masih tinggi yakni mencapai 18,75 persen...

21
1

Upload: hadat

Post on 02-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Fokus 3 ~ 5 - Upaya Meningkatkan Surplus Beras

Jawa Timur dengan Menekan Kehilangan Hasil

Info Pertanian 5 ~16 - Permasalahan Pengembangan

Pertanian Perdesaan di Era Otonomi Daerah

- Penyakit Blas (Pyricularia Oryzae) Pada Tanaman Padi Di Jawa Timur

- Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Tahun 2015 dan Triwulan I 2016 sebagai indikator Kesejahteraan Petani di Perdesaan

- Cemaran Aflatoksin Pada Pangan Geliat Agribisnis / Agrowisata 17 ~ 18 - Fasilitasi Sarana Prasarana Agrowisata Di Puspa Lebo-Sidoarjo Budidaya 19 ~ 20 - Teknologi Budidaya Paria yang Baik

dan Benar

Salam Redaksi Tingkat kehilangan hasil panen padi saat ini dinilai masih tinggi yakni mencapai 18,75 persen atau sebesar 2-3 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) per tahun. Kehilangan gabah terbesar berasal dari panen dan perontokan padi yang menjadi ancaman serius terhadap upaya peningkatan produksi d Jawa Timur. Beberapa informasi lainnya berupa permasalahan Pengembangan Pertanian Perdesaan di Era Otonomi Daerah, Penyakit Blas (Pyricularia Oryzae) Pada Tanaman Padi Di Jawa Timur, Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Tahun 2015 dan Triwulan I 2016 sebagai indikator Kesejahteraan Petani di Perdesaan, Cemaran Aflatoksin Pada Pangan serta Fasilitasi Sarana Prasarana Agrowisata Di Puspa Lebo-Sidoarjo

Selamat membaca.

Penerbit Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur

Penasihat

Ir. Wibowo Ekoputro, MMT Kepala Dinas Pertanian

Penanggung Jawab Drs. M Istidjab, MM

Sekretaris Dinas Pertanian

Pengarah Ir. A. Nurfalakhi, MP,

Ir. R. Sita P, MMA, Ir. Bambang H, M. Agr, Ir. Indrosutopo, MMA

Pemimpin Redaksi

Ir. Koemawi H, MM

Redaksi Pelaksana Ir. Anastasia, MCP, MMA

Ir. Zainal Abidin, Suwandi, SH Huriyani Fikri

Sirkulasi

Wiji Lestari

Alamat Redaksi Jalan Jend. A Yani 152 Surabaya

Redaksi menerima artikel ataupun opini dikirim lengkap

dengan identitas serta foto ke E-mail: [email protected]

2

FOKUS

adi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, utamanya di Jawa Timur. Sebagai bahan pangan pokok, padi selain mempunyai nilai bisnis yang sangat besar juga bernilai politis yang tinggi sehingga upaya peningkatan

produksi padi akan terus dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Upaya peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama padi selama ini telah menunjukkan keberhasilan dan telah diikuti dengan upaya penanganan pascapanen dengan baik, akan tetapi tingkat kehilangan hasil panen masih menjadi ancaman serius dalam upaya penyediaan dan peningkatan produksi pangan terutama padi yang melimpah di saat musim hujan.

Menurut Mazaud (1997), penyebab tingkat kehilangan pada proses pasca panen sangat ditentukan oleh varietas padi, kondisi iklim setempat dan kondisi pertanian di masing-masing negara. Kenyataannya, kehilangan hasil panen padi selain dipengaruhi oleh varietas, kadar air gabah saat panen, alat panen, cara panen, cara/alat perontokan, dan sistem pemanenan padi mengingat sebagian besar petani masih menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan mekanis tetapi proses penanganan pasca panennya masih belum baik dan benar. Jadi, potensi kehilangan hasil terjadi dalam setiap tahapan kegiatan pasca panen padi, yaitu proses pemanenan, penumpukan dan pengumpulan, perontokan, pembersihan, pengangkutan, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan, serta penggilingan.

Berdasarkan BPS (2008), tingkat kehilangan hasil panen padi di Indonesia saat ini dinilai masih tinggi yakni mencapai 18,75 persen. Persentase tertinggi terjadi pada aktivitas pemanenan sebesar 9,41 persen, diikuti aktivitas perontokan padi 4,42 persen,

penggilingan padi 2,24 persen, penjemuran 1,78 persen, penyimpanan 0,67 persen, dan pengangkutan 0,23 persen. Dibandingkan dengan Malaysia memang masih unggul karena persentase kehilangan hasil panen padi di Malaysia bisa mencapai 28,5% namun jika dibandingkan dengan Filipina masih kalah sedikit sebesar 16,47% dan kalah jauh dengan China yang hanya sebesar 9,5% sebagaimana diulas tabloid Sinar Tani pada kegiatan 6thRoundtable Meeting on ASEAN Plus Three Food Security Cooperation Strategy di Nanning, Guangxy, China, 19-20 September 2015.

Dengan demikian jelaslah bahwa proses penanganan pasca panen merupakan proses yang sangat penting karena besarnya kontribusi penanganan pasca panen terhadap peningkatan produksi padi. Penanganan pasca panen yang tidak tepat selain menjadi penyebab kehilangan hasil juga menentukan kualitas gabah, baik gabah untuk konsumsi menjadi beras, maupun gabah untuk benih. Karena itu, penanganan pasca panen merupakan kriteria utama dari Standar Operasional Prosedur (SOP).

P

Upaya Meningkatkan Surplus Beras Jawa Timur dengan

Menekan Kehilangan Hasil

3

Penanganan yang baik akan menghasilkan beras yang memiliki daya saing tinggi. Ancaman Kehilangan Hasil Padi

Proses panen dan pascapanen padi mengakibatkan kerugian yang sangat besar, bagi petani karena selain terjadi kehilangan hasil yang menyebabkan rendahnya hasil panen juga menyebabkan rendahnya mutu gabah / beras yang dihasilkan, yaitu tingginya kadar kotoran dan gabah hampa serta butir mengapur yang mengakibatkan rendahnya rendemen beras giling, Susut rendemen beras hasil giling akan menghasilkan beras patah, menir dan dedak hingga dalam jumlah yang relatif besar, khususnya di penggilingan padi kecil yang saat ini berperan lebih dari 94 persen dari total produksi. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, jumlah keseluruhan 182.199 unit penggilingan, terdapat sebanyak 2.076 unit jenis penggilingan besar, 8.628 unit penggilingan gabah sedang dan sebanyak 171.495 unit. Kehilangan Hasil saat Pemanenan

Menurut data BPS, aktivitas pemanenan sekitar 9,41 persen menjadi penyebab tingginya kehilangan hasil di Indonesia dan secara internasional yang dinyatakan oleh International Rice Reasarch Institute (IRRI) diperkirakan sebesar 5 ± 16 persen terjadi pada saat pemanenan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pemanenan perlu menjadi perhatian.

Pemanenan sebaiknya dilakukan pada umur panen yang tepat dan dengan cara panen yang benar. Umur panen padi yang tepat, yaitu pada saat malai berumur 30-35 hari setelah berbunga rata akan menghasilkan gabah dan beras bermutu baik. Sedangkan cara panen yang baik secara kuantitatif dapat menekan kehilangan hasil. Oleh karena itu komponen teknologi pemanenan padi perlu disiapkan.

Kehilangan Hasil saat Penanganan Pasca Panen

Kehilangan Hasil saat Penangan Pasca Panendi mulai dari perontokan, pengeringan, penyimpanan dan penggilingan. 1. Proses perontokan padi memberikan

kontribusi cukup besar, yaitu sebesar 4,42

persen pada kehilangan hasil padi secara keseluruhan. Perontokan padi merupakan tahapan pascapanen padi setelah pemotongan padi (pemanenan) dengan melepaskan gabah dari malainya. Perontokan padi dilakukan secara manual atau dengan alat dan mesin perontok dengan memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai tersebut. Pada proses perontokan, pengurangan kehilangan pasca panen dapat dilakukan jika menggunakan alat perontok padi yang tepat, yaitu pedal thresher dan power thresher;

2. Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai nilai tertentu sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Dalam mata rantai pasca panen, proses pengeringan merupakan tahapan yang kritis karena keterlambatan proses pengeringan akan berakibat terhadap rusaknya gabah, sehingga jika petani tidak cepat melakukan proses pengeringan, susut kuantitas dan kualitas akan menjadi tinggi. Kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan proses pengeringan atau penjemuran menurut BPS dapat mencapai 1,78 persen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pengeringan dengan alat pengering buatan dapat menghasilkan beras dengan tingkat kerusakan secara kuantitas dan kualitas yang lebih rendah dan waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Pada saat ini cara pengeringan padi telah berkembang dari cara penjemuran menjadi pengering buatan (dryer). Pengeringan menggunakan alat pengering mekanis meskipun mempunyai beberapa keunggulan tetapi tidak ekonomis jika hanya melayani satu petani saja dan jika digunakan hanya pada saat musim panen bersamaan dengan musim hujan;

3. Penyimpanan merupakan tindakan untuk mempertahankan gabah / beras agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan penyimpanan gabah / beras dapat mengakibatkan terjadinya respirasi, tumbuhnya jamur, dan serangan serangga, binatang mengerat dan kutu beras yang

4

dapat menurunkan mutu gabah/beras. Pada tahap penyimpanan ini, tingkat persentase kehilangan hasil berkisar 0,67 persen;

4. Untuk proses penggilingan, kehilangan dikarenakan gabah kering giling yang tercecer selama proses produksi sekitar 2,24 persen. Selain itu kehilangan hasil di penggilingan padi juga ada potensi berkurangnya hasil produksi beras karena rendahnya rendemen giling. Kajian tentang rendemen penggilingan padi dilakukan oleh Tjahjohutomo et. al. (2004) menyebutkan bahwa secara nasional terjadi penurunan kuantitatif rendemen beras giling dari tahun ke tahun sekitar 65 persen pada tahun 80 an, 63,3 persen pada akhir tahun 90 an dan pada tahun 2000 menjadi 62 persen. Dan Apabila mengacu hasil sensus BPS terhadap penggilingan padi tahun 2012, rata-rata rendemen giling sebesar 62,42 persen. Penurunan rendemen beras ini bisa jadi karena pengaruh umur teknis alat penggilingan padi. Penambahan konfigurasi pada alat penggilingan padi yang dilengkapi dengan alat pembersih dan pemisah ternyata mampu meningkatkan rendemen 4 sampai 5 persen. Konsekuensi dari penambahan konfigurasi alat penggilingan padi ini adalah adanya tambahan biaya investasi yang berakibat pada kenaikan biaya proses penggilingan;

Mengacu pada Angka Sementara BPS Tahun 2015 bahwa produksi gabah kering giling (GKG) Jawa Timur sebesar 13.154.967 ton, apabila terdapat potensi kehilangan hasil gabah 18,75 persen maka sekitar 2,5 juta ton atau setara dengan Rp 11,35 triliun bila menggunakan asumsi harga pembelian pemerintah GKG sebesar Rp 4.600 per kilogram sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah. Sementara itu, jika tingkat kehilangan hasil mampu ditekan dengan rendemen sudah melebihi 62,74 persen, mengingat pemerintah telah memfasilitasi penggilingan padi maka akan meningkatkan besarnya surplus padi Jawa Timur terhadap nasional.

Upaya dan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Jawa Timur dalam menekan angka kehilangan hasil pada saat panen dan pasca panen melalui berbagai fasilitasi alat dan mesin pertanian serta melakukan revitalisasi penggilingan padi. Kendati demikian, partisipasi pihak swasta sangat diharapkan.

Permasalahan mengatasi susut

pascapanen terkendala bukan oleh minimnya penerapan teknologi, melainkan lebih disebabkan oleh masalah non teknis dan masalah sosial. Dengan hamparan sawah siap panen yang begitu luas terkandang jadual panen tidaklah tepat sebagaimana diinginkan petani pemiliknya. Pemanenan yang tidak tepat waktu akan menyebabkan terjadinya susut yang lebih tinggi. Terlambat panen satu minggu meningkatkan susut panen dari 3,35 persen menjadi 8,64 persen.

Menurut Kepala Balai Besar Pasca Panen Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian dalam Tabloid Sinar tani (07 Januari 2015), selama ini banyak yang beranggapan susut hasil panen berada di lapangan yakni usai panen, terutama saat perontokan. Tapi jika diamati le­bih lanjut sebenarnya kehilangan hasil di sawah tersebut bukan berarti hilang sama sekali. Namun masih dimanfaatkan buruh panen maupun ternak bebek (virtual lossis). Kehilangan hasil yang murni (genuine lossis) berada di penggilingan padi. (Anastasia, MCP, Perencana Madya )

Fasilitasi Alsintan Panen dan Pasca Panen Jawa Timur, Tahun 2011 – 2015

Alsintan Off Farm 2011-2015 (unit)

Combine Harvester 847 Pedal thresher 545 Power Threser 449 Lantai Jemur 271 Terpal 3.922 Dryer Padi 37 Rice Milling Unit 198 Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2016

5

Permasalahan Pengembangan Pertanian Perdesaan Di Era

Otonomi Daerah

uatu negara dapat dikatakan sebagai negara yang baik jika negara tersebut mampu menyeimbangkan, menyelaraskan, serta mengoptimalkan semua sektor-sektor penting dan strategis yang mereka miliki sehingga sektor-sektor tersebut dapat memberikan hasil yang berguna untuk tatanan perekonomian nasional negara yang bersangkutan. Tidak dapat

dipungkiri bahwa sektor pertanian dapat membantu meningkatkan perekonomian nasional. Bisa dibayangkan dan dirasakan ketika harga cabai rawit dan bawang merah mencapai Rp. 100.000,- perekonomian dan negara bergejolak. Bahkan Bapak Presiden dan Menteri terkait harus turun lapang untuk bisa mengetahui, merasakan dan berdialog dengan petani. Pertanyaannya adalah,”Masih adakah Kepedulian dan Keberpihakan ke Petani?”

Pada kenyataannya, sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi banyak permasalahan. Salah satu contoh kebijakan pemerintah daerah yang kurang berpihak pada sektor pertanian menjadi kendala dalam perkembangan sektor pertanian. Pemerintah daerah lebih memperhatikan sektor industri karena sektor industri selama ini diklaim memberikan pendapatan yang tinggi kepada daerah. Di satu sisi, lahan sebagai penopang utama produksi tanaman pangan dan hortikultura justru mengalami penurunan sebagai akibat alih fungsi, khususnya untuk insdustri dan pemukiman. Wamentan : Rusman Heriawan : dalam pertemuan Nasional MPTHI (Masyarakat Perlindungan Tumbuhan dan Hewan Indonesia) XII di Solo mengemukakan bahwa: Peningkatan produksi pangan di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk sehingga perlu dicarikan terobosan jika

menginginkan kebutuhan pangan bisa dipenuhi sendiri. Masalah kepemilikan lahan tidak bertambah, justru berkurang rata-rata 2000 - 3000 meter persegi per orang.

Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan pertanian dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui produk pengaturan yang berupa pedoman pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan

nasional dan daerah (agropolitan). Agropolitan, diartikan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Konsep agropolitan dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada pengelolaan tata ruang suatu wilayah agropolitan,

S

Oleh : Moch Choirur Rosidin, SP

Info PERTANIAN

Verikultur

6

khususnya kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah. Pedoman kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) merupakan suatu upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang pertanian di pedesaan. Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Doktor Ilmu Geografi Fakultas Geografi UGM Zulzain Ilahude beranggapan agropolitan berbasis pengembangan komoditas pertanian menjadi bagian perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk sektor strategis dan potensial itu. " Bisa mendorong tumbuh berkembangnya wilayah pusat kegiatan pertumbuhan pedesaan dengan ditata sesuai hirarki pelayanan," ujarnya dalam keterangan pers Senin (27/1/2014) sesuai paparan ujian doktoral pada Jumat (24/1/2014). Agropolitan yang dimaksud, menurut Zulzain tidak bisa dipaksakan pada tingkat lokal wilayah desa atau kecamatan, namun perlu diperluas ke regional kabupaten. Lebih lanjut ia menjelaskan, pengembangan agropolitan perlu menentukan 3 zona meliputi pusat kota tani, pusat sentra dan proses produksi serta pusat perdagangan lokal. " Zona akan mendorong penciptaan sistem ekonomi regional terpadu dengan fungsi wilayah sesuai karakteristiknya.

Implementasi agropolitan bisa juga disandingkan dengan sistem pertanian yang eksotis dan ekonomis yaitu vertikultur. Vertikultur mungkin bisa memjadi pilihan dalam bercocok tanam yang tepat, di perkotaan dengan menggunakan wadah tanam vertikal untuk mengatasi keterbatasan lahan yang sempit karena pemukiman yang padat penduduk serta dapat menjadi solusi kesulitan mencari lahan pertanian yang tergususr oleh perumahan dan indutri. Selain hobbies dan hiburan, bertanam pola vertikultur fungsinya juga bervariasi antara lain : sebagai lumbung hidup, sebagai warung hidup, sebagai apotik hidup, dan sebagai bank hidup. (Hj. Sri Suharyati, S.Pi, 2014). Kelebihan sistem pertanian vertikultur, diantaranya : (1) efisiensi penggunaan lahan karena yang ditanam jumlahnya lebih banyak dibandingkan sistem konvensional (2) penghematan pemakaian pupuk dan pestisida; (3) kemungkinan tumbuhnya rumput dan gulma lebih kecil; (4) dapat dipindahkan dengan mudah katrena tanman diletakkan dalam wadah tertentu; (5) mempermudah monitoring/pemeliharaaan tanaman.

Pertanyaan kembali dimuncul, sebagai dampak dari kebutuhan/tuntutan hidup ; dimana kepadatan penduduk semakin meningkat, kebutuhan mencari nafkahpun meningkat, dari desa ke kota atau sebaliknya, maka peningkatan emisi karbon yang dihasilkan dari alat transportasi masyarakat dan berkembang pesatnya perkotaan perlu

diperhatikan. Hal ini ditandai makain maraknya pembangunan fasilitas fisik, seperti gedung bertingkat, jembatan, pusat perbelanjaan, gedung bertingkat yang kesemua itu kurang memperhatikan penghijauan.

Guna mengatasi persoalan tersebut berbagai kampanye terus dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya menggulirkan program pengembangan berbasis perkotaan “ Green City “. Green City kini menjadi sebuah tuntutan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatasi kondisi lingkungannya melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH).

Sebuah konsep yang populer pada negara maju tentang family farm dalam bidang pertanian yang merupakan konsep yang mengatur tentang pengelolaan usaha dalam bidang pertanian oleh sebuah keluarga. Pertanian Keluarga merupakan solusi sederhana dan bukan penghambat. Family farming : Feeding the world, caring for the earth (Pertanian Keluarga) : Memberi makan dunia dan memelihara bumi). Kesemua itu bertujuan untuk mengangkat profil pertanian keluarga dan petani kecil.

Pada negara maju biasanya pertanian yang dikelolanya berskala besar karena pemerintah menetapkan aturan larangan pembagian lahan. Semakin besar lahan yang dikelola maka skala usaha pertanian akan makin besar dan akan semakin efektif. Apabila dalam sebuah usaha dikelola bersama oleh sebuah keluarga diharapkan akan semakin solid karena tujuan yang diinginkan sama.

7

Banyak contoh perusahaan pertanian yang besar dan survive adalah perusahaan pertanian yang dikelola turun temurun oleh sebuah keluarga, mengedepankan efisiensi sumberdaya alam, memperhatikan faktor kelestarian lingkungan, mampu membaca peluang pasar, seta membangun jaringan yang solid. Penerapan konsep whole farm approach (WFA) dalam hal ini sangat dominan.

Dirjen FAO menekankan bahwa sekitar 500 juta pertanian keluarga yang ada memegang peran kunci dalam meningkatkan produksi pangan untuk untuk memenuhi kebutuhan

pertumbuhan penduduk. Sedangkan Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (World Food Program), Ertharin Cousin menegaskan, pertanian keluarga merupakan ketahanan pangan dunia di masa depan.

Whole farm approach (WFA) diterapkan pada mulai pembuatan benih yang dapat diproduksi sendiri oleh petani tersebut atau bekerjasama dengan pihak lain. Ketersediaan berbagai sarana produksi dengan cara me-recycle buangan dari limbah hasil produksi, manajemen pengendalian OPT yang terpadu dan ramah lingkungan, serta bekerjasama

dengan pihak pemasok saprodi. Informasi teknologi yang didapatkan dari para peneliti dan pemerintah akan selalu diuji coba untuk diterapkan. Dukungan finansial dari pemerintah juga akan membantu perluasan skala produksi perusahaan yang berdampak pada produktivitas tinggi. Jaringan dan informasi pasar yang baik, dan teknologi IT akan membantu pemasaran hasil yang maksimal. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa masih berpihak ke Petani dan PERKETAT ALIH FUNGSI LAHAN PRODUKTIF UNTUK INDUSTRI / PEMUKIMAN.

Green city

8

PENYAKIT BLAS (Pyricularia oryzae) PADA TANAMAN PADI DI JAWA TIMUR

Penyakit Blas merupakan salah satu penyakit utama tanaman Padi yang dapat mengakibatkan mengakibatkan kehilangan hasil hingga 50 %, sehingga penyakit ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi petani. Penyakit Blas Padi disebabkan oleh Cendawan Pyricularia oryzae, Infeksi dapat terjadi dari pembibitan sampai dengan masa panen. Infeksi pada stadia vegetatif ditandai dengan adanya bercak daun berbentuk elips, sedangkan pada stadia generatif infeksi terjadi pada pangkal panikel yang disebut dengan busuk leher.

Penyakit ini mampu bertahan pada sisa jerami dan benih padi yang sehat, bila dalam bentuk spora bertahan hingga 1 tahun, sedangkan dalam bentuk miselium bisa bertahan lebih dari 3 tahun. Patahnya ketahanan tanaman terhadap penyakit blas umumnya disebabkan oleh introduksi varietas baru. Di dataran rendah, gejala blas daun pada umumnya tidak berlanjut hingga pangkal panikel, sebaliknya di dataran tinggi gejala blas di daun hampir selalu diikuti dengan perkembangan di pangkal panikel.

Tingkat keparahan penyakit Blas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelebihan Nitrogen dan kekurangan air menambah kerentanan tanaman. Diduga kedua faktor tersebut menyebabkan kadar silika dalam jaringan tanaman

rendah. Kandungan silika dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang yang berkadar silika rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen.

Pada Musim Tanam Periode April – September 2015, Serangan penyakit Blas di Jawa Timur, dilaporkan mencapai 3966,32 ha, dengan luasan tertinggi terjadi di Lamongan (702,85 ha) Bojonegoro (471,50 ha) dan Sumenep (362.0 ha), sementara itu pada Musim Tanam (periode April – September 2016) diramalkan serangan penyakit Blas akan mencapai 2753.95 ha dengan prakiraan luasan tertinggi akan terjadi di Kabupaten Bojonegoro (324.53 ha) dan Lamongan (293.26 ha). Gejala Serangan • Gejala khas berupa bercak

(pada daun) berbentuk elips yang meruncing pada kedua ujungnya.

• Awal bercak berbentuk bintik kecil berwarna hijau gelap, abu-abu agak kebiru-

biruan yang kemudian berkembang, tepinya berwarna coklat dan bagian tengah berwarna putih keabuan. Bercak yang telah berkembang penuh mencapai panjang 1 –.5 cm dengan lebar 0.3 – 0.5 cm.

• Bercak pada daun varietas rentan tidak membentuk tepi yang jelas tetapi dikelilingi oleh warna kuning pucat (“halo”).

• Cendawan P. oryzae dapat membentuk bercak pada daun, ruas batang, leher malai, cabang malai dan kulit gabah. Infeksi malai menyebabkan busuk leher, bercak coklat pada cabang malai dan bercak coklat pada kulit gabah. Busuk leher dapat mengakibatkan bulir padi menjadi hampa.

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit 1. Suhu Dan Kelembaban

• Suhu sporulasi : 10 – 35 O C; suhu optimum 28 o C, kelembaban > 92 %. Laju sporulasi meningkat dengan naiknya kelembaban.

Gejala Penyakit Bercak Daun

Gejala Penyakit Busuk leher

9

• Perkecambahan konidia terjadi pada 25 – 30O C, suhu optimum 26 – 28 OC. Pertumbuhan miselia 8 – 37 OC, suhu optimum 28 O C dengan kelembaban untuk perkecambahan dan pertumbuhan miselim di atas 90 %, sedangkan suhu optimum untuk pembentukan apresoria ialah 28 OC.

2. Sumber Inokulum

Cendawan P. oryzae mampu bertahan pada sisa jerami dan benih padi yang sehat. Pada kondisi ini spora mampu bertahan hingga 1 tahun; sedangkan bentuk miselium bisa lebih dari 3 tahun.

3. Nitrogen berlebih

Penggunaan N yang berlebih menyebabkan tanaman menjadi subur, namun hal ini mengakibatkan peningkatan iklim mikro. Pengaruh pupuk N terhadap sel epidermis dapat meningkatkan permeabilitas air dan menurunkan silikat sehingga memudahkan cendawan untuk melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman.

Siklus Penyakit Blas • Infeksi pada tanaman

melalui perkecambahan konidia (Spora cendawan), pembentukan apresoria yang memproduksi tabung infeksi dan diikuti dengan penetrasi melalui kutikula, epidermis maupun stomata daun.

• Pada varietas padi tahan Blas, jaringan tanaman akan mengeluarkan zat

penghambat, sehingga pertumbuhan hifa cendawan terhenti. Sedang pada varietas rentan, jaringan tanaman memberi respon lambat sehingga hifa berkembang dengan bebas.

Ras Patogenik dan Ketahanan Tanaman

Cendawan blas memiliki ras - ras patogen yang berbeda kemampuannya dalam menginfeksi varietas padi. Varietas yang tahan pada suatu daerah, mungkin akan menjadi rentan bila ditanam di daerah lain, karena perbedaan ras cendawan tersebut. Sedangkan Ketahanan tanaman terhadap patogen ialah : 1. Ketahanan mekanik atau

fisik yang mencegah masuknya patogen ke dalam jaringan tanaman karena struktur tanaman inang. Sedangkan pada daun : ketahanan dipengaruhi oleh ketebalan kutikula dan kandungan kutikula daun. Pada varietas tahan, daunnya memiliki kandungan silika epidermis lebih banyak daripada varietas rentan.

2. Ketahanan fisiologis atau kimiawi tanaman terhadap perkembangan patogen dalam jaringan tanaman karena aksi kimia tanaman melawan patogen yang dipengaruhi kandungan senyawa fenol dan asam amino dari tanaman. Pada tanaman rentan, kandungan asam aminonya lebih banyak, sedangkan kandungan senyawa fenol (yang merupakan senyawa racun bagi cendawan blas) lebih sedikit.

Pengendalian Penyakit Blas 1. Penanaman benih sehat,

penyakit Blas dapat menular melalui benih. Pertanaman yang terinfeksi penyakit Blas sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai benih

2. Perendaman benih dengan larutan fungisida yang diizinkan

3. Pelapisan (coating benih) dengan fungisida yang diizinkan

4. Perbaikan bercocok tanam: • Jarak tanam yang tidak

terlalu rapat • Penggunaan pupuk

organik • Pemupukan secara

berimbang (antara Nitrogen dan Kalium)

• Perbaikan irigasi • Penyiangan

5. Penanaman varietas tahan. Beberapa varietas yang toleran terhadap Blas yaitu : Inpari 21, Inpari 22, Inpari 26, Inpari 27, Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, dan Inpago 8

6. Penyemprotan tanaman dengan fungisida yang diizinkan.

Beberapa Hal Penting

Penyakit ini mampu bertahan pada sisa jerami dan benih padi yang sehat (bila dalam bentuk spora bertahan hingga 1 tahun, sedangkan dalam bentuk miselium bisa bertahan lebih dari 3 tahun). Penyakit Blas dapat menular melalui benih. Pertanaman yang terinfeksi penyakit Blas sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai benih, dan hal ini perlu ditekankan sebagai syarat untuk kelulusan uji sertifikasi benih ! (Sri Sulistianingsih, POPT Ahli Madya)

10

Dasar perhitungan NTP pada tahun 2015 menggunakan tahun dasar 2012 (2012=100). Perhitungan Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima (It) petani terhadap indeks harga yang dibayar (Ib) petani (dalam persentase). Nilai Tukar Petani menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli. Jadi semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera.

Jawa Timur sebagai provinsi dengan 33,59 juta penduduknya tinggal di pedesaan dan sebanyak 7,26 juta jumlah penduduk terlibat dalam kegiatan sektor pertanian / agribisnis, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani Jawa Timur dinilai sangat strategis dan menjadi prioritas.

Kinerja program pembangunan pertanian di Jawa Timur terlihat pada angka pertumbuhan ekonomi di pedesaan sebagaimana tercermin dalam kemampuan konsumsi masyarakat Jawa Timur disektor pertanian. Perubahan kemampuan tersebut peningkatannya dikonfirmasi oleh indikator kesejahteraan petani berupa Nilai Tukar Petani (NTP).

NTP merupakan

pengukur kemampuan tukar dari produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang dan jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan kebutuhan dalam memproduksi hasil pertanian dalam kurun waktu tertentu (1 tahun).

Variabel yang sering

digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar oleh rumah tangga tani.

11

Sesuai dengan definisinya, NTP tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja sektor pertanian tetapi juga dipengaruhi oleh sektor di luar pertanian. Berbagai situasi dan gejolak yang terjadi, baik karena faktor alam atau akibat adanya distorsi pasar salah satunya seperti penerapan kebijaksanaan akan mempengaruhi produksi serta harga. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap NTP dan kesejahteraan petani. • Jika NTP > 100 artinya kemampuan/daya beli

petani lebih baik dibanding keadaan pada tahun dasar 2012 = 100,

• Jika NTP = 100 artinya kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani sama dengan keadaan pada tahun dasar 2012 = 100 dan

• Jika NTP < 100 artinya kemampuan/daya beli petani menurun dibanding keadaan pada tahun dasar 2012 = 100.

Melalui indeks harga yang diterima petani dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian. Demikian pula dari kelompok konsumsi rumah tangga dalam indeks yang dibayar (Ib), dapat digunakan untuk melihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di perdesaan. Komponen indeks harga yang dibayar petani (Ib) terdiri dari 2 golongan yaitu golongan konsumsi rumah tangga dan golongan biaya produksi dan pembentukan barang modal (BPPBM). Golongan konsumsi rumah tangga dibagi menjadi kelompok makanan dan kelompok non makanan. Sedangkan dari kelompok biaya produksi dapat digunakan untuk melihat fluktuasi harga-harga barang yang digunakan untuk memproduksi barang- barang pertanian.

Rata-rata NTP Jawa Timur tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 mencapai 104,83 meningkat 0,09 dan mengalami pertumbuhan

sebesar 0,08 persen. Meningkatnya NTP Jawa Timur tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 disebabkan Indeks Harga yang Diterima Petani meningkat 8,09 lebih besar peningkatannya dibandingkan peningkatan Indeks Harga yang Dibayar Petani sebesar 7,62.. Peningkatan NTP Jawa Timur tahun 2015 dipicu meningkatnya NTP Peternakan dan Perikanan.

Sedangkan perkembangan NTP Sub sektor tahun 2015 dibanding tahun 2014 menunjukkan bahwa NTP Tanaman Pangan meningkat 0,77 dari 99,57 menjadi 100,34 dan NTP Hortikultura Tahun 2015 turun 1,01 dari 104,86 menjadi 103,85. Perkembangan rata-rata Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan Tahun 2015 di Jawa Timur sebesar 100,34 dibawah NTP Tanaman Pangan Nasional yang mencapai 100,35. Sedangkan NTP Hortikultura Jawa Timur mencapai 103,85 jauh melampaui NTP Hortikultura Nasional yang mencapai 101,63. Tingginya NTP Hortikultura dibanding NTP Tanaman Pangan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani hortikultura Jawa Timur lebih besar dibanding petani Tanaman Pangan.

Perkembangan NTP tanaman pangan tertinggi dibulan November disebabkan tingginya harga yang diterima petani dari penjualan gabah dan jagung. Sedangkan NTP

NTP Jawa Timur Tahun 2014 dan 2015

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur, 2016 (data diolah)

Uraian 2014 2015 Pertumbuhan (%)

1. Tanaman Pangan a. Indeks yang Diterima (It) 113,63 122,90 8,16 b. Indeks yang Dibayar (Ib) 114,82 123,52 7,57 c. Nilai Tukar Petani (NTP-P) 99,57 100,34 0,78 2. Hortikultura a. Indeks yang Diterima (It) 118,21 125,28 5,98 b. Indeks yang Dibayar (Ib) 112,72 120,64 7,02 c. Nilai Tukar Petani (NTP-H) 104,86 103,85 (0,96) Gabungan/Jawa Timur a. Indeks yang Diterima (It) 117,67 125,77 6,88 b. Indeks yang Dibayar (Ib) 112,34 119,96 6,79 c. Nilai Tukar Petani (NTP-JT) 104,75 104,83 0,08

12

Hortikultura menunjukkan rasio tertinggi dibulan Februari. NTP tanaman pangan dan hortikultura terendah di bulan April - Mei disebabkan meningkatnya harga yang dibayar petani yang dipicu naiknya harga solar, bensin, beras, gas LPG dan upah tanam.

Perkembangan NTP Jawa Timur pada Triwulan I tahun 2016 sebagai berikut :

• Rerata Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur triwulan I 2016 sebesar 105,24 dan jika dibandingkan triwulan I tahun 2015 sebesar 105,00 menunjukkan terjadinya pelambatan sebesar 0,25. Turunnya NTP ini disebabkan selisih peningkatan indeks harga yang diterima petani (It) tahun 2016 lebih rendah dari pada selisih peningkatan indeks harga yang dibayar petani (Ib) pada tahun sebelumnya;

• Pada Triwulan I 2016, hanya NTP sub sektor Tanaman Pangan yang meningkat 2,38, yaitu dari 100,97 pada triwulan I 2015 menjadi 103,35 pada triwulan I 2016.

Sedangkan sub sektor lainnya mengalami pertumbuhan negatif;

• NTP sub sektor Hortikultura mengalami pelambatan di triwulan I 2016 yang terlihat dari penurunan 0,68, yaitu sebesar 105,05 pada triwulan I 2015 menjadi 104,37 pada triwulan I 2016;

Berdasarkan hasil penelitian Patanas oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, pada tahun 2010 hingga 2012, diketahui bahwa sumber pendapatan rumahtangga tani sebesar 33,87-40,00 persen berasal dari sektor non pertanian. Artinya, dengan hanya perolehan pendapatan dari sektor pertanian, petani sudah dapat mencukupi kebutuhan berproduksi dan konsumsinya serta dapat menggunakan sisa penghasilan dan pendapatan dari sektor non pertanian untuk membiayai kebutuhan non produksi dan non konsumsinya.

(Anastasia, MCP, Perencana Madya)

Perkembangan NTP Jawa Timur Tahun 2015 terhadap NTP Tahun 2014 dan Triwulan I 2016

Sumber : BPS Jawa Timur, 2016, (diolah)

Jan'15 Feb'15 Mart'15 Tw. I Jan'15 Feb'15 Mart'15 Tw. I +/- %1. Tanaman Pangan a. Indeks y ang Diterima (It) 122,18 122,49 119,06 121,24 134,29 132,77 129,59 132,22 10,97 9,05 b. Indeks y ang Dibay ar (Ib) 120,29 119,53 120,43 120,08 127,37 127,55 128,93 127,95 7,87 6,55 c. Nilai Tukar Petani (NTP-P) 101,57 102,47 98,86 100,97 105,44 104,09 100,51 103,35 2,38 2,36 2. Hortikultura a. Indeks y ang Diterima (It) 124,14 124,47 124,72 124,44 130,78 130,20 131,86 130,95 6,50 5,23 b. Indeks y ang Dibay ar (Ib) 118,64 117,99 118,75 118,46 125,02 125,19 126,18 125,46 7,00 5,91 c. Nilai Tukar Petani (NTP-H) 104,63 105,49 105,03 105,05 104,60 104,00 104,50 104,37 (0,68) (0,65)Gabungan/Jawa Timur a. Indeks y ang Diterima (It) 124,24 124,65 123,27 124,05 131,63 131,11 130,22 130,99 6,93 5,59 b. Indeks y ang Dibay ar (Ib) 118,07 117,39 118,16 117,87 124,31 124,48 125,49 124,76 6,89 5,84 c. Nilai Tukar Petani (NTP-JT) 105,23 106,18 104,32 105,243 105,90 105,32 103,77 105,00 (0,25) (0,23)Nasional a. Indeks y ang Diterima (It) 124,24 124,65 123,27 124,05 131,63 131,11 130,22 130,99 6,93 5,59 b. Indeks y ang Dibay ar (Ib) 118,07 117,39 118,16 117,87 124,31 124,48 125,49 124,76 6,89 5,84 c. Nilai Tukar Petani (NTP-JT) 105,23 106,18 104,32 105,24 105,90 105,32 103,77 105,00 (0,25) (0,23)

Tahun 2015 Tahun 2016 Subsektor

Perkembangan Triwulan I tahun 2016

terhadap 2015

13

CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN

akanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan yang baik., sehat dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan

sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan dan proses penyimpanan. Diantara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang atau jamur. Mikotoksin

Selama penyimpanan, makanan atau bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin.

Mikotoksin adalah metabolit toksik yang dihasilkan oleh jamur dan telah diketahui mempunyai sifat karsinogenik. Mikotoksisitas disebabkan

oleh substansi beracun dari hasil metabolit jamur atau fungi yang umumnya tumbuh dalam bahan baku pangan. Mikotoksin akan sangat cepat dihasilkan oleh suatu jenis jamur, bahkan kadang lebih dari satu macam bila kelembaban, temperatur lingkungan dan kadar air mendukung. Racun jamur ini diproduksi pada kelembaban diatas 75 % dan temperatur di atas 20 ° Celcius, dengan kadar air di atas 16 %. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan menurunkan nilai ekonomi, tetapi juga membahayakan

kesehatan manusia dan hewan.

Kontaminasi mikotoksin tidak kasat mata, terlebih pada makanan olahan, maka perlu kewaspadaan dalam memilih makanan terutama bahan makanan atau makanan olahan yang telah disimpan dalam waktu lama.

Aflatoksin

Pada tahun 1960 masyarakat Inggris merayakan natal tanpa kalkun. Saat itu hanya dalam beberapa bulan, lebih dari 100.000 kalkun mati karena penyakit yang belum

M

14

dikenal dan disebut ”penyakit kalkun X”. Setelah dilakukan penelitian ditemukan bahwa kalkun-kalkun itu mati karena memakan pakan berupa bungkil kacang tanah yang telah tercemari kapang (jamur) Aspergillus flavus yang menghasilkan racun yang disebut aflatoksin.

Sejak saat itu aflatoksin banyak mendapat perhatian karena potensi bahaya yang dapat ditumbulkannya, yaitu bisa menyebabkan penyakit dan bahkan kematian pada manusia serta hewan. Tidak hanya kapang Aspergillus flavus, kapang lain seperti Asergillus parasiticus dan Aspergillus nominous juga dapat memproduksi racun aflatoksin. Aspergillus flavus merupakan kapang yang tersebar meluas di alam. Kapang ini bisa muncul di tanah, tumbuhan yang membusuk, biji-bijian yang mengalami kerusakan mikrobiologis dan dapat menyerang berbagai substrat organik dimanapun dan kapanpun asalkan kondisinya mendukung pertumbuhannya. Namun Aspergillus flavus yang mencemari suatu komoditi tidak selalu membuat racun sehingga adanya kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin.

Aflatoksin seringkali terdifusi masuk kedalam tenunan bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui rambut-rambut

kapangnya. Dengan demikian biji, umbi, bungkil dan bagian lain komoditi yang tercemari tidak serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin dipengaruhi oleh cuaca seperti suhu dan kelembaban, sehingga tingkat kontaminasinya bervariasi tergantung lokasi geografis, cara budidaya dan kerentanan komoditi. Indonesia yang beriklim tropis basah memberi peluang besar bagi tumbuhnya berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian, termasuk Aspergillus flavus penghasil racun aflatoksin. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban dan bertemperatur tinggi. Hampir semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih dalam batas toleransi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, bunga matahari), rempah-rempah (ketumbar, jahe, lada, kunyit, pala), serealia (gandum, padi, sorgum dan jagung), ubi kayu (gaplek), biji kapas dan lain-lain. Aflatoksin yang mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat membahayakan kesehatan manusia bila

hasil ternak tersebut dikonsumsi.

Toksin ini paling tidak memiliki 13 varian. Yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1 dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Aflatoksin M1 dan M2 ditemukan pada susu sapi. Aflatoksin dapat mengakibatkan penyakit dalam jangka pendek (akut) maupun jangka anjang (kronis). Namun keracunan akut jarang terjadi sehingga tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap pencemaran aflatoksin pada pangan dan pakan relatif rendah. Adapun masalah yang timbul jika mengkonsumsi pangan yang mengandung aflatoksin, diantaranya keracunan akut dengan gejala mual, muntah, kerusakan hati hingga kematian pada kasus serius. Selain itu perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu, metabolisme protein terganggu, kekebalan tubuh menurun, gangguan pencernaan dan penyerapan bahan makanan serta kanker hati. Aflatoksin B1 merupakan senyawa yang paling toksik yang berpotensi merangsang kanker terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah iritasi karena kematian jaringan. Masa inkubasi penyakit yang

15

disebabkan oleh racun ini berlangsung bertahun-tahun tergantung pada kekebalan tubuh manusia atau hewan yang mengkonsumsi. Pemanasan hingga 250 ° Celcius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Aflatoksin pada Kacang Tanah

Seiring dengan meningkatnya permintaan kacang tanah untuk keperluan industri, maka diperlukan upaya penyediaan bahan baku yang memenuhi standar kualitas. Salah satu diantaranya adalah kandungan aflatoksin. Salah satu komoditi yang sangat rentan terhadap kapang adalah kacang tanah dan olahannya seperti kacang goreng, sambal pecel, oncom, bungkil kacang tanah, selai kacang tanah dan lain sebagainya. Kontaminasi aflatoksin dapat terjadi sejak tanaman masih berada di lapang sampai penyimpanan. Di lapang kontaminasi aflatoksin lebih mudah terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan, suhu tinggi, kekurangan Ca dan terserang hama penyakit. Sedang dalam penanganan pasca panen, waktu dan cara penen, pengeringan, perontokan, pembijian dan

penyimpanan yang kurang tepat yang berkibat pada tingginya kadar air, tingkat kerusakan biji dan kotoran akan memacu pertumbuhan jamur Asergilus flavus penghasil aflatoksin. Pada penyimpanan, terutama selama dalam pemasaran dan sebagai cadangan bahan baku industri, peluang terjadinya kontaminasi aflatoksin semakin besar jika tanpa pengendalian. Kacang tanah yang rusak (karena terluka atau patah), kurang kering (kadar air cukup tinggi) keriput atau terlambat dipanen (khususnya pada musim hujan), sangat mudah ditumbuhi oleh jamur Aspergillus flavus dan Asergillus parasiticus. Menurut Made Astawan (2008) jamur tersebut sangat mudah tumbuh pada kadar air 15 – 30 persen dan kondisi suhu 25 – 30 derajat Celcius dan kelembaban relatif 85 %. Kacang tanah mentah sebaiknya disimpan di tempat kering dan sejuk. Menurut Akhmad Taufik (2010), proses penyanganan atau pemanggangan pada kacang tanah dapat menurunkan kadar aflatoksin 60 – 70 %. Proses fermentasi bungkil kacang tanah menjadi oncom dapat menurunkan kadar aflatoksin 50 – 75 %.

Ciri paling mudah untuk mendeteksi adanya jamur tersebut adalah berubahnya warna biji

kacang tanah menjadi hitam kehijauan, baik pada permukaan kacang maupun bagian dalamnya. Namun kontaminasi aflatoksin pada makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk mengindikasi suatu makanan telah tercemar, kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.

Mengingat demikian besarnya resiko aflatoksin terhadap kesehatan, sebaiknya kita waspada terhadap produk olahan kacang tanah seperti bumbu pecel, bumbu gado-gado, bumbu sate, kacang goreng, selai kacang, enting-enting dll. Negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Belanda dan Jepang telah menetapkan batas kadar aflatoksin sebesar 0 -20 ppb (part per billion). Sementara WHO/FAO/UNICEF mematok batas maksimal aflatoksin sebesar 30 ppb, sedangkan Departemen Kesehatan RI menetapkan 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan 35 ppb untuk aflatoksin total. Mencegah Kontaminasi Aflatoksin

Untuk mencegah kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah, maka teknologi pasca panen yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pemanenan sebaiknya

dilakukan pada saat masak optimum (umur antara 90 – 100 hari, tergantung varietasnya)

16

atau dengan kriteria minimal 75 % polong telah terbentuk per tanaman dan bagian kulit dalam telah berwarna gelap.

2. Segera dilakukan perontokan. Cara manual (dipetik) memberi resiko kecil untuk polong rusak/luka meskipun kapasitasnya rendah (8-10 kg/jam/orang)

3. Polong kacang tanah harus segera dikeringkan (< 48 jam) sampai kadar air < 10 % ditandai dengan ringannya polong dan nyaringnya bunyi biji bila polong dikocok. Pada musim kemarau kadar air tersebut dapat dicapai dengan pengeringan 3 hari di atas lantai jemur, namun menjadi lebih lama bila pemanenan jatuh pada musim hujan.

4. Pengupasan polong harus semaksimal mungkin menghindari rusaknya polong. Pisahkan polong yang muda, keriput, busuk dan luka atau rusak dari polong yang baik untuk mencegah kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah lainnya.

5. Agar aman disimpan, kadar air kacang tanah harus < 9 % untuk polong dan < 7 % untuk biji. Oleh karena itu penyimpanan sebaiknya dilakukan pada kondisi ruang penyimpanan yang sejuk (suhu 27 derajat Celcius)

dan kering (kelembaban nisbi 56 – 70%).

Kontaminasi mikotoksin terutama afltoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah global terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan hasil olahannya atau pada bahan pangan yang disimpan terlalu lama.

Umumnya mikotoksin bersifat kumulatif sehingga efeknya tidak dapat dirasakan dalam waktu cepat dan kontaminasi pada makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk mengindikasi suatu makanan telah tercemar mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium. Oleh karena itu dalam penanganan masalah aflatoksin perlu adanya koordinasi antara berbagai pihak meliputi pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.

Masyarakat konsumen perlu meningkatkan kewaspadaan dalam memilih bahan makanan atau makanan olahan yang akan dikonsumsi dan tidak mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa ata disimpan terlalu lama.

Referensi:

1. Anonim. Aflatoksin. http://id.wikipedia.org/wiki. Diakses tanggal 5 September 2010

2. Anonim. Mikotoksin, Jamur Makanan Berbahaya. http://m.suaramerdeka.com. Diakses 6 September

3. Astawan, Made. 2008. Butuh Lemak Baik, Ingat Selai Kacang. www.google.com, Diakses 6 September 2010.

4. Ginting, Periksa. Aflatoksin Ancam Bahan Pangan Kacang-Kacangan. www.sinar harapan.co.id, Diakses 5 September 2010

5. Romsyah, Maryam. 2002. Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin pada Makanan. rudyct.com/PPS702-ipb/04212/romsyah, Diakses 5 September 2010.

6. Taufik, Akhmad. 2010. Racun Aflatoksin Dalam Kacang Tanah. Bataviase.co.id, Diakses 7 September 2010.

(Dyah Nuswandari Ekarini, Pengawas Mutu Hasil Pertanian Ahli Madya)

17

Salah satu jenis pelayanan publik yang ada di PUSPA Lebo-Sidoarjo adalah pelayanan Kunjungan Agrowisata. Konsep layanan agrowisata ini memadukan kegiatan wisata dengan edukasi di bidang pertanian khususnya tanaman hortikultura. Kunjungan studi agrowisata ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat umum, khususnya anak-anak TK dan SD, tentang aneka tanaman hortikultura beserta aktivitas pembudidayaaannya mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga panen.

Penyelenggaraan layanan agrowisata ini sepenuhnya dilaksanakan oleh para petugas atau pekerja di Kebun Puspa Lebo , mulai dari layanan penyampaian materi di dalam kelas hingga memandu saat berkelilling kebun dan praktek bertanam, penyiapan incip buah/minuman gelas di akhir kegiatan kunjungan maupun penyediaan paket bingkisan hasil panen sayur/buah segar sesuai pesanan. Layanan penyediaan untuk konsumsi makan siang (nasi kotak) juga dilakukan melalui kerjasama dengan usaha jasa catering di sekitar kebun.

Khusus untuk paket tambahan kegiatan kunjungan yang berupa

permainan outbound / fun game dilaksanakan melalui kontrak kerjasama yang ditinjau ulang setiap satu tahun sekali dengan Penyedia Jasa Outbound. saat ini dilakukan dengan CV. WANA, Sidokare - Sidoarjo dengan masa kerjasama antara tanggal 4 September 2015 s/d 4 September 2016. Kegiatan ini bertempat di salah satu sudut belakang kebun (lahan kosong berumput dibawah tegakan tanaman mangga) yang secara alamiah telah memenuhi syarat sebagai lokasi kegiatan outbound. Beberapa pilihan aktivitas yang disediakan, utamanya yang diperuntukkan bagi anak-anak berupa aneka permainan (fun game) seperti : Ice Breaking, Densus 88, Kapal Pecah, Nyebal, Dekjibe, Estapung dan lain-lain

Seiring dengan adanya persaingan dengan lokasi agrowisata sejenis, yang menyebabkan menurunnya jumlah pengunjung diperlukan adanya pembenahan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan kegiatan dimaksud. Salah satunya berupa fasilitasi sarana dan prasarana layanan agrowisata berupa gardu istirahat dan permainan outdoor antara lain : Ayunan, Jungkitan, Rumah

FASILITASI SARANA PRASARANA AGROWISATA

DI PUSPA LEBO-SIDOARJO

18

Peluncur, Mangkok Payung, Jaring Tantangan dan Tangga Majemuk.

Penambahan sarana agrowisata ini telah diresmikan penggunaannya pada akhir tanggal 24 Desember 2015. Dengan bertambahnya fasilitas sarana agrowisata tersebut diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas layanan dan kenyamanan bagi pengunjung yang ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung setiap bulannya, yang terdiri dari peserta anak-anak siswa/murid maupun pendampingnya (guru/orang tua) . Hasil rekapitulasi data jumlah pengunjung

agrowisata di Kebun Puspa Lebo Tahun 2015 dapat disajikan pada grafik.

Menyadari adanya perubahan era dan tuntutan jaman serta himbauan agar setiap penyelenggaraan kegiatan layanan publik harus berbasis elektronik, maka pemanfaatan teknologi informasi dalam mendukung kelancaran layanan agrowisata di Kebun PUSPA Lebo menjadi aspek yang sangat penting untuk diperhatikan. Berkaitan hal tersebut, sejak Desember 2015 juga telah dilakukan pembuatan website khusus tentang PUSPA LEBO (www.puspalebo.com) untuk menggantikan blogger yang telah dibuat sebelumnya. Keberadaan website dengan tampilan yang lebih lengkap ini diharapkan dapat lebih meningkatkan informasi dan aktifitas yang dilalukan di Kebun Puspa Lebo secara umum, sekaligus menjadi sarana promosi dan layanan kunjungan agrowisata pada khususnya yang kedepannya diarahkan untuk dapat melayani pendaftaran secara online.

Murid

Pendamping

Jumlah

19

Di beberapa negara, pare dimanfaatkan sebagai ramuan obat-obatan herbal dengan manfaat optimal. Begitu pula dengan mengonsumsinya ini bisa dijadikan bentuk perawatan tradisional yang terjadi secara disadari atau tidak. Sebenarnya, rasa pahit pada sayur pare ini tersimpan nutrisi lebih seperti kandungan karbohidrat, pigmen dan albumnoid. Masing-masing kandungan itulah yang memiliki khasiat luar biasa dan seringkali digunakan sebagai obat. Tetapi, yang lebih sering ialah untuk dijadikan lauk pauk dengan rasa pahit an sedikit gurih. Bahkan bisa pula rasa pahit itu diubah karena penggunaan dari bahan lain, sehingga pahit bisa hilang.

Proses Budidaya Syarat Tanam

Pare akan tumbuh dengan optimal jika dikembangkan dalam daerah dataran rendah maupun menengah. Sayuran ini bisa

hidup dalam daerah yang beriklim Tropis maupun Subtropis, suhu yang cocok adalah sekitar 18 sampai dengan 24˚C, ketinggian berkisar diantara 0 sampai dengan 500 m dpl, curah hujan sekitar 60 – 200 mm/bulan dan memiliki intensitas sinar matahari antara 10 – 12 jam per hari. Syarat Lahan

Pare bisa tumbuh dengan baik dalam tanah yang gembur dan memiliki kandungan bahan organik yang cukup, kadar keasaman yang baik untuk tanaman paria adalah sekitar 5-6 pH.

Memiliki akses air yang cukup, dapat disinari matahari secara langsung. Lahan yang sudah tersedia harus dibersihkan dari berbagai tanaman dan gulma, lalu dibajak agar gembur dan cocok untuk ditanami. Tunggu hingga satu atau dua minggu, baru membuat bedengan. Bedengan untuk tanaman paria yang baik :

BUDIDAYA

Teknologi Budidaya Paria yang Baik dan Benar

Pare atau Paria ialah salah satu bahan makanan yang terkenal dengan rasa pahitnya yang begitu terasa. Sayuran yang identik dengan rasa pahit ini seringkali dihindari untuk dijadikan lauk makanan karena rasanya yang tak enak itu. Padahal, dibalik rasa pahit tersebut tersimpan manfaat luar biasa bagi kesehatan tubuh hingga sisi kecantikan yang alami.

20

• Lebar sekitar 100 cm. • Tinggi sekitar 40 cm saat

musim kemarau. • Tinggi sekitar 50 cm untuk

musim hujan, untuk menghindari air dan gangguan musim hujan lainnya.

• Jarak antar bedengan sekitar 40 cm.

• Jarak untuk media tanam adalah sekitar 60 cm.

• Sementara panjang dari bedengan di sesuaikan dengan lahan yang tersedia. Tanah untuk media

tanam pare sebaiknya juga dicampurkan dengan pupuk alami seperti kotoran sapi untuk media tanah agar lebih subur. Setelah tanah gembur dan dicampur pupuk organik, pasang mulsa plastik pada siang hari agar mulsa memuai secara maksimal, sehingga saat malam, pagi atau sore agar mulsa tetap ada dalam kondisi semula. Penanaman

Tanam bibit paria dengan hati-hati, jangan sampai merusak akar. Setelah bibit paria ditanam dalam lubang, rapikan tanah dipermukaan dan disekitar lubang agar tidak ada hama atau gangguan yang masuk. Lalu segera siram tanaman dengan air secukupnya agar tidak terjadi kelayuan.

Pemeliharaan

Untuk pemeliharaan terdapat beberapa hal yang

harus dilakukan yaitu penyiraman dengan dilakukan dengan teratur dan memperhatikan cuaca dan iklim yang sedang berlangsung. Lalu lakukan juga beberapa perawatan penting seperti : • Pembubuan. • Pemasangan turus. • Penyulaman. • Penyiangan. • Perompesan. • Pemupukan.

Untuk pemupukan menggunakan pupuk daun, dan NPK yang dilakukan secara teratur.

Hama

Gangguan pada tanaman Paria bisa berupa hama dan penyakit yang menyerang tanaman paria. Untuk hama dan penyakit pada paria antara lain ;

1. White Fly

Binatang ini berupa serangga dewasa yang bertubuh kuning dan bersayap putih dengan ukuran sekitar 1 mm. Biasanya bersembunyi di bawah daun. tanaman paria yang diserang White Fly akan terserang jamur sehingga sangat merugikan. Untuk penanggulangannya bisa dengan menggunakan sanitasi gulma dan insektisida.

2. Ulat Jengkal

Adalah sejenis ulat yang berjalan seperti halnya jaring yang menjengkal, ulat ini akan menyerang daun dan kulit

buah hingga berlubang dan rusak. Cara untuk penanggulangannya dengan memusnahkan dengan cara manual atau dengan insektisida.

3. Downy Mildew

Penyakit pada tanaman ini berupa bercak-bercak kekuningan pada bagian atas daun penanggulangannya dengan sanitasi gulma, rotasi tanaman serta propineb dan tridemorf.

4. Gemini

Gemini adalah penyakit lainnya berupa virus yang akan menyebabkan tanaman menjadi kekuningan dan kerdil, pengendalian penyakit ini dengan mencegah dan memusnahkan serangga white fly serta mencabut tanaman yang sudah terlanjur terserang berat agar tidak menular ke tanaman lainnya. Panen

Waktu panen yang tepat adalah saat tanaman paria berumur sekitar 44-55 hari dari waktu tanam. Panen bisa dilakukan dengan jarak 3-5 hari sekali. Setelah di panen Paria mampu bertahan lama jika dikemas dan disimpan dalam suhu yang baik. Suhu yang cocok untuk menyimpan paria adalah 7,2˚ sampai 10˚C, dengan kelembaban sekitar 90% hingga 95%. ( Dyah Sulistyowati, Penyuluh Ahli Madya)

21