masjid tanggap tunanetra

10
MASJID TANGGAP TUNANETRA Hamka Program Pasca Sarjana, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Indonesia, e-mail : [email protected] Ertin Lestari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang, Jawa Timur, Indonesia, e-mail : [email protected] Adhi Widyarthara Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang, Jawa Timur, Indonesia, e-mail : [email protected] Abstract The mosque is one of the common facilities with functioning place of worship for Muslims and one is visually impaired users. As belonging to marginalized communities, where blind to note its existence. Mosques need to be connected between the Blind, supposing the container with its contents, the house with its occupants, with the spirit of his soul. So in this discussion will examine the issues Mosque design concept that responds to the visually impaired. To bring these concepts must be in accordance with the needs of the visually impaired that can be taken from the visually impaired mobility behavior will be applied to the design of the mosque in order to be able to help the movement of visually impaired in performing their activities. So that it produced not just a mosque being used for worship, and not also a mere visual beauty, as blind are given deficiencies in visual excess and get behind it. So it is needed behind it is a concept that has meaning to help the visually impaired in performing acts of worship. Suppose, by taking advantage of the visually impaired in addition to optimizing visual senses such as hearing senses, sense of touch, and sense of smell in the movement patterns, which then synergized by using materials that can support the advantages of the sensesto be realized in the form of architectural markers. With the goal, the visually impaired will feel comfortable and helped in its movement patterns to perform worship. Keywords: Mosque,Blind, Perceptive, Movement Pattern, Mobility Abstrak Masjid merupakan salah satu fasilitas umum dengan fungsi tempat pribadatan bagi kaum muslim dan salah satu penggunanya adalah tunanetra. Sebagai masyarakat yang tergolong marginal, keberadaan tunanetra perlu diperhatikan keberadaannya. Perlu dihubungkan antara Masjid dengan Tunanetra, ibaratnya wadah dengan isinya, rumah dengan penghuninya, roh dengan jiwanya. Jadi dalam bahasan ini akan mengkaji masalah konsep merancang masjid yang tanggap terhadap tunanetra. Untuk menghadirkan konsep tersebut tentunya harus sesuai dengan kebutuhan tunanetra yang dapat diambil dari prilaku mobilitas tunanetra yang nantinya diterapkan pada desain masjid agar mampu membantu pergerakan tunanetra dalam melakukan aktifitasnya. Sehingga hal yang dihasilkan bukan hanya sekedar masjid yang digunakan untuk beribadah, dan bukan juga sekedar keindahan visual semata, karena tunanetra diberikan kekurangan pada visualnya dan mendapatkan kelebihan dibaliknya. Makahal yang dibutuhkan dibalik itu adalah sebuah konsepyang mengandung makna untuk membantu tunanetra dalam melakukan kegiatan ibadah. Misalkan, dengan memanfaatkan kelebihan tunanetra dalam mengoptimalkan indra selain visualnya Seminar Nasional Arsitektur Islam 3 Malang, 7 November 2013 |1

Upload: hamkahamzah

Post on 02-Jan-2016

119 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

password: archandmoremyblog: myarchandmore.blogspot.com

TRANSCRIPT

Page 1: Masjid Tanggap Tunanetra

MASJID TANGGAP TUNANETRA

Hamka Program Pasca Sarjana, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Indonesia,e-mail : [email protected]

Ertin Lestari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang, Jawa Timur, Indonesia,e-mail : [email protected]

Adhi Widyarthara Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang, Jawa Timur, Indonesia,e-mail : [email protected]

AbstractThe mosque is one of the common facilities with functioning place of worship for Muslims

and one is visually impaired users. As belonging to marginalized communities, where blind to note its existence. Mosques need to be connected between the Blind, supposing the container with its contents, the house with its occupants, with the spirit of his soul. So in this discussion will examine the issues Mosque design concept that responds to the visually impaired. To bring these concepts must be in accordance with the needs of the visually impaired that can be taken from the visually impaired mobility behavior will be applied to the design of the mosque in order to be able to help the movement of visually impaired in performing their activities. So that it produced not just a mosque being used for worship, and not also a mere visual beauty, as blind are given deficiencies in visual excess and get behind it.

So it is needed behind it is a concept that has meaning to help the visually impaired in performing acts of worship. Suppose, by taking advantage of the visually impaired in addition to optimizing visual senses such as hearing senses, sense of touch, and sense of smell in the movement patterns, which then synergized by using materials that can support the advantages of the sensesto be realized in the form of architectural markers. With the goal, the visually impaired will feel comfortable and helped in its movement patterns to perform worship.

Keywords: Mosque,Blind, Perceptive, Movement Pattern, Mobility

AbstrakMasjid merupakan salah satu fasilitas umum dengan fungsi tempat pribadatan bagi kaum

muslim dan salah satu penggunanya adalah tunanetra. Sebagai masyarakat yang tergolong marginal, keberadaan tunanetra perlu diperhatikan keberadaannya. Perlu dihubungkan antara Masjid dengan Tunanetra, ibaratnya wadah dengan isinya, rumah dengan penghuninya, roh dengan jiwanya. Jadi dalam bahasan ini akan mengkaji masalah konsep merancang masjid yang tanggap terhadap tunanetra. Untuk menghadirkan konsep tersebut tentunya harus sesuai dengan kebutuhan tunanetra yang dapat diambil dari prilaku mobilitas tunanetra yang nantinya diterapkan pada desain masjid agar mampu membantu pergerakan tunanetra dalam melakukan aktifitasnya. Sehingga hal yang dihasilkan bukan hanya sekedar masjid yang digunakan untuk beribadah, dan bukan juga sekedar keindahan visual semata, karena tunanetra diberikan kekurangan pada visualnya dan mendapatkan kelebihan dibaliknya.

Makahal yang dibutuhkan dibalik itu adalah sebuah konsepyang mengandung makna untuk membantu tunanetra dalam melakukan kegiatan ibadah. Misalkan, dengan memanfaatkan kelebihan tunanetra dalam mengoptimalkan indra selain visualnya seperti indra pendengarannya, indra peraba, dan indra penciuman dalam pola pergerakannya, kemudian disinergikan dengan menggunakan material-material yang dapat mendukung kelebihan indra-indra tersebutuntuk diwujudkan dalam bentuk penanda arsitektur. Dengan tujuan, tunanetra akan merasa nyaman dan terbantu dalam pola-pola pergerakannya untuk melakukan ibadah.

Kata kunci: Masjid, Tunanetra, Tanggap, Pola Gerak, Mobilitas

PendahuluanArsitektur Masjid dewasa ini memiliki

kecenderungan yang terfokus pada tampilan visual, dibuat megah dan besar, lebih kepada landmark ataupun simbol, kebanyakan dinikmati secara visual daripada fungsi

Islamiahnya. Dibuat untuk masyarakat umum dan dipergunakan bagi kaum muslim secara umum, tapi satu yang terlupakan yaitu saudara muslim yang menderita tunanetra, saudara yang masih menjadi bagian dari

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |1

Page 2: Masjid Tanggap Tunanetra

masyarakat yang marginal dan hak-haknya masih kurang diperhatikan khususnya dipenggunaan fasilitas-faslitas umum.

Karena tergolong kelompok yang minoritas, menjadikan sebuah pemikiran untuk menghadirkan sebuah masjid yang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan tunanetra bisa hanya menjadi wacana atau ide saja. Maka dari itu, wacana ataupun ide tersebut coba diwujudkan melalui tulisan ini. Dengan tujuan untuk memberikan sentuhan yang berbeda bagi para tunanetra ketika berada dan melakukan aktifitas ibadah didalam masjid tersebut. Dengan memanfaatkan konsep mobilitas tunanetra dalam memanfaatkan indra-indranya selain visual untuk menghadirkan sebuah konsep masjid tanggap tunanetra, yang diwujudkan melalui bentuk penanda arsitektural untuk membatu pergerakan tunanetra dalam melakukan proses ibadah.Arsitektur Masjid

Arsitektur masjid telah ada sejak dahulu kala, dari zaman Nabi Muhammad SAW. Dan beliau pulalah yang membangun sebuah masjid pertama, yaitu Masjid Quba pada tahun 1 hijryah (622 Masehi). Masjid di zaman Rasulullah dibuat sesederhana mungkin, berlantaikan tanah, dinding dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang pohon kurma, atapnya dari pelepah dan daunnya (Syafe’ i). Semuanya dibuat berdasarkan arti dari masjid sebagai tempat beribadah, tempat sujud kaum muslim. Tampilan visual tidak menjadi patokan utama tetapi telah menjadi cikal bakal masjid-masjid yang ada disaat ini.

Semakin berkembangnya zaman, masjid pun bertambah fungsi bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tapi juga memiliki fungsi sosial, seperti pusat kegiatan masyrakat, dan pusat pendidikan.

Secara umum masjid memiliki fasilitas ruang, (Handryant,2010:59) diantaranya: ruang shalat, tidak diberikan meja dan kursi, sehingga para jamaah dapat mengisi shaf atau barisan yang ada di dalam ruang salat. Di masjid juga terdapat mihrab sebagai tempat imam memimpin shalat, dan mimbar sebagai tempat khatib menyampaikan khutbah.Selain itu, tersedia tempat wudhu untuk menyucikan diri.

Dibeberapa masjid modern sebagai pusat kegiatan umat Islam, juga menyediakan fasilitas seperti ruang belajar, klinik, perpustakaan, fasilitas olahraga, dan yang lainnya.

TunanetraTunanetra merupakan istilah bagi

orang yang menderita gangguan pada indra visualnya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total

blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Vision). Dengan kondisi tunanetra yang memiliki kekurangan pada indra visualnya, tentunya menuntut fasilitas yang memiliki karakter tertentu sesuai dengan konsep mobilitas tunanetra.

Tunanetra memiliki konsep mobilitas dengan mengoptimalkan indra selain visualnya seperti tunanetra memiliki tingkat pendengaran yang tajam dengan memanfaatkan indra pendengarannya, mampu merasakan tekstur dengan indra peraba dan juga indra penciuman untuk mendeteksi bebauan yang diciumnya disaat melakukan pergerakan.

Berikut ini beberapa contoh konsep mobilitas pergerakan tunanetra (Lestari & Widyarthara, 2012), sebagai berikut:

1. Tunanetra total blind menggunakan tongkat digerakkan kekiri-kekanan dan dibenturkan ke lantai untuk menimbulkan gema yang dapat didengarkan oleh tunanetra, ayunan tongkat menjelaskan luas ruang gerak tunanetra.

2. Tunanetra merasakan permukaan tekstur lantai untuk membantu pergerakannya.

3. Memanfaatkan indra peraba pada permukaan dinding untuk merasakan teksturnya.

4. Mengoptimalkan penciumannya dengan mencium aroma khas yang ada disekitarnya.

5. Kepekaan terhadap warna dan cahaya oleh tunanetra lowvision.

Jadi, hal yang ingin dicapai adalah sebuah ide masjid tanggap tunanetra berdasarkan konsep mobilitas tunanetra terhadap pola pergerakan ibadah untuk diterapkan pada fasilitas yang ada didalam masjid.

PembahasanDalam menghadirkan sebuah ide

diperlukan sebuah data untuk mendapatkan sebuah konsep terhadap masalah yang didapatkan dari data tersebut. Dalam hal ini yang menjadi subjeknya adalah tunanetra dan objeknya masjid.

Permasalahan utama adalah tunanetra beraktifitas tanpa bisa melihat lingkungan sekitarnya bagi totally blind, dan bagi low vision yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi sangat minilmal. Sehingga diperlukan sebuah desain arsitektur yang mampu menanggapi kedua masalah tersebut.

Berdasarkan pada konsep mobilitas tunanetra yang mampu mengoptimalkan indra-indra selain indra visualnya, maka hal yang perlu dihadirkan adalah penanda secara

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |2

Page 3: Masjid Tanggap Tunanetra

Masuk

Area Transit (area pengguna untuk berhenti sejenak melepaskan alas

kaki)

Tempat Wudhu

Ruang Sholat

Kembali ke area

transit

Keluar(melalui pintu masuk)

arsitektural yang menjadi bagian dari bentuk maupun ruang untuk dapat dengan mudah dikenali dengan indra pendengaran, peraba, maupun penciuman tunanetra tersebut. Sehingga tunanetra dapat melakukan aktifitasnya secara mandiri dengan nyaman dan aman.

Pola pergerakanMasjid tanggap tunanetra ini terfokus

pada menghadirkan penanda arsitektur pada fasilitas masjid yang dilalui pola pergerakan ibadah yang terjadi. Fasilitas ruang yang paling utama pada masjid adalah ruang shalat dan tempat wudhu, dalam pencapaian kedua fasilitas utama ruang tersebut tentunya dilalui oleh pola pergerakan pengguna. Dan berikut ini pola pergerakan yang secara umum terjadi didalam masjid.

Diagram 1. Pola PergerakanDari diagram pola pergerakan tersebut yang akan menjadi acuan untuk diberikan penanda arsitektur, dengan tujuan mengarahkan tunanetra melakukan ibadah hingga selesai.

Tabel 1. Pola, Kegiatan, Goal

Pola Gerak

Kegiatan Goal

Masuk Berjalan menuju area masjid

Tunanetra harus dapat berjalan dengan mudah menuju masjid

Area transit

Berhenti, untuk melepaskan alas kaki, maupun istirahat sejenak dan kemudian menuju ke tempat wudhu

Tunanetra dapat mengenali area transit tersebut

Tempat wudhu

Berwudhu kemudian bergerak menuju ruang sholat

Tunanetra harus dapat berjalan dengan mudah menuju ke tempat wudhuh,

dan berwudhu

Ruang sholat

Sholat (berdiri maupun duduk), setelah selesai bergerak kembali ke area transit

Tunanetra diharapkan dapat dengan mudah bergerak dari tempat wudhu menuju ruang sholat, mengetahui posisi shaf sholat

Area transit-keluar

Tunanetra memasang kembali alas kakinya dan bergegas keluar dari area masjid

Tunanetra diharapkan dapat mengenali kembali karakter area ini setelah sebelumnya sudah dilewati

Penanda Arsitektur PergerakanBerikut ini adalah beberapa ilustrasi visual

penanda arsitektural dengan memperhatikan kepekaan indra tunanetra saat bergerak, dengan mempertimbangkan penggunaan material-material yang dapat mengakomodir kepekaan indra-indra tunanetra tersebut berdasarkan pada pola pergerakan proses ibadah didalam masjid.

1. Masuk menuju area transitPemberian penanda arsitektur dimulai

dari pintu masuk/entrance menuju ke area transit. Hal ini dimaksudkan untuk menuntun tunanetra menuju kearah masjid. Penanda yang dapat di berikan berupa pemberian tekstur pada permukaan lantai atau pedestrian yang mengarah menuju masjid. Pemberian tekstur ini berfungsi, untuk menimbulkan rasa halus dan kasar pada saat tunanetra menyentuhkan kakinya kelantai, dan mengetahui ruang gerak yang ada didepannya. Untuk yang lowvision dapat diberikan garis warna yang kontras disetiap sisi tepi jalur sirkulasi sebagai pengarah. Selain itu, juga dapat diberikan lampu taman disetiap sisi jalur sirkulasi tersebut, untuk memenuhi kepekaan tunanetra yang low vision terhadap cahaya dimalam hari. Untuk disiang hari bisa dengan menggunakan pagar pembatas berupa railing pagar maupun dengan pembatas dari tanaman.

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |3

Page 4: Masjid Tanggap Tunanetra

Gambar1. Tunanetra Berjalan pada Lantai Bertekstur dengan Menggunakan Tongkat(Sumber: Lestari & Widyarthara, 2012)

Gambar2. Warna Kontras untuk Membantu Arah Gerak Low Vision

(Sumber: Lestari & Widyarthara, 2012)

Warna berfungsi sebagai isyarat tertentu yang berdiri sendiri maupun dikombinasikan dapat memiliki fungsi sebagai suatu tanda bagi low vision, karena tunanetra jenis ini sangat peka terhadap warna kontras.

Gambar3.Jalur Sirkulasi Menuju ke Area Transit

A. Lantai yang bertekstur membantu mobilitas pergerakan tunanetra saat berjalan menggunakan tongkat dengan cara menginjakkan kakinya pada lantai atau memberikan material yang memberikan gema tertentu pada saat tongkatnya disentuhkan ke permukaan lantai, sehingga menimbulkan bunyi yang bergema yang dapat didengar.

B. Kepekaan tunanetra low vision terhadap warna-warna yang kontras maka garis warna kontras dapat digunakan sebagai pengarah sirkulasi maupun sebagai pembatas

C. Karena kepekaan tunanetra terhadap cahaya maka lampu taman sebagai pengarah dimalam hari

2. Area transit menuju ke tempat wudhuJalur sirkulasi yang menghubungkan

antara area ini dengan tempat wudhu juga diberikan tekstur pada lantainya, karena kondisi tunanetra sudah tidak mengenakan alas kaki, maka dengan mudah dapat merasakan tekstur lantai tersebut dengan permukaan kakinya. Tekstur lantai yang digunakan pun harus berbeda dengan tekstur pada jalur sirkulasi sebelumnya, dengan tujuan untuk menimbulkan kesan yang berbeda pula disetiap wilayah yang dilalui agar tunanetra dapat mendapatkan kesan untuk mengenali dan membedakan masing-masing wilayah tersebut.

Ditempat wudhu dapat diberikan penanda arsitektur berupa aliran air yang terus mengalir dan menimbulkan bunyi gemericik air. Hal tersebut dilakukan untuk mengakomodir kepekaan tunanetra melalui indera pendengarannya. Sehingga posisi antara area transit dengan tempat wudhu tidak boleh terlalu jauh. Untuk memudahkan tunanetra dalam berwudhu, dapat diberikan sebuah railing pembatas untuk mengarah langsung ke masing-masing unit kran air wudhu.

Gambar4.Tempat Wudhu

A. Perbedaan tekstur lantai untuk memunculkan kesan berbeda dimasing-masing ruang, sehingga tunanetra dapat dengan mudah mengenali ruang berdasarkan tekstur lantai yang berbeda

B. Penggunaan pembatas untuk mengarahkan langsung tunanetra berwudhu

C. Tempat untuk mengalirnya air secara terus menerus untuk mengakomodir kepekaan pendengaran tunanetra, sehingga ketika tunanetra berada di area transit maka tunanetra akan mengetahui lokasi tempat wudhu dengan cara mendengar suara yang ditimbulkan oleh air tersebut.

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |4

A

B

C

A

A

B

C

Page 5: Masjid Tanggap Tunanetra

3. Tempat wudhu menuju ruang sholatDari tempat wudhu akan kembali

melalui jalur yang sama ke area transit kemudian masuk kedalam ruang sholat. Ruang sholat sebaiknya menggunakan material-material yang dapat memberikan aroma khas, agar tunanetra dapat mendapatkan kesan dan membedakan tempat tersebut melalui indra penciumannya. Contohnya lantai ruang sholat menggunakan material kayu yang beraroma khas. Didalam ruang masjid teradap shaf sholat. Untuk memberi tanda yang menandakan garis shaf tersebut dengan cara memberikan tekstur yang berbeda pula.

Ruang sholat diusakan bebas dari kolom struktur agar tunanetra lebih leluasa dalam bergerak. Selain itu, untuk menunjukkan pembatas dinding ruangan, dapat dengan memberikan lampu hias yang berwarna kontras kemudian dipasang mengelilingi dinding ruangan. Juga dapat dengan menggunakan warna finishing dinding yang kontras pula, untuk menegaskan batas ruangan tersebut.

Gambar5. Ruang Sholat

A. Lantai dari material kayu yang beraroma khas untuk mengakomodir kepekaan indra penciuman tunanetra

B. Shaf sholat dengan tekstur yang berbeda

C. Garis dinding dengan warna kontras memberikan batas ruang bagi low vision

D. Penggunaan lampu hias berwarna kontras juga sebagai pemberi batas ruang

4. Ruang sholat menuju ke ruang transit dan keluar

Tunanetra juga sering menggunakan dinding sebagai media penuntun untuk bergerak dengan cara meraba dan merasakan tekstur dinding tersebut untuk menuju ke suatu tempat. Tunanetra akan mengikuti arah dinding tersebut secara linier. Dengan demikian, pemanfaatan dinding sebagai salah satu penanda arsitektural juga dapat diterapkan, tentunya dengan menggunakan material yang bertekstur pada dinding tersebut.

Gambar6. Posisi Tunanetra Berjalan Mengikuti Dinding

(Sumber: Lestari & Widyarthara, 2012)

Gambar7. Tunanetra Berjalan dengan Memegang Dinding

(Sumber: Lestari & Widyarthara, 2012)

Setelah proses ibadah selesai maka tunanetra akan kembali melewati sirkulasi yang telah dilaluinya. Dengan kesan yang ditangkap dari masing-masing karakter ruang maka dengan mudah tunanetra akan mengenali area-area pergerakan yang dilewatinya. Dari ruang sholat tunanetra langsung menuju ke area transit untuk mengenakan kembali alas kaki dan kemudian keluar dari area masjid.

Pola Hubungan RuangTerdapat konsep arah pergerakan

tunanetra disaat berbelok dengan pola linier seperti, bila terdapat arah belok, maka belokan tersebut berbelok 45º, berbelok 1/4, berbelok 90º, menghadap kearah kanan, berputar 180º, berbalik arah, berputar 360º, berputar penuh, berbelok U. Konsep berbelok ini hanya terdapat pada tunanetra yang pernah mengikuti pelatihan orientasi dan mobilitas, tunanetra akan lebih mudah berbelok pada arah 90º(Lestari & Widyarthara, 2012).

Kondisi pola mobilitas tunanetra yang terbatas akan berpengaruh kepada pemilihan pola hubungan ruang, dengan demikian pola organisasi hubungan ruang harusnya dipilih dalam bentuk yang sederhana.

Hubungan ruang secara horizontal digunakan pola yang sederhana yaitu pola

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |5

R. Kelas R. Kelas R. KelasSD ASD A

AB

C

D

Page 6: Masjid Tanggap Tunanetra

linier, sedangkan perubahan arah ke ruang lainnya sebaiknya digunakan sudut 90º untuk memudahkan mobilitas bagi tunanetra.

Gambar8.Diagram Pola Hubungan Ruang Liner

A. Entrance masjid B. Jalur sirkulasi menuju masjidC. Area transitD. Tempat wudhuE. Ruang sholat

Gambar9. Ilustrasi Visual Pola Hubungan Ruang Linier

Pada ilustrasi pada gambar 8 dan gambar 9, merupakan contoh penerapan pola sirkulasi linier terhadap hubungan ruang yang terbentuk. Mulai dari entarance kemudian melalui jalur pedestrian menuju area transit (berhenti sejenak untuk beristirahat maupun melepaskan alas kaki dan sebagainya).

Setelah berada diarea transit maka langsung menuju ke tempat wudhu dengan membentuk pola belok 90º, yang kemudian dilanjutkan ke ruang sholat. Setelah proses ibadah selesai, maka tunanetra akan kembali dan keluar mengikuti pola sirkulasi yang telah dilewati sebelumnya.

Pada gambar 8 dan 9 terdapat dua jalur kekanan dan kekiri pada sisi pintu ruang sholat sebagai akses keluar. Jalur yang kekanan mengikuti pola sebelumnya, sedangkan yang kekiri yang ditunjukkan oleh garis merah pada gambar 8 dan 9 merupakan

akses alternatif yang juga menghubungkan ke area transit.

Konsep Masjid Tanggap TunanetraBerdasarkan pada proses

pembahasan sebelumnya maka masjid tanggap tunanetra ini, terfokus pada menghadirkan penanda arsitektural untuk membantu proses pergerakan tunanetra yang terjadi, dengan memfanfaatkan konsep mobilitas indra tunanetra selain indra visualnya. Berikut ini konsep masjid tanggap tunanetra:

1. Menggunakan jalur sirkulasi berupa pedestrian dengan memanfaatkan material yang bertekstur seperti, koral sikat, kerikil, batu alam, batu andesit, dan yang lainnya untuk memudahkan tunanetra dalam mengidentifikasi jalur pergerakannya.

2. Memanfaatkan penggunaan warna yang kontras untuk menunjukkan batas maupun sebagai pengarah bagi tunanetra low vision.

3. Menggunakan cahaya sebagai pengarah maupun penanda batas dimalam hari.

4. Menggunakan material lantai yang dapat menimbulkan kesan tersendiri untuk mudah dikenali tunanetra, seperti penggunaan keramik yang memiliki tekstur dan tidak licin.

5. Penggunaan material yang memiliki aroma khusus untuk mengakomodir kepekaan indra penciuman tunanetra, seperti material kayu atau parket untuk lantai ruang sholat masjid.

6. Memanfaatkan suara-suara alami untuk menunjukkan suatu tempat, seperti suara gemericik air di area tempat wudhu.

7. Pada ruang sholat sebaiknya bebas dari kolom struktur untuk memudahkan dan tidak membingungkan tunanetra dalam bergerak mencari posisi sholat.

8. Daerah-daerah permukaan lantai menggunakan material yang berbeda dimasing-masing fungsi ruang agar tunanetra dapat membedakan ruang tersebut.

9. Pola sirkulasi hubungan ruang dibuat sederhana secara linier.

10. Pola belok pada jalur sirkulasi sebaiknya membentuk sudut 90º.

11. Memanfaatkan dinding sebagai salah satu pengarah, dan penggunaan pembatas berupa handrail untuk menuntun tunanetra.

PenutupDalam menghadirkan sebuah fasilitas

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |6

A B C

D

E

AA

B

C

D

E

Page 7: Masjid Tanggap Tunanetra

umum, hendaknya memperhatikan perilaku pengguna dan lingkungannya agar peroduk arsitektur yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan yang akan menggunakan, khususnya pada fasilitas umum, contohnya dalam bahasan tulisan ini mengenai masjid dan tunanetra.

Proses mendesain dengan memperhatikan prilaku dan lingkungan pengguna akan jauh lebih baik dari pada sekedar menghadirkan sebuah karya hanya untuk keindahan visual saja. Dengan memperhatikan kebutuhan kaum marginal, menyediakan fasilitas bagi mereka, sehingga dapat berfungsi sesuai kebutuhan mereka, merupakan bentuk penghargaan terhadap sesama (hablumminannas), yang nilainya juga akan mempererat hubungan dengan Allah (hablumminallah).

Arsitektur Islam menempatkan barometernya pada arsitektur masjid, dengan berbagai macam bentuk dan keindahannya. Tetapi, dijaman ini mulai dilupakan fungsi sebenarnya dari masjid sebagai tempat beribadah yang terus berkembang menjadi pusat pengembangan masyarakat. Masjid di era ini lebih banyak tampil dengan kemegahan dan keindahannya, tetapi berbanding terbalik dengan penggunanya.

Untuk kedepannya, sebaiknya dalam mengahadirkan masjid perlu sesuai dengan kebutuhan, antara pengguna dan lingkungannya, agar kemudian masjid tersebut tidak menjadi mubasir.

Masjid tanggap tunanetra ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat untuk mengakomodir para kaum tunanetra yang masih tergolong kaum marginal.

Masjid tanggap tunanetra ini mengkaji dari segi hard marker, berupa penanda aritekturalyang terlihat, sesuai dengan kepekaan indra tunanetra berdasarkan mobilitas pola pergerakannya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan untuk menghadirkan penanda arsitektural ini dalam bentuk soft marker, dengan memanfaatkan teknologi seperti sensor gerak dan sabagainya untuk memberikan informasi kepada tunanetra agar lebih mudah dalam melakukan pola pergerakan dalam beribadah didalam masjid. Sehingga pengembangan masjid tanggap tunanetra ini, untuk kedepannya dapat diarahkan pada pemanfaatan dan penggunaan teknologi.

Referensi

Lestari & Widyarthara, 2012.Studi Lingkungan Perilaku Tunanetra, Guna Mencari Konsep Perancangan Arsitektur. Jurnal. Arsitektur ITN Malang

Handryant N. Asyah, 2010. Masjid sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat, Integrasi Konsep Habluminallah, Habluminannas, dan Habluminal’alam. UIN-Malang Press

Syafe’ i Makhmud. Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam

Krier Rob. 1988. Architectural Composition. Rizzoli; New York

Nawawi Ahmad, 2009, Makalah Pentingnya Orientasi Dan Mobilitas Bagi Tunanetra, Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus (S2) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Von Meiss. Pierre. 1994.Elements of Architecture. E & FN SPONS; London

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |7

Page 8: Masjid Tanggap Tunanetra

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3Malang, 7 November 2013 |8