materi pembahasan

45
MATERI PEMBAHASAN : I. BAHAN DAGING II. SUMBER DAGING UMUM III. HEWAN BESAR IV. HEWAN KECIL DAN BABI V. DAGING UNGGAS I. BAHAN DAGING PENGERTIAN DAGING 1. Pengertian Histologik :=> Daging = urat daging utk menggerakkan bagian badan terdiri atas tenunan daging dgn bbrp komponen yg menyatu dan ujung2nya mengakar di tulang Ujung daging = tendon, disebut daging urat oleh masyarakat Sebagai bahan pangan : => Daging = hasil proses pemotongan hewan sehat yang aman untuk dikonsumsi Susunan histologik : serabut daging, ten.pengikat, ten. lemak, pemb. darah, serabut syaraf

Upload: defa-itemjelex

Post on 06-Jul-2015

2.783 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi pembahasan

MATERI PEMBAHASAN : I. BAHAN DAGING

II. SUMBER DAGING UMUM

III. HEWAN BESAR

IV. HEWAN KECIL DAN BABI

V. DAGING UNGGAS

I. BAHAN DAGING

PENGERTIAN DAGING

1. Pengertian

Histologik :=> Daging = urat daging utk menggerakkan bagian

badan

terdiri atas tenunan daging dgn bbrp komponen yg menyatu dan

ujung2nya mengakar di tulang

Ujung daging = tendon, disebut daging urat oleh masyarakat

Sebagai bahan pangan : => Daging = hasil proses pemotongan hewan sehat yang aman untuk dikonsumsi

Susunan histologik : serabut daging, ten.pengikat, ten. lemak, pemb. darah, serabut syaraf

Page 2: Materi pembahasan

2. Susunan Daging :

Susunan utama : tenunan serabut daging, ten. pengikat, ten lemak

menentukan textur/mutu daging

Tenunan pengikat : => sel fibroblast, sel lemak, pembuluh darah,

syaraf, serabut2 tenunan pengikat extraseluluer

Serabut pengikat extraseluler : kolagen, retikulin, elastin

Urat daging : => tersusun secara berkelompok bertingkat dari serabut

daging yang dibungkus oleh epimesium atau perimesium

Dilapisi tenunan pengikat dan disambung tendon yg melekat ke

tulang

3. Gambar Skema susunan daging

B. SUSUNAN KIMIA

1. Tabel Proximat :

tak terlalu jauh bedanya pada berbagai jenis daging

lebih ditentukan oleh kondisi ternaknya

jenis dan kondisi protein dan lemak menentukan keempukan daging

Tabel Komposisi Kimia Daging

1. Kadar Air 75 %

Page 3: Materi pembahasan

2. Protein 18 %

3. Lemak 3 % (sangat bervariasi)

4. Karbohidrat 1.2 % ( glikogen)

5. Nitrogen non protein 1.6 % (amin, amida, DNA, vitamin, dll)

6. Mineral 0.7 %

2. Sifat + Protein daging : Jenis proteinnya sangat komplex

Kadar protein : tertinggi setelah kadar air, kaya protein

4 Asal protein : serabut daging, plasma sel, tenunan pengikat,

serabut luar sel

Serabut Daging : aktin + myosin :=> penentu keras/empuk daging

Tenunan Pengikat : menentukan kekenyalan + kealotan daging

Tenunan Lemak : penentu kelembutan dan rasa daging

C. SIFAT RIGOR MORTIS (= Kondisi kontraksi daging stlh potong)

Urat daging : jadi kaku, rigor mortis juga disebut kaku mayat

3 Fase : preregor, regor mortis, post regor (pasca rigor)

Preregor : kondisi daging stlh potong :=> relax, lembek, reaktif

Rigor mortis : 1 – 5 jam stlh potong :=> daging kaku, keras

Post rigor : stlh aging (pelayuan) daging relax kembali dan empuk

Waktu preregor pendek, empuk dan enak dimasak pd waktu post

rigor

D. MUTU DAGING

Page 4: Materi pembahasan

Complex : banyak factor pengaruhi mutu segar dan produk olahan

Asal ternak dan mutu daging : pengaruhi penggunaan, proses

pengolahan dan mutu hasil olahan

Untuk olahan daging langsung (= tak digiling) post rigor adalah

terbaik

Fase preregor + rigormortis : terbaik utk pengolahan daging digiling (bakso, sosis, nugget)

Sumber daging = asal ternak : tentukan jenis olahan + mutu

Hasil

E. PERANAN DAN PEMANFAATAN DAGING

#1. Peranan : bhn utk masakan, komoditas, bhn industri, expor

Sebagai bahan makanan : => bergizi tinggi dan lengkap

#2. Pemanfaatan : banyak pemanfaatan

Bhn pangan masyarakat : daging unggas lebih merata

Bhn industri : IKM, industri R.T.: => bakso,nugget,

Ind. Besar : => corned beef, sosis

=> retail cut meat : mis. sirloin steak

Page 5: Materi pembahasan
Page 6: Materi pembahasan

II. SUMBER DAGING (UMUM)

A. SUMBER DAGING

Sumber daging kritikal : penentu mutu, harga, penggunaan dan

cara pengolahan

Bnyk liku2 dlm perdagangan ternak + daging: peraturan ktertiban

1. Sistem penggolongan sumber daging : Sistem penggolongan:

=> Jenis ternak, jenis kelamin, status ternak, cara budidaya :=> mutu

1. Jenis ternak : => Unggas, Ruminansia, Ternak lain

=> Ruminansia : hewan besar, hewan kecil, babi,

=> Unggas : ayam ras, Buras,itik, puyuh, merpati

=> Ternak lain : kelinci, rusa,

2. Kondisi ternak : Status kebugaran, Umur, Berat

3. Cara Budidaya : beberapa teknologi

4. Jenis Kelamin : jantan, betina, gastrasi/kebiri

5. Asal Ternak : Domestik vs impor

6. Tipe Ternak : Tipe susu vs pedaging (sapi, kerbau, kambing)

2. Cara Budidaya :

1. Hewan Kerja :tua, tarik luku/pedati :=> daging keras, lemak sedikit

Page 7: Materi pembahasan

2. Ternak gembala : peletakan daging+lemak sedang =>agak empuk

3. Kereman : ternak kerja/gembala :=> digemukkan dlm kandang,

pakan khusus: => mutu daging baik, tapi bervariasi

o daging agak empuk sampai empuk, mutu sedang ke tinggi

o tua yg digemukan : => peletakan daging + lemak sedang

o gembala : => peletakan daging + lemak bagus, mutu bagus

4. Budidaya Sapi Muda jantan:

o pakan : dikendalikan antara rumput + konsentrat o peletakan daging + lemak seimbang, Mutu daging tinggi

5. Feedlock : Kereman sapi pedaging impor: => mutu tinggi

3. Penggolongan Kelamin :

Jantan : ras spesifik dan peragaan bagus => tak dipotong, untuk bibit

Betina : muda + dewasa : => dilarang dipotong (utk produksi)

4 jenis : => 1. Jantan muda (bukan bibit) => mutu : sedang ke tinggi

o 2. Betina tua : => mutu daging rendah

o 3. Jantan/Betina afkir (tak produktif) : => mutu sedang

o 4. Jantan kebiri : => mutu tinggi

4. Status : Grading ternak potong berdasar berat hidup kg/ekor :

Jenis Hewan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Sapi > 350 250 – 350 < 250 -

Page 8: Materi pembahasan

Kerbau 250 – 400 > 400 < 250 -

Kambing 30 – 40 > 40 < 30 -

Domba 15 – 30 kg/ekor, domba kacang

30 – 60 kg/ekor, domba ekor gemuk

Babi 70 –100 101 – 116 < 70 > 132

Page 9: Materi pembahasan
Page 10: Materi pembahasan

III. HEWAN BESAR

A. SUMBER DAGING SAPI : Komoditas daging utama

Jenis ras: => kritikal thd peragaan + mutu karkas/daging

Sama ras lokal vs impor :=> beda mutu daging

Sapi lokal : Madura, Bali, Peranakan Onggol, Peranakan F.H.

Sapi Impor Pedaging : Brahman, Shorthond, Angus,

Sapi Perah : Pedet dan dewasa afkir ( = tak produktif susu)

Pemotongan : wajib/harus di RPH (Rmh Potong Hewan)

1. Sapi Peranakan Onggol (Benggala, PO) :

Didatangkan : Jaman Kerajaan Hindu + Jaman penjajahan (1800-an)

Anak beranak menjadi sapi rakyat : => disebut sapi Benggala

Sifat ternak : => bulu putih keabu-abuan

o Punya punuk, leher bergelambir

o Ukuran besar, kuat (sebagai sapi kerja)

o Peletakan daging bagus : mutu daging bervariasi

2. Sapi Madura : => Indigenous p.Madura dan Jawa Timur

o Sekarang menyebar ke bbrp daerah

o Jantan+Betina : bulu merah, ukuran hampir sama, jantan >

besar

o Peletakan daging + lemak cukup : mutu daging sedang

3. Sapi Bali : => Indigenus p. Bali

o Jantan : besar, bulu hitam, pantan putih, mirip banteng,

Page 11: Materi pembahasan

o Betina : kecil, bulu merah, mirip sapi Madura,

o Peletakan daging sedang sampai baik

4. Sapi Peranakan F.H. : => Sapi perah rakyat

o Seabad lalu didatangkan dari negeri Blanda

o Sapi merakyat / bersilang dgn sapi local sapi perah rakyat

(SPR)

o Warna belang hitam putih, dominan hitam

o Sapi tipe susu, produksi rendah, bila waktu kering laktasi:

dulu menjadi sapi kerja, sekarang waktu laktasi lebih panjang.

o Ukuran bervariasi, karena campur darah dg sapi lokal

o Sumber daging : pedet jantan, muda afkir, betina + jantan

tua

o Peletaklan daging : cukup, mutu sedang

5. Sapi Susu Impor : Frieschen Holstein (F.H.)

o Diimpor sejak 1980-an untuk produksi susu bagi warga asing

o Sumber daging : pedet jantan, betina afkir, betina+jantan tua

o Sifat ternak : => ukuran sedang sampai besar

o Warna : belang hitam putih menyolok, dominan putih

o Peletakan daging : tgt. Kondisi ternak, umumnya sedang

6. Sapi Tipe Pedaging Impor : tuntutan bisnis : mutu daging tinggi

o Bbrp jenis, tgt. negara impor : Shorthorn, Angus, Brahman,

o Diimpor utk. mutu daging tinggi : dgn pemasaran khusus

o Sifat ternak : badan besar, tinggi, gemuk, warna bulu tgt.

jenis

Page 12: Materi pembahasan

o Peletakan daging + lemak banyak + seimbang : empuk

sekali

o Mutu daging sangat tinggi : utk hotel, restoran, psasar

swalayan

B. SUMBER DAGING KERBAU

1. Sumber Daging :

Ternak kerbau distribusinya lebih merata drpd ternak sapi

Sbgai ternak kerja, penghasil pupuk dan tabungan : dikandangkan

Di Toraja sebagai simbul prestise : pemeliharaan intensif

Populasi menyusut, tapi merata di daerah, sdikit di Maluku dan Irian

Golongan : kerbau local dan peranakan, belakangan juga dr impor

Jenis kerbau : Kerbau sawah, rawa dan peranakan kerbau Murrah

2. Daging Kerbau :

Dipasar tak dikenal daging kerbau, diberi nama sebagai daging sapi

Daerah Kudus : penduduk menyebut + senang : daging kerbau

Secara umum daging kerbau mutunya lebih rendah drpd sapi.

Produsen daging utama kedua setelah sapi

3. Kerbau Sawah

Sebagai ternak kerja disawah, juga sebagai penarik pedati

Paling luas penyebarannya di antara 3 jenis kerbau

Dipiara di kandang, pakan rumput, jarang/tidak pakan konsentrat

Badan besar, leher kuat, tanduk besar panjang

Page 13: Materi pembahasan

Dewasa : Tinggi 110 Cm, berat 400 – 500 kg/ekor

Ternak kerja : peletakan lemak rendah, daging sedang, serat kasar

Mutu daging termasuk rendah, tetapi persentase daging tinggi

4. Kerbau Rawa

Hidup dirawa-rawa, di Kalimantan, bukan ternak kerja

Digembalakan di rawa2, kandang sederhana di lapangan

Bentuk dan ukuran mirip kerbau sawah, lebih gemuk

Peletakan daging + lemak baik, mutu daging sedang: ≈ dg. sapi

Mutu daging lebih baik drpd kerbau sawah

5. Kerbau Peranakan Murrah

Asal India, sudah lama didatangkan dr India sebagai kerbau perah

Diternakkan oleh etnis India sekitar Medan, dicoba ke daerah lain

Sbgai kerbau perah : dikandangkan, pakan tambahan konsentrat

Juga sbgai ternak kerja : yg jantan + betina masa tak laktasi

Bdn tinggi, paha+kaki kokoh, leher pendek, kepala besar, tanduk

kecil

Tinggi 125 Cm, berat 300–500 kg, bisa mencapai 600–700 kg/ekor

Umur dewasa 24 bulan

Peletakan daging+lemak sedang, mutu daging :=> kurang ke sedang

III. DAGING HEWAN KECIL DAN BABI

A. MAKNA DAGING KAMBING

Daging Kambing dan Domba :

o Dari kambing dan domba : => di pasarana disebut daging

kambing,

Page 14: Materi pembahasan

o Tak dikenal nama daging / sate domba

Sebenarnya mutu daging kambing ≠ domba

Dipasar jarang dijual dag. kambing benar hanya di kios exklusif

Dijual bentuk hewan hidup, dibeli utk. hajatan, utk rumah makan

Pemotongan : wajib di RPH, tp banyak diluar RPH

Belum dikenal Kelas Mutu (Grades) dag. Kambing

Peranan + Pemanfaatan: belum utk industri, bhn pangan rakyat

=> Utk pesta perhelatan / perayaan, daging kurban

=> Populer sebagai sate : di restoran, rmh makan, PKL

B. SUMBER DAGING KAMBING

Jenis kambing : => kacang, etawah, benggala

1 Kambing Kacang :

Ras local : macam2 nama, populasi terbesar, lebih luas tersebar

Ukuran : Jantan : 15 – 20 kg (=> 20 kg), tinggi 50 –60 Cm

Betina : 10 –16 kg, tinggi 45 – 55 Cm.

Bentuk : kecil pendek, telinga+kepala hidung kecil, leher pendek

Mulai dewasa : 6 bulan

Mutu daging terbaik umur 1 – 2 tahun, pada berat 20 – 25 kg/ekor

2. Kambing Benggala ( = Peranakan Etawah) :

Campuran Etawah X lokal (Kacang)

Ciri : => sangat beragam, namun ada ciri2 khusus

Page 15: Materi pembahasan

o Badan dan kepala sedang sampai besar o Telinga panjang menggantung

o Profil hidung panjang melengkung

Ukuran : Jantan tinggi 65–70 Cm, berat 25–35 kg, (-> 45 Kg/ekor)

Betina : 55 – 60 Cm, berat 15 – 25 Kg/ekor

Mulai dewasa : 6 bulan

Mutu Daging terbaik : 1 – 2 thn, pada dengan berat 35 – 45 kg/ekor

3. Kambing Etawah :

Jenis ini sudah turun temurun di Nusantara, relatif darah murni

Tergolong tipe perah/susu : ambing besar, jenis unggul untuk bibit

Badan besar : Jantan 40 – 50 kg (=> 60 kg), tinggi 70 – 80 Cm

Betina : 30 – 45 kg/ekor, tinggi 60 – 70 Cm

Ciri : Kepala besar, mulut lebar, telinga panjang menggantung,

hidung lengkung

Umur dewasa : 6 bulan

Mutu daging terbaik : umur 1 – 2 thn, berat 40 – 50 kg/ekor

C. SUMBER DAGING DOMBA

Sumber Domba : Domba Garut, Ekor Gemuk, Kacang

Dipiara jumlah besar, digembalakan

Domba local bukan tipe wool dan pedaging

Peletakan daging + lemak tak tebal

Dagingnya lebih lembut drpd daging kambing

Sate kambing enak : biasanya dari daging domba

Aroma daging domba : lebih ringan, daging kambing sangat tajam

Page 16: Materi pembahasan

1. Domba Ekor Gemuk:

Domba terpopuler, berasal dari Jabar

Ciri2 : => Ekor agak panjang, menebal oleh lemak, =>ekor gemuk

o Tanduk kecil, yg betina sering tak bertanduk

o Badan sedang : Jantan : 40 – 60 kg, tinggi 60 – 65 Cm

Betina : 25 – 40 kg, tinggi : 50 – 60 Cm

Umur dewasa : 6 bulan

Mutu daging terbaik : 12 – 30 bulan, dg. berat 50 kg/ekor

2. Domba Garut :

Diternakkan di Jabar, => untuk aduan

Bdn besar, depan lebar, jantan bertanduk besar, betina tak

bertanduk

Jantan : 50–70 kg, tinggi 75-80 Cm; Betina 30–40 kg, tinggi 60-65

CM

Umur dewasa : 6 – 9 bulan

Mutu daging terbaik : 1 – 2 thn, 60 kg/ekor.

3. Domba Kacang :

o Jenis local : kecil => domba kacang, sebaran lebih luas

o Badan dan tanduk : kecil

o Ukuran berat : 10 – 25 kg, tinggi 40 – 55 Cm

D. DAGING BABI

Page 17: Materi pembahasan

1. Sumber Daging Babi

Babi : Tak masuk hewan besar/kecil => kelompok tersendiri

Unik : Haram bagi umat Islam, punya makna retual agama2

tertentu

Arti ekonomi : di bbrp daerah penting : => Jakarta, Bali, Sumut,

Tanggerang,

Jadi bidang usaha : termasuk expor

Peletakan daging + lemak :

o tipe Lard : Gemuk : => daging + lemak tebal

o tipe Baccon : daging tebal, lemak sedang

Sumber daging : jenis lokal, peranakan dan impor

Penggunaan daging : untuk masakan Cina, rmh makan khusus

untuk export ke Singapur, Taiwan

Babi lokal :

domestikasi babi liar :=> Bali, Nias, Kalteng, Toraja, Irian :

=> bentuk mirip babi hutan

Peletakan lemak :=> tipis

Badan : => kecil, pendek, warna abu2, kulit + bulu kasar,

perut menggantung

Peliharaan : dilepas/liar, tak dikandangkan, peletakan daging : tipis

1. Babi Bali

Page 18: Materi pembahasan

Hampir merata di p.Bali, kecuali pantura,

Sbgai ternak keluarga, pemeliharaan mirip seperti ayam kampung

Umur dewasa : 6 bulan

Berat badan : jantan 40 – 60 kg, betina 30 – 50 kg/ekor

Daging babi Bali hanya utk konsumsi lokal.

2. Babi Sumatra : di Tapanuli, p. Nias, => dagingnya utk konsumsi

lokal

Pemeliharaan mirip di Bali, dilepas

Bentuk menyerupai babi hutan, bulu depan kasar dan lebat/tebal

3. Babi Irian : Dagingnya untuk konsumsi lokal

Pemeliharaan lebih intensif, bulu lebih halus

Simbul kekayaan, dirumahkan, lebih bersih

4. Babi Peranakan : => Campuran babi Cina X babi local, turun temurun

o Berbagai nama daerah : Babi Tanggerang, babi Krawang,

dll

o Dipiara oleh etnis Cina

o Diternakan dlm kandang, pakan konsentrat

o Umur dewasa 6 bulan

o Postur tubuh : => pendek gemuk, punggung panjang agak rata

o Warna belang hitam putih, banyak putih

o Berat badan ; jantan 60 kg, betina 50 kg/ekor

o Dagingnya untuk masakan Cina

5. Babi Impor = Babi Eropa : => Asal negeri Belanda

Bersama peranakan babi Eropa, menjadi satu jenis

Page 19: Materi pembahasan

Badan + kepala : besar – panjang, punggung melengkung atau lurus

Warna kulit putih

Berat 80 – 100 kg/ekor

Dagingnya utk masakan Cina dan utk expor

Page 20: Materi pembahasan
Page 21: Materi pembahasan

IV. DAGING UNGGAS

A. SUMBER DAGING : Volume produksi terbesar > dg sapi

1. Pengertian Daging Unggas :

Unggas : Sumber daging dari bangsa burung

7 macam : ayam ras, Buras, itik, mentok, angsa, puyuh, merpati

2. Bentuk komoditas :

Bentuk Daging : => karkas, potongan karkas, dan jerohan

Bentuk unggas hidup : => ayam Buras, itik/bebek

Bentuk masakan : => ayam, merpati, puyuh

Bentuk olahan industri : => dr ayam ras,

B. PEMOTONGAN UNGGAS

= proses penyembelihan unggas untuk menghasilkan karkas

Karkas unggas = hasil pemotongan dengan memisahkan bagian bulu,

jerohan, dengan atau tanpa kaki, leher-kepala

Pemotongan : dilakukan di rumah potong unggas (RPU),

namun untuk unggas ada flexibilitas RPU

Rumah Potong Unggas (RPU = RPA) : 4 tingkat :

=> TPA, RPA Semimekanik, RPA, RPA Moderen

Page 22: Materi pembahasan

Proses Pemotongan ; akan dibahas di bhn kuliah ayan ras

Hasil / Rendemen Pemotongan Ayam :

1. Karkas 65 – 75 %

2. Jerohan 9 - 10 %

3. Kepala + Leher 8 %

4. Kaki 4 %

5. Darah 9 - 10 %

6. Bulu 6 %

C. AYAM

Jenis Ayam : Ayam ras (tipe pedaging + tipe petelur) dan Buras

Ayam ras : beda macam => berbeda bentuk dan mutu dagingnya

5 sumber : Broiler, ayam cull, petelur tua, jantan Layer dan Buras

1. Broiler ( = Ayam Ras Tipe Pedaging)

Broiler : cepat tumbuh, umur 5 minggu berat hidup 1,25 kg

Di Indonesia dipanen 5 – 8 minggu, berat hidup 1,25 – 2,4 kg/ekor

Di luar negeri : 8 – 10 minggu, berat hidup 2,4 – 5 kg/ekor

Dipotong belum dewasa : daging lunak, peletakan daging tebal,

sedikit lemak

Ukuran karkas yg umum inginkan : sekitar 1 kg/karkas

Dijual : Bnentuk komoditas :

# Di pasar tradisional : bentuk karkas telanjang dgn kepala

Page 23: Materi pembahasan

# Di swalayan : karkas kemasan tanpa kepala + potongan karkas

2. Layer Tua ( = Ayam Tipe Petelur, umur > 18 bln + tak produktif )

Layer : produsen telur, masa produktif 6–12 bln, bisa sampai 18

bln

Dipanen/dipotong : setelah tua tak produktif

3 sumber daging dr Layer : ayam tua, ayam cull, layer jantan

Badan kecil : mirip ayam kampung, berat hidup sekitar 1 kg/ekor

Sifat daging : mirip ayam kampung => dijual sebagai ayam

kampung

Mutu daging : empuk/sedang/keras :=> tergantung sumber Layer

3. Ayam Cull ( = Layer umur produktif , tetapi tak produktif )

Dari Layer muda (6 – 12 bulan) yang tidak produktif atau cacat

Batas prodfuktif : produksi = biaya pakan (60% dr biaya produksi )

Berat hidup : 1 kg/ekor atau kurang

Peletakan daging sedang, mutu sedang, mirip ayam Buras muda

Kadang2 dijual dalam bentuk hidup, sebagai ayam kampung

4. Layer Jantan ( = DOC jantan Layer, dibesarkan sampai siap potong

)

Waktu sexing DOC : populasi jantan 50 %

Dulu langsung diproses menjadi tepung pakan ( meat meal )

Sekarang dibesarkan sampai umur potong => sumber daging ayam

Dipotong : umur 2 bulan dengan berat hidup sekitar 1 kg/ekor

Dijual sebagai ayam kampung muda, mutu daging = Buras muda

Page 24: Materi pembahasan

5. Ayam Kampung (Buras = Ayam bukan ras)

Dipiara : lepas (pakan bebas) atau dikandangkan (pakan voer)

Umur panen/potong ; bervariasi, minimal 3 bulan (= ayam muda)

Dijual : bentuk hidup, berat bervarasi

Buras Muda : Ayam Dara ( ♂ ) + Ayam Muda (campur ♂ - Ộ )

Sifat daging : muda : =>empuk, flavor cukup : Mutu tertinggi

tua : => keras, tetapi flavor kuat (bagus untuk sup)

Flavor daging ayam Buras lebih disenangi drpd broiler,

C.BEBEK (MENTOK, ANGSA)

Dikelompokkan sebagai ternak unggas air

Angsa dipiara lebih sebagai pet drpd sumber daging

Mentok dipiara sebagai pengeram telur bebek bibit + dagingnya

Itik/bebek : sebagai produsen telur, juga hasil dagingnya

Dijual : Bentuk hidup atau daging olahan

Jarang/tak dijual : dlm bentuk karkas / daging segar

1. Itik/Bebek:

Juga disebut bebek sawah, digembalakan di sawah pd musim panen

Jenis/tipe petelur, tak mengeram

Postur : berdiri agak tegak, tubuh langsing, warna bulu coklat

muda

Umur produktif : 12- 18 bulan

Dipotong : setelah tua atau afkir (tak produktif) : berat > 1 kg/ekor

Page 25: Materi pembahasan

Dijual : bentuk hidup, atau sebagai olahan daging ayam

Bau daging : khas bebek, tajam, dan kurang disenangi.

2. Bebek Branti ( = Hasil silang Bebek X Mentok )

Pertumbuhan : cepat, peletakan daging bagus

Bersifat mandul : sebagai ternak tipe pedaging

Postur : antara bebek dan mentok, agak dekat ke bebek

Ukuran : lebih besar drpd bebek, 1.5 – 3 kg/ekor

Peletakan : daging tebal, lemak sedang :

Sifat / Mutu daging ; empuk, flavor lebih netral

3. Bebek Peking : Asal Cina : bersifat mengeram

Postur tubuh : condong, gemuk, leher pendek, bulu putih tebal

Berat : 2 – 3 kg, peletakan daging tebal, lemak sedang ke tebal

Mutu daging : tinggi, bau tak tajam

Tak dipasarkan bentuk hidup atau daging segar

Dijual : Sebagai hidangan khusus di restoran exklusif

4. Burung Merpati

Mulai diternakkan sebagai pedaging

Dijual : sebagai hidangan/olahan, tak dijual sebagai daging segar

5. Burung Puyuh

Diternakan sebagai petelur dan pedaging

Puyuh petelur : dipotong setelah tak produktif, umur tua

Puyuh pedaging : ukuran lebih besar : mutu daging baik

Dijual : sebagai daging olahan

Page 26: Materi pembahasan

Nov

18

Makalah Daging

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani

dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani

lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat proses

mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan baik. Dengan demikian dalam

proses pemotongan sampai pengolahan perlu diperhatikan supaya menghasilkan daging yang

berkualitas.

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-

unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi

mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi

Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai

waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk,

ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).

Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai

terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya

terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pasca rigor. Kesalahan penanganan pascamerta

sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai

dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun

pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan

daging beku (thaw rigor).

Page 27: Materi pembahasan

Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika

pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat

diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak. Secara ilmiah otot baru dapat

dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses

pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang

lebih baik dibanding pada saat prarigor.

Dalam pembuatan makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana proses rigor

mortis pada ternak unggas (ayam dan bebek), ruminansia (sapi) serta bagaimana pengaruh

lingkungan dan temperature terhadap proses rigor mortis paska pemotongan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan di bahas dalam makalah

ini dapat dikelompokkan menjadi:

1. Bagaimana proses rigor mortis itu terjadi pada ternak-ternak paska pemotongan ?

2. Bagaimana perbedaan rigor mortis antara Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia

(ayam dan bebek) ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui proses-proses dalam rigor mortis

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses rigor mortis

3. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik ternak-ternak paska pemotongan

4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah iptek pengolahan daging

1.4 Manfaat

1. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk mengetahui proses rigor mortis antara

ternak Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia (ayam dan bebek)

2. Memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat luas tentang perbedaan dan

karakteristik antara ternak Psedo-ruminansia (kelinci) dan non-ruminansia (ayam dan bebek)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, maka ini merupakan

kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang

Page 28: Materi pembahasan

dikonsumsiakan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan

disimpan didalam hati dan otot.

Glikogeni ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob)

dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk

proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau

beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet = rangka tubuh) disebut sebagai alat

pergerakan tubuh atau sebagai energy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C,

H, O) maka disebut juga sebagai energy kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian

maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energy mekanik dan energy kimiawi

akan disebut sebagian energy kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka

akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.

Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang

terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis

sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot

(tidak ekstensibel lagi).

Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:

1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui

pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam

laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP.

2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen

bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat

yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk kerantai transport electron

dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.

3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport electron dalam mitochondria

bersamadengan O2darisuplaidarahakanmenghasilkan H2O dan 4 mol ATP.

Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi

glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP. Adenosin

tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energy untuk kontraksi, memompa ion Ca2

pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.

Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat

tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi

Page 29: Materi pembahasan

ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau

kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.

Gambar 1. Produksi ATP melalui tiga jalur

Konversi Otot

Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot

menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005).

Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan

dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri

carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah

kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan

yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan

mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber- hentinya sirkulasi

darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok- sigen ke jaringan, sehingga

menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007).

Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Page 30: Materi pembahasan

Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et

al. 2007)

Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan

oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis.

Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat

diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob,

maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang

terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis

(Lawrie 1979; Swatland 1984).

Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan

peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira

rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan

katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari

atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi

perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

pH Daging

Pada umumnya nilai pH daging sapi yang diukur pada jam pertama postmortem

adalah 7.0 – 7.2. Pada saat mulai rigor mortis, nilai pH daging menjadi 5.90 dan kemudian

mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai pH

daging setelah hewan mati (nilai pH postmortem) akan menurun mencapai pH akhir.

Penurunan nilai pH tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju

Page 31: Materi pembahasan

glikolisis. Nilai pH daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada pH dibawah 5.3

enzim- enzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut

Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor

intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak,

sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif

sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan.

Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum

dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam

laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka 5,6, bila pH lebih tinggi

misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama

dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air

(water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air

tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya

yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan

daging terlihat lebih gelap . Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot

postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan.

Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau

setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-

enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang

tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi

tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim

glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar

5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein

miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie

1979).

Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan : (1) warna

daging menjadi lebih pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih

rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan

permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Forrest et al. 1975). Sebaliknya

pada pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging

menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno

2005).

Page 32: Materi pembahasan

Keempukan (Tenderness)

Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging dikunyah. Kesan

keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971;

Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya

daging dikunyah menjadi fragmen/potongan- potongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah

sisa fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971).

Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja

enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil.

Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan

penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan

daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies

dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara

lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama

dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan

penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies,

bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang

sama.

Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat,

serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi

keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging

sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging

banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan

status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya

dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971).

Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang istirahat

menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses

rigormortis akan berlangsung cepat. Kekakuan otot yang terjadi akan diikuti dengan

pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan

mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak

sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar

terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini,

penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi

hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat

penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang

Page 33: Materi pembahasan

mempengaruhinya

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Proses Rigor Mortis Antara Ternak-Ternak Paska Pemotongan

Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase

prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada

otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering

diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. (Lawrie dan Ledward, 2006). Rigor mortis atau

kekauan otot setelah kematian. Selama konversi otot menjadi daging terjadi proses kekakuan

otot. Kekakuan otot setelah kematian dan otot menjadi tidak dapat diregangkan disebut rigor

mortis menurut (Dr. Ir. Soeparno). Proses rigormortis dan kontraksi otot secara esensial

adalah sama tetapi pada kondisi rigormortis relaksasi tidak mungkin terjadi. Rigormortis

terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau sudah tidak lagi mampu dalam

menggunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari

otot.

Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan

terkunci brsama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen, dan otot menjadi tidak

dapet di renggangkan. perkembangan proses rigor mortis terdiri dari 3 fase,yaitu : fase

penundaan, fase cepat, fase pasca kaku. proses hilangnya daya renggang otot sampai

terbentuknya kompleks aktomiosin, mula-mula berlangsung secara lambat selama beberapa

jam (fase penundaan), kemudian berlangsung secara cepat (fase cepat), akhirnya berlangsung

secara konstan. dengan kecepatan rendah sampai tercapainya kekakuan (rigor). waktu untuk

mencapai fase cepat dalam perkembangan rigor mortis pada temperatur tertentu tergantung

Page 34: Materi pembahasan

pada ATP otot. Pada awal periode post mortem ATP otot menurun secara perlahan-lahan

karena masih terdapat aktivitas ATP.

Perubahan-perubahan yang terjadi selama perkembangan rigor mortis, di samping

penurunan konsentrasi kreatin fosfat dan ATP, juga terjadi penurunan pH. kreatin fosfat dan

pH menurun dengan cepat setelah pemotongan. Reaksi-reaksi kimia lain juga terjadi selama

perkembangan rigor mortis. setelah ATP mengalami pemecahan menjadi ADP dan P

anorganik,ADP mengalami defosforilasi dan deaminasi lebih lanjut menghasilkan IMP, IMP

menghasilkan defosforilasi kembali sehingga menghasilkan inosin kemudian ribosa di

pisahkan dari inosin dan menghasilkan hipoksantin. pembebasan amonia mempunyai

hubungan yang erat dengan saat terjadinya kekakuan otot.

Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase pra rigor, fase rigor mortis dan fase

pasca rigor. Pada fase pra rigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat

pada gambar 2.

Pada gambar 2 terlihat waktu pasca merta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis

pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik (a) memperlihatkanwaktu proses rigor

mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase

cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik (b)

memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan

dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik (c)

adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi

pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini

(a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis

Page 35: Materi pembahasan

ternak dan kondi sitern sebelum mati; makin terkuras energy maka makin cepat terbentuknya

rigor mortis.

Waktu pasca merta ( jam )

Gambar 2. Proses rigor mortis padakelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat

terkuras stamina)

3.2 Perbedaan Rigor Mortis Antara Ternak Psedo-Ruminansia (kelinci) dan Non-

Ruminansia (ayam dan bebek)

Menurut (Alvarado, C. Z and Sams, A. R, 2000) dalam jurnal yang berjudul

:Traceability of rigor mortis of muscle using a texture analyzer: a feasibility study.

Rigormortis adalah salah satu perubahan fisika yang paling penting dalam otot yang terjadi

pada periode postmortem yang kemudian menghasilkan sebuah ketangguhan peningkatan

kualitas daging (Lawrie dan Ledward, 2006). Proses kekakuan biasanya meliputi duafase

berbeda: periode penundaan dan fase cepat (Bate Smith dan Bendall, 1949). Namun, tidak

ada cara yang efisien dan otomatis untuk

melacak seluruh proses rigor mortis.

(a) chicken at 4 °C (b) chicken at 15 °C

Page 36: Materi pembahasan

(c) duck at 4 °C (d) duck at 15 °C

Kurva rigor mortis dari dada ayam dan itik pada suhu 4 ° C dan 15 ° C.

Table 1. Mathematical models for rigor mortis of chicken and duck breasts at 4°C and 15 °C

Chicken breast

Duck breast

4oC 15oC 4oC 15oC

Models F(N) = 2E-08t4 - 5E-06t3 + 0.0004t2 -

0.015t + 0.246 F(N)= -4E-07t4 + 1E-05t3 + 0.001t2

- 0.078t + 1.228 F(N)=

6E-

07t4 -

8E-

05t3 +

0.004t2

-

0.094t

+

1.052

F(N)=-2E-

06t4+0.0002t3 -0.0041t2-

0.006t+1.04

T1 (h)1

2.069 3.49 3.25 4.32

T2 (h) 2

38.56 31.2 none 41.83

Fmax (N)3

0.226 1.25 0.889 1.467

R2 0.994 0.932 0.979 0.812

Penelitian diatas dirancang untuk mengeksplorasi metode baru untuk mengetahui dari

awal perkembangan rigor mortis otot menggunakan penganalisis tekstur. Analisis kompresi

terbukti layak untuk menentukan perubahan otot dalam waktu 48jam sampai 84 jam

postmortem.

Pada ayam dan bebek, diperoleh dalam waktu 30 menit post mortem. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ayam dan bebek mencapai rigor mortis maksimum pada waktu

postmortem yang berbeda. Suhu Lingkungan mempunyai pengaruh yang signifikan pada

Page 37: Materi pembahasan

proses rigor mortis. Pendekatan dalam studi ini akan memberikan kita rincian lebih akurat

tentang perubahan fisikokimia postmortem diotot rangka.

Pada dada ayam, ada fase rigor mortis mengalami penurunan bertahap dalam waktu

48 jam postmortem. Fese rigor mortis maksimum terjadi pada suhu 4 °C serta membutuhkan

waktu yanglebih singkat dari pada suhu15 °C. Suhu tinggi (15 ° C) memiliki dua efek pada

seluruh proses. Disatu sisi, hal itu mengakibatkan denaturasi-protein, disisi lain mempercepat

proses penyelesaian kekerasan nanti. Pada dada Bebek memiliki perubahan yang mirip

dengan dada ayam, kecuali fase penundaan memiliki jangka waktu yang lebih pendek.

Menurut (MCKEE S. R. and SAMS A. R, 1997) dalam jurnal yang berjudul : Rigor

Mortis Development at Elevated Temperatures Induces Pale Exudative Turkey Meat

Characteristics. Temperatur post-mortem menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi

proses kekakuan dan kualitas daging secara keseluruhan (Lee etal, 1979.). de Femery dan

Pool (1960) menunjukkan bahwa kalkun yang mengalami proses postmortem pada suhu 37

sampai dengan 41 C selama rigor mortis dapat mempercepat laju glikolisis post-mortem.

Pada babi menunjukkan bahwa percepatan terjadinya rigor mortis terjadi saat suhu

karkas tinggi. Secara khusus, Briskey(1964) menjelaskan bahwa pH rendah dikombinasikan

dengan suhu tinggi akan mempercepat proses rigor mortis karkas akibat adanya denaturasi

protein dalam otot. Hilangnya fungsi protein karena adanya denaturasi protein dianggap

sebagai faktor utama yang berhubungan dengan perkembangan karakteristik daging. Selain

itu, fase rigormortis daging babi pada temperatur tinggi yaitu pada suhu 37⁰C selalu

menghasilkan karakteristik daging yang lebih baik atau menghasilkan keempukan daging

yang maksimal dan berkualitas. Sedangkan, suhu berkisar dari 10 hingga 25⁰C telah

ditemukan tidak memiliki mempengaruhi keempukan daging unggas.

http://www.icomst.helsinki.fi/ICoMST2008/CD%20Papers/General%20speakers+pos

ters-3p%20papers/Session8/8.10.Li.pdf

Ditunjang pula dalam jurnal “THE ROLE of CAUSE of DEATH BY LIGATURE

ASPHYKSIA AND BLOODING PRICKING TO RIGOR MORTIS MECHANISM at NEW

ZEALAND WHITE RABBIT” menurut ( Fitri Juliarto, Arif Rahman Saddad,Santoso).

Berdasarkan penelitiannya didapatkan pengukuran kontraksi otot sebagai berikut :

No Pendarahan Asfiksia

Page 38: Materi pembahasan

Menit 3

0

Menit6

0

Menit9

0

Menit12

0

Menit3

0

Menit6

0

Menit9

0

Menit12

0

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

IX

X

XI

XII

XIII

XIV

XV

XVI

6,17

6,17

6,17

6,17

3,08

3,08

3,08

3,08

6,17

6,17

6,17

3,08

6,17

6,17

3,08

6,17

15,34

12,34

0,38

6,17

3,08

6,17

6,17

9,25

9,25

9,25

9,25

6,17

9,25

9,25

9,25

3,08

12,34

9,25

0,77

3,08

0,77

1,54

3,08

6,17

6,17

9,25

12,35

6,17

6,17

12,34

6,17

1,54

9,25

3,08

3,08

3,08

0,38

0,77

3,08

3,08

3,08

3,08

9,25

3,08

1,54

6,17

6,17

0,38

3,08

9,25

3,08

3,08

3,08

3,08

3,08

3,08

6,17

6,17

3,08

3,08

3,08

6,17

6,17

0,38

6,17

15,43

0,38

6,17

6,17

6,17

9,25

6,17

9,25

9,25

6,17

6,17

6,17

9,25

6,17

9,25

6,17

12,34

1,54

12,34

9,25

15,43

15,43

6,17

6,17

9,25

9,25

9,25

12,34

6,17

12,24

15,34

3,08

9,25

0,77

6,17

3,08

6,27

6,27

3,08

3,08

3,08

9,25

9,25

9,25

6,17

9,25

12,35

Dari data diatas diuji beda tiap menit pada kelompok I dan kelompok II apabila

terdapat kelompok dengan p>0,005 maka tidak terdapat perbedaan kontraksi maka tidak

terjadi kontraksi otot. Pada keadaan ini maka dapat disimpulakan bahwa saat itu terjadi

proses rigor mortis. Kemusian hasil tersebut dibandingkan antara perlakuan I dan perlakuan

II maka akan terdapat perbedaan waktu saat terjadinya rigor mortis.

Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test untuk menilai perbandingan tiap kelompok

dengan dilihat pada table. Analisa pada kelompok perdarahan :

Menit30-menit60 Menit60-menit90 Menit90-menit120

Asymp.sig 0,027 0,062 0,003

Pada hasil uji non parametric kolmogrov smirnov pada kelompok perdarahan dipatkan

tidak ada perbedaan pada menit tersebut tidak terjadi kontraksi otot yang menunjukkan sifat

rigor mortis(kaku) terjadi pada menit ke 60-90 karena pada menit tersebut tidak terjadi

kontraksi otot yang menunjukkan sifat rigor (kaku) pada otot tersebut.

Page 39: Materi pembahasan

Pada hasil uji non parametric Wilcoxon Signed Ranks Test pada kelompok asfiksia :

Menit30-menit60 Menit60-menit90 Menit90-menit120

Asymp.sig 0,000 0,032 0,001

Dari data diatas didapatkan bahwa semua hasil menunjukkan ada perbedaan

(p<0,005). Hal ini menujukkan masih adanya kontraksi otok meskipun terdapat penurunan

kekuatan kontraksi otot. Hal ini disebabkan karena menurunya jumlah cadangan energy

dalam otot. Hal ini dapat disumpulkan bahwa rigor mortis (kaku mayat) terjadi pada menit

>120.

Dari kedua hal diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses rigor mortis

pada kelompok II (asfiksia) terjadi lebih lambat daripada kelompok I (perdarahan), maupun

sebaliknya.

Dari hasil penelitian didapatkan ada perbedaan pada proses kematian pada rigor

mortis (kaku) pada. kelompok perdarahan akibat penusukan dan kelompok asfiksia akibat

penjeratan.

Hal ini dapat dinilai adanya perbedaan waktu antara kelompok perdarahan dan

asfiksia. Pada kelompok perdarahan rigor mortis terjadi pada menit60 dan menit 90,

sedangkan pada kelompok asfiksia rigor mortis (kaku) terjadi pada menit >120.

Pada kelompok perdarahan, proses rigor mortis terjadi pada menit60 dan menit90

karena pada menit tersebut tidak ada perbedaan (p>0,05) kontraksi otot yang terjadi.Pada

menit tersebut otot telah mulai kehilangan ATP dan fosfokreatinin yang digunakan sebagai

sumber utama energi didalam otot. Kehilangan energy menyebabakan tidak adanya energi

sebagai motor penggerak aktivitas otot. Sehingga pada menit 60 dan menit 90 otot telah

mengalami rigor mortis (kaku).

Pada kelompok asfiksia, proses rigor mortis (kaku) tidak terjadi pada menit≤

120.Pada menit 30 dan menit 60 masih terdapat perbedaan kontraksi otot yang terjadi. Pada

menit tersebut terjadi kenaikan kekuatan kontraksi otot yang terjadi karena masih tersedianya

sumber energi didalam otot. Pada menit 60 dan menit 90 masih terdapat perbeadaan kontraksi

otot. Pada menit ini terjadi berbagai variasi bentuk.Ada yang mengalami penurunan kontraksi

maupun kenaikan kekuatan kontraksi. Sedangkan pada menit 90 dan menit 120 banyak yang

Page 40: Materi pembahasan

mengalami penurunan kekuatan kontraksi.Sehingga dapat disimpulkan bahwa rigor mortis

(kaku) terjadi pada menit >120.

Dari kedua data diatas dapat disimpulkan bahwa kekakuan otot pada kelompok

perdarahan terjadi lebih cepat daripada kelompok asfiksia. Hal ini diakibatkan karena pada

kelompok perdarahan kehilangan oksigen terjadi lebih cepat. Kehilangan oksigen disebabkan

adanya kehilangan darah yang cepat (akut). Didalam darah terdapat hemoglobin yang salah

satu fungsinya adalah bahan transport oksigen keseluruh tubuh. Oksigen akan berikatan

dengan hemoglobin yang akan ditransport ke seluruh tubuh melalui sistem arteri maupun

vena. Sedangkan pada kelompok asfiksia, kehilangan oksigen berlangsung lebih lambat,

sehingga kehilangan ATP akan berlangsung lambat. Dalam hal ini proses rigor mortis akan

berlangsung lebih lama.

Setiap otot baik otot serat lintang, otot polos maupun otot jantung memiliki simpanan

glikogen didalam otot. Glikogen merupakan bentuk lain dari glukosa yang diubah untuk

dijadikan sebagai cadangan energi. Didalam tubuh glikogen banyak disimpan didalam hati

dan otot. Apabila dibutuhkan maka glikogen dapat diubah menjadi glukosa yang merupakan

sumbr energi didalam tubuh. Setiap satu molekul glukosa akan diubah menjadi 40 ATP.

Tanpa ATP tubuh tidak dapat melakukan menjadi metabolisme, sehingga kekuangan ATP

dapat menyebabkan prose kematian sel.

Lebih secara rinci, bahwa yang terjadi adalah membran sel otot yang yang menjadi

lebih permeable terhadap ion calcium. Aktivitas sel otot menggunakan banyak energi untuk

mengangkut ion calcium keluar dari sel. Ion calcium yang mengalir ke dalam sel otot

mempromosikan pemasangan jembatan silang (cross-bridge) antara actin dan myosin, dua

jenis serabut yang bekerja sama di dalam otot. Sehingga serabut otot akan menjadi lebih

pendek dan lebih pendek sampai mereka secara penuh berkontraksi/memendek atau

sepanjang neurotransmitter acetylcholine dan molekul energi adenosine triphosphate ( ATP)

masih ada. Bagaimanapun, otot memerlukan ATP dalam rangka melepaskan suatu

kontraksi/pemendekkan (digunakan untuk pompa calcium ke luar dari sel sehingga serabut

dapat membuka dari satu sama lain). ATP cadangan dengan cepat dilepaskan untuk kontraksi

otot dan proses selular yang lain. Ini berarti actin dan myosin serabut akan tetap berhubungan

sampai otot tersebut mengalami relaksasi sekunder.

Page 41: Materi pembahasan

Pada penelitian yang lain yang dilakukan oleh Kobayashi et all, membuktikan bahwa

proses rigor mortis (kekakuan) maju dengan cepat di dalam otot merah dibanding di dalam

otot putih ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara waktu dengan proses kekakuan

(rigor mortis). Perbedaan dalam kekakuan rigor mortis antara otot ini dicerminkan oleh

perbedaan di dalam kekakuan mortis antara serabut otot yang utama, tetapi penyebab dari

kemajuan kekakuan mortis cepat di dalam serabut otot merah yang tak diketahui. Kehilangan

ATP, yang memudahkan kekakuan mortis, akan bersifat lebih cepat di dalam otot merah

dibanding di dalam otot putih. Adalah dimungkinkan pada keadaan postmortem produksi

ATP akan lebih sedikit di dalam otot merah dibanding di dalam otot putih sebab serabut otot

merah berisi lebih sedikit glycogen dibanding serabut otot putih.

Selain faktor diatas,kekakuan juga dipengaruhi oleh suhu. Pada penelitian kobayashi

yang lain menunjukkan bahwa proses rigor mortis terjadi lebih cepat pada suhu 370 celcius

daripada suhu 250 celcius.Kenaikan 10 akan berpengaruh pada peningkatan 10% basal

metabolisme tubuh.Sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi didalam tubuh.

Dari ketiga jurnal di atas dapat diperoleh perbedaan antara rigor mortis pada ayam,

bebek dan kelinci yaitu pada rigor mortis pada ayam, ada fase rigor mortis mengalami

penurunan bertahap dalam waktu 48 jam postmortem. Fese rigor mortis maksimum terjadi

pada suhu 4 °C serta membutuhkan waktu yanglebih singkat dari pada suhu15 °C. Suhu

tinggi (15 ° C) memiliki dua efek pada seluruh proses. Disatu sisi, hal itu mengakibatkan

denaturasi-protein, disisi lain mempercepat proses penyelesaian kekerasan nanti. Pada rigor

mortis pada bebek memiliki perubahan yang mirip dengan ayam, kecuali fase penundaan

memiliki jangka waktu yang lebih pendek. Pada rigor mortis pada kelinci terjadi pada menit

60 dan menit 90 karena pada menit tersebut tidak ada perbedaan (p>0,05) kontraksi otot yang

terjadi. Pada menit tersebut otot telah mulai kehilangan ATP dan fosfokreatinin yang

digunakan sebagai sumber utama energi didalam otot. Kehilangan energy menyebabkan tidak

adanya energi sebagai motor penggerak aktivitas otot. Sehingga pada menit 60 dan menit 90

otot telah mengalami rigor mortis (kaku).

Posted 18th November 2011 by khamel

Page 42: Materi pembahasan

engapa Daging Putih (unggas, babi, kelinci) Lebih Mudah Busuk Daripada

Daging Merah (sapi, kerbau, kambing)???

27 Juni 2011 5:34 AM / Tinggalkan Sebuah Komentar

Daging dapat dibedakan atas daging merah (Gambar 1) dan daging putih (Gambar 2)

tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang

memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan enzim

respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen yang rendah.

Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin,

mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat/cepat serta

kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai kadar protein dan air yang lebih

tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar lemak jenuh dan

kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih (Usmiati 2010).

Gambar 1. Daging Merah

Gambar 2. Daging Putih

Daging putih bila ditinjau dari segi nutrisi yang dimiliki, memiliki kadar nutrisi yang sedikit

lebih tinggi dari daging merah, selain kandungan proteinnya, asam amino dari daging putih

juga lebih tingggi dari daging merah (Tabel 3 dan 4), sehingga daging putih lebih cepat busuk

di banding daging merah, terutama proses pembusukan yang disebakan oleh mikroba. Selain

hal tersebut aktivitas otot yang singkat dan cepat juga memungkinkan cepatnya proses

pembusukan pada daging putih. Setelah ternak disembelih akan terjadi peroses konversi otot

menjadi daging berupa proses fisikokimia yaitu perubahan dari energy fisik menjadi energi

kimiawi yang ditandai dengan kekakuan mayat/rigor mortis (Abustam 2009). Setelah

Page 43: Materi pembahasan

kekauan mayat daging akan memasuki fase pasca rigor, dan berangsur mengalami proses

pembusukan seiring dengan peningkatan pH daging.

Tabel 3. Komposisi kimia daging merah dan putih

Sumber: Afifah 2010

Tabel 4. Kompisis asam amoni daging merah dan daging putih

Sumber: Afifah 2010

Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai konstan pada beberapa

waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging dalam keadaan dingin dan akan naik lagi

pH-nya pada kontaminasi dan kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih, secara

objektif pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan susunan

komposisinya (Forrest et al. 1975, dalam Aprilya 2010). Cepatnya proses rigor pada daging

putih memungkinkan cepat pula proses pembusukannya.

Daftar Pustaka

Abustam E. 2009. Konversi Otot Menjadi daging. CINNATA Modul II. [terhubung berkala].

http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html. [25

Okt 2010].

Afifah DN. 2010. Daging. Handout. [terhubung berkala].

http://eprints.undip.ac.id/881/1/DAGING_IBM.pdf. [3Nov 2010].

Aprilya I. 2010. Analisis Sifat Fisik Daging. [terhubung berkala].

http://ikaa083.student.ipb.ac.id/academic/analisis-sifat-fisik-daging. [3 Nov 2010].

Page 44: Materi pembahasan

Usmiati S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Artikel. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus Penelitian Pertanian, Bogor.

Perbedaan Otot dan Daging

26 Juni 2011 9:14 AM / Tinggalkan Sebuah Komentar

Otot adalah sebuah jaringan dalam tubuh yang tugas utamanya

kontraksi (Wapedia, 2010). Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang

tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang

berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan

berkontraksi dan berelaksasi. Jadi otot dapat dikatakan sebagai alat pergerakan mekanik pada

mahluk hidup (manusia dan hewan) pada saat hidup.

Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan

dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan di dalam hati

dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat

(aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan

untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau

beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet/rangka tubuh) disebut sebagai alat

pergerakan tubuh atau sebagai energi mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C,

H, O) maka disebut juga sebagai energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian

maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan

disebut sebagi energi kimiawi saja. Energi mekanik dari otot tersebut akan mengalami

serangkain perubahan biokimia dan biofisik sampai terbentuk rigor mortis, ditandai dengan

kekakuan otot (tidak flexible) hal ini disebut dengan proses konversi otot menjadi daging

(Abustam, 2009).

Dari penjabaran di atas maka daging dapat didevinisikan sebagai

kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut

sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak

merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging

(pangan hewani) (Valacute, 2009). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan

Page 45: Materi pembahasan

setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati

dan otot telah berubah menjadi daging. Terjadi proses konversi dari otot menjadi daging

sehingga sesaat setelah ternak disembelih seharusnya kata otot sebagai penyusun tubuh

ternak masih digunakan sampai otot telah berubah menjadi daging ditandai dengan timbulnya

kekakuan (kejang mayat) dan berangsur-angsur mengalami pengempukan pasaca kekakuan

tersebut (Abustam, 2009).

Dengan perubahan energi mekanik (otot) menjadi energi kimiawi (C, H, O, asam amino, dll)

pada daging, maka daging sangat berpotensi sebagai media untuk pertumbuhan mikroba

karena memiliki zat-zat nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba (C, H, O,

asam amino, dll). Oleh karena itu dibutuhkan penanganan pasca panen yang tepat pada

daging, untuk mencegah kontaminasi dan cepatnya proses kerusakan oleh mikroorganisme.