puzzle 1_ ambivalensi

14
Lihatlah tatapan mentari di ufuk timur, tertawa sendu memandangi hati, bertaburkan pendaran bintang fajar, laksana sorotan mata bidadari yang mengintip bumi, menatap penuh kagum para hamba Allah yang tersungkur sujud menundukkan jiwa kepada Rabbnya, Di antara awan pagi ia berlayar, menjaring sayap reruntuhan malam, agar tak jatuh ke bumi, agar tak terjun di tanah landai, Seruling keanggunannya mencemburui kabut senja, yang telah layu dimakan usia dan derita, perlahan namun pasti, denting suaranya memutar daun yang berguguran, menari dengan lincah diantara serbuan angin pagi. ~Seraut Puisi Penyapa Pagi

Upload: affan-nursalam

Post on 06-Nov-2015

239 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Karya aslinya silahkan ketik nama penulisnya: Fenfen Fenda Florena

TRANSCRIPT

Slide 1

Lihatlah tatapan mentari di ufuk timur,tertawa sendu memandangi hati, bertaburkan pendaran bintang fajar,laksana sorotan mata bidadari yang mengintip bumi,menatap penuh kagum para hamba Allahyang tersungkur sujud menundukkan jiwakepada Rabbnya,

Di antara awan pagi ia berlayar,menjaring sayap reruntuhan malam,agar tak jatuh ke bumi, agar tak terjun di tanah landai,

Seruling keanggunannya mencemburui kabut senja,yang telah layu dimakan usia dan derita,perlahan namun pasti,denting suaranya memutar daun yang berguguran,menari dengan lincah diantara serbuan angin pagi.

~Seraut Puisi Penyapa Pagi

merah merona di antara kepakan burung-burung dara, yang melenyap karena terbias sinar indahnya, persis ketika ku tatap kedua matanya, yang memantulkan rasa kagum dan malu,

terkagum aku karena pesona kewibawaannya,terhinggap malu karena luntur keberanianku,

saat tatapan terjatuh pada matanya,yang bening, dalam dan jauh menyeruakke dalam lorong jiwaku yang sempit dan gelap, seakan tahu isi setiap detail dalam hati,seakan hafal setiap kata yang tertahan oleh lidah.

aku rindu pada lukisan pagi yang indah terbayang,aku rindu pada siluet senja yang cerah membayang,

Sahabat, seandainya engkau disini,kan ku ajak engkau menari bersama pagi,kan ku ajak engkau berlari menyalip sinar mentari,namun engkau tak lagi ada disampingku.di sini aku menantimu, wahai sahabat..

Sebuah cinderamata untuk hidup yang penuh artiPuzzle1Ambivalensi

Puzzle1Ambivalensi

Nusantara Indonesia adalah negeri kepulauan yang mempesona setiap mata. Diberkahi tanah subur dan iklim yang baik, di peluk garis lengkung Khatulistiwa, hiduplah 245 juta jiwa yang terdiri atas ratusan suku yang empunya lebih dari seribu bahasa. Nusantara adalah negeri kaya raya akan tradisi, seni dan cita rasa. Menjadi tempat pertemuan aktifitas benturan tiga mega Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik Nusantara terbelit sabuk api dunia yang sangat aktif, Ring of Fire.

Diantara bayangan 30 gunung berapi, teronggok satu gugusan pulau panjang yang membentang bak raksasa pegunungan yang menjulang langit. Daratan dan pegunungan yang menjadi tempat bermukim hampir 120 juta jiwa, Paris Van Java, itulah Pulau Jawa yang gemah ripah loh jinawi.

Entah hal apa yang mendorong kami hingga sampai terjebak disini. Di kaki gunung terbesar kedua di Pulau Jawa Barat yang kerap dikunjungi para peneliti dari mancanegara. Terletak pada posisi geografis 106o51 - 107 o02 BT dan 64 o 1 651 o LS, Gunung Gede-Pangrango menjadi kawah candradimuka para pendaki dan peneliti yang tertarik akan tarian pesona yang disuguhkannya dalam panggung api stratovulcano tersebut.Hampir 200 tahun silam, tepatnya pada tahun 1819, C.G.C Reinwardt mendaki gunung ini, disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861) dan beberapa peneliti lainnya hingga hasil penelitian tumbuhan berhasil diterbitkan dalam buku The Mountain Flora of Java pada tahun 1972.

Gunung Gede-Pangrango memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari hutan submontana, Montana, subalpine, serta ekosistem danau, rawa dan savana. Dengan luas wilayah sebesar 21.975 ha, Gunung ini kaya akan berbagai jenis satwa. Ada lebih dari 50 mamalia, 262 jenis burung, 30 jenis reptil, 23 jenis amfibi. Termasuk diantaranya satwa langka yang dilindungi.

Bismillah, tepat pukul 12.30 siang selepas dzuhur kami berangkat melalui pintu masuk Cibodas. Baru empat puluh menit berjalan, sudah hampir lebih dari 1,5 km kami lewati. Kami menyaksikan atraksi riak-riak air danau yang menari-nari dengan pita biru. Berdasarkan peta area gunung yang kami pelajari, kami sudah tiba di danau yang dipenuhi dengan ganggang biru yang memantulkan sinar matahari menjadi warna biru, Telaga Biru. Pos pertama yang menandakan bahwa kami berada pada jalur yang tepat.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju pos pendakian selanjutnya. Berjalan, terus berjalan mengikuti semilir angin yang sedikit mengusap keringat asin yang mulai memancar dari pori-pori. Menyusuri pinggir sungai yang berkelok damai penuh ketenangan ditemani Amblonyx cinereus- berang-berang- yang sedang bermain petak umpet dengan kepiting dan udang.

Brrrrhh. Setelah 2,8 km perjalanan terdengar suara berat yang berasal dari jatuhan air mulai terdengar berdegum nyaring. Menyibak daun-daun yang menghalangi pandangan, tersuguhkan sebuah pemandangan yang menyejukkan raga. Inilah Air terjun Cibeureum yang terbentuk dari tiga aliran sungai bernama Sungai Cibeurum, Cidendeng dan Cikundul. Dengan tingginya yang hampir mencapai 50 meter. Menjatuhkan gerombolan arus menjadi pisau-pisau air yang mematuk batuan lumut endemik yang merah dan keras. Menakjubkan! Subhanallah..

Tiga setengah jam pun berlalu dan tepat sesuai perkiraan, kami sudah tiba di pos pendakian kedua. Kandang Batu dan Kandang Badak di ketinggian 2.220 m dpl-meter di atas permukaan laut-, wilayah yang cocok untuk beristirahat sejenak selepas shalat Ashar, lalu mengisi ulang botol minum yang mulai kosong karena terdapat sumber air yang cukup bersih juga untuk berwudhu. Setengah perjalanan sudah berhasil kami lalui, mudah-mudahan ketika magrib sudah tiba di puncak. Kami pun mengulang bismillah.

Sobat, pendakian bukanlah hal yang menggembirakan. Semakin tinggi mendaki, semakin besar energi yang harus dikeluarkan, kondisi kita semakin lelah, semakin lama semakin memburuk. Setiap hari kita tak menyukai udara dingin, membenci duri, jalanan yang licin dan rapuh, dan tebing batu. Satu menit rasanya lama sekali, satu detik pun serasa terlepas dari gravitasi yang menarik bumi. Setiap satu langkah, cairan dalam tubuh menguap dengan cepat terangkat oleh panas matahari yang perih menyengat. Sudah dua botol minuman ku teguk tapi tetap saja ku merasakan musim kemarau panjang hadir dalam kerongkongan yang serak ini. Ya ampun, rasa-rasanya aku sudah tak kuat lagi!

Kita benar-benar membenci ketika kaki terpeleset, karena lelah dan tak sengaja malah menginjak akar dan gundukan tanah yang lapuk, tapi di sisi lain kita belajar untuk suka mendaki. Pada sisi yang lain pun, timbul kepuasan dan kebahagiaan saat sampai di puncak. Semua kelelahan yang dialami seakan menguap begitu saja. Dalam dinding-dinding dadaku kerap terpantul-pantul pertanyaan yang tak kunjung terjawab setelah sekian kalinya melakukan pendakian serupa. Inikah ambivalensi? Inikah dualisme antara suka dan benci yang terpintal menjadi satu rajutan yang lekat dalam ambisi dan jiwa petualangku?

Puncak memang masih 3,5 jam lagi, tapi ketika ambivalensi tersebut hadir, puncak serasa ada di depan mata. Begitulah kekuatan dari dualisme rasa yang sekilat hadir menyalami persepsi dan aksi. Ya, terkadang orang-orang besar sukses melakukan pekerjaan yang tidak mereka sukai, namun mereka mahir dengan pekerjaan tersebut. Disukai atau tidak, ya inilah ambivalensi.

Kekuatan yang menembus batas logika dan akal sehat, selalu bersumber dari kekuatan mimpi yang berasal dari keyakinan yang kuat. Itulah sebabnya hingga saat ini aku masih setia memerahkan tekad untuk terus menciptakan penaklukan-penaklukan yang gagah berani!

Aku ingin berlari di antara sabana, melompati delta dan muara, merangkak diantara goa, jatuh dan tersandung batu pualam. aku ingin melintasi khatulistiwa, menerjang ombak di samudera, dan menggenggam cakrawala. Aku ingin berkata kepada dunia bahwa aku BISA!

Puzzle 2Tak Harus MemilikiKlik tautan: