materi pembahasan
TRANSCRIPT
MATERI PEMBAHASAN : I. BAHAN DAGING
II. SUMBER DAGING UMUM
III. HEWAN BESAR
IV. HEWAN KECIL DAN BABI
V. DAGING UNGGAS
I. BAHAN DAGING
PENGERTIAN DAGING
1. Pengertian
Histologik :=> Daging = urat daging utk menggerakkan bagian
badan
terdiri atas tenunan daging dgn bbrp komponen yg menyatu dan
ujung2nya mengakar di tulang
Ujung daging = tendon, disebut daging urat oleh masyarakat
Sebagai bahan pangan : => Daging = hasil proses pemotongan hewan sehat yang aman untuk dikonsumsi
Susunan histologik : serabut daging, ten.pengikat, ten. lemak, pemb. darah, serabut syaraf
2. Susunan Daging :
Susunan utama : tenunan serabut daging, ten. pengikat, ten lemak
menentukan textur/mutu daging
Tenunan pengikat : => sel fibroblast, sel lemak, pembuluh darah,
syaraf, serabut2 tenunan pengikat extraseluluer
Serabut pengikat extraseluler : kolagen, retikulin, elastin
Urat daging : => tersusun secara berkelompok bertingkat dari serabut
daging yang dibungkus oleh epimesium atau perimesium
Dilapisi tenunan pengikat dan disambung tendon yg melekat ke
tulang
3. Gambar Skema susunan daging
B. SUSUNAN KIMIA
1. Tabel Proximat :
tak terlalu jauh bedanya pada berbagai jenis daging
lebih ditentukan oleh kondisi ternaknya
jenis dan kondisi protein dan lemak menentukan keempukan daging
Tabel Komposisi Kimia Daging
1. Kadar Air 75 %
2. Protein 18 %
3. Lemak 3 % (sangat bervariasi)
4. Karbohidrat 1.2 % ( glikogen)
5. Nitrogen non protein 1.6 % (amin, amida, DNA, vitamin, dll)
6. Mineral 0.7 %
2. Sifat + Protein daging : Jenis proteinnya sangat komplex
Kadar protein : tertinggi setelah kadar air, kaya protein
4 Asal protein : serabut daging, plasma sel, tenunan pengikat,
serabut luar sel
Serabut Daging : aktin + myosin :=> penentu keras/empuk daging
Tenunan Pengikat : menentukan kekenyalan + kealotan daging
Tenunan Lemak : penentu kelembutan dan rasa daging
C. SIFAT RIGOR MORTIS (= Kondisi kontraksi daging stlh potong)
Urat daging : jadi kaku, rigor mortis juga disebut kaku mayat
3 Fase : preregor, regor mortis, post regor (pasca rigor)
Preregor : kondisi daging stlh potong :=> relax, lembek, reaktif
Rigor mortis : 1 – 5 jam stlh potong :=> daging kaku, keras
Post rigor : stlh aging (pelayuan) daging relax kembali dan empuk
Waktu preregor pendek, empuk dan enak dimasak pd waktu post
rigor
D. MUTU DAGING
Complex : banyak factor pengaruhi mutu segar dan produk olahan
Asal ternak dan mutu daging : pengaruhi penggunaan, proses
pengolahan dan mutu hasil olahan
Untuk olahan daging langsung (= tak digiling) post rigor adalah
terbaik
Fase preregor + rigormortis : terbaik utk pengolahan daging digiling (bakso, sosis, nugget)
Sumber daging = asal ternak : tentukan jenis olahan + mutu
Hasil
E. PERANAN DAN PEMANFAATAN DAGING
#1. Peranan : bhn utk masakan, komoditas, bhn industri, expor
Sebagai bahan makanan : => bergizi tinggi dan lengkap
#2. Pemanfaatan : banyak pemanfaatan
Bhn pangan masyarakat : daging unggas lebih merata
Bhn industri : IKM, industri R.T.: => bakso,nugget,
Ind. Besar : => corned beef, sosis
=> retail cut meat : mis. sirloin steak
II. SUMBER DAGING (UMUM)
A. SUMBER DAGING
Sumber daging kritikal : penentu mutu, harga, penggunaan dan
cara pengolahan
Bnyk liku2 dlm perdagangan ternak + daging: peraturan ktertiban
1. Sistem penggolongan sumber daging : Sistem penggolongan:
=> Jenis ternak, jenis kelamin, status ternak, cara budidaya :=> mutu
1. Jenis ternak : => Unggas, Ruminansia, Ternak lain
=> Ruminansia : hewan besar, hewan kecil, babi,
=> Unggas : ayam ras, Buras,itik, puyuh, merpati
=> Ternak lain : kelinci, rusa,
2. Kondisi ternak : Status kebugaran, Umur, Berat
3. Cara Budidaya : beberapa teknologi
4. Jenis Kelamin : jantan, betina, gastrasi/kebiri
5. Asal Ternak : Domestik vs impor
6. Tipe Ternak : Tipe susu vs pedaging (sapi, kerbau, kambing)
2. Cara Budidaya :
1. Hewan Kerja :tua, tarik luku/pedati :=> daging keras, lemak sedikit
2. Ternak gembala : peletakan daging+lemak sedang =>agak empuk
3. Kereman : ternak kerja/gembala :=> digemukkan dlm kandang,
pakan khusus: => mutu daging baik, tapi bervariasi
o daging agak empuk sampai empuk, mutu sedang ke tinggi
o tua yg digemukan : => peletakan daging + lemak sedang
o gembala : => peletakan daging + lemak bagus, mutu bagus
4. Budidaya Sapi Muda jantan:
o pakan : dikendalikan antara rumput + konsentrat o peletakan daging + lemak seimbang, Mutu daging tinggi
5. Feedlock : Kereman sapi pedaging impor: => mutu tinggi
3. Penggolongan Kelamin :
Jantan : ras spesifik dan peragaan bagus => tak dipotong, untuk bibit
Betina : muda + dewasa : => dilarang dipotong (utk produksi)
4 jenis : => 1. Jantan muda (bukan bibit) => mutu : sedang ke tinggi
o 2. Betina tua : => mutu daging rendah
o 3. Jantan/Betina afkir (tak produktif) : => mutu sedang
o 4. Jantan kebiri : => mutu tinggi
4. Status : Grading ternak potong berdasar berat hidup kg/ekor :
Jenis Hewan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Sapi > 350 250 – 350 < 250 -
Kerbau 250 – 400 > 400 < 250 -
Kambing 30 – 40 > 40 < 30 -
Domba 15 – 30 kg/ekor, domba kacang
30 – 60 kg/ekor, domba ekor gemuk
Babi 70 –100 101 – 116 < 70 > 132
III. HEWAN BESAR
A. SUMBER DAGING SAPI : Komoditas daging utama
Jenis ras: => kritikal thd peragaan + mutu karkas/daging
Sama ras lokal vs impor :=> beda mutu daging
Sapi lokal : Madura, Bali, Peranakan Onggol, Peranakan F.H.
Sapi Impor Pedaging : Brahman, Shorthond, Angus,
Sapi Perah : Pedet dan dewasa afkir ( = tak produktif susu)
Pemotongan : wajib/harus di RPH (Rmh Potong Hewan)
1. Sapi Peranakan Onggol (Benggala, PO) :
Didatangkan : Jaman Kerajaan Hindu + Jaman penjajahan (1800-an)
Anak beranak menjadi sapi rakyat : => disebut sapi Benggala
Sifat ternak : => bulu putih keabu-abuan
o Punya punuk, leher bergelambir
o Ukuran besar, kuat (sebagai sapi kerja)
o Peletakan daging bagus : mutu daging bervariasi
2. Sapi Madura : => Indigenous p.Madura dan Jawa Timur
o Sekarang menyebar ke bbrp daerah
o Jantan+Betina : bulu merah, ukuran hampir sama, jantan >
besar
o Peletakan daging + lemak cukup : mutu daging sedang
3. Sapi Bali : => Indigenus p. Bali
o Jantan : besar, bulu hitam, pantan putih, mirip banteng,
o Betina : kecil, bulu merah, mirip sapi Madura,
o Peletakan daging sedang sampai baik
4. Sapi Peranakan F.H. : => Sapi perah rakyat
o Seabad lalu didatangkan dari negeri Blanda
o Sapi merakyat / bersilang dgn sapi local sapi perah rakyat
(SPR)
o Warna belang hitam putih, dominan hitam
o Sapi tipe susu, produksi rendah, bila waktu kering laktasi:
dulu menjadi sapi kerja, sekarang waktu laktasi lebih panjang.
o Ukuran bervariasi, karena campur darah dg sapi lokal
o Sumber daging : pedet jantan, muda afkir, betina + jantan
tua
o Peletaklan daging : cukup, mutu sedang
5. Sapi Susu Impor : Frieschen Holstein (F.H.)
o Diimpor sejak 1980-an untuk produksi susu bagi warga asing
o Sumber daging : pedet jantan, betina afkir, betina+jantan tua
o Sifat ternak : => ukuran sedang sampai besar
o Warna : belang hitam putih menyolok, dominan putih
o Peletakan daging : tgt. Kondisi ternak, umumnya sedang
6. Sapi Tipe Pedaging Impor : tuntutan bisnis : mutu daging tinggi
o Bbrp jenis, tgt. negara impor : Shorthorn, Angus, Brahman,
o Diimpor utk. mutu daging tinggi : dgn pemasaran khusus
o Sifat ternak : badan besar, tinggi, gemuk, warna bulu tgt.
jenis
o Peletakan daging + lemak banyak + seimbang : empuk
sekali
o Mutu daging sangat tinggi : utk hotel, restoran, psasar
swalayan
B. SUMBER DAGING KERBAU
1. Sumber Daging :
Ternak kerbau distribusinya lebih merata drpd ternak sapi
Sbgai ternak kerja, penghasil pupuk dan tabungan : dikandangkan
Di Toraja sebagai simbul prestise : pemeliharaan intensif
Populasi menyusut, tapi merata di daerah, sdikit di Maluku dan Irian
Golongan : kerbau local dan peranakan, belakangan juga dr impor
Jenis kerbau : Kerbau sawah, rawa dan peranakan kerbau Murrah
2. Daging Kerbau :
Dipasar tak dikenal daging kerbau, diberi nama sebagai daging sapi
Daerah Kudus : penduduk menyebut + senang : daging kerbau
Secara umum daging kerbau mutunya lebih rendah drpd sapi.
Produsen daging utama kedua setelah sapi
3. Kerbau Sawah
Sebagai ternak kerja disawah, juga sebagai penarik pedati
Paling luas penyebarannya di antara 3 jenis kerbau
Dipiara di kandang, pakan rumput, jarang/tidak pakan konsentrat
Badan besar, leher kuat, tanduk besar panjang
Dewasa : Tinggi 110 Cm, berat 400 – 500 kg/ekor
Ternak kerja : peletakan lemak rendah, daging sedang, serat kasar
Mutu daging termasuk rendah, tetapi persentase daging tinggi
4. Kerbau Rawa
Hidup dirawa-rawa, di Kalimantan, bukan ternak kerja
Digembalakan di rawa2, kandang sederhana di lapangan
Bentuk dan ukuran mirip kerbau sawah, lebih gemuk
Peletakan daging + lemak baik, mutu daging sedang: ≈ dg. sapi
Mutu daging lebih baik drpd kerbau sawah
5. Kerbau Peranakan Murrah
Asal India, sudah lama didatangkan dr India sebagai kerbau perah
Diternakkan oleh etnis India sekitar Medan, dicoba ke daerah lain
Sbgai kerbau perah : dikandangkan, pakan tambahan konsentrat
Juga sbgai ternak kerja : yg jantan + betina masa tak laktasi
Bdn tinggi, paha+kaki kokoh, leher pendek, kepala besar, tanduk
kecil
Tinggi 125 Cm, berat 300–500 kg, bisa mencapai 600–700 kg/ekor
Umur dewasa 24 bulan
Peletakan daging+lemak sedang, mutu daging :=> kurang ke sedang
III. DAGING HEWAN KECIL DAN BABI
A. MAKNA DAGING KAMBING
Daging Kambing dan Domba :
o Dari kambing dan domba : => di pasarana disebut daging
kambing,
o Tak dikenal nama daging / sate domba
Sebenarnya mutu daging kambing ≠ domba
Dipasar jarang dijual dag. kambing benar hanya di kios exklusif
Dijual bentuk hewan hidup, dibeli utk. hajatan, utk rumah makan
Pemotongan : wajib di RPH, tp banyak diluar RPH
Belum dikenal Kelas Mutu (Grades) dag. Kambing
Peranan + Pemanfaatan: belum utk industri, bhn pangan rakyat
=> Utk pesta perhelatan / perayaan, daging kurban
=> Populer sebagai sate : di restoran, rmh makan, PKL
B. SUMBER DAGING KAMBING
Jenis kambing : => kacang, etawah, benggala
1 Kambing Kacang :
Ras local : macam2 nama, populasi terbesar, lebih luas tersebar
Ukuran : Jantan : 15 – 20 kg (=> 20 kg), tinggi 50 –60 Cm
Betina : 10 –16 kg, tinggi 45 – 55 Cm.
Bentuk : kecil pendek, telinga+kepala hidung kecil, leher pendek
Mulai dewasa : 6 bulan
Mutu daging terbaik umur 1 – 2 tahun, pada berat 20 – 25 kg/ekor
2. Kambing Benggala ( = Peranakan Etawah) :
Campuran Etawah X lokal (Kacang)
Ciri : => sangat beragam, namun ada ciri2 khusus
o Badan dan kepala sedang sampai besar o Telinga panjang menggantung
o Profil hidung panjang melengkung
Ukuran : Jantan tinggi 65–70 Cm, berat 25–35 kg, (-> 45 Kg/ekor)
Betina : 55 – 60 Cm, berat 15 – 25 Kg/ekor
Mulai dewasa : 6 bulan
Mutu Daging terbaik : 1 – 2 thn, pada dengan berat 35 – 45 kg/ekor
3. Kambing Etawah :
Jenis ini sudah turun temurun di Nusantara, relatif darah murni
Tergolong tipe perah/susu : ambing besar, jenis unggul untuk bibit
Badan besar : Jantan 40 – 50 kg (=> 60 kg), tinggi 70 – 80 Cm
Betina : 30 – 45 kg/ekor, tinggi 60 – 70 Cm
Ciri : Kepala besar, mulut lebar, telinga panjang menggantung,
hidung lengkung
Umur dewasa : 6 bulan
Mutu daging terbaik : umur 1 – 2 thn, berat 40 – 50 kg/ekor
C. SUMBER DAGING DOMBA
Sumber Domba : Domba Garut, Ekor Gemuk, Kacang
Dipiara jumlah besar, digembalakan
Domba local bukan tipe wool dan pedaging
Peletakan daging + lemak tak tebal
Dagingnya lebih lembut drpd daging kambing
Sate kambing enak : biasanya dari daging domba
Aroma daging domba : lebih ringan, daging kambing sangat tajam
1. Domba Ekor Gemuk:
Domba terpopuler, berasal dari Jabar
Ciri2 : => Ekor agak panjang, menebal oleh lemak, =>ekor gemuk
o Tanduk kecil, yg betina sering tak bertanduk
o Badan sedang : Jantan : 40 – 60 kg, tinggi 60 – 65 Cm
Betina : 25 – 40 kg, tinggi : 50 – 60 Cm
Umur dewasa : 6 bulan
Mutu daging terbaik : 12 – 30 bulan, dg. berat 50 kg/ekor
2. Domba Garut :
Diternakkan di Jabar, => untuk aduan
Bdn besar, depan lebar, jantan bertanduk besar, betina tak
bertanduk
Jantan : 50–70 kg, tinggi 75-80 Cm; Betina 30–40 kg, tinggi 60-65
CM
Umur dewasa : 6 – 9 bulan
Mutu daging terbaik : 1 – 2 thn, 60 kg/ekor.
3. Domba Kacang :
o Jenis local : kecil => domba kacang, sebaran lebih luas
o Badan dan tanduk : kecil
o Ukuran berat : 10 – 25 kg, tinggi 40 – 55 Cm
D. DAGING BABI
1. Sumber Daging Babi
Babi : Tak masuk hewan besar/kecil => kelompok tersendiri
Unik : Haram bagi umat Islam, punya makna retual agama2
tertentu
Arti ekonomi : di bbrp daerah penting : => Jakarta, Bali, Sumut,
Tanggerang,
Jadi bidang usaha : termasuk expor
Peletakan daging + lemak :
o tipe Lard : Gemuk : => daging + lemak tebal
o tipe Baccon : daging tebal, lemak sedang
Sumber daging : jenis lokal, peranakan dan impor
Penggunaan daging : untuk masakan Cina, rmh makan khusus
untuk export ke Singapur, Taiwan
Babi lokal :
domestikasi babi liar :=> Bali, Nias, Kalteng, Toraja, Irian :
=> bentuk mirip babi hutan
Peletakan lemak :=> tipis
Badan : => kecil, pendek, warna abu2, kulit + bulu kasar,
perut menggantung
Peliharaan : dilepas/liar, tak dikandangkan, peletakan daging : tipis
1. Babi Bali
Hampir merata di p.Bali, kecuali pantura,
Sbgai ternak keluarga, pemeliharaan mirip seperti ayam kampung
Umur dewasa : 6 bulan
Berat badan : jantan 40 – 60 kg, betina 30 – 50 kg/ekor
Daging babi Bali hanya utk konsumsi lokal.
2. Babi Sumatra : di Tapanuli, p. Nias, => dagingnya utk konsumsi
lokal
Pemeliharaan mirip di Bali, dilepas
Bentuk menyerupai babi hutan, bulu depan kasar dan lebat/tebal
3. Babi Irian : Dagingnya untuk konsumsi lokal
Pemeliharaan lebih intensif, bulu lebih halus
Simbul kekayaan, dirumahkan, lebih bersih
4. Babi Peranakan : => Campuran babi Cina X babi local, turun temurun
o Berbagai nama daerah : Babi Tanggerang, babi Krawang,
dll
o Dipiara oleh etnis Cina
o Diternakan dlm kandang, pakan konsentrat
o Umur dewasa 6 bulan
o Postur tubuh : => pendek gemuk, punggung panjang agak rata
o Warna belang hitam putih, banyak putih
o Berat badan ; jantan 60 kg, betina 50 kg/ekor
o Dagingnya untuk masakan Cina
5. Babi Impor = Babi Eropa : => Asal negeri Belanda
Bersama peranakan babi Eropa, menjadi satu jenis
Badan + kepala : besar – panjang, punggung melengkung atau lurus
Warna kulit putih
Berat 80 – 100 kg/ekor
Dagingnya utk masakan Cina dan utk expor
IV. DAGING UNGGAS
A. SUMBER DAGING : Volume produksi terbesar > dg sapi
1. Pengertian Daging Unggas :
Unggas : Sumber daging dari bangsa burung
7 macam : ayam ras, Buras, itik, mentok, angsa, puyuh, merpati
2. Bentuk komoditas :
Bentuk Daging : => karkas, potongan karkas, dan jerohan
Bentuk unggas hidup : => ayam Buras, itik/bebek
Bentuk masakan : => ayam, merpati, puyuh
Bentuk olahan industri : => dr ayam ras,
B. PEMOTONGAN UNGGAS
= proses penyembelihan unggas untuk menghasilkan karkas
Karkas unggas = hasil pemotongan dengan memisahkan bagian bulu,
jerohan, dengan atau tanpa kaki, leher-kepala
Pemotongan : dilakukan di rumah potong unggas (RPU),
namun untuk unggas ada flexibilitas RPU
Rumah Potong Unggas (RPU = RPA) : 4 tingkat :
=> TPA, RPA Semimekanik, RPA, RPA Moderen
Proses Pemotongan ; akan dibahas di bhn kuliah ayan ras
Hasil / Rendemen Pemotongan Ayam :
1. Karkas 65 – 75 %
2. Jerohan 9 - 10 %
3. Kepala + Leher 8 %
4. Kaki 4 %
5. Darah 9 - 10 %
6. Bulu 6 %
C. AYAM
Jenis Ayam : Ayam ras (tipe pedaging + tipe petelur) dan Buras
Ayam ras : beda macam => berbeda bentuk dan mutu dagingnya
5 sumber : Broiler, ayam cull, petelur tua, jantan Layer dan Buras
1. Broiler ( = Ayam Ras Tipe Pedaging)
Broiler : cepat tumbuh, umur 5 minggu berat hidup 1,25 kg
Di Indonesia dipanen 5 – 8 minggu, berat hidup 1,25 – 2,4 kg/ekor
Di luar negeri : 8 – 10 minggu, berat hidup 2,4 – 5 kg/ekor
Dipotong belum dewasa : daging lunak, peletakan daging tebal,
sedikit lemak
Ukuran karkas yg umum inginkan : sekitar 1 kg/karkas
Dijual : Bnentuk komoditas :
# Di pasar tradisional : bentuk karkas telanjang dgn kepala
# Di swalayan : karkas kemasan tanpa kepala + potongan karkas
2. Layer Tua ( = Ayam Tipe Petelur, umur > 18 bln + tak produktif )
Layer : produsen telur, masa produktif 6–12 bln, bisa sampai 18
bln
Dipanen/dipotong : setelah tua tak produktif
3 sumber daging dr Layer : ayam tua, ayam cull, layer jantan
Badan kecil : mirip ayam kampung, berat hidup sekitar 1 kg/ekor
Sifat daging : mirip ayam kampung => dijual sebagai ayam
kampung
Mutu daging : empuk/sedang/keras :=> tergantung sumber Layer
3. Ayam Cull ( = Layer umur produktif , tetapi tak produktif )
Dari Layer muda (6 – 12 bulan) yang tidak produktif atau cacat
Batas prodfuktif : produksi = biaya pakan (60% dr biaya produksi )
Berat hidup : 1 kg/ekor atau kurang
Peletakan daging sedang, mutu sedang, mirip ayam Buras muda
Kadang2 dijual dalam bentuk hidup, sebagai ayam kampung
4. Layer Jantan ( = DOC jantan Layer, dibesarkan sampai siap potong
)
Waktu sexing DOC : populasi jantan 50 %
Dulu langsung diproses menjadi tepung pakan ( meat meal )
Sekarang dibesarkan sampai umur potong => sumber daging ayam
Dipotong : umur 2 bulan dengan berat hidup sekitar 1 kg/ekor
Dijual sebagai ayam kampung muda, mutu daging = Buras muda
5. Ayam Kampung (Buras = Ayam bukan ras)
Dipiara : lepas (pakan bebas) atau dikandangkan (pakan voer)
Umur panen/potong ; bervariasi, minimal 3 bulan (= ayam muda)
Dijual : bentuk hidup, berat bervarasi
Buras Muda : Ayam Dara ( ♂ ) + Ayam Muda (campur ♂ - Ộ )
Sifat daging : muda : =>empuk, flavor cukup : Mutu tertinggi
tua : => keras, tetapi flavor kuat (bagus untuk sup)
Flavor daging ayam Buras lebih disenangi drpd broiler,
C.BEBEK (MENTOK, ANGSA)
Dikelompokkan sebagai ternak unggas air
Angsa dipiara lebih sebagai pet drpd sumber daging
Mentok dipiara sebagai pengeram telur bebek bibit + dagingnya
Itik/bebek : sebagai produsen telur, juga hasil dagingnya
Dijual : Bentuk hidup atau daging olahan
Jarang/tak dijual : dlm bentuk karkas / daging segar
1. Itik/Bebek:
Juga disebut bebek sawah, digembalakan di sawah pd musim panen
Jenis/tipe petelur, tak mengeram
Postur : berdiri agak tegak, tubuh langsing, warna bulu coklat
muda
Umur produktif : 12- 18 bulan
Dipotong : setelah tua atau afkir (tak produktif) : berat > 1 kg/ekor
Dijual : bentuk hidup, atau sebagai olahan daging ayam
Bau daging : khas bebek, tajam, dan kurang disenangi.
2. Bebek Branti ( = Hasil silang Bebek X Mentok )
Pertumbuhan : cepat, peletakan daging bagus
Bersifat mandul : sebagai ternak tipe pedaging
Postur : antara bebek dan mentok, agak dekat ke bebek
Ukuran : lebih besar drpd bebek, 1.5 – 3 kg/ekor
Peletakan : daging tebal, lemak sedang :
Sifat / Mutu daging ; empuk, flavor lebih netral
3. Bebek Peking : Asal Cina : bersifat mengeram
Postur tubuh : condong, gemuk, leher pendek, bulu putih tebal
Berat : 2 – 3 kg, peletakan daging tebal, lemak sedang ke tebal
Mutu daging : tinggi, bau tak tajam
Tak dipasarkan bentuk hidup atau daging segar
Dijual : Sebagai hidangan khusus di restoran exklusif
4. Burung Merpati
Mulai diternakkan sebagai pedaging
Dijual : sebagai hidangan/olahan, tak dijual sebagai daging segar
5. Burung Puyuh
Diternakan sebagai petelur dan pedaging
Puyuh petelur : dipotong setelah tak produktif, umur tua
Puyuh pedaging : ukuran lebih besar : mutu daging baik
Dijual : sebagai daging olahan
Nov
18
Makalah Daging
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani
dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani
lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat proses
mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan baik. Dengan demikian dalam
proses pemotongan sampai pengolahan perlu diperhatikan supaya menghasilkan daging yang
berkualitas.
Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-
unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi
mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi
Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai
waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk,
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai
terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya
terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pasca rigor. Kesalahan penanganan pascamerta
sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai
dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun
pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan
daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika
pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat
diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak. Secara ilmiah otot baru dapat
dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses
pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang
lebih baik dibanding pada saat prarigor.
Dalam pembuatan makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana proses rigor
mortis pada ternak unggas (ayam dan bebek), ruminansia (sapi) serta bagaimana pengaruh
lingkungan dan temperature terhadap proses rigor mortis paska pemotongan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan di bahas dalam makalah
ini dapat dikelompokkan menjadi:
1. Bagaimana proses rigor mortis itu terjadi pada ternak-ternak paska pemotongan ?
2. Bagaimana perbedaan rigor mortis antara Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia
(ayam dan bebek) ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses-proses dalam rigor mortis
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses rigor mortis
3. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik ternak-ternak paska pemotongan
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah iptek pengolahan daging
1.4 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk mengetahui proses rigor mortis antara
ternak Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia (ayam dan bebek)
2. Memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat luas tentang perbedaan dan
karakteristik antara ternak Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia (ayam dan bebek)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, maka ini merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang
dikonsumsiakan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan
disimpan didalam hati dan otot.
Glikogeni ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob)
dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk
proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau
beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet = rangka tubuh) disebut sebagai alat
pergerakan tubuh atau sebagai energy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C,
H, O) maka disebut juga sebagai energy kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian
maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energy mekanik dan energy kimiawi
akan disebut sebagian energy kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka
akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang
terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis
sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot
(tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam
laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP.
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen
bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat
yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk kerantai transport electron
dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport electron dalam mitochondria
bersamadengan O2darisuplaidarahakanmenghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi
glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP. Adenosin
tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energy untuk kontraksi, memompa ion Ca2
pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.
Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat
tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi
ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau
kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.
Gambar 1. Produksi ATP melalui tiga jalur
Konversi Otot
Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot
menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005).
Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan
dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri
carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah
kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan
yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan
mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber- hentinya sirkulasi
darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok- sigen ke jaringan, sehingga
menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007).
Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et
al. 2007)
Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan
oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis.
Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat
diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob,
maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang
terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis
(Lawrie 1979; Swatland 1984).
Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira
rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan
katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari
atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi
perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).
pH Daging
Pada umumnya nilai pH daging sapi yang diukur pada jam pertama postmortem
adalah 7.0 – 7.2. Pada saat mulai rigor mortis, nilai pH daging menjadi 5.90 dan kemudian
mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai pH
daging setelah hewan mati (nilai pH postmortem) akan menurun mencapai pH akhir.
Penurunan nilai pH tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju
glikolisis. Nilai pH daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada pH dibawah 5.3
enzim- enzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut
Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak,
sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif
sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan.
Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum
dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam
laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka 5,6, bila pH lebih tinggi
misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama
dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air
(water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air
tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya
yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan
daging terlihat lebih gelap . Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot
postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan.
Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau
setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-
enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang
tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi
tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim
glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar
5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein
miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie
1979).
Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan : (1) warna
daging menjadi lebih pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih
rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan
permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Forrest et al. 1975). Sebaliknya
pada pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging
menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno
2005).
Keempukan (Tenderness)
Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging dikunyah. Kesan
keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971;
Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya
daging dikunyah menjadi fragmen/potongan- potongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah
sisa fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971).
Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja
enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil.
Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan
penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan
daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies
dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara
lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama
dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan
penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies,
bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang
sama.
Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat,
serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi
keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging
sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging
banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan
status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya
dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971).
Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang istirahat
menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses
rigormortis akan berlangsung cepat. Kekakuan otot yang terjadi akan diikuti dengan
pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan
mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak
sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar
terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini,
penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi
hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat
penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang
mempengaruhinya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Rigor Mortis Antara Ternak-Ternak Paska Pemotongan
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase
prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada
otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering
diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. (Lawrie dan Ledward, 2006). Rigor mortis atau
kekauan otot setelah kematian. Selama konversi otot menjadi daging terjadi proses kekakuan
otot. Kekakuan otot setelah kematian dan otot menjadi tidak dapat diregangkan disebut rigor
mortis menurut (Dr. Ir. Soeparno). Proses rigormortis dan kontraksi otot secara esensial
adalah sama tetapi pada kondisi rigormortis relaksasi tidak mungkin terjadi. Rigormortis
terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau sudah tidak lagi mampu dalam
menggunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari
otot.
Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan
terkunci brsama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen, dan otot menjadi tidak
dapet di renggangkan. perkembangan proses rigor mortis terdiri dari 3 fase,yaitu : fase
penundaan, fase cepat, fase pasca kaku. proses hilangnya daya renggang otot sampai
terbentuknya kompleks aktomiosin, mula-mula berlangsung secara lambat selama beberapa
jam (fase penundaan), kemudian berlangsung secara cepat (fase cepat), akhirnya berlangsung
secara konstan. dengan kecepatan rendah sampai tercapainya kekakuan (rigor). waktu untuk
mencapai fase cepat dalam perkembangan rigor mortis pada temperatur tertentu tergantung
pada ATP otot. Pada awal periode post mortem ATP otot menurun secara perlahan-lahan
karena masih terdapat aktivitas ATP.
Perubahan-perubahan yang terjadi selama perkembangan rigor mortis, di samping
penurunan konsentrasi kreatin fosfat dan ATP, juga terjadi penurunan pH. kreatin fosfat dan
pH menurun dengan cepat setelah pemotongan. Reaksi-reaksi kimia lain juga terjadi selama
perkembangan rigor mortis. setelah ATP mengalami pemecahan menjadi ADP dan P
anorganik,ADP mengalami defosforilasi dan deaminasi lebih lanjut menghasilkan IMP, IMP
menghasilkan defosforilasi kembali sehingga menghasilkan inosin kemudian ribosa di
pisahkan dari inosin dan menghasilkan hipoksantin. pembebasan amonia mempunyai
hubungan yang erat dengan saat terjadinya kekakuan otot.
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase pra rigor, fase rigor mortis dan fase
pasca rigor. Pada fase pra rigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat
pada gambar 2.
Pada gambar 2 terlihat waktu pasca merta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis
pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik (a) memperlihatkanwaktu proses rigor
mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase
cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik (b)
memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan
dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik (c)
adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi
pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini
(a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis
ternak dan kondi sitern sebelum mati; makin terkuras energy maka makin cepat terbentuknya
rigor mortis.
Waktu pasca merta ( jam )
Gambar 2. Proses rigor mortis padakelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat
terkuras stamina)
3.2 Perbedaan Rigor Mortis Antara Ternak Psedo-Ruminansia (kelinci) dan Non-
Ruminansia (ayam dan bebek)
Menurut (Alvarado, C. Z and Sams, A. R, 2000) dalam jurnal yang berjudul
:Traceability of rigor mortis of muscle using a texture analyzer: a feasibility study.
Rigormortis adalah salah satu perubahan fisika yang paling penting dalam otot yang terjadi
pada periode postmortem yang kemudian menghasilkan sebuah ketangguhan peningkatan
kualitas daging (Lawrie dan Ledward, 2006). Proses kekakuan biasanya meliputi duafase
berbeda: periode penundaan dan fase cepat (Bate Smith dan Bendall, 1949). Namun, tidak
ada cara yang efisien dan otomatis untuk
melacak seluruh proses rigor mortis.
(a) chicken at 4 °C (b) chicken at 15 °C
(c) duck at 4 °C (d) duck at 15 °C
Kurva rigor mortis dari dada ayam dan itik pada suhu 4 ° C dan 15 ° C.
Table 1. Mathematical models for rigor mortis of chicken and duck breasts at 4°C and 15 °C
Chicken breast
Duck breast
4oC 15oC 4oC 15oC
Models F(N) = 2E-08t4 - 5E-06t3 + 0.0004t2 -
0.015t + 0.246 F(N)= -4E-07t4 + 1E-05t3 + 0.001t2
- 0.078t + 1.228 F(N)=
6E-
07t4 -
8E-
05t3 +
0.004t2
-
0.094t
+
1.052
F(N)=-2E-
06t4+0.0002t3 -0.0041t2-
0.006t+1.04
T1 (h)1
2.069 3.49 3.25 4.32
T2 (h) 2
38.56 31.2 none 41.83
Fmax (N)3
0.226 1.25 0.889 1.467
R2 0.994 0.932 0.979 0.812
Penelitian diatas dirancang untuk mengeksplorasi metode baru untuk mengetahui dari
awal perkembangan rigor mortis otot menggunakan penganalisis tekstur. Analisis kompresi
terbukti layak untuk menentukan perubahan otot dalam waktu 48jam sampai 84 jam
postmortem.
Pada ayam dan bebek, diperoleh dalam waktu 30 menit post mortem. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ayam dan bebek mencapai rigor mortis maksimum pada waktu
postmortem yang berbeda. Suhu Lingkungan mempunyai pengaruh yang signifikan pada
proses rigor mortis. Pendekatan dalam studi ini akan memberikan kita rincian lebih akurat
tentang perubahan fisikokimia postmortem diotot rangka.
Pada dada ayam, ada fase rigor mortis mengalami penurunan bertahap dalam waktu
48 jam postmortem. Fese rigor mortis maksimum terjadi pada suhu 4 °C serta membutuhkan
waktu yanglebih singkat dari pada suhu15 °C. Suhu tinggi (15 ° C) memiliki dua efek pada
seluruh proses. Disatu sisi, hal itu mengakibatkan denaturasi-protein, disisi lain mempercepat
proses penyelesaian kekerasan nanti. Pada dada Bebek memiliki perubahan yang mirip
dengan dada ayam, kecuali fase penundaan memiliki jangka waktu yang lebih pendek.
Menurut (MCKEE S. R. and SAMS A. R, 1997) dalam jurnal yang berjudul : Rigor
Mortis Development at Elevated Temperatures Induces Pale Exudative Turkey Meat
Characteristics. Temperatur post-mortem menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi
proses kekakuan dan kualitas daging secara keseluruhan (Lee etal, 1979.). de Femery dan
Pool (1960) menunjukkan bahwa kalkun yang mengalami proses postmortem pada suhu 37
sampai dengan 41 C selama rigor mortis dapat mempercepat laju glikolisis post-mortem.
Pada babi menunjukkan bahwa percepatan terjadinya rigor mortis terjadi saat suhu
karkas tinggi. Secara khusus, Briskey(1964) menjelaskan bahwa pH rendah dikombinasikan
dengan suhu tinggi akan mempercepat proses rigor mortis karkas akibat adanya denaturasi
protein dalam otot. Hilangnya fungsi protein karena adanya denaturasi protein dianggap
sebagai faktor utama yang berhubungan dengan perkembangan karakteristik daging. Selain
itu, fase rigormortis daging babi pada temperatur tinggi yaitu pada suhu 37⁰C selalu
menghasilkan karakteristik daging yang lebih baik atau menghasilkan keempukan daging
yang maksimal dan berkualitas. Sedangkan, suhu berkisar dari 10 hingga 25⁰C telah
ditemukan tidak memiliki mempengaruhi keempukan daging unggas.
http://www.icomst.helsinki.fi/ICoMST2008/CD%20Papers/General%20speakers+pos
ters-3p%20papers/Session8/8.10.Li.pdf
Ditunjang pula dalam jurnal “THE ROLE of CAUSE of DEATH BY LIGATURE
ASPHYKSIA AND BLOODING PRICKING TO RIGOR MORTIS MECHANISM at NEW
ZEALAND WHITE RABBIT” menurut ( Fitri Juliarto, Arif Rahman Saddad,Santoso).
Berdasarkan penelitiannya didapatkan pengukuran kontraksi otot sebagai berikut :
No Pendarahan Asfiksia
Menit 3
0
Menit6
0
Menit9
0
Menit12
0
Menit3
0
Menit6
0
Menit9
0
Menit12
0
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
6,17
6,17
6,17
6,17
3,08
3,08
3,08
3,08
6,17
6,17
6,17
3,08
6,17
6,17
3,08
6,17
15,34
12,34
0,38
6,17
3,08
6,17
6,17
9,25
9,25
9,25
9,25
6,17
9,25
9,25
9,25
3,08
12,34
9,25
0,77
3,08
0,77
1,54
3,08
6,17
6,17
9,25
12,35
6,17
6,17
12,34
6,17
1,54
9,25
3,08
3,08
3,08
0,38
0,77
3,08
3,08
3,08
3,08
9,25
3,08
1,54
6,17
6,17
0,38
3,08
9,25
3,08
3,08
3,08
3,08
3,08
3,08
6,17
6,17
3,08
3,08
3,08
6,17
6,17
0,38
6,17
15,43
0,38
6,17
6,17
6,17
9,25
6,17
9,25
9,25
6,17
6,17
6,17
9,25
6,17
9,25
6,17
12,34
1,54
12,34
9,25
15,43
15,43
6,17
6,17
9,25
9,25
9,25
12,34
6,17
12,24
15,34
3,08
9,25
0,77
6,17
3,08
6,27
6,27
3,08
3,08
3,08
9,25
9,25
9,25
6,17
9,25
12,35
Dari data diatas diuji beda tiap menit pada kelompok I dan kelompok II apabila
terdapat kelompok dengan p>0,005 maka tidak terdapat perbedaan kontraksi maka tidak
terjadi kontraksi otot. Pada keadaan ini maka dapat disimpulakan bahwa saat itu terjadi
proses rigor mortis. Kemusian hasil tersebut dibandingkan antara perlakuan I dan perlakuan
II maka akan terdapat perbedaan waktu saat terjadinya rigor mortis.
Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai perbandingan tiap kelompok
dengan dilihat pada table. Analisa pada kelompok perdarahan :
Menit30-menit60 Menit60-menit90 Menit90-menit120
Asymp.sig 0,027 0,062 0,003
Pada hasil uji non parametric kolmogrov smirnov pada kelompok perdarahan dipatkan
tidak ada perbedaan pada menit tersebut tidak terjadi kontraksi otot yang menunjukkan sifat
rigor mortis(kaku) terjadi pada menit ke 60-90 karena pada menit tersebut tidak terjadi
kontraksi otot yang menunjukkan sifat rigor (kaku) pada otot tersebut.
Pada hasil uji non parametric Wilcoxon Signed Ranks Test pada kelompok asfiksia :
Menit30-menit60 Menit60-menit90 Menit90-menit120
Asymp.sig 0,000 0,032 0,001
Dari data diatas didapatkan bahwa semua hasil menunjukkan ada perbedaan
(p<0,005). Hal ini menujukkan masih adanya kontraksi otok meskipun terdapat penurunan
kekuatan kontraksi otot. Hal ini disebabkan karena menurunya jumlah cadangan energy
dalam otot. Hal ini dapat disumpulkan bahwa rigor mortis (kaku mayat) terjadi pada menit
>120.
Dari kedua hal diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses rigor mortis
pada kelompok II (asfiksia) terjadi lebih lambat daripada kelompok I (perdarahan), maupun
sebaliknya.
Dari hasil penelitian didapatkan ada perbedaan pada proses kematian pada rigor
mortis (kaku) pada. kelompok perdarahan akibat penusukan dan kelompok asfiksia akibat
penjeratan.
Hal ini dapat dinilai adanya perbedaan waktu antara kelompok perdarahan dan
asfiksia. Pada kelompok perdarahan rigor mortis terjadi pada menit60 dan menit 90,
sedangkan pada kelompok asfiksia rigor mortis (kaku) terjadi pada menit >120.
Pada kelompok perdarahan, proses rigor mortis terjadi pada menit60 dan menit90
karena pada menit tersebut tidak ada perbedaan (p>0,05) kontraksi otot yang terjadi.Pada
menit tersebut otot telah mulai kehilangan ATP dan fosfokreatinin yang digunakan sebagai
sumber utama energi didalam otot. Kehilangan energy menyebabakan tidak adanya energi
sebagai motor penggerak aktivitas otot. Sehingga pada menit 60 dan menit 90 otot telah
mengalami rigor mortis (kaku).
Pada kelompok asfiksia, proses rigor mortis (kaku) tidak terjadi pada menit≤
120.Pada menit 30 dan menit 60 masih terdapat perbedaan kontraksi otot yang terjadi. Pada
menit tersebut terjadi kenaikan kekuatan kontraksi otot yang terjadi karena masih tersedianya
sumber energi didalam otot. Pada menit 60 dan menit 90 masih terdapat perbeadaan kontraksi
otot. Pada menit ini terjadi berbagai variasi bentuk.Ada yang mengalami penurunan kontraksi
maupun kenaikan kekuatan kontraksi. Sedangkan pada menit 90 dan menit 120 banyak yang
mengalami penurunan kekuatan kontraksi.Sehingga dapat disimpulkan bahwa rigor mortis
(kaku) terjadi pada menit >120.
Dari kedua data diatas dapat disimpulkan bahwa kekakuan otot pada kelompok
perdarahan terjadi lebih cepat daripada kelompok asfiksia. Hal ini diakibatkan karena pada
kelompok perdarahan kehilangan oksigen terjadi lebih cepat. Kehilangan oksigen disebabkan
adanya kehilangan darah yang cepat (akut). Didalam darah terdapat hemoglobin yang salah
satu fungsinya adalah bahan transport oksigen keseluruh tubuh. Oksigen akan berikatan
dengan hemoglobin yang akan ditransport ke seluruh tubuh melalui sistem arteri maupun
vena. Sedangkan pada kelompok asfiksia, kehilangan oksigen berlangsung lebih lambat,
sehingga kehilangan ATP akan berlangsung lambat. Dalam hal ini proses rigor mortis akan
berlangsung lebih lama.
Setiap otot baik otot serat lintang, otot polos maupun otot jantung memiliki simpanan
glikogen didalam otot. Glikogen merupakan bentuk lain dari glukosa yang diubah untuk
dijadikan sebagai cadangan energi. Didalam tubuh glikogen banyak disimpan didalam hati
dan otot. Apabila dibutuhkan maka glikogen dapat diubah menjadi glukosa yang merupakan
sumbr energi didalam tubuh. Setiap satu molekul glukosa akan diubah menjadi 40 ATP.
Tanpa ATP tubuh tidak dapat melakukan menjadi metabolisme, sehingga kekuangan ATP
dapat menyebabkan prose kematian sel.
Lebih secara rinci, bahwa yang terjadi adalah membran sel otot yang yang menjadi
lebih permeable terhadap ion calcium. Aktivitas sel otot menggunakan banyak energi untuk
mengangkut ion calcium keluar dari sel. Ion calcium yang mengalir ke dalam sel otot
mempromosikan pemasangan jembatan silang (cross-bridge) antara actin dan myosin, dua
jenis serabut yang bekerja sama di dalam otot. Sehingga serabut otot akan menjadi lebih
pendek dan lebih pendek sampai mereka secara penuh berkontraksi/memendek atau
sepanjang neurotransmitter acetylcholine dan molekul energi adenosine triphosphate ( ATP)
masih ada. Bagaimanapun, otot memerlukan ATP dalam rangka melepaskan suatu
kontraksi/pemendekkan (digunakan untuk pompa calcium ke luar dari sel sehingga serabut
dapat membuka dari satu sama lain). ATP cadangan dengan cepat dilepaskan untuk kontraksi
otot dan proses selular yang lain. Ini berarti actin dan myosin serabut akan tetap berhubungan
sampai otot tersebut mengalami relaksasi sekunder.
Pada penelitian yang lain yang dilakukan oleh Kobayashi et all, membuktikan bahwa
proses rigor mortis (kekakuan) maju dengan cepat di dalam otot merah dibanding di dalam
otot putih ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara waktu dengan proses kekakuan
(rigor mortis). Perbedaan dalam kekakuan rigor mortis antara otot ini dicerminkan oleh
perbedaan di dalam kekakuan mortis antara serabut otot yang utama, tetapi penyebab dari
kemajuan kekakuan mortis cepat di dalam serabut otot merah yang tak diketahui. Kehilangan
ATP, yang memudahkan kekakuan mortis, akan bersifat lebih cepat di dalam otot merah
dibanding di dalam otot putih. Adalah dimungkinkan pada keadaan postmortem produksi
ATP akan lebih sedikit di dalam otot merah dibanding di dalam otot putih sebab serabut otot
merah berisi lebih sedikit glycogen dibanding serabut otot putih.
Selain faktor diatas,kekakuan juga dipengaruhi oleh suhu. Pada penelitian kobayashi
yang lain menunjukkan bahwa proses rigor mortis terjadi lebih cepat pada suhu 370 celcius
daripada suhu 250 celcius.Kenaikan 10 akan berpengaruh pada peningkatan 10% basal
metabolisme tubuh.Sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi didalam tubuh.
Dari ketiga jurnal di atas dapat diperoleh perbedaan antara rigor mortis pada ayam,
bebek dan kelinci yaitu pada rigor mortis pada ayam, ada fase rigor mortis mengalami
penurunan bertahap dalam waktu 48 jam postmortem. Fese rigor mortis maksimum terjadi
pada suhu 4 °C serta membutuhkan waktu yanglebih singkat dari pada suhu15 °C. Suhu
tinggi (15 ° C) memiliki dua efek pada seluruh proses. Disatu sisi, hal itu mengakibatkan
denaturasi-protein, disisi lain mempercepat proses penyelesaian kekerasan nanti. Pada rigor
mortis pada bebek memiliki perubahan yang mirip dengan ayam, kecuali fase penundaan
memiliki jangka waktu yang lebih pendek. Pada rigor mortis pada kelinci terjadi pada menit
60 dan menit 90 karena pada menit tersebut tidak ada perbedaan (p>0,05) kontraksi otot yang
terjadi. Pada menit tersebut otot telah mulai kehilangan ATP dan fosfokreatinin yang
digunakan sebagai sumber utama energi didalam otot. Kehilangan energy menyebabkan tidak
adanya energi sebagai motor penggerak aktivitas otot. Sehingga pada menit 60 dan menit 90
otot telah mengalami rigor mortis (kaku).
Posted 18th November 2011 by khamel
engapa Daging Putih (unggas, babi, kelinci) Lebih Mudah Busuk Daripada
Daging Merah (sapi, kerbau, kambing)???
27 Juni 2011 5:34 AM / Tinggalkan Sebuah Komentar
Daging dapat dibedakan atas daging merah (Gambar 1) dan daging putih (Gambar 2)
tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang
memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan enzim
respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen yang rendah.
Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin,
mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat/cepat serta
kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai kadar protein dan air yang lebih
tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar lemak jenuh dan
kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih (Usmiati 2010).
Gambar 1. Daging Merah
Gambar 2. Daging Putih
Daging putih bila ditinjau dari segi nutrisi yang dimiliki, memiliki kadar nutrisi yang sedikit
lebih tinggi dari daging merah, selain kandungan proteinnya, asam amino dari daging putih
juga lebih tingggi dari daging merah (Tabel 3 dan 4), sehingga daging putih lebih cepat busuk
di banding daging merah, terutama proses pembusukan yang disebakan oleh mikroba. Selain
hal tersebut aktivitas otot yang singkat dan cepat juga memungkinkan cepatnya proses
pembusukan pada daging putih. Setelah ternak disembelih akan terjadi peroses konversi otot
menjadi daging berupa proses fisikokimia yaitu perubahan dari energy fisik menjadi energi
kimiawi yang ditandai dengan kekakuan mayat/rigor mortis (Abustam 2009). Setelah
kekauan mayat daging akan memasuki fase pasca rigor, dan berangsur mengalami proses
pembusukan seiring dengan peningkatan pH daging.
Tabel 3. Komposisi kimia daging merah dan putih
Sumber: Afifah 2010
Tabel 4. Kompisis asam amoni daging merah dan daging putih
Sumber: Afifah 2010
Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai konstan pada beberapa
waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging dalam keadaan dingin dan akan naik lagi
pH-nya pada kontaminasi dan kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih, secara
objektif pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan susunan
komposisinya (Forrest et al. 1975, dalam Aprilya 2010). Cepatnya proses rigor pada daging
putih memungkinkan cepat pula proses pembusukannya.
Daftar Pustaka
Abustam E. 2009. Konversi Otot Menjadi daging. CINNATA Modul II. [terhubung berkala].
http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html. [25
Okt 2010].
Afifah DN. 2010. Daging. Handout. [terhubung berkala].
http://eprints.undip.ac.id/881/1/DAGING_IBM.pdf. [3Nov 2010].
Aprilya I. 2010. Analisis Sifat Fisik Daging. [terhubung berkala].
http://ikaa083.student.ipb.ac.id/academic/analisis-sifat-fisik-daging. [3 Nov 2010].
Usmiati S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Artikel. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus Penelitian Pertanian, Bogor.
Perbedaan Otot dan Daging
26 Juni 2011 9:14 AM / Tinggalkan Sebuah Komentar
Otot adalah sebuah jaringan dalam tubuh yang tugas utamanya
kontraksi (Wapedia, 2010). Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang
tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang
berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan
berkontraksi dan berelaksasi. Jadi otot dapat dikatakan sebagai alat pergerakan mekanik pada
mahluk hidup (manusia dan hewan) pada saat hidup.
Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan
dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan di dalam hati
dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat
(aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan
untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau
beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet/rangka tubuh) disebut sebagai alat
pergerakan tubuh atau sebagai energi mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C,
H, O) maka disebut juga sebagai energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian
maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan
disebut sebagi energi kimiawi saja. Energi mekanik dari otot tersebut akan mengalami
serangkain perubahan biokimia dan biofisik sampai terbentuk rigor mortis, ditandai dengan
kekakuan otot (tidak flexible) hal ini disebut dengan proses konversi otot menjadi daging
(Abustam, 2009).
Dari penjabaran di atas maka daging dapat didevinisikan sebagai
kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut
sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak
merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging
(pangan hewani) (Valacute, 2009). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan
setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati
dan otot telah berubah menjadi daging. Terjadi proses konversi dari otot menjadi daging
sehingga sesaat setelah ternak disembelih seharusnya kata otot sebagai penyusun tubuh
ternak masih digunakan sampai otot telah berubah menjadi daging ditandai dengan timbulnya
kekakuan (kejang mayat) dan berangsur-angsur mengalami pengempukan pasaca kekakuan
tersebut (Abustam, 2009).
Dengan perubahan energi mekanik (otot) menjadi energi kimiawi (C, H, O, asam amino, dll)
pada daging, maka daging sangat berpotensi sebagai media untuk pertumbuhan mikroba
karena memiliki zat-zat nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba (C, H, O,
asam amino, dll). Oleh karena itu dibutuhkan penanganan pasca panen yang tepat pada
daging, untuk mencegah kontaminasi dan cepatnya proses kerusakan oleh mikroorganisme.