mengais debu dari big bang hingga.doc
TRANSCRIPT
« Mengais Debu Dari Big Bang hingga Fermilab Beruntunglah Perilakunya ‘Aneh’ »
TRAGEDI LUMPUR LAPINDO
Ditulis oleh agorsiloku di/pada Oktober 11, 2006
(AKAR MASALAH DAN SOLUSINYA)
Oleh: Yusuf Wibisono(Dosen Universitas Brawijaya Malang)
Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.3
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.5
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.
Penyebab Semburan ’Lumpur Lapindo’ (juga : Mengapa Lumpur Panas Menyembur)
Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.7 Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.8 Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.9 Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989)
yang berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu 6.3 Mw seharusnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.10 Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.11 Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.12 Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.14
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.15 Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.16
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.17
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.19
Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.
Solusi Islam atas Kasus Lapindo
Paham kepemilikan telah menjadi polemik para ekonom. Para ekonom kapitalis seperti digambarkan Hessen,20 berpendapat bahwa jika seluruh kepemilikan bertumpu pada individu (economic individualism) akan membuat suatu kompetisi penuh, yang digambarkan Adam Smith sebagai ’sistem sederhana dari kebebasan alamiah’. Namun, dari perjalanan Kapitalisme mulai revolusi industri hingga sekarang, banyak borok-borok yang ditimbulkan dari paham kepemilikan privat ini. Lawannya jelas ekonom sosialis, seperti digambarkan Heilbroner,21 bahwa seluruh kepemilikan dipegang oleh negara. Dalam perjalanan, paham ini juga bukan tanpa masalah, karena kepemilikan negara direpresentasikan oleh ’pejabat negara’ yang boleh mengeksplotasi ’warga negara’ karena tidak ada hak kepemilikan privat dalam paham ini. Masalah pun muncul.
Berbagai ramuan dan gado-gado dari kedua paham tersebut menjadi alternatif yang diajukan. Lalu diuji coba, sebuah trial yang hasilnya senantiasa error. Ekonomi neo-liberal, bersifat kerakyatan berkeadilan sosial muncul. Namun, semua tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus Indonesia, pengelolaan SDA jelas tergambar dalam pasal 33 UUD 1945. Namun, Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada dipergunakan oleh ’oknum negarawan’ untuk menjual negara. Dalam banyak kajian diakui bahwa paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar (underlying causes) kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia.22 Lantas muncul tuntutan, supaya dikembalikan pada pengelolaan komunitas (communal right) seperti masyarakat adat, warga setempat, atau otonomi daerah.23 Namun, hal itu sebenarnya akan menjadi masalah baru yang disebut Hardin24 sebagai “tragedy of the commons”, karena pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka (open access) sehingga rentan over eksploitasi.
Islam menjawab itu semua, dengan konsep kepemilikan yang jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan umum (collective property); dan kepemilikan negara (state property). Khusus berkenaan dengan kepemilikan umum, yaitu seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim, dan menjadikan kekayaan tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Zallum25) mengelompokkan dalam tiga jenis: (1) sarana umum yang diperlukan seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll; (2) kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll; (3) barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat seperti emas atau besi, cair seperti minyak bumi atau gas seperti gas alam. Rasulullah saw. Bersabda:
« »IاِرL َوPالَّن IاِءPَمT َوPال I Pِأل Tَك ال ِفIي YٍثP Pَال َث ِفIي Pاِء[ َك Pَر ُش[ Pَم[وَنI ِل Tَم[ْسT ال
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput/hutan dan api/energi. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasi diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah selaku pemimpin negara bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Dalam konsep Islam, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara tidak akan menjadi pengkhianat rakyat, namun justru menjadi pelindung bagi rakyatnya.[]
Catatan Kaki:
1) Holm, C. Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online. 14 Juli 2006
2) Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas,http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/070707_lumpurlapindo_kp/
3) Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006
4) Koran Tempo, 16 Juni 06
5) Kompas, 19 Juni 2006
6) JATAM, Dari Porong dengan Derita
7) Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog
Kompas, 8 Juni 2006
9) Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online. 20 Juni 2006.
10) Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, ibid.
11) Kompas, ibid.
12) Kompas, ibid.
13) Lapindo Press Release, 15 Juni 2006
14) Surya, 10 Juni 2006
15) Wikipedia Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat website BPMIGAS.
16) Lumpur, Kesengajaan atau Kelalaian?, http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/
17) Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/
18) Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas, ibid.
19) Jawa Timur, Kaya Migas = Kaya Bencana, http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060730_lapindo_cu/
20) Hessen, R. Capitalism. The Concise Encyclopedia of Economics.
21) Heilbroner, R. Socialism. The Concise Encyclopedia of Economics.
22) Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.
23) Prasetiamartati, B. Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang: Menilik Kasus Pulau Tambolongan, Sulawesi Selatan. INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006
24) Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968): 1243-48
25) Zallum, A.Q. 1988. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (terj.). Hizbut Tahrir.
Sumber : copy paste dari milis [email protected] yang dikirimkan oleh anggota milis.
Tulisan ini melengkapi artikel yang dimuat di kompas dan dikutip di blog ini : “Mengapa Lumpur Panas Menyembur” tulisan ini setidaknya melengkapi penjelasan lain yang paling banyak menjadi rujukan “rovicky.worpress.com” – Dongeng Geologi.
7/12/2006 : Apa strategi Lapindo untuk mengelak dari bencana? ke sini.
Entri ini dituliskan pada Oktober 11, 2006 pada 1:43 am dan disimpan dalam Lumpur Panas Sidoarjo, Sains. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.
Mengapa Lumpur Panas Menyembur?
Ditulis oleh agorsiloku di/pada Juli 26, 2006
Agak mengejutkan, semburan lumpur panas dari dalam bumi yang keluar dari dalam bumi Porong Sidoarjo adalah amazing story. Apalagi ada katanya datang dari kedalaman ratusan meter dari bawah formasi batuan kerak bumi. Ada peristiwa serupa, tapi tak sama. Misalnya kawah bledug di Jawa Tengah. Sepertinya itu lumpur ada di permukaan bumi, lalu ada tekanan dari dalam bumi yang memanaskan lumpur aluvial itu. Lalu di Cikotok sukabumi, ada semburan air panas di sungai. Mirip sumber air panas memancar. Ini sudah banyak terjadi, dan biasanya merupakan lahan subur bagi dunia parawisata. Tapi, semburan lumpur panas, seperti apa dan bagaimana kejadiannya belum saya pahami, meskipun ada artikel di bawah ini.
KOMPASSenin, 24 Juli 2006Selama lebih dari 50 hari belakangan ini, lumpur panas di bumi Kabupaten Sidoarjo menyembur dengan masifnya. Bagi masyarakat, fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar.
Semburan lumpur panas atau mud volcano di Kabupaten Sidoarjo itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Tepatnya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong.
Jarak titik semburan sekitar 150 meter arah barat daya sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc. Sumur Banjar Panji 1 merupakan eksplorasi vertikal. Targetnya, mencapai formasi Kujung dengan kedalaman 10.300 kaki. Sampai dengan semburan atau blow out pertama, eksplorasi telah berjalan tiga bulan.
Semburan lumpur panas di Sidoarjo tidak muncul dengan sendirinya. Ada suatu kronologi di dalam sumur Banjar Panji 1 yang mendahuluinya.
Berdasarkan laporan kronologi kejadian, pada tanggal 27 Mei, pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pukul 07.00 hingga 13.00 pengeboran dilanjutkan ke kedalaman 9.297 kaki.
Pada kedalaman ini, sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah. Peristiwa ini disebut loss. Lumpur berat ini digunakan sebagai semacam pelumas untuk melindungi mata bor sekaligus untuk menjaga tekanan hidrostatis dalam sumur agar stabil.
Setelah terjadi loss, sebagai langkah standar disuntikkan loss circulating material (LCM) atau material penyumbat ke dalam sumur. Tujuannya untuk menghentikan loss agar sirkulasi kembali normal.
Peristiwa loss yang lazim dalam pengeboran pada umumnya diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir terpasang di kedalaman 3.580 kaki.
Saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki pada 28 Mei pukul 08.00-12.00, terjadilah kick. Kekuatannya 350 psi. Kemudian disuntikkanlah lumpur berat ke dalam sumur.
Ketika hendak ditarik lebih ke atas, bor macet atau stuck di 3.580 kaki. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya gagal. Bahkan pipa tetap bergeming saat
dilakukan penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya untuk mengamankan sumur, disuntikan semen di area macetnya bor.
Akibat macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan. Pada 29 Mei pukul 05.00, terjadilah semburan gas berikut lumpur ke permukaan.
Secara kasatmata, material keluar tersebut berupa lumpur berwarna abu-abu. Bila dipisahkan, secara umum material lumpur terdiri atas air dan lempung.
Volume lumpur yang keluar rata-rata 50.000 meter kubik per hari. Pada seminggu belakangan, debitnya turun. Menurut Gubernur Jawa Timur Imam Utomo pada saat jumpa pers di Hotel JW Marriott, 8 Juli, volumenya kini menjadi 30.000 meter kubik per hari.
Tim teknis
Berdasarkan laporan tim teknis, lumpur yang keluar ke permukaan bumi itu berasal dari formasi Kalibeng, kedalaman 1.700-6.100 kaki. Material formasi Kalibeng berupa lempung padat. Adapun sumber air didominasi dari formasi di bawah Kalibeng, yakni di kedalaman 6.100-8.500 kaki.
Perihal bagaimana lumpur bisa menyembur keluar terdapat beberapa pendapat. Paling tidak terdapat dua versi besar. Pertama, semburan berhubungan dengan sumur Banjar Panji 1. Sementara yang kedua, sama sekali tidak berhubungan atau karena faktor alam.
Ketua Tim Penghentian Lumpur dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini mengatakan, mekanisme keluarnya lumpur tersebut berawal dari formasi di bawah Kalibeng. Formasi itu disebut zona unconsolidated clay.
Formasi ini memiliki tekanan hidrostatis dan tekanan pori. Kedua unsur ini akhirnya menghasilkan over pressure atau tekanan abnormal tinggi.
Pada kondisi biasa, lanjut dosen Teknik Perminyakan ITB itu, zona ini aman karena terlindungi formasi di atasnya. Artinya, pengeboran di zona ini mempunyai potensi membuatkan jalan ke permukaan bagi tekanan tersebut.
Pada kasus di Porong, menurut Rudi, yang mengalir dari zona unconsolidated clay dan masuk ke dalam sumur adalah air bertekanan tinggi. Air panas ini mengalir ke atas melalui sumur dan mendesak ke samping hingga memecahkan formasi. Akibatnya, air bertekanan tinggi tersebut mengalir ke atas melewati sekaligus menggerus Kalibeng. Oleh sebab itu, saat muncul di permukaan, wujudnya adalah lumpur.
Ahli geologi perminyakan, Andang Bachtiar, menyatakan, persoalan lumpur panas pertama-tama muncul karena adanya ketidakstabilan atau peningkatan tekanan dalam formasi. Hal ini dipengaruhi kegiatan penambangan di Sumur Banjar Panji 1.
Menurut Andang, persoalan utama dipicu adanya kekeliruan dalam pemasangan selubung (casing implementation). “Menurut perkiraan saya, casing tidak kuat. Maka, ketika terjadi kick atau pada saat memompakan killing mud, formasi di sekitar casing pecah,” kata mantan
Ketua Ikatan Asosiasi Geolog Indonesia (IAGI) itu. Killing mud adalah lumpur berat yang digunakan untuk mematikan kick.
Kronologinya, menurut Andang, terjadi underground blow out yang meretakkan formasi di bawah dan sekitar casing 13 3/8 inci. Pecahnya formasi lalu membuka jalan bagi gas bertekanan tinggi untuk masuk ke Kalibeng yang juga mempunyai tekanan hidrostatis tinggi.
Tekanan tinggi yang menghantam Kalibeng membuat material formasi tersebut pecah menjadi lumpur sekaligus tekanan di dalamnya menjadi tidak stabil. Akibatnya, tekanan tidak stabil ini mencari jalan ke permukaan. Di permukaan wujudnya tampak sebagai semburan lumpur.
Kemungkinan terburuk dari asumsi ini adalah mekanisme keluarnya lumpur ke permukaan, akhirnya berkembang menjadi mekanisme di dalam Kalibeng sendiri. Apabila demikian, maka skenario penghentian semburan dengan snubbing unit tidak akan berhasil.
Soffian Hadi, anggota IAGI, mengatakan, semburan lumpur disebabkan faktor alam. Lumpur berasal dari gunung lumpur di dalam lapisan tanah atau disebut diapirik. Artinya, aliran lumpur sama sekali terpisah dengan sumur Banjar Panji 1.
Daerah Porong termasuk dalam zona tumbukan atau subduksi. Tumbukan lempeng erasia dan austroindia yang terjadi sepanjang tahun, pada akhir Mei, mengaktifkan patahan-patahan di sepanjang jalur zona tumbukan, termasuk di Porong.
Akibatnya, tekanan dalam diapirik meningkat. Akhirnya lumpur mencari rekahan dan akhirnya menyembur ke atas permukaan tanah.
Director & Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk Faiz Shahab mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan gambaran penyebab semburan. PT Energi Megas Persada Tbk adalah induk perusahaan Lapindo Brantas Inc.
“Saat ini kami masih berkonsentrasi menghentikan semburan dan menangani dampak sosial,” katanya. Akan tetapi, Faiz yakin, persoalan tersebut disebabkan lebih dari satu faktor. Di dalamnya, terdapat faktor teknologi, manusia, dan alam.
Fenomena semburan lumpur panas atau mud volcano sebelumnya pernah terjadi di beberapa lokasi di Pulau Jawa. Di antaranya di Sangiran dan Bledug Kuwu, Grobogan. Akan tetapi, yang membedakannya dengan yang di Porong adalah mud volcano Sangiran dan Bledug Kuwu terjadi secara alami. (Laksana Agung Saputra)
Tulisan menarik lainnya, jangan lewatkan di http://rovicky.wordpress.com mengenai “Dongeng Geologi”. Banyak ulasan sederhana, mengena dengan bahasa gaul yang menjelaskan fenomena-fenomena bumi yang dihamparkan ini.
MEMBUKA TEKA-TEKI PENYEBAB SEMBURAN LUMPUR LAPINDO
Analisis Perbandingan Pendapat Para Ahli
Oleh: Subagyo
ABSTRAK
1. Pendapat para ahli geologi, pemboran, dan perminyakan yang berpendapat
bahwa semburan lumpur Sidoarjo disebabkan gempa Jogja telah meragukan
sebab para ahli tersebut bukanlah ahli atau peneliti gempa bumi. Para ahli
tersebut juga tidak pernah menganalisis secara mendalam pengaruh jeda
waktu atau perbedaan peristiwa gempa Jogja 27 Mei 2006 dengan awal
semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006. Sedangkan para ahli geologi serta
pemboran yang berpendapat bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo
adalah kesalahan eksplorasi Lapindo cocok atau sesuai dengan kejadian
kronologi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo yang disusun
oleh Lapindo Brantas Inc., BP Migas, Mekanik Kontraktor Pemboran Lapindo
Brantas Inc (PT. Tiga Musim Jaya Mas) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Namun demikian untuk menghilangkan keraguan adanya pengaruh
gempa Jogja atau tidak sebagai penyebab semburan lumpur tersebut maka
perlu dilakukan penelitian yang dilakukan ahli gempa berkerjasama dengan
ahli geologi lainnya serta ahli pemboran minyak dan gas bumi (migas) dengan
data-data primer. Lapindo Brantas Inc seharusnya buka-bukaan, tidak
menyembunyikan data pentingnya untuk tujuan kemudahan menyimpulkan
penyebab semburan lumpur itu guna penentuan metode upaya penghentian
semburan lumpur Lapindo.
PENDAHULUAN
Hingga saat ini (tulisan ini dimulai 27 Maret 2008) penyebab semburan
lumpur Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) yang berlokasi di Sumur Banjar Panji 1
(BJP 1) Sidoarjo masih menjadi teka-teki. Ada kelompok ahli yang berpendapat
bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan eksplorasi yang
dilakukan kontraktor yang ditunjuk Lapindo (yang tanggung jawabnya ada di
Lapindo) dan ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur
Lapindo merupakan fenomena alam mud volcano terkait gempa Jogja 27 Mei
2006.
Dua kelompok pendapat ahli tersebut mempengaruhi penegak hukum.
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No.
384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. (atas gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia / YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’.
Dalam pertimbangan hukumnya Hakim PN Jakarta Pusat tersebut menyatakan:
“Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat
dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang
dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang
cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi
luapan lumpur.”
Tetapi hakim PN Jakarta Pusat tersebut tidak menghukum Lapindo dan para
tergugat lainnya dengan alasan bahwa para Tergugat telah melaksanakan
upaya secara optimal dalam memenuhi hak perlindungan korban maupun
upaya penghentian semburan lumpur.
Sedangkan hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara No. 284/Pdt.G/2006/
PN.Jak.Sel. (atas gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia / WALHI)
menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena
alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:
“Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat
seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya
telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus
Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr.
Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat
bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya
sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji
1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”
Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga berkali-kali
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian Daerah (Polda)
Jawa Timur dengan alasan adanya dualisme pendapat para ahli tersebut.
Untuk itulah, tulisan ini dimaksudkan untuk membedah dualisme pendapat
para ahli yang selama ini dipersepsikan sebagai ‘bertolak belakang’ sehingga
kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut menjadi
polemik yang tidak jelas. Tulisan ini tunduk menggunakan formula ilmiah dalam
menuju konklusi, melalui koleksi data, komparasi, klasifikasi, analisis hingga
sampai pada konklusi untuk menjawab teka-teki tersebut. Oleh sebab penulis
bukan ahli geologi dan bukan ahli pemboran perminyakan maka penulis
mencari kebenaran penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut dengan
menggunakan pendapat para ahli, termasuk mereka yang berada dalam dua
kelompok yang berbeda pendapat.
Teknik pencarian kebenaran yang penulis gunakan adalah teknik komparatif
seperti yang biasa digunakan oleh hakim, membandingkan pendapat para ahli
yang berbeda pendapat, mencari titik-titik lemah dan titik-titik kuat,
menggunakan logika obyektif, lalu menemukan konklusi sebagai teori, yang
memungkinkan dalam bentuk:
1. Menyetujui salah satu kelompok pendapat dengan menganggap kelompok
pendapat lainnya tidak benar; atau
2. Menemukan hukum atau teori berdasarkan titik singgung yang
mempertemukan dua kelompok pendapat ahli yang berbeda; atau
3. Tidak menemukan kebenaran dengan menyimpulkan bahwa kedua kelompok
ahli yang berbeda pendapat tersebut telah keliru dalam menyimpulkan
penyebab semburan lumpur, atau
4. yang lainnya.
KRONOLOGI KEJADIAN SEMBURAN
Penulis merupakan salah satu anggota Tim Advokasi Kemanusiaan Korban
Lumpur Lapindo yang turut merumuskan gugatan kepada Lapindo dan
pemerintah. Untuk berusaha menjaga obyektivitas dan keadilan dalam
merumuskan tulisan ini maka penulis juga menggunakan kronologi serta
pendapat versi Lapindo dan pemerintah.
1. Kronologi Versi Lapindo dan BP Migas
Berdasarkan fotocopy dokumen kronologi kejadian semburan lumpur
Lapindo yang dibuat Lapindo dan Badan Pengawas Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tertanggal 12 Juni 2006, semburan
lumpur Lapindo terjadi di lokasi sekitar Sumur BJP 1 Sidoarjo sebagai
berikut:
1. Pemboran sumur mulai 8 Maret 2006.
2. Pemboran aman sampai dengan kedalaman 3.580 feet, casing
13 3/8” diset dan disemen.
3. Pemboran dilanjutkan sampai dengan kedalaman 9.297 feet,
terjadi kehilangan lumpur Sabtu pagi (Sabtu pagi tersebut
adalah tanggal 27 Mei 2006, pen). Kejadian ini ditanggulangi
dengan LCM (singkatan dari lost circulation material, pen).
4. Selanjutnya direncanakan penyemenan di daerah loss (yang
kehilangan lumpur itu, pen) dan pemasangan casing.
5. Rangkaian pemboran dicabut (diangkat ke atas, pen) sampai
kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well kick pada Minggu (hari
Minggu tersebut adalah tanggal 28 Mei 2006, pen).
Kejadian well kick tersebut ditangani dengan Kill Mud sampai sumur
tersebut mati dan bisa terkendali lagi. Selanjutnya dilakukan dilakukan
sirkulasi lumpur untuk membersihkan sumur dari sepih bor.
6. Rangkaian mata bor direncanakan untuk dicabut sampai ke
permukaan tetapi tidak berhasil (terjepit).
7. Pada Senin pagi (Senin pagi tersebut tanggal 29 Mei 2006, pen)
timbul semburan lumpur alami 150 meter dari lokasi pemboran.
8. Seminggu kemudian semburan lumpur alami tidak mengalami
penurunan intensitas. Kondisi pemboran dinilai tidak aman.
Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran.
Rangkaian pemboran dilepaskan dan dipasang cement plug di
bawah mata bor dan di atas pipa.
9. Drilling rig dan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari lokasi
dan dikembalikan kepada pemilik (siapa pemilik drilling rig dan
alat pemboran?, pen).
2. Kronologi Versi BPK
Dalam laporan auditnya tertanggal 29 Mei 2007, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan
para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan
kronologi sebagai berikut:
1. Pemboran Sumur BJP 1 dimulai pada tanggal 8 Maret 2006.
2. Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai
kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total
loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian
LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen)
mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick
dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa
tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun
berputar/berotasi.
3. Pada tanggal 29 Mei 2006 sejak jam 4.30 muncul semburan
H2S, air dan lumpur ke permukaan. Lokasi semburan + 150
meter dari lokasi Sumur BJP 1.
4. Karena luapan semburan lumpur mulai menggenangi area
Sumur BJP 1, ada rekahan dan pipa terjepit, maka pada tanggal
4 Juni 2006 Sumur BJP 1 ditinggal untuk sementara (temporary
well abandonment). Pada saat ditinggalkan, tinggi semburan
berkisar 1-2 meter dan berasal dari tiga titik semburan.
5. Akhirnya LBI (Lapindo) menutup sumur secara permanen
(permanent well abandonment) pada tanggal 18 Agustus 2006
setelah upaya menghentikan semburan lumpur melalui Sumur
BJP-1 gagal.
3. Kronologi Versi Mekanik Kontraktor Pemboran
Syahdun, sorang mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas selaku kontraktor
pemboran yang ditunjuk Lapindo menjelaskan kepada media (Kompas,
8/6/2006). Syahdun juga telah diperiksa penyidik Polda Jawa Timur dalam
kasus semburan lumpur Lapindo. Syahdun menjelaskan:
1. Pada mulanya formasi sumur pemboran pecah.
2. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba
bor macet, gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam
rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari
celah dan keluar ke permukaan melalui rawa.
3. Lumpur panas keluar dari kedalaman 9.000 feet atau 2.743
meter dari perut bumi, juga keluar dari enam titik lainnya.
Ketiga versi kronologi tersebut tidak berbeda secara substansial, sehingga
dalam soal tersebut tidak ada masalah.
PENDAPAT PARA AHLI
Pendapat ahli yang penulis kutip selanjutnya ini hanya beberapa ahli geologi
dan pemboran perminyakan berasal dari Indonesia yang relevan dalam
mencaritahu penyebab semburan lumpur Lapindo. Penulis sengaja tidak
menggunakan hasil analisis Prof. Richard J Davies sebagaimana di di jurnal
geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 maupun hasil laporan PBB
Juni-Juli 2006 dengan alasan menghindari kecurigaan subyektivitas persepsi
sebab keduanya merupakan produk 'asing', meski sesungguhnya dalam kajian
ilmiah tidak etis untuk berlaku diskriminatif.
Dengan ukuran obyektivitas maka hasil analisis Prof. Richard J Davies
tersebut menurut penulis sebenarnya yang paling ilmiah dan masuk akal sebab
bisa dengan tepat menjelaskan pengaruh gempa Jogja yang berbeda waktu
dengan awal peristiwa semburan lumpur Lapindo. Maka penulis mencoba
sengaja untuk memulai analisis ini dengan mengakomodasi pemikiran para ahli
yang telah 'meminjam data-data' pihak Lapindo (termasuk Energi Mega
Persada), sebab penulis merupakan salah satu anggota perumus gugatan
kepada Lapindo Brantas Inc dan tergugat lainnya yang dilakukan YLBHI dan
WALHI.
Pada dasarnya terdapat dua kelompok ahli yang berpendapat dalam soal
penyebab semburan lumpur Sidoarjo, yaitu: Kelompok ahli penyimpul bahwa
semburan lumpur karena bencana alam, dan kelompok ahli penyimpul bahwa
semburan lumpur Lapindo karena kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1
Sidoarjo.
1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Bencana Alam
Penulis tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pada
dasarnya pendapatnya dilandasi argumentasi yang sama. Dalam kelompok
ahli ini saya kutip pendapat beberapa ahli yang cukup mewakili sebab para
ahli ini diantaranya diminta pihak Lapindo untuk menjadi ahli di PN Jakarta
Pusat dan Selatan dalam sidang atas gugatan YLBHI dan WALHI. Para ahli
tersebut adalah:
1. Agus Guntoro, ahli Teknik Geologi Universitas Trisaksi, peneliti
anggota Tim Investigasi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
2. Sukendar Asikin, Guru Besar, ahli geologi Institut Teknologi
Bandung (ITB).
3. Mochamad Sofian Hadi, ahli geologi dipekerjakan di Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
4. Dody Nawangsidi, ahli Teknik Perminyakan dari ITB.
Pendapat ahli Agus Guntoro :
Ia menjelaskan perdapatnya dalam Temu Ilmiah Semburan Lumpur Panas
Sidoarjo, Analisa Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya, di Jakarta,
7 Desember 2006 yang diorganisasi oleh Asosiasi Perusahaan Migas
Nasional (Aspermigas). Dalam acara tersebut Agus Guntoro memaparkan
makalahnya berjudul: Hipotesa Semburan Lumpur Sidoarjo dari perspektif
Geologi. Agus Guntoro menjelaskan 4 (empat) hipotesa penyebab
semburan lumpur Lapindo, yaitu:
1. Semburan akibat pemboran Sumur BJP 1,
2. Semburan akibat Gempa Jogja (terjadi dua hari sebelum semburan Lusi),
3. Semburan akibat proses aktivitas Gunung Lumpur (mud volcano), dan
4. Semburan akibat adanya aktivitas panas bumi (geothermal).
Dalam makalahnya tersebut Agus Guntoro berkesimpulan diantaranya
khusus dalam soal penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut di
kesimpulan huruf d dinyatakan: “Sangat mungkin semburan lumpur Sidoarjo
tidak berkaitan dengan pemboran tetapi merupakan sebuah fenomena alam
berupa mud volcano yang keluar melalui zona patahan yang teraktifasi yang
dapat disebabkan oleh gempa Jogjakarta yang mendahului 2 hari sebelum
semburan.”
Agus Guntoro menjelaskan bahwa naiknya erupsi semburan lumpur panas
di daerah sekitar Sumur BJP 1 merupakan hasil dari adanya zona plastis
yang merupakan bagian dari shale diapirism yang naik ke permukaan
sebagai mud volcano. Fenomena ini tersebar secara regional dari Jawa
Barat hingga utara Lombok. Patahan-patahan yang terekam pada bawah
permukaan bukan semata terbentuk secara tektonik dan merupakan bagian
dari apa yang disebut sebagai Contemporaneuous Fault System. Patahan
tersebut sangat labil terhadap pergerakan masa dari sepih yang masih
plastis dan inkompetibel.
Menurut Guntoro, dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya
terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur
tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari
Eosen hingga Oligosen.
Dalam keterangannya di muka PN Jakarta Selatan (gugatan WALHI kepada
Lapindo dll.) Agus Guntoro menerangkan telah melakukan penelitian
sehingga menyimpulkan, diantaranya:
o Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam
sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam
sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan
6.000 feet (kaki).
o Hasil analisis air menunjukkan lumpur dan air itu merupakan dua
sistem yang berbeda letaknya.
o Adanya gas H2S yang biasanya menunjukkan di dalam geologi untuk
Jawa Timur berasal dari formasi Kujung.
o Kandungan Florid berkisar sekitar 14.000 ppm, sangat tinggi dan tidak
berasal dari formasi Kalibeng di mana lumpur itu berasal.
Dalam korelasi antara gempa Jogja dengan masalah pemboran Guntoro
menjelaskan:
o Bahwa terjadi korelasi antara gempa dengan proses loss yang terjadi
pada saat pemboran yaitu sekitar 10 menit setelah terjadinya gempa
Jogja yang terjadi persis loss yang hilangnya lumpur pemboran yang
digunakan, kemudian 6 jam setelah itu terjadi loss mengakibatkan
terjadinya loss dan kick.
Dalam acara Temu ilmiah di Jakarta (7/12/2006), Agus menjawab
pertanyaan korelasi antara pemboran sumur Banjar Panji1 dengan mud
volcano sebagai berikut:
o “Apa yang kita hadapi saat ini sangat kompleks, sehingga tidak bisa
dilihat dari satu disiplin ilmu. Yang dilihat secara geologi adalah melihat
fakta secara regional dengan menggunakan metode induksi dan
deduksi. Karena tidak mungkin seorang geogolog memutuskan secara
final, yang kita sampaikan adalah dari sudut pandang geologi.”
Guntoro di sidang PN Jakarta Selatan memastikan semburan lumpur
Lapindo bukan karena aktivitas pemboran dengan alasan:
o ada beberapa penelitian yang saksi (Agus Guntoro) lakukan
menunjukkan bahwa air dan lumpur berasal dari dua sistem yang
berbeda. Kemudian yang kita lihat adalah temperatur yang begitu
tinggi tidak menunjukkan sebagai fluida yang dari titik bor sampai pada
kedalaman.
o Volume yang begitu besar sulit dibayangkan keluar dari lubang sumur
yang diameternya 12,5 inchi, karena itu saksi (Agus Guntoro)
berpendapat keluarnya semburan melalui suatu bidang yang berkaitan
dengan aktivitas dari pergerakan kulit bumi.
Pendapat ahli Sukendar Asikin:
Ia menjelaskan secara lebih umum di hadapan hakim PN Jakarta Selatan
berkaitan dengan adanya korelasi antara semburan lumpur Lapindo dengan
gempa Jogja. Asikin mengatakan:
o Bahwa yang menyebabkan keluarnya lumpur di Sidoarjo adalah ada
beberapa patahan atau cekungan yang diisi oleh sedimen. Sedimen ini
lunak disebut lempung yang sangat tebal pada waktu terjadi gerak
tektonik cekungan tadi sudah diiris oleh patahan-patahan, patahan-
patahan itu akan bergerak kembali pada saat gerak tektonik. Patahan
inilah menstimuler lempung bergerak ke atas.
o Bahwa yang menyebabkan adanya lumpur Sidoarjo karena gerakan
tektonik itu terjadi hanya beberapa saat setelah terjadi gempa.
o Bahwa selain di Sidoarjo di tempat lain saksi pernah melihat gunung
lumpur ini di Timor, di Irian, di Bangkalan dan di Purwodadi itu
semuanya karena gerak kerak bumi atau tektonik tadi di Timor tidak
ada pemboran, tapi gunung lumpur itu bersamaan keluarnya dengan
oilship atau rembesan-rembesan minyak. Di situ ada lumpur yang
bergerak ke atas tapi juga ada rembesan minyak.
Dalam kaitannya dengan jarak gempa Jogja dengan Sumur BJP 1 Sidoarjo
yang lebih jauh (250 km) dibandingkan lokasi Bleduk Kuwu yang lebih dekat
(120 km), Asikin menjawab:
o Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya
hanya sedikit.
(Keterangan Asikin ini tidak dicatat dalam putusan PN Jakarta Selatan tersebut,
tapi direkam oleh Walhi: www.walhi.or.id, 8/11/2007)
Pendapat ahli Mochamad Sofian Hadi:
Ia menerangkan penyebab semburan lumpur Lapindo di PN Jakarta Selatan,
diantaranya:
o Saksi ahli dalam bidang tektonik dan telah melakukan penelitian yang
hasilnya menyimpulkan lumpur itu disebabkan tektonik terjadi apabila
ada benturan.
o Bahwa lumpur tersebut sampai keluar karena air bersentuhan
dengan magma yang sanggup mendorong fluida keluar.
o Bahwa yang menyebabkan lumpur Sidoarjo keluar adalah karena
tektonik, lumpur yang sekarang ini keluar sama dengan di Madura.
Selanjutnya ia juga menerangkan:
o Bahwa lumpur keluar setelah pemboran itu hanya kebetulan.
o Bahwa luapan lumpur itu bisa dihentikan ada dua sisi tinjau, kalau sisi
tinjau keliling melihat ini underground blowout jawabannya bisa
dihentikan luapan lumpur tersebut, tapi kalau ini sisi tinjau mud volcano
di mana air mendidih karena dapur magma menjawabnya tidak bisa
dihentikan luapan lumpur tersebut.
Pendapat ahli Dody Nawangsidi:
Soal tidak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran di
Sumur BJP 1 tersebut Dody Nawangsidi di PN Jakarta Selatan menerangkan:
o Bahwa pemasangan casing itu adalah kick toleran apa terlampau atau
tidak dan pada saat itu kick toleran belum melampaui harga minimum
maka pemboran tersebut bisa dilakukan sampai sedalam mungkin. Ini
hal yang normal dan di mana-mana orang mengebor itu dengan open
hole tanpa casing itu sangat panjang, jauh melebihi yang di Banjar
Panji. Di dunia ternyata lebih panjang itu misalnya di Laut Cina
Selatan, Selat Madura, Kalimantan 6.000 feet belum dipasang casing.
o Bahwa sumur BJP 1 belum terpasang casing sampai kedalaman
lubang terbuka 6.000 feet itu merupakan hal yang wajar, bukan
kesalahan.
o Bahwa proses pemboran di Sumur BJP 1 setelah saksi pelajari dari
data perencanaan hingga operasi dan penanggulangan masalah,
semuanya tidak ada yang menyalahi prosedur, semuanya sudah
sesuai dengan prosedur yang ada.
Soal keluarnya lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:
o Bahwa degan pemboran ini tidak ada hubungannya dengan keluarnya
lumpur. Patahan ini dalamnya 20.000 kaki sedangkan pemboran hanya
900 kaki (maksudnya 9.000 kaki, pen) dan casingnya tidak pecah.
o Bahwa operasi pemboran di BJP 1 tidak ada yang menyalahi prosedur,
dapat dipertanggungjawabkan.
o Bahwa korelasi antara semburan lumpur dengan pemboran Sumur
BJP 1 adalah salah satu korban dari kejadian tektonik itu.
o Bahwa lumpur Lapindo itu tidak disebabkan drilling accident, karena
lumpur tidak berasal dari lubang sumur.
Soal pengaruh gempa dengan jauh-dekatnya jarak suatu tempat, Dody
menerangkan:
o (Tergantung) tingkat kestabilannya, kalau gempa terjadi di suatu lokasi
maka pengaruh yang paling dirasakan belum tentu di daerah yang
paling dekat, bisa juga di tempat lebih jauh lebih terasa, tergantung
struktur lempeng di bawahnya.
o “Saya bukan ahli gempa.” (lihat rekaman Walhi di
http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/Lapindo_2007_11_14/).
Tentang lumpur yang muncul dari pemboran Dody berteori:
o (Lumpur pemboran itu dari) yang pertama berasal dari kaki casing
yang pecah, lalu lumpur menyembur keluar dari tempat pemboran, tapi
kalau terjadi underground blowout itu keluar dari kaki casing dan
kemudian muncul ke atas.
o Pada umumnya (lumpur karena pemboran) terjadi di lubang pemboran
bisa juga di tempat lain yang jauh dari pemboran kurang lebih radius
40 meter.
Soal asal lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:
o Bahwa lumpur keluar dari tempat lain selain pemboran karena lumpur
itu ada di lapisan 3.000 – 4.000, lempung yang keras kemudian ada air
mengalir dari bawah kira-kira 20.000 kaki, dia akan bercampur
dengan lempung sehingga akan terjadi lumpur karena selnya reaktif
maka lumpur bertekanan tinggi mencari jalan keluar melalui rekahan
dan kalau semburan akibat pemboran tidak lebih dari 750 m3 per hari.
Ini 200 kali lipat.
2. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Pemboran Lapindo .
Penulis juga tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab
pendapat mereka juga hampir sama secara substansial.
1. Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari
ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi
Independen Semburan Lumpur Sidoarjo.
2. Andang Bachtiar, ahli geologi dan pemboran perminyakan,
anggota Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur
Sidoarjo, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI).
3. Adi Susilo, ahli geosains, Kepala Laboratorium Geosains
Universitas Brawijaya Malang.
4. Amin Widodo, ahli studi bencana, Kepala Pusat Studi Bencana
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Pendapat ahli Rudi Rubiandini:
Tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu Rudi menerangkan sebagai
ahli di PN Jakarta Selatan sebagai berikut:
o Bahwa semburan lumpur Lapindo ini terjadi (hasil dari hasil investigasi
yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan) disimpulkan
keluarnya air panas dan asin yang naik ke permukaan menggerus
tanah liat kemudian meretakkan batuan di permukaan di dalam lubang
yang tidak terpasang casing kemudian keluar ke permukaan menjadi
semburan gunung lumpur, itu fenomena yang terjadi di Sumur BJP 1
sekarang.
o Bahwa data-datanya diperoleh dari daily drilling report yaitu sebuah
data-data yang selalu dicatat oleh ahli pemboran, dari situ dapat dilihat
bahwa tekanan yang terjadi dalam lubang melebihi kekuatan tekanan
batuan yang dimiliki oleh batuan selama pemboran. Akibat tekanan
yang melebihi tadi mengakibatkan bahwa batuan menjadi rekah dan
tidak mungkin lagi fluida di dalam lubang selamanya sehingga mencari
jalan keluar, keluarlah seperti sekarang akhirnya membesar. Sekarang
sudah sangat membesar sekali lubangnya sehingga laju alir atau
debitnya sudah jauh lebih besar daripada saat awal alirannya sangat
kecil, dengan waktu fluktuasi sekarang aliran sudah kontinyu dan
mengalir membesar karena lubangnya besar.
o Bahwa dari data-data, secara ringkas penyebab utama semburan
lumpur ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan
tekanan dari bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya
casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua penyebab
ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.
o Bahwa penyebab semburan lumpur ini dari investigasi kami sejak
bulan Juni tahun yang lalu kesimpulannya kami bahwa tetap semburan
ini disebabkan pada awalnya pada lubang Sumur BJP 1 yang saat itu
sedang dibor oleh PT. Lapindo Brantas.
Soal kelanjutan upaya penghentian semburan dengan relief well yang pernah
dilakukan Lapindo, Rudi menerangkan:
o Bahwa ketika saksi (Rudi, pen) sudah masuk Timnas sudah
menyarankan relief well tersebut. Saran itu jelas dilaksanakan dan
diterima oleh sistem namun kemudian tidak dapat dilanjutkan, yang
terakhir kendalanya adalah bahwa biaya untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut sudah habis, karena itu pekerjaan tidak diteruskan
dan pemboran hanya berhenti di tengah jalan.
Rudi menyinggung kaitannya dengan Sumur Porong sebagai berikut:
o Bahwa jarak Sumur BJP 1 dengan Porong kira-kira 4,5 km sudah dibor
lebih dulu kedalamannya relatif sama, tidak menghasilkan, itu juga
sumur eksplorasi yang memiliki kedalaman sama. Ada yang sudah
menghasilkan di dekat situ namanya sumur Wunut jaraknya kira-kira
2,5 atau 3 km, namun sumurnya cukup dangkal sehingga tidak korelatif
dengan sumur yang sedang dibor.
Soal prinsip kick toleran Rudi menjelaskan:
o Bahwa dikatakan aman atau tidak aman keadaan di bawah tanah
secara teknis ada beberapa metode. Metode pertama adalah
engineering yaitu melihat berapa kick toleran. Toleran itu adalah
berapa sempat sebuah lumpur nanti pada saat dibor ketika terjadi kick
dia bertahan. Dalam hitungan saksi (Rudi, pen) Sumur BJP 1 itu
sampai kedalaman 9.297 itu hanya memiliki 0,5 pond per gallon dan itu
secara operasional dapat diperbolehkan selama tidak ada kejadian
apapun jika ketika membor normal itu aman. Namun ketika terjadi
proses tadi tekanan kick pasti tidak aman karena tekanan jauh
melebihi tekanan tersebut.
Dalam soal kaitan antara casing dengan kejadian kick, Rudi menjelaskan:
o Bahwa yang menyebabkan terjadinya kick bukan karena tidak
dipasang casing. Kick adalah sebuah kecelakaan pemboran yang kita
temui. Ada loss, ada kick, ada stuck. Tapi ketika ada kick kemungkinan
kita punya casing maka akan aman-aman saja.
Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Rudi menjelaskan:
o Bahwa yang berkembang sekarang di media massa adalah beberapa
ahli menyatakan gempa bumi, menyatakan geothermal, semua
pernyataan tersebut setelah dianalisa kembali dengan data-data dari
hasil pemboran dari luapan, dari tekanan, termasuk juga dari hasil
evaluasi ahli geofisis tentang gempa ternyata bahwa hipotesa-hipotesa
itu terlalu lemah untuk menyatakan bahwa penyebab semburan itu
dalah hasil metode tersebut. Sedangkan data-data otentik yang
diperoleh dari hasil pemboran cukup memperkuat bahwa aliran itu
pertama keluar pada saat pemboran terjadi pada saat kick terjadi.
o Bahwa hubungan kejadian gempa dengan tidak terpasangnya casing
dari analisa ahli geofisis mengatakan itu terlalu jauh untuk
mengakibatkan terjadinya semburan Lapindo dari Jogjakarta dan itu
jaraknya kira-kira 300 km, itu tidak ada hubungannya.
Soal fungsi rig pemboran saat semburan lumpur terjadi, Rudi menjelaskan:
o Bahwa pada saat terjadinya blowout, rig itu tidak boleh pergi. Rig itu
harus melakukan killing sampai rig itu terbakar. Yang terjadi di Sumur
BJP 1 itu rig pergi setelah memotong pipa sehingga sehingga sangat
kesulitan pada saat melakukan killing sehingga kita menunggu 4 bulan
blowout sejak 29 Mei 2006.
Pendapat ahli Andang Bachtiar:
Ia pernah memaparkan hasil-hasil temuan datanya dalam presentasi berjudul:
“Banjarpanji, Mud Volcano in The Making, Tinjauan Geologi Lumpur Porong”
tanggal 7 September 2006. Andang memaparkan fakta temuan semburan,
material dan data-data yang berkaitan dengan sumber semburan lumpur
sebagai berikut:
o Appears approx. 200 m from well.
o Initial burst contains H2S 35 ppm but disappeared or significantly
reduced on the second day, Zero for a long time but currently some
amount is detected. H2S was encountered when drilling into and kick
from Carbonate.
o MUD - WATER 70%, SOLID 30%.
o Chloride content: 14.000 ppm.
o Mud Temperature at Surface: steam 212o F (100 o C). Mixing with near
surface water is assumed.
o Found Nanno and Foram fossils.
o Contains organic materials of Terrestrial and Marine origin.
o Thermal Maturity is equivalent to Ro 0.64%.
o Contains predominantly of Quarts (SiO2) and Clay materials (Smectite,
Chlorite and Kaolinite).
o Contains some Hydrocarbon which is different than the SOBM used to
drill the Banjarpanji-1 well.
Dari data-data tersebut Andang membuat kesimpulan asal semburan lumpur,
yaitu:
Sources of Solid:
The Overpressured Shale
o Foram & Nanno fossils found suggest from 6.000-4.000 ft.
o Thermal maturity suggest from 5100 – 6300 ft
o Kerogen composition correlatable with SWC from 5.600 ft
o Temperature estimated source is from 5.100-5.500 ft
Also contribute water (trapped water) è MOST LIKELY
Sources of Water/Gas/Energy (drive)
Kujung Formation.: Initial burst contain H2S suggest contribution from Kujung.
o Presence of H2S upto present time suggest continued contribution of
Kujung
Highly porous and permeable Sandstone 6.360-6.385 ft
Volcanic Sandstone at 6.100 ft. Superchaged from overlying shale. Limited
contribution as it is tight. Should not last long. ==è Pressure reconciliation
problems
o Dalam presentasinya tersebut Andang menjelaskan bahwa gempa
Jogja kecil kemungkinannya sebagai penyebab semburan lumpur
Lapindo.
o Ia menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah bor
Lapindo menembus lapisan mud diapir.
o Andang berkali-kali meminta secara terbuka agar Lapindo membuka
data-data yang disembunyikan.
Pendapat ahli Adi Susilo:
Ahli geosains Universitas Brawijaya ini berpendapat (Kompas, 8/6/2006):
o Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak BJP 1 bukan
merupakan bencana alam, tapi merupakan ketidakberuntungan.
o Diduga, saat penggalian dilakukan lubang galian belum sembat
disumbat dengan cairan beton sebagai casing.
o Lubang itu menganga karena gempa bumi di Jogja yang getarannya
dirasakan sampai ke Sidoarjo.
o Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon yang merupakan
bahan baku minyak bumi muncrat karena tekanannya sangat kuat.
o Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung
ditutup beton. Namun penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh
pekerjaan pemboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah
ditemukan.
Pendapat ahli Amien Widodo:
Ia menjelaskan (Kompas, 8/6/2006):
o Semburan lumpur Lapindo dimungkinkan karena kesalahan prosedural
yang mengakibatkan blowout.
o Secara prosedural kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk
menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar ini
mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah.
o Lumpur yang terbawa keluar pun bisa berasal dari lumpur yang
digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang
menutup lapisan gas di dalam tanah.
Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Amien berpendapat:
o Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter untuk menimbulkan rekahan
seperti yang terjadi di Yogyakarta. Di Surabaya yang terasa paling 2
skala richter.
o Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang
tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalaupun ada retakan yang
melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar
Surabaya ke arah Barat Daya Pacitan.
ANALISIS PERBANDINGAN
1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam
Jika pendapat ahli Agus Guntoro, Sukendar Asikin, Mochamad Sofian Hadi
dan Dody Nawangsidi diperbandingkan maka akan ditemukan keadaan-
keadaan:
1. Keterangan Agus Guntoro yang tidak sama dalam hal yang sama,
yaitu:
Dalam acara Temu Ilmiah tersebut Agus Guntoro menyatakan:
“Dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo
struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut
diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen
hingga Oligosen.”
Ini berbeda dengan keterangannya di PN Jakarta Selatan yang
menerangkan: “Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun
pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng
di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai
dengan 6.000 feet (kaki).”
(catatan penulis: Zona atau lapisan bumi Ngimbang, Kujung dan
Kalibeng berbeda dalam usia, bentuk lapisan dan kedalamannya).
2. Keterangan empat ahli tersebut sama dalam hal bahwa penyebab
semburan lumpur Lapindo karena rekahan tanah di sekitar Sumur BJP
1 karena gerakan tektonik.
3. Dody Nawangsidi mengatakan asal lumpur semburan dari kedalaman
3000 – 4000 kaki, sedangkan Agus Guntoro mengatakan asal lumpur
berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1
pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).
4. Perbedaan interpretasi dalam soal sama tersebut dimungkinkan
karena perbedaan jenis data yang dianalisis, yaitu data seismic dan
data material. Tetapi ini sekaligus menunjukkan bahwa konklusi
data geologis ternyata rentan dengan ‘kesalahan’.
2. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi
Jika pendapat ahli Rudi Rubiandini, Andang Bachtiar, Adi Susilo, dan Amin
Widodo diperbandingkan maka akan diperoleh temuan:
1. Para ahli ini sama pendapat bahwa telah terjadi kesalahan eksplorasi
oleh Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur tersebut.
2. Amien Widodo memastikan gempa Jogja bukan penyebab semburan
lumpur sebab kekuatannya tidak memenuhi syarat untuk adanya
rekahan (di lokasi semburan lumpur tidak sampai 6 skala richter tapi
hanya sekitar 2 skala richter). Pendapat ini sama dengan Andang
Bachtiar yang membandingkan jarak dengan kekuatan gempa.
3. Sedangkan Adi Susilo berpendapat bahwa getaran gempa Jogja
menjadi pemicu rekahnya kedalaman pemboran yang tidak dipasangi
casing oleh Lapindo, sehingga ia mengatakan semburan lumpur itu
bukan karena bencana alam.
4. Pendapat para ahli ini juga mengandung anasir probabilitas, bersifat
konklusi sains yang tidak dapat dijadikan alat menyimpulkan
kebenaran fakta absolut. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendapat
ahli yang dijadikan alat menyimpulkan sebuah hukum atau teori
penyebab semburan lumpur Lapindo masih mengandung
kelemahan.
3. Analisis Perbadingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam
dengan Penyimpul Kesalahan Eksplorasi
Dari dua kelompok pendapat ahli yang berbeda tersebut, dapat
dibandingkan sebagai berikut:
o Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut adalah para ahli
geologi serta ahli pemboran maupun perminyakan yang bukan ahli
gempa, kecuali Amien Widodo yang berkecimpung dalam laboratorium
Pusat Studi Bencana di ITS. Para ahli geologi yang bukan ahli
gempa diragukan untuk bisa menyimpulkan secara akurat bahwa
semburan lumpur tersebut merupakan akibat gempa Jogja atau
bukan. Ini menyangkut kompetensi keahlian.
o Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut yang merupakan
ahli pemboran tidak fokus dalam menganalisis data-data yang mereka
peroleh untuk dikaitkan dengan kronologi semburan lumpur Lapindo,
kecuali Rudi Rubiandini dan Andang Bachtiar. Tetapi Andang Bachtiar
masih merasa terkendala dengan ‘data-data Lapindo’ yang masih
belum diungkapkan ke publik padahal itu penting untuk menyimpulkan
penyebab semburan lumpur Lapindo secara lebih tepat.
o Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam berkesimpulan secara
berbeda dengan kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1, tetapi
mereka tidak pernah menganalisis tuntas tentang problem yang terjadi
selama proses pemboran, contohnya berkaitan dengan terjadinya kick,
stuck, dan loss dalam korelasinya dengan long open hole karena tak
dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran Sumur
BJP 1. Ketika mereka menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab,
mereka juga tidak menganalisis tuntas tentang pengaruh perbedaan
kejadian (gempa terjadi 27 Mei 2006, sedangkan semburan lumpur
terjadi 29 Mei 2006). Ini tentu hal yang tidak bisa mereka lakukan
sebab mereka mungkin tidak begitu paham tentang bagaimana proses
pencairan bebatuan dalam bumi saat terjadinya gempa, sebab mereka
bukan ahli gempa.
o Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi berkesimpulan secara
sama dengan seluruh versi kronologi proses pemboran di Sumur BJP
1 hingga terjadinya semburan lumpur Lapindo tersebut yang tentunya
ini bukan merupakan sebuah kebetulan.
KONKLUSI
1. Pendapat para ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur
Lapindo adalah gempa Jogja telah meragukan dan tidak dapat
digunakan sebagai rujukan sebab: (1) Merupakan analisis ahli yang
bukan ahli gempa; (2) Tidak tuntas dalam menganalisis problem yang
terjadi dalam proses pemboran di Sumur BJP 1 Sidoarjo, dan (3) Tidak
dapat menjelaskan pengaruh perbedaan hari antara peristiwa gempa
Jogja (27 Mei 2006) dengan kejadian semburan lumpur Lapindo (mulai
29 Mei 2006).
2. Pendapat ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo
adalah kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo ternyata sesuai
dengan kronologi proses pemboran Sumur BJP 1 yang disusun
Lapindo, BP Migas serta versi mekanik kontraktor pelaksana
pemboran Lapindo sendiri maupun BPK. Namun, konklusi itu masih
'terseret' hipotesis tentang kejadian gempa Jogja sebagai pendapat
yang digunakan pihak Lapindo.
SARAN
1. Lapindo harus membuka seluruh data proses pemboran Sumur BJP 1
Sidoarjo terkait dengan kepentingan korban dan nasional agar segera
diputuskan untuk langkah penghentian semburan lumpur Lapindo.
2. Diperlukan metoda analisis kolaboratif para ahli independen antara ahli
geologi gempa, ahli pemboran dan ahli geologi lainnya dengan dasar
data-data primer (bukan data sekunder) dan bukan sekedar hipotesis,
untuk bisa mengetahui penyebab semburan lumpur Lapindo.
3. Kolaborasi penelitian ahli inpenden sesungguhnya telah ada dari Tim
Investigasi Independen bentukan pemerintah yang dipimpin Rudi
Rubiandini serta para ahli yang digunakan BPK, hanya tinggal
penelitian para ahli gempa bumi, sebab ahli bencana yang meneliti
barulah Amien Widodo dari ITS yang telah menyimpulkan bahwa
gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur Lapindo.
Bahaya Lumpur Lapindo
Bahaya Lumpur Lapindo(Selasa, 20 Juni 2006) – Kontribusi dari Aziz Hamid
Pembuangan lumpur ke sungai dinilai justru akan menimbulkan masalah baru di Sidoarjo. Apa itu? Ladang eksplorasi gas PT Lapindo Brantas dikhawatirkan ambles, lantas menimpa
jalur pipa gas bawah tanah yang ada di bawahnya. Jika petaka itu terjadi, pasokan gas ke industri-industri di seantero Jawa Timur, bakal terhenti. Ledakan pipa gas juga akan memakan korban jiwa tak sedikit. Kecemasan ini cukup beralasan. Hingga Senin (19/6), atau tiga pekan sejak bencana terbetik, lumpur panas dari lokasi Sumur Banjar Panji 1 PT Lapindo di Porong, Sidoarjo, terus muntah. Sekitar 40 ribu meter kubik lumpur keluar dari perut Bumi saban harinya.
Walhi Jawa Timur memperingatkan adanya rangkaian jalur pipa gas yang membentang sejauh 430 kilometer dari Pagerungan Sumenep hingga Gresik melalui Sidoarjo. Pipa gas ini memasok sekitar 80-100 ribu meter kubik gas per hari ke beragam sentra industri di Jatim. Pipa gas bersuhu 60-70 derajat Celcius.
Bisakah urat nadi pasokan gas Jatim ini tertimbun? Andang Bachtiar, mantan ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) memperingatkan perlunya tim teknis bencana PT Lapindo melakukan riset soal ini. ”Perlu diketahui kapan tekanan di dalam lubang kembali stabil,” terang dia. Ini, menurut Andang, terhitung penting. Sebab saat keseimbangan tekanan terjadi, ada tekanan yang justru hilang di area pemicu keluarnya lumpur. Ini memicuketidakstabilan ruang dalam tanah.
Oleh karena itu, menurut dia, tim teknis perlu menaksir apakah ketidakstabilan ruang ini dapat memicu runtuhnya tanah (drop). Perhitungan pun harus cermat, sebab proses ambrol biasanya terjadi pelan-pelan. Penting pula dihitung berapa kekuatan pipa. Apakah reruntuhan tanah bisa memicu bending (bengkok) pada pipa atau tidak. Jika ya, apakah itu dapat memicu fracture (retak) atau tidak. ”Perlu ada skenario terburuk untuk itu semua,” papar dia. Ia menyayangkan adanya pernyataan dari pejabat berwenang bahwa lumpur PT Lapindo akan stop dalam tempo sebulan, tanpa adanya perhitungan akurat.
Menurut Andang, area Porong, Sidoarjo, adalah wilayah rentan tekanan. Area di atas kedalaman 1.500 kaki (sekitar 456 meter) saja, terang dia, sudah tergolong over pressure zone. Di zona itu, tekanan air lebih kecil. Akibatnya, material lumpur menjadi lebih ringan, sehingga lumpur terus naik ke permukaan hingga tercapai keseimbangan tekanan. ”Jadi perlu dihitung berapa lama tekanan itu stabil, jangan cuma ngomong sebulan selesai,”selorohnya.
Bukan karena gempa Keliru jika luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas merupakan imbas gempa 6,2 Richter di Yogyakarta. ”Ini manipulasi fakta dengan menyalahkan alam,” papar Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sony Keraaf, menyitir jawaban pemerintah. Disebutkan bahwa luapan lumpur terjadi akibat liquid faction pascagempa.
Dugaan adanya liquid faction juga dibantah Andang. Menurut dia. liquid faction biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung. Getaran akibat gempa, menurut Andang, menyebabkan tekanan hidrostatik air yang mengikat pasir dan lempung menjadi lebih besar. Akibatnya ia lepas. ”Air pun naik ke permukaan, membawa lempung dan pasir,” kata Andang. Ini memicu banjir lumpur dari dalam tanah. Fenomena ini terjadi pada gempa-gempa besar, seperti di Aceh atau Padang. Biasanya fenomena liquid faction ini terjadi 1-2 jam setelah gempa. ”Yang terjadi di PT Lapindo tidak seperti ini,” papar Andang.
Luapan lumpur, terang Andang, terjadi di kedalaman 2.000-6.000 kaki (608 meter – 1,824 km) alias bukan di lapisan permukaan. Tingkat kedalaman lumpur dicek dari komposisi
lumpur yang tercipta. Materi organik dalam lumpur tercatat berasal dari hewan zaman Pleosin yang hidup 1,5 juta hingga 5 juta tahun silam. Hewan ini hidup di lapisan 2.000-6.000 kaki.”Tak kalah penting, luapan lumpur baru terjadi dua hari kemudian, bukan 1-2 jam kemudian,” tutur dia lagi. Daerah Porong juga terletak paling ujung dari rangkaian sumur-sumur gas Yogya-Klaten. ”Mengapa daerah yang lebih dekat ke sumber gempa ketimbang tidak mengalami kebocoran?” tanya dia.
Ali Ashar Akbar, pengamat perminyakan, merasa aneh soal tidak adanya dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PT Lapindo. ”Kalau itu belum ada kok mereka bisa mengeksploitasi?” tanya dia. PT Lapindo dinilai tidak lagi melakukan kegiatan eksplorasi, tetapi eksploitasi, lantaran pengeboran sudah mlebihi kedalaman 50 meter. Eksplorasi tidak memerlukan Amdal, eksploitasi perlu. Ia menengarai dibolehkannya PT Lapindo beroperasi tanpa Amdal sebagai indikasi adanya persengkongkolan. ”Dari pelanggaran ekologis yang mereka lakukan, mereka bisa dibilang penjahat lingkungan,” papar dia. Dampak ekologi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai semburan lumpur panas dari areal eksplorasi PT Lapindo meninggalkan dampak ekologis yang dapat dibanding-bandingkan dengan tragedi Buyat di Sulawesi Utara. Kasus PT Lapindo membuat ratusan warga di sekitar Desa Renokenongo dan Desa Siring, Kecamatan Porong, mengungsi. Beberapa di antaranya masuk rumah sakit akibat kepulan asap putih yang keluar dari pipa gas perusahaan milik Bakrie Group ini.
Menurut Ketua Kampanye Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Chairul, asap putih yang keluar dari didihan gas dari pipa bawah tanah milik PT Lapindo mengandung hidrogen sulfida (zat kimia beracun yang berbahaya bagi kesehatan). Gas lain yang teridentifikasi adalah amoniak, nitrit, nitrat, dan fenol.
Investigasi Walhi Jawa Timur menemukan bahwa sehari setelah terjadi blow out pertama, ikan-ikan yang ada di saluran irigasi banyak yang terapung mati. Tanaman yang ada di sekitar lumpur mengering dan mati. Sumber air (sumur dan sungai) di tiga desa (Siring, Renokenongo, dan Jatirejo) tak dapat lagi dikonsumsi karena telah tercemar. Warnanya berubah kekuning-kuningan (seperti mengandung minyak mentah).
Menurut Andang Bachtiar, masih belum jelas betul potensi bahaya material kimiawi dari area PT Lapindo. ”Banyak reaksi fisika dan kimia yang terjadi. Unsur yang dulunya tidak ada, seperti chrom, bisa menjadi ada (terdeteksi),” paparnya.Ia mencontohkan kasus luapan lumpur di Arun, Riau. Di situ tiba-tiba muncul unsur ikutan yaitu merkuri. Di dalam gas sendiri, merkuri tidak terdeteksi (under detection limit). ”Tetapi ketika ia diproduksi dengan kecepatan 100 juta kubik dengan pressure yang tinggi, didorong perubahan temperatur, ada perubahan fisika dan kimia,” jelas Andang.Selain itu, Walhi mengkritik rencana pembuangan lumpur ke sungai Kalimati. Jika ini dilakukan, menurut Direktur Eksekutif Walhi, Chalid Muhamad, maka lumpur akan menutupi sungai. ”Sidoarjo bisa tenggelam,” kata dia.
Usulan lain pun tak kalah mencemaskan. Lumpur akan dibuang ke Kali Porong, anak sungai Kali Brantas. Menurut Walhi, Kali Porong adalah penyuplai air sawah bagi Kecamatan Porong dan Jabon. Di musim kemarau, debit airnya nol. Jika ini dilakukan, air dari Dam Lengkong terpaksa digelontorkan, meski dam ini adalah pemasok utama sawah, tambak, industri dan Jasa Tirta di Mojokerto dan Sidoarjo. ”Banyak yang akan dirugikan,” kata dia. Jika lumpur menutupi sungai, maka kapasitas sungai akan mengecil dan pada saat musim
hujan Sidoarjo akan terendam.Fakta Angka 40.000 Meter Kubik Jumlah lumpur yang keluar setiap hari di Porong, Sidoarjo.(imy )
Sidoarjo mud flow
From Wikipedia, the free encyclopediaJump to: navigation, search
Sidoarjo mud flow, October 20, 2009. NASA ASTER satellite image
Sidoarjo mud flow, November 11, 2008. NASA ASTER satellite image
The same location prior to the eruption, August 28, 2004. NASA ASTER satellite image
The Sidoarjo mud flow or Lapindo mud, also informally abbreviated as Lusi, a contraction of Lumpur Sidoarjo (lumpur is the Indonesian word for mud), is a mud volcano [1] in the subdistrict of Porong, Sidoarjo in East Java, Indonesia that has been ongoing since May 2006. Approximately 2,500 m³ (88,000 cubic feet) of mud — equivalent to the contents of a dozen Olympic-size swimming pools — are expelled per day.[2] It is expected that the flow will continue for the next 30 years.[3] As of November 2008, the Sidoarjo mud flow is contained by levees, but further breakouts are possible.[4]
Contents
[hide]
1 Geological setting 2 Mud eruption chronology
3 Investigation
o 3.1 Cause
o 3.2 Legal case
4 Current status
o 4.1 Revived Controversy
5 Sidoarjo mud flow gallery
6 References
7 External links
[edit] Geological setting
Mud volcano systems are fairly common on Earth, and particularly in East Java province. Beneath the island of Java is a half-graben lying in the east-west direction, filled with overpressured marine carbonates and marine muds.[5] It forms an inverted extensional basin which has been geologically active since the Paleogene epoch.[6] The basin started to become overpressured during the Oligo-Miocene period. Some of the overpressured mud escapes to the surface to form mud volcanoes, which have been observed at Sangiran Dome and near Purwodadi city, 200 km (124 miles) west of Lusi.
The East Java Basin contains a significant amount of oil and gas reserves and therefore the region is known as a major concession area for mineral exploration. The Porong subdistrict, 14 km south of Sidoarjo city, is known in the mineral industry as the Brantas Production Sharing Contract (PSC), an area of approximately 7,250 km² which consists of three oil and gas fields: Wunut, Carat and Tanggulangin. As of 2006, three companies — Santos (18%), MedcoEnergi (32%) and PT Lapindo Brantas (50%) — had concession rights for this area; PT Lapindo Brantas acted as an operator.[7]
[edit] Mud eruption chronology
On May 28, 2006, PT Lapindo Brantas targeted gas in the Kujung Formation carbonates in the Brantas PSC area by drilling a borehole named the 'Banjar-Panji 1 exploration well'. In the first stage of drilling the drill string first went through a thick clay seam (500–1,300 m deep), then sands, shells, volcanic debris and finally into permeable carbonate rocks.[1] At this stage the borehole was surrounded by a steel casing to help stabilise it. At 5:00 a.m. local time (UTC+8) a second stage of drilling began and the drill string went deeper, to about 2,834 m (9,298 ft), this time without a protective casing, after which water, steam and a small amount of gas erupted at a location about 200 m southwest of the well.[8] Two further eruptions occurred on the second and the third of June about 800–1000 m northwest of the well, but these stopped on June 5, 2006.[8] During these eruptions, hydrogen sulphide gas was released and local villagers observed hot mud, thought to be at a temperature of around 60 °C (140 °F).[9]
From a model developed by geologists working in the UK,[8] the drilling pipe penetrated the overpressured limestone, causing entrainment of mud by water. The influx of water to the well bore caused a hydrofracture, but the steam and water did not enter the borehole; they penetrated the surrounding overburden and pressured strata. The extra pressure formed fractures around the borehole that propagated 1–2 km to the surface and emerged 200 m away from the well. The most likely cause of these hydraulic fractures was the unprotected drill string in the second stage of drilling.[8] While steel casing is used to protect the well bore in oil or gas exploration, this protection can only be applied in stages after each new section of the hole is drilled, see Drilling_for_Oil.
[edit] Investigation
[edit] Cause
Mudflow, photo taken on July 21, 2006
There was controversy as to what triggered the eruption and whether the event was a natural disaster or not. According to PT Lapindo Brantas it was the May 2006 earthquake losers that triggered the mud flow eruption, and not their drilling activities.[10] Two days before the mud eruption, an earthquake of moment magnitude 6.3 hit the south coast of Central Java and Yogyakarta provinces killing 6,234 people and leaving 1.5 million homeless. At a hearing before the parliamentary members, senior executives of PT Lapindo Brantas argued that the earthquake was so powerful that it had created deep underground faults, allowing the mud to flow thousands of meters away, and that their company presence was coincidental, which should exempt them from paying compensation damage to the victims.[10] If the cause of the incident is determined to be natural, then the government of Indonesia has the responsibility to cover the damage instead. This argument was also recurrently echoed by Aburizal Bakrie, the Indonesian Minister of Welfare at that time, whose family firm controls the operator company PT Lapindo Brantas.[11][12]
However the UK team of geologists downplayed Lapindo's argument and concluded that the earthquake was merely coincidental.[8] While it could have generated a new fracture system and weakened strata surrounding the Banjar-Panji 1 well, it could not have been the cause of the formation of the hydraulic fracture that created the main vent 200 m (660 ft) away from the borehole. Additionally there was no other mud volcano reported on Java after the earthquake and the main drilling site is 300 km (190 mi) away from the earthquake's epicenter. The intensity of the earthquake at the drilling site was estimated to have been only magnitude 2 on Richter scale, the same effect as of a heavy truck passing over the area.[1]
In June 2008, a report released by British, American, Indonesian, and Australian scientists [13] concluded that the volcano was not a natural disaster, but the result of oil and gas drilling.[4]
[edit] Legal case
On June 5, 2006, MedcoEnergi (one partner company in the Brantas PSC area) sent a letter to PT Lapindo Brantas which accused them of breaching safety procedures during the drilling process.[10] The letter further attributes "gross negligence" to the operator company for not equipping the well bore with safety steel casing. Soon afterwards former vice president Jusuf Kalla announced that PT Lapindo Brantas and the owner, the Bakrie Group, must compensate thousands of victims affected by the mud flows.[14] A criminal investigation was then started
against several senior executives of the company because the drilling operation has put the lives of local people at risk.[15]
Aburizal Bakrie frequently said that he is not involved in the company's operation and further detached himself from the incident.[citation needed] Even in his capacity as Minister of Welfare, Aburizal Bakrie was reluctant to visit the disaster site.[citation needed] Aburizal Bakrie's family business group, Bakrie Group, one of the owners of PT Lapindo Brantas, had been trying to distance themselves from the Lusi incident. Afraid of being liable for the disaster, Bakrie Group announced that they would sell PT Lapindo Brantas to an offshore company for only $2, but Indonesia's Capital Markets Supervisory Agency blocked the sale.[16] A further attempt was made to try to sell to a company registered in the Virgin Islands, the Freehold Group, for US$1 million, which was also halted by the government supervisory agency for being an invalid sale.[16] Lapindo Brantas was asked to pay about 2.5 trillion rupiah (about US$ 276.8 million) to the victims and about 1.3 trillion rupiah as additional costs to stop the flow.[17] Some analysts predict that the Bakrie Group will emulate many US mining companies and pursue bankruptcy to avoid the cost of clean up, which could amount to US$ 1 billion.[18]
On August 15, 2006, the East Java police seized the Banjar-Panji 1 well to secure it for the court case.[19] The Indonesian environmental watchdog, WALHI, have meanwhile filed a suit against PT Lapindo Brantas, President Susilo Bambang Yudhoyono, the Indonesian Minister of Energy, the Indonesian Minister of Environmental Affairs and local officials.[20]
After investigations by independent experts, police have concluded the mud flow was an "underground blow out", triggered by the drilling activity. It is further noted that the steel casing lining had not been used which could have prevented the disaster. Thirteen Lapindo Brantas' executives and engineers face twelve charges of violating Indonesian laws.[21]
[edit] Current status
As of October 30, 2008, the mud flow is still ongoing at a rate of 100,000 m3 per day.[22] A study has found that the mud volcano is collapsing under its own weight, possibly beginning caldera formation.[23]. The researchers say the subsidence data could help determine how much of the local area will be affected by Lusi. Their research used GPS and satellite data recorded between June 2006 and September 2007 that showed the area affected by Lusi had subsided by between .5 and 14.5 metres (1 ft 8 in and 47 ft 7 in) per year. The scientists found that if Lusi continued to erupt for three to 10 years at the constant rates measured during 2007 then the central part of the volcano could subside by between 44 and 146 m (144 and 479 ft). They propose the subsidence is due to the weight of mud and collapse of rock strata due to the excavation of mud from beneath the surface. Their study has also found that while some parts of Sidoarjo are subsiding others are rising suggesting that the Watukosek fault system has been reactivated due to the eruption.[24]
Workers helping to relocate families after new hot gas flows began to appear have been injured. The workers were taken to a local hospital to undergo treatment for severe burns. In Siring Barat, 319 more families have been displaced and in Kelurahan Jatirejo, 262 new families are also going to be affected by the new flows of gas. Protesting families took to the streets demanding compensations, which in turn added more delays to the already stressed detour road for Jalan Raya Porong and the The Porong-Gempol toll road.
The government has stated that their heart is with the people, although the cabinet meeting on how to disperse the compensation has been delayed until further notice. Local official, Saiful Ilah, signed a statement announcing that "The government is going to defend the people of Siring." After this announcement all protests came to an end and traffic flow returned to normal an hour later.[25]
[edit] Revived Controversy
On 23 October 2008 a public relations agency in London, acting for one of the oil well's owners, started to widely publicise what it described as "new facts" on the origin of the mud volcano, which were subsequently presented at an American Association of Petroleum Geologists conference in Cape Town, South Africa on 28 October 2008 (see next section).[citation needed] The assertion of the geologists and drillers from Energi Mega Persada was that "At a recent Geological Society of London Conference, we provided authoritative new facts that make it absolutely clear that drilling could not have been the trigger of LUSI." Other verbal reports of the conference in question indicated that the assertion was by no means accepted uncritically, and that when the novel data is published, it is certain to be scrutinised closely.[citation needed]
After hearing the (revised) arguments from both sides for the cause of the mud volcano at the American Association of Petroleum Geologists International Convention in Cape Town in October 2008, the vast majority of the conference session audience present (consisting of AAPG oil and gas professionals) voted in favor of the view that the Lusi (Sidoarjo) mudflow had been induced by drilling. On the basis of the arguments presented, 42 out of the 74 scientists came to the conclusion that drilling was entirely responsible, while 13 felt that a combination of drilling and earthquake activity was to blame. Only 3 thought that the earthquake was solely responsible, and 16 geoscientists believed that the evidence was inconclusive.[26]
The report of the debate and its outcomes was published in AAPG Explorer Magazine.[27]
in February 2010, a group led by experts from Britain's Durham University said the new clues bolstered suspicions the catastrophe was caused by human error. In journal Marine and Petroleum Geology, Durham professor Richard Davies said drillers, looking for gas nearby, had made a series of mistakes. They had overestimated the pressure the well could tolerate, and had not placed protective casing around a section of open well. Then, after failing to find any gas, they hauled the drill out while the hole was extremely unstable. By withdrawing the drill, they exposed the wellhole to a "kick" from pressurised water and gas from surrounding rock formations. The result was a volcano-like inflow that the drillers tried in vain to stop.
Banjir lumpur panas Sidoarjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasLangsung ke: navigasi, cari
Desa Renokenongo dan Kedungbendo yang tergenang lumpur
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi) , adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Lokasi 2 Perkiraan penyebab kejadian
3 Volume lumpur
4 Hasil uji lumpur
5 Dampak
6 Upaya penanggulangan
o 6.1 Skenario penghentian semburan lumpur
o 6.2 Antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur
o 6.3 Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur
o 6.4 Keputusan Pemerintah
o 6.5 Pendapat Kontra pembuangan lumpur secara langsung
7 Penahanan tersangka
8 Kritik
9 Referensi
10 Pranala luar
11 Lihat pula
[sunting] Lokasi
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran.
Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia
[sunting] Perkiraan penyebab kejadian
Lokasi semburan lumpur
Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
[sunting] Volume lumpur
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pemboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul diatas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.
[sunting] Hasil uji lumpur
Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.
Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan. (lihat: Logam Berat dan PAH Mengancam Korban Lapindo)
Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene diatas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemunya diatas ambang batas.
Beberapa hasil pengujian
Parameter Hasil uji maksBaku Mutu
(PP Nomor 18/1999)
Arsen 0,045 Mg/L 5 Mg/L
Barium 1,066 Mg/L 100 Mg/L
Boron 5,097 Mg/L 500 Mg/L
Timbal 0,05 Mg/L 5 Mg/L
Raksa 0,004 Mg/L 0,2 Mg/L
Sianida Bebas 0,02 Mg/L 20 Mg/L
Trichlorophenol 0,017 Mg/L2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)
Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali diatas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan:
Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan) Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit
Kanker
Permasalahan reproduksi
Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut.
Hasil analisa logam pada materi
Parameter SatuanKep. MenKes no
907/2002Lumpur Lapindo
Air Lumpur Lapindo
Sedimen Sungai Porong
Air Sungai Porong
Kromium (Cr)
mg/L 0,05 nd nd nd nd
Kadmium (Cd)
mg/L 0,003 0,3063 0,0314 0,2571 0,0271
Tembaga (Cu)
mg/L 1 0,4379 0,008 0,4919 0,0144
Timbal (Pb) mg/L 0,05 7,2876 0,8776 3,1018 0,6949
[sunting] Dampak
Peta Semburan
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
← Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
← Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
← Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
← Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
← Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
← Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
← Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
← Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
← Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah [2].
← Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam [3].
← Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
← Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
← Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
[sunting] Upaya penanggulangan
Rumah yang terendam lumpur panas
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektar, dengan mengungsikan 12.000 warga. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober, diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua bulanan lagi. Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.
Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas tanah.
[sunting] Skenario penghentian semburan lumpur
Ada pihak-pihak yang mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam. Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke dalam dasar sumur.
Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.
Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih dijalankan.
Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.
Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan
rental alat pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah melambungnya harga minyak.
Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1, tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisanya. Rovicky mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun.
[sunting] Antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur
Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas sebesar 126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada pertengahan September 2006 hanya tinggal dua.Skenario ini dibuat kalau luapan lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai fenomena alam, maka skenario yang wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur kelaut' dan belajar bagaimana hidup dengan lumpur.
Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.
Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta m3, atau akan memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan pantai Sidoardjo.
Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu kedua September, menyampaikan informasi bahwa kawasan pantai di Kabupaten Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai secara alamiah dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoardjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya membentuk kawasan lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas Sidoardjo, merupakan hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah berjalan beberapa dekade terakhir.
Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoardjo ke tempat yang kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai Sidoardjo dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan, daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru dengan hutan bakau diatasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai..
[sunting] Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam surat itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah.
[sunting] Keputusan Pemerintah
Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
[sunting] Pendapat Kontra pembuangan lumpur secara langsung
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi [4] dan ITS [5]. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. [6]
Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.
Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut.
[sunting] Penahanan tersangka
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat bor).Namun sangat sulit membuktikan adanya kesalahan manusia, karena banyak ahli yang justru mengatakan fenomena ini sebagai kesalahan manusia akhirnya berhenti bicara karena teori nya salah.
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi KAPOLDA JATIM.
[sunting] Kritik
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat dan PT LAPINDO adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak, sementara Lapindo telah mengeluarkan uang sebesar Rp 6 Triliun lebih untuk masalah ini. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara. [7][8]
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas.