memahami konsep glokalisasi budaya populer di indonesia (studi kasus glokalisasi budaya musik rap...
DESCRIPTION
Salah satu kajian yang dibuat dalam kelas pengantar teori kritis Universitas Indonesia....TRANSCRIPT
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya
Populer di Indonesia
(Studi Kasus Glokalisasi Budaya Musik Rap dalam Budaya Lokal Jawa
pada Jogja Hip-hop Foundation)
Ujian Akhir Semester
Pengantar Teori Kritis
Paulus Tommy Pamungkas (0906492083)Ilmu Komunikasi - FISIP
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2011
JOGJA HIPHOP FOUNDATION
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 1
PENDAHULUAN
Musik rap telah menjadi komoditas budaya yang dibawa arus globalisasi. Pertemuan
musik rap dengan balutan budaya hiphop barat dengan budaya lokal di berbagai belahan di
dunia memberikan dampak yang bervariasi di tiap fenomenanya. Tesis yang mengatakan
bahwa budaya global yang dibawa arus globalisasi mengancam eksistensi budaya lokal serta
akan terjadinya homogenisasi nilai dan norma menjadi perdebatan banyak pihak akan
kebenarannya. Ilmuwan sosial menemukan bahwa glokalisasi menjadi kunci untuk
mengupas fenomena pertemuan budaya lokal dan budaya global tersebut. Glokalisasi
memberikan jawaban atas perdebatan mengenai dominasi budaya global atas budaya lokal
serta menjadi pisau analisis untuk membedah jenis-jenis dampak yang terjadi. Glokalisasi
merupakan bentuk pergerakan pandangan kritis yang dinamis akan kebenaran teori
globalisasi yang merupakan bentuk manifestasi ideologi kapitalisme. Globalisasi yang
menciptakan imperialisme ekonomi dan budaya di beberapa negara merupakan struktural
dan glokalisasi telah memperhitungkan adanya counter-hegemony dari kesadaran palsu yang
globalisasi ciptakan.
Musik rap menjadi kajian yang menarik bagi penulis. Musik rap menjadi bentuk
budaya kontemporer yang dekat dengan kaum remaja dan muda. Musiknya yang dinamis
dan penuh dengan hentakan bass elektronik memberikan atmosfir berbeda dari musik-musik
jenis lain. Permainan kata-kata dan metafora menjadi nilai plus dari genre musik ini. Jogja
Hiphop Foundation hadir menjadi alternatif dari variasi musik rap dengan pemikiran dan
karakteristik yang khas.
LANDASAN TEORI
Teori Sosial Kritis
Teori sosial kritis merupakan teori yang beranggapan bahwa pengetahuan bukan
semata-mata refleksi atas dunia statis “di luar sana”, atau tergambarkan ‘as it is’. Dunia
adalah sesuatu yang diskontruksikan secara aktif oleh para ilmuwan dan orang-orang yang
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 2
terlibat di dalamnya dan teori-teori yang membelakangi pemikiran mereka sehingga tidak
bersifat bebas nilai. Teori kritis berpegang pada nilai historitas, bahwa dunia haruslah
dinamis dan berubah secara aktif. Kemudian teori kritis menentang dominasi , eksploitasi,
dan penindasan yang menghegemoni masyarakat . Dominasi dipandang suatu yang bersifat
struktural yang dibangun oleh institusi sosial yang lebih besar daripada kehidupan sosial
sehari-hari. Dominasi merupakan sebuah bentuk hasil reproduksi kesadaran palsu manusia
(false consciousness) yang didasarkan pada pemahaman Marx, George Lukasc dll. Kesadaran
palsu dipreservasi akan adanya paradigma positivis yang menggambarkan masyarakat
sebagai entitas yang dikendalikan oleh hukum kaku, yang menjaga relasi perilaku manusia
dengan penyesuaian pola-pola ajeg. Dominasi di masa lalu dan masa kini akan diluruhkan
akan suatu masa depan yang lebih baik yang dimulai dari masa lalu dan masa kini. Dengan
teori sosial kritis, masyarakat didorong untuk mengutamakan kesadaran akan situasi mereka
dan memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami dan kemudian agar
masyarakat selalu melakukan pergerakan sosial politik yang intensif dan politis. Bentuk
penyebaran nilai-nilai teori sosial kritis bersifat voluntarisme (bergabung secara sukarela)
bukan determinisme (secara koersif) dan perubahan tersebut dimulai dari lingkup terkecil
yaitu rumah dan kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan itu pula, teori sosial kritis juga
menggambarkan hubungan antara struktur dan manusia secara dialektis. Kemajuan akan
didapat apabila manusia yakin bahwa manusia bertanggungjawab sepenuhnya terhadap
kebebasan mereka sendiri dan mencegah mereka ditindas dan menindas sesamanya atas
nama masa depan kebebasan jangka panjang.
Globalisasi
Kapitalisme sebagai paradigma perkembangan jaman telah memberikan dampak
yang beragam terhadap kehidupan umat manusia. Kapitalisme sebagai sistem menjunjung
asas persaingan bebas, kepemilikan alat produksi, dan sumber modal produksi secara bebas
yang mengarah produksi masal dan komersialisasi pada berbagai bidang. Kapitalisme
berkembang hampir diseluruh negara yang memakai asas pemerintahan demokrasi, dimana
pemerintahan tidak mengintervensi secara langsung terhadap sistem produksi dan industri
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 3
yang berkembang di dalam negaranya dan menyerahkan kepada pasar. Hadirnya kapitalisme
membuat industri-industri memperbesar jangkauan wilayah pasar mereka agar terhindar
ramalan Marx akan jatuhnya sistem kapitalisme yang runtuh karena overproduction.
Kapitalisme menyebut langkah ini sebagai bentuk pasar bebas, dimana industri-industri di
semua negara bebas bersaing dan dapat membuka pasar dimana saja mereka inginkan.
Produk industri yang bervariasi dari barang, jasa, dan informasi bebas keluar masuk dari
negara satu ke negara lain dalam rangka memperoleh pasar untuk profit industri. Hilangnya
batasan-batasan negara dan terciptanya persaingan pasar bebas menciptakan globalisasi
sebagai bentuk turunan kapitalisme. Ada beberapa pengertian globalisasi yang dapat
dijadikan acuan dalam diskusi soaial.
Globalization can thus be defined as the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa.
Anthony Giddens, Director of the London School of Economics
The concept of globalization reflects the sense of an immense enlargement of world communication, as well as of the horizon of a world market, both of which seem far more tangible and immediate than in earlier stages of modernity.
Fredric Jameson, Professor of Literature at Duke University
Dari kedua definisi tersebut dapat dilihat bahwa globalisasi itu merupakan bentuk perluasan
dari hubungan sosial manusia dalam berinteraksi, yang termasuk di dalamnya interaksi pasar
industri dan komunikasi, sehingga selain cakupannya semakin luas juga membuat hubungan
tersebut intensif, dimana peristiwa yang sedang menjadi perhatian publik disuatu negara
atau daerah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa lokal lain yang terjadi di berbagai negara
lain yang jauh dari negara tersebut. Terdapat empat karakter kunci dari fenomena
globalisasi; 1) produksi dan multiplikasi yang mampu mengatasi batas-batas geografis,
politik, ekonomi dan budaya, 2) expansions and stretching (perluasan) dari pasar-pasar
industri, 3) intensifikasi dan akselarasi dari interaksi dan kegiatan sosial, 4) adanya dorongan
kebutuhan manusia untuk semakin berkembang dalam berinteraksi secara intensif, cepat,
dan dalam berproduksi.
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 4
Globalisasi budaya diangkat melalui media yang semakin canggih di era sekarang.
Kehadiran media baru mendorong pertukaran informasi yang semakin intensif dan luas.
Globalisasi budaya didefinisikan sebagai intensifikasi dan ekspansi arus budaya di seluruh
dunia, dimana terkait dengan konstruksi simbolik, artikulasi dan diseminasi makna melalui
bahasa, musik dan gambar sebagai bentuk ungkapan simbolik dari signifikansi budaya.
Menurut Nederveen Pieterse (2004) ada tiga pandangan mengenai isu globalisasi budaya.
Pertama adalah pandangan bahwa terjadi bentrokan budaya yang diekspresikan dalam
bentuk bentokan peradaban seperti yang ditulis Samuel Huntington. Kedua, yaitu
“McDonaldization” dunia (Ritzer,2000) yaitu dunia didominasi oleh satu budaya yang
menghapus perbedaan-perbedaan di budaya-budaya lokal. Serta ketiga, hibridisasi dan
sintesis dari budaya-budaya yang bertemu tersebut. Lebih lanjut, derasnya arus informasi
budaya yang menyangkut, seni, bahasa, gaya hidup, pola konsumsi, dan produk budaya,
yang disertai dengan peningkatan fasilitas media baru membuat terjadinya gejala,
“Americanization of the world” yaitu absorbsi norma dan budaya barat mendominasi budaya
di berbagai belahan dunia, seperti hadirnya McD di berbagai negara dan produk Nike yang
dipakai orang di berbagai benua. Hal ini membawa kesamaan budaya global yang
mempermudah industri untuk melakukan pemasaran dan produksi. Bentuk imperialism
kultural tersebut menurut Benjamin Barber disebut dengan “McWorld” yaitu sebagai para
pengkonsumsi kapitalisme yang tidak mempunyai jiwa yang mengubah populasi-populasi
dunia yang beragam menjadi pasar yang seragam dan menyatu. Globalisasi bahasa juga hadir
sebagai proses dimana beberapa bahasa menjadi semakin sering digunakan dalam
komunikasi internasional sedang bahasa lain semakin hilang dan tidak digunakan karena
terbatasnya pengguna.
Glokalisasi
Budaya lokal merupakan entitas yang dijunujung suatu masyarakat di suatu tempat
sesuai dengan konteks dan nilai yang berlaku ditempat tersebut. “Men unmodified by the
customs of particular places do not in fact exist, have never existed, and most important, could
not in the very nature of the case exist” (Geertz 35). Dari Geertz dapat dikaji bahwa manusia
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 5
tidak dapat dimodifikasi dengan adat yang tidak ada disekitar mereka. Mereka dipengaruhi
oleh keadaan sekeliling mereka, tipografi tempat tinggal mereka, iklim daerah tersebut,
kondisi sejarah dll yang bersentuhan langsung dengan merekalah yang mampu membentuk
budaya mereka dan membedakan mereka dengan kelompok orang lain yang tinggal di
tipografi yan g berbeda, iklim yang berbeda dll. Budaya tersebut menjadi entitas dalam diri
mereka. “It is these cultural barriers that separate us; culture, though, is not something that
can be separated from “us”. It is a part of us; it defines us; ultimately, it finishes us: “Culture,
rather than being added on, so to speak, to a finished or virtually finished animal, was
ingredient, and centrally ingredient, in the production of that animal itself” (Geertz 47).”
Bahwa ada bagian-bagian budaya yang terafiliasi sangat kuat dalam sekelompok masyarakat
sehingga menjadi faktor identitas, pembeda satu dengan yang lain dan pandangan hidup
mereka.
Glokalisasi muncul ketika budaya lokal yang dipegang oleh kelompok masyarakat
bertemu dengan budaya global dalam bentuk informasi, gaya hidup, produk dan bahasa
yang dibawa oleh sapuan arus globalisasi. Glokalisasi didefinisikan oleh beberapa ahli;
Thomas Friedman, mendefiniskan glokalisasi sebagai kemampuan sebuah budaya (lokal)
ketika bertemu dengan budaya kuat lainnya (global), akan menyerap pengaruh-pengaruh
tersebut dan secara alami masuk dan memperkaya budaya (lokal) tersebut, menolak hal-hal
yang bersifat sangat asing, menyaring budaya tersebut, dan dinikmati dalam perayaan
perbedaan.
In the short, the word “glocalization “ is meant to point to a strategy involving a substantial reform of the different aspects of globalization, with the goal being both to reestablish a link between the benefits of the global dimension – in terms of technology, information, and economics – and local realities, while, at the same time, establishing a botton-up system for the governance of globalization, based on greater equality in distribution of the planet’s resource and on authentic social and cultural rebirth of disadvantaged population.
CERFE, 2003
Budaya global yang dimediasi oleh perusahaan multinasional, industri hiburan dan media,
disesuaikan dengan kondisi lokal yang terkait dengan proses afirmasi identitas masyarakat
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 6
lokal tersebut sesuai dengan tempat, kondisi pemukiman, dan etnisitas agar dapat bertahan
dari serangan global dari kapitalisme, media dan industri.
Glokalisasi sebagai konsep muncul menururt sosiologis Roberton, sebagai bentuk
premis bahwa tiap budaya terletak dalam sebuah bagian dari waktu dan tempat yang
khusus. Perluasan, intensitas, dan kecepatan budaya global untuk menyebar telah melewati
semua batas, termasuk tempat dan waktu, sehingga munculnya hubungan dan kombinasi
antar budaya. Pertanyaan muncul ketika globalisasi itu hadir apakah dia akan berdampak
pada homogenisasi budaya atau heterogenisasi budaya. Hal ini berdasarkan pendapat
bahwa globalisasi menciptakan imperialisme budaya, yang menurut Boyd-Barret (1977) dan
Schiller (1976) bahwa hal ini terjadi karena ketidakseimbangan dari sumber-sumber media
dan arus komunikasi internasional, dimana Barat menguasai produk budaya terhadapa
negara-negara non Barat (Hesmondhalgh, 2002). Sejalan dengan itu para ahli (Mattelart,
1970, 1974; Ugboajah 1985) mengatakan bahwa adanya kecenderungan budaya Barat untuk
untuk menghegemoni budaya-budaya lain dan menghancurkan budaya tradisional dan
kepercayaan mereka (Hesmondhalgh, 2002). Sedang pada tahun 1990-an (Salwen, 1991),
muncul kritik dan penurunan kepercayaan akan tesis tersebut dari ketidakmampuannya
untuk secara holistic memeriksa realitas multidireksional dan multifaceted dari komunikasi
kontemporer global (Kraidy, 2001). Tesis tersebut gagal untuk mengetahui realitas yang
terjadi bahwa ada proses indigenization ketika budaya lokal bertemu dengan budaya global,
“at least as rapidly as forces from the metropolises are brought into new societies they tend to
become indigenized in one way or another” (Appadurai, 2003, p. 40). Robertson menangkap
adanya dua paradigma dalam melihat hubungan ini, yaitu relativisme dan worldism.
Relativisme menjadi pandangan bahwa tidak adanya bentuk generalisasi dan universalisasi
dalam berbagai hubungan kolektif dan pribadi, dan berpegang pada partikularisasi pada tiap
fenomena. Sedang pada worldism, merupakan kebalikannya, yaitu adanya kemungkinan
bahwa dunia dapat dicengkeram secara utuh dan teranalisa sehingga semua hal yang yang
terkait nilai sosiokultural dan kepentingan politik yang ada di seluruh dunia, termasuk
representasi identitas, dapat dijelaskan atau diinterpretasikan sebagai dinamika dunia secara
utuh, sebagai bentuk universalisasi. Robertson menyanyangkan bahwa kedua pendekatan
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 7
tersebut gagal menangkap dampak globalisasi sebagai proses dinamis, karena
terpolarisasinya kedua pendekatan tersebut. Robertson memberikan alternatif pendekatan
melalui pernyataannya, “we are, in the late 20th century, witnesses to-and participants in – a
massive, twofolds process involving the interpretation of the universalization of particularism
and the particularization of universalism.” Sehingga globalisasi menjadi konsep hubungan
dialektik antara partikularisme yang menekankan pada keunikan budaya dan keberagaman,
sedang universalisme lebih menekankan pada kesatuan budaya dan homogenitas. Untuk
mampu melihat proses dinamika globalisasi secara utuh maka kedua pendekatan tersebut
melakukan proses interpenetrasi, dimana satu mempengaruhi yang lain. Universalisme-
partikularisme diikat menjadi satu nexus dari globalisasi, atau Robertson sebut sebagai
glokalisasi. Robertson berpendapat bahwa globalisasi berinteraksi secara berkelanjutan dan
interpenetrasi dari konsep konvensional yaitu global dan lokal, sehingga konsep globalisasi
lebih tepat diganti menjadi glokalisasi. Hal ini didukung, bahwa konsep globalisasi gagal
untuk mempertimbangkan, meberikan kewajiban perhatian terhadap faktor-faktor lokal
dalam hubungan internasional (Kraidy, 2001, pp-33-34).
"[Glocalization is marked by the] development of diverse, overlapping fields of global-locallinkages ... [creating] a condition of globalized panlocality....what anthropologist Arjun Appadurai calls deterritorialized, global spatial 'scapes' (ethnoscapes, technoscapes, finanscapes, mediascapes, and ideoscapes).... This condition of glocalization… represents a shift from a more territorialized learning process bound up with the nation-state society to one more fluid and translocal. Culture has become a much more mobile, human software employed to mix elements from diverse contexts. With cultural forms and practices more separate from geographic, institutional, and ascriptive embeddenness, we are witnessing what Jan Nederveen Pieterse refers to as postmodern 'hybridization.'" (Wayne Gabardi, Negotiating Postmodernism, 33-34)
Wayne Gabardi memanndang bahwa budaya menjadi semakin fluid dan translocal karena
munculnya glokalisasi melalui tahap deteritorialisasi, yang disebut sebagai bentuk
‘hibridisasi’ posmoderen.
Dalam glokalisasi budaya, terdapat beberapa kategori yang merepresentasi proyeksi
glokalisasi dalam fenomena sosial, identitas budaya dan makna. Ada empat faktor untuk
menganalisa kategori tersebut; penerimaan budaya (cultural receptivity),Jarak sosial (socio-
spatial characteristics),Ritual sosial dan kebiasaan kolektif (social rituals and collective
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 8
habitus), dan pola-pola asosiasi (pattern of association). Antara lain ada empat kategori dari
proyeksi glokalisasi:
Relativisasi: pelaku sosial berusaha untuk melestarikan budaya mereka sebelum
institusi, praktik dan makna dalam lingkungan baru, sehingga mencerminkan
komitmen untuk diferensiasi dari budaya lokal. Beberapa indicator dari relativisasi
adalah cultural receptivity; 1) menyangga bentuk budaya, 2)menyangga kesetian
budaya, 3)menyangga inti makna budaya, socio-spatial characteristics;1) national
neighborhoods 2)keharmonisan budaya social rituals and collective habitus; 1)
mempertahankan kenangan kolektif, 2) relativisasi internal dan pattern of association;
1)menyangga kesosialan internal, 2) imagined community/family, 3) menyangga
identifikasi pribadi nasional mereka
Akomodasi:pelaku sosial pragmatis menyerap praktek-praktek, lembaga-lembaga
dan makna yang terkait dengan masyarakat lain, untuk mempertahankan unsur-unsur
kunci dari budaya lokal sebelumnya. Indikatornya antara lain cultural receptivity; 1)
practical substitute, 2) grounding ‘new’ allegiances according to prior cultural values
and identities, 3) practical cross-cultural comparisons, socio-spatial; , pragmatic
reterritorialization, social riyuals; pragmatically recontextualize their routine cultural
practices, collective habitus;1) banal mopolitanism, 2) cultural political standpoints
through fresh comparison, patterns of association; 1) surrogate cultural experiences, 2)
traverse fresh impediments 3) new social contacts and inter-relations
Hibridisasi: aktor sosial mensintesis fenomena budaya lokal dan lainnya untuk
menghasilkan praktik budaya yang berbeda dan hibrid, institusi dan makna.
Indikatornya adalah cultural receptivity; hybrid organizational forms, socio-spatial; 1)
establishing social spaces with unique atmospheres, 2) establish hybrid social spaces, 3)
distinctive socio-spatial characteristics, rituals and collective habitus; 1) hybrid names ,
emblems and material products. 2) redefinition of socio-cultural oppositions 3)
redefinition of oppositional rituals and institution, patterns of association;1)media
connectivity, 2) moments of physical proximity, 3) intensified connectivity through
contemporary flow channels
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 9
Transformasi: aktor sosial yang datang untuk mendukung praktek, lembaga atau
makna yang terkait dengan budaya lain. Transformasi bisa mendapatkan bentuk-
bentuk budaya segar atau, lebih ekstrem, meninggalkan budaya lokal dalam
mendukung alternatif dan / atau bentuk-bentuk budaya hegemoni. Indikatornya
adalah cultural receptivity; 1) conceptually relocate their local culture within a global
cultural ecumene, 2) critiques of the international praxis of local cultural institutions,
socio-spatial; future impact of new streams of virtual electronic mediation, ritual and
collective habitus; 1), different ritual exchanges with others, 2) rise of the host society’s
values, identities and institutions, 3) specific participation (or otherwise) of later
generations, patterns of association;1) enjoy different social networks, 2) cultural
proselytizing, 3) alternative views of critical cultural politics.
Musik Rap
Globalisasi telah membawa berbagai macam produk budaya dan seni yang
diakomodasi oleh media yang semakin canggih. Salah satu bentuk budaya popular yang
berkembang pesat di media adalah musik rap. Sejak perkenalannya di tahun 1981, musik rap
telah selalu menjadi kontroversi (Dixon & Brooks, 2002; Dixon & Linz, 1997; Hansen &
Hansen, 2000; Rose, 1994). Secara spesifik, musik rap dituduh mempromosikan pesan-pesan
kontroversial yang berkaitan dengan kekerasan, seks dan materialism (Johnson, Jackson &
Gatto, 1995; Smith, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa sejumlah penelitian
menunjukan bahwa potret musik rap bersifat negatif dan mengandung image yang
mempromosikan kekerasan, seks dan materialisme (Baxter, DeRiemer, Landini, Leslie &
Singletary, 1985; Johnson et al., 1995; Kubrin, 2005; Smith, 2005; Zillman et al., 1995). Lebih
lanjut, penelitian tersebut menunjukan bahwa pesan-pesan dalam musik rap tersebut
memproduksi keinginan untuk kaya, glamorisasi kehidupan seks dan kekerasan sebagai
sarana pencapaian kepopuleran. Musik rap berbeda dengan hip-hop tetapi merupakan
bagian dari budaya hip-hop (George, 1994; Smitherman, 1997). Hip-hop mengacu pada
respon budaya terhadap Afro American yang bekerja dan berpendapatan rendah terutama
pada segementasi kaum mudanya dalam persepsi mereka tentang ekonomi mereka dan
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 10
stigmatisasi sosial yang terjadi (Tate, 1999). Bentuk hip-hop digunakan untuk menyeruakan
perlawanan ekstrem dari budaya yang dominan dan menampilkan perjuangan dan kerugian
kaum kulit hitam yang muda di daerah permukiman kumuh urban seperti di Bronx dan Los
Angeles. Pola-pola bahasa, MCing (mic-controlling), DJing (disc-jockeying), graffiti, dance,
filosofi hidup dan musik adalah aspek-aspek dari ekspresi budaya hip-hop (Arads 1999;
George 1994; Fernando, Jr, 1999). Musik rap berasal dari tradisi Afrika yang berbicara dengan
ritme dengan tambahan beat pada umumnya sebagai latar belakang suara (1994; Zillman et
al.,1995). Musik rap adalah genre yang lahir dari spiritualitas para buruh (budak), campuran
genre blues, jazz dan soul sebagai bentuk ungkapan musikal tradisi Afro-American (Rose)
.Musik rap bermula dari pesta blok di pemukiman Afro-American. Musik rap berkembang di
jalan-jalan tengah kota di pemukiman kumuh Afro-American (Foreman, 2004; Watkins;2004).
Seiring berjalannya waktu, musik Rap menjadi semakin popular dan menjadi komoditas
finansial global. Kehadiran musik rap memberikan fasilitas generasi kulit hitam untuk
menjadi entertainer yang mampu kaya dan menjadi selebriti (Baldwin;2004). Hal ini
mendorong bintang rap kulit hitam untuk mendirikan industri musik mereka sendiri untuk
memaksimalkan keuntungan mereka. Hal ini muncul sebagai bentuk perlawanan perusahaan
rekaman yang dimiliki kaum kulit hitam, terhadap eksploitasi terhadap musisi rap (Ogg, &
Upshall, 1999). Sehingga musik rap menciptakan model baru masyarakat di America yaitu
American black capitalist. Hal ini membuat banyak rap artis yang mengangkat figure-figur
tersebut dalam lagu, video dan konser mereka, menciptakan citra dari seorang bos mafia
atau pembisnis sukses (Baldwin, 2004). Seperti halnya hip-hop, musik rap juga mempunyai
beberapa kategori (Hall, 1998; Powell, 1991). Hall menyebutkan ada empat macam jenis
musik rap; gangsta rap (e.g., Snoop Dogg, Lil Wayne), hip-hop rap (e.g., Fugees, Destiny’s
Child), rap politik (e.g., Public Enemy), dan rap komersial (e.g.,Timbaland, MC Hammer).
Gangsta rap menjadi lebih terkenal karena tema-tema misogynous (perendahan wanita),
dorongan hipermateriliasme, kekerasan dan perilaku para artisnya. Gangsta rap diakui
sebagai cerminan dari nilai-nilai yang terpengaruh dari kondisi masyarakat dimana nilai-nilai
tersebut dibuat dan ditopang oleh supremasi kulit putih, kapitalisme dan patriarkal (hooks,
1994). Kaum muda kulit hitam telah membentuk budaya perlawanan karena ketidakadilan
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 11
yang mereka hadapi, dan menyebutnya, “urban neglect” (Martinez, 1997), yang
menimbulkan resistansi dalam lagu-lagu mereka. Lagu-lagu mereka sering mempotret
kekerasan karena kondisi itulah yang terjadi di komunitas mereka, “the despair is pervasive
enough to have spawned an oppositional culture that of the streets‟,whose norms are often
consciously opposed to those of mainstream society” (Anderson 1994: 82).” Ada beberapa ciri
dari musik rap dari segi vokalitas yaitu 1). Flow (termasuk rhythm, tempo, and phrasing) 2).
Pitch and intonation 3). Vocal emphasis (termasuk accent, diction, and declamation) 4. Vocal
quality and resonance 5. Register and range 6. Recording texture, space, and arrangement.
Musik rap telah menjadi fenomena global dalam budaya popular mainstream yang
berkembang di seluruh dunia. Bintang-bintang besar seperti Eminem, Dr. Dre, Lil Wayne,
Snoop Dog, hingga Kanye West dan Timbaland telah mebuktikan kekuatan musik rap dalam
menguasai tangga lagu dunia seiring dengan pernyataan Straus, “[Hip-hop] is now the most
important musikal idiom: What jazz was from the 1920’s to the 40’s, or rock n’ roll was from the
50’s to the 70’s, hip-hop has been from the 80’s on” (Straus, 2000, April 6).
FENOMENA RAP LOKAL
Musik Rap telah masuk ke Indonesia melalui radio dan televisi khususnya, MTV
Indonesia. Kemunculan Snoop Doog, Eminem, dan Dr. Dre pada awal kemunculan musik Rap
menarik perhatian banyak pihak di Indonesia, khususnya anak muda. Lagu-lagu rap tersebut
terbukti sempat merajai beberapa tangga lagu di stasiun-stasiun radio nasional dan televisi
pada saat itu hingga sekarang dengan kehadiran penyanyi rap baru, seperti Timbaland, Nicki
Minaj dan Kanye West. Budaya hip-hop yang dibawa oleh musik Rap berdampak besar
terhadap perkembangan budaya di Indonesia baik budaya urban maupun lokal. Komunitas
breakdance atau yang biasa disebut b-boys hadir di berbagai penjuru negeri, terutama di
kota-kota besar Indonesia. Tembok-tembok kota yang penuh dengan corak seni graffiti dan
mural menjadi sebagai penanda akan eksistensi budaya Hip-hop di Indonesia. Disc-jockey
pribumi pun turut meramaikan budaya Hip-hop melalui kiprah mereka di klub-klub.
Perkembangan budaya ini juga tidak terlepas akan munculnya para rapper Indonesia.
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 12
Musik Rap di Indonesia mengalami banyak perkembangan sejak awal
kemunculannya. Musisi rap Indonesia yang dikenal luas di Indonesia adalah Iwa K, yang
sempat menjadi hits di tahun 1997 dengan lagunya “Malam ini Indah” dan “Pager”. Setelah
itu, Iwa K muncul sebagai penyanyi pendamping musisi-musisi lain. Kemunculan Iwa K,
menginspirasi banyak musisi itu masuk dalam dunia rap, baik dalam jalur indie maupun
melalui major label. Generasi rapper Indonesia berikutnya diisi oleh Neo, rap band yang
muncul di awal tahun 2000-an, Saykoji dan krunya, yang sukses di pasaran hingga sekarang
melalui single Online, Kecoa Ngesot, Kaskus dll, Bondan feat Fade to Black, rap band yang
mencampur unsur pop dalam musik mereka, dan ada Pandji, sebagai rapper solo yang
membawa jenis political rap dalam karya-karyanya.
Musik rap juga masuk diberbagai budaya lokal daerah di Indonesia. Salah satu budaya
lokal yang bertemu dengan musik rap yang mengusung budaya hip hop adalah budaya Jawa.
Pertemuan tersebut sangat intensif di beberapa daerah, terutama di Yogyakarta di mana
budaya urban dan budaya lokal hidup berdampingan. Musik rap pada mulanya dipakai dalam
lagu musisi Jogja pada akhir tahun 2000-an, yaitu King Cobra dengan lagunya Ngayogyakarta.
Karena indie, mereka hanya mampu bertahan beberapa saat. Beberapa tahun berikutnya
munculah Jogja Hip-Hop Foundation yang mengusung rap dalam karya seni mereka.
Jogja Hip-Hop Foundation
Didirikan oleh Mohammad Marzuki alias Kill DJ pada tahun 2003, Jogja Hip-hop
Foundation (JHF), mengakomodasi diri mereka atas personil-personil pribumi Yogyakarta
berdasarkan musik bergenre rap/hip-hop yang sebagian besar menggunakan bahasa Jawa
tradisional. Meskipun nama mereka terdengar formal, JHF beroperasi dalam cara yang lebih
komunal, atau bergerak dalam bentuk indie daripada dalam bentuk lembaga formal. JHF
didukung kegiatan dari penjualan CD audio dan merchandise. Setelah proyek Pertempuran
Puisi, beberapa sponsor datang untuk mendukung proyek-proyek mereka.
Setelah beberapa proyek-proyek kecil, JHF memulai proyek puisi Indonesia tahun
2006. Kemudian mereka memproduksi Puisi Pertempuran 1 album pada tahun 2007 dan Puisi
Pertempuran 2 tahun 2008. Keduanya terdiri dari puisi dan sastra kuno, mulai dari literatur
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 13
dari abad ke-18, hingga puisi kontemporer. Tujuan dari proyek Battle Puisi adalah untuk
mempromosikan cinta dan pluralisme melalui tema; "cinta" dan "rasa hormat kepada orang
lain".
Menyoroti JHF terdiri dari tiga awak yang konsisten rap dalam bahasa Jawa.
Kelompok-kelompok tersebut menggabungkan alur tradisional Jawa yang groovy dengan
beat musik urban. Mereka adalah Jahanam, Rotra dan Kill DJ, sekelompok anak laki-laki Jawa
‘kasar’ mempertahankan identitas mereka dalam kondisi budaya global seperti sekarang.
JHF baru saja meluncurkan sebuah film dokumenter berjudul Hiphopdiningrat; The
tales of Javanese Hip-hop. Hiphopdiningrat adalah sebuah film perjalanan komunitas Hip-hop di
Yogyajarta yaitu JHF. Film tersebut sudah diputar dibeberapa kota di Indonesia.
Hiphopdiningrat mendapat apresiasi yang baik dari media, Nama JHF pun makin dikenal dan
diapresiasi oleh banyak pihak. Mereka diundang dibeberapa festival dalam dan luar negeri yang
membawa mereka hingga ke Australia untuk undangan KBRI dank e New York atas undangan
Asia-Society di Amerika. Berikut beberapa lirik lagu JHF yang kental akan budaya jawa dalam
menangkap realitas.
Rotra,– Ora Cucul Ora Ngebul
Refrain:Pak Dul sirahe gundultuku rokok neng pasar sentulArepa silul kudu wani jujur ora cucul ora ngebul
Bait 1Uwong bingung ngekep bojone pikiran nglamun eling gendakanePancen kadung rusak negarane mula aja gumun nek rakyate kereNek wong sunggih le gendakan ning hotel sing larangBermain cinta lupa daratan ra konanganNek wong kere le gendakan ning hotel murahanDurung nganti amis keno razia kisinanNek wong gedhe konangan selingkuh malah kondangNek wong cilik sing konangan di arak telanjangApa kaya ngene jeneng negara berjuang Segala sesuatu ditentukan dengan uang Padha-padaha gendakan hukume dhewe-dhewePacen hukum kuwi gendhakane wong wong gedhe Wong cilik kerja sengsara ning o tetep kereWong gedhe kemaki urip sak karepe dheweLirak-lirik karepe ngejak turu kelonanPewarise politik ngumbar selingkuhanBeras larang minyak mundhak ra karu-karuanPolitike mlambang mung ribut ngurus gendhakan
Mulo aja munafik kaya wong-wong politikDadio wong senitikus peduli ro wong cilikWong politik munafik ra gelem nampa kritikGeleme nampa dhuwit cacahe ra sethithik
Bait 2Kancaku pelukis kluyuran bengi-bengiPamite lunga jare arep golek inspirasi Ning dalan ketemu karo themon bodine seksiKenalan terus gelem digambar ra nganggo klambiBadhe digambar themon e seneng ora karuanSaking senenge ning ati gelem dijak kelonanCepet-cepet gage dha golek hotel murahanLagi krusak krusek la kok ya ana gropyokanSing nggropyok polisi numpak pite bakul kursi Tanpa basa basi kabeh kamar disatroniBanjur dileboke dha kon nandur siji-sijiKabeh digledhah nek ana sing nyolong waduPolisi muni, “anda telah berbuat royalItu artinya anda sudah melanggar moral”Pelukise takon apa moral iku muralNek cen kuwi aku ngerti ayo gek ndang budhal“moral itu adalah tata susila Siapa yang melanggar akan kena razia”Pelukise takon apa ta tata susialaApa padha karo wanita tuna susilaPolisine muni,”kepiye nek damai waeDamai kuwi artine wani piro mbayare”Pelukise nyaut durung perang kok wis damai
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 14
Wong durung telanjang la kok wis digawe rame
Bait 3Askane wong lanang nek dolan ning pasar kembangGawe alasan golek aman ben ora konangan Politik saiki cen seneng main belakangNjabane resik jebul jerone selingkuhanLumpur lapindho metune seka SidoharjoBojo loro kabeh kok seneng nggodha Wis merdeka sih ana kompeni landaNembaki rakyat, rakyat ning alas tlagaNganggo tank top mlaku ning pasar bantulSangu kates, katese mental-mentulRakyat ditembake, ditembak betul-betulTapi jare keno peluru mantulBuah langsep tuku regane larangMontore nyungsep nyungsep ning jero got’anNegara lemes merga kakehan utangBandhane ludes sing nilep kok dha ilangManuk podhang mabur mlebu kurungan Badhe dikancing nganggo gembok kuninganRa entek entek le senengku gendakanNganti modar nganti tekan kuburanKadung remen ceweke cak paimoCekap semanaten niki atur kawulaAna kupat kecemplung ning jero santenMenawi lepat nyuwun ngapunten
Jogja Istimewa
Holopis Kuntul Baris..HOOK:Jogja! Jogja! Tetap IstimewaIstimewa Negrinya, Istimewa OrangnyaJogja! Jogja! Tetap IstimewaJogja Istimewa untuk Indonesia
Bait 1Rungokna iki gatra saka ngayogyakartaNagari paling penak rasane koyo swargaOra peduli donya dadi nerakaNeng kene tansah edi peni lan merdikaTanah lahirkan Tahta, Tahta untuk RakyatDimana Rajanya Bercermin di kalbu RakyatDemikianlah singgasana bermartabatBerdiri kokoh tuk mengayomi rakyatMemayu hayuning bawanaSaka jaman perjuangan nganthi merdikaJogja istimewa bukan hanya daerahnyaTapi juga karena orang-orangnya
Bait 2Tambur wis ditabuh suling wis muniHolopis kuntul baris ayo dadi sijiBareng para prajurit lan senopatiMukti utawa mati manunggal kawula GustiMenyerang tanpa pasukanMenang tanpa merendahkanKesaktian tanpa ajianKekayaan tanpa kemewahanTenang bagai ombak gemuruh laksana MerapiTradisi hidup di tengah modernisasiRakyate jajah deso milang koriNyebarake seni lan budi pekerti
Bait 3Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sangaSak duwur-duwure sinau kudune dewe tetep wong JawaDiumpamakne kacang kang ora ninggal lanjaranMarang bumi sing nglahirake dewe tansah kelinganIng ngarso sung tuladhaIng madya mangun karsaTut wuri handayaniHolopis kuntul baris ayo dadi sijiSepi ing pamrih rame ing nggaweSejarah wus mbuktekakeJogja istimewa bukan hanya untuk dirinyaJogja istimewa untuk IndonesiaHolopis Kuntul Baris..
Rotra feat. Kill the DJ- Jula Juli Lolipop
Refrain:Ngemut permen, permen lollipopbunder tur gepeng rasane legi, Kepengin beken pengen dadi ngetopkaryane laris tur senine mati
Bait 1 Masak-masak iki kabeh do blereng mataneNgene wis dadi cara nggo golek panganeSeni ra penting sing penting entuk dhuwiteInspirasine wis ilang dipendhem matiRasa solidaritase wis padha laliKarya seni kontemporer jaman saikiMung kaya mut-mutan neng ilat rasa legiSing dituju nilai rupiah lan dolare Golek cara ben payu laris dagangane Karya seni ne lali nggambarke rakyateRakyat sing urip sengsara apes uripe
Bait 2Ana kancaku sing kepengin dadi artisPancen dasar bocahe senengane narsisBanjur tingkah polahe sing manis-manisMalah kaya permen rasane kriyis kriyisNek tak piker-pikir kok kaya tukang kayuMung waton ngemali apa-apa sing payuSeni saiki nuruti pasar sing mlakuDadi bakulan asal tahu sama tahuSaya suwe dodolane kok saya payuTambah sugihe wonge uripe tambah majuOmahe dadi gedhong dicet werna biruGedhe mograng-mograng kamare ana pitu eh wolu
Bait 3Jaman biyen isih ngonthel numpak pit untaSaiki wis numpak mobil gedhe tur dawaTuku apa-apa ra perlu ndeleok regoKamangka ndhisik kerep njaluk aku segoJaman semono isih ramah karo akuKok saiki sikape malah dadi kakuGanti hape nganggo hape tipe terbaru Senengane mung belanja ro mlaku-mlaku asu!Omahe rame di parani bus kagolTakon apa ono karya sing siap di dolKarya seni kaya dagangan jenang dodolSeni kok kaya mawut wis modhol-modhol
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 15
PEMBAHASAN
Jogja Hiphop Foundation merupakan hasil pertemuan antara budaya hip hop yang
diusung globalisasi dengan budaya Jawa, sebagai budaya lokal. Budaya Hiphop dibawa arus
globalisasi ke Indonesia dalam kemasan Dr.Dre, Eminem, Snoop Doog, Shaggy dan masih
banyak lagi. Globalisasi musik rap ditandai dengan banyaknya rapper yang muncul,
memproduksi lagu-lagu baru disetiap waktunya dan memultiplikasi lagu mereka dalam
bentuk CD dan Kaset. Major label dimana mereka melakukan rekaman bekerjasama dengan
perusahaan rekaman nasional atau jaringan mereka di Indonesia seperti Sony Indonesia,
BMG, Aquarius untuk mendistribusikan karya mereka ke seluruh tanah air sebagai bentuk
upaya expansion dan stretching. Media massa melakukan perannya sebagai pemberi
informasi, memberitakan kabar seputar selebriti Hiphop rap tersebut dalam konten mereka,
yang pada umumnya di televisi dan majalah remaja dan musik. Hal itu dilakukan untuk
membentuk hubungan parasosial antara masyarakat Indonesia dengan mereka para rapper
terkenal, sehingga intensifikasi dan akselerasi penyebaran informasi dan interaksi, terlebih
dengan hadirnya media baru. Masyarakat yang sudah tersentuh dengan budaya Hiphop hasil
sapuan arus globalisasi tersebut, kemudian merasa tertarik untuk mencoba, mendalami,
mengimitasi dan bereksperimen dengan budaya Hiphop, budaya Hiphop urban di tanah air.
Para rapper luar yang sukses di Indonesia adalah para rapper yang membawa aliran gangsta
rap, yang menyajikan budaya Hiphop yang mysoginst, hipermaterialisme, glamorisme seks
dan kekerasan. MTV Indonesia menampilkan bagaimana para rapper ini selalu datang
dengan mobil mewah, perhiasan yang mencolok (bling-bling), dikerumuni wanita-wanita
cantik yang berpakaian erotis dan dalam suasana pesta. Produk globalisasi ini di Indonesia,
diserahkan semuanya pada pasar yang mampu dimanipulasi dan dikonstruksi. Budaya
Hiphop yang masuk ke Indonesia ini menciptakan budaya urban yang banyak ditemui di kota
besar seperti breakdance,mural dan graffiti, clubbing dan rapper. Pada tahun 2003, di sebuah
kota yang jauh dari Jakarta, dimana budaya lokal Jawa masih kental, Jogja Hiphop
Foundation hadir sebagai sekumpulan musisi yang mengusung genre musik rap Hiphop
dalam karya-karya mereka. Globalisasi menunjukan perannya pada fenomena ini bahwa
sesuai dengan pendapat Anthoni Giddens mengenai globalisasi, budaya Hiphop yang lahir di
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 16
budaya lokal Afro-American di kawasan Bronx, New York diakomodasi oleh globalisasi
sehingga mempengaruhi tumbuhnya budaya Hiphop rap JHF dalam budaya lokal Jawa di
Yogyakarta yang letaknya antara kedua budaya lokal tersebut sangatlah jauh.
JHF sebagai musisi pengusung budaya Hiphop rap mempunyai karakter dan ciri yang
membedakan mereka dengan budaya Hiphop mainstream. Budaya Hiphop rap sebagai
sebuah genre musik mempunyai ciri spesifik yang membedakan dengan genre musik lainnya.
Musik rap dalam segi vokalitas mengandung beberapa;unsur beat, yaitu dentuman musik 4/4
yang dialunkan berulang-ulang yang dapat berasal dari potongan-potongan lagu lama
maupun kreasi alat musik elektronik, flow sebagai pemakaian rima yang sama dalam frase-
frase bait lagu rap, serta aksen dan diksi yang penuh dengan metafora dan kiasan ditunjang
ciri lainnya. Ciri musik rap tersebut tentulah dipegang teguh oleh JHF sebagai bentuk
legitimasi genre yang mereka usung. Sebagai contoh pada lirik lagu Gangsta Gapi bait 1,
terdengar, /Seprene kudu wis wayahe mbayar SPP/Murid liyane wis do mbayar gari
dheweke/Bali neng omah matur karo bapak ibune/Njaluk dhuwit nggo bayar SPP critane/, flow
terlihat pada tiap penggalan frasenya yang terdiri dari 14-13 suku kata dan mempunyai rima
‘e’, pemakaian kata gendakan bukan selingkuh, temon bukan wedok, dan cucul bukan urunan,
selain sebagai pemenuhan konsep flow juga bentuk dialek dan aksen yang dipakai layaknya
slang yang biasa dipakai dalam lagu-lagu rap. Pemakaian bahasa Jawa walikan yang
berdasarkan penulisan aksara Jawa, juga sering digunakan oleh mereka. Bahasa walikan
tersebut memberikan dialek khusus akan Jawa-Yogyakarta karena bahasa tersebut hanya
dikenal di Yogya. Sebagai contoh wedok dalam bahasa Jawa, menjadi temon dalam bahasa
walikan, yang bermakna wanita nakal. Budaya Hiphop yang pada kelahirannya digunakan
untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi, kembali dihidupkan
semangatnya oleh JHF melalui lagu-lagu mereka; lagu Cecak Nguntal Boyo, yang merupakan
bentuk perlawanan kasus korupsi KPK sedang marak di media massa saat itu, dan lagu Jogja
Istimewa, saat isu keistemewaan Yogyakarta diperdebatkan oleh pemerintah pusat.
Terdapat beberapa perbedaan karakter JHF dari budaya hip-hop mainstream; mereka
membawa budaya hiphop dalam musik rap tersebut ke tingkatan lokal dengan memakai
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dari ide-ide mereka, mengusung tema-tema yang
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 17
dekat dengan lingkungan mereka dan tidak mencoba untuk menjadi kontemporer seperti
tema-tema musik mainstream, juga mereka selalu menggunakan baju batik dalam
penampilan mereka. Hal ini menurut Nederveen Pieterse tentu sebagai dampak globalisasi,
dan fenomena JHF ini adalah bentuk hibridisasi dan sintesis globalisasi budaya antara budaya
global dan budaya lokal, disebut Wayne Gabardi sebagai ‘hibridisasi’ posmoderen .
Glokalisasi budaya menjadi landasan teori dalam fenomena JHF. Budaya lokal yang
ada di Yogyakarta adalah budaya Jawa. Budaya Jawa di Yogyakarta masih sangatlah kental,
hal ini karena adanya faktor historis dimana Kesultanan Hamengku Buwono peninggalan
Mataram Jawa yang berpusat di Yogyakarta masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Terafiliasinya budaya Jawa – Yogyakarta yang kuat oleh masyarakat Yogya menjadi identitas
pembeda dengan budaya Jawa –Solo, Jawa – Banyumasan dll. Mereka menolak mainstream
musik rap yang penuh dengan umpatan dan arogansi. JHF membawa musik rap dalam
penyuaraan realitas akan apa yang masyarakat hadapi, bukan bentuk konstruksi pasar yang
komersil. Marzuki atau Kill The DJ, menyampaikan pendapatnya, “Bagi kami, JHF adalah
realitas, bukan sekedar produk yang diciptakan, kami selalu menikmati musik dan panggung
dengan gairah yang penuh dan jujur. Kami selalu percaya, bahwa kejujuran akan membawa
penonton masuk ke dalam jiwa pertunjukkan dan mengikis segala perbedaan, termasuk
bahasa.” Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa adanya konsep kesadaran dari apa
yang mereka hasilkan dari karya seni mereka sebagai bentuk yang jujur dalam diri mereka,
tanpa ada intervensi dan konstruksi pasar. Hal ini membuat mereka tidak mengalami
keterasingan dalam melakukan karyanya karena mereka dalam berseni berangkat dari
realitas dan menjunjung kesadaran yang penuh dan jujur. Realitas tergambar dalam lagu
mereka “Ora Cucul Ora Ngebul” ciptaan Sindhunata,SJ dan “ Jula Juli Lolipop”. “Ora Cucul
Ora Ngebul” adalah lagu JHF yang para politikus/pejabat yang munafik dalam perkataan
mereka, dan tidak mau menerima kritik serta menyoroti kesewenang-wenangan dalam
bertindak, mulai dari korupsi, hingga perselingkuhan. Digambarkan bahwa para penguasa
suka berselingkuh dan akan menjadi figure yang kondang dan terkenal apabila diketahui
publik luas melalui pemberitaan yang berlebihan tanpa sanksi berarti. Sedang masyarakat
kecil dalam berselingkuh akan dipermalukan di depan umum, dan menjadi bulan-bulanan
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 18
kepolisian dan masyarakat apabila tertangkap. Sedang pada lagu “Jula-Juli Lolipop” JHF
menyoroti seni kontemporer yang tidak jujur dalam berkarya dan hanya mengejar
komersialisasi saja. Kekuatan kapitalisme merubah cara hidup seniman dalam berkreasi dan
meninggalkan pedoman-pedoman luhur serta kejujuran mereka dalam berkarya. Hal ini
memang banyak terjadi di Indonesia baik seniman daerah hingga program layar kaca yang
penuh dengan dramatisasi dan hiper-realitas. Lebih lanjut, Marzuki selaku pemegang kunci
JHF mengatakan bahwa mereka menolak akan budaya fetisisme budaya Hiphop yang
diusung mainstream. Budaya Hiphop yang lahir di Amerika mempunyai konteks budaya
maskulin, budaya yang mengutamakan kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Hal itu
berpengaruh terhadap budaya hiphop Amerika yang penuh dengan glamorisme. Marzuki
berpendapat bahwa dia memilih untuk tidak mendewakan budaya hiphop seperti di
Amerika, dimana budaya hiphop disana memunculkan gaya hidup rave party, yaitu pesta
semalam suntuk dengan elektronik musik yang dimainkan para DJ, sehingga muncul
ungkapan, “God is the DJ”. Oleh karena itu Marzuki mempunyai nama alias Kill the Dj sebagai
bentuk penolakan. Glokalisasi yang dilakukan JHF ini sesuai dengan pernyataan Thomas
Friedman, bahwa budaya lokal mampu menyerap budaya global, untuk memperkaya mereka
dan menolak serta menyaring budaya tersebut dalam perayaan perbedaan. Penggunaan
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dan pemakaian konsep-konsep kebijaksanaan lokal
dalam lagu mereka dalam menghadapai budaya hiphop Barat yang cenderung
menghegemoni dan menghancurkan budaya lokal, sejalan dengan pernyataan Appadurai
bahwa semakin kuat terpaan budaya global maka masyarakat lokal semakin cenderung
untuk melakukan indigenization ke dalam budaya lokal mereka, sebagai bentuk counter-
hegemony dan perlawanan atas kesadaran palsu bahwa budaya global tersebut dalam
tingkatan tertentu bukan budaya lokal mereka yang telah menjadi identitas. Indigenization
tersebut diperkuat oleh Landung Simatupang, budayawan “Ini luar biasa, anak-anak muda
ini berpuisi, menggali sastra yang lama terasing dari masyarakatnya sendiri, tanpa mereka
sendiri menyadarinya.”
Dari segi proyeksi, glokalisasi JHF bertipe hibridisasi. Hal ini dapat diamati
berdasarkan cultural receptivity, JHF sukses menghasilkan jenis baru musik rap, campuran
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 19
antra beat elektronik yang menghentak dan berulang-ulang dengan musik gamelan, jathilan
dan uyon-uyon dengan lirik bahasa Jawa. Tidak seperti rapper mainstream, mereka juga
tampil di kampung-kampung dan festival daerah karena disanalah mereka berasal dan
kepada masyarakat lokal mereka berbicara. Aspek socio-spatial, menyoroti bagaimana JHF
membangun interaksi berdasarkan lingkup dan jarak sosial. JHF membangun komunitas
tanpa tembok dimana semua orang yang mengapresiasi budaya lokal dan tertarik dengan
Hiphop rap dapat bergabung dengan mereka dari umur SD hingga dewasa yang berpusat di
Yogyakarta. Komunitas maya juga hadir untuk memperkuat relasi JHF dengan masyarakat.
Pemutaran film mereka tanpa melalui distribusi bioskop merupakan cerminan bahwa
mereka ingin selalu dekat dengan masyarakat. Mereka bekerja sama dengan seniman-
seniman lokal hingga nasional seperti monolog Butet Kertaradjasa, pelawak Marwoto,
rohaniawan Romo Sindhu, sosiolog asal Amerika Elizabeth, sutradara Hanung Bramantyo
dan Iwa K. Pluralisme orang-orang yang JHF ajak untuk bekerjasama menyampaikan pesan
akan penghormatan mereka akan perbedaan. Hal ini tercermin dalam lagu “Natal, Lebaran
dan Tahun Baru” sebuah lagu berdasarkan puisi yang dibacakan di acara yang mereka
selenggarakan Poetry Battle I & II, dimana banyak pihak dari berbagai komunitas, agama dan
suku berkumpul dalam berseni. Diangkatnya pesan-pesan pluralisme merupakan suatu
identitas yang sulit ditemukan dalam musik rap mainstream yang penuh dengan respon
supremasi kulit putih dan kekerasan. Sedang dari aspek rituals dan collective habitus, dapat
diamati dari nama-nama alias mereka yang berbau lokal seperti Jahanam, Rotra dan teman-
teman. Baju batik yang selalu dipakai menjadi identitas darimana mereka berasal. Standpoint
mereka dalam membawakan budaya hiphop yang berbeda dengan mainstream juga menjadi
faktor kolektif yang diusung bersama. Diangkatnya bahasa Jawa sebagai medium rap
mereka, disertai dengan falsafah budaya Jawa yang kental, dan disadurnya puisi-puisi dari
surat Centhini merupakan dalam karya-karya musik rap mereka merupakan bentuk usaha
mereka untuk meredefinisi budaya Jawa yang terkesan tradisional, konvensional, tua dan
berat, menjadi dekat dengan anak muda dan dapat dipahami sebagai falsafah hidup yang
luhur dan tidak pernah lepas sebagai core values masyarakat Jawa. Dari aspek pattern of
association JHF lebih terakomodasi oleh media dibanding budaya lokal seperti wayang, tari
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Global di Indonesia
hal. 20
tradisional dan tembang Jawa. JHF yang diliput berbagai media dari Jakarta Post, Majalah
Tempo, Rolling Stone Indonesia hingga Kick Andy merupakan bentuk bagaiman mereka
diakomodasi dan diasosiasikan sebagai bentuk glokalisasi yang berhasil. Munculnya
kedekatan secara fisik akan budaya Hiphop yang asli juga mereka rasakan saat mereka
berkunjung ke Amerika untuk konser dan mengunjungi kawasan Bronx, New York.
KESIMPULAN
Bentuk pandangan kritis dari teori globalisasi telah menciptakan teori glokalisasi.
Kehadiran globalisasi bukan berarti budaya global mampu melakukan hegemoni nilai dan
norma serta menyingkirkan budaya lokal yang ada di dalam masyarakat. Di dalam globalisasi
kedua budaya bergerak bersamaan sebagai institusi yang dinamis. Budaya global dan budaya
lokal yang bertemu membawa pengaruh masing-masing dan bereaksi satu sama lain. Ketika
budaya lokal mampu menyerap budaya global, yang memperkaya mereka, atau mereka
tolak karena tidak sesuai dengan nilai mereka atau hanya sekedar perayaan perbedaan
antara kedua budaya tersebut menjadi kunci penelusuran glokalisasi di suatu fenomena.
Glokalisasi dalam pandangannya berdasarkan dialektika bahwa interaksi budaya yang
terwujud haruslah dikaji dari sudut partikularisme-universalime. Sehingga big picture dari
fenomena tersebut dapat dipahami secara utuh.
JHF merupakan contoh glokalisasi musik rap dalam budaya Jawa. JHF mengubah
musik rap mainstream yang mysoginist, glamorisme sensualitas, kekerasan dan
hipermatereialisme menjadi musik yang jujur, menangkap realitas, dan mampu
mengkomunikasikannya dengan baik dan mudah terhadap kaum muda sebagai generasi
mendatang. Budaya Jawa Yogyakarta terasa kental dalam musik mereka dari pemakaian
bahasa Jawa Yogya, kebijaksanaan lokal yang berlaku, hingga gaya berpakaian batik. Beat
dan flow musik rap mereka kombinasikan dengan gamelan dan shalawatan disertai dialek
bahasa walikan yang unik. Sebagai bentuk budaya glokalisasi hibridisasi, JHF mampu
menggunakan beat techno, rhyme dan keseluruhan musik rap serta dukungan fasilitas media
dan teknologi untuk mengajak kaum muda agar kembali memahami budaya lokal mereka
yang semakin rawan dalam pelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kriti: Kritik. Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta; Kreasi Wacana.
Appadurai, A. (1996) Modernity At Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Baldwin, D.L. (2004). Black Empires, white desires: The spatial politics of identity in the age of Hip Hop. In M. Foreman, & M. A. Neal (Eds). That’s the joint: The Hip Hop Studies Reader (pp. 159-176). New York & London: Routledge.
Conrad, Kate ; Dixon, Travis & Zhang, Yuanyuan. 2009. Journal of Broadcasting & Electronic Media: Controversial Rap Themes and Skin Tone Distortion: A Content Analysis of Rap Music Videos. 1;156.
Dixon, T., & Brooks, T. (2002). Rap music and rap audiences: Psychological effects andpolitical resistance. African American Research Perspectives, 8(2), 106–116.
Giddens , Anthony (2000) Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York: Routledge.
Giulianotti, Richard & Robertson, Roland.2007. “SAGE Journals Online: Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America”, Sociology, 41; 133.
Hansen, C. H., & Hansen, R. D. (2000). Music and music videos. In D. Zillman, & P. Vorderer (Eds.), Media entertainment: The psychology of its appeal (pp. 175–196). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
hooks, b. (1992). Black looks: Race and representation. Boston: South End Press.
Jameson, Frederik and Masao Miyoshi. 1998. The Cultures of Globalization. Durham/London:Duke University Press
Johnson, J., Jackson, A., & Gatto, L.(1995). Violent attitudes and deferred academicaspirations:Deleterious effects of exposure to rap music. Basic and Applied Social Psychology, 16(1&2), 27–41.
Marti nez , Theresa A. 19 97. “Popular Culture as Oppositional Culture: Rap asResistance.” Sociological Perspectives 40(2): 265-286.
Pieterse, J.N. (1995) ‘Globalization as Hybridization’, in M. Featherstone, S. Lash and R. Robertson (eds) Global Modernities, pp. 45–68. London: Sage.
Ritzer, G. (2003) ‘Rethinking Globalization: Glocalization/Grobalization and Something/Nothing’, Sociological Theory 21(3): 193–209.
Robertson, Roland. 1992. Globalization. Social Theory and Global Culture. London: Sage Publication.
Swyngedouw, Erik, (1997). “Neither Global nor Local: ‘Glocalization’ and the Politics of Scale.” In Kevin R. Cox (ed.). Spaces of globalization, reasserting the power of the local. New York, London, The Guilford Press: 137-166.
Swyngedouw, Erik (2004). “Globalisation or ‘Glocalisation’? Networks, Territories and Rescaling.” Cambridge Review of International Affairs, 17(1): 25-48.
Zillman, D., & Gan., S. L. (1997). Musical taste in adolescence. In D. J. Hargreaves., & A.C. North (Eds). The social psychology of music (pp. 161-188). Oxford University Press.
Internet:
Rolling Stone Indonesia: Jogja Hip-Hop Foundation Akan Tampil Eksklusif di New York City. http://www.rollingstone.co.id/read/2011/05/08/143509/1634897/1093/jogja-hip-hop-foundation-akan-tampil-eksklusif-di-new-york-city
Hiphopdiningrat: Jogja Hiphop Foundation Show di New York. http://www.hiphopdiningrat.com/2011/05/jogja-hip-hop-foundation-show-di-new-york/
Hiphopdiningrat: Perlawanan Rap Centhini. http://www.hiphopdiningrat.com/2011/03/perlawanan-rap-centhini/
KILLTHEDj: Oleh oleh. http://killtheblog.com/2011/04/28/oleh-oleh/
KILLTHEDJ: Membunuh Hip Hop. http://killtheblog.com/2011/01/03/membunuh-hip-hop/
KILLTHEDJ: Hip Hop Van Yogyakarta. http://killtheblog.com/2011/01/02/hiphop-van-yogyakarta/
KILLTHEDJ: Hip Hop Jogja juga Istimewa. http://killtheblog.com/2010/12/16/hip-hop-jogja-juga-istimewa/
KILLTHEDJ: Juki dan Hip Hop Jawa. http://killtheblog.com/2010/06/08/juki-dan-hip-hop-jawa/
KILLTHEDJ: Muhammad Marzuki: Hip-hop ala Java. http://killtheblog.com/2010/02/24/muhammad-marzuki-hip-hop-a-la-java/