masalah hibriditas dan ambivalensi dalam novel...
TRANSCRIPT
MASALAH HIBRIDITAS DAN AMBIVALENSI DALAM NOVEL KALAU
TAK UNTUNG KARYA SELASIH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Nurlaily Hanifah Amalia
1111013000106
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Nurlaily Hanifah Amalia, 1111013000106, ”Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Sebagai perempuan pertama yang menerbitkan novel di Balai Pustaka, karya Selasih patut untuk dijadikan penelitian pascakolonial dengan melihat dari jejak kependidikan dalam novel Kalau Tak Untung. Selasih selama hidupnya mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan ikut dalam perjuangan emansipasi perempuan dan pergerakan nasionalisme.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana perubahan sosial dan membahas kisah percintaan antara kedua tokoh utama yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung guna menambah wawasan sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Adapun hasil pembahasan menggunakan pendekatan pascakolonial dari analisis tokoh, yaitu: 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi psikologi pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat Minangkabau; 3) pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi psikologis, mimikri, hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh kehidupan sosialnya; 4) pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya ambivalensi karena pandangan Timur yang diyakininya. Kesimpulannya, setiap tokoh mengalami permasalahan sosial dengan balutan kisah percintaan yang berbeda status sosial sehingga menjadikan novel ini merupakan wacana kolonial yang dengan penulisan struktural yang padu. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam novel dapat menjadi bahan dan media pembelajaran untuk menyadarkan peserta didik akan sejarah sosial.
Kata Kunci :Pascakolonial, ambivalensi, hibriditas, hegemoni, mimikri, pembelajaran sastra, Kalau Tak Untung, Selasih.
ii
ABSTRACT
Nurlaily Hanifah Amalia, 1111013000106, “Hybridity and Ambivalence Problem in Selasih’s Kalau Tak Untung and It's Implication on Indonesian Literature Learning in Senior High School. Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2018. Advisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum.
As the first woman to publish a novel at Balai Pustaka, Selasih's work deserves to be used as a postcolonial research by looking at the educational traces in the novel Kalau Tak Untung. Selasih during his life devoted himself to the world of education and participated in the struggle for women's emancipation and the movement of nationalism.
The purpose of this study was to see how social change and discuss the love story between the two main characters contained in the novel Kalau Tak Untung in order to add historical insight and increase a sense of nationalism. The method used is descriptive qualitative.
The results of the discussion using a postcolonial approach from the character analysis, namely: 1) the Masrul figure shows the emergence of hybridity and psychological ambivalence on the differences in the setting of the place; 2) the physical figure shows the emergence of hybridity and ambivalence in the Minangkabau society; 3) the Muslina figure shows the emergence of psychological ambivalence, mimicry, hybridity and hegemony that occur because of the influence of his social life; 4) the figure of Mrs. Masrul shows the emergence of ambivalence because of the Eastern views which she believes. In conclusion, each character experiences social problems with a different love story with social status, making this novel a colonial discourse with coherent structural writing. Life values contained in the novel can be material and learning media to make students aware of social history.
Key Word : Postcolonial, , ambivalen, hybridity, hegemony, mimicry, literary
learning, Kalau Tak Untung, Selasih.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan
rohani kepada penulis sehingga diberi kemudahan untuk menyelesaikan
skripsi yang berjudul "Analasis Pascakolonial dalam Novel Kalau Tak
Untung Karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMA". Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada junjungan Nabi Muhammad Saw. Beserta para keluarga dan
sahabatnya.
Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam proses penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari
nasihat, saran dan motivasi dari berbagai pihak yang dengan ketulusan hati
mau membantu dan membimbing penulis. Dengan segala kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguuruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang mempermudah dan memberikan motivasi dalam proses
penulisan skripsi ini;
3. Toto Edidarmo, MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang mempermudah dalam segala proses administrasi;
4. Ahmad Bachtiar, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar
iv
dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya
dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu
kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah;
6. Kedua orangtua tercinta yaitu Sri Hastuti dan Tino Ali Susanto yang telah
merawat, membimbing, tidak henti-hentinya memberikan doa dan dorongan
baik moril dan materil. Dengan usaha dan kerja keras mereka berhasil
membuat ketiga anaknya mendapat gelar sarjana dengan pendidikan yang
hanya mereka dapatkan sampai SMA. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai tanda bakti;
7. Kakak-kakak tercinta, yaitu Martina Eka Suryastuti, S.Pd dan Yusuf Marsudi
Rahman, S.Tek yang telah memberikan motivasi dan arahan sehingga skripsi
ini terselesaikan;
8. Bibi saya tercinta Niniek Sugiyono dan Ibu Jujuk yang memberikan
semangat, kasih sayang dan kepercayaan kepada penulis bahwa penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
9. Sahabat "Tante Rempong", Ade Nurfadillah, Maisyah Rahmanita Putri,
Marcita Fajarwati, Septi Liawati, dan Tasmiyatun Hasanah yang sejak awal
perkuliahan menjadi tempat berkeluh kesah, memberikan keceriaan, suka
duka, saling mendukung dan mendoakan hingga akhir masa perjuangan;
10. Teman-teman yang memberikan semangat satu sama lain, Mohammad Salma,
Marissa Rizqi, Adi Alvian, Endah Sri Rahayu, Rahma Rahayu Mustika,
Dinny Laras Safitri, dan Amalia Rosyidah;
11. Teman-teman PPKT di SMP Darul Ma'arif Jakarta yang telah bekerja sama
dengan kompak selama praktik mengajar, Maisyah, Eva, Ervi, dan Karima;
12. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011,
khususnya PBSI C yang selalu kompak dan semangat dan Keluarga besar
Teater Syahid yang telah memberikan penulis pelajaran dan pengalaman
berharga dalam dunia teater;
v
Terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah memudahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga limpahan rahmat Allah,
terhikmat kepada kita semua. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran untuk
menjadi lebih baik.
Ciputat, 27 Juni 2018
Nurlaily Hanifah Amalia
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
ABSTRAK ........................................................................................ i
ABSTRACT ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................... 1
B. Identitas Masalah .................................................. 4
C. Pembatasan Masalah .............................................. 4
D. Rumusan Masalah ................................................. 4
E. Tujuan Penelitian ................................................. 4
F. Manfaat Penelitian ............................................... 5
G. Metode Penelitian ................................................. 6
H. Sumber Data ......................................................... 7
I. Teknik Pengumpulan Data ................................... 7
J. Teknik Analisis Data ............................................. 8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Pascakolonial ........................................... 9
B. Hakikat Novel ........................................................ 13
C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ......... 25
D. Penelitian yang Relevan ........................................ 28
BAB III BIOGRAFI, PANDANGAN PENGARANG DAN SINOPSIS
A. Biografi Selasih .......................................................... 30
B. Pandangan Hidup Selasih ......................................... 33
C. Sinopsis Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih ... 35
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Kalau Tak Untung Karya
Selasih ......................................................................... 38
B. Analisis Pascakolonial Novel Kalau Tak Untung
Karya Selasih ............................................................... 82
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia ........................................................... 91
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................... 95
B. Saran ............................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterikatan karya sastra akan latar sosial seorang pengarang tidak akan
lepas dari latar sosial karya sastranya pula. Tidak lepas pula untuk penulisan
karya sastra pada awal sejarah novel Indonesia. Pada tahun 1930, penulis asalah
Sumatra Barat mendominasi hingga 57% dari keseluruhan penulis di Indonesia
saat itu.1 Namun hal nyata lainnya hanya terdapat tiga nama penulis yang
muncul, yaitu Selasih, Hamidah, dan Suwarsih yang tentunya memasukkan
tokoh protagonisnya adalah perempuan.
Membicarakan tahun 1930an, novel yang paling terkenal pada saat itu
adalah Siti Nurbaya karya Marah Roesli dan Salah Asuhan karya Abdul Moeis.
Ketenaran karya mereka merupakan pembuktian dari data di atas. Namun dalam
penelitian ini, objek yang digunakan yaitu novel Kalau Tak Untung karya
Selasih yang merupakan penulis perempuan pertama Indonesia. Novel ini
menceritakan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama
sekolah, dan sama-sama pula hidup tak berkecukupan. Hingga saat dewasa,
Masrul dipindahkan bekerja di luar daerah dan membuat hubungan dirinya
dengan Rasmani menjadi renggang. Di sinilah awal konflik muncul, dari
perjodohan Masrul dengan Aminah, keraguan Masrul mengambil keputusan, dan
penyesalan yang disajikan dengan menggunakan alur maju.
Novel Kalau Tak Untung merupakan karya yang diterbitkan Balai
Pustaka. Novel-novel hasil keluaran Balai Pustaka memiliki ciri khas tentang
kisah percintaan yang tak sampai. Namun pembawaan cerita antara penulis pria
dan penulis perempuan akan terlihat perbedaan, di mana cerminan dari tokoh
dari yang mereka tulis akan menjadi cerminan pandangan hidup sang penulis.
1 Jacob Sumardjo, Pengantar Novel Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991), h. 97.
2
Novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menceritakan secara terbuka
bagaimana kehidupan tokoh utama pria mereka. Samsul dalam Siti Nurbaya dan
Hanafi dalam Salah Asuhan. Samsul masuk ke militer koloni dan Hanafi yang
membuang identitasnya sebagai masyarakat Timur. Namun dalam Kalau Tak
Untung, tokoh utamanya, Masrul, tidak mengalami perubahan seekstrim itu,
namun dirinya berusaha lepas dari ikatan budaya daerahnya dengan memilih
perempuannya sendiri untuk dinikahi. Dan hal ini didukung dalam latar cerita
yang berbeda antara di kota dan di desa.
Perubahan sosial yang terjadi dalam Kalau Tak Untung menjadikan
penulis menggunakan teori pascakolonial dengan pembahasan hibriditas dan
ambivalensi. Hibriditas dalam humaniora berarti hubungan dua kebudayaan
dengan identitas yang berbeda, sedangkan ambivalensi sikap medua atau
berlawanan terhadap situasi yang sama dan digunakan untuk menjelaskan
keragaman pilihan dalam pembentukan suatu identitas.2 Hibriditas dan
ambivalensi tokoh dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih, menjadi dasar
penelitian penulis dengan menggunakan pendekatan pascakolonial dengan
melihat kondisi dan kecenderungan masyarakat yang melihat pendidikan dari
kacamata adat dan modern Penelitian ini cenderung lebih kepada perbedaan
derajat antara pria dari keluarga mampu dengan gadis dari keluarga miskin.
Hingga pada akhirnya kedua tokoh ini berusaha untuk melakukan pembentukan
diri karena pengaruh sosial di lingkungannya.
Jika dihubungkan dengan pembelajaran sastra, siswa akan belajar
mengkritisi sastra dengan melibatkan unsur-unsur budaya sesuai dengan
kemampuan siswa yang bertujuan agar siswa lebih percaya diri dalam
mengeluarkan pendapat. Maka dari itu, penulis mengangkat hibriditas dan
ambivalensi selain sebagai penelitian diharapkan pada pembelajaran sastra
2 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 440, 447.
3
mampu memberikan rasa keingintahuan kepada siswa dengan membaca cerita
tetapi juga mendapatkan ilmu sejarah di dalamnya.
Selain itu diharapkan pula dapat mengubah perilaku dan pandangan
hidup mereka setelah memahami dengan baik akan berharganya menjadi
merdeka. Tentunya diharapkan hasil dari pelajaran ini mampu membuat siswa,
peneliti, dan pengajar menjadi sadar akan nilai nasionalisme dan nilai
pendidikan yang terkandung dalam karya sastra. Hal ini mempermudah siswa
untuk mengetahui situasi dan keadaan pada masa sebelum merdeka dalam
bentuk karya sastra.
Untuk mencapai nilai-nilai tersebut, pasti memiliki masalah yang sering
terjadi dalam proses belajar mengajar. Masalah dalam pembelajaran menjadi hal
yang terelakkan jika kita memandang dari segi pendidikan di Indonesia yang
tidak mengalami banyak perubahan dari masa penjajahan hingga sekarang
dengan beberapa kali adanya perubahan kurikulum. Turunnya minat siswa dapat
dikarenakan kondisi kelas yang tidak efisien untuk belajar, lingkungan sekitar
sekolah, dan terutama sifat siswa sendiri yang malas untuk belajar hingga minat
untuk belajar menjadi lemah. Hasilnya adalah nilai yang menurun dan semangat
belajar siswa yang ikut menurun pula. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi
para pengajar untuk meningkatkan minat belajar siswa tentunya dengan tidak
melupakan dasar keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca
dan menulis dengan mengharapkan adanya perubahan akibat adanya stimulus
dan respon.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menganalisis unsur
pembangun cerita intrinsik, hibriditas dan ambivalensi, lalu
mengimplikasikannya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan
objek penelitian novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Dengan demikian,
penulis memilih judul: "Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel
Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA."
4
B. Identifikasi Masalah
Pengidentifikasian masalah berdasarkan uraian latar belakang adalah
sebagai berikut:
1. Belum adanya analisis novel Kalau Tak Untung karya Selasih terkait
hibriditas dan ambivalensi.
2. Kurangnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri siswa.
3. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, pembatasan
masalah dalam penelitian ini adalah pada analisis hibriditas dan ambivalensi
dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih, kemudian diimplikasikan kepada
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah
Agar permasalahan pada penelitian ini menjadi jelas dan terarah, perlu
adanya rumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak
Untung karya Selasih?
2. Bagaimana implikasi tentang sejarah kolonial dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak
Untung karya Selasih
2. Mendeskripsikan analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel
Kalau Tak Untung karya Selasih
3. Mendeskripsikan implikasi novel Kalau Tak Untung karya Selasih
pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi atas dua manfaat, yakni:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian dalam bidang
sastra Indonesia dan memperkaya ilmu pengetahuan dalam
perkembangan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Guru Bahasa Indonesia
Guru Bahasa Indonesia dapat mengetahui perkembangan terbaru
tentang ilmu kesusastraan, kebahasaan, dan banyaknya metode
yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu karya dan dapat
menjadi bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
b. Siswa
Siswa diharapkan dapat memahami pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia dan mengambil amanat dari setiap materi yang
telah diberikan lalu mengaplikasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu siswa juga diharapkan menjadi lebih teliti
dengan berlatih mendeskripsikan sebuah sastra secara mendetail,
yang kelak akan berguna saat ujian dalam semua mata pelajaran.
6
c. Peneliti
Manfaat antar peneliti agar dapat membandingkan antara hasil
skripsi yang satu dengan yang lainnya. Dapat juga sebagai bahan
referensi untuk penelitian yang relevan dan juga untuk menambah
wawasan dalam penelitian skripsi terutama dalam sastra dengan
memiliki subjek dan objek penelitian yang sama.
G. Metode Penelitian
Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah
analisis pasckolonial yang terdapat pada novel sebelum kemerdekaan. Analisis
pascakolonial dapat dikatakan merupakan penelitian sosial yang masuk ke dalam
metode kualitatif. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Data yang
diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis
dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak
dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Peneliti melakukan analisis data
dengan pola atas dasar data aslinya dan hasilnya berupa pemaparan mengenai
situasi yang diteliti dan disajikan dalam bentuk uraian naratif.3
Dalam penelitian ini, data diperoleh dari analisis dokumen. Dokumen
adalah segala sesuatu materi dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia.
Dokumen yang dimaksud segala cararan baik dalam kertas maupun elektronik
yang dapat berupa buku, artikel media massa, catatan harian, manifesto, undang-
undang, notulen, blog, halaman web, foto, dan lainnya.4 Maka metode penelitian
yang digunakan dala penelitian ini adalah dokumentasi.
Penulis melakukan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif karena
penulis menghadapi teks karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media
3 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 87. 4 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indeks, 2012), h. 61.
7
penyalurnya. Dalam bahasa itu sendiri terdapat makna-makna yang tersirat dari
sebuah teks.
Berdasarkan pengertian, dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif
adalah metode penelitian yang menggunakan data secara langsung, bersifat
induktif dan deskriptif. Terhubung dengan analisis hibriditas dan ambivalensi
yang termasuk ke dalam penelitian sosial memiliki tujuan penelitian sebagai
gambaran, ringkasan berbagai kondisi dan situasi, atau berbagai fenomena
realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian.
H. Sumber Data
Sumber data untuk penelitian ini terdapat dua sumber, yaitu data primer
dan data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Kalau Tak
Untung karya Selasih diterbitkan oleh Balai Pustaka, cetakan kedua
puluh dua pada tahun 2001 dengan tebal halaman 156.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku, artikel, jurnal, dan beberapa penelitian yang relevan yang
berupa skripsi dan tesis bersumber dari media elektronik resmi
melalui universitas dan lembaga tertentu yang berhubungan dengan
analisis ini.
I. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian novel
Kalau Tak Untung karya Selasih, yaitu: Pertama, penulis membaca,
mempelajari, mendalami, mencari sumber referensi melalui internet, dan
menulis data yang memiliki keterkaitan dengan penelitian.
8
Kedua, beberapa sumber tertulis digunakan sesuai dengan masalah dan
tujuan pengkajian sastra dalam hal pascakolonial secara mendalam. Fokus data
yang dicatat adalah unsur intrinsik novel dan data yang terkait dengan masalah
hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak Untung.
J. Teknik Analisis Data
Terdapat beberapa tahap yang digunakan untuk menganalisis data, yakni:
a. Menganalisis novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan
menggunakan analisis struktural untuk mengetahui unsur-unsur
intrinsik yang terdapat dalam novel.
b. Menguraikan cerita dari novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan
menganalisisnya menggunakan sosiologi sastra yang secara khusus
berkaitan dengan menggunakan pendekatan pascakolonial hibriditas
dan ambivalensi.
c. Mengimplikasikan novel Kalau Tak Untung karya Selasih pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan menghubungkan
pembelajaran yang berada di luar sekolah atau dengan mata pelajaran
yang lainnya.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Pascakolonial
Teori pascakolonial adalah sebuah istilah bagi sekumpulan strategi
teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan,
politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni negara-negara Eropa dan
hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Meskipun tidak
mempunyai aliran dan metode yang tunggal, teori pascakolonial mempunyai
kesamaan dalam asumsi-asumsi berikut: (a) mempertanyakan efek negatif dari
apa yang justru dianggap bermanfaat kekuasaan imperial itu seperti pernyataan
mengenai hadiah peradaban, warisan sastra Inggris, dan sebagainya; (b)
mengangkat isu-isu seperti rasisme dan eksploitasi, dan (c) mempersoalkan
posisi subjek kolonial dan pascakolonial.1
Pascakolonial dalam kajian sastra merupakan strategi bacaan yang
menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi
adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan
menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda dan efek-efek
kolonialisme dalam sastra. Menurut Moore dan Gilbert dalam Martono
menjelaskan bahwa secara umum teori pascakolonial yang lahir pada paruh
kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruksi terhadap model
berpikir dualis (biner) yang membedakan antara “Timur” dan “Barat.2 Teori
Orientalisme merupakan dasar dari teori pascakolonial karena pembahasan
dalam teori tersebut membicarakan hal-hal tentang kepenjajahan milik Eropa
atas banyak negara. Maka dari itu, Said, sang penemu teori, mengkategorikan
Eropa sebagai sisi Barat dengan kemajuan pemikiran dan teknologi yang lebih
maju dibandingkan dengan Timur.
1 Faruk, Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 14 2 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern
dan Postkolonial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 103.
10
Teori pascakolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian,
yaitu: (a) pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami
penjajahan Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung sampai
pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam
bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global), (b)
repons perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun
yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada
kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi, dan (c) segala bentuk
marginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme.3
Ambivalensi adalah ekspresi dari upaya kami untuk mempertahankan
kebiasaan yang bertahan lama dan terawat baik dalam menghadapi situasi baru
yang menimbulkan sikap yang berbeda secara radikal yang terkadang
berlawanan. Meskipun emosi, keinginan, dan sikap bisa ambivalen, contoh
ambivalensi paling jelas adalah yang mengekspresikan konflik dalam memilih
antara apa yang dilihat sebagai dua tindakan yang diinginkan tetapi tidak
kompatibel. Ambivalensi itu khas dan paling jelas secara sadar dialami, tetapi
dapat dikaitkan dengan seseorang yang tidak menyadari kondisinya dan yang
bahkan mungkin menolaknya.4 Artinya, ambivalence berpengaruh pada
keinginan manusia itu sendiri dalam menyikapi situasi yang berbeda dengan
menerimanya atau menolaknya. Ambivalensi akan terdapat pilihan untuk
pembentukan identitas, yang umumnya terjadi adalah peniruan dari keinginan
untuk memiliki kualitas kehidupan dalam bermasyarakat yang lebih baik,
sehingga mimikri ini terjadi.
Konsep mimikri dalam pascakolonial itu berasal dari Bhabha. Mimikri
merupakan bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori
ideal Eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal. Teori ini diambil oleh
Bhabha dari perdebatan Plato dan Aristoteles perihal mimesis. Arti mimesis
tidak jauh berbeda dari mimikri, yakni peneladanan, pembayangan, peniruan
terhadap dunia empiris melalui kata-kata, bunyi, pikiran, tingkah laku, dan
3 Faruk, Op. Cit., h. 15. 4 Amelie Rorty, The Ethics of Collaborative Ambivalence, (USA: Springer, Journal of
Ethics Vol. 18 No. 4, December 2014), p. 392.
11
berbagai perwujudan aktivitas kultural.5 Mimikri adalah sebuah pengejekan
karena kaum Timur yang tidak akan pernah mereproduksi secara tepat nilai-
nilai yang mereka ambil dari Barat, mimikri selalu menghasilkan salinan yang
kabur (blurred copy) dengan konsep almost the same, but not quite atau almost
the same, but not white.6
Faruk menegaskan bahwa ambivalensi dari sikap mimikri, yaitu seolah-
olah ingin menyerupai, tetapi sesungguhnya memanfaatkannya sebagai bentuk
penentangan. Melalui konsep ambivalensi Bhabha melihat adanya proses yang
kompleks terkait bagaimana yang dominan ‘memandang’ yang subordinat,
begitupula sebaliknya serta bagaimana yang subordinat mengganggu
pengetahuan diskriminatoris sebagai basis relasi kuasa melalui mimikri yang
dipenuhi keselipan. Meskipun Bhabha banyak menggunakan wacana yang
dikonstruksi dalam teks-teks sastra, pemikiran-pemikiran yang ia hasilkan
sangat kontekstual untuk membaca kondisi dan persoalan budaya kontemporer
di mana perbedaan dan pertemuan antarkelompok ras maupun etnis
berlangsung dalam atmosfer sosial yang semakin kompleks, baik dalam ruang
transnasional—khususnya terkait migrasi—maupun nasional.7 Sikap mendua
atau berlawanan terhadap situasi8 ketika aspek negatif dan positif hadir
bersamaan dan ketidaknyamanan terbesar saat menentukan keputusan dengan
sadar merupakan definisi ambivalensi psikologi.
Namun sesungguhnya, konsep mimikri merupakan dasar sebuah
hibriditas. Ella Shohat dalam Loomba menyatakan untuk mengkaji tentang
hibriditas, dapat dilakukan pengkajian tentang asimilasi paksaan, penolakan
diri yang diinternalisasi, kooptasi politis, konformisme sosial, peniruan
kultural, dengan transendensi kreatif.9 Hibriditas merupakan tanda
5 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 451-452. 6 Homi K. Bhabha. The Location of Culture, (New York, Routledge, 1994), h. 89. 7 Ikwan Setiawan, Membaca Budaya bersama Bhabha: Ambivalensi, Hibriditas, dan
Keliatan Kultural, dalam http://ikwansetiawan.web.unej.ac.id/2015/04/27/membaca-budaya-bersama-bhabha-ambivalensi-hibriditas-dan-keliatan-kultural/#_ftn2 diunduh pada 27 April 2015.
8 Nyoman Kutha Ratna, Op. Cit., h. 440. 9 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonial, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2016), h.
263.
12
produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan; ia
adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui
pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan
identitas ‘murni’ dan orisinil dari kekuasaan).10 Tanda hibriditas dari
pergesaran yang memaksa dapat melahirkan konstruksi budaya nasional bangsa
Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural dan hibriditas budaya yang
mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial.
“hibridisasi kultural” bisa didefinisikan sebagai sebuah proses kultural yang
ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan dua budaya atau lebih ke
dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada budaya lokal tetapi
tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak sepenuhnya.
Sedangkan “hibriditas kultural” merupakan sebuah realitas dari produksi
budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa
menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada.11
Sehingga, hibriditas merupakan percampuran dua budaya yang menghasilkan
budaya baru dengan memperbaharui budaya lama atau menghilangkan
sebagian unsur budaya lama dan ditambah unsur budaya baru.
Setelah hibriditas, terdapat analisis lainnya yang merupakan pilihan dari
keberagaman pilihan dari tindak meniru yang disebut identitas. Teori identitas
adalah teori yang dicetuskan oleh Frantz Fanon, pria yang lahir dari keluarga
percampuran kulit hitam dan putih. Konsep identitas memiliki makna yang
luas. Castells menjelaskan, identitas adalah sumber pemaknaan dan
pengalaman seseorang. Identitas merupakan proses pembentukan makna yang
didasarkan pada sebuah atribut budaya tertentu, atau seperangkat atribut
kultural, yang diprioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan lain. Identitas
bersifat jamak dan bukan tunggal, dan tidak sama dengan peran atau
seperangkat peran, identitas berfungsi untuk menata dan mengelola makna,
sementara peran menata fungsi-fungsi. Gugus identitas merupakan sumber-
10 Homi K. Bhabha, Op. Cit., h. 112. 11 Ikwan Setiawan, Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam
http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016.
13
sumber makna bagi dan oleh aktor yang dibentuk melalui proses bernama
individualisasi. Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi nilai-nilai,
norma-norma, tujuan-tujuan, ide-ide. Pada hakikatnya, identitas dibedakan
menjadi dua, yaitu identitas individu dan identitas kolektif. Ada tiga bentuk
dan asal-usul identitas; identitas yang sah (legitimizing identity), identitas
perlawanan (resistance identity), dan identitas proyek (project identity).12 Hal
ini menyatakan dengan jelas bahwa identitas juga mencakup perihal otoritas
kekuasaan.
Selain identitas, terdapat juga permasalahan hegemoni. Menurut
Miliband Beberapa literatur tentang Gramsci telah menafsirkan gagasan
hegemoni sebagai "kesadaran salah" ideologis atau gagasan Weberian tentang
"legitimasi." Menurut penafsiran-penafsiran ini, kelas dominan memperoleh
persetujuan dari kelas-kelas bawahan melalui "suatu proses indoktrinasi masif"
atau "dominasi ideologis atas kelas-kelas bawahan" atau "produksi kesadaran
palsu yang tak berkesudahan" atau "mistifikasi ideologis". Hegemoni, yaitu,
mengatur persetujuan massa bawahan, didasarkan pada kemampuan kelompok
sosial untuk mewakili kepentingan universal seluruh masyarakat. Mewakili
kepentingan universal tidak dapat dicapai dengan penanaman ideologis atau
marche de dupes, tetapi dengan merealisasikan kepentingan massa bawahan
"secara konkret". Tidak ada ideologi yang dapat melakukan fungsi koordinasi
kepentingan konkrit antara kelas dominan dan kelompok bawahan kecuali jika
divalidasi oleh materialisasi.13 Dapat disimpulkan bahwa hegemoni merupakan
teori dominasi terhadap kelas lain dengan alasan perbedaan status sosial
sehingga dominasi dianggap sebagai sebuah kebenaran alamiah pada seluruh
masyarakat.
B. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
12 Nanang Martono, Op. Cit., h. 118-119. 13 Im Hyuk Baek, Hegemony and Counter-Hegemony in Gramsci at Journal Asian
Perspective, (USA: Lynne Rienner Publishers, Vol 15 No. 1, Spring-Summer 1991), p. 124.
14
Sebagai genre sastra termuda, novel telah banyak menarik perhatian
dan minat banyak kalangan. Banyak pertanyaan tentang apa maksud dari
novel itu sendiri, tetapi terdapat juga problematis yang terjadi, kesulitan itu
muncul sebagai akibat beberapa faktor. Dari perspektif historis, novel
memiliki garis perkembangan yang membentang ke belakang, ke tradisi-
tradisi fiksi pendahulunya.14
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari
kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan
dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka
jenis novel ini muncul kemudian. Menurut Robert Lindell dalam Henry
Guntur Tarigan, novel Inggris yang pertama sekali lahir adalah Famela pada
tahun 1970.15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa
pengertian novel yaitu karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan
menonjokan watak dan sifat setiap pelaku. Namun pengertian novel yang
dipahami banyak orang adalah suatu karya fiksi yang berupa kisah atau cerita
yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan, di mana bentuk
pengungkapannya dengan cara langsung, tanpa rima dan irama yang teratur.
Dengan pengertian novel yang telah dijelaskan di atas dapat dikatakan
bahwa dalam setiap novel akan menghadirkan permasalahan yang biasanya
digambarkan dengan mendetail dan berisikan suatu keadaan yang kompleks
yang dialami oleh tokoh utama. Hal ini sesuai dengan penjelasan Burhan
Nurgiyantoro yang menyatakan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu
secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih
detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih
kompleks.16
14 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), h. 1-3. 15 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1991), h.
164. 16 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2015), h. 13.
15
Meskipun novel merupakan karya fiksi yang lahir dari imajinasi
dengan berlandaskan kehidupan penulis atau dengan melakukan penelitian
tidak akan menghilangkan tujuan dari novel itu sendiri yaitu untuk menghibur
segala kalangan.
2. Unsur-unsur Intrinsik Novel
Unsur pembangun sebuah karya sastra terbagi dua, yakni unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur yang akan dibahas adalah unsur intrinsik
yang memiliki pengertian unsur-unsur yang secara langsung turut serta
membangun cerita.17 Menurut Junus dalam Siswanto, pendekatan objektif
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya
sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra.
Karya sastra menjadi sesuatu yang inti. Dan memahami unsur sistem di dalam
karya sastra disebut intrinisik.18
Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pendekatan struktural,
objektif, dan intrinsik. Ketiganya sama-sama mengkaji sastra berdasarkan
karya sastranya. Unsur intrinsik terbagi atas tema, tokoh, penokohan, alur
(plot), latar cerita (setting), sudut pandang, dan moral.
a. Tema
Dalam setiap cerita fiksi tentu akan terdapat unsur makna.
Permasalahannya, makna khusus mana yang dapat dinyatakan sebagai
tema atau makna mana yang dapat dianggap makna pokok sekaligus
tema pokok cerita. Untuk menentukannya, perlu memiliki kejelasan
pengertian makna pokok atau tema itu sendiri. Hartoko dan Rahmanto
dalam Burhan menjelaskan tema merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan. Sedangkan Baldic dalam Burhan pula
mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat
17 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 30. 18 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 183
dan 188.
16
dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan
baik secara eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.
Keduanya defiisi tersebut secara makna tidak berbeda namun dapat
saling melengkapi. Jadi, tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat
abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan
biasanya dilakukan secara implisit.19
Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan
dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu
cerita. Tema sebagai makna utama sebuah karya fiksi tidak (secara
sengaja) disembunyikan karena inilah yang ditawarkan kepada pembaca.
Namun tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita,
dengan sendirinya akan "tersembunyi" di balik cerita yang
mendukungnya.20
Tema yang pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung
cerita atau secara singkat dikatakan sebagai makna cerita dalam sebuah
karya fiksi yang mungkin terdiri lebih dari satu interprestasi
menyebabkan tidak mudahnya menentukan tema pokok cerita atau tema
mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gaagasan
dasar umum karya itu). Menentukan tema pokok sebuah cerita
merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih, mempertimbangkan,d an
menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh
karya yang bersangkutan.
Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak
dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat
pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidetifikasi sebagai makna
bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan ini yang disebut
tema-tema tambahan, atau tema minor. Dengan demikian, banyak
sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita
novel. Penafsiran makna harus dibatasi pada makna-makna yang terlihat
19 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 115-116. 20 Ibid., h. 116.
17
eral character.
menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada
karya yang dapat dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya.21
Tema dalam karya sastra merupakan hal yang penting karena
selain mengetahui isi cerita, dapat pula untuk penelitian dengan
menggunakan yang sama. Dengan begitu akan terlihat makna apa saja
yang terkandung di balik cerita yang telah ditulis oleh seorang
pengarang. Untuk menentukan tema, tentu akan meneliti cerita secara
menyeluruh dari isi cerita, tokoh, latar, dan lainnya sehingga dapat
menentukan tema yang tepat untuk karya sastra tersebut.
b. Tokoh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tokoh adalah
rupa (wujud dan keadaan), pemegang peran (peran uama) dalam roman
atau drama. Aminuddin mengatakan dalam Siswanto, tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara menampilkan tokoh
disebut penokohan. Menurut Sudjiman dalam Siswanto, tokoh dapat
dibedakan atas; (a) tokoh primer (tokoh utama), (b) tokoh sekunder
(tokoh bawahan), (c) tokoh komplementer (tambahan).22
Sedangkan Nurgiyantoro membagi beberapa jenis pembedaan
tokoh berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, yaitu sebagai berikut:
1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan. Dilihat dari segi peranan
atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh
yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga
terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada
tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali
dalam cerita, dan dengan porsi penceritaan yang relatif pendek.
Tokoh yang disebutkan pertama disebut main character,
sedangkan yang kedua disebut periph
21 Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 135. 22 Wahyudi Siswanto, Teori Pengantar Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 143.
18
2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis. Jika dilihat dari peran
tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya
tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan
tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis.
Pembedaaan antara protagonis-antagonis dengan utama-tambahan
lebih bersifat penggradasian.
3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat. Berdasarkan perwatakannya,
tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple
atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat
(complex atau round character). Pembedaan tersebut berasal dari
Foster dalam bukunya Aspects of the Novel yang terbit pertama
kali tahun 1927. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas kepribadian tertentu, satu sifat-watak yang
tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian dan jati dirinya.
4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang. Berdasarkan kriteria
berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam
sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak
berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing
character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial
tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peistiwa yang terjadi. Tokoh
berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan
perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral. Berdasarkan kemungkinan
pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari
kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh
tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character).
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
19
keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita
yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.23
Dalam penelitian ini, semua tokoh dalam novel Kalau Tak
Untung karya Selasih akan dimasukkan ke dalam jenis-jenis tokoh yang
telah disebutkan di atas. Hal ini berguna untuk mempermudah penelitian
dengan mengelompokkan tokoh dalam cerita dengan memperhatikan
unsur pembangun sastra yang lainnya.
c. Alur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama dan
menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan
penyelesaiannya. Menurut Abrams dalam Siswanto, alur ialah rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.24
Sedangkan Burhan Nurgiyantoro membedakan tahapan plot
menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
(1) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi
pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
Tahapan ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi
awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandastumpui
cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
(2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik,
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik, dan konflik itu sendiri akn berkembang dan atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya
berkeseuaian dengan tahap awal pada penahapan.
23 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkaji Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2015), h. 258-274.
24 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 159.
20
(3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan dengan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa
dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal dan eksternal,
atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan
antara kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks
semakin tidak dapat dihindari.
(4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang
terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh
cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan
dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang
mungkin saja semakin lebih dari satu klimaks, atau paling tidak,
dapat ditafsirkan demikian. Tahap ketiga dan keempat pembagian
ini tampaknya berkesesuaian dengan tahap tengah penahapan.
(5) Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah
mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini
berkesesuaian dengan tahap akhir.25
Kelima tahap ini digunakan selain mempermudah penelitian, juga
untuk mengetahui alur cerita dari novel yang akan di teliti yakni, Kalau
Tak Untung, apakah masuk ke dalam alur maju progresif atau regresif
flashback.
d. Latar Cerita
Latar cerita atau setting menurut Aminuddin dalam Siswanto
sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu,
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologi.
Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general local),
25 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 209-210.
21
waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social
circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.26
Burhan membagi unsur latar menjadi tiga unsur pokok, yaitu
tempat, waktu, dan sosial.
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritaakn dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam
dunia nyata, misalnya Magelang. Tempat dengan inisial tertentu,
biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga
menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus
memperkirakan sendiri, misalnya desa B dipergunakan dalam
Bawuk. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa
penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu,
misalnya desa, sungai, jalan, dan sebagainya.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah. Untuk masalah waktu dalam karya naratif, kata
Genetta dapat bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada
waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain
menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan
dikisahkan dalam cerita.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
26 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 149.
22
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap,
dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan
sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan
dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas.27
Dengan adanya latar cerita, sastrawan dapat menggunakannya
untuk mengembangkan cerita dan penggambaran peristiwa yang telah
atau sedang terjadi. Pembaca dapat menggunakan imajinasinya dengan
terarah sesuai cerita.
e. Titik Pandang/Sudut Pandang
Pengertian point of view atau sudut pandang adalah hubungan
yang terdapat antara sang pengarang dengan alam fiktif ceritanya,
ataupun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para
pembacanya. Seorang pengarang haruslah dapat menjelaskan kepada
pembaca bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat
berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu.
Ada yang membuat pembagian sudut pandang dalam fiksi atas 3
bagian penting, yaitu:
1) The First Person Narrator. Cerita itu dapat diceritakan oleh
salah satu seorang tokoh dalam cerita itu. pencerita itu dapat
pula salah seorang dari tokoh-tokoh utama atau orang lain selain
dari pada yang telah kita sebut tadi. Pencerita seperti itu tentu
saja takkan dapat meresapi pikiran dan perasaan orang lain atau
pelaku lain dalam cerita itu.
2) The Omniscient View. Seorang narator luaran dapat diberi
kekuasaan untuk meresapkan dan mencerminkan pikiran dan
27 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314-325.
23
perasaan tokoh utama. Dalam hal ini dia disebut sebagai
pencerita orang ketiga atau omniscient narrator.
3) The Objective Point of View. Seorang tukang cerita yang berada
di luar cerita itu hanya melaporkan apa yang dilakukan dan
diucapkan oleh pelaku, dan sama sekali tidak ada mencerminkan
apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Di sini pencerita
memberi kebebasan penuh kepada para pembaca merasakan dan
memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh para pelaku.
Dengan kata lain: pengevaluasian diserahkan sepenuhnya pada
para pembaca.28
Dengan mengetahui sudut pandang yang digunakan oleh
pengarang, akan mempermudah penelitian melihat dari sudut pandang
mana cerita dalam novel diungkap, apakah dari penulis yang serba tahu
atau dari tokoh utama sebagai pencerita.
f. Gaya Bahasa
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain
sastra lebih sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihannya”
itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalu bahasa. Jika
bahasa dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, sesuatu tersebut hanya
dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun
mengemban fungsi utamanya, yaitu komunikatif.29 Dan bahasa memiliki
keragamanan yang akan menjadi ciri khas untuk mengetahui masa
penulisan sebuah karya sastra.
Abrams yang dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro, stile, (style,
gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti
28 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h.
140. 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013), h. 364.
24
pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,
penggunaan kohesi, dan lain-lain.30
Stile merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang
dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk
mencapai efek keindahan. Sebuah stile adalah sebuah pilihan bentuk
berbagai aspek kebahasaan. Artinya, ada bentuk-bentuk yang dipilih, dan
dari sekian bentuk yang ada, pilihan yang terpilih adalah bentuk yang
terbaik.31
Gaya bahasa yang baik akan membuat menarik isi dari sebuah
cerita dengan gaya penulisan dan penceritaan yang terlihat dari ungkapan
bahasa pilihan, yang dalam penelitian ini terdapat dalam novel Kalau Tak
Untung. Tentunya gaya bahasa akan mendukung pula penelitian
ekstrinsik yang digunakan dalam penelitian ini.
g. Moral
Kenny dalam Burhan menyatakan, moral merupakan sesuatu
yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan
makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan
lewat cerita. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-
nilai kebenaran. Adakalanya, moral diidentikkan pengertiannya dengan
tema. Namun tema bersifat lebih kompleks daripada moral di samping
tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada
pembaca. Dengan demikian, moral dapat dipandang sebagai salah satu
wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema
merupakan moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh
pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan pesan-pesan moral
yang disampaikan atau diamanatkan. Moral dalam karya sastra dapat
dipandang sebagai amanat, pesan, message.32
30 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 369 31 Ibid., h. 370.
32 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 429-430.
25
Terkait dalam pendidikan, moral terbagi atas tiga komponen yang
harus dikembangkan, yaitu:
1. Pengetahuan tentang moral (moral knowing) terkait ranah kognitif
yang meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan
ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan
diri
2. Perasaan tentang moral (moral feeling) terkait dengan ranah sikap
yang meliputi kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan,
pengendalian diri, dan kerendahan hati
3. Perbuatan moral (moral action) terkait dengan ranah psikomotorik
yang meliputi kompetensi, kemauan dan kebiasaan bertindak. 33
Jenis ajaran moral sendiri mencakup masalah yang bersifat tidak
terbatas yang mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia
yang dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri
sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial dan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hal ini
menjadikan pesan moral berwujud moral religius, bersifat keagamaan,
dan kritik sosial.34
C. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Seperti pendapat Horatius, bahwa fungsi sastra adalah dulce et utile.
Artinya dalam sebuah karya harus memiliki nilai ektetis dan edukasi. Nilai
estetis lebih kepada intrinsik, sedangkan edukasi terdeskripsikan lewat filosofi
kata dan pesan untuk pembaca. Keduanya saling keterkaitan, tanpa adanya nilai
estetis, maka fungsi sastra sebagai edukasi tidak akan terlalu diminati, begitu
pun sebaliknya.
Dalam pembelajaran bahasa yang terpadu didasarkan pada tiga prinsip
utama, yaitu: (1) anak adalah pembelajar yang konstruktif yang secara aktif
membangun makna; (2) bahasa adalah sistem makna yang dikomunikasikan
dan diekspresikan di lingkungan sosial; (3) pengetahuan ada dalam pikiran
33 Ibid., h. 438-439 34 Ibid., h. 441-446.
26
individu yang diorganisasikan dan dibangun melalui interaksi sosial yang
senantiasa berubah dalam kehidupan.35
Berlandaskan ketiga prinsip di atas, tentu akan ada tujuan
pembelajaran. Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan seperti: 1) berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesu ai dengan etika yang berlaku, 2) menghargai dan bangga menggunakan
bahasa Indonesia, 3) memahami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan
tepat dan kreatif, 4) untuk meningkatkan intelektual serta kematangan
emosional dan sosial, 5) untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 6)
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan
intelektual.36
Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara,
membaca dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi
kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra
(puisi, prosa dan drama), baik karya asli atau karya sanduran/terjemahan.
Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan
dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan
memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan
apreisasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan
mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang
kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang
sudah dibaca.37
Di Indonesia, secara bertahap kurikulum akan terus ditingkatkan
dengan terus mengikuti perkembangan pendidikan di dunia. Setiap kompetensi,
strategi, metode dan teknik pengajaran akan terus ditingkatkan, baik dari guru
maupun dari siswa. Saat ini, Kurikulum 2013 memiliki karakteristik yang
berbeda jika dibandingkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
35 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indoensia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 36. 36 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 124. 37 Wahyudi Siswanro, Op. Cit., h. 171.
27
(KTSP). Di Kurikulum 2013 sudah tidak terdapat Standar Kompetensi, tapi
diganti menjadi Kompetensi Inti (KI), yang merupakan gambaran secara
kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan (kognitif dan psikomotor). Selain itu terdapat aspek kompetensi
sikap yang terbagi atas sikap spiritual dan sikap sosial. Sikap spiritual, yaitu
menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Sikap sosial,
yaitu menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli,
bertanggung jawab, responsif dan proaktif.
Dalam penelitian ini, Kompetensi Inti (KI) untuk pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia mengenai informasi dan analisis dalam cerita sejarah
dengan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dipenuhi oleh siswa adalah
menganalisis kebahasaan cerita dan atau novel sejarah. Untuk memenuhi
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) diperlukan indikator yang
harus dicapai oleh siswa, yakni mampu menunjukkan sikap positif pada saat
berdiskusi, mengidentifikasikan karakteristik novel sejarah, menganalisis unsur
cerita novel sejarah, dan menganalisis nilai-nilai cerita sejarah. Untuk
memenuhi Kompetensi Dasar tesebut, guru memerlukan pendekatan yang
diperlukan dalam proses belajar mengajar seperti halnya menyusun strategi,
metode, dan model pembelajaran.
Terdapat empat strategi dasar dalam pembelajaran yang meliputi:
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi
perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana
yang diharapkan
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi
dan pandangan hidup masyarakat
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar
mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat
dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan
mengajarnya
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau
kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan
28
pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil belajar
mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat
penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara
keseluruhan.38
Setelah strategi, sebuah metode dibutuhkan pengajar untuk
mengajarkan kompetensi tertentu pada peserta didik. Metode dalam dunia
pengajaran memiliki definisi sebagai rencana penyajian bahan yang
menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu.39
Macam-macam metode pembelajaran, yaitu: 1) metode proyek/unit, 2) metode
eksperimen, 3) metode tugas, 4) metode diskusi, 5) metode sosiodrama, 6)
metode demonstrasi, 7) metode problem solving, 8) metode karyawisata, 9)
metode tanya jawab, 10) metode latihan, dan 11) metode ceramah.40
Dengan menyusun rencana pembelajaran dengan baik, pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia akan mudah untuk diajarkan dan mudah untuk
dipahami oleh peserta didik dengan harapan kompetensi mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis dapat diserap oleh peserta didik.
D. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan
tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan
peninjauan dengan menggunakan media elektronik resmi Perpustakaan
Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Universitas Sumatera Utara. Dalam
hal ini penulis tidak menemukan judul skripsi, tesis, dan disertasi yang sama
dengan yang penulis kaji. Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagai berikut.
Judul tesis untuk penelitian yang relevan pertama adalah “Independensi
Perempuan sebagai Second Sex dalam Mansfield Park Karya Jane Austen dan
Kalau Tak Untung Karya Selasih”. Penelitian ini dilakukan oleh Risza
38 Djamarah dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 5. 39 Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, (Bandung: Pusaka
Setia, 2011), h. 20. 40 Djamarah dan Zain, Op. Cit., h. 82-97.
29
Dwiputri, mahasiswa Ilmu Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada
tahun 2016. Penelitian dua karya ini membahas tentang perlakuan diferensiasi
secara tidak langsung diterima karena tidak memiliki independensi atas diri
mereka sendiri. Dengan beranjak dari asumsi bahwa perempuan mampu keluar
dari ranah domestiknya dan turut mengambil bagian dalam ranah publik
dengan bergerak menggunakan pendekatan feminisme, novel Mansfield Park
karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih memiliki potensi yang
dimaksud. Penelitian ini mengemukakan bahwa perempuan tidak memiliki
kuasa atas dirinya dan kebebasan untuk menentukan hidupnya tidak peduli
dalam latar budaya apa dia dibesarkan, patriarkat dan matriarkat sama-sama
melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua. Namun dalam dua novel,
masing-masing pengarang berusaha mengkritik masyarakat yang menjadikan
perempuan sebagai objek penindasan ekonomi dan patriarki dengan
memperlihatkan bahwa perempuan bisa berubah menjadi individu yang bebas
berpikir. Dengan latar tempat dan lingkungan yang berbeda, tapi terdapat
kesimpulan yang sama bahwa perempuan dapat terbebas dari otoritas laki-laki
dan menghilangkan posisi inferior dan status sebagai warga kelas dua jika
mereka mau membantah dan melawan usaha-usaha yang menempatkan mereka
di bawah kekuasaan laki-laki.
Penelitian di atas menggunakan objek penelitian yang sama karya
Selasih yang berjudul Kalau Tak Untung. Tesis tersebut membahas perihal
patriarki wanita yang terjadi di lingkungan Minangkabau dan negara Inggris.
Inti dari tesis tersebut memiliki persamaan tentang emansipasi wanita. Dan
disertasi menggunakan subjek penelitian yang sama, yaitu pascakolonial.
Beberapa dari poin penelitiannya sama dengan penulis, namun penelitian ini
menggunakan objek penelitian yang berbeda. Sebagai roman yang
menggunakan latar tahun 1930-an, menjadikan penulis termotivasi untuk
mengetahui konflik perihal kolonial yang terjadi pada masa itu untuk
dianalisis.
30
BAB III
BIOGRAFI, PANDANGAN PENGARANG DAN SINOPSIS
A. Biografi Selasih
Selasih merupakan nama samaran yang dimiliki oleh Sariamin Ismail.
Lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di kota Pajang, Sinurut, Sumatra Barat. Desa
ini berada dalam onderafdeling Ophir Talakmau yang beribukotakan Talu. Talu
terbagi atas dua kelarasan, yaitu Talu dan Sinurut. Putri dari pasangan Lau dan
Sari Uyah. Ayahnya bergelar Datuk Raja Malintang.1 Beliau telah tutup usia
pada tanggal 15 Desember 1995 di Pekanbaru pada usia 86 tahun.
Pendidikan yang ditempuh pada tahun 1921 tamat SD 5 tahun
(Gouverenment School). Tahun 1925 tamat Meisjes Normaal School (MNS).
Dirinya memiliki pengalaman kerja pada tahun 1925 menjadi guru di
Bengkulu, kemudian diangkat sebagai kepala sekolah. Pada tahun 1930,
dirinya pindah ke Padangpanjang. Dirinya mengajar di Meisyesleer School dan
Diniah School. Dirinya juga aktif sebagai ketua Serikat Kaum Ibu Sumatra
Cabang Padangpanjang, pengurus PNS (Pengawas Daerah Karesidenan
Sumatra Barat), dan pengurus Meisyekring.2
Lalu, setelah delapan setengah tahun berada di Padangpanjang, dirinya
memutuskan pindah pada tahun 1939 ke Aceh dan pada tahun 1941 pindah ke
Kuantan. Selasih selama itu terus-menerus mengabdikan dirinya bekerja dalam
bidang pendidikan (guru). Selain mengajar Bahasa Belanda, pada tahun 1956
dirinya mengajar di SMA negeri dan swasta. Dia juga banyak mengadakan
pertunjukakan sandiwara bertendens di Kuantan, Pekan Baru dan Tanjung
Pinang. Setelah bekerja selama 34 tahun, dirinya memutuskan pada tahun 1968
untuk menikmati masa pensiunnya.3
1 Dra. Marleily Asmuni. H. Sariamin Ismail. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1984), h. 17 2 Dra. Marleily Asmuni, Op. Cit., h. 58 3 Selasih, Kalau Tak Untung, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), sampul belakang.
31
Dirinya pernah mengatakan alasan dirinya menggunakan nama Selasih.
Selasih adalah tumbuh-tumbuhan kecil berbunga kuning, hidup di pinggir
jalan. Karena kecilnya tumbuhan tersebut kurang mendapat perhatian, malah
terkadang diinjak-injak orang. Padahal selasih memiliki manfaat yang dapat
dijadikan obat-obatan. Karena tertarik pada falsafah pohon kecil itu dirinya
mengambil nama selasih sebagai nama samarannya.4 Adapun nama pena
lainnya, yaitu Seleguri. Alasannya diambil nama Seleguri juga karena seluguri
adalah nama tumbuh-tumbuhan kecil yang berbunga berwarna kuning yang
tumbuh di semaksemak dan jarang diperhatikan orang. Akar dari tumbuhan ini
juga dapat dipakai sebagai obat. Mungkin alasan dirinya tidak menggunakan
nama tumbuh-tumbuhan yang terkenal karena dirinya pemalu dan tidak mau
menonjolkan diri.5 Kecintaannya pada dunia tumbuhanlah yang
menginspirasinya untuk menggunakan nama-nama tersebut. Bahkan setelah
pensiun dari dunia pendidikan, dirinya mengabdikan dirinya pada taman kecil
yang ada dirumahnya. Dirinya juga melayani siapapun yang ingin membeli
tanamannya.
Selain Selasih dan Seleguri, Sariamin juga menggunakan beberapa
nama samaran untuk mencegah kemungkinan ia ditangkap oleh pihak yang
berwewenang akibat tulisan-tulisannya. Ia akhirnya lebih dikenal dengan nama
Selasih, nama yang ia gunakan dalam novel pertamanya. Sejumlah nama
samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu
Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah. Dirinya juga aktif dalam kegiatan
politik seperti Gerakan Indonesia Merdeka.dan di zaman PRRI, Sariamin
Ismail sempat juga mendekam dalam penjara selama tiga tahun, atau tepatnya
dari awal Februari 1960 hingga akhir November 1962.6
Ia menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung pada tahun 1933,
yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah
Indonesia. Diterbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, konon inspirasi
4 Zarnas, Pengarang Wanita Pertama Selasih alias Sariamin Ismail, (Jakarta: Koran .
Kamis, 23 Mei 1977), h. 18 k. 1. 5 Dra. Marleily Asmuni, Op. Cit. h. 56. 6 Koran berita tertanggal Jakarta, 19 Desember 1985.
32
novel ini adalah dari beberapa kejadian nyata yang terjadi di sekitarnya. Yaitu
tunangan yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang
saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu.7
Setelah novel pertamanya sukses mengangkat namanya, pada tahun
1937, dia kembali menerbitkan novel lagi dengan judul Pengaruh Keadaan.
Sebagai pengarang, Sariamin mengaku pernah mengalami masa ‘mandul’
dalam arti tidak berkarya. Dan itu cukup lama, yakni dari tahun 1942 sampai
dengan 1970, di mana perhatiannya banyak tertumpu pada rumah tangga dan
dunia pendidikan atau sekolah yang dibinanya. Sebagai pendidik ia telah
mengajar sejak tahun 1925 hingga masa pensiunnya 1968. Namun meskipun
telah menulis kembali sejak tahun 1976 atas saran menantunya lantaran
namanya sudah mulai dilupakan orang, baru tahun 1981 lah bukunya Panca
Juara diterbitkan oleh Balai Pustaka.8
Agaknya meskipun demikian Selasih beruntung, karena pada tahun
yang sama, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu masih Daoed
Yoesoef datang ke Pekanbaru, Sariamin diminta datang ke Guest-House untuk
berbincang dengannya. Di situlah Daoed mengusulkan agar Sariamin lebih
gencar lagi menulis. Akhirnya beberapa bulan kemudian dirinya dihubungi
oleh Drs. Aliudin Mahyudin dari Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, membawa beberapa naskah
sandiwara yang pernah ia pentaskan di Riau. Di antaranya: Harapan Ibu di
Teluk Kuantan, Nahkoda Lancang, Fragmen Bunda Kandung dan Rancak di
Labuah. Namun karena naskahnya berbentuk seloka, dirinya diminta agar mau
mengubahnya menjadi bentuk prosa. Honor yang didapatkan dari menulis
naskah tidaklah sedikit, kemudian pada tahun 1983, menyusul bukunya yang
berjudul Bujang Piaman dan Puti Mambang Laut yang ditulisnya dalam dialek
Melayu-Minang.
Melihat penerimaan dan hasil penulisan untuk proyek Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan itulah akhirnya Selasih semakin terangsang untk
7 Maman S. Mahayana, dkk, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, (Jakarta: Grasindo, 1995, h. 37-38.
8 Marleily Asmuni, Op. Cit., h. 63-64.
33
menulis lebih banyak lagi naskah. Dua romannya dalam dialek Minang
Rangkiang Luluih dan Si Kukuk Kakek telah diterima, dalam rencana akan
diterbitkan kembali oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Di samping itu, tiga naskah lainnya, yakni Kembali ke Pangkuan Ayah,
Musibah Membawa Bahagia dan Cerita Kak Murai telah di kirim ke penerbit
PT. Mutiara, Jakarta. Namun hanya Cerita Kak Murai saja yang telah
diterbitkan.9
B. Pandangan Hidup Selasih
Selasih atau Sariamin selama hidupnya pernah menjadi anggota dari
beberapa organisasi, misalnya Gerakan Ingin Merdeka, Indonesia Muda, dan
dirinya juga pernah menjadi ketua Jong Islamten Bond Dames Afdeling cabang
Bukittinggi. Tak salah jika dirinya memiliki keinginan besar untuk
menyampaikan kemerdekaan. Tak jarang dirinya diincar oleh polisi mata-mata
Belanda atas karyanya yang menggunakan banyak nama samaran tersebut.
Sepanjang hasil karyanya, tidak jarang terlihat bahwa tulisan Selasih
masih memiliki bahasa kias, perempuan, dan bahkan pepatah. Alasannya
karena dirinya meyakini bahwa mempertahankan bahasa Indonesia asli yang
berumpun dengan bahasa Melayu merupakan hal yang patut dilakukan oleh
setiap pengarang pada masa itu. Selain itu dirinya merasa memasukkan rasa
pendidikan dan adat istiadat Timur asli kepada pembaca merupakan hal yang
wajib dilakukan
Pada tahun 1989 di sebuah artikel dirinya menyebutkan bahwa bahasa
Melayu saat itu sudah jarang digunakan. Hal ini terjadi karena saat itu banyak
anak muda menggunakan kata-kata yang biasa digunakan oleh orang Jakarta.
Kata sebuah, sebutir, sehelai, seekor, dan seterusnya diganti dengan satu. Tak
heran jika beberapa naskah yang menggunakan bahasa seperti ‘nggak, ogah, li,
gue’ tidak diterima oleh penerbit karena dianggap kata-kata tersebut tidak
9 Anonim, Sariamin Ismail: Pengarang Wanita Angkatan Balai Pustaka, (Jakarta: Pelita, 15 Januari 1986, h. 7, k. 1-9.
34
sopan apalagi jika naskah tersebut akan dicetak secara massal.10 Tentu hal ini
akan membuat penerbit malu menerbitkannya. Pandangan ini mungkin
disebabkan karena dirinya adalah seorang guru yang mengajar selama 43 tahun
dan mengetahui seluk-beluk dunia penerbitan.
Dalam novel Kalau Tak Untung ini, Selasih menggunakan tema
kehidupan manusia yang penuh dengan penderitaan dan kemelaratan.
Penggunaan tema ini bukan tanpa alasan. Dalam acara sastra pada Selasa, 12
September 1972 di Taman Ismail Marzuki dirinya menyatakan tentang
kebenciannya pada Pemerintah ketika itu yang dirasa sewenang-wenang,
seperti: pengambilan tanah-tanah di Sumatra Barat untuk kolonisasi,
pengambilan gedung sekolah untuk asrama polisi, pengambilan tanah dan hak-
hak rakyat untuk jalan raya tanpa ganti rugi, dan sebagainya.
Tema ini diangkat karena menurutnya dengan menggunakan novelnya,
dirinya dapat menyadarkan kepada para pembaca Indonesia kala itu untuk
membuka mata pada ketidakadilan yang telah diterima oleh masyarakat bawah
atas tindakan pemerintah dengan novel sebagai medianya. Selain itu, juga
terdapat tema di mana Selasih mengkritisi perihal tradisi daerah antara tradisi
yang patut diikuti dan harus ditinggalkan.
Lalu pandangan yang sangat menggambarkan dirinya adalah tentang
perempuan. Tak jarang Selasih mengusung tema dengan tokoh perempuan
yang berpendidikan dan berkepribadian keras dalam meraih cita-citanya. Jika
Selasih mengusung tema ini karena jiwa bebas yang dimilikinya dengan
memiliki keinginan keras bahwa perempuan juga bisa meraih apa yang meraka
inginkan. Inilah yang menjadi bukti bahwa Selasih berusaha mengeluarkan
pendapat dan pikirannya dalam novel sebagai wanita terpelajar. Terlebih
Selasih tidak menyukai adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan.
Hingga terjadi satu kejadian dia menuntut kesamaan gaji guru perempuan
dengan guru laki-laki pada masa itu.
10 Sariamin Ismail, Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail (Selasih/Seleguri), (Riau:
Harian Haluan, 20 November 1989), h. 7, k 6-7.
35
Selain itu, dirinya juga berpandangan bahwa perempuan yang tidak
berpakaian sopan, tidak berperilaku baik, dan bertutur kata buruk akan
menjadikan nilai Timur yang sudah melekat pada Indonesia akan menghilang.
Ini dibuktikan dengan dukungan Selasih dalam mempertahankan tata bahasa
Austronesia karena dirasanya sangat sesuai dengan puisi.11 Hal ini didasari
karena kecintaan Selasih pada bahasa tanah air.
Namun sekalipun Selasih memiliki jiwa ketimuran, bukan berarti
dirinya menyukai semua adat istiadat Sumatra sepenuhnya. Dirinya tidak
menyukai pernikahan dengan sepupu dekat semata-mata untuk
mempertahankan kekayaan dengan pernikahan antarsaudara.
C. Sinopsis
Cerita Kalau Tak Untung merupakan cerita dua orang sejoli yang
sampai akhir cerita tidak dapat bersama dengan berbagai halangan. Cerita
dimulai dari kehidupan keluarga Rasmani. Ayahnya seorang datuk dan bekerja
sebagai petani, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dan membantu
suaminya bertani namun memiliki kerja selingan seperti menerima jasa cuci
baju, sedangkan Dalipah adalah kakak pertamanya yang berhenti sekolah
karena biaya tidak mencukupi dan akhirnya membantu ibunya mencari
pemasukan lebih. Di mata masyarakat sekitar, Rasmani terlihat seperti anak
manja. Saat kecil, Rasmani mandi selalu dimandikan oleh ibunya, makan selalu
disiapkan oleh Dalipah, dan berangkat ke sekolah selalu diantar. Sampai suatu
hari ibunya mengantar Rasmani ke sekolah dan bertemu dengan Masrul.
Masrul menawarkan diri untuk berangkat dan pulang sekolah bersama dengan
Rasmani pada Ibu Rasmani, akhirnya Rasmani selalu berangkat dan pulang
sekolah bersama Masrul.
Seiring berjalannya waktu, Rasmani dan Masrul menjalin persahabatan
selama beberapa tahun. Sampai suatu hari Masrul mendapatkan pekerjaan
menjadi juru tulis di Painan. Ibu Masrul tidak rela melepas anaknya merantau
11 Redaksi Harian Haluan, Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail, (Padang:
Harian Haluan, 20 November 1989), h. 7 klm. 6-7.
36
tanpa seorang istri dan Ibu Masrul mengajukan syarat bahwa Masrul harus
menikah dengan Aminah terlebih dahulu. Tapi Masrul menolak karena Aminah
buta huruf. Alhasil, dia membujuk ibunya untuk mengajari Aminah membaca,
menulis, dan lainnya, lalu dua tahun kemudian Masrul berjanji akan menikahi
Aminah. Ibunya pun setuju dengan permintaan Masrul. Setelah di Painan,
Masrul mengirim surat ke Rasmani dengan berisikan permohonan agar
Rasmani mau mengajari Aminah membaca, menulis, dan lainnya. Rasmani
yang membaca surat tersebut merasa terbebani karena sejak kecil, Aminah
selalu merendahkan keluarganya karena keluarga Rasmani miskin. Dengan
perasaan gundah, Rasmani menerima permintaan Masrul.
Pada awal keberadaannya di Painan, Masrul sering menulis surat ke
Rasmani. Sampai akhirnya Masrul dikenalkan dengan Muslina, perempuan
yang sangat cantik, dan menikahinya. Tapi pada hari pernikahannya, orangtua
Masrul tidak hadir karena kecewa pada anaknya yang tidak bisa menepati janji
untuk menikahi Aminah. Masrul tidak menyangka bahwa sesungguhnya
dirinya telah dijebak oleh keluarga Muslina. Reputasi Muslina sudah terkenal
buruk dan mengharuskannya untuk menikah secepatnya. Selama perjalanan
kehidupan pernikahan Masrul dan Muslina, setiap harinya diisi dengan
pertengkaran. Hal ini dikarenakan Muslina tidak puas dengan kinerja Masrul
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Bahkan
sekalipun Masrul sudah bekerja lembur (overwerk) dan memiliki pekerjaan
sampingan. Sering kali Muslina melampiaskan kemarahannya pada Masrul
dengan tidak memasak makanan untuk Masrul, menghinanya, bahkan
memukulnya.
Masrul menyadari dirinya telah jarang mengirim surat ke Rasmani
karena sibuk pekerjaan dan rumah tangganya. Suatu hari Masrul mengirim
surat pada Rasmani yang menanyakan pendapat Rasmani perihal perceraian
dirinya dengan Muslina. Dan Rasmani menjawab bahwa dia menentang dan
kecewa jika Masrul ingin menceraikan Muslina. Sesuai keinginan Rasmani,
Masrul bertahan. Tapi saat usia pernikahan mereka memasuki tahun ketiga,
Masrul dan Muslina bercerai.
37
Saat itu, Masrul memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali ke
kampung halamannya. Sesampainya di Bonjol, Masrul mendatangi rumah
Rasmani untuk berjumpa. Setelah beberapa hari di Bonjol, Masrul memutuskan
untuk merantau lagi dan kali ini dia pergi ke Medan. Masrul mengajak
Rasmani untuk ikut bersamanya, tapi Rasmani menolaknya karena dirinya
berpikir pasti berat rasanya menghidupi dua orang di daerah asing. Akhirnya
Masrul pergi ke Medan seorang diri.
Suatu hari Masrul menerima surat dari Muslina yang meminta rujuk
padanya karena anak dan ayahnya sakit-sakitan, dan ibunya telah meninggal
dunia. Setelah menerima surat tersebut, Masrul memberitahukan hal tersebut
kepada Rasmani. Tentu saja isi surat tersebut membuat Rasmani terkejut. Rasa
putus asa merenggut dirinya hingga akhirnya Rasmani jatuh sakit dan
meninggal dunia. Masrul yang hanya mengetahui Rasmani sakit, terlambat satu
hari sampai di Bonjol karena Rasmani telah tiada. Masrul merasa menyesal
karena surat terakhir yang dikirimnya telah menyebabkan Rasmani mengalami
penderitaan.
38
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih
Unsur pembangun dalam sebuah novel memiliki penjelasan dengan
terperinci dan kompleks jika dibandingkan karya sastra lainnya. Dimulai
dengan perkenalan tokoh, lalu menceritakan situasi dan kondisi dari tokoh
utama, proses menuju konflik, pemunculan konflik dan sampai akhirnya
mencapai penyelesaian yang entah berakhir bahagia atau menyedihkan semua
itu merupakan kesinambungan dari cerita novel yang kompleks. Terlebih
dengan didukungnya unsur pembangun yang berasal dari penulisnya yang
menambahkan nilai kompleks sebuah novel. Salah satu unsur pembangun yang
akan digunakan dalam penelitian sastra ini adalah unsur intrinsik. Unsur
intrinsik adalah penilitian yang dilakukan dengan mengacu pada novel tersebut,
yang artinya merupakan sebuah peneilitian yang objektif. Di bawah ini akan
dijelaskan unsur intrinsik novel Kalau Tak Untung karya Selasih.
1. Tema
Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah cerita
yang tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terlihat jelas, tetapi tema dapat
tersirat dalam berbagai kutipan dialog antar tokoh. Untuk menentukan tema
dalam novel tidak dapat ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita,
tetapi harus membaca keseluruhan cerita dan memahami secara mendalam. Hal
ini dikarenakan tema memiliki sifat yang luas, di mana tema dalam sebuah
novel ide atau gagasan secara keseluruhan yang dicakup menjadi kesatuan.
Selasih seringkali mengangkat cerita tentang ketidakadilan yang
diterima oleh masyarakat bawah, kehidupan masyarakat bawah yang melarat
dan menderita, perempuan yang berpendidikan dan berkepribadian keras dalam
meraih cita-citanya. Namun khusus untuk novel Kalau Tak Untung ini dirinya
terispirasi dari kehidupan seseorang yang dekat dengannya dan menjadikannya
39
sebuah novel yang kompleks akan cerita percintaannya. Kisah percintaan yang
menyedihkan, memilukan dan jujur yang terlihat dengan jelas dalam novel
Kalau Tak Untung karyanya ini menjadikannya terkenal pada tahun 1930-an
dengan penerbit Balai Pustaka. Kisah percintaan yang merupakan ciri dari
penerbitan Balai Pustaka merupakan tema yang umum pada tahun 1920-
1930an, meskipun isi dari cerita berbeda-beda.
Secara teori diketahui bahwa terdapat dua macam tema yang secara
umum diketahui, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah
gagasan umum suatu karya, sedangkan tema minor adalah gagasan atau makna
tambahan yang terdapat dibagian-bagian tertentu dalam cerita. Tema mayor
dalam novel Kalau Tak Untung adalah perbedaan status sosial yang
mengakibatkan gagalnya percintaan para tokoh. Naik turunnya kisah
percintaan para tokoh akan mempengaruhi analisis ambivalensi.
"Tapi aku membunuh orang yang mencintaiku..."1
Terlihat pada ungkapan oleh tokoh utama, Masrul, bahwa cinta dirinya
dengan Rasmani tidak dapat disatukan. Karena halangan dan keegoisan Masrul
yang lebih memilih perempuan lain untuk dijadikan istri. Sehingga saat dirinya
memutuskan kembali pada Rasmani, semuanya terlambat, Rasmani telah
meninggal.
Tema minor dalam novel Kalau Tak Untung yakni perihal perempuan
dan pria dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya untuk lepas
dari kondisi sosial mereka yang tidak mendukung.
“Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagi pula kata orang yang pandai-pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu benar, di keturunannya terjadi yang seperti itu.” 2 Pembuktian dia atas merupakan hasil pemikiran salah satu tokoh, yaitu
Masrul dalam memandang kaumnya. Hal ini mencerminkan pandangan sang
pengarang terhadap lingkungan sosialnya. Namun dalam cerita, tokoh Masrul
1 Sariamin Ismail, Kalau Tak Untung, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 156. 2 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 31.
40
mendapatkan “hukuman” atas kedurhakaannya dengan tidak mendengar
orangtuanya, yang sampai akhirnya hukuman terakhirnya adalah
ketidakmampuannya dalam menentukan pilihan hingga akhirnya kematian
Rasmani menjadi hukuman terbesarnya.
Namun, selain itu juga terlihat adanya tema minor lainnya pada
penelitian ini, yakni gegar budaya. Ambivalensi identitas, di mana tokoh dalam
cerita ingin menjadi manusia yang mampu mengubah kehidupan lamanya
dengan kehidupan yang diinginkannya. Kutipan di atas merupakan salah satu
sikap ambivalensi Masrul untuk mencegah dirinya menikah dengan Aminah
dengan memberikan ilmu sains pada ibunya. Terlihat pendidikan yang diterima
Masrul membuatnya mengeluarkan pendapatnya itu untuk keluar dari
pemikiran konservatif yang dimiliki oleh ibunya.
Dapat disimpulkan bahwa perjalanan sang tokoh utama dalam
percintaan merupakan jalan yang panjang dan menjadikan dirinya menyesali
setiap langkah egois yang diambilnya. Namun Selasih sedikit mengangkat hal
tentang keegoisan manusia yang ingin hidup bebas dengan aturannya sendiri
dan mengangkat permasalahan tersebut dengan menyertakan adanya unsur
pascakolonial membuat menarik pembahasan yang akan dilakukan dalam
penelitian ini.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam novel memiliki peranan penting sebagai pemaparan cerita
dalam sebuah cerita yang menjelaskan runtutan kejadian yang dialami tokoh
dalam novel. Dalam novel Kalau Tak Untung, tokoh utamanya adalah Masrul
dan Rasmani. Mereka memiliki peranan penting dalam memapaparkan jalan
cerita. Selain itu juga terdapat beberapa tokoh tambahan seperti Dalipah, Ibu
Masrul, Orangtua Rasmani, Muslina, dan Aminah. Namun yang akan dibahas
hanyalah tokoh Dalipah dan Ibu Masrul.
a. Masrul
Masrul merupakan salah satu dari tokoh utama di dalam novel Kalau
Tak Untung. Masrul merupakan anak tunggal dari Datuk Marojo. Masrul
41
hidup di sebuah rumah yang sederhana, meskipun untuk golongan orang
Painan, orangtua Masrul termasuk keluarga berkecukupan. Hal ini terlihat
dari cara berpakaiannya.
...diperbaikinya letak jas dan celananya, diperbaiki letak kopaih suteranya, dan barulah ia berjalan pergi ke kantor.3 Meskipun sederhana, namun terlihat bahwa jas yang dimiliki Masrul
menandakan dirinya berasal dari keluarga yang mampu dengan tidak
meninggalkan cirinya sebagai orang muslim dengan kopiahnya. Lalu, ciri
fisik yang dituliskan oleh pengarang dalam novel Kalau Tak Untung adalah
usia Masrul yang berkisar antara 19-24 tahun.
“Ibu, belumlah saya akan beruban dalam umur dua puluh dua tahun, kecuali kalau rambut saya dapat penyakit dan Aminah belum akan tua berumur tujuh belas tahun. Tetapi kalau Ibu minta kurang juga, biarlah saya berjanji dua tahun.” 4 Dari kutipan di atas Masrul berusia 19 tahun dengan sifat penyabar
dan patuh pada orangtuanya. Tipikal seorang pria yang tidak mau
memperpanjang masalah dan lebih memilih untuk mengalah mencerminkan
diririnya memiliki budi pekerti yang baik meskipun dirinya anak tunggal
dari keluarga yang berkecukupan.
Namun hal itu berubah yakni saat dirinya mulai merantau ke Painan
sebagai juru tulis. Tokoh Masrul mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan peristiwa dan plot. Masrul bekerja menjadi
magang jurutulis di kantor negeri selama hampir tiga tahun, dan dia
mendapatkan beslit (surat tugas) di Painan. Di sinilah awal konflik batin
Masrul di mulai. Ibu Masrul berkeinginan untuk menikahkan Masrul
terlebih dahulu sebelum pergi ke Painan. Perempuan yang dinikahkannya
adalah Aminah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Masrul.
Namun beberapa kali menolak permintaan ibunya dengan alasan sebagai
berikut:
3 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 111.
4 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 36
42
“Begini Ibu,” kata Masrul menahan hatinya dan berbuat seperti orang yang sabar benar, “biarlah saya pergi seorang diri sekarang. Pertama saya terpaksa lekas berangkat, kata induk semang saya harus di minggu ini juga. Jadi kalau akan berhelat pula dahulu, tentu tergesa-gesa benar, Ibu juga yang akan payah. Kedua si Aminah masih kecil, belum mungkin dibawa merantau. Ketiga gaji saya masih sedikit, belum cukup untuk saya sendiri apalagi untuk berdua.” 5 Akhirnya Masrul meminta dua tahun untuk menyiapkan diri
Aminah, karena dia tidak ingin memiliki istri yang tidak bisa membaca,
menulis, melakukan pekerjaan rumah, dan menjahit. Dan ibunya setuju.
Setelah mendekati dua tahun Masrul di Painan, dia berkenalan
dengan Ayah Muslina yang dikenalkan oleh Mak Sawiah, induk semangnya
Masrul. Ayah Muslina berkeinginan untuk menikahkan putrinya dengan
Masrul. Masrul sendiri tahu bagaimana rupa Muslina yang cantik nan
rupawan, kecantikannya pun sudah terkenal di Painan. Namun dia juga
memiliki janji kepada ibunya untuk menikahi Aminah setelah dua tahun.
Masrul meminta pendapat Rasmani atas keraguannya dengan
mengumpamakan dirinya dalam suratnya bahwa teman karibnya sedang
mengalami kesulitan dalam menentukan pendamping hidupnya. Dan Masrul
mendapatkan jawaban seperti ini:
“Jadi Kakanda, sahabat Kakanda harus berhati-hati benar dalam pemilihannya, kalau sebenarnya ia tak bermaksud akan beristri dua-tiga, dan hendak beruntung kemudian hari, alangkah buruknya, jika ia sekarang merusakkan hati tunangannya, sedang ia sendiri tak mendapat bahagia yang dikejar itu .... Kakanda, bahagia adalah barang yang tak dapat dilihat dengan mata hanya dirasa ....” 6 Pada awalnya Masrul berkeinginan untuk menuruti nasihat dari
Rasmani. Namun Masrul mengingat wajah Muslina yang rupawan lagi dan
saat mengunjungi rumahnya, nasihat dari Rasmani hilang.
“Bodoh benar aku tak mengharakan kurnia Tuhan, tak memungut durian runtuh,” pikir Masrul dalam hatinya.7
5 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 37. 6 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 76. 7 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 79.
43
Akhirnya, Masrul memutuskan untuk menikahi Muslina. Lalu dia
memberi kabar ke orangtuanya bahwa dia akan menikahi perempuan
pilihannya sendiri dan menolak untuk menikahi Aminah. Ibunya membalas
dengan kekesalan dan kecewa terhadap putranya tersebut karena menikahi
perempuan lain tanpa persetujuan orangtuanya.
“... Bapakmu marah, sebab engkau melampauinya; ia merasa kelangkahan, sebab itu ia tak hendak membuat surat itu dan lain-lain.” 8 Ini adalah awal pembuktian dari sifat Masrul berubah menjadi egois
akan keinginannya sendiri dan mudah terhasut. Perkembangan negatif ini
terjadi karena keinginan Masrul untuk memiliki istri yang cantik dan yang
dipikirnya memiliki budi pekerti yang baik dari keluarga terhormat. Namun
akibat yang terjadi adalah saat pernikahan mereka dilangsungkan, Masrul
merasa asing saat menyadari akan akibat pernikahan yang tidak direstui oleh
orangtuanya dengan tidak ada kerabat yang datang di hari pernikahannya.
Perubahan berlanjut pada kehidupan pernikahan Masrul.
“Ke kedai kopi,” pikirnya sambil meraba sakunya. “Cukup untuk dua, tiga botol bir.” Sambil berpikir demikian ditujukannya langkahnya ke sebuah kedai kopi. Di situ dilihatnya beberapa orang minum. Dengan tak mengacuhkan orang itu, dimintanya sebotol bir.” 9 Kutipan di atas menceritakan saat Masrul mulai memasuki usia 23
tahun, setelah hampir tiga tahun jalinan rumahtangganya dengan Muslina
berlangsung. Pada usia ini, Masrul berubah menjadi sering menghibur diri
dengan bir dan dirinya juga menjadi kasar dan mudah tersinggung. Seperti
halnya dia dalam kutipan berikut:
“Dengan panas dan kesal hati yang tak tertahan-tahan, dihelakannyalah alas meja itu, sehingga semua yang di atasnya jatuh ke lantai dan hancur luluh” 10
8 Sariamin Ismail, Op. Cit, h. 85. 9 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 10 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 100.
44
Hal ini terjadi karena Masrul telah lelah dengan kehidupan
pernikahan yang dia jalani setelah mengetahui bahwa istrinya materialistik
dan penuntut. Padahal dirinya telah mengambil dua pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan Muslina dan anaknya. Hingga akhirnya memutuskan
dirinya dan Muslina untuk bercerai.
Dari perubahan sifat dan sikap inilah yang membuktikan bahwa
tokoh Masrul masuk ke dalam kategori tokoh dinamis. Selain masuk ke
dalam tokoh dinamis, Masrul juga masuk ke dalam kategori tokoh bulat
yang kompleks. Dirinya yang patuh pada orangtua, sesungguhnya dengan
pendidikan yang dimilikinya menjadikan dirinya pribadi yang modern. Hal
ini menjadikan Masrul keluar dari tokoh tipikal dengan cara berpikirnya
yang maju dengan ketidakinginannya untuk menikah dengan seseorang yang
merupakan sepupu jauhnya. Namun karena sifat peragu yang dimilikinya,
membuat dirinya tidak dapat menyatakan secara langsung akan
ketidaksetujuannya akan aturan pernikahan adat yang dipegang teguh
ibunya.
Dalam hubungannya dengan tema, tokoh Masrul dihadapkan pada
pilihan perempuan untuk dijadikan istri yang pada awalnya menyetujui
perjodohannya dengan Amniah, menikah dengan Muslina, dan pilihan
terakhirnya Rasmani. Sikap ambigu yang dialami Masrul sebelum
menentukan pilihannya pada Muslina memperlihatkan psikologi Masrul
yang lemah. Selain itu, jika melihat dari cara berpakaian, ujaran dan
perilakunya menjelaskan bahwa penulisan karakter Masrul melalui teknik
dramatik, yaitu penampilan tokoh cerita secara tidak langsung.Hal ini
menjadikan Masrul merupakan tokoh utama (protagonis) dinamis yang
kompleks.
b. Rasmani
Rasmani merupakan tokoh utama kedua. Alasan dirinya menjadi
tokoh utama kedua adalah karena dari awal cerita dikisahkan tentang
kehidupan Rasmani sejak kecil dan sampai akhir cerita dirinya meninggal
45
dengan alur maju. Rasmani adalah anak kedua dari pasangan Datuk Sinaro
dan Jaura. Keluarga Rasmani masuk ke dalam golongan masyarakat rendah.
Orangtuanya adalah buruh tani dari lahan yang tidaklah besar.
Karena pendapatan mereka yang rendah, Dalipah harus putus
sekolah dan menjadikan Rasmani sekolah. Hal ini dikarenakan adik mereka
lahir dan tidak ada biaya untuk membayar sekolah mereka berdua, alhasil,
Dalipah mengalah. Rasmani mengetahui beban apa yang akan dipikulnya
kelak dan menerimanya. Ciri fisik yang terlihat dalam cerita hanyalah usia
Rasmani yang terlihat pada kutipan berikut.
Rasmani ketika itu berumur lima belas tahun lebih.11
Kisaran usia Rasmani dalam cerita adalah 15-20 tahun menurut
waktu cerita. Dilihat dari keseluruhan penuturan tentang Rasmani, dikatakan
dia adalah anak yang giat belajar demi menjadi guru yang merupakan cita-
cita Rasmani dan menjadikan kehidupan keluarganya menjadi lebih baik
jika dirinya bekerja sebagai seorang guru. Namun masyarakat sekitar
melihat Rasmani sebagai anak yang manja. Alasan dari manja itu karena
saat Rasmani kecil dia terbiasa bangun tidur dibangunkan, mandi
dimandikan, makan disediakan, dan bahkan ke sekolah juga di antar oleh
orangtuanya. Meskipun sesungguhnya Rasmani anak yang sederhana
meskipun dia jarang berada di sawah untuk membantu orangtuanya.
Dalam cerita, Rasmani telah menaruh hati pada Masrul sejak lama
namun Masrul tidak menyadarinya. Sampai akhir cerita cintanya selalu
bertepuk sebelah tangan. Rasmani juga sabar dan tabah saat mendengar
berita bahwa Masrul akan dinikahkan dengan Aminah. Bahkan saat Masrul
meminta Rasmani untuk mengajari Aminah untuk bisa membaca dan
menulis.
“Akan diterimanyakah permintaan Masrul itu? Ia, Rasmani akan mengajar Aminah? Aminah tunangan Masrul? Ia yang selalu dipandang rendah oleh kaum Aminah? Aminah anak orang kaya yang selalu mencemoohkannya?” 12
11 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 21,
12 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 48.
46
Meskipun dalam hati Rasmani berkata demikian, dia tidak bisa
menolak. Dia harus mengajar seorang perempuan yang sama-sama berusia
lima belas tahun tapi dari keluarga sosial lebih tinggi darinya. Namun
Rasmani teringat akan jasa Masrul yang menjadikannya guru bantu
membuat Rasmani dengan berat menerima permintaan Masrul sebagai tanda
balas jasa. Rasmani tahu akan hutang budi, jadi tidak mungkin permintaan
Masrul ditolaknya meskipun itu menyakitkan untuk hatinya. Tapi saat
hampir dua tahun berjalan, Masrul menanyakan perihal menentukan istri
pada Rasmani.
"...Istri akan berleluasa, dan hendak berkuasa dalam sekalian hal. Suami akan tertindis dan tak dapat melakukan keberaniannya. Dalam hal ini kedua belah pihak takkan merasa bertuntung dan akan terjadi perceraian." 13 Namun semua nasihatnya diabaikan Masrul dan dia menikah dengan
Muslina. Sejak hari itu hingga dirinya menginjak usia 20 tahun, Rasmani
giat menjadi guru sekolah negeri di Bukittinggi. Hingga surat dari Masrul
datang yang berkeluh-kesah dan keinginannya bercerai dengan Muslina, tapi
Rasmani melarangnya.
"Pikiran adinda, tak ada hak Kakanda akan meninggalkan istri Kakanda itu, kalau ia sendiri tak minta tinggal. Kesalahannya itu, suatu hal yang dapat berubah." 14 Bukan tanpa alasan Rasmani berubah menjadi mendukung hubungan
tersebut. Rasmani mengkhawatirkan nasib Muslina yang akan menjadi janda
dengan seorang anak yang harus diurusnya, jika Masrul memutuskan untuk
bercerai. Alasan lainnya, Rasmani takut akan menjadi bahan perbincangan
orang sekitar bahwa dirinya menjadi pemicu rusaknya jalinan rumah tangga
Masrul dengan Muslina dan mereka berasal dari status ekonomi sosial yang
berbeda. Maka saat Masrul melamarnya beberapa minggu setelah
perceraiannya, Rasmani menolaknya.
13 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 75. 14 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 119.
47
Dari awal hingga akhir cerita, terlihat bahwa psikologi tokoh
Rasmani lemah terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Masrul
mempengaruhi kondisi fisiknya. Pengarang menjadikan Rasmani sebagai
tokoh yang statis dengan pembuktian adalah dari awal cerita sampai akhir
cerita Rasmani masih mencintai tokoh Masrul bahkan sampai ajal
menjemputnya. Dari seluruh kutipan di atas terlihat bahwa karakter Rasmani
dinyatakan dengan jalan pikirannya menjadikan penampilan tokoh Rasmani
diceritakan dengan teknik dramatik pula.
Kaitan tokoh Rasmani dengan tema adalah dirinya tidak dapat
memiliki Masrul karena Rasmani berasal dari keluarga miskin dan harus
berjuang keras untuk menaikkan derajatnya di mata masyarakat sekitar.
Namun usahanya terasa sia-sia saat mengetahui Masrul menikah dengan
perempuan rantau. Kesedihannya membuat Rasmani berpikir dirinya harus
bertahan hidup demi keluarganya dan ini terlihat dari kesungguhannya
dalam mempertahankan pekerjaannya sebagai guru karena cintanya pada
Masrul terhalang status sosial, kedua hal ini akan mempengaruhi analisis
hibriditas dan ambivalensi tokoh Rasmani.
Kesimpulannya, tokoh Rasmani pada novel Kalau Tak Untung
merupakan pejuang dalam meraih cinta dan pekerjaannya dengan
kerendahan hati yang dimilikinya. Tokoh Rasmani merupakan tokoh utama
(protagonis) tambahan yang masuk ke dalam kategori tokoh statis, di mana
dirinya tidak mengalami perubahan akan perasaan cintanya pada Masrul
meski beberapa kali mengecewakannya dan karakter tokoh Rasmani dalam
novel Kalau Tak Untung dideskripsikan secara tak langsung oleh penulis.
c. Muslina
Diceritakan tokoh Muslina adalah istri dari tokoh utama, yaitu
Masrul yang muncul pada bagian ke tujuh, di mana Masrul melihat sosok
Muslina di beranda (teras rumah) rumah induk semangnya. Terdapat sedikit
pencirian fisik dari tokoh Muslina ini.
48
... Muka itu diganti-ganti oleh sebuah muka yang lain. Muka yang berwarna kuning langsat yang dihiasi mata sebagai bintang timur, hidung yang sebagai dasun tunggal, yang selalu menunjukkan kegagahan dan kelebihannya.15 Selain itu, ciri fisik lainnya seperti usia terlihat pula pada kutipan
berikut.
Dengan tak diketahuinya, matanya terus saja melihat anak itu. Dikira-kiranya umur anak itu tak kurang dari enam belas tahun dan dilihat pakaiannya serta angkuhnya berjalan, nyatalah ia anak orang baik-baik di situ dan anak yang bersekolah jua. 16 Kisaran umur Muslina dalam cerita adalah 16-20 tahun menurut
waktu cerita, dapat dilihat bahwa usia Rasmani dengan Muslina sama.
Selain itu pernyataan di atas menjelaskan pula bahwa Muslina seperti gadis
yang berasal dari keluarga yang cukup berada. Muslina merupakan putri
tunggal dari seorang guru gedang (guru besar) di Painan. Awalnya demi
mendapatkan Masrul, dia selalu bersikap baik dan lemah lembut. Namun itu
semua hanyalah hasutan namun pada kenyataannya sikapnya sangatlah
berbeda.
“Anak itu bertunangan dengan dokter yang baik tampannya, dan khabarnya senegeri dengan dia. Dokter itu tergila-gila kepadanya, ia pun suka kepada dokter itu. Tetapi dalam pada itu ia bersahabat dengan seorang anak sekolah Mulo. Maklumlah anak muda-muda bersahabat. Namanya jadi buruk, sehingga terdengar oleh tunangannya dan familinya. Meskipun tunangannya itu mulanya tak mau menerima anak engku guru lagi, sehingga pertunangan itu diputuskan. Sudah itu ia bertunangan dengan sahabat itu. Famili si sahabat pun tak mau menerimanya meskipun dijadikan perkara oleh engku guru menurut adat. Orang menang, sehingga persahabatan itu pun putus...”17 Kutipan di atas adalah cerita tentang kehidupan percintaan Muslina
dengan beberapa pria sebelum Masrul. Hal ini terjadi karena Muslina
berusaha menaikkan derajatnya lagi dengan bergaul dengan orang MULO.
15 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 63. 16 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 53.
17 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 95.
49
Kutipan di atas juga menyatakan bahwa penulisan karakter Muslina
dideskripsikan secara tidak langsung melalui percakapan orang lain.
"...Laki-laki tak berperasaan! Anak istrinya ditinggalkannya, ia pergi mencari pelesiran di luar rumah, sepanjang jalan raya. Tak tahu berterima kasih. Harta orang dihabiskan. Sudah licin semuanya!"18 Kutipan di atas merupakan kutipan salah satu pertengkaran yang
terjadi pada kehidupan pernikahan Masrul dan Muslina. Hal ini terjadi
karena Muslina merasa kecewa dan marah terhadap Masrul karena
membuatnya hidup kekurangan dan membuatnya katarsis terhadap Masrul
dengan cara menghinanya. Di usia 19 tahun yang menyatakan telah tiga
tahun pernikahan, selama itu tidak ada perubahan pada sikap kasarnya
Muslina. Meski beberapa kali berbaikan dengan Masrul, Muslina akan
kembali mempermasalahkan hal yang sama.
Dengan pernyataan di atas menjadikan Muslina masuk ke dalam
kategori tokoh yang terbuka dengan pembuktian dan penjelasan di atas yang
ditunjukkan dalam penyampaian rasa kecewa dan amarahnya dengan tidak
ragu-ragu dia ungkapkan dalam novel ini. Maka tokoh Muslina dapat
dikategorikan sebagai tokoh statis dengan perilaku buruknya. Namun
terdapat hal yang tidak dapat dipungkiri dengan kehadiran tokoh Muslina
menjadi tokoh pendukung Masrul karena terjadi perubahan perilaku Masrul
dalam cerita dari perkenalannya dengan Muslina hingga pernikahannya.
Hubungan tokoh Muslina dengan tema, tokoh Muslina merupakan
orang ketiga yang berada diantara hubungan Masrul dengan Rasmani
dengan starus sosial yang lebih tinggi daripada mereka. Dengan status
sosialnya menjadikan Muslina ingin bergaul dengan masyarakat sosial yang
lebih tinggi lagi dnegan menjalin hubungan dengan anak yang bersekolah di
Mulo, sekolah bangsawan pribumi. Bukannya mendapatkan anak tersebut,
reputasinya yang malah tercemar. Dalam hal ini terlihat bahwa Muslina
mengalami gegar budaya. Dari seluruh pemaparan di atas dapat dinyatakan
bahwa Musllina merupakan tokoh statis antagonis dengan karakternya yang
18 Sariamin Ismail, Op. Cit.,h. 101
50
superior dan hal ini berkaitan dengan analisis hegemoni dan mimikri pada
penelitian ini.
d. Ibu Masrul
Ibu Masrul merupakan tokoh tambahan dalam novel Kalau Tak
Untung yang mendukung adanya keberadaan tokoh Masrul dan Rasmani.
Digambarkan sosok Ibu Masrul adalah perempuan yang menyayangi putra
semata wayangnya dan memiliki sifat bahwa segala sesuatu yang ada
dipikiran dan benaknya adalah mutlak benar misalnya dalam menjodohkan
putranya dengan gadis pilihannya, Aminah.
"Apalagi yang engkau cari? Si Aminah cukup bagusnya, cakap dan pandai bekerja, ia anak orang kaya, anak mamakmu darah daging Ibu."19 Selain karena keinginan sendiri, dia tidak ingin anaknya menikah
dengan Rasmani, gadis yang status sosialnya berbeda dengan Masrul.
Alasan lainnya dia juga takut anaknya menikah dengan perempuan lain di
Painan. Nyatanya, Masrul memang memilih perempuan lain.
“... Benar ia anak datuk dan kemanakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik ke rumah itu. Tak seperti itu tempat dudukmu. Lagi pula Rasmani tak tahu sebuah juga, manja tak berketentuan. Semua orang mengatakan mereka tak tahu diuntung. Saya suka pada mereka hanya karena baik budinya dan pandai ia membawakan diri. Orang tua Rasmani tentu tak lupa memikat-mikat kamu, supaya mau jadi menantunya dan engkau tentu buta dan pekak karena mulut manis orang” 20 Ibu Masrul merasa memiliki status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang tua Rasmani dengan perkataannya yang “tak
seperti itu rumah dudukmu.” Bahkan di kalimat selanjutnya dirinya lebih
memandang rendah orang tua Rasmani karena menurutnya mereka hanyalah
19 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 30-31.
20 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31.
51
rakyat miskin penjilat yang ingin menghasut putranya. Hal ini menyatakan
bahwa dirinya menjunjung tinggi derajat sosial.
Sifat-sifat yang terlihat dengan jelas dalam novel seperti keras
kepala, memandang rendang orang, dan tidak mau mengakui kesalahannya.
Sikap superior yang ditunjukkan oleh Ibu Masrul, sama dengan Muslina
dalam hal status sosial. Meskipun pada akhirnya dirinya menyadari bahwa
segala prasangka yang dia dapatkan dari perkataan orang-orang dari
lingkungannya adalah salah perihal keluarga Rasmani.
Ibu Masrul menjadi tokoh pendukung keberadaan tokoh Masrul
karena memberikan tekanan pada Masrul perihal janji untuk menikahi
Aminah. Tokoh Ibu Masrul sendiri masuk ke dalam tokoh dinamis. Hal ini
ditunjukkan dari ketidaksukaannya pada Rasmani menjadi menyukainya dan
menyadari kekeraskepalaannya.
Dalam kaitannya dengan tema, Ibu Masrul merupakan salah satu
tokoh yang membuat hubungan Masrul dan Rasmani tidak bisa bersatu
dengan memandang status sosial Rasmani yang rendah. Namun sikap
feodalisme yang ditunjukkan oleh Ibu Masrul berubah setelah melihat
ketulusan Rasmani mengajari Aminah.
"Jika tak mau benar kepada Aminah, Rasmani baik juga rasanya, dari mengambil orang lain, anak rantau," katanya dalam surat. "Apalagi bunda sudah tahu benar perangai anak itu sekarang. Sangat tahu ia akan diri dan sangat hormat. Pendeknya banyak benar kebaikannya, makin lama makin kelihatan." 21 Melihat dari kutipan di atas terlihat bahwa Ibu Masrul menentang
pernikahan Masrul dengan Muslina karena tidak tahu secara langsung
bagaimana rupa Muslina dan Rasmani dapat pula jadi pilihan Masrul.
Dalam hal ini terlihat perubahan pemikiran Ibu Masrul yang tidak menerima
hubungan anaknya dengan Rasmani dulu berubah menjadi mendukung.
Kesimpulannya, Ibu Masrul merupakan tokoh pendukung keberadaan tokoh
Masrul, Rasmani dan Muslina. Dirinya merupakan tokoh tritagonis di saat
21 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 85.
52
seluruh keluarga kecewa dan marah pada Masrul dan tidak menjawab surat
dari Masrul, hanya Ibu Masrul dari pihak keluarga yang membalas surat
putranya dan memberi izin pernikahan Masrul dengan Muslina meskipun
dengan perasaan kecewa. Selain itu, Ibu Masrul juga termasuk ke dalam
kategori tokoh dinamis pada cara pandangnya ke Rasmani.
e. Dalipah
Dalipah merupakan tokoh tambahan dalam novel Kalau Tak Untung,
dia adalah kakak dari Rasmani. Di gambarkan sosok Dalipah merupakan
seorang kakak yang menyayangi adiknya, Rasmani.
“Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani. Iba benar rupanya hati Dalipah melihat adiknya makan dengan garam itu, tetapi apakah yang akan dikatakannya, suatu pun tak ada yang dapat diberikannya untuk pemakan nasi oleh adiknya itu ...” 22 Dalipah juga seorang kakak yang dekat dengan Masrul, bahkan
Masrul sudah menganggap Dalipah adalah seorang kakak perempuan
baginya. Dalipah berhubungan dekat dengan Rasmani. Segala keluh kesah,
bahkan kisah percintaannya dengan Masrul diceritakannya ke Dalipah.
Bahkan sampai saat terakhir, surat yang dituliskan oleh Rasmani untuk
Masrul dititipkan pada Dalipah. Karakter tokoh Dalipah merupakan tokoh
tambahan yang memiliki kasih sayang terhadap keluarganya. Terbukti
dengan rasa kasih sayangnya terhadap Rasmani yang selalu menemani
sampai ajal menjemputnya dan rasa kasihan terhadap orangtuanya yang
tidak bisa meneruskan biaya sekolahnya. Dengan sifatnya itu menunjukkan
Dalipah termasuk ke dalam tokoh statis dan pendukung keberadaan tokoh
Rasmani dari awal hingga akhir cerita.
Kaitannya dengan tema, dirinya mendukung hubungan percintaan
Rasmani dengan Rasmani meskipun dirinya mengetahui perbedaan status
yang menghalangi mereka karena dirinya juga mengetahui kedekatan
22 Sariamin Ismail, Op. Cit, h.10.
53
Masrul dengan Rasmani sejak kecil. Hal tersebut terlihat pada kutipan
berikut.
Dalipah mengetahui perasaan adiknya ketika itu, sebab itu ia berdiri pula dan pergi ke dapur akan menolong Rasmani.23 Namun tokoh Dalipah tidak terlihat bahwa dirinya mendukung
hubungan antara Masrul dengan Muslina. Dalam cerita, tidak terlihat ciri
fisik Dalipah, namun terlihat cara pandang Dalipah yang berbeda, hal ini
terlihat dalam kutipan berikut.
"Masih ingat saya bagaimana ejekan orang ketika Dalipah berumur tujuh belas tahun belum juga kawin. Ketika ia bersuami tepat besar umurnya delapan belas tahun, dikatakan orang ia anak dara tua. Tetapi saya dan mamakmu tak hendak menghiraukan percakapan seperti itu." 24 Kutipan di atas menjadikan Dalipah memiliki karakter yang
penyabar dan tidak terpengaruh dengan pendapat lingkungan sekitarnya.
Dalipah merupakan tokoh tambahan tritagonis di mana dirinya menjadi
penghubung akhir antara Rasmani dengan Masrul dengan memberikan surat
terakhir milik Rasmani. Hal ini menjadikan Dalipah merupakan tokoh statis
dalam hal mendukung hubungan Masrul dengan Rasmani. Tokoh Dalipah
merupakan pendukung keberadaan tokoh Rasmani dan Masrul.
3. Alur atau Plot
Burhan Nurgiyantoro menyebutkan bahwa alur sebuah prosa dapat
diketahui dari berbagai hubungan wacana naratif dengan peristiwa-peristiwa
cerita ke dalam bentuk yang terorganisasikan. Rangkaian peristiwa membentuk
sebab-akibat yang secara kronologis sesuai dengan balutan penceritaan yang
sederhana. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai peristiwa dengan
menggunakan tahapan alur, mulai dari tahap penyituasian, tahap pemunculan
konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks dan tahap penyelesaian.
a. Tahap Penyituasian
Pada permulaan cerita, pengarang menuliskan tentang kehidupan
sehari-hari dari keluarga kecil milik tokoh utama kedua, yaitu Rasmani.
23 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 25. 24 Sariamin Ismail, Op. Cit. h. 25.
54
“Rasmani, Mani! Bangun Nak, bangunlah, hari telah tinggi, engkau akan pergi ke sekolah,” demikian terdengar seru seorang ibu yang sedang menyapu membersihkan rumah kecilnya. 25 Penyituasian kehidupan dari keluarga miskin yang mengawali hari
dengan bekerja membersihkan rumah yang secara umum tentu dilakukan oleh
setiap keluarga. Setelah itu terdapat peristiwa awal pertemuan antara Rasmani
dan Masrul. Disituasikan dalam novel bahwa Rasmani dan Masrul adalah
sepupu jauh yang dikenalkan oleh ibu Rasmani. Sejak saat perkenalan itu,
Rasmani dan Masrul akhirnya mereka menjadi bersahabat dan dekat.
Makin lama makin kariblah persahabatan mereka itu. Masrul merasa canggung kalau tak bersama dengan Rasmani, demikian juga sebaliknya.26 Persahabatan yang mereka jalin dengan adanya hubungan keluarga
menjadikan orang-orang di Bonjol mengganggap bahwa persahabatan mereka
wajar. Pemaparan yang singkat ini menjelaskan setting tempat kedua tokoh
utama dibesarkan di desa yang nyaman dan memiliki keramahtamahan
terhadap tetangga maupun antar saudara. Penyituasian ini membuat beberapa
pembaca mungkin berpikir bahwa tahap ini sedikit terlalu singkat.
Hubungan tahap penyituasian ini dengan tema adalah awal pertemuan
antara Rasmani dengan Masrul ketika mereka masih sekolah sebelum adanya
pandangan akan status sosial. Pada tahap ini dapat dinyatakan sebagai awal
pertemuan antara kedua tokoh utama yaitu Masrul dan Rasmani hingga mereka
menjadi sahabat dekat.
b. Tahap Pemunculan Konflik
Pada pemunculan konflik di awal, terjadi loncatan waktu di mana
Masrul telah berusia sembilan belas tahun, dan sudah magang menjadi jurutulis
di sebuah kantor negeri. Sedangkan Rasmani berusia lima belas tahun dan
sudah magang menjadi seorang guru.
25 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 9. 26 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 19.
55
Hari itu Masrul mendatangi rumah Rasmani untuk bertemu dengan
orangtua Rasmani yang masih merupakan Mamak dan Etek Masrul, dengan
tujuan untuk memberikan berita bahwa dirinya mendapatkan surat tugas dari
Padang untuk pindah kerja ke Painan. Namun ada permasalahan yang
menyertai, yaitu keinginan ibunya untuk membawa Aminah ke Painan, artinya
dirinya diharapkan untuk menikah terlebih dahulu sebelum berangkat ke
Painan.
“Tentang rupanya itu tak tahu saya, Etek, tak pernah saya melihat kebagusannya. Boleh jadi sebab saya tak tahu mana yang dikatakan orang bagus. Masak ajar kata Etek, bagaimanakah orang yang dikatakan masak ajar? Barangkali artinya: ia tak perlu diajar lagi? Diletakkan huruf sebesar-besar induk kerbau di hadapannya takkan dapat dibacanya.”27 Masrul yang memiliki pandangan modern, tentu menginginkan seorang
yang berpendidikan meskipun hanya bisa membaca dan menulis. Pandangan
ini juga dimiliki oleh Ibu Rasmani. Tapi Aminah tidak dapat membaca dan
menulis yang menjadikan nilai negatif untuknya. Baik Mamak dan Eteknya
mengusulkan untuk menerima keinginan ibunya itu namun hati Masrul ragu
untuk menjadikan Aminah sebagai istrinya, sedangkan di sisi lain Rasmani
bersembunyi untuk mengeluarkan tangisannya. Pria yang selama ini
dicintainya telah dijodohkan dengan Aminah. Sejak pulang dari rumah
Rasmani, Masrul terus-menerus mendapat tekanan dari ibu kandungnya untuk
segera menikahkan Aminah. Lelah dengan paksaan ibunya, akhirnya Masrul
setuju untuk menikah dengan Aminah namun dengan menetapkan syarat-syarat
bahwa Aminah harus bisa membaca, menulis, merajut, dan sebagainya. Setelah
dua tahun dirinya akan menikahkan Aminah. Ini adalah pemunculan konflik
tahap pertama.
Pemunculan konflik tahap kedua terjadi saat Masrul telah pindah ke
Painan dan tinggal di tempat seperti indekos atau pemondokan. Masrul kenal
dekat dengan induk semangnya. Suatu hari dirinya dikenalkan pada seorang
Engku Guru gedang (besar) yang memiliki seorang putri yang cantik jelita dan
27 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 27.
56
menginginkan Masrul sebagai suami bagi putrinya. Terlihat pada ujaran istri
Engku Guru gedang di bawah ini.
“Sudah dua kali orang disuruh Engku Guru gedang datang kemari, tetapi rupanya belum dapat Engku memutuskan. Karena anak kami telah besar, tak dapatlah kami menanti lama, itulah saya datang sendiri akan menanyakan pikiran Engku...”28 Masrul sendiri bukanlah pria munafik yang tidak melihat kecantikan
dari putri Guru Gedang itu, menggugah hati Masrul karena kerupawanan
Muslina. Demi kepentingan putrinya, orang tua Muslina mendatangi Masrul ke
pemondokannya dan berbicara serius untuk mendapat jawaban dari Masrul
tentang keinginan orang tua Muslina untuk menikahkan Masrul dengan putri
semata wayangnya itu.
Pada tahap pemunculan konflik ini, hubungannya dengan tema adalah
terlihat usaha Masrul untuk lepas dari ikatan pernikahan dengan Aminah,
perempuan yang dijodohkan olehnya dengan perkenalan dan pertemuannya
keluarga Muslina. Masrul dihadapkan oleh pilihan antara Muslina, Aminah
atau Rasmani dengan latar sosial yang berbeda-beda.
c. Tahap Peningkatan Konflik
Di tahap peningkatan konflik ini adanya keraguan dalam diri Masrul
akan dirinya sendiri. Tahapan ini berkembang menjadi pertentangan yang
terjadi pada diri Masrul.
Muka Rasmani terbayanglah pula di matanya, kemudian muka Aminah dan sebentar lagi muka Muslina, kembang yang amat bagus itu.29 Keraguan ini memicu Masrul menulis surat kepada Rasmani dan
menanyakan perkara ini dengan mengarang cerita bahwa temannya yang
sedang mengalami permasalahan tersebut, tapi Rasmani tahu bahwa Masrul
berbohong. Rasmani pun menuliskan balasan untuk mengikuti permintaan
orangtuanya untuk menikah dengan wanita yang telah dijodohkannya.
28 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 65.
29 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 68.
57
Sesaat Masrul memikirkan dan menyetujui saran dari Rasmani, namun
tak ayal Masrul masih memikirkan Muslina yang cantik rupawan itu
menginginkan menikah dengannya. Sampai Masrul dibutakan oleh kelebihan
yang dimiliki oleh Muslina dalam kutipan berikut.
"Bodoh benar aku tak menghargakan kurnia Tuhan, tak memungut durian runtuh", pikir Masrul dalam hatinya. 30 Terlihat pada kutipan di atas keraguan Masrul menghilang dan dirinya
memutuskan untuk memilih Muslina dan secara langsung Masrul menolak
perjodohan dirinya dengan Aminah. Demi kesopanan, Masrul menuliskan surat
permohonan maaf pada orangtuanya, Aminah dan keluarganya, dan pada
Rasmani pula. Alasannya karena pertama Masrul tahu Rasmani mencintainya
yang terlihat dari surat-suratnya. Tentu saja surat yang Masrul kirimkan ke
orangtuanya dan orangtua Aminah membuat mereka marah karena mereka
merasa 'kelangkahan' atau jika dipaparkan dengan bahasa yang mudah
dipahami adalah rasa direndahkan karena Masrul memilih menikah dengan
orang lain padahal dirinya yang sudah berjanji namun mengingkar. Namun
sebagai orangtua, Masrul mendapatkan restu orangtuanya meskipun dengan
setengah hati bersama perasaan kecewa mereka pada putra tunggalnya itu.
Setelah pernikahan terlaksana, Masrul memiliki penyesalan akibat dari
keegoisannya tersebut dengan memilih istri di luar keinginan orang tuanya.
Hai alangkah bagus pakaianmu... alangkah tampan gayanya engkau sebagai mempelai ... tetapi siapa melihat itu? ... Mana ibumu ... mana ayahmu ... mana ninik mamakmu yang akan tersenyum melihat engkau turun tangga? Hai mana ipar besanmu yang akan menganggu dan mengucapkan gurau sendanya ... 31 Dirinya menyadari bahwa pernikahan diam-diam yang dilaksanakan itu
tidak ada satu pun keluarga Masrul yang datang di hari pernihakannya dan
pada saat terakhir, Masrul berpikir mungkin akan baik jadinya jika dia memilih
Rasmani. Bila Masrul berkehendak pasti orangtuanya akan menerima. Pada
bab sepuluh ini merupakan bagian dalam novel yang menyatakan bahwa tokoh
30 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 79. 31 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 87.
58
Masrul masuk ke dalam kategori tokoh dinamis. Dengan penulisan cerita lewat
tokoh Masrul dan Rasmani memperlihatkan gegar budaya yang dialami tokoh
Masrul karena perbedaan latar cerita yang akan dijelaskan pula dalam analisis
hibriditas dan ambivalensi.
Kaitan dengan tema, di tahap ini memperlihatkan Masrul memilih
perempuan dari status sosial dan pendidikan yang lebih tinggi darinya terlebih
Muslina lebih cantik dibandingkan Aminah dan Rasmani. Selain itu, kenaifan
Masrul yang menganggap keluarga Muslina adalah keluarga terhormat juga
menjadi salah satu alasan dirinya memilih Muslina pula. Namun di lain pihak,
Rasmani merasa sedih dan kecewa karena Masrul melanggar janji dan
mengabaikan amanat darinya.
d. Tahap Klimaks
Pada tahap klimaks ini adalah tentang kesengsaraan dan penderitaan
yang dialami tokoh utama dengan jalan kehidupan yang dipilihnya beserta
dengan usahanya untuk lepas dari penderitaannya tersebut. Tahap ini diawali
pada saat terdapat dua orang sedang membicarakan tentang Masrul dan
Muslina. Bagian tersebut diketahui bahwa nama baik Muslina telah tercemar
dan keluarganya menjebak Masrul agar mau menikah dengan Muslina. Hal ini
terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Engku itu betul-betul telah masuk perangkap. Engku guru gedang dan istrinya orang yang manis mulut benar. Dengan mudah ia menjalankan taktiknya, sehingga seorang kena jeratnya.” 32 Loncatan waktu tiga tahun dengan memperlihatkan pernikahan Muslina
dengan Masrul telah memasuki tahun ketiga dan telah memiliki seorang putra.
Kehidupan pernikahan yang diidamkan Masrul menjadi keluarga yang
harmonis berubah menjadi bencana bagi Masrul. Perempuan yang dikira
Masrul berpendidikan tinggi, nyatanya adalah seorang istri yang tidak lulus
sekolah dengan nama buruk menyertainya karena saat dirinya sudah
32 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 94.
59
mempunyai tunangan seorang dokter, dia berani untuk menjalin hubungan
dengan pria lain.33 Dari masalah inilah orang tua Muslina menghasut Masrul
untuk menikah dengan putri mereka.
“Pulang. Ah, mengapa aku pulang, hari baru pukul tengah sebelas?” “Ke kedai kopi,” pikirnya sambil meraba sakunya. “Cukup untuk dua, tiga botol bir.” Sambil berpikir demikian ditujukannya langkahnya ke sebuah kedai kopi.34 Kehidupan Masrul telah berubah setelah menikah dengan mengabaikan
waktu pulang, bahkan dirinya meminum minuman haram hanya untuk
ketenangan dirinya. Tidak hanya itu, dirinya juga mengabaikan sholat yang
dahulu sangat rajin dilakukannya. Hal ini dikarenakan dirinya merasa tertekan
dengan kehidupan rumah tangganya bersama Muslina. Istri yang dianggapnya
alim ternyata mampu untuk memukul dirinya dengan kayu, mengeluarkan kata
keji bahkan mengumpat dan menyumpah. Terlebih dirinya selalu dipandang
rendah oleh istrinya itu, hal ini terjadi karena rumah dan segala perabotan yang
berada di rumah yang membeli adalah mertua Masrul. Sebagai kepala rumah
tangga, di mata Muslina, Masrul merupakan pria yang tidak bisa diharapkan.
Masrul terus ke meja makan dan istrinya ke bilik tidur. Tetapi apakah yang didapati Masrul di atas meja itu? Cambung nasi, piring sambal semuanya tertelengkup. Meja dan alasnya telah sekotor-kotornya. Dengan panas dan kesal hati yang tak tertahan-tahan, dihelakannya alas meja itu, sehingga semua yang diatasnya jatuh ke lantai dan hancur luluh.35 Kutipan di atas memperlihatkan karakter sifat Masrul menjadi mudah
tersulut amarah, dan sisi lain Muslina yang terbiasa hidup serba ada dan tidak
terbiasa untuk hidup hemat, memberikan peringatan untuk Masrul karena tidak
mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan putranya. Masrul bahkan sudah
mengambil dua pekerjaan dan memberikan sebagian besar gajinya pada
33 Lihat catatan kaki nomor 17.
34 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 35 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 100.
60
Muslina namun bagi Muslina semua itu masih belum cukup dan menuduh
Masrul tidak memberi semua gajinya dan menghabiskannya untuk berjudi.
Lelah bertengkar, Masrul memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan
sampai ke tepi laut dan tidur di bangku panjang di sekitarnya. Bangun ke
esokan paginya dan berangkat ke kantor dengan menggunakan pakaian yang
sama. Siang harinya, Muslina mendatangi kantor Masrul dengan membawakan
makanan dan meminta maaf pada Masrul, tapi itu hanya berlaku untuk
beberapa hari dan Muslina akan kembali berperilaku kasar lagi padanya.
Karena kekesalan hati dan kecewa, kata-katanya pun tak ditahannya lagi, bahkan berani ia menampar istrinya, kalau istrinya marah-marah dan mencaci-caci dia. Sehingga acap kalilah terjadi perkelahian di antara keduanya, yang belum pernah terjadi sampai waktu itu.36 Sebagai pria, ayah dan kepala keluarga, tentu Masrul memiliki harga
diri dan kehadiran dirinya dalam rumah tangganya dihormati. Kenyataannya
psikologis seorang pria memiliki harga diri yang tinggi karena ingin dihormati
oleh anak dan istrinya. Masrul merasa harga dirinya terhina membuatnya
memilih untuk menceraikan Muslina.
Pada tahap klimaks ini, terlihat kestatisan tokoh Muslina dengan
perlakuannya terhadap Masrul. Selain itu, kedinamisan tokoh Masrul juga
terlihat pada tahap ini karena pengaruh kehidupan pernikahannya dan tekanan
dari keadaan sekitarnya. Jika berkaitan dengan tema, pada tahap klimaks ini
Masrul mengalami masa di mana dirinya menyesal telah memilih Muslina
sebagai istrinya dengan melihat dari status sosial Muslina yang lebih tinggi dari
Rasmani. Pada tahap ini Rasmani memiliki perubahan pandangan saat dirinya
tidak menyetujui pernikahan Masrul dengan Muslina, menjadi mendukung saat
Masrul mulai meragu dengan pernikahannya dan ingin menceraikan Muslina.
Hal ini Rasmani lakukan karena selain mengkhawatirkan Muslina dan anaknya,
dirinya juga mengetahui bahwa percintaannya dengan Masrul tidak akan
pernah ada karena status sosialnya yang berada di bawah Masrul.
36 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 119.
61
e. Tahap Penyelesaian
Di tahap penyelesaian ini kedua tokoh utama bertemu kembali. Pada
tahap ini dengan jelas menyatakan bahwa Masrul mengetahui Rasmani
mencintainya, begitu pun sebaliknya. Namun sayang takdir berkata lain.
Setelah bercerai, Masrul memutuskan untuk kembali ke kampungnya
dan tinggal bersama ibunya sampai dirinya mendapat pekerjaan di tempat lain.
Selama tinggal di rumah orang tuanya, Masrul menjalin hubungan kembali
dengan Rasmani dengan sering berkunjung ke rumah Rasmani. Tak lama
kemudian Masrul mendapatkan pekerjaan di Medan, Masrul memutuskan
membutuhkan tempat yang berbeda untuk menenangkan jiwanya dan menjauhi
Padang sebagai tempat untuk mencari pekerjaan karena di sana dirinya
mengingat penderitaan yang telah dialaminya.
”Biarlah abang berkata terus terang, buka kulit tampak isi, supaya lekas kita sampai kepada yang dimaksud. Mani, jika baik untung abang, jika takdirnya abang dapat pekerjaan yang sesuai dengan abang, maukah engkau menurutkan abang ke Medan?”37 Masrul menginginkan Rasmani ikut dengannya ke Medan, namun di
tolak. Rasmani tidak menginginkannya karena dirinya tidak terbiasa hidup
berumahtangga, Rasmani lebih suka mengajar. Terlebih Rasmani pikir jika
Masrul menginginkan dirinya untuk ikut ke Medan hanya semata-mata merasa
kasihan kepadanya karena dahulu cinta yang telah lama diberikannya
dihiraukan oleh Masrul, Rasmani memilih menolaknya. Selain itu, Rasmani
juga takut akan terlihat seperti perusak rumah tangga Masrul oleh orang
sekitar. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.
“Ah apa salahnya kau kuterima saja, permintaan Bang Masrul. Bukankah orang kampungku sendiri tahu bahwa pertalian kami telah lama, telah dari kecil. Apa pusingku dengan percakapan orang lain yang tak kukenal .... Mengapa aku harus menderita seumur hidup, sedang aku tak bersalah.” 38 Permasalahan status sosial mereka yang tidak sederajat, membuat takut
Rasmani akan pandangan masyarakat sekitar jika dirinya dan Masrul menikah,
37 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 135.
38 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 126
62
bukan hanya keluarganya yang akan dicerca, tapi keluarga Masrul juga.
Menerima penolakan tersebut, akhirnya Masrul memutuskan untuk berangkat
ke Medan sendiri.
Tiap pekan Masrul dan Rasmani saling mengirimkan surat. Dari saat
Masrul hanya menjadi pembantu temannya yang telah bekerja tetap Tapi di
surat-surat Masrul tidak menyinggung soal permintaannya dia kepada Rasmani
untuk tinggal bersamanya. Surat yang Masrul kirim juga mulai dingin. Hal ini
membuat Rasmani kecewa dan kehilangan kepercayaan. Sampai akhirnya
dirinya memiliki penyakit jantung saat dia menerima surat dari Masrul.
“Sampai sekarang kakanda belum mendapat pekerjaan yang berarti. Tetapi itu belum mengapa, bukankah engkau masih mau menanti? Ada lagi yang menghalangi maksud kita. Kakanda mendapat surat dari Muslina minta kembali pada kakanda, mengatakan anak kami sakit-sakit dan ibunya telah meninggal.”39 Masrul mengirimkan surat permohonan maaf karena ternyata selama
berbulan-bulan Masrul berpikir untuk kembali kepada Muslina karena ayah
mertua sakit-sakitan dan ibu mertua telah meninggal. Selesai membaca surat
tersebut, Rasmani kehilangan harapannya. Tiga hari kemudian dirinya jatuh
sakit, namun menjadi lebih baik saat Dalipah pulang ke rumah. Saat itulah
Rasmani menerima surat lagi dari Masrul. Tertulis dalam surat Masrul bahwa
dirinya berbohong pada surat sebelumnya karena dia belum mendapat
keputusan sebagai pekerja tetap dan membuatnya ragu untuk membawa
Rasmani untuk tinggal bersamanya di Medan. Berita baik ini malah membuat
Rasmani sakit parah.
Surat yang membawa kabar baik itu, rupanya lebih mengejutkan Rasmani dan lebih merusakkan jantungnya yang telah luka itu, dari surat yang dahulu. Karena sesudah ia membaca surat itu ia jatuh pingsan, dan di hari yang berturut penyakitnya bertambah keras, sehingga mendatangkan cemas kepada orang yang berkelilingnya. Sesudah beberapa hari ia sakit keras itu, dibuatlah surat oleh Dalipah. 40
39 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 142. 40 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 145.
63
Setelah mendapat surat dari Dalipah, Masrul pulang namun dirinya telat
satu hari karena Rasmani telah meninggal. Masrul menyesal karena tidak
datang lebih cepat, jika dia datang sehari sebelumnya, mungkin dirinya masih
bisa berjumpa dengan Rasmani. Masrul merasa ketiadaan Rasmani di dunia ini
adalah sebagai hukuman yang harus diterimanya karena menyia-nyiakan
Rasmani yang selama ini sudah mencintainya. Penyelesaian cerita Kalau Tak
Untung ini penulis menjelaskan secara tersirat bahwa nasib kedua tokoh
tersebut “Tak Beruntung”. Masrul yang telah menghamburkan hidupnya
dengan berlandaskan keegoisan membuatnya tidak mendapatkan perempuan
yang mencintainya, sedangkan Rasmani juga tidak beruntung karena dirinya
tidak bisa memiliki pria yang dicintainya dan terus-menerus merasa kecewa
pada Masrul. Hubungan tahap penyelesaian ini dengan tema terlihat pada kisah
cinta Rasmani dan Masrul yang hingga akhir tak dapat bersama karena satu
alasan, yakni status sosial.
Setelah melakukan penelitian tahap demi tahap cerita, maka dapat
disimpulkan bahwa penulisan cerita novel Kalau Tak Untung ini menggunakan
alur maju progresif karena peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat
kronologis. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, tengah dan akhir
dengan penyelesaian cerita yang tertutup, artinya keadaan akhir sebuah cerita
fiksi sudah selesai. Namun bukti adanya kedinamisan pada beberapa tokoh
yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, baik itu tradisi maupun lingkungan
akan menjadi analisis pada penelitian ini.
4. Latar atau Setting
Sebuah cerita fiksi akan menampilkan secara garis besar kehidupan
tokoh-tokoh dalam suatu karya fiksi yang secara mengalir masuk ke dalam
permasalahan kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Tentunya permasalahan
tersebut memiliki landasan seperti halnya di mana, kapan, dan pada kondisi
sosio-budaya apa yang dipaparkan. Keberadaan latar akan memperjelas akan
adanya kesan realistis suatu karya sastra kepada pembaca. Di bawah ini adalah
64
analisis latar novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan menggunakan teori
Burhan Nurgiyantoro.
a. Latar waktu
Latar waktu dalam novel Kalau Tak Untung ini tidak memperlihatkan
peristiwa sejarah secara tertulis dalam cerita. Namun dari gaya bahasa dan
penggunaan bahasa lampau menjadikan ciri bahwa cerita ini ditulis pada zaman
kolonial. Meskipun begitu, ada bukti penggambaran yang menjadikan latar
waktu terlihat dalam cerita.
“... Tetapi dalam pada itu ia bersahabat dengan seorang anak sekolah Mulo. Maklumlah anak muda-muda bersahabat ...” 41 Penyebutan adanya sekolah MULO di dalam cerita menjadikan latar
waktu cerita Kalau Tak Untung ini terjadi sebelum perang terjadi, di mana saat
itu pemerintahan masih dikuasai oleh koloni. Seperti yang diketahui, sekolah
MULO (Meeruitgebreid lager Onderwijs) didirikan pada tahun 1914 untuk
orang-orang Indonesia golongan atas, orang-orang Cina, dan orang-orang
Eropa yang telah menyelesaikan sekolah dasar mereka. Jika disetarakan dengan
pendidikan sekarang, sekolah MULO sama dengan Sekolah Menengah
Pertama (SMP).42
Dari mengetahui latar waktu ini, kita dapat mengetahui tentang cara
berpikir orang zaman dahulu perihal penduduk desa tidak tertarik pada
pendidikan yang lebih tinggi dan jarang yang kuat membayar uang sekolah
karena keterbatasan materi yang hanya cukup untuk menghidupi kehidupan.
Kemudian terdapat latar lainnya yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung
ialah:
“Rasmani, Mani! Bangun Nak, bangunlah, hari telah tinggi, engkau akan pergi ke sekolah,” demikian terdengar seru seorang ibu yang sedang menyapu membersihkan rumah kecilnya. 43
41 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 95. 42 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. dari A History of Modern Inonesia since 1200 Third Edition oleh Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 333. 43 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 9
65
Selasih menggunakan penggambaran latar waktu yang berfungsi untuk
memberikan kesan terhadap suasana cerita dalam novel. Seperti halnya pada
kutipan di atas yang menggambarkan latar pada pagi hari yang identik dengan
kesan semangat untuk memulai hari dan terasa tepat untuk permulaan pada
sebuah cerita..
Pada suatu petang Rasmani tinggal seorang diri di rumah. Dia gelisah, hatinya tak senang dan darahnya gedebak-gedebur. Bermacam-macam pikiran memenuhi kepalanya. 44 Gambar kerisauan tercermin pada waktu petang hari. Perpaduan antara
gelap dan terangnya langit menjadi perumpamaan waktu yang tepat untuk
memberikan kesan perasaan akan terjadinya sesuatu hal yang besar yang
berawal dari kecurigaan atau perasaan lainnya.
Hari bagus cuaca terang. Bulan memancarkan cahayanya dengan lemah ke seluruh bumi. Langit bersih, seawan pun tak kelihatan, cakrawala ditaburi oleh bintang yang indah itu. Alam hening sebagai tidur bersama makhluk yang menghentikan lelah pada malam yang tenang itu. 45 Selain pagi hari, pengunaan latar waktu pada malam hari seperti
menggambarkan kepedihan dan penyesalan seperti saat Masrul harus tidur di
kursi taman karena bertengkar dengan Muslina atau saat malam ketika Masrul
mengetahui Rasmani telah tiada untuk memperjelas perasaan pilu yang dialami
tokoh.
Dapat dilihat dari waktu cerita Selasih menggunakan waktu yang cukup
panjang yakni kurang lebih selama 5 tahun. Namun yang diperlihatkan
hanyalah kejadian-kejadian yang ingin ditunjukkan dan menggunakan hampir
sepanjang hayat tokoh Rasmani dengan siasat teknik penceritaan yang dibuat
padat. Durasi cerita dibagi dalam beberapa babak, dari segi tokoh Masrul,
yakni ketika dirinya berusia 19 tahun, 21 tahun, dan 24 tahun. Kaitannya
dengan tema memperlihatkan perkembangan dari pemikiran tiap tokoh dengan
pengalaman mereka masing-masing. Perkembangan ini akan mempengaruhi
analisis hibriditas dan ambivalensi.
44 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 37. 45 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 106.
66
b. Latar tempat
Latar selanjutnya yakni latar tempat yang sebagian besar digambarkan
di Sumatra Barat. Latar tempat ini sama dengan tempat di mana Selasih lahir
hingga tahun 1925. Beberapa tempat lainnya merupakan tempat yang pernah
ditinggali oleh sang pengarang.
"Di Bonjol. Engku, sebuah kampung kecil di antara Bukittinggi dengan Lubuksikaping" 46
Bukti di atas memberitahukan tempat Masrul berasal yang menjadi
lokasi awal dimulainya cerita. Tempat Masrul dan Rasmani tumbuh bersama
sejak kecil. Melihat pada kutipan, dapat diketahui sebagian besar cerita berlatar
di Sumatera.
"Di Painan, Mak. Tak jauhkah itu pada pikiran Mamak?"47
Kota berikutnya yang disebutkan sesuai dengan alur cerita adalah
Painan, tempat Masrul merantau dan bertemu dengan Muslina. Di mana
kegalauan Masrul untuk memilih Aminah dan Muslina untuk dijadikan
istrinya.
"... Kota Padang yang tadinya hiruk-pikuk telah mulai hening."48
Kota selanjutnya adalah Padang, di mana Masrul dan Aminah menjalani
kehidupan rumah tangga mereka yang berakhir perceraian. Setelah perceraian
bagi Masrul kota Padang merupakan kota yang penuh dengan tekanan batin
sehingga Masrul memilih untuk menghindari kota Padang karena akan
mengingatkannya pada pernikahannya yang tidak harmonis. Justru terlihat
melelahkan jiwa dan raganya.
"Kusangka Bang Masrul telah di Medan dan tak akan pernah bertemu lagi dengan saya seumur hidup" 49
Pelarian Masrul ke Medan berdasarkan pada keinginannya memulai
kehidupan yang baru bersama Rasmani. Namun Rasmani menolaknya karena
46 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 99. 47 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 23. 48 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 97. 49 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 134.
67
dirinya takut akan memiliki nasib yang sama dengan Muslina dan ditinggal
oleh Masrul, terlebih di kota yang tidak Rasmani kenal. Bahkan sanak saudara
pun tak ada. Pada akhirnya Masrul pergi sendiri ke Medan. Melihat dari
perpindahan latar tempat dari satu kota ke kota lainnya terlihat mempengaruhi
kondisi psikologi Masrul yang memperlihatkan perubahan cara berpikir ketika
dirinya jauh dari orangtua hingga akhirnya dia memilih perempuan dari status
sosial yang lebih tinggi darinya,50 sehingga hal ini akan berpengaruh pada
analisis hibriditas dan ambivalensi.
c. Latar sosial
Latar terakhir yakni latar sosial yang sejak awal hingga akhir cerita
berlatar sosial masyarakat Sumatera. Dalam latar sosial ini Selasih membuat
dua masyarakat sosial yang berbeda.
"... Si Aminah cukup bagusnya, cakap dan pandai bekerja, ia anak orang kaya, anak mamkmu darah daging ibu." 51 Pernikahan dengan saudara sepupu menjadi hal yang wajar terjadi pada
saat itu. Selain orangtua sudah kenal satu sama lain, mereka juga
mempertahankan garis keturunan dan warisan keluarga. Namun hal ini
ditentang oleh pandangan Masrul.52 Kenyataannya, pernikahan yang masih
merupakan saudara dekat akan meningkatkan kemungkinan cacat pada anak
mereka kelak. Semakin mirip DNA yang dimiliki pasangan akan semakin besar
kerusakan gen yang sama.53 Nilai sosial satu ini erat dengan adat Minangkabau
dan Selasih menentang nilai adat ini dan menuangkannya dalam pemikiran
Masrul. Hal ini dilakukan semata-mata ingin menyadarkan masyarakat
Minangkabau saat itu bahwa belajar membaca dan menulis merupakan hal
penting untuk memperluas wawasan mereka.
Selain pernikahan, terdapat sosial lainnya yang menunjukkan bahwa
latar Minangkabau sangat kental dalam novel Kalau Tak Untung. Seperti
50 Lihat halaman 57-59. 51 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31 52 Lihat catatan kaki nomor 2. 53 Teguh Haryo Sasongko, Bolehkah menikah dengan sepupu? dalam https://health.detik.com/konsultasi-genetika/1874259/bolehkah-menikah-dengan-sepupu diunduh pada Kamis, 22 Maret 2012 pukul 11.53 WIB.
68
halnya merantau yang dilakukan oleh Masrul yang berawal dari Painan,
Padang, dan Medan. Hal ini merupakan tradisi yang sudah umum terdengar
oleh orang Indonesia, bahwa merantau merupakan proses interaksi masyarakat
Minangkabau dengan dunia luar.
Selain itu, terdapat beberapa kata atau panggilan terhadap saudara yang
digunakan masyarakat Minang yang berbeda dengan bahasa Indonesia pada
umumnya. Seperti halnya bahasa Jawa, panggilan untuk paman tertua itu Pak
De. Dalam bahasa Minang, menggunakan kata Mamak untuk mengacu pada
paman dari keluarga ibu. Kewajiban Mamak pada kemenakan sendiri sama
seperti kewajiban ibu pada anaknya karena bertujuan untuk mempertahankan
harta pustaka keluarga. Sedangkan panggilan untuk Etek, ditujukan pada
saudara perempuan ibu atau istri dari Mamak. Karena pernikahan di Minang
antar sepupu menjadikan ruang lingkup keluarga mereka kecil dibandingkan
pernikahan berbeda adat. Harta pusaka itu dapat berupa perhiasan, rumah,
ataupun tanah. Orang Minang berpegang teguh bahwa harta pusaka harus
dijaga dan itu merupakan tugas Mamak tertua dan Mamak lainnya, seperti
dalam pepatah patah tumbuah hilang baganti, harto pusako dijago juo. Jika tak
dapat menjaganya atau menjualnya, akibatnya seumur hidup dan keturunannya
akan sengsara. Kaitannya dengan tema, latar sosial dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran tokoh dalam hal waktu dan tempat, sehingga
menjadikan tokoh berusaha beradaptasi dengan setiap lingkungan yang
berbeda. Tanpa disadari, usaha untuk diakui di lingkungan asing membuat
tokoh mengambil keputusan yang keliru. Usaha dan keputusan akan menajdi
dasar analisis hibriditas dan ambivalensi dalm penelitian ini.
Dapat disimpulkan, bahwa latar atas tiga, yakni dari latar waktu yang
terlihat dari segi pendidikan, latar tempat di Sumatera Barat, dan latar sosial
Minang yang dipengaruhi latar waktu dan latar tempat. Dengan adanya latar
sebagai atmosfer cerita, mampu mendeskripsikan suasana ceria, romanik, sedih
dan lainnnya dengan imajinasi dan kepekaan emosional. Hal ini berfungsi
mendukung elemen-elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang
mempersatukan.
69
d. Sudut Pandang atau Titik Pandang
Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang membawakan cerita atau
narator. Pengarang menceritakan peristiwa dengan menggunakan sudut
pandangnya dengan pemilihan sudut pandang yang tepat akan menjadikan
cerita menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga
tujuan yang diharapkan dari pengarang pada pembaca dapat tersampaikan.
Dalam novel Kalau Tak Untung pengarang menggunakan sudut pandang orang
ketiga atau omniscient narrator. Hal ini dibuktikan dengan penyebutan nama
tokoh dalam teks narasi dalam novel dan tertulisnya isi dari pikiran pada setiap
tokoh.
Surat Rasmani tak dibalasnya. Dalam hatinya, “Sudahlah, ini yang disukai Rasmani rupanya, ini tandanya ia cinta, ia berkehendak aku melarat, ia beringin aku menderita, ia mau aku terperosok ke lubang dalam, ke jurang kesengsaraan ....”54 Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, pengarang lebih
bebas menggambarkan tokoh-tokohnya dan menceritakan segala bentuk
peristiwa yang ada dalam cerita dengan mengetahui segala isi pemikiran dari
setiap tokohnya. Pengarang menggunakan sudut pandang ini dengan tujuan
membuat pembaca mengetahui mengetahui isi pikiran setiap tokoh dan
mengetahui setiap peristiwa yang dialami tokoh utama tanpa ada yang
terlewatkan. Dengan demikian sudut pandang orang ketiga memberikan
pembaca cerita yang utuh yang merupakan kelebihan dari penggunaan sudut
pandang orang ketiga.
Kaitannya dengan tema adalah sudut pandang memudahkan pembaca
untuk mengetahui setiap karakter dan pola berpikir tokoh dalam novel Kalau
Tak Untung dengan sudut pandang orang ke tiga yang digunakan oleh Selasih.
Meskipun sudut pandang ini memudahkan menceritakan fisik, hati dan
pemikiran tokoh, meskipun teknik ini bersifat natural tapi juga tidak natural
karena realita kehidupan tidak ada yang bersifat mahatahu.
54 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 124.
70
e. Gaya Bahasa (Stile)
Stile atau gaya bahasa menunjuk pada pengertian cara penggunaan
bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu,
dan sebagainya. Penulisan cerita Selasih, penggunaan kata yang lugas namun
bermakna akan memberitahukan gambaran perasaan setiap tokoh yang tentu
tidak lepas dari ciri khas diksi Minangkabau.
... Dengan tak disangka-sangkanya bercucurlah air matanya, berbagai-bagai hal mengharubiru kepalanya. Hatinya pedih, dadanya sempit. Terbayang-bayang di matanya hidupnya semasa kecil. Orangtuanya mempunyai sawah berbidang-bidang, ternak berkandung, batang kelapa tak terhitung, tebat ikan segenap penjuru...55 Kutipan di atas merupakan perbandingan kehidupan Ibu Rasmani di
masa kecilnya dengan kehidupannya sekarang yang hidup kekurangan karena
semua harta benda milik orangtuanya telah dijual oleh saudaranya. Pemilihan
kata seperti tebat ikan segenap penjuru yang artinya segala rezeki sudah di
tangan. Penggunaan bahasa Minangkabau tidak hanya terlihat di latar, namun
juga dialog tokoh dengan kosa kata melayu yang memiliki makna tertentu di
dalamnya. Nilai estetika Melayu dalam mengungkapkan gagasannya akan
mempengaruhi pembaca dengan dasar penyusunan wacana yang efektif.
Pemilihan ungkapan bahasa yang mewakili sesuatu untuk diungkapkan akan
mencapai efek keindahan sebuah karya sastra. Pemilihan ungkapan tersebut
akan dijelaskan dalam bentuk analisis permajasan agar mempermudah
pengelompokkan kosa kata.
Dalam novel Kalau Tak Untung terdapat beberapa permajasan di
antaranya.
1. Sarkasme
Menurut Burhan Nurgiyantoro, sarkasme digunakan untuk
menyindir atau mengkritik sesuatu secara terus terang dan tajam.56
Penggunaan majas ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut:
55 Sariamin Ismail, Op. Cit.,h. 12 56 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 404
71
"Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagi pula kata orang yang pandai-pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu benar, di keturunannya terjadi seperti itu." 57 Kata dungu, gila, dan tak sempurna bahagian tubuhnya
merupakan kritikan tajam yang secara terus terang dilontarkan oleh
Masrul yang menentang pernikahan antar saudara sepupu. Meskipun
secara tidak langsung Selasih juga menentang pernikahan ini dan
berusaha menyadarkan masyarakat Minangkabau sebaiknya dihindari.
“... Benar ia anak datuk dan kemanakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik ke rumah itu. Tak seperti itu tempat dudukmu." 58 Ketamakan manusia terjadi hanya jika seseorang telah merasa
dirinya lebih istimewa dibandingkan yang lainnya. Hal ini dinyatakan
oleh Ibu Masrul bahwa Masrul tidak seharusnya berada di rumah yang
jauh dari standar kekayaannya. Ini menyindir secara langsung bahwa
rumah Rasmani yang kecil dan sederhana, tidak pantas untuk Masrul
kunjungi.59
Selain itu, Ibu Masrul juga mengkritik Rasmani yang terlalu di
manja dan mencaci orangtua Rasmani dengan terang-terangan.
Ketinggian hati yang dimiliki oleh kaum yang cukup berada membuat
mereka seringkali memandang rendah dan bersikap curiga terhadap kaum
miskin. Kritikan Selasih yang sampai sekarang masih sering terjadi
dalam kehidupan sekarang, di mana orang kaya akan merasa risih atau
enggan berada di satu ruangan dengan orang yang terlihat kumuh dan
miskin.
2. Ironi
57 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31.
58 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 59 Lihat catatan kaki nomor 20.
72
Menurut Burhan, ironi digunakan untuk menyindir atau
mengkritik sesuatu secara halus atau intensitasnya rendah.60 Ironi akan
berhasil jika pembaca sadar akan maksud yang tersembunyi di balik
rangkaian kata-kata seperti kutipan berikut:
“Napasnya tak sampai ke bibir karena menghayun cangkul dan membajak, tetapi anaknya dimanjakannya. Anak-anak yang sebesar Dalipah dan Rasmani masih juga belum pandai ke sawah ke ladang. Duduk menggoyang kaki di sekolah. Apa benar yang akan ditulis dibacanya nanti. Tak macam anak-anaknya itu akan jadi istri demang nanti. Berupa tidak, berharta tidak...”61 Pada kutipan di atas secara tidak langsung Selasih mengkritik
pemikiran kuno dengan mengucapkan hal yang sebaliknya, yakni sekolah
bukanlah hal yang percuma meskipun pada akhirnya seorang perempuan
akan berakhir menjadi ibu rumah tangga yang akan mengurus
keluarganya. Sindiran karena kekurangan yang dimiliki keluarga
Rasmani tidak menghilangkan semangat orangtuanya untuk
menyekolahkan anak-anaknya agar dapat membaca dan menulis.
Kenyataannya, kesadaran akan pendidikan pada tahun itu sulit untuk
ditegakkan karena hasil yang diutamakan, bukan proses tanpa
mengetahui hasil akhir dari perjuangan sebuah proses.
3. Hiperbola
Hiperbola dimaksudkkan untuk melebihkan sesuatu yang
dimaksudkan dibandingkan makna yang sebenarnya dengan maksud
untuk menekankan penuturannya. Penggunaan hiperbola dapat dilihat
dalam kutipan:
”... mulanya adinda tak percaya, karena tak adinda sangka Kakanda akan selemah itu, dapat digoda setan, ditewaskan iblis.” 62 Kutipan di atas merupakan isi surat dari Rasmani kepada Masrul
saat Masrul meminta pendapat tentang kehidupan rumah tangganya, yang
60 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 404. 61 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 14. 62 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 123.
73
bukan seperti dirinya impikan, dengan memiliki istri berpendidikan dan
hidup berumahtangga yang sakinah. Pernyataan “digoda setan,
ditewaskan iblis” adalah penekanan dari Rasmani untuk menyatakan
kehidupan Masrul yang berantakan karena hawa nafsu belaka. Diksi yang
digunakan Selasih pada bagian ini untuk penekanan konflik yang sedang
dialami Masrul dalam kehidupan dirinya yang telah lepas dari disiplin
agama yang dimilikinya..
4. Simile
Simile menunjuk pada adanya perbandingan yang langsung dan
eksplisit, lazimnya menggunakan kta-kata tertentu yang berfungsi
sebagai penanda keeksplisitan pembandingan, misalnya kata-kata seperti,
bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya.63 Penggunaan
simile dalaptdilihat di sebagian besar novel. Salah satunya adalahs ebagai
berikut:
“Si Aminah tak kecil lagi, umumnya telah empat belas tahun, lagi pula ia berpaham, tak lonjak kemari lompat ke sana, sebagai anak sekolah seperti Rasmani adikmu itu.” 64 Kutipan di atas merupakan perkataan Ibu Masrul yang
membandingkan Aminah yang sama usianya dnegan Rasmani, namun
bagi Masrul terdapat perbedaan diantara mereka. Rasmani tahu huruf dan
pandai membuat pakaian, dan lain-lain, sednagkan Aminah tidak tahu
huruf dan menganggap tahu cara berumahtangga dan tahu adat istiadat
itu cukup. Pada kutipan di sini digunakan untuk penyituasian atas
tekanan yang dialami oleh Masrul untuk bertunangan dengan Aminah
atas desakan ibunya.
f. Moral
Pada novel Kalau Tak Untung, pengarang menggambarkan tema
tentang percintaan yang dalam antara Masrul dan Rasmani dengan
63 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 400. 64 Sariamin Ismail, Op, Cit, h. 35.
74
menggunakan gaya bahasa Minangkabau. Diungkapkan dalam cerita sifat dan
tingkah laku tokoh-tokoh terdapat makna kehidupan yang menjadi pesan aau
amanat penting bagi pembaca agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:
Itulah juga kelakuanmu yang tak dapat engkau ubah-ubah, yang sunah engkau perlukan, yang wajib engkau tinggalkan. Apakah kata mamakmu nanti kalau diketahuinya ia telah kelangkahan. Kita tinggal di kampung, adat kampung yang akan diturut, jangan diperturutkan kehendak hati saja. 65
Jadi Kakanda, sahabat Kakanda harus berhati-hati benar dalam pemilihannya, kalau sebenarnya ia tak bermaksud akan beristri dua-tiga, dan endak beruntung kemudian hari, alangkah buruknya, jika ia sekarang merusakkan hati tunangannya, sedang ia sendiri tak mendapat bahagia yang dikejar itu .... Kakanda, bahagia adalah barang yang tak dapat dilihat dengan mata hanya dirasa ....66
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa kisah dalam novel ini
memberikan kita banyak pelajaran. Bagaimana kehidupan bermasyarakat,
perihal menghormati orangtua, janji yang sepatutnya ditepati, dan tentang
mengambil keputusan dengan melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang
baik buruk.
Novel Kalau Tak Untung bercerita tentang seorang tokoh pria yang
menghadapi masalah tentang kehidupan percintaannya dan penyesalannya
dalam menentukan pilihan yang menjadikan dirinya mengalami penderitaan.
Penderitaan yang pertama adalah kehidupan rumah tangga yang dijalaninya
selama tiga tahun dengan Muslina dan cintanya yang kandas.
Dari Rasmani, terlihat bahwa dirinya tidak menyukai Masrul yang
ingkar akan janjinya pada keluarga dan Aminah. Jika dikelompokkan ke dalam
tiga moral, maka moral feeling terlihat dari pengendalian diri dan cinta
kebaikan yang tercermin pada Rasmani saat dirinya menerima untuk mengajari
Aminah untuk membaca, menulis, merajut dan lainnya. Dalam moral knowing
terlihat pada kompetensi tokoh Masrul saat dirinya bercerai dengan Muslina
65 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 84. 66 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 75-76.
75
karena ingin memiliki kewenangan atas harga dirinya sendiri dan moral
intelligence terlihat pada tokoh Rasmani dan Masrul yang bertindak sesuai
dengan keinginan mereka. Hal ini terlihat pada peristiwa dalam cerita saat
Rasmani bekerja sebagai pengajar di saat kaum sekitarnya mengejek dan
menghinanya, sedangkan Masrul mengambil keputusannya sendiri saat
menentukan gadis yang dinikahinya. Dari setiap kejadian yang diungkapkan
pada ketiga moral di atas dapat diketahui bahwa amanat dari novel Kalau Tak
Untung adalah rasa empati terhadap sesama, mampu mengontrol diri dalam
menentukan pilihan, rasa hormat pada orangtua, kebaikan hati, dan keadilan
dalam menepati janji.
Kaitan dengan tema, amanat yang diungkapkan merupakan hasil dari
jalan cerita baik secara langsung maupun tidak langsung dan dari segala
kesalahan yang dilakukan Masrul menjadi pelajaran untuk melihat isi cerita
dari segi negatif dan positifnya. Pesan tersirat lainnya adalah tentang
perjuangan feminisme Rasmani dan usaha Masrul untuk lepas dari hegemoni
akan dibahas pada analisis dalam penelitian ini.
B. Analisis Hibriditas dan Ambivalensi Novel Kalau Tak Untung Karya
Selasih
Analisis berikutnya digunakan penulis untuk melihat perubahan sosial
yang terjadi pada zaman yang sama dengan pembuatan novel Kalau Tak
Untung karya Selasih ini. Meskipun diketahui perubahan sosial terdapat
perspektif klasik, modern, posmodern, dan pascakolonial, penulis lebih
cenderung menggunakan pascakolonial dalam penelitian ini. Secara garis besar
analisis ini ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Kalau Tak Untung ini
yang lebih cenderung untuk melakukan pembahasan mengenai permasalahan
adat dan percintaan antara Masrul dan Rasmani. Penulis dalam analisis ini
mencoba untuk menganalisis hibriditas dan ambivalensi yang terjadi dalam
novel Kalau Tak Untung.
Di awal cerita, pengarang menggambarkan salah satu tokoh utama
hidup dalam garis kemiskinan yang bahkan untuk memiliki lauk dalam
76
makanan mereka sudah merupakan sebuah kenikmatan yang jarang terjadi.
Kakak perempuannya juga harus putus sekolah karena orangtuanya tidak
sanggup untuk membayar sekolah untuk kedua putrinya. Sedangkan tokoh
utama yang satunya lagi hidup dengan serba berkecukupan dari pendidikan
hingga status sosial.
Secara simbolik, sejak awal penulisan sang pengarang menjelaskan
keadaan masyarakat hidup di garis dan masyarakat dengan kehidupan yang
serba berkecukupan. Namun perlakuan baik sang tokoh utama pria ke tokoh
utama wanita yang seolah-olah tidak memandang kemiskinan sebagai garis
pembatas mereka.
Pernyataan di atas dapat masuk ke dalam kategori dalam perubahan
sosial, pascakolonial. Teori ini mempelajari banyak masalah yang dihadapi
negara-negara Timur akibat penjajahan negara-negara Barat dengan mencoba
mengajukan beberapa kritik mengenai hegemoni dan dominasi Barat yang
terjadi pada negara Timur.67 Untuk mempelajari masalah dalam pascakolonial,
peneliti memasukkan beberapa teori untuk analisis hibriditas dan ambivalensi
yang telah dijelaskan pada kajian teori di penelitian ini.
1. Masrul
Awal mula penelitian pascakolonial pada tokoh Masrul adalah
membahas analisis hibriditas.
“Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagipula kata orang yang pandai-pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu besar, di keturunannya terjadi yang seperti itu.”68
Pada kutipan di atas merupakan salah satu contoh dari hibriditas
yang terjadi karena tradisi. Namun adanya penelitian yang dilakukan oleh
peneliti Eropa. Pemikiran modern yang ditunjukkan oleh Masrul secara
67 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspeftif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 101. 68 Sariamin Ismail, Kalau Tak Untung, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 31.
77
langsung mematahkan budayanya sendiri, perihal perkawinan antarsepupu.
Namun, pemikiran modern yang dimiliki Masrul mendapat pertentangan
dari ibunya sendiri yang masih memegang teguh tradisi.
“... Tak baik kawin berfamili katamu? Ayahmu saudara sepupu ibu yang kandung. Mengapa engkau tak dungu atau bercacat? Entah kalau sudah berubah akalmu sekarang!”69
Dengan latar tahun 1900-an, memang tidak dipungkiri bahwa
kekuasaan perihal perkawinan masih dimenangkan oleh tradisional. Hal ini
terjadi karena kurangnya kepedulian akan integritas pendidikan dan
menganggap bahwa budaya tradisional adalah yang terbaik. Tapi pengarang
memiliki pendapat berlainan dengan pemandangan tradisional yang dimiliki
ibu Masrul. Selasih membuktikan ketidaksetujuan pernikahan antarsepupu
dengan menjadikan Masrul menikah dengan perempuan lain, meskipun
bukan dengan Rasmani.
Selain permasalahan di atas, seperti yang diketahui bahwa hibriditas
juga mencakup tentang kajian asimilasi paksaan, pembauran dua budaya
yang dilakukan dengan paksa dan disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli sehingga membentuk budaya baru. Hal ini dapat terjadi
pada perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya.
"Ketika helat dilangsungkan terasa benar oleh Masrul bagaimana kawin di rantau, karena seorang pun tak ada kaum keluarganya yang hadir, sebagai ia telah terbuang dari kampung, hidup sebatangkara, tidak beribu-bapak, bersanak-bersaudara."70
Alasan kenapa hal ini masuk ke dalam pembauran yang dipaksakan
karena Masrul dihasut oleh orangtua Muslina agar mau menikah dengannya.
Muslina juga ikut andil dalam hal ini dengan merayu Masrul. Dengan
persetujuan dari orangtua Masrul, yang terpaksa, akhirnya Masrul dan
Muslina menikah. Hal-hal seperti gangguan atas asimilasi ini terjadi sesudah
pernikahan berlangsung, seperti rasa sesal Masrul menikah dengan
perempuan yang tidak seperti dia pikir. Lalu tekanan mental sebagai
69 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31. 70 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 85-86.
78
golongan minor karena gangguan dari diskriminator, orangtua Muslina dan
Muslina sendiri karena selama pernikahan mereka berlangsung, Masrul
tidak memberikan hasil yang memuaskan bagi mereka.
Seperti yang telah dibahas pada intrinsik, tokoh Masrul masuk ke
dalam kategori tokoh utama yang dinamis.71 Perubahan identitas yang
terjadi pada Masrul terjadi karena beberapa keadaan dan perubahan tersebut
akan dianalisis. Melalui jalinan tokoh dan peristiwa, terlihat bahwa novel
Kalau Tak Untung memperlihatkan latar masyarakat yang berada di masa
koloni. Jika melihat dari alur, perubahan Masrul berawal dari dirinya pindah
ke Painan dan menikah dengan Muslina. Ambivalensi psikologi yang
dialami oleh tokoh utama Masrul, demikian pula dengan tokoh-tokoh lain,
menunjukkan dengan jelas maksud dari pengarang untuk melepaskan diri
dari masalah adat dan kawin paksa. Cara yang dilakukan oleh Masrul agar
lepas dari jeratan kawin paksa, Selasih menghadirkan tokoh Muslina di
tengah cerita. Saat itu Masrul yang tengah terikat janji untuk menikah
dengan Aminah melihat tawaran dari Engku Guru gedang seperti jalan
keluar dari konservatif adat yang dipaksakan dan memilih untuk menikah
dengan Muslina yang berpendidikan lebih tinggi daripada Aminah. Namun
Masrul memberikan alasan pada orangtuanya karena tak baik menikah
sedarah seperti kutipan di bawah ini.
“...Tetapi rupanya setelah anakanda pikir panjang-lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun, tak dapat rasanya anakanda menepati janji anakanda itu. Banyak benar alangannya pada anakanda, tak sebuah dua buah, apalagi menurut kata orang pandai-pandai dalam bukunya, tak baik kawin sedarah.”72 Pada akhirnya, Masrul menggunakan alasan yang sama untuk lepas
dari tanggungjawabnya untuk menikahi Aminah. Inilah kompleksitas tokoh
Masrul akan sifat pemberontaknya namun berkedok pria baik-baik dan
penurut. Namun hibriditas juga dapat terjadi pada Masrul karena perbedaan
latar. Berpindahnya Masrul dari Bonjol, Painan, dan Padang,
71 Lihat unsur intrinsik tokoh Masrul 72 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 82.
79
memperlihatkan bahwa karakter Masrul berubah sesuai dengan pindanya
Masrul dari satu daerah ke daerah lain.
"Maaf saya Mak, lama benar Mamak saya biarkan menanti. Karena mandi dan sembahyang, tak tahu saya waktu telah berjalan juga."73 Kutipan di atas adalah kutipan di mana Masrul telah berada di
Painan. Di kota ini, Masrul yang baru beberapa bulan pindah, perilaku
dirinya masih mengikuti saat seperti dirinya di Bonjol. Sering mengirim
kabar ke Bonjol dan sembahyang tidak terlewatkan. Namun setelah
pertemuannya dengan Muslina, membuat Masrul terpesona melihat
kecantikan Muslina. Begitu ada kesempatan untuk menikahi perempuan
yang lebih baik, Masrul memutuskan pertunangannya dengan Aminah dan
memberitahukan tentang pernikahannya pada orangtuanya lewat surat.
Karena Masrul sadar, jika dirinya pulang ke Bonjol orangtuanya akan
memaksakan dirinya untuk menikah dengan Aminah. Hibriditas Masrul
dalam menentukan yang terbaik bagi dirinya adalah dengan memilih
Muslina yang masuk ke dalam kajian pembauran dua budaya. Setelah
perhelatan berlangsung, Masrul dan Muslina pindah ke Padang.
Siapa sahabat saya di Padang ini? Apa kesukaan dan kesenangan orang lain yang dapat saya turut?74 Di kota Padang ini adalah tempat Masrul dan Muslina menetap
setelah menikah. Karakteristik Masrul yang rajin beribadah mulai
menghilang, namun keramahan dalam dirinya masih tertanam. Rasa lelah
karena pernikahannya dengan Muslina yang jauh dari kata harmonis,
membuat Masrul selalu ingin menjauh dari rumah. Seperti pergi minum bir,
menonton komidi gambar, atau hanya sekedar berjalan di tepi pantai.
Karena perbedaan antara desa dan kota, Masrul terpengaruh dengan
lingkaran sosial di Padang.
"Istrinya yang disangkanya berpaham dahulu,… sekarang memukulnya dengan kayu, mengerluarkan perkataan keji,
73 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 65. 74 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 103.
80
mengumpat, dan menyumpah. Dan hal itu bukanlah sekali diperbuatnya."75 Kutipan di atas adalah saat Masrul merenungkan dirinya di sebuah
bar di Padang. Saat merenung, Masrul menyadari perubahan apa yang telah
terjadi pada dirinya saat sebelum menikah dengan sesudah menikah. Hingga
akhirnya, dengan kebebasan sebagai pria dalam memilih, Masrul
memutuskan untuk bercerai dengan Muslina demi kebaikan dirinya,
Muslina dan anaknya. Ambivalensi psikologis Masrul membuatnya memilih
untuk kembali kepada dirinya sebelum menikah dengan kembali ke
kampung halamannya di Bonjol. Hal ini menyatakan bahwa perbedaan latar
tempat menjadikan adanya perubahan adaptasi Masrul terhadap lingkungan
tempat dirinya berada.
Ambivalensi tokoh Masrul yang awalnya menikahi Muslina karena
kenaifan dari sudut pandang feodalismenya justru kembali memilih
Rasmani yang telah dia kenal baik sejak kecil. Pemikiran almost the same
but not quite menjadikan Masrul tidak akan dapat menyamai baik gaya
hidup dan pemikiran Muslina yang sejak kecil terbiasa hidup di kota. Jika
melihat pada kenyataan, pada masa politik etis berlangsung beberapa
masyarakat terjajah belajar ke luar negeri, setelah mengenyam pendidikan di
Eropa untuk berusaha membangun persamaan, pihak Belanda berusaha
menghambat persamaan tersebut dengan memberlakukan politik identitas
atau sering dikenal juga dengan devide et impera, di mana ada pembatas
antara kaum bangsawan, kaum terpelajar dan rakyat jelata menjadi
kesenjangan sosial yang nyata.
Kembalinya Masrul kepada Rasmani memperlihatkan meskipun
Masrul pindah tempat dan menikah dengan perempuan rantau, hati dan
kakinya masih berpijak di bumi tempat dirinya dilahirkan. Secara eksplisit,
pesan Selasih seperti menyatakan meskipun banyak hal yang dapat diambil
dari budaya koloni yang maju, ambillah budaya yang diperlukan untuk
memajukan bangsa Indonesia.
75 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 99.
81
Kaitannya dengan tema, tokoh Masrul mengalami gegar budaya saat
dirinya berpindah tempat dari desa ke kota76 dengan pemahaman bahwa
perempuan kota yang memiliki pemikiran modern seperti dirinya lebih baik
daripada perempuan desa yang bodoh dan status sosial yang lebih rendah
darinya. Hal ini terjadi karena Masrul berpegang teguh ingin memiliki yang
sederajat dengannya dan itu tidak ditemukan dalam diri Aminah dan
Rasmani tapi ditemukannya pada Muslina sehingga Masrul.
Kesimpulannya, tokoh Masrul merupakan tokoh yang memiliki
pemikiran yang modern namun memiliki budi pekerti tradisional. Untuk
mematahkan pemikiran konservatif, dirinya memutuskan untuk menikah
dengan Muslina dan hal ini menjadikan dirinya mengalami ambivalensi
psikologi karena keragaman pilihan yang dimilikinya. Setelah itu karena
kenaifan dirinya yang melihat kebaikan Muslina dari rupanya saja,
menjadikan dirinya mengalami hegemoni selama pernikahan.
2. Rasmani
Dalam novel Kalau Tak Untung terdapat tiga perempuan yang
dijodohkan oleh Masrul dan ketiganya memiliki pandangan atau ideologi
hidup yang berbeda atas perempuan tradisional dan perempuan modern.
Pengimajinasian perempuan tradisional, yakni Aminah. Dirinya dibesarkan
dengan pandangan ‘warisan’ sebagai perempuan yang pintar memasak,
bertani, dan bercengkerama dengan keluarga dan tetangga. Dengan
mencerminkan ‘kodrat’ perempuan dalam pandangan masyarakat Sumatra
pada umumnya. Perempuan tradisional dengan pemikiran modern, yakni
Rasmani. Dirinya dibesarkan dengan pandangan modern yang dimiliki
orangtuanya namun masih berpegang teguh pada sikap Timur. Terakhir,
perempuan dengan pemikiran dan gaya hidup yang modern yakni Muslina
yang akan dianalisis setelah Rasmani.
Terdapat satu tokoh yang berjuang untuk kesetaraaan antara kaum
pria dan perempuan yang sudah dia miliki dalam novel Kalau Tak Untung
76 Lihat unsur intrinsik latar tempat pada halaman 60,.
82
ini. Setelah membaca novel ini, akan terlihat jelas bagaimana sifat dan sikap
Rasmani yang merupakan contoh gadis modern pada masa itu, merupakan
salah satu upaya Selasih mencoba menyadarkan pentingnya keberadaan
seorang wanita dan kesetiannya pada satu orang. Rasmani merupakan tokoh
protagonis tambahan dalam novel ini.77 Penelitian pascakolonial yang akan
dibahas pertama adalah hibriditas sosial.
Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani. 78 Seperti yang terlihat pada kutipan di atas, kehidupan keluarga
Rasmani berada di garis kemiskinan. Namun hal ini tidak membuat orangtua
Rasmani putus harapan agar anak-anaknya mampu membaca dan meulis.
Selain untuk memperbaiki menaikkan tingkat sosial, mereka juga
menginginkan agar anaknya tidak akan hidup miskin seperti mereka. Hidup
dengan sudut pandang tersebut menjadikan Rasmani semangat untuk
sekolah meskipun untuk makan sehari-hari sudah sulit. Pilihannya adalah
ikut bekerja seperti Dalipah membantu di sawah atau belajar untuk menjadi
guru demi memperbaiki derajat sosial keluarganya. Karena rendahnya
pendapatan ekonomi, keluarga Rasmani mendapatkan penindasan dengan
stigma dari lingkungan sekitarnya yang memiliki pandang konservatif dan
berusaha untuk mempertahankannya. Usaha Rasmani dengan sekolah agar
menjadi orang yang berpendidikan dengan kenyataan dirinya dari rakyat
miskin dan dari lingkungan konservatif menjadikan usaha Rasmani ini
hibridisasi kultural.
Dalam hal ini, Gloria Jospeh memiliki ungkapan untuk keluarga
Rasmani, yakni lapisan Sisyphus yang terdiri dari orang-orang yang terus-
menerus membanting tulang pada dasar dari lapisan sosio-ekonomis
rendah.79 Usaha Rasmani untuk mengubah nasibnya, dirinya bekerja keras
untuk bekerja sebagai guru. Nyatanya, Perubahan memang terjadi karena
diberlakukannya politik etis pada tahun 1920-an sehingga merubah rakyat
77 Lihat unsur intrinsik tokoh Rasmani. 78 Sariamin Ismail,Op. Cit., h. 10. 79 Ania Loomba, Op. Cit., h. 340.
83
terbelakang menjadi berpengetahuan dalam bidang pendidikan yang
menyebabkan timbulnya generasi baru dengan memiliki pandangan yang
modern. Namun tidak semua nyatanya menjelang akhir pemerintan Belanda
(sensus tahun 1930) menyatakan hanya 6/7% pribumi yang melek huruf.80
Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa adat, budaya dan tradisi masih
mempengaruhi kehidupan sehari-hari pada masa itu. Hal ini menjadikan
mulai munculnya kaum terpelajar dan pergerakan nasionalisme juga yang
mulai menyebar, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga ikut
berpartisipasi di dalamnya seperti yang tercermin pada tokoh Rasmani.
Dalam masalah percintaan, terdapat ambivalensi dalam tokoh
Rasmani. Dari awal hingga akhir cerita terlihat jelas bahwa cinta Rasmani
hanya tertuju pada satu orang, Masrul. Pria yang telah dikenalnya sejak
kecil perlahan membuat dirinya memiliki perasaan yang lebih dari seorang
abang pada Masrul. Surat-menyurat yang sering mereka lakukan ketika
Masrul di luar kota memperlihatkan kedekatan mereka. Satu sama lain
menyadari bahwa perasaan mereka terbalaskan, namun kenyataan tidak
berpihak karena kedudukan sosial Rasmani berada di bawah kedudukan
sosial Masrul.
“Ah apa salahnya kau kuterima saja, permintaan Bang Masrul. Bukankah orang kampungku sendiri tahu bahwa pertalian kami telah lama, telah dari kecil. Apa pusingku dengan percakapan orang lain yang tak kukenal .... Mengapa aku harus menderita seumur hidup, sedang aku tak bersalah.” 81 Kutipan di atas adalah angan-angan Rasmani ketika dirinya mungkin
dapat bersatu dengan Masrul. Namun rasa takut juga terasa dijiwanya akan
pandangan orang lain pada hubungan mereka. Belum nama baik keluarga
Rasmani ikut dipertaruhkan karena orang akan berpikir bahwa Rasmani
merupakan penyebab rusaknya hubungan rumah tangga Masru dan Muslina
karena kebersamaan mereka yang tepat setelah Masrul bercerai dengan
Muslina.
80 Nyoman Kutha Ratna, Poskolonialisme Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 321. 81 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 126
84
"Kalau ada orang meminta engkau, engkau terimalah, mudah-mudahan berbahagia hidupmu. Allah memelihara engkau, dna menolong engkau karena hatimu suci dan tawaal. Amin-amin!"82 Setelah kepergian Masrul ke Medan, mereka masih saling berkirim
surat. Namun isi surat di atas menjadi pemicu sakit Rasmani. Putusnya
harapan akan jalinan cinta mereka yang naik-turun merupakan pembuktian
lain akan ketakutannya. Karena dalam surat itu Masrul berbohong bahwa
Muslina memintanya kembali menjadi suaminya agar Rasmani mau
menerima pria yang ingin menikahinya. Tapi surat bahagia selanjutnya
malah semakin memperparah sakitnya Rasmani.
"Apabila engkau datang, Rasmani? Bersama ini kakanda buat surat kepada orang tua kakanda menyuruh meminta Adinda kepada mamak dan etek."83 Bagi orang yang memiliki penyakit jantung dan masih dalam kondisi
yang tidak stabil, rasa bahagia dan sedih yang drastis dapat mempengaruhi
jantungnya. Hingga akhirnya Rasmani meninggal dunia. Dari surat gila dan
surat bahagia yang dituliskan oleh Masrul merupakan alat untuk
menyampaikan yang hendak dicetuskan oleh Selasih bahwa nasib manusia,
jalan hidup manusia, ditentukan oleh peruntungan.84 Namun di sisi lain,
sebagai penulis perempuan pada masa itu dengan halus meneriakkan
emansipasi dan protes terhadap tradisi-tradisi kaku yang membelenggu
mereka.85 Hal ini sesuai dengan ideologi hidup Selasih yang menginginkan
perempuan bebas dari tradisi kaku untuk menentukan jalan hidup yang
mereka pilih.
Sebagai tokoh utama tambahan, tokoh Rasmani menunjukkan
hubungan dengan pascakolonialnya dari perjuangannya sebagai guru dari
lingkungan sekitarnya yang masih memegang teguh tradisi dan adat yang
kaku, menjadikan dirinya korban hegemoni dari dominasi kelas sosial yang
82 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 143. 83 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 145. 84 Sri Rahayu Prihatmi, Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), h. 23. 85 Ibid., h. 86.
85
berpengaruh di lingkungan sekitarnya. Karena pengaruh orangtuanya yang
memiliki pandangan yang berbeda pada umumnya, memandang bahwa
pendidikan merupakan hal yang penting untuk anak mereka, yang membuat
Rasmani mampu memperjuangkan haknya meskipun dirinya bukanlah dari
keluarga yang berada.
“Seperti Kakanda ketahui, sudah hampir dua tahun adinda menjadi guru sekolah negeri. Menurut peraturan kalau sudah selama itu adinda boleh turut dalam ujian guru batu. Sebab itu sekarang adinda belajar, Kakanda tolonglah adinda dengan doa, mudah-mudahan lulus adinda dalam ujian itu.” 86 Meskipun Rasmani memiliki pemikiran modern, dirinya tidak
melepaskan identitas dirinya yang memegang teguh nilai-nilai Timur yang
sudah melekat pada dirinya sejak kecil. Kaitannya dengan tema, Rasmani
merupakan representasi percampuran antara kaum Barat dan kaum Timur
dengan pemikiran modern, namun memiliki budi pekerti santun orang
Timur (hibridisasi kultural) dan perjuangan emansipasi perempuan dari
hegemoni stigma dalam usahanya merubah pandangan masyarakat
sekitarnya bahwa perempuan juga mampu menghasilkan uang yang sama
jumlahnya dengan pria yakni dengan menjadi guru. Melihat perjuangan
emansipasi Rasmani dalam dunia pendidikan seperti cerminan dari
perjuangan Selasih secara nyata. Selasih memperjuangkan persamaan
gender di Sumatra dengan menjadi ketua Sarekat Kaum Ibu Sumatera
Cabang Padangpanjang.87
Kesimpulannya adalah tokoh Rasmani memperlihatkan
hubungannya dengan hibriditas dan ambivalensi dalam usaha untuk
memiliki kehidupan yang lebih baik dengan memperjuangkan kaum
perempuan dari hegemoni lingkungan konservatif dan cinta yang berbeda
status sosial. Meski, telah dijelaskan dalam analisis, keluarga Rasmani
86 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 76. 87 Marleily Asmuni, H. Sariamin Ismail, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 58.
86
berasal dari keluarga miskin yang Jospeh masukkan ke dalam lapisan
Sisyphus.
3. Muslina
Dalam novel Kalau Tak Untung, Muslina menjadi peran utama
dalam kaitannya dengan analisis pascakolonial karena dalam satu tokoh
Muslina dapat menganalisis pascakolonial dengan hampir seluruh teori yang
akan digunakan dalam penelitian ini. Hal pertama yang akan dibahas adalah
gaya hidup tokoh Muslina.
Lahir dan besar dari keluarga mampu menjadikan Muslina hidup
dengan berkecukupan. Terlebih dirinya merupakan anak tunggal.
Pendidikan yang didapatkannya juga yang terbaik menjadikan orangtuanya
membebaskan anaknya dalam pergaulan. Maka dari itu Muslina bergaul
dengan anak sekolah Mulo di saat dirinya telah ditunangkan oleh seorang
dokter.88 Usaha Muslina untuk menyesuaikan dirinya dengan etika dan
kategori ideal Eropa dengan meniru aktivitas kultural yakni dengan bergaul
bersama anak sekolah Mulo. Dengan latar belakang yang dimilikinya, bukan
hal yang sulit bagi Muslina untuk menginginkan status sosial yang lebih
tinggi lagi, meskipun dalam keadaan dirinya sedang bertunangan dengan
orang lain. Perilaku Muslina yang mendekati dan bergaul dengan temannya
itu terlihat seperti dirinya menentang akan kawin paksa yang telah
direncanakan oleh orangtuanya. Itu memperlihatkan bahwa Muslina dapat
mengendalikan pilihannya sendiri, berbeda dengan Masrul dan Rasmani.
Pemikirian Muslina yang modern ini diperngaruhi oleh orangtua dan
lingkungan pergaulannya yang berbeda dengan Masrul yang hidup di desa.
Lalu saat pernikahan dirinya dengan Masrul memperlihatkan bahwa
Muslina juga mengalami hibriditas perbauran dua budaya. Hal ini dilakukan
karena Muslina tidak ada cara lain selain menikah dengan orang yang belum
mengetahui tentang reputasinya yang hancur karena pertunangannya dengan
dokter putus dan keluarga anak yang bersekolah di Mulo juga menolak
88 Lihat catatatn kaki nomor 17
87
Muslina, maka dari itu Muslina dan keluarganya menjadikan Masrul sebagai
target mereka untuk dijadikan suami untuk Muslina. Hal ini menjadikan
Muslina mengalami ambivalensi saat dirinya mengharapkan status sosial
yang tinggi dengan berusaha bergaul dengan bangsawan Eropa dan
sederajatnya, namun kenyataannya reputasi dirinya menjadi hancur karena
pandangan masyarakat sekitar perihal keburukan sifatnya dan
mempermalukan nama baik keluarga.
Saat dirinya menikah dengan Masrul menjadikan dirinya merasa
turun derajatnya. Kesombongan status sosial yang dimiliki oleh Muslina
menjadikan dirinya representasi kaum orientalis. Doktrin orientalisme, baik
secara teoretis maupun praktis, kedudukan bangsa Barat sebagai laki-laki,
bangsa Timur sebagai perempuan merupakan hal yang tak mungkin diubah.
Implikasinya dalam novel Kalau Tak Untung ini ditulis dengan terbalik.
Bangsa Timur dicerminkan oleh Masrul, bangsa Barat dicerminkan oleh
Muslina. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
“... Tak sebesar minang, sebesar rambut dibelah tujuh barang pembelianmu di rumah ini, semuanya pembelian bapak saya. Untuk pengisi perut saja tak cukup gajimu.” 89 Dengan kutipan di atas, pengarang ingin menunjukkan kepada
pembaca akan kuatnya pengaruh diskursif orientalisme terhadap pandangan,
sikap dan perilaku masyarakat terjajah yang bekerja secara hegemonik,
tercermin pada tokoh Muslina sebagai perantara dari pemikiran pengarang.
Sebagai tokoh tambahan (antagonis), Muslina memiliki ambivalensi
psikologis paling besar dalam cerita yang terjadi saat dirinya merasa
superior karena tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat menengah ke
atas. Jika melihat dari segi tema, Muslina merupakan penyaji cerita yang
terlihat secara jelas akan adanya oposisi antara status sosial tinggi dan
rendah. Sedangkan dari segi penokohan, peristiwa inti atau klimaks pada
tokoh utama Masrul adalah Muslina yang menjadi pemicu utama perubahan
pada diri Masrul dan menjadikan Muslina representasi Barat.
89 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 101.
88
Gaya hidup Muslina yang terbilang cukup mewah, justru
memberatkan Masrul karena pendapatannya tidaklah sebanyak pendapatan
seorang dokter. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Masrul menjadi
korban akan sikap hegemoni Muslina yang tidak puas dengan penghasilan
yang didapatkan suaminya. Tidak puas dengan kehidupan pernikahan yang
tidak seperti yang dirinya inginkan, Muslina melakukan tindakan katarsis
pada Masrul semata-mata karena dirinya kesal karena hidup kekurangan.
Tindakan katarsis yang Muslina lakukan pada Masrul dengan memanfaatkan
kelemahan materil Masrul dan memanfaatkan kelebihan orangtuanya untuk
menekan psikologi Masrul.
“Apakah yang telah kauperbuat? Mengapa kaupecahkan piring-piring itu? bukankah tak belianmu itu? barang yang kita beli yang akan dipecah-pecah, tetapi jangan harta orang lain. 90 Namun Muslina juga mengalami hibriditas karena perbedaan latar
saat dirinya dan Masrul pindah tempat tinggal dari Painan ke Padang.
Kutipan di atas adalah saat Muslina dan Masrul telah berada di Padang. Di
sini Muslina memperlihatkan sikap superiornya pada Masrul dengan
menghina tentang pekerjaannya yang gajinya tak seberapa itu. Muslina
merasa bahwa segala harta benda di rumah mereka merupakan pemberian
dari orangtuanya menjadi faktor pendukung sikap tersebut. Hal ini
kemungkinan terjadi karena Muslina jauh dari orangtuanya dan menjadikan
dirinya mampu berlaku kasar pada Masrul dengan membentak bahkan
memukulnya sebagai pelampiasan kecemasannya hidup miskin karena
selama hidupnya Muslina selalu hidup mampu.91
Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis ini, tokoh Muslina
merupakan representasi dari kaum Barat. Superioritas yang dimilikinya
membuat dirinya mampu untuk bersikap kasar (katarsis) pada Masrul
sebagai pelepasan atas rasa cemas dan kecewa karena kehidupan pernikahan
90 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 101.
91 Lihat catatan kaki nomor 75.
89
yang tidak sesuai dengan keinginannya. Analisis pascakolonial terhadap
tokoh Muslina terlihat munculnya mimikri, hibriditas, dan hegemoni.
4. Ibu Masrul
Dalam novel Kalau Tak Untung Ibu Masrul merupakan tokoh
tambahan. Analisis pertama yang akan dibahas perihal ambivalensi. Seperti
yang telah dibahas dalam unsur intrinsik tokoh, Ibu Masrul yang memiliki
pandangan hidup konvensional, berbanding terbalik dengan Masrul. Bahkan
sekalipun Masrul berusaha memberikan pandangan modern terhadap
ibunya, dirinya akan tetap memilih untuk mempertahankan pandangannya
tersebut.
"Itulah juga kelakuanmu yang tak dapat engkau ubah-ubah yang sunah engkau perlukan, yang wajib engkau tinggalkan. Apakah kata mamakmu nanti kalau diketahuinya ia telah kelangkahan. Kita tinggal di kampung, adat kampung yang akan diturut, jangan diperturutkan kehendak hati saja."92 Pandangan lingkungan konservatif ini yang memimpin kelas sosial
di Bonjol sehingga menjadi halangan akan keinginan Rasmani untuk bekerja
sebagai guru dan hubungan percintaan antara Masrul yang terpisah karena
status sosial. Dengan begitu Ibu Masrul memperlihatkan bahwa dirinya
merupakan representasi dari kaum Timur yang berpegang teguh
mempertahankan tradisi dan adat budaya lokal yang sudah turun-temurun.
Dominasi sosial Ibu Masrul terlihat dari caranya memandang kaum rendah,
pernikahan dengan sepupu, menentang pemikiran modern, dan pandangan
tentang perempuan tradisional yang harus bisa mengurus rumah tangga dan
tahu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa pendidikan resmi.93
Dominasi ini yang membuat Rasmani takut untuk menerima Masrul karena
Ibu Masrul dan masyarakat Bonjol akan lebih merendahkan keluarganya
yang miskin, dengan demikian akan terlihat bahwa Rasmani merupakan
korban hegemoni. Seperti yang diketahui bahwa hegemoni adalah
92 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 30. 93 Lihat unsur intrinsik Ibu Masrul pada halaman 52.
90
representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat
ketimbang Timur, namun hal ini dapat juga terbalik, karena adanya
ketidakstabilan hegemoni menjadikan kaum Timur menyerang balik atau
meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka.94
Selain keteguhan identitas, juga terdapat ambivalensi psikologi pada
Ibu Masrul yang menjadi awal perkara kehidupan percintaan Masrul. Seperti
yang telah dibahas sebelumnya, Ibu Masrul menginginkan anaknya untuk
menikah dengan Aminah yang merupakan keponakannya.95 Alasannya
karena Ibu Masrul ingin anaknya sudah memiliki status menikah saat
Masrul merantau ke Painan. Namun ada alasan lain yang terlihat pada
kutipan di bawah ini.
"Jangan engkau menjawab juga lagi, ada-ada saja yang engkau sebut. Tahu saya yang di hatimu, engkau hendak memulangi anak Datuk Sinaro sahabatmu itu. Saya suka kepada anak itu, tetapi tak suka saya ia menjadi istrimu."96 Keinginan Ibu Masrul untuk menikahkan anaknya dengan Aminah
karena dirinya takut jika Masrul akan menikah dengan Rasmani yang
memiliki status sosial yang rendah meskipun budi pekerti keluarga Rasmani
baik. Hal ini berhubungan dengan tema mayor novel Kalau Tak Untung,
yakni adanya penghalang atas hubungan percintaan Masrul dan Rasmani
karena perbedaan status sosial, pemicunya adalah Ibu Masrul. Namun
ekspektasi Ibu Masrul, tidak sesuai dengan realita yang ada. Untuk
menghindari menikah dengan perempuan pilihan ibunya dan larangan untuk
menikah dengan perempuan yang dicintainya, akhirnya Masrul memilih
perempuan lain untuk dinikahinya.
Kesimpulannya yang dapat diambil dalam analisis ini, Ibu Masrul
merupakan representasi dari kaum Timur yang menjadi penghalang akan
percintaan kedua tokoh utama dan hal ini terlihat pada analisis ambivalensi.
94 Ikwan Setiawan, Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016. 95 Lihat catatan kaki nomor 19. 96 Sariamin Ismail, Op. Cit., h. 31.
91
Demikian analisis hibriditas dan ambivalensi dalam novel Kalau Tak
Untung karya Selasih dengan analisis pada setiap tokohnya. Hasil
analisisnya adalah: 1) pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan
ambivalensi psikologi pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani
terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat
Minangkabau; 3) pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi
psikologis, mimikri, hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh
kehidupan sosialnya; 4) pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya
ambivalensi karena pandangan Timur yang diyakininya.
Secara keseluruhan, analisis pascakolonial mempelajari dan mencari
tentang sesuatu hal yang tertulis dalam sebuah wacana laten dan mampu
mengungkapkannya dengan teori. Dari seluruh analisis di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa novel Kalau Tak Untung ini setiap tokoh dalam cerita
masing-masing mengalami perubahan sosial pascakolonialisme pada tahap
alur yang hampir bersamaan pada peningkatan konflik dan klimaks dengan
balutan kisah percintaan yang berbeda status sosial sehingga menjadikan
novel ini merupakan wacana kolonial yang dengan penulisan struktural yang
padu dengan penyajian cerita dan teknik penulisan yang baik.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Karya sastra selain sebagai hiburan, peran lainnya adalah sebagai
bahan pelajaran. Berbagai ilmu dapat disandingkan dengan karya sastra
seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu sosial,
dan lain sebagainya. Salah satunya adalah ilmu sejarah. Namun untuk
mengajarkan karya sastra membutuhkan kreativitas pengajar agar kegiatan
belajar menjadi lebih menarik.
Untuk menyampaikan pembelajaran sesuai dengan tujuan
pembelajaran membutuhkan pendekatan pembelajaran. Sesuai dengan
kurikulum 2013 yang mengarahkan peserta didik mencari tahu dengan
observasi bukan diberitahu. Maka pendekatan yang tempat untuk
92
pembelajaran unsur pembangun sastra dan kebahasaan adalah pendekatan
saintifik.
Dindin mengatakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah
proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik
secara aktif mengonstruk konsep hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan
mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis,
mengumpulkan data dengan bebagai teknik, menganalisis data, menarik
kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep.97
Kaitannya dengan pembelajaran sastra di sekolah adalah agar peserta
didik mampu memperoleh nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam
bahan ajar utama sastra, yakni karya sastra. Menurut Wahyudi Siswanto
dengan pendidikan sastra peserta didik diajak secara langsung untuk
membaca, memahami, menganalisis dan menikmati karya sastra. Pendidikan
ini kan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan
peserta didik.98 Untuk mempermudah pemahaman kepada peserta didik,
terdapat cara untuk mengaplikasikan pembelajaran sastra.
Selain pendekatan, hal lain yang harus diperhatikan adalah strategi
untuk menjalankan pendekatan pembelajaran. Strategi yang mendukung
pendekatan saintifik adalah inquiry. Karena strategi inquiry memperoleh
informasi pembelajaran melalui observasi atau pengamatan. Dengan bahan
bacaan peserta didik yang hanya satu novel, maka metode yang akan
digunakan adalah penugasan secara individu. Hal ini dikarenakan
pembelajaran dengan materi unsur pembangun sastra merupakan
pembelajaran yang telah dipelajari oleh peserta didik saat menduduki bangku
SMP dan SMA kelas satu dan dua.
Dengan pembelajaran berpusat pada peserta didik, maka peran guru
hanya sebagai pendamping atau sebagai sumber pembelajaran alternatif jika
peserta didik tidak mampu menemukan jawaban yang peserta didik inginkan.
Salah satu karya yang cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran adalah
97 Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 20. 98 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 168-169.
93
novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Dengan novel ini peserta didik akan
mempelajari dan memahami secara keseluruhan materi pembelajaran unsur
intrinsik dan ekstrinsik, dan kebahasaan. Selain itu peserta didik diharapkan
mampu menghubungkan nilai ekstrinsik novel dengan implementasi
kehidupan sekarang. Alasan novel Kalau Tak Untung karya Selasih ini dipilih
karena novel ini merupakan novel perempuan pertama Indonesia dan
diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit resmi milik pemerintahan saat itu.
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut adalah nilai kemanusiaan,
persahabatan, pengorbanan, perjuangan perempuan, dan sebagainya untuk
ditanamkan kepada peserta didik. Peserta didik pun akan memahami bahwa
karya sastra khususnya karangan sastrawan sebelum kemerdekaan punya sisi
lain yang dapat dibahas dan dipelajari dengan cermat.
Media pembelajaran ini dapat diterapkan pada Kurikulum 2013 Edisi
Revisi 2016. Berdasarkan silabus Bahasa Indonesia kelas XII SMA semester
satu terdapat Kompetensi Dasar (3.3) yang menuntut peserta didik untuk
mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian
yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau
tulis. Dan Kompetensi Dasar (3.4) yang menuntut peserta didik dapat
menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah.
Dengan pendekatan dan metode yang dibahas di atas serta
Kompetensi Dasar tersebut maka dapat dilangsungkan kegiatan belajar
mengajar dengan memberikan penugasan secara individu dengan
menggunakan novel Kalau Tak Untung karya Selasih. Semua ini harus
diupayakan agar peserta didik mampu menguasai materi dengan baik dan
tujuan pembelajaran tercapai.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran mengenai novel, peserta didik
akan menguasai empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara,
membaca dan menulis. Sekitar dua mingu sebelum materi pembelajaran ini
diberikan, peserta didik sudah diberi tugas untuk membaca novel Kalau Tak
Untung karya Selasih. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peserta didik
menganalisisnya. Saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, peserta didik
94
diharapkan menyimak penjelasan dari guru terkait langkah-langkah
menganalisis unsur intrinsik novel. Setelah menerima informasi, peserta didik
merumuskan masalah dan menganalisa data dengan keterkaitan unsur
intrinsik (karakter tokoh, tema, alur, latar, dan gaya bahasa) pada novel Kalau
Tak Untung karya Selasih sesuai dengan soal yang diberikan. Setelah
menyelesaikan analisisnya, peserta didik akan mampu menarik kesimpulan
dan mampu mengkomunikasikan hasil dari analisis yang peserta didik pelajari
dengan menggunakan empat keterampilan berbahasa yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
Peserta didik dapat berkomunikasi atau berdiskusi dengan teman
lainnya untuk mendapatkan konsep dan pembahasan yang tepat untuk materi
pembelajaran unsur pembangun sastra dan kebahasaan. Dengan unsur
intrinsik, peserta didik akan dapat belajar sastra sekaligus mengetahui
pembelajaran sejarah Indonesia dari pengamatan yang mereka lakukan.
Dengan demikian terbukti bahwa sastra tidak hanya sebagai hiburan namun
juga sebagai pembelajaran. Selain itu, peserta didik diharapkan mampu untuk
mengambil pesan dan amanat yang terkandung dalam novel Kalau Tak
Untung dan dijadikan pembelajaran dalam keseharian peserta didik dengan
perjuangan yang tergambar dalam perilaku dan pikiran tokoh utama.
95
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis tentang "Analisis Pascakolonial dalam Novel
Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA", maka dapat disimpulkan, yakni:
1. Novel Kalau Tak Untung karya Selasih merupakan novel sosial dan sejarah
yang mengisahkan kehidupan sebelum kemerdekaan dengan sudut pandang
feminis. Tema besar novel ini, yakni perihal perjuangan perempuan dan pria
dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya dalam kondisi sosial
mereka yang tidak mendukung. Tema tambahan yang mendukung analisis
yakni kenaifan identitas yang terdapat pada beberapa tokoh. Alur cerita
menggunakan alur maju yang tersusun secara progresif. Terdapat banyak
tokoh dalam novel, namun tokoh yang dominan keberadaannya adalah
Masrul dan Rasmani yang merupakan tokoh utama (protagonis) cerita,
sedangkan Muslina merupakan tokoh tambahan antagonis, lalu Dalipah, Ibu
Masrul, Orangtua Rasmani, dan Aminah merupakan tokoh pendukung
keberadaan kedua tokoh utama. Latar tempat keseluruhan berada di wilayah
Sumatra Barat dengan nama daerah yakni, Bonjol, Painan, Padang, dan
Bukittinggi. Sementara latar waktu yang terjadi dalam cerita adalah sebelum
tahun 1930-an. Seluruh peristiwa dikisahkan berdasarkan sudut pandang
orang ketiga serba tahu dengan bahasa yang jelas, santun, dan Melayu, serta
gaya bahasa sarkasme, ironi dan hiperbola.
Perubahan sosial pascakolonial yang terjadi dalam novel Kalau Tak
Untung terdapat pada beberapa bagian pembahasan dari segi tokoh, yaitu: : 1)
pada tokoh Masrul terlihat munculnya hibriditas dan ambivalensi psikologi
pada perbedaan latar tempat; 2) pada tokoh Rasmani terlihat munculnya
hibriditas dan ambivalensi pada lingkungan masyarakat Minangkabau; 3)
pada tokoh Muslina terlihat munculnya ambivalensi psikologis, mimikri,
hibriditas dan hegemoni yang terjadi karena pengaruh kehidupan sosialnya; 4)
96
pada tokoh Ibu Masrul terlihat munculnya ambivalensi karena pandangan
Timur yang diyakininya. Kesimpulannya, setiap tokoh mengalami perubahan
sosial pascakolonialisme pada tahap alur yang hampir bersamaan pada
peningkatan konflik dan klimaks dengan balutan kisah percintaan yang
berbeda status sosial sehingga menjadikan novel ini merupakan wacana
kolonial yang dengan penulisan struktural.
2. Implikasi dari perubahan sosial yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung
dipraktikkan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas
XII semester ganjil. Berdasarkan kurikulum 2013 dengan Kompetensi Dasar
yang ingin dicapai dalam kegiatan pemebelajaran yakni KD 3.3 tentang
mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian
yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau
tulis dan 3.4 tentang menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah.
Dengan novel Kalau Tak Untung sebagai media pembelajaran, peserta didik
diharapkan memahami realita kehidupan sebelum kemerdekaan dan sesudah
kemerdekaan, sekaligus untuk menambah pengetahuan tentang perjuangan
bangsa Indonesia. Hal demikian dimaksudkan untuk menanamkan sikap
sosial dan kesadaran diri peserta didik terhadap bangsa dan negara sebagai
insan yang cinta tanah air, jujur, mandiri, bertanggung jawab, betoleransi,
serta menghargai dan keberagaman sosial.
B. Saran
Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraian, ada beberapa saran
diajukan penulis, yakni:
1. Guru dalam pembelajaran sastra sudah semestinya memaksimalkan proses
pembelajaran dengan memilihkan karya sastra yang bermutu. Meningkatkan
minat baca peserta didik untuk mengetahui dan membandingkan kehidupan
dahulu dan sekarang yang terdapat di dalam karya sastra dengan hal-hal di
kehidupan nyata. Salah satu karya sastra dapat dijadikan rujukan dalam
pembelajaran adalah novel Kalau Tak Untung karya Selasih.
97
2. Peserta didik dalam proses pembelajarannya diharapkan sungguh-sungguh
memahami isi cerita novel, sehingga dapat mengambil hal-hal positif dan
menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Dari realitas dan permasalahan
yang terjadi pada tokoh Masrul memiliki sisi positif dan negatif yang dapat
dijadikan panutan dan untuk dihindari atau dijauhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, "Sariamin Ismail: Pengarang Wanita Angkatan Balai Pustaka", Pelita Jakarta, 15 Januari 1986.
Asmuni, Marleily. H. Sariamin Ismail. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1984.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
Baek, Im Hyuk. Hegemony and Counter-Hegemony in Gramsci at Journal Asian
Perspective. USA: Lynne Rienner Publishers, Vol 15 No. 1, Spring-Summer 1991.
Budi, Langgeng Sulistyo . "Kisah di Balik Arsip: Kesepakatan Bidang Ekonomi dalam
KMB dan Pasang Surut Hubungan Indonesia-Belanda", Majalah Arsip edisi 61, Jakarta, Mei-Agustus 2013.
Budianta, Melanie. Membaca Postkolonial (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Budiman, Manneke. Sastra Indonesia Modern Kritik Postolonial. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2008.
Djamarah dan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Faruk. Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Foulcher , Keith dan Tony Day. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial, Terj. dari
Clearing a Space: postkolonial readings of modern Indondesian literature oleh Koesalah Soebagyo Toer dan Monique Soesman . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Hasan, M. Zaini. Karakteristik Penelitian Kualitatif dalam buku Pengembangan
Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990.
Homi K. Bhabha. The Location of Culture. New York, Routledge, 1994.
Loomba, Ania.Kolonialisme/Pascakolonial. Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2016.
Mahayana, Maman S., dkk, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta:
Grasindo, 1995.
Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern,
dan Postkolonial. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2015.
Prihatmi, Sri Rahayu. Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1977
Ratna , Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representatif Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
-----. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
-----. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Redaksi Harian Haluan, "Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail", Harian Haluan
Padang, 20 November 1989.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. dari A History of Modern Inonesia since 1200 Third Edition oleh Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Ridwanuddin, Dindin. Bahasa Indoensia. Jakarta: UIN Press, 2015.
Sariamin Ismail, "Surat Terbuka dari Ibu Sariamin Ismail (Selasih/Seleguri)", Harian
Haluan Riau, 20 November 1989
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2012.
Sasongko, Teguh Haryo."Bolehkah menikah dengan sepupu? ". https://health.detik.com,
22 Maret 2012.
Selasih. Kalau Tak Untung. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001.
Setiawan, Ikwan. Hibriditas Budaya dalam Lintasan Perspektif 1 dalam
http://matatimoer.or.id/2016/12/11/hibriditas-budaya-dalam-lintasan-perspektif/ diunduh pada 11 Desember 2016.
Setiawan, Ikwan. Membaca Budaya bersama Bhabha: Ambivalensi, Hibriditas, dan
Keliatan Kultural, dalam http://ikwansetiawan.web.unej.ac.id/2015/04/27/membaca-budaya-bersama-bhabha-ambivalensi-hibriditas-dan-keliatan-kultural/#_ftn2 diunduh pada 27 April 2015.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.
Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.Bandung: Pusaka
Setia, 2011.
Sungkowati, Yulitin. Ambivalensi dalam Mencari Sarang Angin dalam Jurnal
Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Volume 22, No. 1 Februari 2010.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1991.
Zarnas. "Pengarang Wanita Pertama Selasih alias Sariamin Ismail", Koran Jakarta,
Kamis, 23 Mei 1977.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMA Al-Kautsar Jakarta
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas / Semester : XII/1
Materi Pokok : Mengidentifikasi Informasi dalam Cerita Sejarah
Alokasi Waktu : 4 x 40 menit (2 pertemuan)
A. Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnyadengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia.
KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi tentang pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).
KI 4 : menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara efektif kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam ranah abstrak terkait dengan pengembangandari pelajaran, serta mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.
B. Kompetensi Dasar
2.1 Memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang memiliki kemantapan kedudukan, fungsi, dan kaidah
2.2 Meningkatkan perilaku jujur, tanggung jawab, dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kedudukan, fungsi, dan kaidah-kaidahnya
2.3 Mengembangkan sikap ingin tahu dalam memahami kaidah bahasa Indonesia 2.4 Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra
3.3 Mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis.
3.4 Menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah
C. Indikator - Siswa mampu mendeskripsikan isi dari cerita sejarah - Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik - Siswa mampu menganalisis unsur ekstrinsik dan kebahasaan
D. Tujuan Pembelajaran
- Siswa dapat menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya - Siswa dapat menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tangung
jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya
- Siswa dapat memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya
- Siswa dapat mengidentifikasi informasi pada struktur dan teks cerita sejarah - Siswa dapat mengidentifikasi informasi nilai-nilai cerita (novel) sejarah
dengan menggunakan struktur isi cerita dan struktur luar cerita - Siswa dapat mengidentifikasi unsur kebahasaan cerita (novel) sejarah.
E. Materi Pembelajaran
Fakta • Banyak karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa diantaranya
terdapat karya sastra yang diciptakan oleh masyarakat Sumatera Barat. • Ciri utama karya sastra terbitan Balai Pustaka adalah waktu terbitan yang
berkisar di tahun 1900-an hingga 1930-an. Konsep
• Struktur isi cerita prosa atau roman, fakta cerita (alur, penokohan, latar), sarana sastra (pusat pengisahan, konflik)
• Struktur luar cerita yang berhubungan dengan nilai moral Prinsip
• Karakteristik unsur intrinsik • Karakteristik unsur ekstrinsik
Prosedur • Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
F. Metode Pembelajaran
• Pendekatan : scientific
• Strategi : inquiry
• Teknik : gallery walk
• Metode : penugasan.
G. Sumber dan Media Pembelajaran
Sumber :
• Bahasa Indonesia 3 untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah
kelas XII karya Sri Suwarni dan Esti Suryani, terbitan PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri 2017.
• Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan Gadjah Mada
University, Edisi Revisi 2013. • Novel Kalau Tak Untung karya Selasih, terbitan Balai Pustaka 2001
H. Kegiatan Pembelajaran
TAHAP KEGIATAN GURU ALOKASI
WAKTU
Pertemuan ke 1
PEMBUKA
Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya
Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan
10 menit
INTI Mengamati
Siswa menerima instruksi dari guru untuk membaca novel yakni: Kalau Tak Untung karya Selasih.
Secara individu siswa mengidentifikasi isi dari cerita atau novel sejarah yang telah dibacanya dan mengurutkan peristiwa dan menyampaikan permasalahan yang menimbulkan konflik
Menanya
Siswa dapat bertanya perihal pembelajaran yang
60 menit
masih belum dipahami. Guru dapat menunjuk salah satu anggota tiap kelompok untuk menceritakan kembali isi novel yang telah dibaca.
Siswa ditugaskan: • untuk mencari teori unsur-unsur pembangun
sastra (tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan pesan) dengan data yang mendukung.
• menjelaskan unsur intrinsik (tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan pesan) pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan data yang mendukung.
Mengeksplorasi
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya
Siswa mencoba merumuskan unsur intrinsik sastra yang dikajinya dan menganalisis setiap unsur dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih Mengasosiasi
Siswa mendeskripsikan hasil dari kegiatan mengamati dan mengumpulkan informasi.
Siswa menyimpulkan dan mengestimasikan tambahan analisis pada konsep yang dibacanya atas dasar kajian sastra yang dibahas
Mengkomunikasikan
Siswa diharapkan menyampaikan hasil dari dari kesimpulan analisisnya (bisa dipilih dan ditunjuk guru)
Melaporkan hasil penelitian baik secara tertulis tentang unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih.
PENUTUP
Bersama-sama siswa menyimpulkan secara keseluruhan isi cerita dan analisis unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
Siswa berdoa untuk menutup kegiatan pembelajaran.
10 menit
Pertemuan ke 2
PEMBUKA
Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya
Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan
Catatan: contoh karya sastra yang digunakan Kalau Tak Untung karya Selasih digunakan sebagai stimulan dengan pertanyaan untuk memasuki kegiatan inti
10 menit
INTI Mengamati
Siswa menerima instruksi dari guru mengingat isi dari novel Kalau Tak Untung karya Selasih
Secara individu siswa mengidentifikasi isi dari cerita atau novel sejarah yang telah dibacanya dan menyebutkan nilai-nilai ekstrinsik dan kebahasaannya.
Menanya Siswa dapat bertanya perihal pembelajaran yang masih belum dipahami.
Guru dapat menunjuk salah satu anggota tiap kelompok untuk menceritakan kembali isi novel yang telah dibaca.
Siswa ditugaskan: • untuk mencari teori nilai-nilai ekstrinsik dan
mengelompokkan kalimat dengan data yang mendukung.
• menjelaskan unsur ekstrinsik dan menganalisis kebahasaan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih dengan data yang mendukung.
60 menit
Mengeksplorasi
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya
Siswa mencoba merumuskan unsur ekstrinsik sastra yang dikajinya dan menganalisis setiap unsur dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih
Siswa mencoba menganalisis kebahasaan dengan mengaitkan pada novel Kalau Tak Untung karya Selasih Mengasosiasi
Siswa mendeskripsikan hasil dari kegiatan mengamati dan mengumpulkan informasi.
Siswa menyimpulkan dan mengestimasikan tambahan analisis pada konsep yang dibacanya atas dasar kajian sastra yang dibahas
Siswa menyimpulkan dan mengelompokkan kebahasaan yang dianalisisnya dengan menggunakan konsep dan cerita yang dibacanya.
Mengkomunikasikan
Siswa diharapkan menyampaikan hasil dari dari kesimpulan analisisnya (bisa dipilih dan ditunjuk guru)
Melaporkan hasil penelitian baik secara tertulis tentang unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih.
PENUTUP
Bersama-sama siswa menyimpulkan secara keseluruhan hasil analisis unsur ekstrinsik dan kebahasaan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
Siswa berdoa untuk menutup kegiatan pembelajaran.
10 menit
I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Teknik dan Bentuk
Tugas: • Siswa diminta membaca novel Kalau tak Untung karya Selasih • Siswa diminta untuk menceritakan kembali isi cerita yang telah
dibacanya, yaitu Kalau Tak Untung karya Selasih • Secara individu siswa memahami unsur intrinsik (tema, alur,
latar, penokohan, sudut pandang, dan pesan) yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
• Secara individu siswa memahami unsur ekstrinsik (pendidikan, politik, moral, dll) yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
• Siswa diminta mengungkapkan pengetahuan mereka tentang sejarah sebelum masa kemerdekaan
Observasi kinerja: • Setiap siswa memberikan analisisnya dan dapat memberikan
tambahan untuk siswa yang lainnya dengan mendiskusikannya bersama
Tes Lisan: • Siswa mampu:
1. Menceritakan kembali isi cerita/novel Kalau Tak Untung karya Selasih
2. Menjelaskan konsep unsur pembangun sastra 3. Menjelaskan konsep kebahasaan
Tes Tulis: • Siswa menjawab pertanyaan:
1. Jelaskan unsur intrinsik dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
2. Jelaskan kebahasaan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih
Tangerang, 26 Juni 2018
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
............................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
Uraian Materi
Sastra
Sebutan novel berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti 'sebuah barang baru yang kecil', dan kemudian
diartikan sebagai 'cerita pendek dalam bentuk prosa'. Dewasa ini istilah novella dan
novelle mengandung pengertian yag sama dnegan istilah Indonesia 'novelet' (Inggris
novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Namun novel merupakan sebuah cerita yang
panjang dan terdiri dari ratusan halaman.1
Dalam setiap terbentuknya novel terdapat dua unsur utama, yakni unsur intrinsik
dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu hal-hal yang membangun karya sastra itu
dari dalam. Unsur ekstrinsik, yaitu hal-hal yang memengaruhi karya sastra yang berasal
dari luar. Berikut unsur instrinsik karya sastra:
1. Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang
dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara eksplisit.2 Untuk
menemukan tema dalam sebuah karya sastra tidaklah mudah karena tema
bersembunyi di balik cerita. Penafsiran tema harus dilakukan berdasarkan fakta
yang dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide
pewatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Penafsiran dapat dimulai
dengan memahami tokoh, terutama tokohutama. Para tokoh utama biasanya
"dibebani" tugas membawakan tema, hal ini berguna untuk memahami keadaan.
Selanjutnya adalah memahami alur cerita dengan menemukan, memahami, dan
menafsirkan konflik, khususnya konflik utama, yang menentukan arah plot.
Konflik merupakan salah satu unsur plot yang penting kehadirannya. Konflik
sebuah novel biasanya cukup banyak, maka yang harusditemuka adalah konflik
utama. Jika konflik utama berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang
bersangkutan sudah dapat dipahami karena menjadi hal utama untuk menentukan
tema sebuah sastra. 1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University,
2013), Edisi Revisi, h. 11-12. 2 Ibid., h. 115.
2. Alur/Plot merupakan cerinan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para
tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah kehidupan. Namun, tidak semua tingkah laku kehidupan manusia
mengandung plot. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan manusia
bersifat plot jika bersifat khas, mengandung unsur konflik,saling berkaitan, dan
bersifat dramatik.3 Terdapat dua cara yang digunakan untuk menyusun bagian-
bagian cerita. Pertama, penulis dapat menyusun tema, mulai dari tahap
pengenalan sampai tahap penyelesaian atau yang kedua, yaitu penulis atau
pengarang menyusun peristiwa secara acak/tidak berurutan yang biasanya juga
disebut dengasn alur sorot balik (flashback). Adapun tahapan dalam alur maju,
yaitu:
a. Memulai dengan melukiskan keadaan (situation)
b. Mulai bergerak (generating circumtanses)
c. Keadaan mulai memuncak (rising action)
d. Mencapai titik klimaks (climax)
e. Pemecahan masalah atau penyelesaian masalah (denouement)4
3. Latar atau setting yang dapat disebut juga landas tumpu, menunjuk pengertian
pada tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga
unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Latar tempat menunjuk
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar
waktu berhubugan dengan masalah 'kapan' terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi yang biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Sedangkan, latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks dengan berupa kebiasaan hidup, cara
berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu,
latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.5
3 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 169. 4 Sri Suwarni dan Esti Suryani, Bahasa Indonesia 3 untuk SMA dan MA, (Solo: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2017), h. 58. 5 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314-322
4. Tokoh adalah istilah yang merujuk pada si pelaku atau pada orangnya, sedangkan
watak, perwtak, karakter, menunjukkan pada sifat dan sikap dari seorang tokoh.
Penokohan karakter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penokohan langsung
dan penokohan tidak langsung. Penokohan langsung yaitu pengarang
menyebutkan secara langsung sifat atau sikap si tokoh dalam sebuah cerita
sehingga pembaca tidak perlu menyimpulkan perwatakan dari tokoh tersebut.
Penokohan tidak langsung adalah penokohan yang pengarangnya tidak
menyebutkan secara langsung sifat si tokoh melauinkan melalui tingkah laku
tokoh, sikap tokoh, ucapan tokoh, maupun gerakan fisik tokoh, dalam hal ini
pembaca harus menyimpulkan sendiri perwatakan dari tokoh tersebut. Tokoh
meliputi seluruh tokoh yang diceritakan, sedangkan penokohan merupakan
karakter dari para tokoh.
5. Sudut pandang (point of view) merupakan cara atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang cerita secara garis besar dapat
dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama (first-person) dengan gaya
'aku', dan persona ketiga (third-person), gaya 'dia'. Jadi sudut pandang 'aku' dan
'dia', dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan.
6. Gaya bahasa (stile) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Pada
hakikatnya gaya bahasa merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang
dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai
efek keindahan.
7. Pesan atau amanat merupakan ide terpenting yang dituangkan dalam novel untuk
disampaikan kepada pembaca. Pesan atau amanat ditemukan melalui narasi
pengarang atau dialog atartokoh.
Unsur ekstrinsik merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya
sastra dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti, dan pengaruhnya.
Walaupun penting, unsur-unsur ekstrinsik tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya.
Eksistensi karya sastra terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsur
ekstrinsiknya. Nilai-nilai ekstrinsik secara umum yang sering dimunculkan dalam karya
sastra berbentuk teks cerita (novel) sejarah seperti nilai pendidikan, nilai politik, nilai
patriotik, dan nilai moral. Unsur ekstrinsik berkaitan dengan kehidupan pribadi
pengarang atau dapat berupa hasil dari penelitian untuk menjadi dasar isi cerita dalam
karyanya.
Kebahasaan
Untuk dapat memahami kebahasaan dalam teks novel, akan lebih baik jika
mencermati kata maupun kalimat yang terdapat dalam teks. Jenis kalimat yang
digunakan, yaitu:
1. Kalimat simpleks adalah kalimat yang memiliki konjungsi koordinatif atau
kata penghubung koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua
unsur kalimat atau lebih yang kedudukannya setara atau sederajat. Misalnya:
penanda hubungan penambahan (dan), penanda hubungan pendampingan
(serta), penanda hubungan pemilihan (atau), penanda hubungan pertentangan
(padahal, sedangkan, bahkan, namun)
2. Kalimat kompleks adalah kalimat yang terdiri lebih dari satu aksi, peristiwa,
atau keadaan sehingga mempunyai lebih dari satu verba umum (kata yang
menggambarkan keadaan, proses, atau perbuatan) dalam lebih dari satu
struktur. Di dalam teks tanggapan kritis ditandai dengan adanya kalimat
kompleks (kalimat majemuk), baik kalimat majemuk setara ataupun kalimat
majemuk bertingkat.
Rubrik Instrumen
a. Penilaian Sikap
LEMBAR PENGAMATAN OBSERVASI
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Program : XII
Kompetensi : 3.3 Mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi,
rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi dan
resolusi dalam cerita sejarah lisan atau tulis.
3.4 Menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah
Materi : - Unsur intrinsik dan ekstrinsik.
- Kebahasaan
NoNama Siswa
Sikap Pribadi Sikap Ilmiah Jumlah
Skor Nilai Jujur Displ Tgjwb Kritis Objek Toleransi
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Alimar Syahreza 4 4 3 4 3 3 21
Keterangan pengisian skor:
4. Sangat baik
3. Baik
2. Cukup
1. Kurang
Nilai : Nilai Skor x 100
24
b. Tes Lisan
No Aspek Penilaian Bobot Nilai 1 Menceritakan kembali isi novel
a. Sesuai (5) b. Kurang Sesuai (3) c. Tidak Sesuai (1)
5
2 Kemampuan mengetahui teori instrinsik dan ekstrinsik
a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1)
5
3 Kemampuan teori kebahasaan a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1)
5
Nilai = jumlah skor yang diperoleh x 100
Skor maksimal (15)
Soal
1. Sebutkan dan jelaskan unsur intrinsik (tema, tokoh, alur, latar dan pesan) dalam
novel Kalau Tak Untung karya Selasih!
2. Sebutkan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung karya
Selasih!
Jawaban
1. Unsur intrinsik
No Unsur Intrinsik Penjelasan 1 Tema Tema mayor adalah tentang ketidakberuntungan dua insan
dalam percintaan. Mereka saling mencintai namun sayang halangan selalu hadir untuk mempersatukan mereka. Tema minor dalam novel yakni perihal perjuangan perempuan dan pria dalam memperjuangkan pemikirannya dan keinginannya dalam kondisi sosial mereka yang tidak mendukung akan hal itu.
2 Alur Maju a. Tahap Penyituasian
Penyituasian dalam novel adalah menggambarkan lingkungan tempat kedua tokoh utama ini dibesarkan di sebuah desa yang nyaman dan memiliki keramahtamahan terhadap tetangga maupun saudara yang tidak memandang latar belakang ekonomi yang berbeda.
b. Tahap Pemunculan Konflik Terjadi saat Masrul telah pindah ke Painan dan tinggal di tempat seperti indekos atau pemondokan. Masrul kenal dekat dengan induk semangnya. Suatu hari dirinya dikenalkan pada seorang Engku Guru gedang (besar) yang memiliki seorang putri yang cantik jelita dan menginginkan Masrul sebagai suami bagi putrinya.
c. Tahap Peningkatan Konflik Adanya keraguan dalam diri Masrul akan dirinya sendiri. Tahapan ini berkembang menjadi pertentangan yang terjadi pada diri Masrul. Masrul menikahi Muslina
d. Tahap Klimaks Pada tahap klimaks ini adalah tentang kesengsaraan dan penderitaan yang dialami tokoh utama dengan jalan kehidupan yang dipilihnya
e. Tahap Penyelesaian Penyelesaian cerita Kalau Tak Untung ini penulis menjelaskan secara tersirat bahwa nasib kedua tokoh tersebut “Tak Beruntung”.
3 Latar - Latar waktu: terjadi sebelum tahun 1930-an. Terdapat juga
keterangan waktu hari seperti pagi, siang, sore dan malam. - Latar tempat di Painan, Bonjol, Padang dan Bukitting - Latar sosial-budaya: Minangkabau
4 Tokoh - Masrul merupakan tokoh utama pria yang memiliki karakter tokoh dinamis. Sepanjang cerita, perjalanan hidup Masrul yang memiliki perubahan paling banyak. Perilaku yang dahulu berbudi pekerti berubah menjadi suka minum dan berjudi, bahkan melupakan shalat.
- Rasmani merupakan tokoh utama perempuan yang memiliki ciri tokoh statis. Sepanjang cerita, Rasmani bertepuk sebelah tangan dengan Masrul. Sifat Rasmani merupakan pribadi yang santun dan terpelajar
- Muslina merupakan tokoh pendukung keberadaan dan perubahan yang terjadi pada tokoh Masrul. Sifat Muslina diceritakan ringan tangan dan ringan tangan
- Dalipah merupakan tokoh pendukung keberadaan Rasmani dan juga kakak dari Rasmani. Sifat dan karakter dalam cerita dia merupakan kakak yang sayang pada adiknya dan rendah hati.
- Ibu Masrul merupakan tokoh pendukung keberadaan tokoh Masrul yang memiliki ciri tokoh dinamis karena ketidaksukaannya pada Rasmani berubah setelah mengenal Rasmani lebih dekat. Sifat yang diceritakan dia seorang ibu yang sayang pada putranya namun kelemahannya dia termakan omongan orang sekitarnya
- Aminah merupakan tokoh pendukung keberadaan Rasmani dan Masrul. Sifat dan karakter Aminah juga sama dengan Ibu Masrul yang mudah termakan omongan orang sekitarnya.
5 Pesan Pesan yang dapat diambil adalah menghormati orangtua, janji yang sepatutnya ditepati, dan tentang mengambil keputusan dengan melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang baik buruk.
2. Unsur ekstrinsik
Nilai pendidikan yang dapat dipetik dengan membandingkan pendidikan pada masa
sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Kesulitan untuk mendapatkan
pendidikan dasar hingga harus jalan jauh tanpa kendaraan dan sekolah sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan penjajah
Nilai sosial yang terlihat jelas adalah pejuangan persamaan gender dari kekangan
peraturan adat yang menyulitkan perempuan untuk meraih apa yang mereka
inginkan. Pemahaman kehidupan sosial yang terjadi pada sekitar tahun 1930-an yang
tanpa disadari masih berada dalam kuasa penjajah.
BIOGRAFI PENULIS
Nurlaily Hanifah Amalia lahir di Jakarta, 03
Desember 1993. Anak ketiga dari pasangan Tino A.S
dan Sri Hastuti ini memulai pendidikan di SD 03 Pagi
Jakarta Selatan (sekarang 01 Pagi) lalu memilih
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 12 Jakarta.
Kemudian ia melanjutkan ke sekolah kejuruan di SMK
Negeri 28 Jakarta jurusan Akomodasi Perhotelan dan
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi yakni di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sejak kecil penulis tidak lepas dari dunia seni tari, namun memasuki dunia
kuliah penulis mulai mencoba dunia teater dan pentas dengan judul Syekh Siti
Jenar dengan sutradara Arie F Batubara bersama UKM Teater Syahid.
Pementasan berikutnya penulis mencoba menjadi sutradara dalam pementasan
CIPOA karya Putu Wijaya yang diselenggarakan oleh jurusan PBSI (Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia).