materi mata kuliah belajar dan pembelajaran oleh pak la ode supardi, m.pd: teori belajar
TRANSCRIPT
10
BAB II
TEORI BELAJAR
A. Teori Belajar Behaviorisme
Dalam teori Behaviorisme “belajar” adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan
perubahan tingkah lainnya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian.
Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan
tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian,
maka ia belum dianggap belajar. Karena la belum dapat menunjukkan pemahaman
perilaku sebagai hasil belajar. Di bawah ini dijelaskan beberapa teori behaviorisme;
1. Teori Koneksionisme
Teori ini dipelopori pertamakali oleh thorndike yang dipublikasikan dalam Animal
Intelligence (1898). Thorndike adalah salah seorang tokoh dalam lapangan psikologi
pendidikan yang besar pengaruhnya dalam perkembangan dunia pendidikan. Menurut
Thorndike, dasar pembelajaran (basis of learning) adalah asosiasi (gabungan) antara
kesan panca indera (sense imprension) dengan dorongan-dorongan untuk bertindak
(impulses to action). Asosiasi yang demikian itu disebut pertalian atau koneksi (bond” or
connection)” antara stimulus dan respon (S-R). Asosiasi atau bond atau koneksi itulah
yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-
kebiasaan bertingka laku. Prinsip yang demikian disebut pula Connectionism atau Bond
Psycohlogy.
Dalam eksperimen pertamanya Thorndike menggunakan seekor kucing sebagai
subyeknya, kucing yang masih muda yang kebiasaan-kebiasaanya belum kaku, dibiarkan
lapar; lalu dimasukan kedalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu
kurungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol
tertentukurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging)
yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah (reward) atau daya penarik kucing
yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama kucing itu melakukan bermacam-macam
gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan masalahnya, seperti mencakar, menubruk
dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Percobaan yang
sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya
ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu semakin singkat. Dalam
11
percobaannya ini Thorndike memasukan masalah baru didalam belajar, yakni masalah
dorongan (motivation), hadiah (ganjaran, reward) dan hukuman (punishment).
Dari hasil percobaan tersebut, Thorndike menyimpulkan bahwa (1) adanya hadiah
(reward), yang berupa makanan yang diletakan di luar kotak, membuat kucing terdorong
untuk memberikan respon. (2) respon-respon yang ditampakan oleh hewan bersifat
otomatis-mekanistik. (3) respon-respon yang dilakukan kucing (dan hewan-hewan yang
lain) bukanlah merupakan hasil dari reasoning/penalaran, respon yang muncul lebih
merupakan usaha yang bersifat coba-coba yang dilakukan oleh hewan.
Dalam perkembangan eksperimennya Thorndike menyatakan bahwa bentuk
kegiatan belajar, baik pada kehidupan hewan maupun kehidupan manusia, berlangsung
menurut prinsip yang sama yaitu melalui pembentukan assosiasi anatara kesan panca
indra dengan perbuatan. Selanjutnya bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun
pada manusia itu disifatkan sebagai “trial and error learning” atau “learning by selecting
and connecting” (belajar dengan proses memilih dan menghubungkan). Dalam situasi
paradigmatis ini, learner (bisa berupa hewan atau manusia) dihadapkan pada situasi
problematik yang harus dipecahkan agar bisa memperoleh tujuan yang diharapkan
konsekuensinya.
a) Hukum Belajar Thorndike
Sedangkan proses belajar berlangsung sesuai dengan hukum kesiapan (Low of
Readiness), Hukum latihan (Law of Exercise), dan Law of Efect (Hukum Pengaruh).
1. Low of Readiness
Kesiapan disini merujuk pada keadaan-keadaan dimana pembelajar
berkencenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu dan mendapatkan
kepuasan atau ketidakpuasan. Menurut Thorndike, keadaan tersebut terdiri dari :
- Keinginan yang kuat (strong desire) akan mendorong munculnya aksi, yang
kemudian menghasilkan kepuasan;
- Keinginan yang kuat mungkin juga akan memunculkan aksi/respon yang tidak
sempurna, dan hasilnya nanti adalah ketidakpuasan;
- Keinginan yang lemah akan memunculkan respon yang juga lemah (tidak sempurna)
Hal di atas, menjelaskan bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung secara
efektif dan efisien apabila peserta didik tidak hanya menunjukan keinginan yang kuat
akan tetapi telah harus memiliki kesiapan lebih awal; hukum ini menjelaskan bahwa
materi hendaknya sesuai dengan kebutuhan belajar dan seseuai dengan cara-cara
belajar yang dimiliki peserta didik, sehingga kegiatan belajar dapat menimbulkan
kepuasan peserta didik;
12
2. Low Of Exercises
Hukum ini mengandung dua prinsip yaitu:
Law of use : menyatakan bahwa koneksi S-R akan menjadi lebih kuat bila
dipergunakan atau dimanfaatkan; ini bermakna hubungan antara kondisi dan
tindakan dalam belajar akan menjadi bertambah kuat karena adanya pemanfaatan
atau penggunaan sesuatu yang dipelajari melalui latihan.
Law of disuse : menyatakan bahwa koneksi S-R akan menjadi lebih lemah bila tidak
dipergunakan atau dimanfaatkan; artinya koneksi atau hubungan dan tindakan itu
akan menjadi lemah atau terlupakan apabila tanpa adanya latihan atau dihentikan.
Jadi hukum ini memberikan pembenaran terhadap pentingnya peserta didik untuk
selalu mengulangi materi yang dipelajari.
3. Law of Effect
Hukum ini berkaitan dengan kepuasan (satisfaction) dan ketidakpuasan
(annoyence). Kepuasan ini diyakini karena adanya hadiah dan tidak memuaskan karena
adanya hukuman. Efek atau akibat dari adanya reward dan punishment adalah tidak sama;
reward (hadiah) mungkin akan menjadi stimulan yang lebih kuat yang mendorong
seseorang melakukan aksi; sedangkan punishment juga mendorong atau menyebabkan
aksi, tapi sekuat pengaruh efek reward. Contohnya, dalam belajar, adanya hadiah akan
memberikan dorongan yang kuat bagi siswa untuk lebih banyak belajar. Sebaliknya, dalam
kriminalitas, adanya hukuman atas suatu perbuatan, tidak cukup kuat untuk mencegah
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan tersebut; atau dengan kata lain, dalam
kegiatan belajar jika senantiasa diikuti dengan pujian atau hadiah dapat memberikan hasil
yang menyenangkan bagi peserta peserta didik, sehingga kegiatan itu cenderung akan
diulangi dan dikembangkan oleh peserta didik, dan siswa yang lain juga terdorong untuk
melakukan hal yang sama seperti peserta didik sebelumnya. Sebaliknya kegiatan belajar
yang memberikan hasil yang tidak menyenangkan, seperti celaan dan hukuman,
cenderung akan dihentikan atau dihindari oleh peserta didik.
b) Konsep Dasar Perkembangan Teori Thorndike
Dalam upaya untuk memperbaiki teorinya, Thorndike mengungkapkan beberapa
konsep yang berkaitan dengan pembelajaran. Konsep-konsep tersebut secara singkat
diuraikan sebagai berikut;
1. Belongingness
Maksud dari belongingness ini adalah koneksi atau hubungan antara dua hal akan
menjadi lebih kuat jika salah satu merasa memiliki yang lain, atau merasa sebagai satu
kesatuan. Misalnya, jika hadiah atau hukuman dianggap sebagai satu kesatuan dengan
stimulus-respons yang mendahuluinya, maka respon atau aksi yang dihasilkannya akan
menjadi lebih kuat. Belongingness ini bersifat mekanistik.
13
2. Associative Polarity
Maksud dari konsep ini adalah hubungan S-R akan lebih dapat terwujud dalam alur
yang urut, dari pada alur terbalik atau tidak sistematis. Misalnya, dalam belajar
Statistik, siswa yang belum memiliki dasar alan lebih mudah memahami materi jika
diajarkan secara urut/sistematis. Sebaliknya, jika materi tidak disampaikan dengan acak
atau dari belakang kedepan, maka dapat dijamin bahwa siswa tersebut akan kesulitan
dan kebingungan dalam memahami materi-materi yang disampaikan.
3. Stimulus Identifiability
Maksudnya adalah situasi tertentu akan lebih mudah menghasilkan respon, jika situasi
tersebut dapat diindentifikasi. Dengan konsep ini, Thorndike juga ingin mengatakan
bahwa stimulus yang berbeda akan menghasilkan respon yang berbeda. Ia juga secara
tidak langsung telah memperkenalkan salah satu metode belajar yang dikenal dengan
perceptual learning.
4. Teori Classical Conditioning
Tokoh teori ini bernama Ivan Petrovic Pavlov (1849-1936) seorang ahli fisiologi dari
Rusia, teori ini sangat terkenal dan berpengaruh di Uni Soviet karena didalamnya terdapat
konsep “condition reflex”. Menurutnya melalui proses pengkondisian klasik, manusia dan
binatang dapat belajar merespon secara otomatis terhadap sitimuls yang sama sekali tidak
punyak efek atau yang berbeda atasnya.
Eksperimen klasik Pavlov dimulai dengan melakukan pengamatan pada seekor anjing
yang diberi makanan berupa daging, sehingga anjing akan mengeluarkan air liurnya.
Langkah-langkah eksperiman Pavlov sebagai berikut;
1). Jika daging diletakan didekat seekor anjing yang lapar, anjing mengeluarkan air
liur; ini menunjukan daging telah menimbulkan rangsangan pada anjing sehingga
secara spontan anjing tersebut mengeluarkan air liur (Saliva);
2). Berikutnya, daging diganti dengan bel. Lalu bel tersebut dibunyikan berulangkali
namun anjing tersbut tidak mengeluarkan air liur;
3). Bel didekatkan pada daging, lalu bel tersebut dibunyikan berulang kali dan rupanya
anjing mengeluarkan air liurnya; latihan ini dilakukan terus menerus dan anjing
tetap melakukan respon yang sama dari sebelumnya;
4). Bel dibunyikan tanpa ada daging didekatnya dan hasilnya sangat mengejutkan
bahwa anjing tersebut mengeluarkan air liur, meskipun dilakukan berulang-ulang.
Sebagai catatan Pertama, dalam eksperimen di atas (sebelum Pengkodisian);
menunjukan bahwa makanan (daging) disebut Unconditional Stimulus (US) sebab
menyebabkan peliuran otomatically. Sedangkan peliuran itu sendiri disebut unconditional
14
response (UR) sebab terjadi secara otomatis pula. Hubungan alamiah antara makanan dan
peliuran tidak ada proses belajar yang mendahului atau conditioning.
Bunyi lonceng/bel awal disebut neutral stimulus (NS) sebab tidak mengangkibatkan
response.
Sebagai Catatan Kedua, Pengkodisian; dengan menggunakan tiga elemen yakni
makanan, peliuran dan bel/lonceng; Pavlov mengkondisikan peliuran dapat terjadi setelan
bunyi lonceng yang diikuti dengan pemberian makanan. Dan berikutnya terjadi peliuran
dengan hanya bunyi bel tanpa makanan. Dengan demikian bunyi bel menjadi conditioned
stimulus (CS) dan peliuran merupakan conditioned response (CR).
Hasil eksperimen tersebut di atas, terkonversi kedalam dunia pendidikan yakni;
1). Belajar bisa berjalan dengan baik, bila kita menghubungkan hal-hal yang positif dan
menyenangkan bagi peserta didik;
2). Memberikan dorongan bagi diri peserta didik agar mau melakukan hal-hal yang tidak
disenanginya secara sukarela; dalam artian membiasakan siswa yang pemalu dalam
kerja kelompok;
3). Memfasilitasi siswa yang memiliki kemampuan rendah agar belajar mandiri; berani
melakukan penyajian lisan baik secara individu maupun kelompok;
4). Bantulah siswa membedakan kondisi yang mungkin membuat tingka laku yang
pantas dan tidak.
5. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori
dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi
dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik
adalah:
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi
pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
3. Menentukan materi pelajaran.
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan,
sub pokok bahasan, topik, dsb.
5. Menyajikan materi pelajaran.
15
6. Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis,
tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.
7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun
penguatan negatif), ataupun hukuman.
9. Memberikan stimulus baru:
10. Mengamati dan mengkaji respons yang yang diberikan siswa.
11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
12. Evaluasi hasil belajar.
16
B. TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori kognitif lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif
mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon.
Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai
hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang
sering disebut sebagai model perseptual, Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah
laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori kognitif
juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh
konteks situasi tersebut memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran
menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah,
akan kehilangan rnakna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain.
Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses
belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain
tampak dalam rumusan-rumusan seperti, "Tahap-tahap perkembangan" dikemukakan oleh J.
Piaget, Advance organizer dari Ausubel, Pemahaman konsep dari Bruner, Hirarkhi belajar dari
Gagne, Webteaching dari Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci
beberapa pandangan mereka.
a). Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik. Artinya
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan
makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan,
akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya
perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Bagaimana seseorang
memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubunban dengan proses
mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi
dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila
seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak
akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
17
Proses adaptasi mernpunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur
kognitif yang ada sekararg, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif
sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau
pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur
kognitif yang telah dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur
kognitifnya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut
akomodasi.
Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitiff
atau suatu ketidakseimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau
dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi struktur kognitif. Menurut Piaget, proses
belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi
(penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau menyatukan
informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi
merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkam
proses equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika mempelajari
prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang
sudah dikuasainya, dengan prinsip pembagian (informasi baru). lnilah yang disebut proses
asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut
akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip
pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalarn dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan.
Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur
kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut equilibrasi. Tanpa proses
ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur
(disorganized). Hal ini misalnya tampak pada
caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, tidak logis, dan sebagainya.
Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur
kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan
anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan terrtentu. Menurut Piaget, proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya.
18
b). Teori Belajar Menurut Bruner
Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam
studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai
berikut:
1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi
suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis.
3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan
pada diri sendiri.
4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak
diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan
bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang
lain.
6. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas
yang berurutan dalarn berbagai situasi.
Dalam mernandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang, Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget.
menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan
bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic.
1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak
menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan,
dan sebagainya.
19
2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (Komparasi).
3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalarn berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa,
logika, matematika, dan sebagainya. Semakin matang seseorang dalarn proses
berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia
tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem
enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara
menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang
tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral sebagai suatu cara mengorganisasikan
materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan rnateri pelajaran mulai dari
mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi
yang sama dalarn cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci
yang dikemukakannya dalarn model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara
materi yang dipelajari dargan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar.
c). Teori Belajar Bermakna Ausubel
Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar
asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar
seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang di[pelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk
struktur kognitif.
Struktur kognitif merpakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang
yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit
konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan
dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki
siswa.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam stniktur
hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi
pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan yang lebih umum
dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat memudahkan perolehan
pengetahuan baru yang lebih rinci.
20
2. Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan
pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalarn
merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak
lagi mekanistik seperti yang dilakukan dalam pendekatan behaviristik. Kebebasan dan
keterlibatan siswa sccara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih
bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui talrap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, tetutama
jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman
atau informasi baru dengara struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan febih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna,
informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan apa yang sedang dipelajari
dengan apa yang telah diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi,
persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memiiiliki pandangan yang sama
mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut Piaget, dengan
mengaktifkan siswa secara optima! maka proses asimilasi dari pengetahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, lebih banyak memberikan kebebasan kepada siswa
untuk belajar sendiri aktivitas menernukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan
siswa bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Berbeda dengan
Ausubel lebih mementingkan struktur disiplin ilmu. Dalam proses belajar lebih menekankan
pada cara berfikir deduktif.
21
C. TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan
psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan
isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara
tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih
tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleln teori-
teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam
pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna
atau "Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa
belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman
emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi daa keinginan dari
pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif
yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpndapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri,
pemahaman diri, serta realisaai diri orang yang belajar, secara optimal.
a). Pandangan Kolb terhadap Belajar.
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi
4, yaitu: a) Tahap pengalaman konkrit, b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif, c) Tahap
konseptualisasi, dan d) Tahap eksperimentasi aktif.
1. Tahap pengalaman konkrit
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan
merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang
dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut.
2). Tahap pengamatan aktif dan retlektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan
semakin mampu melakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia
mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan
refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa itu mesti terjadi.
22
3. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk
membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur
tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan
untuk merumuskan suatu aturan urnum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa
yang dialaminya.
4. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar adalah melakukan eksperimentasi secara aktif.
Yada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau
aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk
mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi
mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori
atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum
pernah ia jumpai sebelumnya.
b). Pandangan Honey dan Mumford terhadap Belajar.
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dan
lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam maupun
lingkuagan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya
yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis( technical
learning), 2) belajar praktis ( practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emansipatoris
learning).
1. Belajar Teknis (technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang
dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan
alam sekitarnya dengan baik.
2. Beiajar Praktis (practical learning)
Yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya, dengan baik.
Kegiatan belajar lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama
manusia. Pemahaman dan ketrarnpilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya
tidak dapat dipisahkan dengan kegentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar
antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tanpak dari kaitan atau
relevansinya dengan kepentingan manusia.
23
3. Belajar Emansipatoris (emancipator learning).
Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu
pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya pembahan atau transformasi
budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan
pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk merdukung terjadinya
tarnsformasi kultural tersebut. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural
inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab
transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
2. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar
pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Mesikupun teori
hurnanistik ini rnasih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang
praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar.
Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya
dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini
akan dapat membantu meraka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran
seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat
evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Dalam praktektiya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk bafikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa agar aktif dalam
proses belajar. Oleh sebab itu, walauprm secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, paling tidak dapat dirumuskan
langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut:
1. menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Menentukan materi pelajaran.
3. identifikasi kernampuan awal (entry behaviour) siswa.
4. identifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif
melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6. Membimbing siswa belajar secara aktif.
7. Membimbing siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman
belajarnya.
8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
9. Membimbing siswa dalam rnengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.