menilai sebuah karya tari-kelola

Upload: arahman-ali

Post on 16-Oct-2015

329 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Penilaian Tari

TRANSCRIPT

  • MENILAI SEBUAH KARYA TARIOleh: SAL MURGIYANTO

    Tanggal 10 Juli 2012 lalu, Kelola mengadakan Lokakarya Penulisan Seni Pertunjukan yang diadakan di kantor Kelola dengan pembicara Sal Murgiyanto dan Helly Minarti. Lokakarya ini diikuti oleh sepuluh wartawan seni budaya dan empat penulis independen yang aktif menulis tentang seni pertunjukan.

    Para peserta yang ikut dalam acara ini adalah (berdasarkan abjad):- Dian Yuliastiani (Tempo)- Frans Ekodhanto (Koran Jakarta)- Haris Firdaus (Gatra)- Herlin Putri ( FIB UI)- Ibnu Rizal (Ruang Rupa)- Ika Krismantari (The Jakarta Post)- Lusiana Indriasari (Kompas)- Nofanolo Zagoto (Sinar Harapan)- Ratu Selvi Agnesia (Jurnal Nasional)- Riyadh Shalihin (www.mediateater.com)- Rooslain Wiharyanti (Gramedia Majalah)- Sofian Dwi (Seputar Indonesia)- Utami D. Kusumawati (Jurnal Nasional)- Winda Anggraini (Penulis lepas)

    Tentang Pembicara:

    Sal MurgiyantoSebagai salah satu pendiri Yayasan Kelola, dan juga Indonesian Dance Festival yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Kesenian Jakarta ini adalah seorang pengamat tari dan seni pertunjukan. Saat ini beliau baru kembali dari mengajar di di program S2 di Taiwan National University of the Arts.

    Helly MinartiHelly Minarti sedang memasuki tahap akhir penulisan disertasi di bidang kajian tari di University of Roehampton (Inggris). Ia menulis tentang tari untuk The Arts Magazine (Singapura), The Jakarta Post (1997-2009) serta beberapa jurnal kebudayaan terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Idanca (Portugis) serta USM (Penang). Bidang penelitannya terutama tentang historiografi modernisme tari di Asia serta kebijakan kultural yang mempengaruhi situasi tari global.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • PengantarKritikus tari dibutuhkan karena penglihatannya yang lebih teliti dan terlatih, pikiran yang cerdas dan perasaan yang peka; tulisannya membantu kita memahami pengalaman artistik, kegairahan, dan pencerahan jiwa. Seperti yang sempat disinggung oleh Pak Sal di sesi pertama tadi, dia melihat tugas seorang kritikus tari lebih sebagai pendidik yang memberikan informasi yang berguna, baik bagi para senimanpelaku dan penciptamaupun publik atau penonton.

    Kritik tari paling bermanfaat jika ditulis sedemikian rupa sehingga dapat memberikan pencerahan kepada orang sebanyak-banyaknya dan dalam bahasa yang paling mudah dimengerti. Kritik tari yang baik harus mampu melakukan dua hal. Pertama, menerangi pemahaman penonton dan intensi seniman, dan kedua menunjukkan keunikan/kelemahan pertunjukan yang berguna bagi seniman pelaku maupun pencipta.

    Menurut Pak Sal, kritikus pada dasarnya adalah guru. Komentar mereka terhadap sebuah karya seni memiliki daya untuk mempengaruhi, memberi instruksi, menarik perhatian, memberi indikasi, memberi saran kuat, mengingatkan, mengoreksi, dan ribuan fungsi sejenisnya.

    Idealnya, tapi belum tentu selalu tercapai, seorang kritikus tari juga harus memiliki ketajaman intuisi, kepekaan estetis, pengetahuan yang luas tentang berbagai bentuk seni karena penilaian yang baik acapkali harus dilakukan lewat perbandingan horizontal yang wajar. Di samping itu ia juga memerlukan pengetahuan tentang sejarah perkembangan dan teori seni yang memadai di bidangnya untuk mengadakan perbandingan vertikal. Ia juga perlu memiliki pengetahuan produksi: apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin dilakukan, agar dapat mengevaluasi sisi teknis sebuah pertunjukan. Ia harus memahami kondisi dan situasi masyarakat setempat di mana pertunjukan dilakukan. Kerangka acuan sederhana penulisan kritik tari pun perlu diketahui: koreografi, tari, musik pengiring, dan penghayatan. Akhirnya, pengalaman sebagai pelaku tari, walau tidak mutlak, akan sangat membantu.

    Bekal dan kemampuan dasar apa yang dibutuhkan?Pertama, yang dibutuhkan adalah Teknik atau Keterampilan. Kalau penari membutuhkan teknik gerak, maka seorang kritikus tari membutuhkan

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • keterampilan untuk mengamati pertunjukan tari. Seorang kritikus tari juga membutuhkan keterampilan untuk menuliskan hasil pengamatan dengan bahasa yang mudah dipahami (enak dibaca); tidak dipenuhi istilah muluk dan jargon terminologi yang sulit.

    Kedua Pengetahuan, yang mencakup dua hal: Teks. Kalau dalam sastra, teks adalah yang tertulis. Kalau di dalam seni pertunjukan, teks adalah apa yang terjadi di atas panggung, yaitu penarinya, teknik tarinya, koreografinya, estetikanya, gaya dan genrenya, teknik produksinya, pertunjukan tari itu sendiri, dan cabang seni lain yang berkaitan dengan tarian yang ditulisnya. Yang kedua adalah Konteks. Bisa konteks sosial, budaya, sejarah, politik, agama, dsb. Dalam sebuah tulisan kritik, kadang-kadang hanya salah satu atau salah dua yang ditekankan di situ.

    Ketiga Logika atau Pemikiran Kritis. Hal ini merupakan salah satu kebutuhan untuk menjadi kritikus.

    Keempat, tapi sebetulnya harus jadi yang pertama, yaitu Kepekaan Rasa atau Sensibilitas Estetik dan Ketajaman Intuisi. Kepekaan rasa untuk melihat gerak yang dipertunjukkan di sana adalah kebutuhan yang nomor satu. Kebutuhan yang lain yang disebutkan di atas adalah kebutuhan pelengkap.

    Di dalam lokakarya ini Pak Sal hanya ingin membahas bekal atau kemampuan dasar yang ke-3, yaitu logika atau sikap/pemikiran kritis. Hasil pengamatan yang dilandasi kepekaan estetis dan ketajaman intuisi dipadukan dengan pengetahuan tentang teks dan konteks, harus dituliskan dengan teknik menulis yang handal dan pemikiran kritis. Agar melalui interpretasi yang bertanggung jawab dapat dilakukan evaluasi dan dan ditemukan makna pertunjukan bagi para penonton.

    Menganalisa Sebuah Pertunjukan TariLebih dari menumpuk informasi dan pengetahuan, dibutuhkan pemahaman akan makna. Untuk tujuan ini dibutuhkan sikap kritis yang dalam bentuknya yang paling dasar berupa kemampuan berpikir logis. Seorang kritikus tidak boleh mempercayai segala informasi yang ia terima apa adanya. Dalam memberikan saran dan penilaian estetis, ia harus membangun argumentasi yang didukung oleh bukti-bukti dan alasan logis. Bekal inilah yang

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • membedakan seorang kritikus dengan seorang pelapor atau promoter atau PR pertunjukan.

    Sasaran pengamatan seorang kritikus tari adalah pertunjukan, yang medium utamanya adalah gerak. Oleh karena itu, seorang kritikus tari harus memiliki kemampuan mencermati dan menganalisis berbagai komponen gerak dan komponen pertunjukan. Pengetahuan tentang teknik gerak, struktur koreografi, produksi tari, hubungan antara gerak dan musik pengiring membantu tugas kritikus tari dalam menganalisa sebuah pertunjukan tari.

    Pak Sal mengutip buku Janet Adshead yang berjudul Dance Analysis, yang mengatakan bahwa ada empat langkah penting dalam membuat sebuah analisa, atau menulis kritik tari.

    1. Kita harus mengenali dan mendeskripsikan komponen-komponen pertunjukan tari seperti gerak, penari, aspek visual, dan elemen-elemen auditif.

    2. Kita harus memahami hubungan antrara komponen pertunjukan dalam perjalanan ruang dan waktu. Mengenali bentuk dan struktur koreografi.

    3. Kita harus mampu melakukan interpretasi berdasarkan konsep dan latar belakang sosial, budaya, konteks pertunjukan, gaya dan genre, tema & isi tarian, dan konsep interpretasi spesifik berbeda antara penulis satu dengan yang lain.

    4. Kita harus bisa melakukan evaluasi berdasarkan: a. nilai-nilai yang berlaku di dalam kebudayaan dan masyarakat

    pendukung tarian. Sebagai contoh Pak Sal menjelaskan, tarian Jawa itu menghargai kualitas yang lembut, wanita yang lemah lembut, batiknya yang lembut, maka tariannya pun lembut dan pelan; berbeda dengan tarian Minang yang lebih sigap dan lebih cepat. Maka kita tidak bisa menggunakan estetika tari Minang untuk menganalisa tari Jawa.

    b. nilai-nilai khusus yang terkait dengan gaya dan genre, isi dan pesan tari, misalnya adakah kaitan antara tari itu dengan politik, kritik sosial, atau tentang masalah gender seksualitas, dsb.

    c. konsep-konsep spesifik tarian yang mencakup efektivitas koreografi dan efektivitas pertunjukan. Pak Sal kemudian memberikan penjelasan dari efektivitas koreografi. Ada koreografi yang biasa-

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • biasa saja, tetapi bisa terangkat karena penarinya berkualitas bagus; sebaliknya, ada koreografi yang bagus, tapi karena penarinya tidak mampu, bisa saja pertunjukannya menjadi jelek. Kedua, efektifitas pertunjukan berbicara mengenai apa yang dicari dari pertunjukan itu.

    Dari penjelasan ini, Pak Sal menyimpulkan bahwa ada 2 tahap dalam menganalisa pertunjukan tari. Tahap pertama adalah untuk mencermati hal-hal yang berkaitan dengan 'teks' atau pertunjukan itu sendiri. Tahap kedua adalah untuk mengenali 'konteks' atau hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, aspek budaya, sosial, politik, ekonomi, dan agama yang merupakan bekal penting untuk menginterpretasi dan menilai keberhasilan sebuah pertunjukan.

    Penilaian Subyektif dan ObyektifPenilaian baik dan tidak baiknya sebuah pertunjukan tari dapat dilakukan dari dua pendekatan yang berbeda: subyektif dan obyektif. Namun pengagungan terhadap salah satu kutub ekstrim subyektif maupun ekstrim obyektif mengandung kelemahan.

    Kubu ekstrim subyektif beranggapan bahwa dalam mengapresiasi seni tari, penggunaan logika atau nalar dianggap tidak tepat, tidak relevan, dan tidak coherent karena akan menghalangi munculnya perasaan spontan yang merupakan elemen esensial dalam kreativitas seni. Pemahaman ini muncul karena adanya anggapan dikotomis sederhana yang mempertentangkan emosi dengan rasio atau nalar. Padahal sebenarnya reaksi kita terhadap sebuah pertunjukan tari memang emosional, tetapi yang emosional ini ada hubungan internalnya dengan yang logis, antara tarian yang kita amati dengan respon emosional kita.

    Kelemahan lain dari kubu ini adalah, kritik yang semata-mata bertolak dari ketajaman intuisi mengandung bias karena seorang kritikus dididik dan dibesarkan di dalam lingkungan budaya tertentu. Pengaruh budaya ini tidak mudah dihilangkan sehingga bias pribadi dan etnosentrisme sering mewarnai kritiknya. Mungkin sekali tanpa sadar kritikus ekstrim-subyektif memaksakan kriteria seni yang diakrabinya untuk menilai pertunjukan seni yang baru dikenalnya.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Sebaliknya, kritik ekstrim-obyektif memusatkan perhatiannya pada elemen-elemen artistik yang melekat pada karya seni seperti gaya, teknik, dan biasanya mengabaikan latar budaya dari mana tarian atau penata tari berasal. Dengan kritik obyektif, penilaian suatu karya seni lebih dekat dengan deskripsi murni. Dalam pendekatan ini, nilai karya dicari di dalam kualitas estetik formal seperti bentuk dan warna.

    Yang perlu diawasi adalah paham absolutis yang menganggap ada satu standar/kriteria seni yang dapat digunakan untuk menilai karya seni dari seluruh dunia tidak peduli dari manapun asalnya. Memang tari memiliki elemen-elemen dasar seperti ruang, waktu, dan dinamika yang sifatnya universal. Akan tetapi sekalipun unsur-unsur tersebut merupakan dasar dari segala macam tarian, dalam setiap tarian mereka diatur, dirangkai, dan dipadukan secara berbeda sesuai latar budaya, nilai hidup yang dianut masyarakat, konsep estetik, dan kemampuan kreatif individual. Karena keterbatasan ruang dan waktu, Pak Sal memilih untuk membahas 3 tiga komponen saja dari sebuah pertunjukan tari yang dianggapnya penting, yaitu: penari, koreografi, dan penata tari atau koreografer.

    Melihat PenariPenari adalah komponen pertunjukan yang sangat penting di dalam sebuah pertunjukan tari. Seorang kritikus wajib menjelaskan kriteria yang ia gunakan untuk menilai baik buruknya seorang penari.

    Menurut Pak Sal, penari yang baik menguasai tiga aspek dasar kepenarian, yaitu teknik-gerak bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik; mempunyai musikalitas kepekaan irama yang bagus; dan penghayatan. Tergantung dari asal gaya dan genrenya, ketiga ketrampilan tersebut dikenal dan diterapkan khas sesuai tuntutan karya tari dan pendekatan koreografi. Misalnya dalam tari tradisi keraton Jawa misalnya, tiga aspek tersebut dinamai wiraga (gerakan, ulas raga), wirasa (ulas rasa), dan wirama (musikalitas, kepekaan ritme). Walaupun istilah serupa juga dikenal dalam tari tradisi Bali dan Sunda, namun penerapannya berbeda. Seorang penari yang menguasai teknik-gerak dengan baik, dapat melakukan gerakan yang sulit tetapi kelihatan sangat gampang: ini yang membedakan penari yang terlatih dengan seorang awam. Tetapi penguasaan gerak

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • bukanlah tujuan akhir seorang penari. Kalau teknik gerak menjadi tujuan akhir maka pameran gerak 'akrobatik' akan mendominasi, yang bisa tampil wajar di dalam genre tari tertentu, tetapi sangat menganggu dalam genre atau gaya tari yang lain.

    Dalam dunia tari sering ada ungkapan teknik gerak dipelajari untuk dilupakan. Maksud ungkapan ini sama seperti di dalam dunia persilatan. Ketika masih belajar, seorang pesilat harus berulang-ulang melakukan jurus-jurus yang dipelajarinya sesuai dengan aturan di bawah bimbingan seorang guru yang handal. Tetapi ketika bertarung menghadapi musuh, seorang pesilat tidak boleh berpikir-pikir lagi, tetapi gerakannya harus intuitif. Respon atau inisiatif gerak harus dilakukan berdasarkan intuisi dan respon spontan terhadap gerakan lawan dengan cepat dan tepat.

    Baru ketika teknik dan irama gerak sudah menjadi milik (dapat dilakukan secara naluriah) maka seorang penari dapat mengkonsentrasikan dirinya pada wirasa, yaitu penghayatan karakter dan/atau rasa gerak. Sebagai ilustrasi, Pak Sal mengutip seorang penari Wang Wei-Ming yang berlatih secara tekun dan disiplin keras untuk menguasai standar teknik gerak yang tinggi. Tetapi setelah menarikan Song of The Wanderers karya Lin Hwai-Min dari Cloud Gate Dance Theatre Taipei, sebanyak lebih 150 kali, dia mengubah sikap profesional dan tujuan hidupnya:

    Instead of super dance technique, he now seeks an inner quality. He no longer cares about what people say. Performance to him is just a form through which he purifies his mind. It is like the Japanese tea-ceremony. The purpose of a tea-ceremony is neither to satisfy the desire of thirst nor asses the quality of tea. The main goal is how

    through a complicated process and ceremony to achieve a state of peaceful mind. This is the same with Wang Wei-Mings way of dancing:

    he exerts himself to attain inner tranquility.

    Sedikit menyimpang dari topik, Pak Sal mengingatkan bahwa pernyataan semacam yang dikutipnya barusan ini bisa didapatkan oleh seorang penulis jika dia bisa mewawancara dan memancing penari atau penata tari untuk mengutarakan apa ingin mereka sampaikan. Menurut Pak Sal, biasanya seorang penari atau penata tari kurang bisa merangkai kata-kata dengan baik. Tapi seorang pewawancara yang baik akan bisa membantu

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • merumuskan apa yang ingin disampaikan. Selain harus menguasai teknik-teknik wawancara, seringkali juga dibutuhkan kesabaran.

    Kembali ke topik, selain menguasai ketiga aspek yang disebutkan di atas, seorang penari yang baik memiliki personality atau kepribadian. Dalam menari atau membawakan peran, ia akan tampil dengan ciri atau gaya pribadi unggul yang sulit ditirukan oleh penari lain. Mengenai hal ini Pak Sal mengutip seorang mantan penari Cloud Gate, Yang Mei-Rong, yang pernah berguru dengan Ross Parkes, seorang penari dan guru tari dari Australia:

    Although dance technique is a big part of a performance, Mr. Parkes believes that how dancers interpret movement vocabularies with their own understanding and how dancers represent the vocabularies with

    inner feeling are what dance is meant to the audience.

    (Teknik menari itu penting, tapi bukan segala-galanya. Kemampuan interpretasi masing-masing juga penting sekali. Dengan interpretasi

    yang tepat dan pendalaman yang baik, seorang penari lebih bisa menghidupkan peran yang dia bawakan dan bukan sekedar menjadi

    alat penata tari.)

    Selain itu, seorang penari yang baik juga memiliki rasa percaya diri yang besar. Hal ini ditegaskan dalam kutipan seorang penata tari, Doris Humphrey:

    Penari dengan rasa percaya diri yang besar memiliki kekuatan; komposisi tari yang sedang-sedang saja kualitasnya dapat terangkat jika penarinya memiliki keyakinan diri yang besar terhadap karya tari

    yang dibawakannya, menyaksikan seorang penari yang memiliki keyakinan diri yang kuat, penonton mudah terbawa untuk

    mempercayainya.

    Sehubungan dengan hal ini, Pak Sal teringat akan ucapan Farida Faisol ketika dia melihat Sardono menari sebagai Rahwana. Waktu itu Sardono berperan sebagai Rahwana dan dia hanya berdiri diam sambil membuat gerakan-gerakan kecil di jarinya. Farida yang tidak terlalu mengerti tari Jawa, bisa menyatakan bahwa walaupun Sardono hanya diam dengan geraka-gerakan kecil itu, dia bisa menerbitkan perasaan khusus bagi

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • penontonnya. Stage presence-nya sangat kuat. Seorang penari yang lebih dari yang biasa tadi tidak sekedar menguasai wiraga, wirasa, wirama, tapi juga punya stage presence yang kuat.

    Rasa percaya diri dapat dibangun dari dua arah: dari dalam diri penari melalui penguasaan teknik, kesadaran akan kondisi (keterbatasan dan kelebihan) tubuhnya, serta persiapan mental; dan yang kedua, dari luar diri penari melalui bimbingan pelatih/guru, pujian orang lain, dan penampilanwajah, rias, busana dsb. Seorang penari pemula cenderung membangun rasa percaya diri lebih dengan meningkatkan faktor luar. Penari yang lebih matang cenderung melatih kemampuan yang ada di dalam tubuhnya sendiri.

    Mengenai hal ini Pak Sal kembali mengutip Yang Mei-Rong yang menuturkan pengalamannya:

    Semakin sering saya menari di atas panggung, semakin dekat saya dengan diri saya yang sesungguhnya; dan ketika saya mulai memahami dengan baik

    diri saya sendiri, saya tak lagi memerlukan pengakuan atau pujian dari orang lain.

    Seorang penari yang baik juga harus memiliki performing qualities. Sekali lagi Pak Sal mengutip Ross Parkes:

    When dancers are on stage, they are not the tools of the choreographer. They are creators who give the meaning and the life to

    the dance. Dancers have to interpret the dance with their own characteristics and their own sense of musicality. They also have to pay close attention to other dancers. When they are on stage, they

    need to have full sense of kinesthetic awareness.

    Mencermati Koreografi dan Penata TariKoreografi yang baik berjalan serupa dengan perjalanan hidup manusia yang tercermin dalam komposisi: ada bagian awal, ada bagian tengah, dan ada bagian akhir. Jika kita memakai pedoman kriteria bentuk artistik konvensional Barat, maka komposisi yang baik memiliki kesatuan atau unity yang dibangun dari unsur-unsur. Ada variety, ada sequence, ada transition, ada climax, ada repetition, ada contrast, ada balance, dan ada harmony. Tetapi perlu kiranya diingat bahwa tidak setiap karya tari memuat

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • segala unsur atau aspek keindahan-bentuk di atas dan bahwa karya tari tradisional memilki pedoman keindahan yang khas dan saling berbeda. Karya-karya tari yang lebih baru: modern, kontemporer, eksperimental, avant garde, post-modern sering dengan sengaja menolak atau sengaja mengambil fokus pada kualitas-kualitas tertentu saja.

    Jika hidup manusia memiliki tujuan, maka sebuah karya seni juga memiliki pesan. Ada bentuk yang mewadahi isi atau pesan. Dalam analisis tari, tugas seorang kritikus adalah bagaimana kita bisa menafsirkan (atau menginterpretasikan) isi atau pesan tarian melalui pengamatan bentuk yang teliti dan kritis. Dengan perkataan lain memadu pemahaman kita akan teks (pertunjukan tarinya sendiri) dengan ruang di mana karya tersebut diciptakan dan dipertunjukkan, serta konteks (sosial, budaya, politik, agama dan sebagainya).

    Di sini Pak Sal mengutip deskripsi ringkas dan interpretasi Yang Mei-Rong ketika mencermati koreografi Three Aspects dari Ross Parkes.

    Three Aspects has three sections (ini yang Pak Sal sebut dengan struktur). The first section is a group dance with five female dancers. The movement qualities in this section are fast and strong that express

    the aspect of fortitude in female. The second section is a trio with three male dancers. Interestingly, here the movements seem to be

    softer and slower than the first section. This section depicts the vulnerable and weak side of male as well as the inner struggles within man. The third section has two duets of male and female. This section

    looks like the battle between different sexualities. Females, to the choreographer, are not necessarily weak or depend upon male.

    Through his work, the choreographer bravely challenges the social norms and makes the end of his work shows in a way that females

    were stronger than males.

    In Three Aspects, Mr. Parkes disproves the social norms and stereotype of sexual roles. His work suggests that we should not let

    society tell us what to do and that the males were not always superior to female. Mr. Parkes believes that every human being, whether male or female, has the weak as well as the strong side. We should be able

    to stand fast against the pressure from the society and to keep the essence and distinct characteristic of our own.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Koreografi semacam ini jelas lebih dari sekedar rangkaian gerak indah yang ekspresif dan menawan tetapi memiliki pesan yang penting. Makna atau pesan yang terkandung di dalam koreografi mungkin sangat sesuai dengan latar kehidupan penata tari (dari Australia) dan komposisi penontonnya (dari Taiwan), tetapi belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat di tempat lain. Seorang penata tari, tegas Mr. Parkes, harus terus menerus melakukan riset bagi karya-karyanya:

    There was a time I was very interested in geology. My work called Tectonic Landscape showed my interest in geology. Before I started

    choreographing, I spent sometimes on reading books about this subject and I made sure that I knew enough knowledge about this

    subject to come up with a dance.

    Di sini Pak Sal sedikit mengingatkan, bahwa sebelum menulis sebuah analisa/kritik tari, ada baiknya jika si penulis sudah melakukan riset semacam ini (membaca kutipan-kutipan yang relevan), sehingga ketika mulai menulis, si penulis sudah mempunya bekal yang cukup untuk memberikan interpretasi atau menilai apa yang ditarikan.

    Perlu disadari bahwa dalam tari kontemporer, setiap penata tari memiliki kerja keyakinan/konsep dan pendekatan garap yang berbeda. Pak Sal memberikan contoh pernyataan penata tari Lin Li-Chen berikut ini:

    For a choreographer, the most important thing is to be honest. There is no great piece, just touching piece. Every artistic practitioner must

    use sincere method to express what he or she feels, although it is different between each method. A real artistic creation is the

    expression of life experience. It must be accumulated through a long time. When a choreographer works with him- or herself honestly, he or

    she will have the chance to create excellent work.

    Pak Sal juga mengutip seorang penari Butoh terkenal dari Jepang, Min Tanaka,

    I am dreaming of a dance space, a place like a garden, where someone might simply come in as a surprise and start to dance or just be. I have

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • been thinking of such a dance space for some time. A closed structure like a theater cannot be a place like that.

    Sesuai dengan keyakinannya maka Min Tanaka pun membuka perguruan tarinya di lereng gunung dan bekerja sebagai peladang.

    Kutipan berikutnya adalah sebuah komentar seorang penari terhadap cara berlatih penari-penata tari Ku Ming-Sheng:

    Ms. Ku especially emphasizes on exploring the body within. When I take her modern dance class or improvisation class, she guides us to feel what is happening inside our bodies and I can close my eyes to feel instead of correcting our movement shapes by looking into the

    mirror. She wants us really go into our bodies and to enjoy the movements.

    Pak Sal menjelaskan sedikit. Tarian barat, khususnya Ballet, menggunakan cermin untuk membantu proses latihan. Cermin tersebut digunakan untuk memeriksa apakah postur tubuh atau gerakan yang dilakukan sudah benar. Tapi untuk penari Bedhaya, cermin tidak menjadi keharusan, karena yang penting adalah kekayaan konsep geraknya, yang diperiksa dengan merasakan gerakannya, merasakan momennya. Ini terlihat ketika kita menonton tarian Bedhaya, gerakan para penarinya tidak selalu serempak.

    Kemudian Pak Sal melanjutkan kutipan penari tadi:

    For her, dancing is not just doing some good-looking posture or movements. By doing this, she helps us dancers to build our

    confidence from the process of experiencing the body instead of comparing with other dancers and from this process I can understand

    my body better. Selanjutnya Pak Sal memberi kutipan dari penari Wang Wei-Ming yang pernah bekerja dengan dua penata tari handal Lin Hwai-Min (Taipei) dan Helen Lai (Hong Kong). Dia menuturkan bahwa kedua penata tari memiliki pendekatan garap dan cara bekerja yang sangat berbeda.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Ms. Lais way of working with dancers is totally different from Mr. Lin Hwai-Min. I got more freedom from Helen. She gave me more space to

    develop something from the inside of me. Sometimes the things I created didnt fit her mind, but she would tell me by euphemism. Unlike Ms. Lai, Mr. Lin has more rules. When he choreographs, he exactly knows what he wants, so you cannot change anything.

    Wang Wei-Ming tidak pernah lupa komentar Helen Lai berikut ketika dia begitu terbawa oleh kebiasaan dengan Lin, dia hafalkan betul gerak-gerak itu tadi. Komentar yang diterima dari Helen Lai sangat membingungkan dia , You rehearse too much. I dont want you to master this work too much. Bagi penata tari yang satu ini, terlampau menghafal gerakan adalah suatu kekurangan, karena dengan begitu si penari tidak mempunyai ruang lagi untuk berkembang. Menurut dia, 'mastery' memberi koreografi dan penari bingkai yang mati, yang membatasi pertumbuhan seorang penari. Sikap artistik dan pendekatan koreografi ini sangat berbeda dengan Mr. Lin, karena bagi Mr. Lin, 'mastery' adalah dasar dan sangat penting. Untuknya, semakin seorang penari menguasai materi koreografi semakin baik.

    Catatan Akhir Di dalam menilai sebuah karya tari, kita dapat bersikap positif atau negatif. Yang perlu diingat, kritik negatif harus disertai alasan-alasan atau argumentasi yang dapat ditrerima oleh akal, seperti disarankan oleh Joan Acocella:

    dalam sebuah resensi yang negatif, nilai-nilai yang dipedomani seorang kritikus akan dijabarkan dengan lugas dan jelas, yang

    biasanya tidak ditemui di dalam resensi yang positif. Ketika saya melihat kembali resensi-resensi negatif yang pernah saya tulis, saya

    melihat keberatan saya selalu mencakup salah satu atau lebih dari empat hal berikut: bahwa karya yang saya amati terlampau

    sederhana; kedua, karya itu tidak bicara apa-apa; ketiga, karya itu terlampau sentimental; dan keempat, karya itu terlampau pretensius.

    Pada dasarnya hal-hal yang saya sebut tersebut adalah potret dari nilai-nilai yang saya yakini.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Bagi Pak Sal sendiri, tiga hal yang dia cari di dalam menulis kritik tari adalah karakter, kualitas, dan makna yang mungkin terkandung di dalam pertunjukan yang dia amati.

    Sesi Diskusi

    Kemudian Pak Sal mengundang para peserta untuk melanjutkan diskusi yang tadi. Ia mengundang para peserta untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan belum terjawab, sambil mengkaitkan dengan apa yang dibahas di sesi kedua.

    [Ibnu Rizal Ruangrupa]Ibnu menanyakan mengenai irisan-irisan genre. Akhir-akhir ini ia sering melihat ada istilah tari-teater/teater-tari. Untuk genre ini, seorang penulis harus melihat dari sisi mana: teater atau tarinya?

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal menjawab bahwa kalau secara praktis sebenarnya hal itu tergantung dari disiplin ilmu si penulis. Biasanya, lebih baik melihat dari apa yang dirasa lebih kuat dimengerti. Kalau secara obyektif, di Jerman ada istilah Tanztheater. Genre ini sebetulnya termasuk bentukan tari kontemporer.

    Sedikit melenceng, Pak Sal mengingatkan bahwa inilah pentingnya banyak melihat dan membaca agar dapat mengenal perbedaan-perbedaan ini, misalnya Pak Sal mengambil contoh, antara tari modern Amerika dan tari kontemporer Jerman. Yang dari Jerman, kita harus mulai dari Pina Bausch, di mana karyanya susah dicerna, tapi sarat dengan tema. Sedangkan tari modern dari Amerika bertumbuh dari Martha Graham, Ruth St. Denis, dan Merce Cunningham, di mana gerakan adalah elemen yang penting.

    Kembali ke pertanyaan Ibnu, di Jerman yang namanya Tanztheater, pedoman yang sering digunakan adalah kutipan dari Pina Bausch yang mengatakan bahwa kita tidak memberikan perhatian yang besar kepada bagaimana orang bergerak, apa gerakan apa yang dilakukan penari, tetapi bagaimana kita bisa menggerakan hati dari penonton, melalui apa yang Anda lakukan. Jadi bagi mereka, ikatan dan hubungan sosial jauh lebih dekat dan lebih penting, daripada apa yang dilakukan di Amerika. Di

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Amerika bisa abstrak, kita bisa menilai cukup dari komposisi geraknya itu sendiri.

    Pak Sal memberikan referensi tambahan untuk Ibnu dan para peserta jika mereka mau menambah bahan bacaan. Jika mau tahu lebih jauh tentang pembahasan tari kontemporer atau modern, ada majalah Jerman yang bisa dijadikan referensi, Ballet-Tanz Actuel. Tapi untuk yang lebih mudahnya, ada website tanzconnexions, di mana kita bisa melihat apa yang terjadi di Eropa.

    Tetapi Pak Sal mengingatkan lagi, dalam menilai suatu tarian, biasanya tidak bisa secara umum dikatakan bahwa sebuah tarian adalah tarian Eropa atau budaya Eropa karena masing-masing daerah memiliki kekhususannya sendiri. Sebagai penulis kita harus melihat dan menggali ke ruang lingkup yang lebih sempit dan lebih tajam. Terkadang juga penting untuk mengenali latar belakang penari/koreografernya sendiri. Misalnya ada penari Jawa yang dari Belanda. Bagaimana dia berlatih tarian Jawa, apakah di Indonesia, apakah di Belanda, berapa lama, seberapa intensifnya, bagaimana dia bisa melihat Jawa dari Belanda. Detil-setil semacam ini mesti dikupas kalau si penulis mau bicara mengenai konteks dan nilai budaya.

    [Ratu Selvi Agnesia Jurnal Nasional]Selvi mengamati bahwa tari-tari di Indonesia saat ini rujukannya lebih kepada tari kontemporer, baik dari Eropa atau Amerika. Dia juga mengamati bahwa beberapa penata tari, khususnya para koreografer muda dari IKJ yang angkatannya di bawah Jecko, lebih banyak memfokuskan kepada konteks daripada penarinya, khususnya topik tentang keadaan-keadaan masa kini yang urban. Padahal jika mencermati yang dibahas Pak Sal barusan, 3 elemen penting dalam seni pertunjukan adalah penari, koreografi dan penata tari. Selvi menanyakan pendapat Pak Sal mengenai asal pengaruh kecederungan ini, atau apakah menurut Pak Sal para koreografer muda ini ingin menciptakan sebuah gaya atau genre yang baru dari tari kontemporer itu.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal berharap Selvi menyertakan hasil pengamatannya ke dalam tulisan reviewnya. Pak Sal sendiri mengaku sudah agak lama tidak mengikuti apa yang terjadi di Indonesia, namun menurutnya, walaupun mungkin ada orientasi ke pengaruh gaya tari kontemporer, tapi secara riil sebetulnya

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • masih tidak sebanyak di Taiwan. Kemungkinan lain yang ditawarkan Pak Sal adalah karena anak-anak IKJ itu tinggal di Jakarta, sehingga orientasi mereka kalau diartikan secara kontemporer, berarti berasal dari masa kini. Apapun alasannya, Pak Sal malah mencermati sebuah kecenderungan lain, yaitu seakan-akan orang tidak percaya lagi akan kemampuan tubuh untuk berkomunikasi. Jadi, pertunjukan akhir-akhir ini menampilkan banyak elemen narasi. Pak Sal menyinggung Zero Degrees yang nanti akan dibahas oleh Helly Minarti di sesi ketiga. Menurutnya pertunjukan ini juga memiliki elemen narasi, tapi berhasil digarap dengan baik dan disertai juga dengan gerakan yang bagus.

    Jadi untuk Pak Sal pertanyaan yang lebih penting adalah 'how to present or how to work creatively on this matters'. Ia menyemangati para peserta untuk mengangkat pertanyaan serupa dalam tulisan-tulisan mereka; bagaimana caranya agar bisa menampilkan isu yang ingin diangkat secara kreatif. [Ratu Selvi Agnesia Jurnal Nasional]Selvi menyampaikan kekhawatirannya yang lain, bahwa para penari akhir-akhir ini cenderung mengukuhkan diri sebagai seniman jadi-jadian. Maksudnya adalah mereka lebih memfokuskan diri kepada eksistensinya sebagai penari latar daripada beraktifitas untuk membentuk identitas sebagai koreografer yang lebih matang dan berkualitas.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal mengaku bahwa ia juga memiliki kekhawatiran yang sama. Untuk itu ia mengajak para peserta untuk berjalan bersama dan melakukan sesuatu mengenai hal ini.

    Ia mengingat bahwa Indonesia pernah punya penari-penari seperti Linda Hoemar dan Ditta Miranda, yang menari dengan koreografer internasional dan berhasil meraih pencapaian yang diakui secara internasional. Seperti juga Danang yang sempat bergabung dengan Could Gate Dance Theatre selama 3 tahun dan belajar banyak dari pengalaman di sana. Ketika Danang akan kembali ke Indonesia, koreografernya Lin Hwai-Min menanyakan, What do you plan to do in Indonesia? Menurutnya jika Danang tidak punya rencana akan apa yang ia akan lakukan untuk meneruskan pilihan karirnya, ia akan tenggelam ditelan massa.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Keadaan ini membuat Pak Sal benar-benar khawatir, karena dari Berlian Seni Pertunjukan tadi, keempat sudut itu memiliki kelemahannya sendiri-sendiri. Kadang sulit untuk Pak Sal juga untuk berpikir dari mana ia harus mulai, tapi dia berkomitmen bahwa ia harus melakukan sesuatu. Salah satunya adalah lewat IDF. IDF dimulai oleh Pak Sal karena ia merasa bahwa harus ada forum bagi anak-anak muda untuk menampilkan kreasi mereka, dan harus ada bandingan dengan dari luar. Ada beberapa koreografer/penari yang berkembang lewat IDF, seperti Ery Mefri, Jecko, dan Eko, sampai mereka bisa berkiblat di luar, tapi Pak Sal berharap akan ada banyak lagi yang muncul. Ia juga sadar bahwa IDF tidak bisa berjuang sendiri, harus bersama-sama dengan yang lain. Jadi, pak Sal mengingatkan bahwa setiap orang bisa memberikan kontribusinya masing-masing untuk membantu.

    Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah faktor pendidikan. Perlu ada persiapan yang dilakukan, lewat training atau sekolah-sekolah agar dapat menghasilkan para penari dengan kualitas yang bagus. IDF hanya bisa mengambil apa yang sudah dihasilkan dari perguruan-perguruan tinggi ini. Kalau bibitnya sudah bagus, bisa dipoles dengan cepat. Kekhawatiran Pak Sal pun sama dengan Selvi. Siapa yang akan melanjutkan regenerasi para koreografer Indonesia setelah para koreografer setingkat Eko, Miroto, Jecko, Boi, dsb.

    [Riyadh www.mediateater.com]Riyadh ingin menanggapi untuk para rekan-rekan media. Ia mempertanyakan keberadaan media khusus seni pertunjukan. Dahulu ada majalah Gong, tapi setelah Gong tutup, majalah-majalah lain juga ikut bangkrut. Riyadh mendapatkan kesan seperti ada sebuah perasaan rendah diri dari media-media khusus seni budaya, sehingga mereka gagal menjadi sebuah komoditas. Menurutnya dengan absennya media sejenis Gong, yang tersisa di Bandung sekarang hanya Khazanah Pikiran Rakyat yang memuat berita seni 2 minggu sekali. Sangatlah minim. Yang masih bisa banyak ditemui adalah berita-berita seputar sastra. Ia tidak mengerti kenapa berita tentang seni pertunjukan tidak diperbanyak, padahal kekayaan dan kekuatan bangsa Indonesia adalah seni budaya, bukan teknologi atau filsafat atau yang lainnya.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal mengiyakan bahwa kadang-kadang hal ini juga menyedihkan untuknya. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menyikapi.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Pak Sal menyinggung lagi mengenai blog yang akan dibuka oleh Kelola untuk menampung dan menampilkan tulisan-tulisan semacam itu. Acara sejenis lokakarya semacam ini juga bisa membantu meningkatkan kuantitas dan kualitas tulisan.

    Faktor lain yang jelas terlihat dan sempat disinggung adalah minimnya frekuensi pertunjukan yang bagus. Jadi sebagai kritikus, tidak ada banyak bahan yang juga bisa ditulis. Kembali Pak Sal menyinggung bahwa melalui IDF ia bisa memperbanyak pertunjukan-pertunjukan tadi, tapi kemudian juga harus pantas ditulis. Jadi untuk menghidupi kembali seni pertunjukan, dibutuhkan usaha bersama. Satu hal lagi yang kemudian diingat Pak Sal yaitu kekhawatiran nya mengenai kolonialisasi ekonomi terhadap pertunjukan. Ia takut bahwa seni pertunjukan terlihat megah tapi sebenarnya telah kehilangan jiwa dan semangatnya.

    [Helly Minarti Pembicara]Menanggapi masalah kurangnya media, Helly menanggapi. Majalah Gong, kalau tidak salah, dibiayai oleh Ford Foundation untuk beberapa tahun saja, tapi lumayan lama. Kelemahan yang ingin ditunjuk Helly adalah kelemahan membangun strategi. Pendanaan akan selalu menjadi keterbatasan, tapi seharusnya pendanaan yang disediakan Ford Foundation selama kurun waktu tertentu itu dijadikan jendela waktu untuk membangun strategi. Kemudian Helly membandingkan dengan kesuksesan majalah Visual Arts yang berhasil bergerak lebih lincah sehingga mereka bisa tetap bertahan walaupun mungkin harus melakukan kompromi secara redaksional. Sebenarnya dengan munculnya musikal sebagai sisi lain dari dunia pertunjukan akhir-akhir ini, masalah kekurangan media ini sebetulnya bisa disiasati.

    Tapi kemudian Helly berpendapat bahwa ini juga merupakan masalah komitmen. Ia berbagi bahwa dulu ia sempat menjadi koresponden untuk sebuah arts magazine di Singapura. Majalah ini dibiayai oleh pemerintah Singapura, tetapi tahun 2004 diberhentikan. Alasan yang diberikan saat itu adalah dana. Tapi bidang visual arts malah muncul dengan SEA Arts Magazine, sebuah majalah visual arts untuk Asia. Di sini terlihat bahwa komitmen itu penting. Helly mengakui bahwa dunia tari memang tidak secanggih orang seni rupa atau film dalam berpikir strategis.

    [Riyadh www.mediateater.com]

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • Riyadh kemudian menyinggung juga masalah minimnya referensi literatur mengenai seni pertunjukan seperti teater atau tari.

    [Helly Minarti Pembicara]Helly tidak terlalu setuju, menurutnya buku-buku referensi untuk teater malah lebih cepat diterjemahkan. Argumentasi yang menurut Helly klasik adalah karena orang teater memang mau tidak mau harus bergaul dengan naskah, jadi kebutuhan membaca itu ada. Tidak begitu halnya untuk dunia tari. Berdasarkan pergaulan Helly di dunia tari internasional, ternyata masalah yang sama ada di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, hanya saja derajat masalahnya yang berbeda. Kalau di Inggris, masalah kurangnya referensi literatur dibantu dengan kurikulum yang lebih jelas. Kalau di Indonesia memang mungkin lebih parah.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal mengajukan pemikiran yang lain. Mungkin kurangnya media atau kurangnya berpikir strategis itu adalah karena inisiatif itu harus datang dari diri sendiri. Kalau menyinggung misalnya majalah Gong, mungkin dimulai dari Ford Foundation yang lebih punya keinginan untuk mengadakan karena mereka punya dananya.

    [Helly Minarti Pembicara]Helly tetap menyayangkan waktu dan kesempatan yang terlewat. Seingatnya bantuan dana dari Ford Foundation berlangsung selama 10 tahun, yang merupakan waktu yang cukup lama untuk memikirkan apa yang harus dilakukan setelahnya. Harusnya bisa dipikirkan apakah mau jadi tabloid supaya lebih murah, atau blog, atau opsi lainnya.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal kembali bicara masalah komitmen. Sebagai contoh, di majalah Tempo, artikel mengenai tari adalah artikel yang dipertahankan Tempo, walaupun pembacanya paling sedikit. Ini adalah bentuk komitmen terhadap kesenian.

    Berbagi cerita lain, di Taiwan, ada masanya di mana para penulis bekerja sama membuat PAR Performing Arts Review. Apa yang bisa ditulis di koran dengan di journal atau majalah berbeda-beda. Pembacanya juga berbeda-beda. Adanya majalah ini tetap tidak mematikan artikel-artikel yang ada di koran. Artikel di koran cenderung merupakan artikel mengenai

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • seni yang lebih popular, lebih instan dan lebih untuk kalangan pembaca yang non-seniman. Kalau mau membaca yang lebih khusus, bisa di Performing Arts Review ini. Kalau di koran, siapapun, walaupun orang non-tari, boleh menulis tentang tari; sedangkan di PAR, yang menulis lebih dari orang tari sendiri. Jenis tulisannya pun berbeda, di PAR bisa menulis lebih panjang dan mendalam, sedangkan untuk di koran harus yang pendek dan menyeluruh.

    Dengan contoh ini Pak Sal mempertanyakan rencana tentang blog yang akan dibuka Kelola. Mungkin keberadaannya bisa menumbuhkan kebersamaan membuat majalah semacam ini. Kemudian beberapa pertanyaan dan saran muncul dari Pak Sal. Siapakah yang harus membiayai majalah itu, apakah bisa diadakan subsidi silang antara penerbit-penerbit yang kuat untuk menumbuhkan majalah tersebut. Mungkin juga harus dibentuk sebagai majalah performing arts, bukan hanya tari. Kemudian juga dibutuhkan penulis-penulis yang cukup banyak dengan bayaran yang cukup juga, dalam rangka how to make a living tadi. Menurut Pak Sal, jika semua pihak punya komitmen, mudah-mudahan perlahan bisa diwujudkan.

    [Utami Diah K. Jurnal Nasional]Utami meminta masukan dari Pak Sal. Sehubungan dengan keterbatasan halaman/ruang menulis di media dan dengan keharusan penulis untuk memilih pokok pembahasan antara membahas mengenai teknik pertunjukan (yang dapat dimengerti oleh orang-orang yang mendalami tari) dan konsep pertunjukannya saja (yang dapat lebih mudah dicerna oleh lebih banyak orang). Sebagai contoh dia mengambil pengalamannya menonton Bintang Hening karya Fitri. Ia sudah sempat melakukan riset, wawancara, dan ia melihat teknik pertunjukannya bagus, tetapi orang-orang umum di sekitarnya yang ikut menonton tidak mengerti. Utami merasa menghadapi dilema ketika harus memutuskan apakah dia akan membahas masalah teknis atau membahas konsepnya yang lebih mudah dipahami, supaya penonton yang tadinya tidak mengerti, setelah membaca tulisannya pun bisa mendapat pencerahan tentang si tarian itu. Jika ia melakukan itu, resikonya adalah tidak semua teknik atau gerak tari bisa dibahas karena ada keterbatasan tadi.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Menurut Pak Sal keduanya perlu dilakukan. Untuk tulisan di koran yang ditujukan kepada orang banyak, mungkin lebih baik membahas lebih banyak pada hal yang dapat diterima pembacanya dengan lebih mudah. Tetapi

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • pertunjukan semacam ini juga perlu disampaikan dengan pandangan yang lebih kritis itu tadi. Bagi para ahli, lebih berharga jika sebuah karya tari bisa dinilai bukan hanya dari sisi hiburan tapi juga dari sisi pengertian maknanya. Walaupun makna yang disampaikan secara jujur itu tidak akan selalu menyenangkan pembacanya. Perlu kita ingat mana yang lebih berharga: kejujuran atau kenyataan yang ditutup-tutupi. Yang bisa menghargai hal ini hanyalah orang-orang tertentu saja.

    Contoh lain yang diberikan Pak Sal adalah perbandingan antara 2 seniman Butoh yang tampil di TIM pada tahun 1995, yakni Kazuo Ono dan Unetsu Sankai Juku. Seorang kritkus Jerman yang berkunjung ke Indonesia saat itu sempat berkomentar kepada Pak Sal. Aneh baginya karena orang di Indonesia lebih menyukai Unetsu Sankai Juku dibandingkan Kazuo Ono. Baginya dan orang-orang di Jerman, pertunjukan Kazuo Ono jauh lebih bagus. Sankai Juku adalah pertunjukan Butoh dengan estetika yang sudah disesuaikan dengan selera orang barat, sedangkan Kazuo Ono yang dianggap tidak cantik, sebetulnya menggunakan ekspresi Butoh yang lebih murni karena mereka memang memberontak terhadap estetika barat dan tidak mau didominasi oleh barat. Waktu itu Pak Sal menuliskan pada reviewnya bahwa: Orang Jerman lebih menghargai yang seperti ini. Pertunjukan itu dianggap sebagai pernyataan kejujuran yang relevan bagi mereka. Bagi orang Indonesia yang pemahamannya belum sampai ke sana, Sankai Juku lebih disukai daripada Kazuo Ono. Orang Indonesia masih lebih mementingkan keindahan dan wujud, sementara kesenian masih lebih dianggap sebagai entertainment daripada meaningful statement. Menurut Pak Sal, kalau kita punya pegangan itu, akan ada juga orang-orang yang bisa berpikir kritis, yang akan mengikuti pokok pemikiran kita.

    [Helly Minarti Pembicara]Helly menyinggung bahwa ada sesuatu yang hilang. Masalah kedinamikan. Helly menyinggung soal pertunjukan Sardono di tahun 1979, Meta Ekologi, yang sempat membuat ramai karena pertunjukannya menggunakan lumpur.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal memotong. Dia merasa bangga saat itu karena pertunjukan itu sempat ditonton oleh Alwin Nikolais dari Amerika yang mengakui bahwa pertunjukan Sardono bagus. Waktu itu dia berkata bahwa, walaupun di Indonesia tidak bisa membuat pertunjukan dengan teknologi lampu yang tinggi, tapi mungkin, kalau dia tinggal di Indonesia, dia akan membuat yang

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • seperti ini juga. Untuk Pak Sal, ini adalah sebuah pernyataan yang membanggakan. Walaupun secara estetik para penonton berbeda, tapi di antara para ahli, mereka bisa saling menghargai, karena yang penting adalah kreatifitasnya. Sebagai pengamat tari atau penyelenggara, waktu itu Pak Sal merasa bangga karena ada padanan dari Indonesia yang bisa dibandingkan dengan para seniman di luar negeri. Tidak harus persis seperti itu, tapi ada yang bisa disejajarkan. Tidak seperti masa sekarang, di mana ada Adrien Mondot yang muncul dari luar negeri, tapi dari Indonesia tidak ada yang bisa dibandingkan.

    [Helly Minarti Pembicara]Helly melanjutkan pokok pemikirannya terkait pertunjukan Meta Ekologi tadi. Berdasarkan arsip yang dia baca, saat itu banyak yang menulis tentang pertunjukan tersebut. Ada yang bilang itu menarik, ada yang memaki-maki. Kemudian terungkap kepada Helly bahwa yang tergila-gila terhadap pertunjukan itu adalah Budi S. Otong dan Afrizal, yang menyatakan bahwa pertunjukan itu menginspirasi mereka untuk membentuk Teater Sae. Jadi, ada kesan bahwa di dunia seni sendiri ada interaksi yang dinamis. Terjadi dialog di antara seniman Indonesia, publik seni Indonesia. Hal itu berarti proses berwacana sudah ada dari dulu, dan waktu itu tidak ada batasan antara seni yang satu dengan yang lain. Orang tari mengerti soal teater, orang teater menonton tari, dan hal ini sekarang sudah tidak ditemukan lagi. Helly mempertanyakan kenapa dinamika tersebut hilang, padahal di masa sekarang, pengetahuan jauh lebih mudah bisa didapat. Kalau dulu lebih sulit, tapi interaksinya lebih dinamis dan wacananya lebih marak.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal mengkonfirmasi, di jaman itu memang para seniman melihat banyaknya tulisan-tulisan di koran, tapi yang ada lebih banyak laporan, tidak betul-betul mengulas mengenai seni pertunjukannya itu sendiri. Dari situ muncul konsensus di antara para seniman. Ada yang menulis di koran, ada yang melaporkan melalui wartawan, tapi juga ada tulisan-tulisan orang tari sendiri. Waktu itu mereka mendapat dukungan dari media yang memberi kesempatan menulis, tapi kemudian satu per satu gugur karena masalah bayaran yang tidak mencukupi. Pada akhirnya tinggal Pak Sal dan Bu Edi. Bu Edi waktu itu adalah Direktur Jendral Kebudayaan, jadi tidak butuh uang dari menulis; sedangkan Pak Sal ke Taiwan untuk mencari sesuap nasi,

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • meninggalkan yang ada di sini. Waktu pergi, dia pikir sudah tumbuh, tapi ternyata tari malah melempem.

    [Frans Ekhodanto Koran Jakarta]Menurut Frans hal tersebut tergantung kepada kepentingan dan komitmen. Artinya pemimpin dari tingkat Negara sampai pada tingkat perusahaan, menganggap itu penting atau tidak. Penting apabila kepentingan itu baru bisa direalisasikan menjadi komitmen. Jika penari tidak menonton teater atau tidak menonton seni rupa, mungkin karena bagi dia itu tidak penting. Kalau dia merasa hal tersebut penting untuk mencerdaskan dirinya, mungkin dia akan berkomitmen dan akan hadir di sana.

    Frans punya pertanyaan lain. Sebagai wartawan, bukan kritikus, di dalam menulis suatu pertunjukan atau pameran akan tergantung sekali kepada redakturnya. Beda redaktur, beda cara penyampaian. Ada redaktur yang membutuhkan pernyataan atau hasil dari apa yang kita lihat tapi ada juga redaktur yang tidak sekedar itu, bahkan sampai meminta kritik. Ada redaktur lain lagi yang tidak perlu ulasan, tidak perlu kritik. Secara langsung ataupun tidak langsung hal ini berpengaruh untuk mencerdaskan dan melatih cara berpikir kritis si pembaca atau si penonton. Yang jadi pertanyaan Frans adalah bagaimana mengatur kadar kritik di dalam berita itu sendiri, dari sudut pandang seorang wartawan.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Menurut Pak Sal pertanyaan itu harusnya diajukan kepada redaktur korannya, bukan kepada dia.

    Tapi kalau ditanyakan kepada Pak Sal, menurutnya harus ada keseimbangan di antara deskripsi dan analisa. Sesederhana apapun deskripsi itu akan menjadi penting untuk membantu para pembaca dalam mengikuti analisa yang dibuat. Ada juga deskripsi yang tebal yang bermakna, sehingga dari uraian yang enak dibaca orang juga bisa melihat berbagai macam aspek. Tetapi tarian tidak berhenti di situ, karena kemudian ada pesan apa yang ingin disampaikan. Tanpa adanya penyampaian pesan itu, tulisan tersebut tidak menjadi kritik, tapi hanya menjadi laporan saja. Kritik yang bagus adalah jika si penulis menilai apa yang dia mengerti. Pak Sal mengutip Michael Kirby, salah seorang tokoh experimental theatre: Kalau Anda menulis teater yang Anda tidak paham, tidak mengerti, deskripsi itu lebih mujarab. Dengan deskripsi yang bagus, orang lain yang mungkin latar

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • belakangnya lebih lengkap dari si penulis bisa memberikan penilaian sendiri. Bukan berarti penulis tidak boleh menyampaikan pendapatnya, tapi dia perlu berterus terang dari sudut pandang siapakah pendapat itu diutarakan.

    [Ibnu Rizal Ruangrupa]Menyambung kembali ke topik sebelumnya, Ibnu bertanya-tanya seberapa perlunya masyarakat untuk membaca sebuah kritik tari. Ia curiga jangan-jangan masyarakat tidak membutuhkannya. Jika pada tahun 70an kehidupan seni begitu bergairah dan diskusinya hidup, sekarang sebenarnya buat apa kita menulis: untuk siapa dan pembacanya yang mana.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal menyarankan Ibnu untuk bertanya kepada diri sendiri dulu. Hal itu tergantung dari sikap kita. Ia kembali mengingatkan bahwa ia melihat kritikus sebagai semacam guru, jadi tanggung jawabnya adalah untuk menunjukkan kepada anak didiknya apa yang baik dan apa yang harus dilakukan. Itu adalah bentuk komitmennya tadi sebagai kritikus tari ketika melihat sebuah karya. Karena Pak Sal melihat karya tari sebagai produk kemanusiaan yang punya nilai budaya, ia merasa bahwa kewajibannya adalah memasarkan atau menanamkan nilai-nilai ini kepada orang.

    [Riyadh www.mediateater.com]Riyadh juga pernah membaca dan mendengar hal yang sama seperti yang diutarakan Helly, bahwa suasana kesenian di tahun 70an sangat hidup. Ia dengar di Bandung pun suasananya sama. Tapi sekarang, seni semakin terdikotomi, tidak ada sebuah keeratan. Pertanyaan dari Riyadh adalah mengapa ini terjadi: apakah karena memang mereka (para seniman dari bidang seni yang berbeda) sudah saling bersembunyi dan tidak mau mengenal satu sama lain, atau memang karena karya-karya dari masing-masing kubu-kubu itu sudah tidak menggairahkan kubu lain untuk ikut menonton.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal juga menyayangkan bahwa semangat itu gagal diwariskan kepada generasi sesudahnya. Tapi memang menurut Pak Sal situasinya saat itu memang berbeda. Sekarang ini, dominasi material itu jauh lebih kuat daripada dulu. Pak Sal mengakui bahwa dulu ia mulai menulis kritik tari bukan karena ingin jadi kritikus, tapi karena ingin membantu istrinya membiayai kebutuhan sehari-hari. Seperti juga Helly, ia menikmati hal itu

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • sehingga jadi kebiasaan. Jadi, yang penting bukan mulai dari mana tapi komitmen seperti apa yang dimiliki. Menurut Pak Sal, daripada membicarakan tentang 'the glory of the past' lebih baik melihat 'how to solve our problem today'. Secara obyektif mencoba melihat apa yang terjadi dan apa yang bisa kita lakukan. Kalau dulu lewat IDF Pak Sal mengadakan Festival Penata Tari Muda, sekarang Kelola mengadakan Empowering Women Artist yang mendorong para seniman wanita untuk membuat karya yang baru. Biaya untuk membuat karya baru ketika itu dan sekarang juga sudah berbeda. Sikap para senimannya juga mungkin sudah berbeda, sudah lebih banyak yang menilainya dengan jumlah materi. Pak Sal teringat dulu dia sempat dibuat terharu oleh Alm. Pak Munardi dari Surabaya yang berkata jika ia diundang ke Festival Tari Rakyat oleh P & K itu memang dapat uang, tapi tontonannya tidak dibicarakan. Jika ia diundang, artinya uangnya tidak banyak. Terkadang mereka harus mencari dana sendiri untuk berangkat ke Jakarta, namun memang harus ada diskusi dan karya yang dibahas dan ditulis di koran. Hal itu merupakan sesuatu yang membuat mereka memilih berkarir di tari daripada di bidang lain. Rasa ini yang menurut Pak Sal sekarang hilang. Selain itu, yang banyak dibahas di surat kabar itu bukan karya yang baru atau tumbuhnya kreatifitas yang subur, tapi penampilan-penampilan yang secara fisik lebih spektakuler. Ada sisi positifnya, tapi juga ada negatifnya yang harus kita catat.

    [Haris Firdaus Gatra]Haris memiliki beberapa pertanyaan. Yang pertama sederhana, ia bertanya cara Pak Sal saat menonton tari yang memang direncanakan akan ditulis. Bagaimana cara Pak Sal melihatnya, apakah dilihat dulu, atau sambil mencatat, atau sambil direkam. Mana yang lebih baik?

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Menurut Pak Sal, tergantung dari kemampuan dan interest si penulis. Untuk Pak Sal, biasanya kalau ingin membuat review, ia membawa catatan kecil. Ia catat hal menarik yang terjadi di atas panggung, karena catatan itu akan membantunya dalam membuat deskripsi tentang apa yang ia lihat. Deskripsi tersebut tidak harus mulai dari awal pertunjukan sampai akhir. Menurut Pak Sal, si penulis harus mengenali adegan atau bagian mana yang menarik dan bagian mana yang tidak menarik. Kemudian dilihat, sebetulnya lebih banyak yang menarik atau lebih banyak yang tidak menarik. Setelah itu dicari kaitannya antara poin-poin yang dicatat tadi. Poin-poin inilah yang nantinya akan dituliskan dalam review. Sekembalinya ke rumah, sesegera

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • mungkin ia jabarkan poin-poin menarik yang dicatat dalam kegelapan tadi. Keesokannya atau malam itu juga, review itu sudah bisa mulai dituliskan berdasarkan bahan yang didapatkan.

    [Haris Firdaus Gatra]Haris bertanya apakah Pak Sal khawatir kelewatan sesuatu bagian ketika sedang mencatat. [Sal Murgiyanto Pembicara]Pak Sal mengiyakan. Tetapi ia juga mengingatkan bahwa sebetulnya dalam tulisan itu tidak perlu dituliskan deskripsi moment to moment. Yang perlu dicari adalah titik tolak yang menarik. Menilai apakah pertujukan itu baik atau tidak, kemudian dikaitkan dengan titik-titik tadi. Misalnya ketika diperiksa ulang, Pak Sal menemukan bahwa sebenarnya tontonan itu secara keseluruhan bagus, maka ia akan merasionalisasi titik tolak mana yang bisa digunakannya untuk meyakinkan bahwa pertunjukan ini bagus.

    Untuk penulis yang sudah pengalaman, ia bisa menilai poin apa saja yang perlu disampaikan dalam sebuah tulisan. Mungkin bahan yang ada lebih banyak daripada yang bisa ditulis, tapi ia bisa menyatakan sampai sini saja sudah cukup atau ini untuk bahan lain kali saja. Selain itu, di koran tidak harus membahas semua aspek. Mungkin cukup mengenai visualnya, isinya, interpretasinya, atau kritiknya.

    [Haris Firdaus Gatra]Haris memiliki satu pertanyaan lagi. Menurut Pak Sal, seberapa penting wawancara atau dialog dengan seniman dalam menulis kritik. Menurut Haris ada 2 aspek yang ia pertimbangkan, pertama kalau ia melakukan wawancara tentu saja akan menambah pengetahuan; tapi di sisi lain, ia sering merasa takut kalau interpretasinya akan terkotori oleh senimannya. Haris biasa menggunakan pendekatan yang berbeda. Untuk pertunjukan yang dapat dipahami dan tangkap esensinya, ia merasa tidak perlu wawancara, tetapi ketika ada pertunjukan yang terlalu sulit untuk ditangkap maknanya, ia akan melakukan wawancara. Menurutnya kedua metode ini akan menghasilkan 2 tulisan yang berbeda. Ketika ia bisa menangkap maksud pembuat karya, tulisannya adalah sebuah kritik yang mengandung positif-negatif; tapi kalau ketika dia merasa bahwa pertunjukan tersebut di luar pemahamannya, tulisannya akan lebih banyak mencerminkan gagasan si senimannya dan bukan pandangan pribadi dari kritikus itu sendiri.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • [Sal Murgiyanto Pembicara]Bagi Pak Sal kuncinya adalah kejujuran. Kalau penulis itu tidak suka dengan pertunjukannya, sebetulnya tidak ada halangan untuk mengungkapkan apa adanya. Penulis juga kadang bisa menilai apa yang dikatakan oleh pencipta belum tentu tergambar dalam pertunjukan. Dalam hal ini penulis bisa lebih subyektif dengan menuliskan pengalamannya, misalnya dengan menyatakan Saya tidak melihat itu. Secara jujur saya mengatakan, ini yang saya lihat. Kalau penulis berbicara dengan pengamat atau ahli lain, penulis itu juga tidak harus mengikuti mereka dan tetap bisa menyampaikan pendapatnya.

    Pak Sal kemudian memberikan contoh yang bagus. Ia pernah membaca sebuah kritik dari seorang kritikus tari dari Inggris yang mencaci maki karya Pina Bausch yang memang tidak mudah dimengerti. Menurut kritikus ini, estetika yang disampaikan Pina tidak nyambung. 10 tahun kemudian kritikus ini menyesal karena merasa saat menulis kritik itu, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pina Bausch, baru mengerti sekarang. Ia minta maaf dan mencabut penilaiannya sebelumnya, karena sekarang ia sudah mengerti dan bisa menjelaskan. Inilah kejujuran. Ketika kritikus ini menulis bahwa ia tidak suka, ia memang waktu itu tidak suka, dengan memberikan alasan-alasannya sendiri; tapi ketika kemudian ia menyadari bahwa dulu ia belum mengerti, itu bukan sebuah masalah. Lebih baik dia mengakui daripada mempertahankan perasaan yang dimiliki ketika belum mengerti.

    [Lusiana Indriasari Kompas]Lusi mengaitkan pertanyaannya dengan beberapa komentar yang sudah disinggung para peserta lain. Kalau sebuah produk tari itu adalah sebuah penyampaian nilai-nilai kemanusiaan, lalu bagaimana cara kita menilai bahwa karya itu atau apa yang mau disampaikan itu, berhasil mencapai tujuan yang ingin disampaikan oleh kreatornya. Hal ini menjadi pertanyaan Lusi karena penerimaan masing-masing penonton berbeda, terkait aspek subyektif dan obyektif tadi. Jika kita menggunakan aspek subyektif, berarti kita benar-benar hanya menggunakan apa yang kita punya sebagai penonton. Jika menggunakan aspek obyektif, berarti kita harus melakukan wawancara dengan lebih banyak orang. Dengan begitu berarti kita juga bisa terdistorsi oleh padangan-pandangan orang lain. Sebaiknya sikap apakah yang harus diambil dengan segala keterbatasan ini, untuk mencapai atau

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II

  • untuk menilai apakah sebuah karya berhasil mencapai apa yang ingin disampaikan.

    [Sal Murgiyanto Pembicara]Untuk yang satu ini, kata kunci dari Pak Sal adalah 'keterbukaan'. Keterbukaan seorang penulis untuk belajar penting sekali. Sebagai penulis, siapapin bisa mempunyai pre-conception masing-masing. Tapi perlu diingat bahwa tidak ada satu cara yang sama untuk menulis semua tarian. Jika seorang penulis mengambil pendekatan yang obyektif, sebenarnya obyek-obyek yang akan dianalisa baik tidaknya sudah ada di situ. Jika penulis ingin menggunakan pendekatan etnografis, berarti dia harus mencari tahu siapa penciptanya, lahir di mana, umur berapa, etnisnya apa, dan hal-hal lain yang bisa mempengaruhi. Tapi yang penting si penulis bisa menjelaskan pendekatan apa yang dia gunakan.

    Sebagai contoh, Pak Sal mengutip konsep yang disampaikan oleh Kwik Swee Boon, penata tari dari Singapura yang bisa menyampaikan apa yang menjadi keyakinannya.

    Dalam setiap karya kami, yang selalu bertolak dari budaya di mana kami hidup, kami mencoba menemukan perbendaharaan dan identitas seni kami sendiri. Bagi saya itulah definisi kata kontemporer. Merespon dunia masa silam dan masa kini, di mana kami hidup. Inti kegiatan kreatif kami adalah kemanusiaan. Apapun tipe, gaya atau karya yang kami ciptakan selalu bertolak dari kepedulian kami terhadap emosi dan pengalaman hidup manusia. Karya-karya kami berakar kuat pada sejarah budaya dan masyarakat, serta upaya kami untuk memahami masa kini. Itulah alasan kenapa penting bagi saya untuk mempromosikan seni kontemporer. Karena seni kontemporer melihat pentingnya hubungan seni dengan budaya; dan lebih dari itu, seni kontemporer erat sangkut pautnya dengan masyarakat.

    Pak Sal setuju dengan pendapat ini karena seiring dengan apa yang ia yakini. Kita boleh setuju atau tidak. Kalaupun tidak dan berbeda dengan keyakinan kita, kita tetap harus menghormati perbedaan itu. Dengan begitu, siapa saja boleh mengajukan opini yang berbeda. Nanti pembacanya yang akan mengkomentari sendiri. Sebagai penulis kita bisa bersikap jujur, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena walaupun salah, kita selalu bisa memperbaikinya.

    CATATAN LOKAKARYA PENULISAN SENI PERTUNJUKAN-SESI II