mekanisme superfund sebagai efisiensi pemulihan lingkungan dalam pencemaran bahan berbahaya dan...

51
MEKANISME SUPERFUND SEBAGAI EFISIENSI PEMULIHAN LINGKUNGAN DALAM PENCEMARAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Disusun sebagai Salah Satu Syarat Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Fakultas 2012 Oleh : Margaretha Quina NPM: 0806342636 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

Upload: margaretha-quina

Post on 26-Oct-2015

148 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

A wild, irresponsible idea from college time, worth exploring, though. This research tries to assess (in a very shallow manner) the possibility to make an environmental fund system for responding environmental harm caused by hazardous substances.

TRANSCRIPT

MEKANISME SUPERFUND SEBAGAI EFISIENSI PEMULIHAN

LINGKUNGAN DALAM PENCEMARAN BAHAN

BERBAHAYA DAN BERACUN

Disusun sebagai Salah Satu Syarat

Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Fakultas

2012

Oleh :

Margaretha Quina

NPM: 0806342636

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

ii

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini saya,

Nama : Margaretha Quina

NPM : 0806342636

Fakultas : Hukum

Judul Makalah : Mekanisme Superfund Sebagai Efisiensi Pemulihan

Lingkungan Dalam Pencemaran Bahan Berbahaya

Dan Beracun

Pembimbing : Dr. Harsanto Nursadi S.H., M.Si.

Tanggal diserahkan : 2 April 2011

menyatakan bahwa benar makalah yang saya buat adalah hasil karya

akademis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Makalah ini dikumpulkan sebagai salah satu syarat Pemilihan

Mahasiswa Berprestasi Tingkat Fakultas Hukum Universitas

Indonesia Tahun 2011.

Depok, 2 April 2011

Penulis

( Margaretha Quina )

NPM. 0806342636

Mengetahui,

Pembimbing Karya Tulis

(Dr. Harsanto Nursadi S.H., M.Si.)

Menyetujui,

Direktur Kemahasiswaan dan

Hubungan Alumni FHUI

( Hening Hapsari S., S.H., M.H.)

iv

NIP : 196612201994031002 NIP. 050103016

v

KATA PENGANTAR

“To live is the rarest thing in the world.

Most people exist, that is all” Oscar Wilde – Epigrams

Apa yang diberikan oleh alam, kembalikanlah kepada alam. Pengalaman-

pengalaman yang begitu memesona yang telah diberikan alam semesta ini kepada

Penulis merupakan motivasi terkuat untuk menulis mengenai masalah lingkungan

hidup. Harapan untuk berkontribusi, walaupun dalam bentuk terkecil, menjadi

pegangan Penulis dalam menyelesaikan penelitian sederhana ini.

Satu halaman narasi pendek ini Penulis dedikasikan untuk berterima kasih

kepada semua pihak yang telah membantuk Penulis hingga pada akhirnya dapat

menarik nafas lega dengan terselesaikannya makalah ini. Dengan tulus, Penulis

sampaikan terutama kepada Bapak Harsanto Nursadi, yang telah membimbing

dengan perhatian walaupun dalam keadaan sakit. Pembimbing Akademis yang

paling perhatian, Ibu Henny Marlina, juga kepada Bapak Rhino Subagjo dan

teman-teman ICEL atas keterbukaannya memuaskan rasa penasaran Penulis.

Paling hangat, untuk teman-teman Penulis yang mengisi empat tahun di FHUI,

yang telah memberi kesenangan dan inspirasi sambil memenuhi Curriculum

Vitae, dari ALSA, BEM FHUI 2010 (esp. Dept. Pengabdian Masyarakat),

Taekwondo, Lobby-ers, para penjelajah gunung, dan terutama PK VI 2008.

Penulis menyadari penulisan makalah ini tak lepas dari begitu banyak

kekurangan. Maka itu, dengan senang hati Penulis menerima masukan dan kritik

dari semua pihak agar penelitian ini dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi

ilmu pengetahuan dan peradaban.

Pada akhirnya dengan cara sederhana inilah setiap dari manusia akan

merasa hidup, akan berusaha untuk berarti. Selamat membaca!

Depok, April 2012

Penulis

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

RINGKASAN ................................................................................................. vi

BAB 1 : PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah .......................................................................................... 2

1.3. Konstruksi Gagasan/Ide Pokok ....................................................................... 3

1.4. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................ 3

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5

2.1. Landasan Argumentatif .................................................................................... 5

2.2. Landasan Konsep .............................................................................................. 8

BAB 3 : METODELOGI PENELITIAN ....................................................... 10

3.1. Bentuk Penelitian ............................................................................................ 10

3.2. Tipologi Penelitian .......................................................................................... 10

3.3. Jenis Data ......................................................................................................... 10

3.4. Jenis Bahan Hukum ........................................................................................ 10

3.5. Alat Pengumpulan Data ................................................................................. 11

3.6. Metode Analisis Data ..................................................................................... 11

3.7. Bentuk Hasil Penelitian .................................................................................. 11

BAB 4 : ANALISIS ....................................................................................... 12

4.1. Instrumen Ekonomi Pendanaan Lingkungan untuk Pemulihan

Lingkungan di Indonesia................................................................................ 12

4.1.1. Mekanisme Pemulihan Lingkungan yang ada di Indonesia ........... 12

4.1.2. Instrumen Ekonomi Pendanaan Lingkungan untuk

Pemulihan Lingkungan dalam UUPPLH............................ 17

4.1.3. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen

Ekonomi dan Instrumen Hukum Terkait ............................ 15

4.2. Gagalnya Mekanisme Pemulihan Lingkungan di Indonesia dalam

Memenuhi Hak atas Lingkungan Hidup yang Sehat (Studi Kasus

Teluk Buyat) .................................................................................. 18

4.3. Konsep Pendanaan Lingkungan di Amerika Serikat: Superfund

atau Comprehensive Environmental Response, Compensation and

Liability Act (CERCLA) di Amerika Serikat ................................. 20

vii

4.3.1. Latar Belakang Pembuatan CERCLA ................................ 21

4.3.2. Konsep Pendanaan Dalam CERCLA ................................. 21

4.3.3. Mekanisme Superfund dan Instrumen-instrumen Terkait .. 22

4.4. Kemungkinan Penerapan Superfund di Indonesia ......................... 25

4.4.1. Hambatan dan Tantangan Penerapan Superfund di

Indonesia ............................................................................. 25

4.4.2 Mekanisme Implementasi Superfund di Indonesia............. 28

BAB 5: PENUTUP ......................................................................................... 29

5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 29

5.2. Rekomendasi .................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... xii

LAMPIRAN .................................................................................................... xv

viii

ABSTRAK

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi

manusia yang pemenuhannya harus dilakukan oleh semua pihak, terutama negara.

Dalam hal terjadi pencemaran lingkungan hidup oleh bahan berbahaya dan

beracun, hak asasi ini terlanggar, dan dengan demikian penanggulangan dan

pemulihan lingkungan yang bersifat segera harus dilakukan. Indonesia sebagai

negara yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan tidak terlepas

dari masalah pencemaran. Karena itu, mekanisme pemulihan lingkungan yang

bersifat segera merupakan isu yang sangat penting bagi Indonesia.

Melalui tulisan ini, Penulis bermaksud untuk membahas hal-hal berikut: (1)

Bagaimana mekanisme pendanaan pemulihan lingkungan di Indonesia dalam

memenuhi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat? (2) Bagaimana

mekanisme Superfund dapat melindungi kepentingan masyarakat dan lingkungan

hidup dalam hal terjadinya pencemaran bahan berbahaya dan beracun di

Indonesia?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mempergunakan metode

penelitian yuridis normatif yang bertumpu kepada data sekunder dan bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier. Alat pengumpulan data yang dipergunakan

adalah studi dokumen atau kepustakaan dengan metode analisis kualitatif, yang

didukung dengan wawancara. Sedangkan penelitian yang dihasilkan di dalam

penelitian ini berbentuk deskriptif analisis.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa mekanisme peradilan belum

tentu dapat menjamin pemulihan lingkungan hidup karena pencemaran B3 dengan

segera. Dengan demikian, mekanisme pendanaan untuk pemulihan lingkungan

hidup menjadi sangat penting untuk menjamin hak atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat.

Indonesia telah memiliki dua instrumen pendanaan yang relevan untuk

pemulihan lingkungan hidup, yaitu dana jaminan pemulihan lingkungan hidup dan

dana penanggulangan. Namun, dalam peraturan perundang-undangan, instrumen

ekonomi ini belum memiliki peraturan pelaksana yang implementatif, serta belum

dihubungkan dengan peraturan terkait pemulihan lingkungan hidup. Superfund di

Amerika Serikat merupakan suatu contoh mekanisme pendanaan pemulihan

lingkungan hidup yang tepat memberikan jawaban untuk permasalahan ini karena

menyediakan dana yang bersifat segera dengan tetap menganut prinsip pencemar

membayar dan dengan adanya suatu sistem skala prioritas pemulihan pencemaran

yang jelas. Sebagai jalan keluar dari kebingungan penyusunan peraturan

pelaksana yang ditemui terkait pendanaan lingkungan, mekanisme ini patut

dipertimbangkan dan dipelajari lebih jauh.

Untuk diterapkan di Indonesia, terdapat tantangan yang perlu diwaspadai

dalam mekanisme Superfund. Secara substantif, pertama, diperlukan perumusan

ix

peraturan yang cukup kompleks dan memakan waktu lama. Kedua, pengaturan

yang didelegasikan UUPPLH adalah dalam bentuk PP. Dari segi struktur, terdapat

badan-badan pelaksana Superfund yang harus dibentuk atau disesuaikan dengan

organ administratif di Indonesia. Dari segi budaya hukum, masalah korupsi dan

kemauan aparatur negara untuk melaksanakan good corporate governance

merupakan tantangan utama.

Sebagai solusi permasalahan ini, Penulis merekomendasikan Kementerian

Lingkungan Hidup untuk melakukan studi secara mendalam untuk

membandingkan CERCLA dan sistem pendanaan lingkungan yang telah dibentuk

dalam UUPPLH. Selanjutnya, studi tersebut digunakan untuk menerjemahkan dan

menyesuaikan instrumen-instrumen yang ada pada CERCLA dengan pendanaan

pemulihan lingkungan di Indonesia. Analisis strength, weaknesses, threat,

opportunity (SWOT) diperlukan pula terhadap terjemahan dan penyesuaian yang

telah dilakukan. Pada akhirnya, penelitian ini merekomendasikan Superfund

disesuaikan dan kemudian diterapkan di Indonesia sebagai solusi pendanaan

pemulihan lingkungan yang tercemar B3 di Indonesia

Kata kunci: Lingkungan hidup, Instrumen ekonomi lingkungan, Pendanaan

Lingkungan, Pemulihan Lingkungan, ...

x

ABSTRACT

Right of sound and healthy environment is a human right of which all

parties, especially State, must fullfil. In case of environmental pollution by

hazardous substances, this human rights will be violated, and therefore immediate

response and remediation shall be conducted. Indonesia, as a developing country,

is related closely with the pollution issue. Accordingly, immediate environmental

remediation mechanism indeed a very important issue for Indonesia.

In this writing, Author would like to address following issues: (1) How has

the funding mechanism for environmental remediation in Indonesia fulfilled the

rights of sound and healty environment of the community?; and (2) How could the

Superfund mechanism protect the interest of community and environment in case

of hazardous pollution in Indonesia?

To answers the questions above, Author employ a research of juridical-

normative method, based on secondary data and primary, secondary, and tertier

legal materials. The data-gathering equipment which has been used including

literature study with qualitative analytical method, which has been strengthen with

in-depth interview. The result of this research is in form of descriptive-analytical

form.

Based on the research, it is known that the judicial mechanism has not able

to guarantee immediate remediation of environment caused by hazardous

pollutant. Therefore, funding mechanism for environmental remediation become a

great interest to guarantee the fullfilment of the right of sound and healthy

environment.

Indonesia has two funding instrument relevant for the environmental

remediation, named guarantee fund for environmental remediation and response

fund. However, the legislation has not provide implementing regulation for this

environmental economic instrument, and has not been linked with the regulations

concerning environment. United States' Superfund is an example of funding

mechanism which fits well to this concern because it provides an immediate

source of fund, without leaving polluters pay principle, and equipped with a scale-

priority system assessing degree of neccessity for sites in need of environmental

remediation. As a solution of the law making related environmental funding, this

mechanism is suitable and appropriate to be considered and studied further.

To be implemented in Indonesia, there are several challenges in Superfund

mechanism. Substantively, first, a lengthy time and complex law making is

possible. Second, the regulation delegated by UUPPLH is in the form of

governmental regulation. From the structure, there are implementing bodies of

Superfund subject to be formed, or modified with administrative organs in

Indonesia. From the legal culture, corruption and willing of state officials to

commit good corporate governance is questionable.

xi

As the solution of this problem, Author recommends Ministry of

Environment to conduct further study to compare CERCLA and the funding

system in UUPPLH. Morevoer, the study should be used to adapt and adjust

instruments in CERCLA with the funding of environmental remediation in

Indonesia. Analysis of SWOT (strength, weaknesses, threat, opportunity) is also

necessary. Finally, this research recommends Superfund to be adjusted and

implemented in Indonesia as the ultimate solution for funding of environmental

remediation caused by hazardous substances in Indonesia.

Keywords: Environment, Economic instrument of environment, environmental

funding, environmental remediation, ...

SUPERFUND MECHANISM AS EFFICIENCY OF ENVIRONMENTAL

REMEDIATION IN POLLUTION BY HAZARDOUS MATTERS

By: Margaretha Quina (08063426436)

SUMMARY

Right of sound and healthy environment is a human right of which all

parties, especially State, shall fulfill. In case of environmental pollution by

hazardous substances, this human right will be violated, and therefore immediate

response and remediation shall be conducted. The remediation becomes more

crucial considering the nature of hazardous substance, which is latent and

threatening health of human and sound quality of environment itself. Indonesia, as

a developing country, is related closely with the pollution issue caused by

hazardous waste. Accordingly, immediate environmental remediation mechanism

indeed a very important issue here.

In this writing, Author would like to address following issues: (1) How has

the funding mechanism for environmental remediation in Indonesia fulfilled the

rights of sound and healthy environment of the community?; and (2) How could

the Superfund mechanism protect the interest of community and environment in

case of hazardous pollution in Indonesia?

To answer the questions above, Author employ a research of juridical-

normative method, based on secondary data and primary, secondary, and tertiary

legal materials. The data-gathering equipment which has been used including

literature study with qualitative analytical method, which has been strengthen with

in-depth interview. The result of this research is in form of descriptive-analytical

form.

In Law no. 32 of 2009 concerning Environment (referred to as ‘the Law’),

Indonesia already built a concept of economical instrument of environment, which

consists of environmental funding. Two of the tree concept introduced in the Law

is relevant to address funding for remediation problem, namely (1) guarantee fund

for environmental remediation and (2) response fund. However, there is no

mechanism provided because the two concept has not further elaborated in

implementing regulations. For now, the implementing regulation, which is

mandated in the form of Governmental Regulation by the Law, has not passed yet,

and in the last academic draft proposed, those two concepts has not elaborated.

On the other hand, based on the case study on Buyat Bay case, it is known

that the judicial mechanism has not able to guarantee immediate remediation of

environment caused by hazardous pollutant. The judicial body award the

judgment in favor of the Defendant (PT Newmont Minahasa Raya), give nothing

to the community to remediate the environment, either in criminal and civil

rulings. The settlement given by Newmont for community development is said as

‘not related at all with the pollution case’ and therefore addressing no liability

issue. In this case, community around the site, especially those whose health have

affected severely, couldn’t have their human right of sound and healthy

environment fulfilled. Therefore, funding mechanism for environmental

remediation becomes a great interest to guarantee the fulfillment of the right of

sound and healthy environment.

United States' Superfund is an example of funding mechanism which fits

well to this concern because it provides an immediate source of fund, without

leaving polluters pay principle, and equipped with a scale-priority system

assessing degree of necessity for sites in need of environmental remediation. As a

solution of the law making related environmental funding, this mechanism is

suitable and appropriate to be considered and studied further.

To be implemented in Indonesia, there are several challenges in Superfund

mechanism. Substantively, first, legislators have to deal with a lengthy time and

complex law making, requiring deep studies and careful planning on this matter.

Second, the regulation delegated by Environmental Law is mandated in the form

of governmental regulation, and therefore the mechanism will be limited (has to

be in compliance) with the concepts which has been built in the Law. It will affect

the structure, in which implementing bodies of Superfund subject to be formed,

and therefore should be modified as suitable administrative organs in Indonesia.

From the legal culture, corruption and willing of state officials to commit good

governance is questionable.

Considering such challenges, implementing Superfund mechanism in

Indonesia requires certain strategies. First, comparison and modification of basic

elements of Superfund with the concepts in Environmental Law shall be

conducted. As in the Law, the utilization of guarantee fund and response fund

could be regulated further with the model of Superfund, by addition of other

sources such as environmental taxes and the result of governmental claim to the

responsible parties. Other modification suggested is to strengthen or modify the

governmental legal standing, not only as a right, but as a mechanism of

enforcement delegated to certain body. A mean of identification mechanism, such

as US’ National Contingency Plan and National Priority List, also important to be

made. Second, concerning the bodies necessary for the implementation, the most

important are: (1) the body managing Superfund, which responsible to collect the

fund, identify the sites and determine which site to be responded, give order to

respond and remediate, and finally claim the cost to the responsible parties; and

(2) the body responsible to conduct response and remediation action to the sites,

which has technical support and specialization in hazardous matters. Third,

conduct socialization and trainings for bureaucrats to implement good governance

in the realization of Superfund, and also strengthen supervision from Ministry of

Environment in this matter.

As the most practical and visible step to be taken in short term, Author

recommends Ministry of Environment to conduct further study to compare

CERCLA’s Superfund and the funding system in UUPPLH for the establishment

of Governmental Regulation concerning Economical Instruments. Moreover, the

study should be used to adapt and adjust instruments in CERCLA with the

funding of environmental remediation in Indonesia. Finally, this research

recommends Superfund to be adjusted and implemented in Indonesia as the

ultimate solution for funding of environmental remediation caused by hazardous

substances.

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Globalisasi dan kegiatan pembangunan mengandung resiko terjadinya

pencemaran dan kerusakan lingkungan. Berbagai jenis industri melibatkan bahan

berbahaya dan beracun dalam kegiatannya, dan kandungan dalam hasil ekstraksi

sumber daya alam pun memiliki potensi mengandung bahan berbahaya dan

beracun tersebut ketika diambil dari dalam bumi. Ketika bahan berbahaya dan

beracun ini mengakibatkan pencemaran lingkungan, hal tersebut dapat

mengakibatkan dampak buruk terhadap kesehatan, kesejahteraan, bahkan hingga

kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di sekitar situs yang tercemar.

Keadaan ini mengakibatkan terlanggarnya hak masyarakat untuk

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan hak asasi

manusia yang dijamin dalam instrumen hukum internasional maupun nasional.

Pasal 1 Deklarasi Stockholm dan Pasal 28H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

adalah beberapa dari berbagai instrumen hukum yang menganugerahkan setiap

individu hak ini sebagai hak yang asasi. Artinya, dalam hal terjadi pelanggaran

atas hak tersebut, individu memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan yang

efektif. Hingga pemulihan tersebut dilakukan, hak tersebut akan tetap terlanggar.

Berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah menjamin

bahwa setiap orang yang merasa haknya telah terlanggar memiliki hak atas

remedial yang efektif di badan peradilan nasional. Tidak terlepas dari gagasan

remedial ialah pemikian bahwa remedial tersebut menawarkan secara aktual

kepada pemohon sebuah solusi yang praktis dan tepat waktu. Hal inilah yang

seringkali menjadi permasalahan berbagai negara, mengingat proses hukum di

badan peradilan dapat memakan waktu yang sangat lama dan belum tentu pula

pada akhirnya dapat memberikan remedial dalam bentuk dan jumlah yang pantas

bagi orang-orang yang telah terlanggar haknya maupun bagi lingkungan hidup itu

sendiri. Maka itu, walaupun badan peradilan resmilah yang pada akhirnya menjadi

pemutus utama mengenai apakah suatu hak telah terlanggar, banyak negara juga

memiliki prosedur administratif yang mampu menangani permasalahan tersebut

2

secara lebih cepat. Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa pemulihan

terhadap lingkungan hidup yang tercemar memiliki arti penting baik secara

ekologis, yaitu untuk kepentingan lingkungan hidup itu sendiri, maupun secara

antroposentrik yaitu untuk kepentingan manusia.

Gambaran keadaan di atas merupakan isu yang sangat relevan di Indonesia.

Sebagai negara dengan kekayaan alam yang berlimpah serta sumber daya manusia

yang berjumlah besar dengan upah buruh yang relatif murah, Indonesia

merupakan salah satu negara di mana aktivitas industri yang melibatkan B3 cukup

banyak dilakukan. Beberapa aktivitas ekstraksi sumber daya alam telah memiliki

dampak yang nyata terhadap lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar tanpa

mendapatkan remedi yang layak dalam waktu yang pantas. Salah satu contoh

nyata gagalnya penyediaan remedi dalam kasus pencemaran lingkungan dapat

dilihat dalam perkara pencemaran di Minahasa oleh PT. Newmont Minahasa Raya

di mana penyelesaian perkara berlarut-larut.

Oleh karena itu, mekanisme khusus pemulihan lingkungan yang dapat

dilakukan dengan segera sangatlah penting dalam pemenuhan hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat. Undang-undang Lingkungan Hidup

Indonesia sekarang ini memang telah mengenal suatu instrumen ekonomi

lingkungan hidup untuk pendanaan lingkungan, namun belum berlaku secara

efektif. Maka itulah, penelitian ini mencoba melihat mekanisme yang telah ada di

Indonesia dalam hal pemulihan lingkungan secara cepat dan efektif, dan mencari

alternatif solusi pendanaan yang dapat dilakukan untuk menjamin terpenuhinya

hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan meninjau praktik yang

telah dilakukan di negara lain terkait permasalahan yang sama. Dalam hal ini,

Penulis mencoba untuk meninjau mekanisme Superfund dalam CERCLA yang

diterapkan di Amerika Serikat, dan melihat kemungkinan mekanisme ini untuk

diterapkan di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah:

1. Bagaimana mekanisme pendanaan pemulihan lingkungan di Indonesia

dalam memenuhi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat?

3

2. Bagaimana mekanisme Superfund dapat melindungi kepentingan

masyarakat dan lingkungan hidup dalam hal terjadinya pencemaran bahan

berbahaya dan beracun di Indonesia?

Terkait dengan perumusan masalah dalam Penelitian ini, Penulis membatasi

pada penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup tanpa melihat ganti rugi

individual bagi para korban.

1.3. Konstruksi Gagasan / Ide Pokok

Pemulihan lingkungan hidup secara efektif dan segera merupakan salah satu

syarat pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat dalam hal terjadinya

pencemaran lingkungan. Mekanisme pendanaan lingkungan merupakan salah satu

alternatif yang dapat mendukung pemulihan lingkungan hidup dilakukan secara

efektif dan segera. Sayangnya, di Indonesia mekanisme pendanaan lingkungan

seperti ini belum diatur secara jelas.

Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act

(CERCLA) adalah sebuah perundang-undangan Amerika Serikat yang mengatur

mengenai mekanisme penyediaan dana berjumlah besar yang dikenal sebagai

Superfund untuk kebutuhan pengelolaan lingkungan yang tercemar oleh bahan

berbahaya dan beracun. Dana ini berasal dari pajak khusus yang diambil dari

industri-industri berbahaya, yang bersifat "siap pakai" tanpa harus mencari

terlebih dahulu siapa pelaku yang bertanggung jawab atau melalui proses hukum

yang panjang di pengadilan. Selanjutnya, Pemerintah akan meminta penggantian

dana tersebut dari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran

lingkungan tersebut. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang cukup baik

untuk dicontoh oleh negara-negara lain dalam hal penyediaan dana pemulihan

lingkungan. Melihat mekanisme pendanaan lingkungan yang telah ada di

Indonesia dan memadukan mekanisme Superfund ke dalamnya adalah ide pokok

dari penelitian ini.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

4

a. Menggambarkan mekanisme pendanaan pemulihan lingkungan di Indonesia

dan permasalahan-permasalahan pemenuhan lingkungan hidup yang baik

dan sehat bagi masyarakat dengan mekanisme yang telah ada ini.

b. Mencari alternatif solusi untuk menjembatani terpenuhinya hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat dalam hal terjadinya

pencemaran dengan mengaitkan dengan permasalahan yang seringkali

dihadapi.

1.4.2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan tinjauan serta analisis yang komprehensif terkait mekanisme

pendanaan pemulihan lingkungan yang telah ada di Indonesia dalam

kaitannya dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;

b. Memberikan rekomendasi alternatif solusi agar dapat terpenuhinya hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi korban pencemaran lingkungan

dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan di atas.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Argumentatif

2.1.1. Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Sebagai Hak Asasi Manusia

Dalam instrumen internasional, di antaranya hak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat termuat dalam Declaration of the United Nations Conference

on the Human Environment (Deklarasi Stockholm).1 Prinsip 1 pada deklarasi ini

menyatakan: "Manusia memiliki hak fundamental atas [...] kondisi yang layak

untuk hidup, dalam sebuah lingkungan hidup dengan kualitas yang

memungkinkan kehidupan dengan martabat dan kesejahteraan[...]"2 UN General

Assembly menguatkan hubungan antara hak asasi manusia dan perlindungan

lingkungan hidup dalam Resolusi 45/94, menyatakan bahwa setiap individu

berhak untuk hidup dalam lingkungan hidup yang layak untuk kesehatan dan

kesejahteraan mereka.3 Selain itu, dalam bentuk yang tidak secara tegas,

pengakuan atas hak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan

kesejahteraannya termaktub dalam Artikel 25 Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM)4 serta Artikel 11 paragraf (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik,

yang tidak mungkin terwujud tanpa adanya lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam level nasional, Pasal 28H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

menjamin pula hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik

dan sehat.5 Selain itu, Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999

juga menjamin bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat” dalam Pasal 9 ayat (3).6 Lebih jauh lagi, Undang-undang Lingkungan

1 Declaration of the United Nations Conference on the `Human Environment, diadopsi di

Stockholm, 16 Juni 1972 oleh United Nations 2 Prinsip 1 Deklarasi Stockholm 3 UN General Assembly Resolution No: A/RES/45/95, Regarding Need To Ensure A

Healthy Environment For The Well-Being Of Individuals, Plenary C.3, Agenda Item No.93, Meeting Record No. A/45/PV.68, dated 14 December 1990, adopted without vote.

4 United Nations, Universal Decaration of Human Rights, Artikel 25 menyatakan “everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family [...]”

5 Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28H ayat (1) berbunyi "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."

6 Indonesia, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886

6

Hidup No. 32 Tahun 2009 (UU PPLH) dibentuk dengan hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat ini sebagai dasar filosofis.7 Kesemua instrumen hukum

di atas secara jelas mengakui adanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat, khususnya di Indonesia.

2.1.2. Lingkungan Hidup yang Tercemar B3 Memerlukan Pemulihan yang

Segera dan Efektif

Pencemaran lingkungan menimbulkan kerugian dalam bentuk kerugian

ekonomi (economic and social injury) dan sosial serta gangguan sanitair (sanitary

hazard).8 Abdurrahman membagi pencemaran dalam beberapa golongan yaitu:9

(a) Kronis, di mana kerusakan terjadi secara progresif tetapi lambat; (b) Kejutan

atau akut, di mana kerusakan mendadak dan berat, biasanya timbul karena

kecelakaan; (c) Berbahaya, dengan kerugian biologis berat dan dalam hal

melibatkan unsur radioaktif dapat mengakibatkan kerusakan genetis; (d)

Katastrofis, di mana banyak terjadi kematian organisme hidup dan adanya

kemungkinan punahnya organisme tersebut. Pencemaran B3 dapat terjadi pada

keempat golongan pencemaran tersebut.

Sekalipun instrumen-instrumen pencegahan pencemaran harus

diutamakan, namun tidak dapat dipungkiri kemungkinan tetap terjadinya

pencemaran (baik yang dikarenakan kesengajaan ataupun kealpaan) tetap ada.

Pencemaran B3 ini terkadang tidak disadari pula hingga mencapai level tertentu di

mana dampak kimiawi dan kebahayaan bahan tersebut menimbulkan dampak

yang nyata dirasakan oleh masyarakat di sekitar situs yang tercemar. Dalam hal

ini, diperlukan suatu mekanisme penanggulangan dan pemulihan lingkungan yang

bersifat segera dalam hal pencemaran oleh B3. Hal ini mengingat sifat beracun

dan berbahaya pada bahan pencemar, di mana terdapat potensi merusak terhadap

kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki senyawa

tersebut. Karena sifatnya tersebut, maka penanganan terhadap pencemaran yang

7 Indonesia, Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059 8 R.T.M. Sutamihardja, Kualitas dan Pencemaran Lingkungan, (Bogor: Institut Pertanian

Bogor, 1978), hlm. 1 9 Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1986), hlm. 99

7

diakibatkan B3 membutuhkan penanganan yang bersifat segera dengan

mekanisme yang tidak sederhana.

Pemulihan lingkungan (environmental remediation) berfokus pada

pembangunan dan implementasi strategi-strategi untuk membalikkan dampak-

dampak negatif terhadap lingkungan. Aktivitas pemulihan berfokus dalam

penghilangan atau perawatan area yang terkontaminasi, di mana aktivitas restorasi

berfokus pada rehabilitasi ekosistem. Pendekatan interdisipliner penting untuk

suksesnya aktivitas pemulihan atau restorasi. Untuk mengembangkan dan

mengimplementasikan program pengawasan dan pemulihan lingkungan tersebut,

penting untuk mengerti proses fisika, kimia, dan biologi yang terjadi pada situs

tercemar dan mengkarakteristikkan sifat dan batas permasalahan.10 Terkait dengan

hal tersebut, layaknya penanganan, pemulihan yang bersifat segera dalam

pencemaran B3 merupakan suatu hal yang tidak dapat disepelekan untuk

menjamin bahwa suatu situs dapat kembali aman bagi masyarakat yang tinggal di

lokasi tersebut atau sekitarnya.

2.1.3. Pentingnya Peran Pemerintah dalam Pemulihan Lingkungan dengan

Berpegang pada Asas Pencemar Membayar

Salah satu asas dalam UU PPLH ialah “asas tanggung jawab negara”, yang

mensyaratkan bahwa negara harus menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat bagi warga negaranya. Asas ini melandasi keseluruhan pengaturan

lingkungan hidup di Indonesia.11 Dengan demikian, terdapat suatu kewajiban

yang dibebankan oleh hukum kepada negara untuk memenuhi, melindungi, dan

memajukan hak warga negaranya atas lingkungan hidup yang sehat.

Menurut Heringa, untuk mewujudkan hal tersebut negara wajib: (1)

Menerjemahkan prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian dari

perlindungan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan; (2)

Berupaya untuk melindungi hak asasi tersebut dan melakukan upaya-upaya yang

layak untuk melindunginya; (3) Mematuhi hukum yang sudah dibuat oleh negara

itu sendiri dengan cara melaksanakan peraturan perundang-undangan yang

10 Janick F. Artiola, Ian L. Pepper, dan Mark L. Brusseau, (Ed.), Environmental Monitoring

and Characterization, (Burlington: Elsevier Academic Press, 2004), hlm. 3 11 Indonesia, UUPPLH..., Pasal 2 huruf (a) dan penjelasannya.

8

berlaku; (4) Memastikan bahwa kepentingan setiap warga negara untuk

mendapatkan lingkungan hidup yang sehat diperhatikan dan diperlakukan

seimbang dengan kepentingan publik, termasuk di dalamnya memastikan bahwa

setiap warga negara dijamin hak-hak proseduralnya dan mendapat kompensasi

apabila haknya dilanggar; dan (5) Memastikan bahwa pengelolaan lingkungan

hidup dilakukan secara transparan dan bahwa setiap warga negara dapat

berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi hajat

hidupnya.12

Peran pemerintah dalam pemulihan lingkungan harus sejalan pula dengan

prinsip pencemar membayar, yang juga merupakan asas dari UUPPLH.13 Artinya,

penanggung jawab kegiatan usaha atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakah lingkungan hiduplah yang wajib menanggung biaya

pemulihan lingkungan. Dalam hal ini, diperlukan adanya suatu mekanisme peran

pemerintah yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menanggulangi

dan memulihkan pencemaran lingkungan hidup secara cepat, tanpa membebankan

biaya pemulihan tersebut ke dalam pengeluaran negara dan tetap menjunjung asas

pencemar membayar.

2.2. Landasan Konsep

2.2.1. Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.14

2.2.2. Pengertian Pemulihan Lingkungan

Penghilangan pencemar lingkungan hidup atau kontaminan dari media

lingkungan seperti tanah, air tanah, sedimen, atau air permukaan untuk

perlindungan umum kesehatan manusia dan lingkungan hidup; yang dilakukan

12 Aalt Willem Heringa, Human Rights and General Principles and Their Importance as A

Legislative Techniques: Do They Matter in Legislation? An Analysis with Specific Reference to

Environmental Protection, in Environmental Law in Development, Faure et.al., (Ed.), (Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Limited), 2006

13 Indonesia, UUPPLH..., Pasal 2 huruf (j) dan penjelasannya 14 Indonesia, UU Lingkungan Hidup..., pasal 1 ayat (1)

9

dengan berbagai metode kimia, biologis, dan gerakan masal lain yang disertai

dengan pengawasan lingkungan.15

2.2.3. Pengertian Superfund

Superfund merupakan program pemerintah Federal yang didasarkan pada

Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act

(CERCLA), merujuk pada mekanisme pendanaan lingkungan untuk pembersihan

dan pemulihan situs-situs yang terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun.16

2.2.4. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup

yang telah ditetapkan.17

2.2.5. Pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun

Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah

zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan

dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan

hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.18

Suatu bahan dikatakan sebagai berbahaya dan beracun apabila memiliki

sifat yang berpotensi menimbulkan resiko: mudah meledak, pengoksidasi, sangat

mudah sekali menyala, sangat mudah menyala, mudah menyala, amat sangat

beracun, sangat beracun, beracun, berbahaya, korosif, bersifat iritasi, berbahaya

bagi lingkungan, karsinogenik, teratogenik, mutagenik.19

2.2.6. Pengertian Pendanaan Lingkungan

Pendanaan lingkungan hidup adalah adalah suatu sistem dan mekanisme

penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya

15 Frederic P. Miller, Agnes F. Vandome, dan John McBrewster, Environmental

Remediation, (Saarbrucken: VDM Publishing House Ltd., 2010), hlm. 2 16 John A. Hird, Superfund: The Political Economy of Environmental Risk, (Baltimore:

John Hopkins University Press, 1994) 17 Indonesia, UU Lingkungan Hidup..., pasal 1 ayat (14) 18 Ibid., pasal 1 ayat (21) 19 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun,

PP No. 74 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (2)

10

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan

berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya.20

20 Ibid., penjelasan pasal 42 ayat (2) huruf b

11

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif,21 di mana Penelitian diarahkan

pada hukum positif dan tertulis. Dalam Penelitian ini, Penulis menganalisis

pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dari segi pemulihan

lingkungan berdasarkan hukum positif, serta mekanisme pemenuhannya di

Indonesia.

3.2. Tipologi Penelitian

Menurut sifatnya, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian

deskriptif karena memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan maksud terutama untuk mempertegas

hipotesa, memperkuat teori lama, atau untuk menyusun teori baru.22 Menurut

bentuknya, penelitian ini adalah penelitian prespkriptif sedangkan menurut

tujuannya adalah penelitian untuk menemukan solusi atas permasalahan.

3.3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yakni dokumen-dokumen,

buku-buku, laporan, dan sebagainya.23 Data pendukung data sekunder, yaitu

wawancara dengan informan dan narasumber (Indonesian Center for

Environmental Law) juga dilakukan dalam penyusunan penelitian ini.

3.4. Jenis Bahan Hukum

Bahan hukum yang Penulis gunakan terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier.24 Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang

21 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Huukm (Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10. 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 10. 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2010), hal. 12. 24 Ibid., hlm. 32.

12

mengikat25, dan dalam Penelitian ini di antaranya meliputi Undang-undang

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan berbagai konvensi serta peraturan perundang-

undangan lain yang terkait. Adapun bahan hukum sekunder ialah bahan hukum

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang dipergunakan,

dan dalam hal ini meliputi berbagai literatur seperti buku, artikel, media massa,

makalah serta jurnal ilmiah yang terkait dengan masalah yang tengah dibahas.

Sedangkan bahan hukum tersier dalam Penelitian ini meliputi kamus dan

ensiklopedia yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder.

3.5. Alat Pengumpul Data

Penelitian ini dilakukan dengan studi dokumen atau bahan pustaka untuk

membantu menganalisis permasalahan yang dibahas. Selain itu, dilakukan pula

wawancara terhadap narasumber.

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan pendekatan kualitatif, mengingat penelitian ini mencoba

untuk membangun atau menghasilkan sebuah teori dari bawah (induktif. Pada

penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, biasanya penyajian data

dilakukan sekaligus dengan analisanya.26 Peneliti mengumpulkan data/informasi,

kemudian mengklasifikasi data berdasarkan kategori-kategori dalam upaya

menemukan pola atas realitas/gejala yang terjadi.27

3.7. Bentuk Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan keluaran berupa Laporan Penelitian dalam

5 (lima) bab yang berbentuk pemaparan deskriptif-analitis.

25 Soekanto dan Mamudji, Penelitian Hukum …, hlm. 52. 26 Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ... hlm. 69. 27 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, (Sage

Publication. Inc.: 1994), hlm. 5.

13

BAB 4

ANALISIS

4.1. Instrumen Ekonomi Pendanaan Lingkungan untuk Pemulihan

Lingkungan di Indonesia

4.1.1. Mekanisme Pemulihan Lingkungan yang ada di Indonesia

Dalam UUPPLH, pertanggungjawaban ‘pemulihan fungsi lingkungan

hidup’ dibebankan kepada pihak yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup sesuai dengan asas pencemar membayar.28 Pemulihan fungsi ini

dilakukan dengan tahapan: (a) penghentian sumber pencemaran dan

pembersihan unsur pencemar; (b) remediasi; (c) rehabilitasi; (d) restorasi;

dan/atau (e) cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.29

Remediasi adalah upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup

untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup.30 Rehabilitasi adalah pemulihan

untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan hidup termasuk

upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan

memperbaiki ekosistem.31 Sementara, restorasi adalah upaya pemulihan untuk

menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali

sebagaimana semula.32

Detail mengenai pemulihan lingkungan hidup ini didelegasikan oleh

UUPPLH kepada Peraturan Pemerintah yang secara khusus mengatur pemulihan

lingkungan. Namun, hingga kini, Peraturan Pemerintah tersebut belum ada

sehingga norma dalam UUPPLH mengenai pemulihan lingkungan hidup belum

dapat dilakukan. Sebuah poin penting mengenai siapa atau badan apa yang

ditunjuk untuk melakukan mekanisme ini pun belum jelas, begitu pula dengan

keterkaitan pasal ini dengan pasal-pasal berikutnya.

Selain itu, suatu inovasi baru yang diberikan UUPPLH terkait pemulihan

lingkungan ialah adanya instrumen dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan

28 Indonesia, UUPPLH..., Pasal 54 ayat (1) 29 Ibid., Pasal 54 ayat (2) 30 Ibid., Penjelasan Pasal 54 ayat (2) huruf b 31 Ibid., Penjelasan Pasal 54 ayat (2) huruf c 32 Ibid., Penjelasan Pasal 54 ayat (2) huruf d

14

hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 55. Dana ini wajib disediakan oleh setiap

pemegang izin lingkungan hidup yang akan digunakan untuk pemulihan fungsi

lingkungan hidup. Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang

ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan

fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. Ketentuan

lebih lanjut mengenai pengelolaan dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan

ini didelegasikan pula oleh UUPPLH ke dalam sebuah Peraturan Pemerintah,

yang hingga saat ini juga belum ada.33

Pemaksaan pertanggungjawaban pemulihan lingkungan hidup oleh

aparatur negara diakui pula dalam UUPPLH, yaitu secara limitatif oleh Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota terhadap penanggungjawab usaha dan/atau

kegiatan yang mencemari.34 Aparatur tersebut dapat pula menunjuk pihak ketiga

untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung

jawab usaha dan/atau kegiatan.35

Alternatif mekanisme pemulihan lingkungan hidup lain yang ada dalam

UUPPLH adalah penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan.

Pemulihan lingkungan, bersama-sama dengan ganti kerugian, diwajibkan untuk

diberikan oleh setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang

mencemari.36 Dalam hal ini, pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dilihat

sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain

atau lingkungan hidup. Terkait PMH yang berhubungan dengan pencemaran B3,

maka dianut prinsip strict liability bagi setiap orang yang “tindakannya,

usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau

mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap

lingkungan hidup”.37 Artinya, pembuktian unsur kesalahan tidak diperlukan

untuk membuktikan adanya PMH.

33 Ibid., Pasal 55 ayat (1) sampai dengan (4) 34 Ibid., Pasal 82 ayat (1) 35 Ibid., Pasal 82 ayat (2) 36 Ibid., Pasal 87 ayat (1) 37 Ibid., Pasal 88

15

Selain itu, dalam mekanisme pemulihan lingkungan di Indonesia dikenal

pula hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah, di mana instansi pemerintah

dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup

berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap

usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.38 Meskipun

hal ini secara praktis telah dapat dan pernah dilakukan, Peraturan Menteri yang

seharusnya mengatur mengenai hal ini belum dikeluarkan pula hingga kini.

4.1.2. Instrumen Ekonomi Pendanaan Lingkungan untuk Pemulihan

Lingkungan dalam UUPPLH

Suatu hal baru yang dapat ditemukan dalam UUPPLH adalah Instrumen

Ekonomi Lingkungan Hidup, yang wajib dikembangkan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup.39 Salah

satu dari instrumen ekonomi ini mencakup pendanaan lingkungan hidup.40

Konsepsi pendanaan lingkungan dalam UUPPLH dirumuskan sebagai berikut,

“Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan” adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya.”41

Pendanaan lingkungan hidup dalam UUPPLH meliputi tiga jenis dana, yaitu: (a)

dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; (b) dana penanggulangan

pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan (c) dana

amanah/bantuan untuk konservasi.42

Penjelasan lebih lanjut yang terdapat dalam UUPPLH sebatas mengenai

konsepsi dasar dari ketiga dana ini. Dalam hal ini, yang berhubungan erat dengan

pemulihan lingkungan hidup karena pencemaran B3 adalah dana jaminan

pemulihan lingkungan hidup dan dana penanggulangan. Dana jaminan

pemulihan lingkungan hidup didefinisikan sebagai dana yang disiapkan oleh suatu

38 Ibid., Pasal 90 ayat (1) 39 Ibid., Pasal 42 ayat (1) 40 Ibid., Pasal 42 ayat (2) huruf b 41 Ibid., Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf b 42 Ibid., Pasal 43 ayat (2)

16

usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang

rusak karena kegiatannya.43 Sedangkan dana penanggulangan adalah dana yang

digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.44

Apabila dibagi berdasarkan penerapannya, instrumen-instrumen dalam

pasal 42 dapat dikelompokkan sebagai berikut:45

Sudah Diterapkan Belum Diterapkan

Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup

Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup Pengembangan sistem pembayaran jasa

lingkungan hidup

Pengembangan asuransi lingkungan hidup

Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup

Label ramah lingkungan Perdagangan ijin pembuangan limbah dan/atau emisi Penghargaan kinerja di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Sayang sekali dari instrumen-instrumen tersebut, tidak tampak dana yang

mencerminkan mekanisme dana jaminan pemulihan lingkungan hidup dan dana

penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan

hidup. Mekanisme pendanaan yang telah diterapkan dan paling dekat

mencerminkan pendanaan pemulihan lingkungan hidup ialah asuransi lingkungan

hidup.46 Meskipun masih dalam pengembangan, mekanisme asuransi lingkungan

hidup ini merupakan kesempatan sebagai suatu supporting system yang baik bagi

pendanaan untuk pemulihan lingkungan hidup, di mana pihak pencemar akan

lebih mudah untuk memanajemen resiko pencemaran yang ditimbulkan dari

kegiatannya. Namun bagaimanapun, sebuah sistem pendanaan yang jelas dengan

badan pelaksana yang jelas bagi pemulihan lingkungan hidup merupakan suatu

43 Ibid., Penjelasan Pasal 43 ayat (2) huruf a. 44 Ibid., Penjelasan Pasal 43 ayat (2) huruf b. 45 Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan

Peningkatan Kapasitas, Naskah Akademis Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen

Ekonomi, Draft 2, tanggal 4 Oktober 2010 46 Secara teoretis, jenis asuransi lingkungan hidup yang dikenal adalah sbb: (1) Professional

Liability Insurance; (2) Public Liability Insurance; (3) Product Liability Insurance; (4) Personal Liability Insurance; (5) Employer LIability Insurance; (6) Comprehensive General Liability Insurance. Partanto dan Sahata Lumbantobing, 'Asuransi Lingkungan Hidup Sebagai Produk Baru dalam Kegiatan Perasuransian di Indonesia', Jurnal Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia, Thn. I, No. 2, (1997), hlm. 7

17

kebutuhan yang tidak dapat diakomodasi semata-mata dengan asuransi

lingkungan hidup tersebut.

4.1.3. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi dan

Instrumen Hukum Terkait

Instrumen ekonomi dalam RPP ini terdiri dari empat bagian utama, yaitu

(1) Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (2) Produk Domestik

Bruto Hijau dan Produk Domestik Regional Bruto Hijau; (3) Kompensasi Imbal

Jasa Lingkungan; dan (4) Internalisasi Biaya Lingkungan.47

Terlaksananya instrumen ekonomi dalam RPP ini tidak terlepas pula dari

Peraturan Pemerintah yang mencakup Pemulihan Lingkungan sebagai turunan

dari UUPPLH, yang sayangnya belum ada. Selain itu, Indonesian Center of

Environmental Law menyatakan bahwa instrumen ekonomi yang dicanangkan

dalam RPP tersebut dinyatakan terlalu teoritis dan tidak implementatif.48 Dalam

kapasitasnya sebagai informan, Rhino menerangkan diskusinya dengan beberapa

aktivis lingkungan hidup, yang menyatakan bahwa Draft kedua RPP tersebut

masih perlu banyak penyempurnaan.

Sebuah poin penting mengenai instrumen ekonomi dalam RPP tersebut

ialah belum terjawabnya kebutuhan akan pendanaan lingkungan untuk pemulihan

pencemaran lingkungan yang bersifat segera. Dinyatakan oleh Rhino, bahwa

instrumen ekonomi yang diuraikan dalam RPP tersebut barulah instrumen

ekonomi yang bersifat voluntary conduct, sementara pendanaan pemulihan

lingkungan merupakan hal yang berbeda karena membutuhkan pemecahan yang

segera. Pendanaan pemulihan lingkungan sendiri merupakan suatu hal yang

penting dan telah terakomodasi di UUPPLH, namun belum ada pengaturan

implementasinya. Pembahasan mengenai RPP ini sendiri masih dilakukan hingga

sekarang, sementara mengenai RPP Pemulihan Lingkungan sendiri ICEL tidak

dilibatkan dalam pembahasannya.

47 Kementerian Lingkungan Hidup, Naskah Akademis... 48 Wawancara dilakukan dengan Rhino Subagio, Advance Researcher dari Indonesian

Center for Environmental Law (ICEL), sebuah Non-Provit Organization yang bergerak di bidang analisis kebijakan lingkungan hidup. Wawancara dilakukan pada hari Jum’at, 30 Maret 2012 di Kantor ICEL, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Transkrip wawancara pada Lampiran I

18

4.2. Gagalnya Mekanisme Pemulihan Lingkungan di Indonesia dalam

Memenuhi Hak atas Lingkungan Hidup yang Sehat (Studi Kasus

Teluk Buyat)

Pada 2004, dunia ramai membicarakan tentang pencemaran di Teluk

Buyat, Minahasa. Peristiwa itu dimulai dengan matinya ribuan ikan di Teluk

Buyat secara tiba-tiba, yang diikuti dengan kemunculan penyakit di kulit, pusing,

kejang, dan lumpuh pada warga Buyat Pante.49 Kejadian ini menarik perhatian

para aktivis lingkungan hidup, yang kemudian membawa pada dalil bahwa

penyebab penyakit-penyakit tersebut adalah pencemaran dari limbah merkuri dan

arsen yang dibuang oleh PT Newmont Minahasa Raya.

Penelitian Tim Terpadu50 mengenai kasus ini menunjukkan bahwa

pencemaran merkuri dan arsen yang diakibatkan oleh limbah B3 dari tambang

Newmont memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan hidup dan

masyarakat sekitar. Dampak negatif yang terekam oleh Tim Terpadu antara lain

adalah menurunnya keanekaragaman hayati kehidupan laut di Teluk Buyat,

terjadinya penumpukan merkuri dalam makhluk hidup di dasar laut Teluk Buyat,

adanya resiko kontaminasi arsen dan merkuri dalam ikan terhadap penduduk yang

memakannya, lewatnya nilai Hazard Index (ancaman terhadap kesehatan

manusia) di Teluk Buyat dari batas toleransi, terlampauinya Baku Mutu Menkes

mengenai kadar arsen dalam air minum, serta tingginya kadar logam berat dalam

udara di Dusun Buyat Pante.51 Hal ini membawa akibat buruk juga bagi kesehatan

masyarakat sekitar, di mana dari 100 orang yang diperiksa kesehatannya pada

bulan Juni 2004, sebanyak 94 orang melaporkan mengalami gangguan

kesehatan.52

Perkara ini dituntut secara pidana maupun digugat perdata. Tuntutan

pidana diajukan di Pengadilan Negeri Manado pada Juli 2005. JPU menuntut agar

PT Newmont dipidana denda Rp 1 miliar, sedangkan Presdir NMR, Richard Ness

49 Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), Oh Buyat, Riwayatmu Kini,

(Rabu, 14 Januari 2009), Sumber: http://www.siej.or.id/?w=article&nid=23 50 Tim Terpadu merupakan tim yang dibentuk oleh Pemerintah, berdasarkan Surat

Keputusan Menteri LH No. 97 tahun 2004, yang terdiri dari 14 institusi, di antaranya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Kelautan dan Perikanan, JATAM, WALHI, ICEL, dan Mabes Polri.

51 JATAM, et.al., Siti Maimunah (Ed.), Teluk Buyat Tercemar dan Berisiko Bagi

Masyarakat: Lembar Fakta Kasus Buyat, (2004), hlm. 24-29 52 Ibid., hlm. 9

19

dituntut pidana tiga tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider enam bulan.53 Pada

April 2007, PT NMR dibebas-murnikan dari seluruh dakwaan dan tuntutan

pencemaran dan/perusakan lingkungan di Teluk Buyat dalam persidangan kasus

pidana yang berlangsung selama 21 bulan.54 Kasus ini kemudian terhenti di

Mahkamah Agung ketika jaksa penuntut umum melakukan kasasi atas putusan

Pengadilan Negeri Manado, tanpa adanya kepastian hukum.

Sementara itu, gugatan perdata terhadap PT. NMR dilakukan oleh WALHI

dan berbagai LSM yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup dengan gugatan

legal standing, memintakan ganti kerugian materiil sebesar US$ 117.680.000

yang meliputi reklamasi pantai, perikanan pantai, penimbunan lahan bekas

tambang, kerugian non-perikanan, kontaminasi air tanah, ekosistem pantai,

keanekaragaman hayati, dan community development.55 Pada 18 Desember 2007,

PN Jakarta Selatan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa WALHI

(Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) tidak dapat membuktikan tuduhan

pencemaran lingkungan dan pelanggaran peraturan yang diajukannya terhadap PT

Newmont Minahasa Raya (PT NMR), dan dengan demikian menolak seluruh

tuntutan terhadap para terdakwa.56 Gugatan perdata oleh Pemerintah Republik

Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup pun hanya berujung pada

perdamaian dengan kesediaan PT. Newmont Minahasa Raya membayar dana

tambahan community development sebesar US$ 30 juta pada 2006.57 Dana inipun

pada akhirnya malah dinyatakan sebagai ‘dana bantuan’, bukannya sebagai dana

pertanggungjawaban Newmont atas pencemaran yang dilakukan. Bahkan

dinyatakan oleh Presiden Direktur Newmont, bahwa dana ini tidak ada kaitannya

dengan persidangan kasus Teluk Buyat di PN Manado. Dana ini pun dialokasikan

53 Antara News, Kejaksaan Akan Kasasi Putusan Bebas atas Newmont, Sumber:

http://www.antaranews.com/print/1177417403/kejaksaan-akan-kasasi-putusan-bebas-atas-newmont

54 Newmont, Pengadilan Menolak Seluruh Tuduhan yang Diajukan WALHI, (18 Desember 2007) Sumber: http://www.newmont.co.id/ID/media_center_detail.cfm?id=40&type=1&lang=id

55 Kementerian Lingkungan Hidup RI, Tindak Lanjut Penanganan Kasus Pencemaran PT.

Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat, Sumber: http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=1303:Tindak-lanjut-Penanganan-kasus-Pencemaran-PT.-Newmont-Minahasa-Raya-di-Teluk-Buyat&catid=43:berita&Itemid=73&lang=en

56 Newmont, Pengadilan Menolak... 57 YPB Kepemimpinan Pembangunan Terpadu, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di

Indonesia Memprihatinkan, http://www.forplid.net/artikel/57-penegakan-hukum-lingkungan-hidup-di-indonesia-memprihatinkan.html

20

melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Masyarakat, sehingga tidak mengena

secara langsung dengan pemulihan lingkungan. Penyaluran dalam bentuk

'goodwill agreement' menyoroti program-program perluasan baru pengembangan

masyarakat, pemantauan (panel) ilmiah selama sepuluh tahun, serta jaminan

jangka panjang terhadap lingkungan sehat dan aman.58

Dari kasus ini, dapat dikritisi hal-hal sebagai berikut: (1) Lemahnya

kedudukan pemerintah dalam menuntut klaim kompensasi pemulihan lingkungan

dari pihak pencemar; (2) Proses yang lama, berlarut-larut, dan gagal memberikan

kompensasi pemulihan lingkungan yang bersifat segera dan dalam jumlah yang

pantas, sehingga hak masyarakat sekitar atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat telah terlanggar; (3) Pendanaan pemulihan lingkungan pada akhirnya tidak

berdasarkan prinsip pencemar membayar, melainkan dari alokasi dana

‘community development’ yang diberikan Newmont ‘tanpa ada hubungan dengan

perkara yang bersangkutan’; (4) Masih buruknya peradilan lingkungan di

Indonesia, sehingga fakta materiil mengenai Teluk Buyat hingga kini pun masih

dipenuhi kontroversi. Sebagai konsekuensi, pemulihan lingkungan hidup pun

tidak dilakukan secara ideal karena pencemarannya sendiri pun tidak terbukti

dalam peradilan. Sementara, penyakit yang diderita masyarakat adalah sesuatu

yang nyata, yang menimbulkan ketakutan dan pertanyaan berkepanjangan

mengenai aman atau tidaknya lingkungan hidup di mana mereka tinggal.59

Hal-hal di atas menegaskan kembali kebutuhan Indonesia akan adanya

suatu mekanisme pendanaan lingkungan yang bersifat siap pakai untuk pemulihan

lingkungan dalam hal terjadi pencemaran B3. Dalam hal ini, maka Penulis

mencoba untuk melihat pada praktek negara lain dalam pendanaan pemulihan

lingkungan hidup yang tercemar, yang bersifat segera untuk penanganan limbah

B3, yaitu mekanisme Superfund yang ada di Amerika Serikat.

4.3. Konsep Pendanaan Lingkungan di Amerika Serikat: Superfund atau

Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability

Act (CERCLA) di Amerika Serikat

58 Antara News, Bantuan Rp 300 Miliar dari PT NMR Sebaiknya Diorientasikan untuk

Pemulihan Lingkungan, Sumber: http://www.antaranews.com/print/1140773195 59 SIEJ, Oh Buyat...

21

4.3.1. Latar Belakang Pembuatan CERCLA

Pembuatan CERCLA dilatarbelakangi peristiwa pencemaran Love Canal,

salah satu kecelakaan lingkungan hidup yang paling populer di Amerika Serikat

yang terjadi pada musim panas 1977. Pada saat itu, negara bagian New York

mengumandangkan keadaan darurat terkait kesehatan dan mengevakuasi sekitar

200 keluarga dari tempat tinggalnya di wilayah Love Canal, sebuah tempat

pembuangan B3 di dekat air terjun Niagara, New York. Para penduduk

menemukan bahan kimia merembes dari tanah hingga ke lantai dasar rumah

mereka, dan efek kesehatan dalam berbagai bentuk didalilkan dan ditakuti.60

Pada 1980, pemerintah AS menggugat 134 juta USD melawan perusahaan

yang diperkirakan membuang puluhan ribu ton B3 di Love Canal pada tahun

1940an dan 1950an, sebelum mengabaikan situs tersebut. Kasus ini menjadi

katalis bagi Kongres untuk secara serius mempertimbangkan legislasi terkait

pembersihan dan pemulihan lingkungan. Pada akhir tahun 1980, Kongres

mengesahkan CERCLA, yang kemudian disempurnakan dengan Superfund

Amendments and Reauthorization Act (SARA) pada 1986.61

4.3.2. Konsep Pendanaan dalam CERCLA

CERCLA memiliki empat elemen dasar. Pertama, pembentukan sebuah

sistem pengumpulan informasi dan analisis untuk memungkinkan pemerintah

untuk mengkarakteristikkan situs-situs pembuangan B3 dan mengembangkan

prioritas untuk tindakan respon. Kedua, membentuk autoritas pemerintah untuk

merespon keadaan darurat terkait B3 dan membersihkan situs yang tercemar.

Ketiga, adanya sebuah badan pendanaan khusus untuk melakukan tindakan

pembersihan dan pemulihan lingkungan yang tercemar. Keempat,

pertanggungjawaban hukum atas ongkos pembersihan dan pemulihan lingkungan

oleh pihak pencemar.62

60 Carole Stern Switzer dan Lynn A. Bulan, CERCLA: Comprehensive Environmental

Response, Compensation, and Liability Act (Superfund), (New York: Section of Environment, Energy, and Resources Book Publications Committee, 2002), hlm. 3

61 Ibid., hlm. 4 62 Roger W. Findley dan Daniel A. Farber, Environmental Law in a Nutshell, Third Edition,

(St. Paul: West Publishing Co., 1992), hlm. 240-243

22

CERCLA diperkuat oleh SARA yang mengatur pengumpulan dana

melalui pajak khusus untuk menjamin terlaksananya pembersihan lingkungan.

Sumber dana CERCLA berasal dari tiga sumber utama, yaitu dana yang

dikembalikan dari pihak yang bertanggung jawab, pajak khusus atas kegiatan

minyak dan bahan kimia, serta pendapatan umum.63 CERCLA berpandangan

bahwa pembersihan akan didanai oleh pihak yang bertanggung jawab secara luas,

yang meliputi penghasil dan pengangkut limbah berbahaya, pemilik, dan operator

wilayah. Individual, perusahaan kecil dan perusahaan besar, Bank, badan

pemerintah pusat dan negara bagian, serta pemerintah lokal dapat diidentifikasi

sebagai pihak yang potensial bertanggung jawab atau disebut sebagai Potentially

Responsible Parties (PRPs).64

4.3.3. Mekanisme Superfund dan Instrumen-instrumen Terkait

CERCLA memiliki empat karakteristik utama, yaitu (1) Adanya penerapan

prinsip pencemar membayar (polluter pays principle); (2) Pertanggung jawaban

tanggung renteng oleh para pencemar (joint and several liability), sehingga EPA

dapat memintakan pemisahan pertanggungjawaban atau dapat pula satu dari PRPs

bertanggungjawab untuks eluruh biaya pembersihan lokasi, terlepas dari berapa

banyak pihak lain yang terlibat; (3) Pertanggungjawaban retroaktif, sehingga EPA

dapat meminta PRPs untuk membayar pemulihan lokasi sebelum 1980 dan

sebelum CERCLA berlaku; dan (4) Menganut strict liability, sehingga unsur

kesalahan tidak perlu dibuktikan.

Berdasarkan CERCLA, dibentuklah sebuah badan khusus bernama

Environmental Protection Agency (EPA) yang berwenang untuk

mengimplementasikan undang-undang tersebut di seluruh teritorial Amerika

Serikat. Kewenangan EPA meliputi identifikasi situs, pengawasan, dan aktivitas

respon. Dengan CERCLA, maka EPA mempunyai kewenangan untuk

bertindak terutama bila berkaitan dengan pengaruh limbah B3 terhadap

kesehatan manusia dan lingkungan, misalnya karena terjadinya kebocoran,

63 Roderick G. Eggert, “Mining and the Environment: An Introduction and Overview”,

Mining and Environment, International Perspective on Public Policy, 1994, hlm. 10 64 Ibid.

23

ledakan, kontaminasi terhadap rantai makanan atau pencemaran terhadap sumber-

sumber air minum.65

Terdapat dua jenis tindakan dari EPA, yaitu : a) Penyingkiran atau

pengangkutan kembali (removal) substansi berbahaya dan pembersihan segera

bagian-bagian lahan, atau kegiatan-kegiatan stabilisasi sementara lainnya,

sampai pemecahan final yang permanen diterapkan pada lahan tersebut; kegiatan

ini bersifat program jangka pendek; dan b) Kegiatan yang bersifat pemulihan

(remedial), yang merupakan pemecahan yang permanen dari masalah yang

timbul. Dalam kegiatan yang bersifat jangka panjang ini, termasuk pula

penentuan kontribusi penanggung jawab atas masalah ini, serta proporsi

beban dana yang dipikulkan pada masing-masing pelaku.66 Tindakan pemulihan

ini hanya dapat dilakukan apabila situs terdaftar dalam National Priority List

(NPL).

Environmental Protection Agency (EPA) membersihkan suatu situs yang

tercemar ketika pihak yang potensial bertanggung jawab tidak dapat diidentifikasi

atau gagal untuk bertindak.67 EPA membentuk suatu daftar situs tercemar yang

menjadi acuan prioritas tindakan respon, yang disebut sebagai National Priority

List (NPL). NPL adalah daftar situs-situs pembuangan bahan beracun dan

berbahaya di Amerika Serikat yang memenuhi syarat untuk tindakan remedial

jangka panjang yang dibiayai oleh pemerintah negara bagian dengan program

Superfund. EPA memiliki regulasi yang mengatur proses formil untuk meninjau

situs-situs pembuangan B3 dan menempatkannya di NPL. Pada dasarnya NPL

bertujuan untuk memandu EPA dalam menentukan situs mana yang memerlukan

investigasi lebih jauh.68

Setelah tindakan respons selesai dilakukan, EPA mengejar kembali biaya

pemulihan dari pihak yang bertanggung jawab, yang dikenal sebagai mekanisme

Government Recovery Action, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa

65 Enri Damanhuri, Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), (Bandung: FTSL

ITB, 2009), hlm. 33. 66 Travis Wagner, Hazardous Waste Identification And Classification Manual, (New York:

Van Nostrand Reinhold, 1990), hlm. 183 67 Environmental Protection Agency, Summary of the Comprehensive Environmental

Response, Compensation, and Liability Act (Superfund), Sumber: http://www.epa.gov/lawsregs/laws/cercla.html

68 The Encyclopedia of Earth (Washington, DC: National Council for Science and the Environment) http://www.eoearth.org/article/National_Priorities_List

24

Agung (Attorney General) untuk menuntut injunctive relief ketika bahan buangan

tersebut mengandung “bahaya yang dekat dan substansial” terhadap kesehatan

atau kesejahteraan publik atau lingkungan hidup. Secara alternatif, Presiden dapat

mengeluarkan keputusan administratif yang memerintahkan pihak yang

bertanggungjawab untuk melakukan tindakan perlindungan.69

Penghasil dan pengangkut B3, serta pemilik dan operator pembuangan

atau fasilitas pengerjaan yang menerima bahan tersebut, harus bertanggung jawab

untuk: (a) Seluruh biaya atas tindakan pembersihan yang dikeluarkan oleh

pemerintah yang tidak bertentangan dengan NCP (National Contingency Plan)70;

(b) Biaya tanggapan lainnya yang dianggap penting yang dikeluarkan oleh pihak

lain selaras dengan NCP’ dan (c) kerusakan terhadap “sumber daya alam” yang

dihasilkan dari dilepasnya B3 tersebut.71 Yurisprudensi pengadilan telah

menyatakan bahwa ‘Section 107’ mengenai pertanggungjawaban di atas

menerapkan strict liability, tidak memerlukan unsur kesalahan. Section 107 (b)

mengandung pengecualian untuk bahan buangan yang disebabkan semata-mata

oleh keadaan kahar (acts of God) atau omisi yang dilakukan oleh “pihak ketiga”

tertentu. Pertanggungjawaban ini pada umumnya tanggung renteng (joint and

several liability) di antara penghasil, pengangkut, pemilik dan operator, walaupun

Section 107 tidak secara tertulis menyatakan hal tersebut.72

Berdasarkan Section 107 (f), pertanggungjawaban CERCLA untuk

kerusakan sumber daya alam dihutangkan terhadap pemerintah Amerika Serikat,

atau negara federal, dan suku Indian dalam situasi tertentu. Untuk sumber daya

alam, upaya pemulihan bagi entitas privat tidak diizinkan. Kewenangan perbaikan

ada pada Presiden, atau “perwakilan resmi dari Negara Bagian” yang “bertindak

untuk dan atas nama publik sebagai trustee dari sumber daya alam tersebut”.

69 Amerika Serikat, Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability

Act (CERCLA), 42 U.S.C. §9601 et seq. (1980), sebagaimana diubah oleh Superfund Amendments

and Reauthorization Act (SARA), 17 Oktober 1986, Section 106 70 National Oil and Hazardous Substances Pollution Contingency Plan, atau lebih dikenal

sebagai National Contingency Plan (NCP), merupakan rancangan dari pemerintah federal Amerika Serikat untuk merespon tumpahan minyak dan buangan B3. NCP mendokumentasikan kemampuan respon nasional dan bertujuan untuk meningkatkan koordinasi secara keseluruhan di antara hierarki perespon dan kemungkinan rencana. U.S. Environmental Protection Agency, National Oil and Hazardous Substances Pollution Contingency Plan Overview, Sumber: http://www.epa.gov/osweroe1/content/lawsregs/ncpover.htm

71 Amerika Serikat, Comprehensive Environmental..., Section 107 72 Findley dan Farber, Environmental Law..., hlm. 242-243.

25

Jumlah yang diberikan harus digunakan oleh trustee “hanya untuk penggunaan

pemulihan, penggantian, atau pengambilan sejumlah ekuivalen” dari sumber daya

alam yang tercemar atau hilang. Sumber daya alam sendiri didefinisikan dalam

Section 101 (16) sebagai “tanah, ikan, binatang-binatang liar, biota, udara, air, air

tanah, sumber air minum, dan sumber-sumber lainnya yang dimiliki oleh, diatur

oleh, diolah secara kepercayaan oleh, digolongkan kepada, atau dikontrol oleh

negara Amerika Serikat (termasuk pula sumber daya dari zona konservasi

penangkapan ikan), negara bagian tertentu atau pemerintah lokal, negara asing

tertentu, suku bangsa Indian, atau jika sumber daya tersebut tunduk kepada

pembatasan trust atau pengasingan, bagi anggota tertentu dari suku Indian.73

Dalam implementasi CERCLA, kebijakan dasar yang diterapkan ialah

untuk mencapai pembersihan oleh pihak privat, baik secara sukarela maupun

melalui paksaan, jika dimungkinkan. Tindakan respon yang dibiayai dari

Superfund hanya diambil ketika pemerintah memutuskan tindakan tersebut tepat

untuk diambil.74

CERCLA juga memiliki mekanisme alternatif penyelesaian sengketa

dalam Section 122 (a), yang menyatakan bahwa apabila dapat dilakukan dan

sesuai dengan kepentingan publik, perjanjian penyelesaian sengketa harus

dilakukan dalam rangka mempercepat tindakan perbaikan yang efektif pada situs-

situs Superfund dan untuk meminimalisir litigasi. Section 122 (e) mencakup

sebuah elemen prosedural baru yang dirancang untuk memfasilitasi perjanjian di

antara para pencemar potensial. Para pencemar yang telah membayar tanggung

jawabnya dalam perjanjian administratif ataupun yudisial tidak perlu bertanggung

jawab lagi untuk hal-hal yang telah dipertanggungjawabkan dalam perjanjian.75

4.3. Kemungkinan Penerapan Superfund di Indonesia

4.3.1. Hambatan dan Tantangan Penerapan Superfund di Indonesia

Tantangan dan hambatan apabila mekanisme Superfund ini diterapkan

dapat dianalisis berdasarkan teori efektivitas hukum Lawrence Friedmann, yaitu

73 Ibid., hlm. 258. 74 Ibid. 75 Amerika Serikat, Comprehensive Environmental..., Section 113 (f)

26

dari segi substansi, struktur, dan budaya hukum.76 Dari segi substantif, tantangan

pertama dari implementasi Superfund di Indonesia adalah diperlukannya

pembuatan peraturan pelaksana yang mengatur secara detail dan selaras dengan

aturan lainnya mengenai permasalahan ini. Dalam Draft ke-2 Naskah Akademis

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi77 diuraikan

beberapa permasalahan yang dihadapi aspek pendanaan lingkungan hidup di

Indonesia, yang di antaranya ialah: (1) Terbatasnya pengaturan baku untuk

menjamin tersedianya dana jaminan pemulihan lingkungan bagi kegiatan usaha

yang berpotensi mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup; (2)

Belum tersedianya pengaturan mengenai ketersediaan dana penanggulangan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dapat digunakan atau

disalurkan sesuai dengan prinsip user/polluter pays principle; dan (3) Belum

adanya pengaturan mengenai pendanaan lingkungan untuk membiayai

penanganan kejadian yang bersifat segera (emergency) dan tidak dapat diprediksi

(unpredictable). RPP Instrumen Ekonomi mencoba untuk mengerucutkan

instrumen-instrumennya untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas.

Namun sayangnya, meskipun permasalahan-permasalahan tersebut sangat relevan

dengan masalah pendanaan lingkungan hidup untuk pemulihan lingkungan yang

bersifat segera, hingga Draft ke-2 Naskah Akademis mengenai RPP ini diturunkan

instrumen terkait kebutuhan tersebut belum terjawab di dalamnya. Dibutuhkan

studi yang mendalam untuk melihat dan menyesuaikan substansi dari mekanisme

Superfund di Amerika Serikat agar dapat diterapkan di Indonesia.

Konsekuensinya, waktu yang dibutuhkan tidaklah sedikit, karena patut diakui pula

bahwa proses pembahasan suatu perundang-undangan dapat memakan waktu

yang lama dengan tarik menarik kepentingan di Indonesia. Tantangan kedua

adalah menerjemahkan seluruh peraturan mengenai Superfund dalam perundang-

undangan setingkat PP, karena delegasi yang diberikan dalam UUPPLH mengenai

pendanaan lingkungan dan pemulihan lingkungan adalah kepada PP. CERCLA

76 Lawrence W. Friedman, American Law: An Invaluable Guide To The Many Faces of the

Law, And How It Affects Our Daily Lives, (New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 1-8. dan pada “Legal Culture and Social Development”,Stanford Law Review, (New York, 1987), hlm. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History, (New York: Modern Library Chronicles Book, 2002), hlm. 4-7

77 Kementerian Lingkungan Hidup, Naskah Akademis..., hlm. 24

27

sendiri merupakan Undang-undang yang memberikan kewenangan kepada badan-

badan khusus, dan bahkan dengan SARA mengamanatkan adanya pajak khusus

untuk industri petroleum dan kimia.

Dari segi struktur hukum, maka tantangan yang dihadapi dalam penerapan

Superfund adalah adanya badan-badan tertentu yang harus didirikan dalam rangka

menegakkan mekanisme ini, yang mana di Amerika Serikat dilakukan oleh EPA

dan Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Pembentukan

atau pemberian kewenangan baru terhadap badan-badan yang telah ada perlu

dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan

efisiensi, sebisa mungkin agar tidak membebani badan yang telah ada dengan

kewenangan yang terlalu luas dan pekerjaan yang terlalu masif; dan di sisi lain

tidak pula semakin memperbanyak lembaga-lembaga negara dengan kewenangan-

kewenangan yang kosong. Mengoptimalkan badan-badan yang telah ada dengan

menyesuaikan dengan fungsi yang dibutuhkan merupakan tantangan yang harus

dijawab oleh para pengambil kebijakan di bidang tata negara dan administrasi

lingkungan hidup terkait permasalahan ini.

Dari segi budaya hukum, patut diakui bahwa tantangan terbesar dari

dilaksanakannya mekanisme ini ialah lemahnya penegakan hukum yang

diakibatkan birokrasi yang tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Selain itu,

tata kelola pemerintahan yang baik belum terimplementasikan dengan baik dan

dimengerti serta dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh para

administratur negara. Korupsi menjadi salah satu permasalahan pula mengingat

pengelolaan Superfund ini merupakan pengelolaan dana dengan jumlah yang

sangat besar, yang rentan disalahgunakan apabila tidak diawasi dengan ketat. Oleh

karena itu, mekanisme pengawasan yang baik merupakan persyaratan penting

untuk mengawal Superfund ini.

Konsekuensi dari hal-hal di atas adalah penerapan mekanisme ini tentunya

akan memakan waktu yang cukup lama serta ongkos, baik materiil maupun

politis, yang cukup besar. Hal yang paling nyata yang dapat dilakukan sebagai

langkah awal adalah dilakukannya kajian akademis secara mendalam mengenai

visibilitas penerapan Superfund di Indonesia, untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan penyesuaian mekanisme ini.

28

4.3.2. Mekanisme Implementasi Superfund di Indonesia

Dalam menerapkan mekanisme pendanaan lingkungan untuk pemulihan

karena pencemaran B3, Indonesia dapat mencontoh CERCLA dengan

menyesuaikan dengan pengaturan yang telah ada saat ini. Berikut adalah

perbandingan singkat instrumen-instrumen utama dalam CERCLA dengan

instrumen-instrumen pendanaan pemulihan di Indonesia:

CERCLA UUPPLH Keterangan

Superfund Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup dan dana penanggulangan

UUPPLH mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam PP Dana Penjaminan, yang belum ada hingga saat ini.

Penyimpanan dana penjaminan tidak terpusat.

Berbeda dengan superfund, dana jaminan & penanggulangan tidak bersumber dari pajak maupun klaim balik oleh Pemerintah terhadap pihak privat.

EPA dan ATSDR Deputi Bidang Pengelolaan Pencemaran Lingkungan

Belum ada lembaga setingkat EPA yang mengatur prioritas pemulihan lingkungan dan pengelolaan Superfund.

National

Contingency Plan

-- Belum ada sistem ini di Indonesia

National Priority

List

-- Belum ada sistem pendataan dan prioritas pemulihan lingkungan di Indonesia

Pajak khusus bagi

industri minyak

dan kimia

Pajak Lingkungan Indonesia tidak secara khusus mengenakan pajak pada industri yang melibatkan B3 sebagai sumber pendanaan penanggulangan & pemulihan lingkungan.

Government

Recovery Action

Dikenal hak gugat pemerintah, namun tidak sekuat government recovery action. Pihak pemerintah kedudukannya seimbang dengan pihak pencemar, dan karena rumitnya pembuktian dalam kasus lingkungan, terbuka kemungkinan kalah (Lih: studi kasus Teluk Buyat)

Meskipun tidak mudah untuk menerapkan Superfund di Indonesia, namun

pentingnya mekanisme pendanaan semacam ini telah jelas berdasarkan uraian di

atas, terutama demi terwujudnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, dari perbandingan instrumen dalam

CERCLA dan UUPPLH di atas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kesamaan

yang dapat dimanfaatkan dalam penerapan mekanisme Superfund di Indonesia.

29

BAB 5

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Simpulan

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi

manusia yang pemenuhannya harus dilakukan oleh semua pihak, terutama negara.

Dalam hal terjadi pencemaran lingkungan hidup oleh bahan berbahaya dan

beracun, hak asasi ini terlanggar, dan dengan demikian penanggulangan dan

pemulihan lingkungan yang bersifat segera harus dilakukan. Dengan demikian,

mekanisme pendanaan untuk pemulihan lingkungan hidup menjadi sangat penting

untuk dilakukan. Dari pokok permasalahan pada makalah ini, Penulis

menyimpulkan:

Pertama, dalam UUPPLH, Indonesia telah membentuk dua konsep

pendanaan yang relevan untuk pemulihan lingkungan hidup, yaitu dana jaminan

pemulihan lingkungan hidup dan dana penanggulangan. Sayangnya, dalam

peraturan perundang-undangan, konsep ini belum memiliki peraturan pelaksana

yang menjadikannya sebuah instrumen ekonomi yang implementatif, serta belum

dihubungkan dengan peraturan terkait pemulihan lingkungan hidup dan B3.

Sementara itu, tanpa mekanisme pendanaan yang jelas, pemulihan lingkungan

dengan proses peradilan tidak dapat menjamin pemulihan lingkungan ini dengan

segera, bahkan dapat berakhir tanpa kompensasi apapun dari pihak pencemar.

Kedua, Superfund di Amerika Serikat merupakan suatu contoh mekanisme

pendanaan pemulihan lingkungan hidup yang tepat diimplementasikan di

Indonesia. Superfund dapat melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat dari masyarakat karena menyediakan dana yang bersifat segera dengan tetap

menganut prinsip pencemar membayar dan dengan adanya suatu sistem skala

prioritas pemulihan pencemaran yang jelas. Sebagai jalan keluar dari kebingungan

penyusunan peraturan pelaksana yang ditemui terkait pendanaan lingkungan,

mekanisme ini patut dipertimbangkan dan dipelajari lebih jauh. Namun, untuk

diterapkan di Indonesia, terdapat tantangan yang perlu diwaspadai dalam

mekanisme Superfund. Secara substantif, pertama, diperlukan perumusan

peraturan yang cukup kompleks dan memakan waktu lama. Kedua, pengaturan

30

yang didelegasikan UUPPLH adalah dalam bentuk PP. Dari segi struktur, terdapat

badan-badan pelaksana Superfund yang harus dibentuk atau disesuaikan dengan

organ administratif di Indonesia. Dari segi budaya hukum, masalah korupsi dan

kemauan aparatur negara untuk melaksanakan good corporate governance

merupakan tantangan utama. Karena itu, penyesuaian mekanisme CERCLA

terhadap konsepsi-konsepsi dan mekanisme yang telah dibentuk oleh UUPLH

terkait pendanaan lingkungan hidup perlu dilakukan dengan studi yang serius dan

mendalam.

5.2. Rekomendasi

Secara umum, Penulis merekomendasikan Kementerian Lingkungan Hidup

untuk melakukan studi secara mendalam untuk membandingkan metode

CERCLA dan sistem pendanaan lingkungan yang akan dibentuk dalam UUPPLH.

Selanjutnya, studi tersebut digunakan untuk menerjemahkan dan menyesuaikan

instrumen-instrumen yang ada pada CERCLA dengan pendanaan pemulihan

lingkungan di Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini merekomendasikan

Superfund disesuaikan dan kemudian diterapkan di Indonesia sebagai solusi

pendanaan pemulihan lingkungan yang tercemar B3 di Indonesia.

xii

DAFTAR PUSTAKA

Konvensi dan Perundang-Undangan

United Nations. Declaration of the United Nations Conference on the Human

Environment. 1972.

United Nations. United Nations General Assembly Resolution No: A/RES/45/95,

Regarding Need To Ensure A Healthy Environment For The Well-Being Of

Individuals. Plenary C.3, Agenda Item No.93, Meeting Record No.

A/45/PV.68. 14 December 1990.

United Nations, Universal Decaration of Human Rights.

Amerika Serikat. Comprehensive Environmental Response, Compensation, and

Liability Act (CERCLA). 1980.

Amerika Serikat, Superfund Amendments and Reauthorization Act (SARA). 17

Oktober 1986.

Indonesia. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945

Indonesia. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999.

LN No. 165 Tahun 1999. TLN No. 3886

Indonesia. Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup. UU No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan

Beracun. PP No. 74 Tahun 2001

Buku

Abdurrahman. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1986

Artiola, Janick F., Ian L. Pepper, dan Mark L. Brusseau, (Ed.) Environmental

Monitoring and Characterization. Burlington: Elsevier Academic Press,

2004

Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach.

Sage Publication. Inc.: 1994

Damanhuri, Enri. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bandung:

FTSL ITB, 2009..

Findley, Roger W. dan Daniel A. Farber. Environmental Law in a Nutshell, Third

Edition. St. Paul: West Publishing Co., 1992

xiii

Friedman, Lawrence W. American Law: An Invaluable Guide To The Many Faces

of the Law, And How It Affects Our Daily Lives. New York: W.W. Norton

& Company, 1984

Heringa, Aalt Willem Heringa. Human Rights and General Principles and Their

Importance as A Legislative Techniques: Do They Matter in Legislation? An

Analysis with Specific Reference to Environmental Protection, in

Environmental Law in Development. Faure et.al., (Ed.). Cheltenham, UK:

Edward Elgar Publishing Limited, 2006

Hird, John A. Superfund: The Political Economy of Environmental Risk.

Baltimore: John Hopkins University Press, 1994

Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan

Peningkatan Kapasitas. Naskah Akademis Rancangan Peraturan

Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi, Draft 2. Tanggal 4 Oktober 2010

Mamudji, Sri, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005

Miller, Frederic P., Agnes F. Vandome, dan John McBrewster. Environmental

Remediation. Saarbrucken: VDM Publishing House Ltd., 2010

Soekanto, Sardjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, 2010

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001

Sutamihardja , R.T.M. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. Bogor: Institut

Pertanian Bogor, 1978

Switzer, Carole Stern dan Lynn A. Bulan. CERCLA: Comprehensive

Environmental Response, Compensation, and Liability Act (Superfund).

New York: Section of Environment, Energy, and Resources Book

Publications Committee, 2002

Wagner, Travis. Hazardous Waste Identification And Classification Manual. New

York: Van Nostrand Reinhold, 1990.

Artikel Dan Jurnal

Eggert, Roderick G.. “Mining and the Environment: An Introduction and Overview”. Mining and Environment, International Perspective on Public

Policy. 1994.

JATAM, et.al. Siti Maimunah (Ed.). Teluk Buyat Tercemar dan Berisiko Bagi

Masyarakat: Lembar Fakta Kasus Buyat, (2004), hlm. 24-29

xiv

Partanto dan Sahata Lumbantobing, 'Asuransi Lingkungan Hidup Sebagai Produk

Baru dalam Kegiatan Perasuransian di Indonesia'. Jurnal Asosiasi Ahli

Manajemen Asuransi Indonesia. Thn. I, No. 2. (1997).

Internet

Antara News, Bantuan Rp 300 Miliar dari PT NMR Sebaiknya Diorientasikan

untuk Pemulihan Lingkungan, Sumber:

http://www.antaranews.com/print/1140773195

Antara News, Kejaksaan Akan Kasasi Putusan Bebas atas Newmont, Sumber:

http://www.antaranews.com/print/1177417403/kejaksaan-akan-kasasi-

putusan-bebas-atas-newmont

Environmental Protection Agency. Summary of the Comprehensive

Environmental Response, Compensation, and Liability Act (Superfund),

Sumber: http://www.epa.gov/lawsregs/laws/cercla.html

_________________________. National Oil and Hazardous Substances

Pollution Contingency Plan Overview, Sumber:

http://www.epa.gov/osweroe1/content/lawsregs/ncpover.htm

Kementerian Lingkungan Hidup RI, Tindak Lanjut Penanganan Kasus

Pencemaran PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat, Sumber:

http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=a

rticle&id=1303:Tindak-lanjut-Penanganan-kasus-Pencemaran-PT.-

Newmont-Minahasa-Raya-di-Teluk-

Buyat&catid=43:berita&Itemid=73&lang=en

Newmont, Pengadilan Menolak Seluruh Tuduhan yang Diajukan WALHI, (18

Desember 2007) Sumber:

http://www.newmont.co.id/ID/media_center_detail.cfm?id=40&type=1&lan

g=id

Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ). Oh Buyat, Riwayatmu

Kini. (Rabu, 14 Januari 2009), Sumber:

http://www.siej.or.id/?w=article&nid=23

YPB Kepemimpinan Pembangunan Terpadu, Penegakan Hukum Lingkungan

Hidup di Indonesia Memprihatinkan, http://www.forplid.net/artikel/57-

penegakan-hukum-lingkungan-hidup-di-indonesia-memprihatinkan.html

____________________. The Encyclopedia of Earth (Washington, DC: National

Council for Science and the Environment)

http://www.eoearth.org/article/National_Priorities_List

Lampiran I

TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber : RHINO SUBAGIO

Jabatan/Lembaga : Advance Researcher

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Waktu/Tempat : Sabtu, 30 Maret 2012 / ICEL, Kebayoran Baru

Media : Telefon

Salam Pembuka.

Apakah teman-teman NGO, khususnya ICEL, pernah meninjau mengenai

pendanaan lingkungan hidup di Indonesia?

Ya. Kita pernah melakukan riset mengenai Pendanaan lingkungan pada tahun

1998-an dan kebanyakan kita mengambil peninjauan dan contoh dari CERCLA.

ICEL pernah mengeluarkan buku mengenai hal ini. Bukunya kecil, ada di gudang

belakang.

Terkait pendanaan lingkungan hidup di Indonesia, bagaimana menurut

Bapak mengenai pengaturan yang telah ada sekarang?

Di UU 32/2009 itu kita masukkan ada dana garansi, jadi sebelum perusahaan

dapat melakukan operasi, dia harus perkirakan nilai investasinya, dan kemudian

dia harus kalkulasikan dampak yang akan muncul dan kemudian dinominalkan

dan kemudian ditaruh di Bank.

Mengenai Rancangan PP Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, menurut

Bapak apakah telah cukup menjawab kebutuhan pendanaan ekonomi di

Indonesia?

RPP-nya masih sangat theoritical, dan tidak akan dapat diimplementasikan,

karena bicara tentang konsep-konsep yang kurang konkrit. Sementara yang kita

butuhkan, kalau mengacu pada pengalaman kasus-kasus lingkungan, ketika

muncul pencemaran, pemerintah tidak punya cukup dana untuk mengatasi

seketika. Perusahaan pun tidak memiliki dana untuk itu, atau belum tentu dapat

dikejar untuk membayar. Pada akhirnya itu menjadi beban pemerintah. Dan dana

yang diambil malah dari penanggulangan bencana atau kesejahteraan sosial.

Padahal itu bukan bencana alam, itu adalah pencemaran karena aktivitas

perusahaan. Jadi seharusnya polluter pays donk, tanggung jawabnya ada di

Perusahaan, bukan di pemerintah. Karena itu di UU 32/2009, ada dana jaminan,

yang dari situlah akan diambil untuk pemulihan lingkungan, atau apabila terjadi

pencemaran yang sifatnya perlu untuk segera ditangani.

Kalau dari kami, kritik untuk RPP ini, di sini kita bicara tentang tata kelola ya. Di

masyarakat internasional, pengelolaan lingkungan itu bukan lagi atur dan awasi,

melainkan sifatnya voluntary approach dengan pendekatan ekonomi, dengan

insentif dan disinsentif. Pendekatan ekonomi inilah yang kemudian dilakukan,

tidak lagi dilakukan secara paksa, tapi tingkat ketaatan tadi muncul dari

perusahaan sendiri. Dengan menaati regulasi lingkungan, dia akan mendapatkan

benefit, misalnya: (1) Imagenya menjadi bagus; (2) Menjadi lebih laku dengan

green target market, dan efek-efek simultan lainnya. Nah, dalam hal ini kita

bicara economic approach, bukan common and control.

Namun, ketika kita bicara mengenai pendanaan untuk pencemaran lingkungan

yang butuh penanganan segera serta pemulihan lingkungan, hal ini belum ada

solusinya dalam RPP bersangkutan. Mengenai masalah pemulihan lingkungan ini

belum tercover, yang dicover baru voluntary conduct dari perusahaan. Kalau

pendanaan lingkungan, tidak bisa disamakan dengan voluntary conduct,

permasalahannya beda karena kita bicara bagaimana untuk mengcover damage

dengan segera.

Oh ya Pak, saya agak bingung mengenai RPP Pendanaan Lingkungan.

Setahu Bapak ada rancangannya sendiri atau menyatu dengan RPP

Instrumen Ekonomi ya?

Setahu saya sampai sejauh ini belum ada. Yang saya dengar hanya RPP Instrumen

Ekonomi. Coba kamu tanya ke Bapak Laode.

Selanjutnya, Bapak tadi ada menerangkan sedikit mengenai penelitian yang

dilakukan mengenai pendanaan lingkungan yang mengacu pada CERCLA.

Dari hasil penelitian Bapak dan teman-teman, apakah CERCLA visible

untuk diterapkan di Indonesia?

Aku pikir ini sangat relevan untuk dilakukan, dan ini yang kita dorong dari dulu.

Tapi mungkin coba lihat di UU 32/2009, ada semacam distorsi dalam pendanaan

lingkungan dalam kaitannya dengan penanggulangan lingkungan seketika. Kalau

tidak salah, di samping itu menjadi beban perusahaan, pemerintah juga

menanggung beban itu juga. Berarti polluters pay-nya tidak diterapkan secara

penuh.

Kalau dari segi konsep idealnya, ini make sense untuk diterapkan di Indonesia,

mengingat persoalan lingkungan di Indonesia sangatlah kompleks, dan ini mesti

menjadi tanggung jawab semua pihak khususnya perusahaan.

Tetapi jika ini diterapkan, bukankah akan ada konsekuensi-konsekuensi

mekanisme baru yang harus dilakukan. Misalnya badan baru sejenis EPA

yang harus didirikan, pengelolaan fund layaknya Superfund. Tidakkah ini

merupakan tantangan yang sangat berat bagi negara?

Jadi sebenarnya gini, perilaku pengelola negara itu mudah mengambil kesimpulan

tanpa ada pengujian yang valid. Artinya, kalau memang konsep-konsep tadi

diterapkan, mungkin tidak akan 100% mengadopsi CERCLA, tapi disesuaikan

dengan konsep di Indonesia. Kalau mungkin ini membutuhkan cost, aku pikir jika

itu manfaatnya lebih besar ke depan, kenapa tidak dilakukan? Jangan terlebih

dahulu men-judge ini berat, minimal harus ada kajiannya terlebih dahulu jika ini

diimplementasikan di Indonesia akan seperti apa dampaknya.

Misalnya, kita membuat UU, ketika UU ini dibuat, dilakukan regulatory impact

assessment, regulatory impact assessment, yang akan melihat ketika UU ini

diterbitkan akan seperti apa dampak dan bebannya. Dari sisi perubahan sistemnya,

biaya yang dikeluarkan, dsb. Ketika ini dilakukan dan hasilnya visible, maka UU

itu bisa disahkan. Tapi kalau kemudian hasil RIA ini tidak visible, maka ditunda.

Selemah-lemahnya iman harus dikaji dulu seberapa besar konsekuensi kalau

konsep CERCLA diterapkan dalam konsep lingkungan di Indonesia. Dari situ

akan terlihat mana yang relevan dan mana yang tidak.

Konsep yang dalam penelitian terdahulu disarankan oleh teman-teman

NGO?

Kalau dulu, yang kita sarankan, kita melihat akibat dari pencemaran dan

kerusakan. Kita lihat di Kanada ada Superbond, di Amerika ada Superfund. Di

Indonesia tidak ada sama sekali. Dari kajian kita, dari sisi sistem normanya sangat

mungkin diterapkan, karena kita tidak punya mekanisme itu, dan akibat dari

pencemaran yang terjadi begitu tinggi, dan cost yang dikeluarkan oleh pemerintah

begitu besar. Itu yang kemudian kita dorong untuk diadopsi dalam regulasi kita.

Tapi kemudian baru sedikit berhasil di UU 32/2009 kemarin, yaitu dalam konsep

dana jaminan, walaupun konsepnya tidak bisa dikatakan persis. Tapi setidaknya

ini merupakan mekanisme garansi, artinya kita sekaligus menyeleksi investor

yang baik.

Bagaimana menurut Bapak mengenai peran Kementerian Lingkungan

Hidup dalam pemulihan lingkungan hidup dan pendanaan lingkungan ini?

Salah satu isu yang paling diusung dalam UUPPLH adalah masalah penguatan

peran KLH ini. Dulu, mereka belum bisa berperan apa-apa, karena mereka hanya

coordinating body, bukan imposing body. Koordinasi dengan eselonitas yang

rendah, maka dia tidak dianggap oleh Kementerian yang lain. UU 32/2009

memperkuat itu melalui beberapa instrumen yang diberikan ke KLH. Dari mulai

pencabutan ijin, dsb. Tapi ini harus dituangkan dalam PP, dan sampai saat ini

tidak pernah keluar. Jadi pertanyaannya setelah diperkuat kenapa malah mentok,

ogah-ogahan.

Tetapi UUPPLH sejauh ini sudah bisa jalan kan ya, Pak?

Keseluruhan UUPPLH sebenarnya sudah bisa jalan, karena tidak mencabut semua

PP yang sudah ada, selama itu tidak bertentangan, tidak masalah. Misalnya, untuk

menentukan pencemaran dan perusakan, itu ada standard baku mutu lingkungan,

itu ada 12 item. Kriteria untuk kerusakan lingkugnan itu kriteria baku kerusakan.

Beberapa sudah ada peraturan pemerintahnya, tapi beberapa belum ada. Artinya

apa? Peraturan-peraturan yang sudah ada itu bisa dipakai, yang belum ada buat

donk, jadi lengkap. Karena UU 32/2009 tidak mencabut semua perUU yang sudah

diterbitkan.

Salah satu instrumen yang terkait dengan permasalahan ini kan PP

Pemulihan Lingkugan ya, Pak? Apakah Bapak pernah dengar mengenai

pembahasan PP ini? Atau apakah sudah ada PP-nya dahulu yang masih

berlaku?

Dari dulu ini memang belum pernah ada. Dan sampai sekarang penggodokannya

belum kedengeran juga di Kemen LH. Yang ada Permen LH tentang Valuasi

Penghitungan Ganti Rugi. Sekarang mereka tidak pernah terdengar jika

melakukan pembahasan regulasi. Entah mereka tidak melakukan pembahasan,

entah mereka pembahasan dengan diam-diam. Waktu itu tentang RPP Instrumen

Ekonomi saja, begitu Laode forward naskah akademisnya ke kita, kita baru lihat,

dan aku dan Laode dan teman-teman bilang ini RPP apaan ini, tidak akan

implemented. Kita tidak dilibatkan. Laode sempat tanya pada Bu Wiwiek apakah

dia dilibatkan, namun ternyata juga tidak dilibatkan.

Bagaimana perkembangan pembahasan RPP Instrumen Ekonomi sekarang

ya, Pak? Ada kabar yang bisa di-share mungkin?

Coba tanya Laode deh. Aku nggak ngikutin. Laode dulu masuk tim itu, dan jadi

kaya’ technical assistance.

Salam penutup, SELESAI.