materi metode kitin.docx
TRANSCRIPT
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan
peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCL 0,75N, 1N,
dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
Limbahudang kemudian dihancurkan Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayakdenganayakan 40-60 mesh.
Limbahudangdicucidengan air mengalirdandikeringkan, laludicucidengna air panas 2 kali, dandikeringkankembali.
HClditambahkandenganperbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakanHCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudiandipanaskanpadasuhu 90oC selama 1 jam.
Laludicucisampai pH netral.
2
Deproteinasi
Kemudiandipanaskanpadasuhu 90oC selama 1 jam.
Kemudiandisaringdandidinginkan
Laludicucisampai pH netral.
Kemudiandikeringkanpadasuhu 80oC selama 24 jam
3
Deasetilasi
x
HasildemineralisasidicampurdenganNaOHdenganperbandingan 6:1
Chitin yang didapatkemudianditambahkanNaOH 40% untukkelompok A1 dan A2, NaOH 50% untukkelompok A3 dan A4, danNaOH 60% untukkelompok A5
Kemudiandipanaskanpadasuhu 90oC selama 1 jam
Laludicucisampai pH netral.
Kemudiandikeringkanpadasuhu70oC selama 24 jam
4
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemenKitinI
(%)
RendemenKitin
II (%)
RendemenKitosan
(%)
A1
HCl 0,75N +
NaOH 40% +
NaOH 3,5%
30,00 20,00 10,40
A2
HCl 0,75N +
NaOH 40% +
NaOH 3,5%
45,00 26,67 13,07
A3
HCl 1N + NaOH
50% + NaOH
3,5%
35,00 22,22 12,32
A4
HCl 0,75N +
NaOH 50% +
NaOH 3,5%
20,00 28,57 14,95
A5
HCl 1,25N +
NaOH 60% +
NaOH 3,5%
30,00 25,00 12,40
Dari Tabel 1 diatas diketahui bahwa perlakuan yang diberikan pada masing-masing
kelompok berbeda. Pada kelompok A1 dan A2 yang diberi perlakuan sama, yaitu
penambahan HCl 0,75 N + NaOH 40% + NaOH 3,5% diperoleh rendemen kitin I
berurutan sebesar 30% dan 45%; rendemen kitin II sebesar 20% dan 26,67%; sedangkan
rendemen kitosan sebesar 10,40% dan 13,07%. Pada kelompok A3 dan A4 diberikan
perlakuan berupa HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%, pada kelompok A3 dan A4
diperoleh rendemen kitin I berurutan sebesar 35% dan 20%; rendemen kitin II sebesar
22,22% dan 28,57%; sedangkan rendemen kitosan sebesar 12,32% dan 14,95%. Pada
kelompok A5 diberikan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% dan
menunjukkan nilai rendemen kitin 1 sebesar 30%, rendemen kitin 2 sebesar 25%, dan
rendemen kitosan sebesar 12,40%. Pada pengamatan tersebut terlihat bahwa rendemen
5
kitin 1 terbesar terlihat pada kelompok A2 sebesar 45% dengan perlakuan HCl 0,75N +
NaOH 40% + NaOH 3,5%, rendemen kitin 2 terbesar pada kelompok A4 sebesar 28,57
dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%, rendemen kitosan terbesar
terdapat pada kelompok A4 sebesar 14,95 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50%
+ NaOH 3,5%.
3. PEMBAHASAN
Dalam praktikum kitin dan kitosan ini digunakan limbah kulit udah ulit limbah udang
yang merupakan golongan Crustaceae (Indra , 1994),. Pada kulit udang terdapat
jumlah kitin sebesar 75% dari total berat dari udang atau kepiting, dimana bagian kulita
merupakan bagian yang tidak biasa untuk dikonsumsi dan 20-58% dari total kering
bagian yang tidak dimakan itu akan diperoleh kitin. Kitin merupakan komponen kimia
terbaik dalam kulit udang dengan persentase 18,1% dan pembentukan ulangan dari unit
β(1-4) 2-acetamido-2-deoxy-D-glucose atau N-asetil-glukosamin yang membentuk
polimer (Manjang, 1993). Apabila derajat deasetilasinya lebih rendah dari 50% dapat
dikatakan sebagai kitin, dimana derajat yang dapat dikarateristikkan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti metode preparasi dan sumber biopolimer (Wang, et al, 2010).
Kitin biasanya ditemukan pada hasil laut seperti kulit udang, kulit ikan, dan golongan
crustacea, sel protozoa, serta insekta. Pada crustacea terdapat kitin sebesar 20-80%
dari berat keringnya (Hargono & Djaeni , 2003). Kandungan kitin yang terdapat pada
kulit crustacea mencapai 20-80% dari berat keringnya. Tidak hanya produk hasil laut
yang memiliki sumber yang besar tetapi juga pada fungi jeis Aspergillus niger
menunjukkan adanya senyawa kitin yang mengandung 45% kitin dari bahan
organik.Selain dari udang dan kepiting, kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan
(bagian tengah) cumi-cumi juga merupakan sumber kitin. Pemanfaatan limbah udang
emiliki manfaat yang besar kususnya bagi keseimbangan ekologi dimana saat limbah itu
sudah dijadikan kitin dan kitosan maka hal ini dapat berfungsi untuk mengurangi
cemaran limbah karena akan terjadi denaturasi protein dan hidrolisis secara alami,
sehingga dapat menimbulkan bau busuk, serta meningkatkan BOD air. Menurut
Manjang (1993) Cangkang udang merupakan penghasil limbah yang cukup besar bagi
lingkungan dan masih banyak mengandung protein, karbohidrat, dan Sedangkan kadar
kitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan
menghasilkan yield 15-20%. Limbah yang dihasilkan dari sebuah industri akan
menimbulkan pencemaran lingkungan dan limbah yang tidak dikelola dengan baik juga
dapat menjadi sumber kerugian bagi industry. Kulit udang ternyata dapat dimanfaatkan
dan memberikan keuntungan atau nilai ekonomis bagi perusahaan.
6
7
Terdapat dua jenis limbah dari pengolahan crustacea atau udang yaitu limbah cair dan
limbah padat. Limbah cair berupa suspensi air dan kotoran, sedangkan pada limbah
padat yang dihasilkan berupa kulit, kepala, dan kaki udang. Pada penanganan limbah
cair dapat menggunakan waste water treatment, sedangkan pada limbah padat
sebenarnya masih dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi produk dengan nilai ekonomi
yang tinggi seperti kitin yang bisa menjadi pakan ternak, hal ini juga ditambahkan dari
pernyataan Bastaman (1989) bahwa kitin biasanya tidak ada dalam keadaan bebas,
namun berikatan dengan mineral, protein, dan beberapa pigmen. Beberapa sifat yang
dimiliki kitin adalah berupa berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan,
sifatnya non toksik, dan mudah terurai.Namun kitin tidak mudah larut dalam air, larutan
basa encer dan pekat serta larutan asam encer dan pelarut organik. Kitin dapat larut pada
asam mineral pekat contohnya asam klorida, asam sulfat, asam nitrat, dan asam
fosfat.Sayangnya, kerusakan kitin dapat timbul oleh asam sulfat, asam nitrat dan asam
sulfat.Hal ini disebabkan oleh terdegradasinya kitin menjadi monomer-monomer yang
lebih sederhana.
Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, namun berbeda pada gugus yang terikat
pada atom C2, dimana pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH
sedangkan pada kitin gugus yang terikat adalah gugus Muzzarelli (1985) sehingga Pada
prinsip kerjanya kitin dapat dimnfaatkan untuk mendukung tejadinya kerja enzim,
seperti , laktase, kimotripsin , papain, asam pospatase, dan glukosa isomerase yang
dimanfaatkan oleh industri pangan dan komestik hal yang sama juga diungkapkan oleh
(Shahidi,et al., 1999) bahwa kitin tersusun atas polimer ikatan (1-4) 2-acetamido-2-
deoxy β-D glucan yang dapat diekstrak dari kulit atau eksoskeleton Arthropoda, seperti
crustacea dan insect.Berdasarkan teori Wang, et al. (2010), kandungan kitin dalam
crustacea adalah sebesar 20%-60%, tergantung dari spesiesnya.
Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa)
yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat dan
merupakan produk awal dari proses deasetilasi kitin dengan beberapa sifat unik yang
dimiliki seperti bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat
terbiodegradasi dan mempunyai afinitas yang besar, sehingga dapat dimanfaatkan dan
8
digunakan dalam berbagai keperluan (Kofuji, et al., 2005) kitosan juga dapat disebut
sebagai polisakarida yang tidak larut air, serta merupakan biopolimer kationik yang
dapat didegradasi dengan sifat yang dimiliki sepertitidak memiliki sifat toksik, senyawa
toksis, sangat mudah larut dalam asam organik seperti asam asetat, asam formiat, dan
asam sitrat. (Cahyaningrum, et al., 2007). Pada tahap deasetilasi akan memotong gugus
asetil pada kitin dan menyisakan gugus amina oleh sebab itu derajat deasetilasi
mempengaruhi kelarutan yang dimiliki oleh kitosan, dan hal ini akan dipermudah
dengan adanya Adanya H pada amina sehingga akan semakinmemudahkan interaksi
dengan air melalui ikatan hidrogen (Dunn et al., 1997). Pelepasan gugus asetil dari
kitosan ini akan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat
senyawa bermuatan negatif, seperti protein, anion polisakarida, dan membentuk ion
netral (Suhartono, 1989).
Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum ini meliputi tiga tahap yaitu
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi, hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan
oleh (Naznin, 2005) bahwa ekstrak kitin dan kitosan dapat diperoleh melalui proses
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada tahap pertama yaitu demineralisasi,
hal pertama yang dilakukan adalah limbah udang(kulit udang) dipersiapkan dan dicuci
dengan air mengalir, kemudian dikeringkan.Setelah kering,sampel dicuci kembali
menggunakan air panas sebanyak dua kali, kegiatan ini bertujuan untuk memastikan
tidak adanya kotoran yang menempel di kulit udang sekaligus dengan menggunakan
suhu tinggi dalam air panas memastikan untuk mematikan mikroorganisme yang ada.
Setelah itu dikeringkan kembali dan dihancurkan hingga membentuk serbuk, lalu
dilakukan pengayakan dengan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengeringan
yang kedua adalah agar air panas yang masih berada pada limbah dapat dihilangkan
atau dibilas dengan bersih, sehingga kadar air pada kulit udang secara keseluruhan akan
berkurang dan kulit udang akan menjadi kering (Muzzarelli, et al. ,1997), kemudian
dilakukannya penumbukan atau penghancuran menjadi serbuk memiliki fungsi supaya
proses selanjutnya berlangsung lebih cepat dan sempurna karena semakin luas
permukaan sampel, maka akan semakin banyak dan cepat penyerapan larutan alkali /
pelarut yang akan diberikan (Muzzarelli, et al. ,1997)
9
Akan tetapi pada praktikum kali ini kulit udang yang digunakan sudah dalam bentuk
serbuk, sehingga dapat digunakan secara langsung. Tahap selanjutnya serbuk kulit
udang kemudian ditimbang sebanyak 10 gram (berat basah I), lalu ditambahkan dengan
larutan yng berbeda-beda pada tiap kelompok, yaitu pada kelompok A1 dan A2
menggunakan bahan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%, kelompok A3
menggunakan bahan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%, kelompok A4 menggunakan
bahan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%, dan kelompok A5 menggunakan bahan
HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% . menurut Hendri, et al. (2007), Penggunaan
HCl pada tahapdemineralisasi memiliki % recovery tertinggi jika dibandingkan dengan
3 larutan asam yang lain seperti HNO3, HCl dan H2SO4 hal ini juga ditambahkan
Austin, et al. (1981) yang menyatakan bahwa penggunaan asam klorida efektif untuk
melarutkan kalsium dalam bentuk kalsium klorida, namun asam klorida juga dapat
menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi.Hendri, et al. (2007) menambahkan
bahwa proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa
gelembung-gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Pada
saat praktikum diketahui bahwa gelembung-gelembung ini muncul di permukaan
larutan ketika kedua bahan tersebut dicampurkan. Hal ini terjadi karena saat
penambahan HCl, terjadi pelepasan CO2 dan terbentuk ion Ca2+, ion H2PO4- yang
terlarut dalam larutan berair sehingga menjadi CaCl2 yang akan hilang ketika
penyaringan.
Tahap selanjutnya adalah dilakukan pemanasan yang juga dilakukan pengadukan
pengadukan yang bertujuan untuk menghomogenkan larutan, sehingga pemanasan
terjadi secara merata dan optimal pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan.hal ini
juga didukung oleh pendapat dari Puspawati &Simpen (2010), dilakukannya
pengadukan bertujuan untuk menghindari terjadinya luapan gelembung udara yang
dihasilkan selama proses demineralisasi. Untuk mencapai keadaan yang optimum bagi
HCl maka dilakukan pemanasan selama 1 jam hal ini juga didukung dengan teori yang
disampaikan oleh Hendry (2008)yang mengatakan bahwa proses pemanasan dan
pengadukan selama 1 jam bertujuan untuk menghilangkan gas CO2 yang terbentuk
akibat proses pemisahan mineral (demineralisasi). Lalu larutan disaring untuk
mendapatkan filtratnya dan dicuci dengan air mengalir.Tujuan pencucian dengan air
10
yang mengalir hingga pH netral adalah menghilangkan sifat asam yang berada didalam
komponen tersebutdan mencegah terjadinya degradasiproduk selama proses
pengeringan dan menghilangkan HCl yang masih tersisa dalam residukarena jikamasih
terdapat HCl, maka HCl bereaksi dengan kalsium dan membentuk suatu kompleks
kalsium klorida,sehingga didapatkan mineral kitin dengan berat molekul lebih tinggi
(Mudasir,et al., 2008),.lalu dilakukan pengujian pH menggunakan kertas lakmus hingga
berwarna hijau muda sesuai dengan indikator yang telah disediakan.Kemudian
dikeringkan dalam oven selama 1 malam. Proses pengeringan ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air dari kitin yang dalam prosesnya melibatkan banyak air. Dengan
proses pengeringan ini, maka akan diperoleh kitin kering yang tidak mengandung
mineral.
Tahap berikutnya adalah deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan
protein yang ada, hal ini karena kandungan protein yang cukup tinggi ( 30%) pada
limbah kulit udang ( Purwaningsih , 1994) Pada tahap ini, hasil dari tahap
demineralisasi yang telah dikeringkan ditimbang (berat keringI). lalu dicampurkan
dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk sebesar 6 : 1. Menurut
Martinou,et al. (1995), tujuandari proses perendaman dalam larutan NaOH adalah untuk
mengubah bentuk kristalin kitin yang rapat, dan memudahkan enzim untuk berpenetrasi
untuk mendeasetilasi polimer kitin. Selain itu, perendaman juga dapat melarutkan
protein yang melekat pada tepung kulit udang tersebut.
NaOHperlu ditambahkan untukmemutuskan ikatan antara protein dan kitin, sehingga
akan diperoleh kitin yang dapat diolah lebih lanjut (Rochima, 2005). Kemudian larutan
tersebut dipanaskan kembali di atas hotplate pada suhu 90oC sambil diaduk lagi selama
1 jam.Pemanasan yang dilakukan telah sesuai dengan teori dari Moeljanto(1992) yang
menyatakan bahwa dengan pemanasan, makaprotein akan terdenaturasi. Larutan yang
telah dipanaskan selama 1 jam, kemudian didinginkan.Tujuan dari proses pendinginan
ini adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap dibawah, sehingga tidak terbuang
saat pencucian (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan penyaringan dan diambil filtratnya.
Kemudian filtrat dicuci kembali dengan air mengalir hingga dicapai pH netral.
Pencucian hingga pH netral ini berfungsi untuk mencegah supaya kitin tidak ikut
teruapkan pada proses pengeringan pada oven. Hal ini dikarenakan setelah pH netral,
11
maka dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui berat basah II dan di
keringkan kembali di oven dengan suhu 80oC dan selama 1 malam.Pengeringan ini
bertujuan menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk
kitin akhir adalah berbentuk kering.
Tahap selanjutnya adalah tahap deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil
dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi
tinggi.Penggunaan larutan alkali pada suhu tinggidibutuhkan supaya gugus asetil
(CH3CHO-) pada gugusan asetil aminokitin terlepas, sehingga gugus amino pada kitin
ini akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif, sehingga membentuk
gugus amina bebas (-NH2) kitosan.yang akan mengadsorpsi ion logam dengan
membentuk senyawa kompleks (khelat). Beberpa faktor yang perlu diperhatikan derajat
asetilasi karena derajat deasetilasi mengindikasikan jumlah gugus asetil yang hilang
(Knoor, 1984). Selanjutnya derajat deasetilasi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
perbandingan jumlah larutan terhadap padatan, suhu, waktu, konsentrasi dari larutan
basa, kondisi reaksi selama deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasinya, maka
tingkat kemurnian dari kitosan yang dihasilkan semakin tinggi (bebas dari pengotor)
dan tingkat kelarutannya sempurna dalam asam asetat 1%.
Azhar, et al. (2010) menambahkan bahwa proses penghilangan gugus asetil (-CH3COO)
dari gugus asetamida (-NHCOCH3) kitin akan membentuk gugus amina (-NH2) disebut
dengan deasetilasi kitin. Mekanisme deasetilasi kitin ini akan terjadi pada larutan basa,
dimana di dalam larutan basa, karbon karbonil suatu ester dapat diserang oleh suatu
nukleofil yang baik tanpa protonasi sebelumnya, sehingga terjadi reaksi adisi yang
membentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami reaksi elimininasi,
sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk asetat. Proses pelepasan
gugus asetil dari gugus asetamida kitin ini berhubungan dengan konsentrasi ion OH -
pada larutan. Konsentrasi OH-akan lebih besar pada larutan basa kuat. Oleh karena itu,
kekuatan basa akan mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida
kitin. Kitosan dan kitosan memiliki karakteristik derajat deasetilasi yang berbeda, maka
itu derajat deasetilasi berperan sebagai indikator yang membedakan hasil dari proses
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Derajat deasetilasi (DD) sebesar 40-100%
disebut sebagai kitosan, namun jika kurang dari 40% maka disebut kitin.
12
Tahap deasetilasi dimulai dengan menimbang kitin yang telah dikeringkan pada tahap
deproteinasi (berat kering II), kemudian ditambahkan larutanNaOH 40% untuk
kelompok A1 dan A2, 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan 60% untuk kelompok A5
dan A6. Perbandingan jumlah kitin dan NaOH adalah 1:20. Kemudian diaduk selama 1
jam dan didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan kembali di atas hotplate pada
suhu 90oC selama ± 60 menit (hingga tidak terdapat kandungan air lagi). Proses
pengadukan akan meningkatkan penumbukan antar partikel kitin dan larutan NaOH,
sehingga proses deasetilasi akan berlangsung dengan lebih sempurna, sedangkan
penggunaan suhu tinggi diperlukan supaya reaksi yang terjadi semakin optimal dan
cepat, serta bertujuan untuk mengkonsentrasi larutan NaOH, sehingga menjadi lebih
pekat karena adanya evaporasi dari air.Puspawati & Simpen (2010) menambahkan
bahwa pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi kitin
tersebut.Kemudian hasil pemanasan didinginkan sebentar. Menurut Rogers (1986),
proses pendinginan ini bertujuan supaya bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap
secara maksimal pada bagian bawah dan tidak terbuang selama pencucian. Selanjutnya
dilakukan penyaringan dengan kain saring dan diambil filtratnya. Selanjutnya dicuci
dengan air mengalir hingga pH netral(pH 7). Proses pencucian bertujuan untuk
mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan dan menghilangkan
NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu.Kemudian ditimbang (berat kitinIII)
dan dikeringkan didalam oven dengan suhu 70oC selama 24 jam. Setelah 24 jam,
kemudian kitosan ditimbang (berat kitosan).
Penggunaan larutan NaOH 40-60%pada praktikum sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Hirano (1989) bahwa penggunaan larutan NaOH 40-60% dan suhu
yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Hal ini perlu dilakukan
karena kitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion
nitrogen dan gugus karboksil. Ramadhan,et al.(2010), menambahkan bahwa
penggunaan NaOH sebagai pelarut pada tahap deasetilasi dikarenakan NaOH
merupakan larutan alkali yang digunakan untuk menghidrolisa kitin sehingga terjadi
proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Ia menambahkan faktor
yang mendorong terjadinya peningkatan derajat deasetilasi kitin adalah faktor morfologi
rantai kitin, dimanagugus asetamida dari kitin semakin berkurang pada waktu
13
deasetilasi meningkat. Pada setiap tahap perlakuan deasetilasi, kitin dengan gugus
asetamida yang berkurang mengalami perubahan morfologi, sehingga memungkinkan
proses hidrolisis oleh basa kuat. Proses pencucian secara bertahap juga dapat
mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali, oleh karena itu efektivitas
proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik.
Berdasarkan hasil pengamatan rendemen kitin 1 maka terlihat bahwa hasil rendemen 1
dari kelompok A1 sampai A5 secara berurutan adalah 30%,45%,30%,35%,30%,20%
hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Hargono, et al.(2008) bahwa limbah
yang berasalh dari udang mengandung sekitar 20-30% senyawa kitin, 40-50% mineral
dan 21% protein. Puspawati &Simpen (2010) dan Ramadhan,et al.(2010)
menambahkan bahwa penambahan HCl akan menghasilkan rendemen sekitar 20% atau
lebih banyak lagi, selain HCl yang dapat menigkatkan persen rendemen didukung juga
oleh beberapa faktor pemanasan dan pengadukan. Sedangkan menurut hasil penelitian
dari Hendri, et al. (2007), konsentrasi HCl dari 1 N hingga 2 N akan menaikkan %
recovery, namun pada konsentrasi lebih tinggi hingga 3 N justru tidak terjadi
peningkatan berat endapan yang berarti dan berat rendemen kitin semakin berkurang,
sehingga % recovery juga ikut berkurang. Pengurangan berat ini dapat terjadi karena
sisa asam yang tidak bereaksi dengan mineral dapat mendegradasi kitin melalui reaksi
deasetilasi atau depolimerasi molekul kitin.sehingga semakin besar HCl yang
ditambahkan maka hasil rendemen yang dihasilkan pun harusnya lebih besar tapi hal ini
tidak terlihat pada seluruh kelompok, karena seharusnya kelompok A5 dengan
konsentrasi HCl terbesar juga menghasilkan rendemen yang besar hal ini dapat terjadi
karena beberapa kemungkinan seperti saat pencucian sampai pH netral, terdapat
rendemen yang terbuang, sehingga menyebabkan jumlah rendemen yang terhitung
menjadi berkurang, dan juga saat penyaringan tidak sempurna karena pori-pori lubang
yang relative lebih besar dari ukuran filtrat yang disaring.
Pada hasil pengamatan hasil rendemen 2 yang didapatkan dari tahap deproteinasi,
didapatkan persen rendemen kitin pada kelompok A1 hingga A5 secara berurutn adalah
20;26,67; 22,22; 28,57;25,00, hasil pengamatan ini menunjukkan penurunan dari berat
rendemen 1. Pada hasil pengamatan rendemen 2 sesuai dengan teori yang disampaikan
14
oleh Puspawati &Simpen (2010) yang menyatakan bahwa kulit udang yang melalui
tahap deproteinasi akan menghasilkan kitin sebanyak minimal 20%. Dan hal lain juga
diungkapkan oleh Fennema (1985) bahwa dalam suasana basa akan menghasilkan
protein dan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dalam susasana asam
kemampuannya dalam memiliki aksi hidrolisis yang lebih kuat daripada asam, sehingga
seharusnya rendemen kitin 2 yang dihasilkan lebih besar jika dibandingkan rendemen
kitin 1 akan tetapi hal ini hanya ditunjukkan oleh kelompok A4, dan pada kelompok lain
tidak terdapat kesesuaian hal ini kemungkina dapat terjadi karena pada saat
penyaringan, dan pencucian kemungkinan terdapat beberapa komponen yang tertinggal
selain itu pengeringan yang tidak sempurna dan masih terdapat air juga dapat
mempengaruhi, sehingga saat ditimbang berat basanya menjadi sangat besar. Akan
tetapi hal lain disampaikkan oleh Fennema (1985bahwa pada rendemen 2 memang
seharusnya didapatkan nilai yang menurun hal ini dengan penggunaan pelarut basa
maka protein akan terikat dengan basa yang mengakibatkan nilai rendemen kitinnya
berkurang. Kelarutan protein dan mineral dalam kondisi basa akan lebih besar
dibandingkan dengan kelarutannya pada asam karena larutan basa memiliki aksi
hidrolisa yang lebih tinggi.
Pada pengaatan berikutnya adalah hasil rendemen kitin kitosan dan didapatkan hasil
yang berurutan dari kelompok A1 hingga A5 adalah sebesar 10,40; 13,07; 12,32; 14,95;
12,40 terlihat nilai terbesar terdapat pada kelompok A4 dengan perlakuan NaOH 50%
dan terendah pada A1 pada NaOH 40%, hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan
oleh Rochima,et al (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan konsentrasi NaOH
yang tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi pula
karena akan menyebabkan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada
gugus amina terputus sehingga gugus asetil lebih banyak dihilangkan jika dibandingkan
dengan konsentrasi yang lebih rendah. dan derajat deasetilasi kitosan ini ditentukan
oleh beberapa faktor sepertisuhu, lamanya proses yang berlangsung dan konsentrasi
dari NaOH.
Kitin dn kitosan dapat diaplikasikan dalam bahan pangan mengawetkan produk pangan
teruatama produk pangan hasil perikanan, sebagai penstabil warna pada bahan pangan
karena pada pengujian ternyata dapat menghilangkan mineral seperti Fe, Pb, dan Cd
15
serta senyawa organik yang dapat mengkontaminasi wine. Tujuan penggunaannya
adalah untuk mencegah anggur dari kontaminasi fungi dan warna anggur yang didapat
lebih bening karena kandungan logam berat seperti Pb, Cd, dan Fe serta mikotoksin
juga berkurang Muzzarelli(1997) dan Shahidi, et al. (1999). Selain itu kitin dan kitosan
juga berperan sebagai flokulan,pada proses reverse osmosis atau penjernihan
airmenurut .Wardaniati & Setyaningsih (2009) kitosan berpotensi untuk dijadikan
bahan antimikroba karena mengandung enzim lisosim dan gugus aminopolysacharida
yang dapatmenghambat pertumbuhan mikroba, sehingga dapat digunakan sebagai
pengawet makanan bakso. Menurut Kurita (2005), kitin dan kitosan yang merupakan
biopolimer dapat diaplikasikan menjadi koagulan pengolahan limbah, bahan pertanian,
pengawet makanan, kosmetik, dan lain sebagainya. Selain itu, unit monomer penyusun
kitosan seperti glukosamin akan berdampak pada kesehatan untuk pengobatan penyakit
osteoarthritis.
kitin biasanya tidak ada dalam keadaan bebas, namun berikatan dengan mineral, protein,
dan beberapa pigmen.Bentuk dari kitin adalah serpihan dengan warna putih kekuningan,
sifatnya non toksik, dan mudah terurai.Namun kitin tidak mudah larut dalam air, larutan
basa encer dan pekat serta larutan asam encer dan pelarut organic (Bastaman, 1989)
Jurnal pertama yang berjudul “Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of
Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste” menjelaskan bahwa
pada kulit kerang-kerangan yang biasanya sering dibuang begitu saja ternyata
mengandng senyawa yang memiliki nilai fungsional tinggi, senyawa tersebut adalah
kitin kitosan. Polimer kitin kitosan menunjukkan residu yang dihasilkan sangat rendah,
bahkan dengan konsentrasi kitin kitosan 0.125 to 1.0mg/mL sudah dapat digunakan
untuk antioksidan karena kemampuannya untuk mencegah radikal bebas, dan juga
menghambat peroxidasi lemak. Untuk menguji keberadaan antioxidant tersebut
dilakukan pengujian secara in vitro. Kitin yang merupakan polomer dari (1-4) linked
2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose, merupakan polimer alami yang ada pada kitin.
Sedangkan kitosan dapat menurunkan konsentrasi free fatty acids dan
malondialdehyde.
16
Ada jurnal kedua yang berjudul “A Simple Colorimetric Method for the Evaluationof
Chitosan” menjelaskan bahwa metode colorimetric dapat dimanfaatkan dalam
pengukuran jumlah kitosan dalam produk. Metode kolorimetri digunakan karena
memiliki keunggulan yaitu berupa biaya yang digunakan murah, cepat, sederhana, dan
memiliki sensitivitas yang tinggi.pengujian ini diawali dengan pengujian keberadaan
diacetilasi yang dapat menunjukkan banyaknya gugus asam amino bebas yang berada
pada kitosan, metode ini dapat digunakan untuk menganaliis setiap saat tidak
bergantung pada waktu. Reaksi antara kitosan dan anion pada penguian ini berlangsung
secara stabil.
Pada jurnal ketiga yang berjudul “ Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp
Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation”
menjelaskan bahwa kitosan adalah jenis polisakarida yang ada pada kelas crustaceans.
Kitin adalah polisakarida dengan struktur Poly N-Acetyl Glucosamine yang berjumlah
lebih dari 50% dan apabila kurang dari 50% maka disebut sebagi kitosan. Proses
hidrolisis pada kitosan berlangsung secara lambat sehingga derajat diasetilasi menjadi
tinggi dan menyebabkan jaringan pada kitosan sangat attractive. Kitosan bersifat
biocompatibility, biodegradability, homeostasis dan antibakteri. Sifat kitosan yang dapat
berperan sebagai antikoagulan juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat dan anti
kangker. Dengan menggunakan metode HPLC dengan perubahan coloumn yang terjadi
dan menghasilkan glukosamin sebagai produk akhir dari hidrolisis kitosan yang
jumlahnya akan meningkat seiring dengan peningkatan diasetilasi.
Pada jurnal yang keempat berjudul “Functional Characterization of Chitin and
Chitosan” menjelaskan bahwa kitin yang biasanya dhasilkan dari limbah crustaceans
karena limbah terbesar didapatkan dari golongan ini maka harus ada penanganannya.
Pada kitin terdapat 30-40% proteins, 30-50% calcium carbonate dan 20-30% chitin dan
tersusun atas pigment yang berada pada jaringan lemak seperti carotenoids
(astaxanthin,astathin, canthaxanthin, lutein dan carotene). Pada kitosan terjadi ikatan
hidrofobik, pada kitin mengandung polisakarida yang memiliki viskositas cukup tinggi
sehingga dapat menurunkan penerapan terhadap lemak dan kolestrol. Pada saat
terjadinya reaksi maillard maka kitosan akan menghasilkan produk berupa
17
llactoglobulin and chitosan yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri dan anti radikal
bebas.
Pada jurnal kelima berjudul Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with
UniquemProperties and Versatile Applications” yang mejelaskan bahwa kitin dapat
larut dalam media cair dan terdapat gugus amino yang erada pada rantai kitosan
sedangkan kitosan dapat larut dalam media asam. Kitosan akan bekerja dengan lebih
efektif apabila dalam proses kerjanya terdapat kombinasi dengan Ph, komponen ionic,
dan pelarut. Kitosan sulfat sangat berfungsi untuk mencegah terjadinya radaikal bebas.
Pada kitosan juga terdapat oligosakirada yang terdiri dari serat- serat myofibril, adanya
lisosym secara in vivo dapat mendegradasi kitin dan kitosan menjadi partikel yang lebih
kecil. MW yang rendah pada kitosan dapat menurunkan retensi.
Fungsi kitosan sebagai pengemulsi dapat terganggu apabila pada minyak konsentrasinya
tinggi maka akan mengganggu sifatnya sebagai pengemulsi dan menghambat
pertumbuhan karena adanya mikroorganisme pathogen.
4. KESIMPULAN
Kitosan dapat dibuat melalui melalui N-diasetilasi dari kitin dengan 40-50% basa
cair pada suhu 120-160oC
Kitin bersifat mudah mengalami terdegradasi secara biologis dan tidak beracun.
Kitosan bersifat sebagai bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat,
antibakteri, dapat terbiodegradasi, dan memiliki afinitas yang besar terhadap
enzim.
Proses demineralisasi bertujuan untuk mengurangi kandungan mineral yang
terdapat didalam kitin.
Pencucian bermanfaat untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel yang
mampu mencemari kitin.
Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan sisa air panas yang menempel
sehingga akan mengalami penurunan kadar air.
Penghancuran bertujuan mempermudah senyawa pelarut kontak dengan sampel.
Penambahan HCl berfungsi untuk membentuk gas CO2 berupa gelembung udara
saat kontak dengan sampel.
Pengadukan supaya homogen dan menghindari meluapnya gelembung-gelembung
udara yang dihasilkan selama proses ini.
Pemanasan bertujuan untuk memisahkan mineral karena dengan suhu tinggi
mineral akan semakin mudah terpisah.
Pencucian berulang-ulang berfungsi untuk menetralkan pH sampel.
Deproteinasi adalah suatu proses dengan tujuan untuk menghilangkan bahkan
melarutkan protein semaksimal mungkin dari substrat, biasanya dilakukan dengan
penambahan larutan kimia bersifat basa.
Penambahan NaOH 3,5% adalah alkali terefektif yang dapat memperbesar volume
partikel bahan sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang.
Deasetilasi adalah proses pembentukan kitin menjadi kitosan menggunakan NaOH
yang akan menggantikan gugus asetamida dengan gugus amino.
Penambahan NaOH yang diberikan akan mengubah konformasi kitin yang sangat
rapat menjadi renggang.
18
19
Semarang, 24 September 2015
Praktikan Asisten Dosen
- Ivana
Ichlasia Ainul F
13.70.0196
20
5. DAFTAR PUSTAKA
Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E. & Zikakis, J. P. (1981). Chitin: New Facets of Research. Science, 212 (4496) : 749–753.
Azhar, M.; J. Efendi; Erda, S.; Rahma, M. L. & S. Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.Eksakta, Vol. 1 Tahun XI.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from PrawnShells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast.
Cahyaningrum, S. E.; Agustini & Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 : 93-98.
Dunn, E. T.; E. W. Grandmaison & M. F. A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. In: MFA. Goosen (Ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hargono; Abdullah & Indro, S. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Jurnal Reaktor Vol. 12 No. 1. Universitas Diponegoro. Semarang.
21
Hartarti, F. K.; Susanto, T.; Rakhmadiono, S. & Lukito, A. S. (2002).Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus).Biosain, Vol. 2, No. 1 : 68-77
Hendri, J.; Wardana; Irwan, G. S. & Aspita, L. (2007).Penentuan Kadar Ca dan Mg pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Gravimetri dan Spektroskopi Serapan Atom.Jurnal Sains MIPA, Vol. 13, No. 2, Hal. 93-99. Lampung.
Hendry, J.(2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin danDeasetilasinya.Universitas Lampung. Lampung.
Hirano.(1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. In: Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford. Elsevier Applied Science. New York. pp. 37-40.
Indra, A. S. (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat.Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya.
Isa, M. T.; Ameh, A. O.; Gabriel, J. O. & Adama, K. K. (2012).Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, p. 73-81. Nigeria.
Knoor, D. (1984).Use of Chitinous Polymer in Food.Journal of Food Technology, Vol. 39 (1) : 85.
22
Kofuji, K; Qian, C. J.; Murata, Y. & Kawashima, S. (2005). Preparation of Chitosan Microparticles by Water-in-Vegetable Oil Emulsion Coalescence Technique.Journal of Reactive and Functional Polymers, Vol. 65 : 77-83.
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan. Jurnal Penelitian Andalas, Vol. 12 (V) : 138-143.
Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res273:235-242.
Moeljanto.(1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mudasir; G. Raharjo; I. Tahir & E. T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd (II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 63-78. Yogyakarta.
Muzzarelli, R.A.A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Pergamon Press.Ancona, Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc. Orlando, San Diego.
Muzzarelli, R. A. A.; C. Jeunoax & G. W. Goody.(1986). Chitin in Nature and Technology.Plenum Press. New York.
23
Naznin, R. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054. Bangladesh.
Ornum, J. V. (1992). Shrimp Waste Must it be Wasted? Info Fish (6) : 92.
Patria, A. (2013) Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste.AACL International Journal of the Bioflux Society, Vol. 6, Issue 4.
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.
Prasetyaningrum, A.; N. Rokhati&S. Purwintasari. (2006). Rekayasa Teknologi Produksi Chitosan dari Limbah Kulit Udang sebagai Pengawet Bahan Makanan Pengganti Formalin: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kabupaten Pati. Semarang, Hal. 203 – 208.
Prasetyo, K. W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M. & I N. Simpen.(2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH.Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
24
Radhakumary, C.; P. D. Nair; S. Mathew & C. P. R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications.Trends Biomater.Artif.Organs, Vol. 18 (2). India.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad & S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan.Jurnal Kimia Indonesia, Vol. 5 (1), Hal.17-21.
Rochima, E. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat.Buletin Teknologi hasil Perikanan.10 (1) Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. Science Published, Ltd. England.
Shahidi, F.; Arachchi, J. K. V. & Jeon Y. J. (1999).Food Applications of Chitin and Chitosans.Trends in Food Science and Technology, Vol. 10 : 37.
Suhardi, U; Santoso & Sudarmanto.(1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Suhardi.(1993). Khitin dan Khitosan.Pusat Antar Universitas pangandan Gizi, PAU UGM. Yogyakarta.
Suhartono, M. T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Bogor.
25
Wang, Z.; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science, Vol.2010 Article ID 369759, 7 pages.
Wardaniati, R. A. & S. Setyaningsih.(2009). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basah III×100 %
KelompokA1
Rendemen Chitin I = 3,010
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,05
×100 %
= 20,00 %
Rendemen Chitosan = 0,262,5
× 100 %
= 10,40 %
KelompokA2
Rendemen Chitin I = 4,510
× 100 %
= 45,00 %
Rendemen Chitin II = 2
7,5×100 %
= 26,67 %
26
27
Rendemen Chitosan = 0,987,5
× 100 %
= 13,07 %
KelompokA3
Rendemen Chitin I = 3,510
×100 %
= 35,00 %
Rendemen Chitin II = 1
4,5× 100 %
= 22,22 %
Rendemen Chitosan = 0,443,57
×100 %
= 12,32 %
KelompokA4
Rendemen Chitin I = 2
10×100 %
=20,00 %
Rendemen Chitin II = 1
3,5×100 %
= 28,57 %
Rendemen Chitosan = 0,291,94
× 100 %
= 14,95 %
KelompokA5
Rendemen Chitin I = 3
10×100 %
28
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,56
×100 %
= 25,00 %
Rendemen Chitosan = 0,62
5×100 %
= 12,40 %
6.2. Laporan Sementara6.3. Diagram Alir6.4. Jurnal6.5. Vyper
29