat bahwa sebagian besar bambunya sudah mulai lapuk dan keluar bubuk.

“Kalau misal hujan turun, sekolah terpaksa diliburkan karena air masuk semua ke dalam,” tambahnya.

Bentuk bangunan yang terbuka selain membuat air mudah masuk, juga menyebabkan beberapa perlengkapan sekolah seperti alat tulis, alat permainan, meja, dan bahkan tikar hilang.

“Tidak tahu siapa yang ambil,” kata Dewi. Saat ini masih ada sekitar 17 anak yang belajar di TK tersebut.

Kepala Desa Salua, Yohanis Romang, ketika dihubungi membenarkan hal tersebut.

“Beberapa hari lalu, Bu Dewi minta ke saya alas untuk belajar di TK. Saya tanya kemana yang biasa dipakai, ternyata hilang

dicuri,” kata Yohanis. Menurut Yohanis, sebetulnya banyak yang berminat belajar

di TK Pelangi ini dan ia prihatin dengan fasilitas yang ada pascabanjir bandang menerjang TK tersebut. Ketika disinggung tentang TK Bala Keselamatan yang sudah mulai dibangun kembali, Yohanis membenarkan hal tersebut.

“Ya, sudah mulai dibangun kembali. Namun fokus saya adalah TK Pelangi ini karena TK inilah milik desa,” katanya.

Pemerintah desa sebenarnya sudah membidik sebuah lahan seluas 2,5 hektar yang letaknya masih di dalam desa tersebut untuk merelokasi warga terutama warga Dusun 3 dan juga fasilitas-fasilitas umum yang ada di wilayah dusun tersebut, termasuk fasilitas-fasilitas sekolah.

“Rencana disanalah nanti TK hingga SMP Pelangi akan dibangun kembali. Demikian juga warga Dusun 3 akan direlokasi,” kata Yohanis.

Kendala utama untuk perolehan lahan tersebut adalah dana. Menurut penuturan Yohanis, desa telah berusaha untuk mengumpulkan dana tersebut namun sampai dengan saat ini belum mencukupi untuk membeli lahan yang dimaksud.

"Belum lagi nanti untuk pembersihan dan perataan lahannya juga tentu akan butuh biaya. Walaupun memang dari isi lahan tersebut bisa ada juga pemasukan, misalnya dari penjualan batang-batang kelapanya,” kata Yohanis. (mdk)

TK Pelangi di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB

5

Page 6: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Selain jenis perahu dan kayu, para nelayan juga menyampaikan tentang dimana perahu-perahu tersebut dibuat. Oleh karenanya, disepakati pembuat kayu di Kaliburu dan Batusuya yang dipilih untuk membuat perahu-perahu rono bantuan dari ERCB (Emergency Response Capacity Building) tersebut.

“Seminggu sekali saya upayakan untuk melihat perkembangan pengerjaan perahu tersebut di Kaliburu dan Batusuya agar saya juga bisa memberikan informasi kepada para nelayan jika ditanya. Terkadang, saya juga tunjukkan foto-fotonya untuk semakian meyakinkan mereka,” kata Hardin.

Pelibatan masyarakat dalam penentuan jenis perahu hingga dimana perahu tersebut dibuat dipandang penting. Hal tersebut karena masyarakatlah yang lebih tahu kebutuhannya. Selain itu, sebagai nelayan yang telah menjalani profesinya bertahun-tahun, warga di kelurahan Panau tahu apa yang terbaik untuk mereka.

“Bentuk-bentuk pemberian informasi tentang perkembangan pengerjaan perahu bahkan dengan menunjukkan foto sebenarnya merupakan upaya mewujudkan akuntabilitas lembaga kepada warga terdampak yang dibantunya,” kata Widya Setiabudi, salah satu pendamping ERCB.

Ditambah dengan komunikasi yang baik, pelibatan masyarakat dalam prosesnya sedari awal, membuat pemenuhan kebutuhan perahu rono di kelurahan Panau berjalan dengan baik dan sesuai dengan. (ws/mdk)

Berita Foto

Menjadi Lebih...Sambungan halaman 1...

6

Page 7: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Pemberian bibit sayuran yang diikuti dengan pelatihan untuk pembibitan dan penanamannya, serta pelatihan pembuatan pupuk organik dirasa juga membantu.

“Tanam sayur di lahan yang ada juga membuat saya senang. Bisa kurangi untuk membeli sayur untuk mencukupi kebutuhan keluarga,” kata Dorce.

“Kalau beli terus, tidak lari (minimal) itu dari dua puluh ribu. Paling yang tidak ada sekarang tempe dan tahu,” tambahnya.

Ketika disinggung tentang bantuan, Dorce mengatakan bahwa sampai saat ini terkadang ia masih menerima bantuan logistik. Untuk rumahnya yang hancur, ia menerima bantuan seng, pasir, dan material lainnya. Namun material yang diterima belum lengkap dan mencukupi untuk membangun sebuah rumah. Oleh karenanya ia mencoba menabung dari penghasilannya menjahit untuk membeli material tambahan.

“Pokoknya harus tetap beraktivitas, jangan diam saja. Kalau diam saja bisa stres,” ujar Dorce sambil tertawa.

“Yang paling saya rindukan sekarang adalah memiliki mesin jahit kembali,” tutupnya. (mdk)

Sambungan halaman 3...

Dorce...Berita Foto

Hamdan Limonu, ERCB, saat bersama Kareba Palu Koro di Kelurahan Talise untuk melihat tambak garam wilayah tersebut. Tambak garam yang membentang seluas kurang lebih 18 hektar ini sudah mulai digarap kembali setelah sebelumnya dipenuhi puing dan sampah akibat gempa dan tsunami (28/9/19). Walaupun sudah dibersihkan dan diratakan kembali, namun proses pembersihan yang belum tuntas mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan. Pembersihan masih diperlukan tidak hanya di area tambak, namun juga di saluran-saluran yang digunakan untuk mengalirkan air laut ke tambak-tambak tersebut. Foto: Martin Dody/ERCB

7

Page 8: MENJADI LEBIH EFEKTIF DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT fileyang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan produksi. Sudah sejak lama, masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Palu menggeluti

KAREBA PALU KORO

Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.

Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (ERCB Indonesia)

Redaksi: Martin Dody Kumoro, Widya Setiabudi

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng

REDAKSIONAL

Dengan dukungan:

“Kalau air (laut) baru langsung dikasih masuk ke meja, hasil garamnya tidak bagus. Harus tunggu 3-5 hari dulu baru bisa,” kata Ali.

Siklus air tersebut terus dilakukan. Ketika garam sudah dipanen, air yang sebelumya sudah diinapkan akan dialirkan ke meja-meja yang ada.

“Jadi saya sekolah juga disini,” tambahnya sambil tertawa.

Yang dimaksud Ali dengan sekolah adalah belajar dari pengalaman selama ia menjadi petani garam. Selain pengkondisian air, di bagian dasar tambak-tambak garam tersebut dibuat rata dan diperkeras agar penguapan berlangsung lebih baik.

Ketika disinggung tentang penghasilan dari penjualan garam pascabencana, Ali menyampaikan bahwa memang ada penurunan. Tapi ia masih bersyukur dengan penghasilan yang didapatkan.

“Seminggu saya bisa jual lima hingga sepuluh karung. Ya kurang lebih bisa ada penghasilan 500 ribu hingga 1 juta,” katanya.

Ali mengakui bahwa kualitas garam yang dihasilkan sekarang ini belum sebagus sebelumnya.

“Masih banyak sampah dan puing-puing bangunan setelah bencana, jadi masih kotor,” katanya.

Proses pembersihannya memang dibantu oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait.

“Untuk meratakan tambak, kita dibantu

alat-alat oleh pemerintah. Ya semacam padat karya gitu mas,” katanya. Namun demikan, sampah dan puing yang sempat memenuhi area tersebut, sedikit banyak telah mencemari tambak-tambak yang ada.

Di saluran-saluran yang digunakan untuk mengalirkan air laut ke tambak-tambak masih terlihat sisa-sisa puing dan juga sampah.

“Itu juga berpengaruh ke kualitas garam yang dihasilkan. Air yang dimasukkan ke tambak sedikit banyak juga ikut kotor,” Ali menjelaskan.

“Dibutuhkan paling tidak perputaran (siklus) dua tahun hingga bisa didapat garam yang bagus lagi,” tambahnya.

Ali dan para petani garam Talise mengharap bantuan pembersihan lanjutan di area-area tambak mereka. Pembersihan lanjutan itu diharapkan menjangkau juga saluran-saluran air yang ada untuk menjamin kebersihan air yang dialirkan ke tambak. Harapan lainnya adalah pemenuhan hunian sementara karena sampai dengan saat ini sebagian besar dari mereka masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.

Permasalahan tenda yang panas, kemasukan air jika hujan, dan sumber air bersih yang kurang di lokasi pengungsian disampaikan juga oleh Ali. Rumah Ali sendiri sudah rata dengan tanah akibat diterjang tsunami.

“Agak jauh lokasinya pun tidak menjadi masalah, asal kami tidak lagi tinggal di tenda pengungsian,” kata Ali. (mdk)

Petani Garam...Sambungan halaman 2...

Tambak garam di Kelurahan Talise.

Foto: Martin Dody/ERCB

8