masa depan biarawan/biarawati katolik
DESCRIPTION
In Indonesian language, "The future of consecrated women/men in the Catholic Church in the 21st century", originally a paper presented by Martin Suhartono, S.J. at the Seminar "Challenges of the 21st Century and Consecrated Life", organized by Publishing & Printing House Kanisius, 11 January 1998 Yogyakarta, 18 January 1998.TRANSCRIPT
MASIH ADAKAH BIARAWATI/WAN DI ABAD KE-21?
"Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-KU tidak akan berlalu" (Mk 13:31)
Martin Suhartono, S.J.
Senang tidak senang, saya nongol di sini ini karena dianggap biang kerok artikel yang bikin
heboh seantero dunia persilatan ... eh, persusteran, yaitu "Susterku Sayang, Susterku Malang!"
(Rubrik Oase, Majalah Hidup No. 26-28, Juni-Juli 1997, buku EGP hlm. 111-134). Heboh tidak
heboh, emang gue pikirin? Tapi ya orang hidup itu tidak bisa cuek-cuek saja (kalo koek-koek sih
bisa aja!), jadi ya saya terpaksa menjadi "Martinku Malang" dan ikut bertanya-tanya, "Emangnye
kenape sih pada ribut?"
Emangnye biarawati/wan lagi krisis?
Gara-gara tulisan itu, banyak orang tanya, "Ngapain sih elo nulis-nulis begituan?!" Ada yang
positive-thinking, tapi tidak sedikit yang main tuduh. Kalau dipikar-pikir sih, sebenarnya, tidak
ada yang istimewa dalam penulisan artikel itu. Ilham illahi juga sepertinya tidak pernah menclok
di jidat saya tuh! Itu semua gara-gara ada yang komentar, "Mosok nulis tentang macam-macam
di Oase, tapi tentang para suster nggak pernah?" Nah, tahu sendirilah hasilnya!
Biar ada celaan, semua orang (kayaknya sih!) setuju bahwa situasi biara yang
digambarkan di situ memang sesuai dengan kenyataan. Cuma saja, ada yang rada-rada sewot,
"Kayak gitu kok ditulis sih, cuman membuka borok dan mencoret kening Gereja sendiri!" Waktu
menulis artikel itu, terus terang saya tidak merasa lagi ngintipin borok-borok para suster tuh!
Apalagi, coba saja baca sendiri, tidak ada nada pesimisme di situ. Malahan sebaliknya, tulisan itu
diakhiri dengan kalimat penuh makna simbolik (caile!), cuma saja, sayangnya tidak dimuat
dalam Hidup karena dipotong redaksi tapi bisa dibaca dalam buku EGP, yaitu "Matahari pun
bersinar cerah" (hlm. 134).
Jadi saya menulis artikel itu bukan karena saya melihat ada krisis hidup membiara dan
terus mau mengeritik atau memperbaiki, tapi cuma gara-gara mau menulis tentang para suster, eh
... jebulane kok yang spontan keluar ya seperti itu. Tapi justru gara-gara muncul polemik itulah
orang jadi curiga, (jangan-jangan nih ya) memang ada yang tidak beres dengan hidup membiara
dewasa ini! (nah lo!)
Nah, apa yang dirasa tidak beres itu? Para suster, bruder, frater mustinya punya macam-
macam pengalaman hidup membiara. Dan para bapak, ibu dan saudara/i tentunya juga pernah
bertemu atau ngobrol dengan, atau paling tidak melihat dari jauh, orang-orang berjubah itu (kalo
Martin/Abad-21/hal. 2
belon ya keterlaluan dong, kuper ah!) Nah, nanti ada kesempatan untuk mengeluarkan unag-
uneg Anda. Sekarang ini biar saya dulu saja yang menyoroti mereka dari salah satu segi.
Atau mungkin kena virus disorientasi?
Saya mulai saja dengan yang digambarkan dalam "Susterku Sayang". Ada suster muda yang
kecewa karena pekerjaannya tidak sesuai dengan cita-citanya. Dia merasa terpanggil melayani
orang miskin, eh malah musti kerja di sekolah anak-anak kaya. Suster lain, yang akhirnya keluar
dan menikah (dalam kisah tampil tak langsung dalam diri anak lelakinya yang bermuka monyet),
kecewa karena kehidupan dalam biara jauh dari cita-cita kekeluargaan seperti yang tadinya
diimpikan, jauhhhhhh dari kehidupan biara pertapaan yang penuh cintakasih seperti diceritakan
seorang anak (keponakan seorang suster di biara itu).
Ada lagi dua suster muda yang sedang jatuh cinta (ehm, ehm, ehm!). Yang satu makin
mantap jadi suster (nah, gitu dong!). Yang lain, malah makin mantap jadi perempuan (eh, bukan
berarti suster kurang perempuan lho ya!) dan akhirnya nikah tamasya (bukan kawin lari, lho ya!).
Ada juga Suster Kebir ("kepala biara", bukan "kebiri" lho ya!) yang kebingungan menghadapi
"anak-anak buah"nya, gara-garanya kehidupan mereka jauh dari bayangan Suster Kebir itu.
Kisah "Susterku Sayang" ditutup dengan kedatangan suster-suster yang tadinya berkarya di
pedalaman dan karena gawatnya situasi di sana terpaksa mengungsi ke kota dan memulai
pelayanan baru di daerah kumuh tengah kota (tuh kan bukan cuman yang jelek-jelek aja yang
diceritain kok!).
Kebanyakan tokoh-tokoh fiktif itu mengalami "rasa kehilangan arah", disorientasi. Apa
yang mereka kerjakan sebagai suster ternyata tidak persis seperti yang mereka idam-idamkan
waktu mereka masuk biara. Waktu orang memutuskan masuk biara, dia punya cita-cita tertentu
(bisa murni bisa tidak!). Dan waktu dia memutuskan masuk salah satu tarekat, dan bukan tarekat
lainnya, itu karena dia yakin bahwa aspirasi yang ada dalam dasar lubuk hatinya itu ternyata
sesuai dengan tujuan tarekat yang dipilihnya itu. Jadi ceritanya, aspirasi "dari dalam" mendapat
tempat dalam tujuan "dari luar".
Sayangnya nih ya, dalam perjalanan waktu, bisa saja terjadi bahwa baik aspirasi dari
dalam maupun tujuan dari luar itu menjadi kabur, tidak jelas lagi. Sebabnya bisa macam-macam
(cari sendirilah yauw!). Akibatnya, orang cuma hidup dari hari ke hari, mengalir begitu saja
bersama arus (bisa arus kuat, bisa arus lemah! kayak listrik aja!). Hilang sudah segala macam
idealisme.
Orang tadinya mau dekat-dekat sama Allah, eh nyatanya makin hari makin hidup rutin
abis-abisan dan sibuk banget-bangetan sampai-sampai dia tidak bisa merasakan lagi bahwa ada
yang namanya Allah. Orang tadinya kepengin melayani sesama, eh nyatanya makin lama makin
terjerat aturan dan lembaga yang membuat dia asing dari orang lain. Tadinya orang kepengin
hidup sesuai dengan cita-cita tarekatnya, eh lama kelamaan malah tarekatnyalah yang musti
hidup menurut cita-cita dan selera pribadinya sendiri. Syukur-syukur ada yang sadar, tapi sayang
beribu sayang, banyak juga yang nggak sadar-sadar (semaput terus, atau lagi koma!)!
Martin/Abad-21/hal. 3
Buntut-buntutnya, orang jadi bertanya-tanya, "Lho, buat apa aku dulu masuk biara sih?"
Alih-alih meninggalkan dunia dan mendapat sorga, eh malahan sorga tidak teraih, neraka pun
menolak! Dan akhirnya orang musti memilih: keluar dari biara, atau terus dalam biara (tapi ya
cuma hidup-hidupan saja) tanpa semangat dan sukacita. Kemungkinan lainnya: terus, sambil tua-
tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi! Nah, kita pun bisa ikut bertanya:
Apa sih inti hidup membiara?
Orang bisa saja sih berteori atau berteologi macam-macam tentang hidup membiara. Tapi secara
gampangan bisa dibilang begini. Orang hidup membiara itu karena bertekad melaksanakan
secara radikal (sedalam-dalamnya) dan total (menyeluruh) kata-kata Yesus yang berbunyi,
"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada
orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan
ikutlah Aku" (Mat 19:21).
Kata-kata Yesus itu pernah mendorong seorang pemuda belasan tahun bernama
Antonius, yang hidup di Mesir pada abad ketiga (251-356), untuk menjual hartabendanya dan
membagikan hasil penjualannya kepada orang miskin. Antonius lalu hidup sebagai pertapa di
kuburan dekat desa selama 15 tahun. Sesudah itu dia lebih memencilkan diri lagi ke sebuah
gunung dekat Sungai Nil dan hidup di situ selama 20 tahun. Pada tahun 305 ia keluar dari
pertapaannya dan mulai mengorganisir para pertapa lain yang waktu itu hidup sendiri-sendiri
dekat situ untuk mengikuti jejaknya.
Agak ke selatan tapi pada waktu bersamaan, Pakhomius (287-346) yang selagi jadi
tentara tersentuh oleh kebaikan hati orang Kristen, digerakkan juga untuk mencari dan mengabdi
Allah. Setelah bertapa selama tiga tahun dan berguru kepada seorang rahib tua selama tujuh
tahun, ia mengorganisir para rahib (monachos, monk) untuk hidup bersama dalam komunitas-
komunitas.
Santo Antonius dari padang pasir dan Santo Pakhomius itu sering dianggap sebagai
pelopor hidup membiara dalam Gereja; Antonius dalam hidup sebagai rahib pertapa (eremit,
anchorit) Pakhomius dalam hidup sebagai rahib yang tinggal berkomunitas (cenobit). Waktu itu,
muncul juga komunitas-komunitas biarawati, misalnya dipimpin oleh Maria (saudara perempuan
Pakhomius) di Mesir, Paula di Betlehem, Melania di Yerusalem.
Tapi jangan dipikir bahwa pada abad ketiga itulah pertama kalinya orang menghayati
radikalitas dan totalitas hidup yang dibaktikan kepada Allah. Yang dimulai oleh Antonius dan
Pakhomius adalah mengatur hidup semacam itu lewat aturan-aturan hidup membiara. Sebelum
mereka, sudah selalu ada orang yang tertarik pada hidup matiraga (asketis), yaitu hidup yang
dibaktikan kepada Allah lewat doa, lakutapa, hidup tak kawin (selibat), dalam kemiskinan dan
kesendirian.
Jelas dong, bentuk-bentuk hidup membiara seperti yang kita kenal di dunia modern
sekarang ini belum ada dalam masa PL dan PB! Tapi kalau benih-benihnya sih sudah ada dari
sononye.
Martin/Abad-21/hal. 4
Dalam Perjanjian Lama ada para Nazir Allah, yaitu orang-orang yang mengucapkan
nazar khusus kepada Allah. Mereka mengkhususkan diri bagi Allah a.l. dengan tidak mencukur
rambut mereka (kayak hippie, cuman rapian dikit!), tidak minum anggur (apalagi oplosan!),
tidak menajiskan diri (belon ada nipam, putauw, perek dll!), supaya mereka selalu siap ikut
perayaan liturgi (Bil 6:2; bdk. Simson dalam Hak 13:7; para teruna Israel dalam Am 2:11; Paulus
dalam Kis 18:18; 21:26). Mirip dengan kaum Nazir, ada juga kaum Rekhab yang demi Yahweh
memprotes cara hidup Israel yang dipengaruhi oleh budaya kafir Kanaan dan memilih hidup
sebagai pengembara (Yer 35).
Lebih penting daripada kedua kelompok itu, tentu saja, ada para Nabi: orang-orang
dengan panggilan khusus melayani Allah dan Umat-Nya. Di antara mereka, ada dua figur
menonjol yang sering dianggap cikal bakal hidup membiara. Yang pertama, Elia, yang selalu
sadar akan hadirat Allah, hidup sebagai pertapa, penuh doa dan kemurnian hati (1 Raj 19). Yang
kedua, Yeremia, yang memilih tidak kawin untuk melambangkan kemandulan dan kematian
yang bakal jadi nasib umat Israel (Yer 16:1-4).
Sesudah Pembuangan (500an sebM), sisa-sisa bangsa Israel hidup dijiwai oleh
semangat kemiskinan, cuma bergantung total pada Allah sendiri, dan tidak menggantungkan diri
pada dunia dan nilai-nilainya. Menjelang masa PB ada orang-orang di antara kaum Esseni yang
hidup selibat. Komunitas Qumran hidup dalam komunitas, selibat, penuh ketaatan pada aturan
komunitas, dan tidak punya harta pribadi.
Dalam Perjanjian Baru, hidup radikal dan total bagi Allah dan sesama dijalankan oleh
Yesus sendiri (Luk 9:58). Yesus bicara tentang orang-orang yang tidak kawin demi Kerajaan
Allah (Mat 19:12). Para Rasul pun meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus (Mk
1:16-20), termasuk para wanita kaya yang mengongkosi gerakan Yesus (Luk 8:3). Jemaat
Kristen awal hidup dalam komunitas yang bersatu hati dan jiwa, dalam doa bersama dan
Ekaristi, menjual harta milik pribadi demi orang miskin, dan bergantung total pada Allah tanpa
takut akan penganiayaan dan kematian (Kis 2:42-47; 4:32-37; 5:17-40). O ya, jangan lupa, ada
juga Yohanes Pembaptis yang tinggal di padang gurun dan cuma makan walang kekek, walang
kadung dan sebangsanya.
Putri-putri Filipus (OK punya!) hidup sebagai perawan dan penuh karunia bernubuat
(Kis 21:9). Paulus hidup selibat (1 Kor 7), meski para pewarta Injil lain (1 Kor 9:5) ke mana-
mana membawa seorang istri (maklum, bukan pejabat pemerintah RI di masa resesi!) dan untuk
Paulus itu suatu karunia illahi (kalo enggak, mana tahan dong?!). Ia bicara tentang janda-janda
yang tidak kawin lagi (bukan karena nggak laku lho ya!) dan hidup semata-mata demi Allah dan
pelayanan sesama, bertekun dalam doa dan permohonan (1 Tim 5:3-16) siang dan malam
(maklum belon ada TV sih!).
Dalam generasi Kristen abad pertama dan kedua, ada kelompok-kelompok janda yang
tidak kawin lagi (kadang masih semlohai lho ya!), juga pria dan wanita yang tetap perawan
(beneran nich, ditanggung asli punya!). Disediakan tempat khusus bagi mereka dalam gereja
sewaktu jemaat datang berkumpul untuk merayakan liturgi. Mereka tidak tinggal dalam
Martin/Abad-21/hal. 5
kelompok, tapi sendiri-sendiri di rumah keluarga mereka sendiri. Para janda membaktikan diri
melayani orang miskin dan para selibat hidup terpencil dalam doa dan matiraga.
Pada abad ketiga peranan para janda digantikan oleh diakon-diakon perempuan. Pada
abad kedua dan ketiga, hidup selibat dan miskin itu tidak dianggap sebagai tujuan, tapi sebagai
sarana dan persiapan bersatu dengan Kristus dalam kemartiran akibat penganiayaan. Sesudah
agama Kristen jadi agama resmi kekaisaran Romawi (th. 313), tidak ada lagi penganiayaan pada
abad keempat. Tujuan kemartiran diganti dengan tujuan persatuan dengan wafat dan kebangkitan
Kristus lewat hidup terpisah dari dunia.
Di Timur pada abad ketiga, pola hidup semacam itu semakin marak. Hidup kerahiban
menyebar luas di Palestina, Siria, Mesir, Asia Kecil, Konstantinopel. Antonius dan Pakhomius
menjadi model bagi kehidupan kerahiban dan para Bapa padang gurun selanjutnya.
Di Barat, teladan hidup St. Antonius diperkenalkan oleh penulis biografinya, St.
Athanasius (295-373). Selanjutnya, St. Hieronimus (341-420) memelopori hidup membiara di
Barat. Berbeda dengan di Timur (para biarawan adalah rahib, bukan klerus/imam), dalam
perkembangan di Barat kemudian terjadi proses klerikalisasi hidup membiara. Mulai ada
kelompok-kelompok imam yang hidup bersama sebagai biarawan, khususnya seturut aturan St.
Agustinus (354-430). Pada akhir abad keempat biara-biara wanita mulai tersebar juga di kota-
kota besar di Barat.
Bersamaan dengan proses klerikalisasi hidup biara di Barat, tetap ada gerakan hidup
membiara seperti di Timur, yaitu seperti dikembangkan oleh St. Martinus dari Tours (316-397)
yang mendirikan banyak biara di Eropa, Yohanes Kasianus dari Marseilles (360-433) yang
meneruskan ajaran-ajaran para rahib Timur, Caesarius dari Arles (470-542) yang
memperkenalkan ide stabilitas tempat bagi rahib. Yang kemudian punya pengaruh besar adalah
St. Benediktus (480-547). Ia mulai hidupnya sebagai pertapa muda di Italia dan kemudian
menjadi pendiri ordo Benediktin.
Pola hidup Benediktin (dengan Regula St. Benediktus) inilah yang kemudian
mendominasi hidup membiara di Barat: hidup dalam komunitas terpisah dari dunia dan
dibaktikan pada Allah, khususnya dalam perayaan Ibadat Harian. Berulangkali terjadi
pembaharuan semangat biara-biara Benediktin sehingga muncullah biara-biara lain, seperti
Pembaharuan Cluny (910), Cistersian (abad 12), dan Trappist (abad 17). Selain itu muncul pula
ordo-ordo pertapa: Camaldolesi (oleh St. Romualdus, 950-1027, tadinya Abas Benediktin) dan
Carthusian (oleh St. Bruno, 1032-1101) yang menekankan hidup dalam kesendirian,
kemiskinan, doa, dan matiraga yang keras.
Pada abad ketigabelas muncullah di Eropa ordo-ordo pengemis (mendicant), yaitu
Fransiskan dan Dominikan, yang tak terikat lagi pada ide bahwa rahib harus hidup terikat pada
satu tempat (stabilitas tempat). Fransiskan digerakkan oleh hidup miskin, sedangkan Dominikan
oleh hidup merasul lewat kotbah keliling. Kemudian lahir juga tarekat-tarekat (Pertapa St.
Agustinus, Karmelit, Serviti, dll.). Hidup membiara semakin merosot pada paruh kedua Abad
Pertengahan sampai Reformasi (abad 16).
Martin/Abad-21/hal. 6
Dengan Konsili Trente (1545-1563) vitalitas hidup membiara diperbaharui. Muncullah
berturut-turut tarekat-tarekat yang diabdikan pada kerasulan aktif di tengah umat: Yesuit,
Lazaris, Barnabiti, Redemptoris, Passionist, Salesian, dll. yang merupakan tarekat imam. Serikat
Puteri Kasih yang didirikan oleh St. Vinsentius a Paulo bersama Louise de Marillac pada tahun
1633 merupakan tarekat wanita pertama yang tidak hidup ngendon dalam biara, melainkan
terbuka untuk keluar dari biara melayani orang miskin. Sejak itulah sampai sekarang muncul
macam-macam tarekat biarawati/wan yang mengabdikan diri pada berbagai kebutuhan Gereja
dan masyarakat: pendidikan, pelayanan kesehatan, misionaris, dll.
Itulah tadi sepintas kilas riwayat orang-orang yang merasa terdorong untuk menjawab
kata-kata Kristus secara radikal dan total. Seperti Paulus, mereka mengalami bahwa, "Apa yang
dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala
sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada
semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya
sampah, supaya aku memperoleh Kristus ..." (Fil 2:7-8).
Pola kehidupan mereka bisa dirumuskan dalam istilah yang sudah kita kenal: mereka
adalah pertama-tama women/men of God. St. Benediktus bilang bahwa seorang rahib pertama-
tama adalah "orang yang mencari Allah" (seeker of God, dan bukan seeker of Gold lho ya!). Dan
menurut faham St. Agustinus, seseorang mencari Allah, karena Allah lebih dahulu telah
menemukan dia. Itulah aspek yang menonjol pada awal perkembangan hidup membiara dan
karena itulah tempat sepi dan terpencil dari dunia merupakan syarat utama. Mereka sungguh-
sungguh orang yang hidup tertutup "dalam biara" dan meninggalkan dunia, "Apalah gunanya
seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan jiwanya?" (Mk 8:36).
Tapi dalam perkembangan selanjutnya, aspek lain semakin dihayati pula yaitu mereka
adalah sekaligus pula women/men for others. Karena itulah tembok biara mulai ditembus.
Biarpun tetap tinggal dalam biara, mereka bekerja untuk sesama di luar biara.
Aspek lain akhir-akhir ini makin disadari dan dihayati juga, yaitu women/men with
others. Tembok biara mulai semakin diruntuhkan dan mereka hidup dan bekerja bersama dengan
orang-orang lain di tengah masyarakat, juga bila sekedar live-in selama beberapa minggu.
Karena itulah sekarang orang tidak terlalu suka menyebut pola hidup ini sebagai "hidup
membiara" (vita monastica), melainkan "hidup bakti/dikuduskan" (vita consacrata). Konsili
Vatikan II dalam Dekrit Perfectae Caritatis (Cinta kasih sempurna) menyebutnya "hidup
religius" (vita religiosa).
Salah satu ciri yang menonjol dalam kelahiran setiap tarekat adalah bahwa mereka
terpanggil untuk menanggapi tantangan dan kebutuhan khusus pada zamannya dan tempatnya
masing-masing. Yang berminat silahkan nanti bertanya pada suster/bruder/frater yang hadir di
sini tentang kekhasan panggilan tarekat mereka masing-masing.
Jadi dilihat dari sudut sejarah, pola hidup bakti itu memang sudah ada dari sononye dan
selalu saja muncul dalam bentuk berbeda-beda, maka judul makalah saya ini terpaksa dijawab,
Martin/Abad-21/hal. 7
bahwa (seneng nggak seneng dah!), para biarawati/wan akan tetap ada juga di abad ke-21 nanti
(nah lo, siap-siap aja dah!). Ada sih ada, tapi pertanyaan yang mendesak adalah:
Apakah biarawati/wan itu masih diperlukan?
Jawabannya tergantung masing-masing orang saja. Sekarang saja ada yang merasa bahwa
kehadiran mereka itu sudah tidak diperlukan lagi. Apalagi praktis para biarawati/wan sekarang
ini hanya mengambil alih pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh orang lain: perawat, guru,
pekerja sosial, katekis, petugas administrasi, tukang masak, tukang cuci, dll. kecuali .... istri/ibu
rumah tangga tentu saja! Nah, "apa sih bedanya dengan kaum awam lainnya?"
Untuk melihat perlu tidaknya biarawati/wan, bisa ada macam-macam alasan (pikir
sendirilah yauw), saya hanya ingin menyoroti dari segi tantangan di masa mendatang. Maaf, ini
bukan ramalan lho ya (soal ini tanya aja sama Ki Gendeng!).
Masa mendatang itu seperti apa sih?
Setiap kali terjadi pergantian tahun, orang asyik meramal-ramal (baca saja koran di awal tahun).
Nah, apalagi kalau masa seribu tahun itu hampir selesai. Berapa kali saja kita dengar orang
meramalkan bahwa Akhir Zaman sudah tiba, dunia akan segera kiamat. Sudah sejak sebelum
Kristus lahir, gerakan-gerakan apokaliptis dan kemudian mileniaris (seribu tahun) meraja-lela.
Tapi nyatanya, sampai sekarang kiamat itu tidak datang-datang.
Di kalangan umum pun bermunculan banyak buku yang mencoba menggambarkan masa-
masa mendatang, mulai dari The Future Shock (Alfin Toffler, 1970; juga dari pengarang yang
sama, The Third Wave, 1989, Powershift, 1990), La revanche de Dieu (Gilles Kepel, 1991; The
Revenge of God, 1994), Megatrends 2000 (John Naisbitt, 1990), sampai ke The Aquarian
Conspiracy (Marilyn Ferguson, 1980) dan belakangan ini The Celestine Prophecy (James
Redfield, 1993).
Penulis-penulis itu bicara tentang banyak perubahan kehidupan: globalisasi ekonomi,
kesenjangan internasional, industrialisasi yang menghilangkan lapangan kerja, masalah
lingkungan, hedonisme massal dll. Kesamaan di antara mereka adalah: mereka sama-sama
mengakui bahwa abad (bahkan milenium) mendatang akan diwarnai oleh kebangkitan nilai-nilai
spiritual.
Bila pada akhir abad 19 orang bicara tentang abad 20 sebagai abad "kematian Tuhan",
maka kini orang bicara tentang masa depan sebagai abad "kebangkitan Tuhan", atau malahan
"pembalasan Tuhan". Kemajuan ekonomi akibat kemajuan iptek ternyata tidak membuat Tuhan
dan agama menjadi tidak diperlukan lagi (seperti diramalkan oleh Marx), bahkan sebaliknya
justru membuat orang merasakan semakin hari semakin "kosong" di dalam dan orang mulai lagi
mencari Tuhan.
Tapi repotnya nih ya, (jangan-jangan lho ya!) bakal terjadi seperti dikatakan dalam
Amsal "Pada waktu itu mereka akan berseru kepada-Ku, tetapi tidak akan kujawab, mereka
akan bertekun mencari Aku, tetapi tidak akan menemukan Aku" (Amsal 1:28) atau dinubuatkan
Martin/Abad-21/hal. 8
oleh Nabi Hosea "Dengan korban kambing domba dan lembu sapinya mereka akan pergi untuk
mencari Tuhan, tetapi tidak akan menjumpai Dia; Ia telah menarik diri dari mereka." (Hos 5:6).
Ke manakah mereka akan lari? Dalam takhyul, kesesatan, fenomen paranormal, berhala-berhala
kuno dan modern?
Nah, dalam keadaan seperti itu, para biarawati/wan yang pertama-tama dimaksudkan
sebagai women/men of God bisa berbuat apa? Apakah orang-orang akan datang kepada mereka
untuk menemukan Allah? Kecendrungan yang bisa dilihat adalah:
God, yes, Religion, no?
Memang benar orang makin mencari nilai-nilai rohaniah, transendental, illahi, tapi makin banyak
orang juga mencari dan menemukan itu semua di luar agama-agama konvensional. Ada dua
ekstrem yang terjadi: yang satu, orang menjadi fundamentalis-fanatik, dan satunya lagi, orang
lari ke New Age dengan segala macam alirannya. Orang tak puas lagi dengan ketaatan pada
rutinitas agama dan dogma-dogmanya, apalagi biara dengan segala macam tetek-bengeknya!
Kalau dulu ideal kesucian adalah keperawanan, atau secara umum, "hidup membiara",
sekarang (kayaknya sih!) ide itu sudah tidak laku lagi (inget aja pesta seks yang digrebeg di
Semarang, atau Warakas!). Zaman mendatang mungkin punya ideal kesucian yang lain:
pembelaan kaum marginal, perjuangan keadilan dan kebenaran (seperti dapat dilihat dari
dukungan kepada Romo Sandy), atau juga menjadi "ibu/bapak" dan "suami/istri" yang baik
(tanpa macam-macam PIL dan WIL!), dalam arti membentuk "keluarga" yang benar-benar
dijiwai oleh nilai-nilai spiritual! Sudah terlalu lama dalam Gereja hanya para imam dan
biarawati/wan yang diresmikan sebagai santa/o!
Nah, berhadapan dengan semua itu, pertanyaan yang selalu menghantui saya memang:
apa ya masih diperlukan sih kaum biarawati/wan itu? Apa bukannya cuma ngentek-ngenteke
sego tanpa guna saja? Amin!
(Paper dalam Seminar "Tantangan Abad 21 dan Hidup Biara",
Penerbit & Percetakan Kanisius,
Yogyakarta, 11 Januari 1998
Semarang, 18 Januari 1998)