materi mata kuliah belajar dan pembelajaran oleh pak la ode supardi, m.pd: teori belajar

14
10 BAB II TEORI BELAJAR A. Teori Belajar Behaviorisme Dalam teori Behaviorisme “belajar” adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah lainnya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena la belum dapat menunjukkan pemahaman perilaku sebagai hasil belajar. Di bawah ini dijelaskan beberapa teori behaviorisme; 1. Teori Koneksionisme Teori ini dipelopori pertamakali oleh thorndike yang dipublikasikan dalam Animal Intelligence (1898). Thorndike adalah salah seorang tokoh dalam lapangan psikologi pendidikan yang besar pengaruhnya dalam perkembangan dunia pendidikan. Menurut Thorndike, dasar pembelajaran (basis of learning) adalah asosiasi (gabungan) antara kesan panca indera (sense imprension) dengan dorongan-dorongan untuk bertindak (impulses to action). Asosiasi yang demikian itu disebut pertalian atau koneksi (bond” or connection)” antara stimulus dan respon (S-R). Asosiasi atau bond atau koneksi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan- kebiasaan bertingka laku. Prinsip yang demikian disebut pula Connectionism atau Bond Psycohlogy. Dalam eksperimen pertamanya Thorndike menggunakan seekor kucing sebagai subyeknya, kucing yang masih muda yang kebiasaan-kebiasaanya belum kaku, dibiarkan lapar; lalu dimasukan kedalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu kurungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentukurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah (reward) atau daya penarik kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan masalahnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu semakin singkat. Dalam

Upload: -nining-syafitri

Post on 02-Jul-2015

8.104 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

10

BAB II

TEORI BELAJAR

A. Teori Belajar Behaviorisme

Dalam teori Behaviorisme “belajar” adalah perubahan tingkah laku sebagai

akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar

merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk

bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan

respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan

perubahan tingkah lainnya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian.

Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan

tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian,

maka ia belum dianggap belajar. Karena la belum dapat menunjukkan pemahaman

perilaku sebagai hasil belajar. Di bawah ini dijelaskan beberapa teori behaviorisme;

1. Teori Koneksionisme

Teori ini dipelopori pertamakali oleh thorndike yang dipublikasikan dalam Animal

Intelligence (1898). Thorndike adalah salah seorang tokoh dalam lapangan psikologi

pendidikan yang besar pengaruhnya dalam perkembangan dunia pendidikan. Menurut

Thorndike, dasar pembelajaran (basis of learning) adalah asosiasi (gabungan) antara

kesan panca indera (sense imprension) dengan dorongan-dorongan untuk bertindak

(impulses to action). Asosiasi yang demikian itu disebut pertalian atau koneksi (bond” or

connection)” antara stimulus dan respon (S-R). Asosiasi atau bond atau koneksi itulah

yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-

kebiasaan bertingka laku. Prinsip yang demikian disebut pula Connectionism atau Bond

Psycohlogy.

Dalam eksperimen pertamanya Thorndike menggunakan seekor kucing sebagai

subyeknya, kucing yang masih muda yang kebiasaan-kebiasaanya belum kaku, dibiarkan

lapar; lalu dimasukan kedalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu

kurungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol

tertentukurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging)

yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah (reward) atau daya penarik kucing

yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama kucing itu melakukan bermacam-macam

gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan masalahnya, seperti mencakar, menubruk

dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Percobaan yang

sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya

ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu semakin singkat. Dalam

Page 2: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

11

percobaannya ini Thorndike memasukan masalah baru didalam belajar, yakni masalah

dorongan (motivation), hadiah (ganjaran, reward) dan hukuman (punishment).

Dari hasil percobaan tersebut, Thorndike menyimpulkan bahwa (1) adanya hadiah

(reward), yang berupa makanan yang diletakan di luar kotak, membuat kucing terdorong

untuk memberikan respon. (2) respon-respon yang ditampakan oleh hewan bersifat

otomatis-mekanistik. (3) respon-respon yang dilakukan kucing (dan hewan-hewan yang

lain) bukanlah merupakan hasil dari reasoning/penalaran, respon yang muncul lebih

merupakan usaha yang bersifat coba-coba yang dilakukan oleh hewan.

Dalam perkembangan eksperimennya Thorndike menyatakan bahwa bentuk

kegiatan belajar, baik pada kehidupan hewan maupun kehidupan manusia, berlangsung

menurut prinsip yang sama yaitu melalui pembentukan assosiasi anatara kesan panca

indra dengan perbuatan. Selanjutnya bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun

pada manusia itu disifatkan sebagai “trial and error learning” atau “learning by selecting

and connecting” (belajar dengan proses memilih dan menghubungkan). Dalam situasi

paradigmatis ini, learner (bisa berupa hewan atau manusia) dihadapkan pada situasi

problematik yang harus dipecahkan agar bisa memperoleh tujuan yang diharapkan

konsekuensinya.

a) Hukum Belajar Thorndike

Sedangkan proses belajar berlangsung sesuai dengan hukum kesiapan (Low of

Readiness), Hukum latihan (Law of Exercise), dan Law of Efect (Hukum Pengaruh).

1. Low of Readiness

Kesiapan disini merujuk pada keadaan-keadaan dimana pembelajar

berkencenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu dan mendapatkan

kepuasan atau ketidakpuasan. Menurut Thorndike, keadaan tersebut terdiri dari :

- Keinginan yang kuat (strong desire) akan mendorong munculnya aksi, yang

kemudian menghasilkan kepuasan;

- Keinginan yang kuat mungkin juga akan memunculkan aksi/respon yang tidak

sempurna, dan hasilnya nanti adalah ketidakpuasan;

- Keinginan yang lemah akan memunculkan respon yang juga lemah (tidak sempurna)

Hal di atas, menjelaskan bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung secara

efektif dan efisien apabila peserta didik tidak hanya menunjukan keinginan yang kuat

akan tetapi telah harus memiliki kesiapan lebih awal; hukum ini menjelaskan bahwa

materi hendaknya sesuai dengan kebutuhan belajar dan seseuai dengan cara-cara

belajar yang dimiliki peserta didik, sehingga kegiatan belajar dapat menimbulkan

kepuasan peserta didik;

Page 3: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

12

2. Low Of Exercises

Hukum ini mengandung dua prinsip yaitu:

Law of use : menyatakan bahwa koneksi S-R akan menjadi lebih kuat bila

dipergunakan atau dimanfaatkan; ini bermakna hubungan antara kondisi dan

tindakan dalam belajar akan menjadi bertambah kuat karena adanya pemanfaatan

atau penggunaan sesuatu yang dipelajari melalui latihan.

Law of disuse : menyatakan bahwa koneksi S-R akan menjadi lebih lemah bila tidak

dipergunakan atau dimanfaatkan; artinya koneksi atau hubungan dan tindakan itu

akan menjadi lemah atau terlupakan apabila tanpa adanya latihan atau dihentikan.

Jadi hukum ini memberikan pembenaran terhadap pentingnya peserta didik untuk

selalu mengulangi materi yang dipelajari.

3. Law of Effect

Hukum ini berkaitan dengan kepuasan (satisfaction) dan ketidakpuasan

(annoyence). Kepuasan ini diyakini karena adanya hadiah dan tidak memuaskan karena

adanya hukuman. Efek atau akibat dari adanya reward dan punishment adalah tidak sama;

reward (hadiah) mungkin akan menjadi stimulan yang lebih kuat yang mendorong

seseorang melakukan aksi; sedangkan punishment juga mendorong atau menyebabkan

aksi, tapi sekuat pengaruh efek reward. Contohnya, dalam belajar, adanya hadiah akan

memberikan dorongan yang kuat bagi siswa untuk lebih banyak belajar. Sebaliknya, dalam

kriminalitas, adanya hukuman atas suatu perbuatan, tidak cukup kuat untuk mencegah

seseorang untuk tidak melakukan perbuatan tersebut; atau dengan kata lain, dalam

kegiatan belajar jika senantiasa diikuti dengan pujian atau hadiah dapat memberikan hasil

yang menyenangkan bagi peserta peserta didik, sehingga kegiatan itu cenderung akan

diulangi dan dikembangkan oleh peserta didik, dan siswa yang lain juga terdorong untuk

melakukan hal yang sama seperti peserta didik sebelumnya. Sebaliknya kegiatan belajar

yang memberikan hasil yang tidak menyenangkan, seperti celaan dan hukuman,

cenderung akan dihentikan atau dihindari oleh peserta didik.

b) Konsep Dasar Perkembangan Teori Thorndike

Dalam upaya untuk memperbaiki teorinya, Thorndike mengungkapkan beberapa

konsep yang berkaitan dengan pembelajaran. Konsep-konsep tersebut secara singkat

diuraikan sebagai berikut;

1. Belongingness

Maksud dari belongingness ini adalah koneksi atau hubungan antara dua hal akan

menjadi lebih kuat jika salah satu merasa memiliki yang lain, atau merasa sebagai satu

kesatuan. Misalnya, jika hadiah atau hukuman dianggap sebagai satu kesatuan dengan

stimulus-respons yang mendahuluinya, maka respon atau aksi yang dihasilkannya akan

menjadi lebih kuat. Belongingness ini bersifat mekanistik.

Page 4: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

13

2. Associative Polarity

Maksud dari konsep ini adalah hubungan S-R akan lebih dapat terwujud dalam alur

yang urut, dari pada alur terbalik atau tidak sistematis. Misalnya, dalam belajar

Statistik, siswa yang belum memiliki dasar alan lebih mudah memahami materi jika

diajarkan secara urut/sistematis. Sebaliknya, jika materi tidak disampaikan dengan acak

atau dari belakang kedepan, maka dapat dijamin bahwa siswa tersebut akan kesulitan

dan kebingungan dalam memahami materi-materi yang disampaikan.

3. Stimulus Identifiability

Maksudnya adalah situasi tertentu akan lebih mudah menghasilkan respon, jika situasi

tersebut dapat diindentifikasi. Dengan konsep ini, Thorndike juga ingin mengatakan

bahwa stimulus yang berbeda akan menghasilkan respon yang berbeda. Ia juga secara

tidak langsung telah memperkenalkan salah satu metode belajar yang dikenal dengan

perceptual learning.

4. Teori Classical Conditioning

Tokoh teori ini bernama Ivan Petrovic Pavlov (1849-1936) seorang ahli fisiologi dari

Rusia, teori ini sangat terkenal dan berpengaruh di Uni Soviet karena didalamnya terdapat

konsep “condition reflex”. Menurutnya melalui proses pengkondisian klasik, manusia dan

binatang dapat belajar merespon secara otomatis terhadap sitimuls yang sama sekali tidak

punyak efek atau yang berbeda atasnya.

Eksperimen klasik Pavlov dimulai dengan melakukan pengamatan pada seekor anjing

yang diberi makanan berupa daging, sehingga anjing akan mengeluarkan air liurnya.

Langkah-langkah eksperiman Pavlov sebagai berikut;

1). Jika daging diletakan didekat seekor anjing yang lapar, anjing mengeluarkan air

liur; ini menunjukan daging telah menimbulkan rangsangan pada anjing sehingga

secara spontan anjing tersebut mengeluarkan air liur (Saliva);

2). Berikutnya, daging diganti dengan bel. Lalu bel tersebut dibunyikan berulangkali

namun anjing tersbut tidak mengeluarkan air liur;

3). Bel didekatkan pada daging, lalu bel tersebut dibunyikan berulang kali dan rupanya

anjing mengeluarkan air liurnya; latihan ini dilakukan terus menerus dan anjing

tetap melakukan respon yang sama dari sebelumnya;

4). Bel dibunyikan tanpa ada daging didekatnya dan hasilnya sangat mengejutkan

bahwa anjing tersebut mengeluarkan air liur, meskipun dilakukan berulang-ulang.

Sebagai catatan Pertama, dalam eksperimen di atas (sebelum Pengkodisian);

menunjukan bahwa makanan (daging) disebut Unconditional Stimulus (US) sebab

menyebabkan peliuran otomatically. Sedangkan peliuran itu sendiri disebut unconditional

Page 5: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

14

response (UR) sebab terjadi secara otomatis pula. Hubungan alamiah antara makanan dan

peliuran tidak ada proses belajar yang mendahului atau conditioning.

Bunyi lonceng/bel awal disebut neutral stimulus (NS) sebab tidak mengangkibatkan

response.

Sebagai Catatan Kedua, Pengkodisian; dengan menggunakan tiga elemen yakni

makanan, peliuran dan bel/lonceng; Pavlov mengkondisikan peliuran dapat terjadi setelan

bunyi lonceng yang diikuti dengan pemberian makanan. Dan berikutnya terjadi peliuran

dengan hanya bunyi bel tanpa makanan. Dengan demikian bunyi bel menjadi conditioned

stimulus (CS) dan peliuran merupakan conditioned response (CR).

Hasil eksperimen tersebut di atas, terkonversi kedalam dunia pendidikan yakni;

1). Belajar bisa berjalan dengan baik, bila kita menghubungkan hal-hal yang positif dan

menyenangkan bagi peserta didik;

2). Memberikan dorongan bagi diri peserta didik agar mau melakukan hal-hal yang tidak

disenanginya secara sukarela; dalam artian membiasakan siswa yang pemalu dalam

kerja kelompok;

3). Memfasilitasi siswa yang memiliki kemampuan rendah agar belajar mandiri; berani

melakukan penyajian lisan baik secara individu maupun kelompok;

4). Bantulah siswa membedakan kondisi yang mungkin membuat tingka laku yang

pantas dan tidak.

5. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori

dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini

menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori

behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar

sebagai individu yang pasif Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi

dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.

Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik

adalah:

1. Menentukan tujuan pembelajaran

2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi

pengetahuan awal (entry behavior) siswa.

3. Menentukan materi pelajaran.

4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan,

sub pokok bahasan, topik, dsb.

5. Menyajikan materi pelajaran.

Page 6: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

15

6. Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis,

tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.

7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.

8. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun

penguatan negatif), ataupun hukuman.

9. Memberikan stimulus baru:

10. Mengamati dan mengkaji respons yang yang diberikan siswa.

11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.

12. Evaluasi hasil belajar.

Page 7: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

16

B. TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif

Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori kognitif lebih

mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif

mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon.

Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai

hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang

sering disebut sebagai model perseptual, Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah

laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang

berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan

pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori kognitif

juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh

konteks situasi tersebut memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran

menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah,

akan kehilangan rnakna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses

internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain.

Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses

belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya

dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan

pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain

tampak dalam rumusan-rumusan seperti, "Tahap-tahap perkembangan" dikemukakan oleh J.

Piaget, Advance organizer dari Ausubel, Pemahaman konsep dari Bruner, Hirarkhi belajar dari

Gagne, Webteaching dari Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci

beberapa pandangan mereka.

a). Teori Perkembangan Piaget

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik. Artinya

proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan

makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan

makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan,

akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya

perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Bagaimana seseorang

memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubunban dengan proses

mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi

dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila

seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak

akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya.

Page 8: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

17

Proses adaptasi mernpunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi

dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur

kognitif yang ada sekararg, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif

sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau

pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur

kognitif yang telah dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur

kognitifnya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut

akomodasi.

Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitiff

atau suatu ketidakseimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau

dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi struktur kognitif. Menurut Piaget, proses

belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi

(penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau menyatukan

informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi

merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkam

proses equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika mempelajari

prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang

sudah dikuasainya, dengan prinsip pembagian (informasi baru). lnilah yang disebut proses

asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut

akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip

pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.

Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya

sekaligus menjaga stabilitas mental dalarn dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan.

Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur

kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut equilibrasi. Tanpa proses

ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur

(disorganized). Hal ini misalnya tampak pada

caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, tidak logis, dan sebagainya.

Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif.

Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur

kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan

anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan terrtentu. Menurut Piaget, proses belajar

seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya.

Page 9: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

18

b). Teori Belajar Menurut Bruner

Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam

studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai

berikut:

1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi

suatu rangsangan.

2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan

informasi secara realis.

3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri

sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah

dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan

pada diri sendiri.

4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak

diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.

5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat

komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan

bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang

lain.

6. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa

alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas

yang berurutan dalarn berbagai situasi.

Dalam mernandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan

terhadap tingkah laku seseorang, Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia

mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau

pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget.

menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan

bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar

pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang

ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic.

1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk

memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak

menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan,

dan sebagainya.

Page 10: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

19

2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambar-

gambar dan visualisasi verbal Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak

belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (Komparasi).

3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan

abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalarn berbahasa dan logika.

Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa,

logika, matematika, dan sebagainya. Semakin matang seseorang dalarn proses

berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia

tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam

kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem

enaktif dan ikonik dalam proses belajar.

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara

menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang

tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral sebagai suatu cara mengorganisasikan

materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan rnateri pelajaran mulai dari

mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi

yang sama dalarn cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci

yang dikemukakannya dalarn model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara

materi yang dipelajari dargan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar.

c). Teori Belajar Bermakna Ausubel

Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar

asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar

seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang di[pelajari

diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk

struktur kognitif.

Struktur kognitif merpakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang

yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit

konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan

dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki

siswa.

Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam stniktur

hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi

pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan yang lebih umum

dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat memudahkan perolehan

pengetahuan baru yang lebih rinci.

Page 11: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

20

2. Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang

berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan

pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalarn

merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak

lagi mekanistik seperti yang dilakukan dalam pendekatan behaviristik. Kebebasan dan

keterlibatan siswa sccara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih

bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka

mengalami perkembangan kognitif melalui talrap-tahap tertentu.

2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, tetutama

jika menggunakan benda-benda kongkrit.

3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan

mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman

dapat terjadi dengan baik.

4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman

atau informasi baru dengara struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.

5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan

menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.

6. Belajar memahami akan febih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna,

informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah

dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan apa yang sedang dipelajari

dengan apa yang telah diketahui siswa.

7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor sangat

mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi,

persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.

Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memiiiliki pandangan yang sama

mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut Piaget, dengan

mengaktifkan siswa secara optima! maka proses asimilasi dari pengetahuan dan pengalaman

dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, lebih banyak memberikan kebebasan kepada siswa

untuk belajar sendiri aktivitas menernukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan

siswa bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Berbeda dengan

Ausubel lebih mementingkan struktur disiplin ilmu. Dalam proses belajar lebih menekankan

pada cara berfikir deduktif.

Page 12: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

21

C. TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik

Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk

kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu teori belajar humanistik

sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan

psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan

isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara

tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta

tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih

tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman

tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleln teori-

teori belajar lainnya.

Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam

pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna

atau "Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa

belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan

dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman

emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi daa keinginan dari

pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif

yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpndapat bahwa teori belajar apapun dapat

dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri,

pemahaman diri, serta realisaai diri orang yang belajar, secara optimal.

a). Pandangan Kolb terhadap Belajar.

Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi

4, yaitu: a) Tahap pengalaman konkrit, b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif, c) Tahap

konseptualisasi, dan d) Tahap eksperimentasi aktif.

1. Tahap pengalaman konkrit

Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat

mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan

merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang

dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut.

2). Tahap pengamatan aktif dan retlektif

Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan

semakin mampu melakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia

mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan

refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-

pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa itu mesti terjadi.

Page 13: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

22

3. Tahap konseptualisasi

Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk

membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur

tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan

untuk merumuskan suatu aturan urnum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa

yang dialaminya.

4. Tahap eksperimentasi aktif.

Tahap terakhir dari peristiwa belajar adalah melakukan eksperimentasi secara aktif.

Yada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau

aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk

mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi

mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori

atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum

pernah ia jumpai sebelumnya.

b). Pandangan Honey dan Mumford terhadap Belajar.

Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dan

lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam maupun

lingkuagan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya

yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis( technical

learning), 2) belajar praktis ( practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emansipatoris

learning).

1. Belajar Teknis (technical learning)

Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi

dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang

dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan

alam sekitarnya dengan baik.

2. Beiajar Praktis (practical learning)

Yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi

dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya, dengan baik.

Kegiatan belajar lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama

manusia. Pemahaman dan ketrarnpilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya

tidak dapat dipisahkan dengan kegentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar

antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tanpak dari kaitan atau

relevansinya dengan kepentingan manusia.

Page 14: Materi Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh Pak La Ode Supardi, M.Pd: Teori Belajar

23

3. Belajar Emansipatoris (emancipator learning).

Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu

pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya pembahan atau transformasi

budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan

pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk merdukung terjadinya

tarnsformasi kultural tersebut. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural

inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab

transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.

2. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran

Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar

pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks

manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Mesikupun teori

hurnanistik ini rnasih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang

praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar.

Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya

dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini

akan dapat membantu meraka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran

seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat

evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.

Dalam praktektiya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk bafikir

induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa agar aktif dalam

proses belajar. Oleh sebab itu, walauprm secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang

langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, paling tidak dapat dirumuskan

langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut:

1. menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.

2. Menentukan materi pelajaran.

3. identifikasi kernampuan awal (entry behaviour) siswa.

4. identifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif

melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.

5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.

6. Membimbing siswa belajar secara aktif.

7. Membimbing siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman

belajarnya.

8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.

9. Membimbing siswa dalam rnengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.

10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.