manifestasi nilai teologi dalam gerakan ekologi · berlangsung di kedua pesantren ini...
TRANSCRIPT
MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI
(Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor)
HUSNUL KHITAM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Manifestasi Nilai Teologi dalam
Gerakan Ekologi: Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren
Daarul Ulum Lido Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Husnul Khitam
I353070081
Abstract
HUSNUL KHITAM. Ecological Movement as the Manifestation of Theological
Value (Case Study in the Pesantren Al Amin, Sukabumi, and Pesantren Daarul
Ulum Lido, Bogor). Adviser SOERYO ADIWIBOWO and SAID RUSLI.
Pesantren is an indigenous Islamic based education institution in Indonesia.
Currently, some of the Pesantren in Indonesia began to address ecological issues
in their curricula as well as in their daily life. This research attempts to portray
and explore the dynamic of ecological movement in the Pesantren with Kyai
(Guru), Santri (student) and Quran (holy book) as the prime focus of analysis. In
this study, the ecological movement in Pesantren is perceived as a manifestation
of their meaning process toward the construction of ecological theology.
The study was carried out in two Pesantren i.e. the Al-Amin of Sukabumi and the
Darul Ulum Lido of Bogor. Al-Amin is a traditional type of boarding school
where informal relations and traditional leadership coloring the daily life of
Pesantren. Meanwhile, Daarul Ulum Lido is a portrait of modern Pesantren that
merge or combine formal-based public education and religious-based education
with formal relations and rational-legal type of leadership becomes the identity.
The results show that the ecological movement in both Pesantren was manifested
differently due to two important factors. First, the interpretation, meaning and
construction of Islamic theological ecology in each Pesantren are solely based
upon the knowledge and spiritual reflection of the Kyai. Second, the conservation
knowledge developed in each Pesantren is also a result of relations and knowledge
exchange between Pesantren and external actors. Different meaning of
conservation that adopted by external actors could differentiate the manifestation
of ecological movement in Pesantren.
In Pesantren Al Amin, their interpretation and meaning to ecological theology are
manifested in tree planting. Meanwhile, at Pesantren Darul Ulum Lido, it is
manifested in the form of harim zone (no take zone). This Darul Ulum type of
conservation is a result of their close relations and interaction with an
international conservation NGO. Though seems preliminary and need more
evidences, the ecological movement in Pesantren shows a positive direction
towards the deep ecology movement.
Keywords: Kyai, Pesantren, ecological theology, deep ecology, ecological
movement
Abstrak
HUSNUL KHITAM. Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi
kasus di Pesantren Al Amin, Sukabumi, dan Pesantren Daarul Ulum Lido,
Bogor). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan SAID RUSLI.
Pesantren merupakan institusi pendidikan khas Indonesia. Saat ini, beberapa
pesantren di Indonesia mulai terlibat dalam isu-isu ekologi, baik pada kurikulum
mereka maupun pada kehidupan sehari-hari mereka. Studi ini berusaha untuk
memotret dan mengeksplorasi dinamika gerakan ekologi di Pesantren dengan
Kyai (Guru), Santri (murid) dan Al Quran (kitab suci) sebagai fokus utama dalam
analisis. Dalam studi ini, gerakan ekologi di pesantren terlihat sebagai proses
pemaknaan menuju suatu konstruksi teologi ekologi.
Studi ini dilakukan di dua pesantren. Pesantren Al-Amin Sukabumi dan pesantren
Daarul Ulum Lido Bogor. Pesantren Al-Amin merupakan tipe pesantren
tradisional, dimana relasi informal serta pola kepemimpinan tradisional mewarnai
kehidupan keseharian pesantren. Sementara itu, pesantren Daarul Ulum Lido
merupakan potret dari pesantren modern yang mengkombinasikan sistem
pendidikan formal dan sistem pendidikan keagamaan dengan corak hubungan
formal dan tipe kepemimpinan rasional-legal yang mencerminkan identitas
mereka.
Studi ini memperlihatkan perbedaan manifestasi gerakan ekologi di kedua
pesantren tersebut dengan dilandasi dua faktor penting. Pertama, interpretasi,
pemaknaan dan konstruksi teologi ekologi Islam pada masing-masing Pesantren
terbangun berdasarkan pengetahuan dan refleksi spiritual Kyai. Kedua,
pengetahuan mengenai konservasi yang berkembang pada masing-masing
pesantren juga merupakan hasil dari relasi dan pertukaran pengetahuan antara
Pesantren dan aktor luar. Perbedaan pemaknaan atas konservasi yang dipahami
oleh aktor luar dapat membedakan pola manifestasi gerakan ekologi di Pesantren.
Pada Pesantren Al-Amin, interpretasi dan pemaknaan teologi ekologi mereka
termanifestasikan dalam bentuk penanaman pohon. Sementara itu, Pesantren
Daarul Ulum Lido termanifestasikan dalam bentuk zona harim (harim zone). Tipe
konservasi seperti yang terjadi di Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan
hasil dari intimitas relasi dan interaksi dengan sebuah LSM konservasi
internasional. Meskipun masih pada tahap awal dan diperlukan bukti-bukti lebih
lanjut, gerakan ekologi di Pesantren menunjukkan arah positif menuju gerakan
ekologi dalam.
Kata kunci: Kyai, Pesantren, teologi ekologi, ekologi dalam, gerakan ekologi
RINGKASAN
HUSNUL KHITAM. Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi Kasus di
Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor). Dibimbing oleh
Soeryo Adiwibowo dan Said Rusli.
Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi
model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi
salah satu nilai sosial yang terus dipertahankan dan menjadi identitas masyarakat
tertentu khususnya umat Islam di Indonesia. Islam sebagai suatu agama tidak
hanya terbatas pada wilayah teologis saja, tetapi lebih luas menjadi cara hidup
(way of life) yang menjadi petunjuk seluruh umat pemeluknya mulai dari sisi
teologis hingga hal-hal praktis, dari ruang yang sifatnya privat dan individual
hingga ruang yang sifatnya lebih publik.
Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi pesantren dengan dua setting
geografis yang berbeda yaitu di Pondok Pesantren Al Amin, Cidahu, Sukabumi
dan Pesantren Daarul Ulum Lido, Bogor. Kedua pesantren ini dipilih secara
sengaja (purposive) karena kedua pesantren ini merupakan pesantren yang terlibat
dalam aktivitas konservasi lingkungan dengan bentuk kegiatan yang berbeda.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode wawancara
mendalam, pengamatan berperan serta dan penelusuran dokumen yang dilakukan
secara triangulatif. Data yang diperoleh tersebut kemudian secara kontinu
dilakukan analisis secara kualitatif dengan (a) reduksi data; (b) mendisplay data;
dan (c) melukiskan kesimpulan.
Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa hal yang saling terkait satu
sama lain. Dalam hal lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan ekologi di
pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Al Quran.
Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan dicoba di
kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren maupun
masyarakat pada umumnya. Aktor dalam kedua pesantren ini merujuk pada ayat
Al Quran yang melarang manusia melakukan perusakan atas ciptaan Allah SWT.
Pesantren Al Amin, memiliki kerangka dasar teologi yang terbangun yaitu untuk
menjalankan tiga hubungan transenden (Allah-Manusia-Alam). Landasan teologi
lain adalah konsepsi tentang kutubul awliaa serta konsepsi sedekah yang menjadi
ciri utama pesantren ini (ekologi keseimbangan). Sementara itu, Pesantren Daarul
Ulum Lido membangun kerangka teologi gerakannya pada konsepsi Fiqh Al-
Bī’ah serta filosofi manusia sebagai khalifah yang bertugas menjaga
kesinambungan hidup baik manusia maupun alam. Pesantren juga mendorong
tumbuhnya kecintaan terhadap makhluk selain manusia sebagai bukti
tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas bumi. Landasan teologi lain adalah
upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam dengan tujuan menjaga
kesinambungan hidup generasi manusia dimasa mendatang (ekologi lingkungan).
Pesantren Al Amin memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi
pesantren yang lebih keluar yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam
pesantren, khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan
penanaman pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar
maupun dengan murid kyai. Kyai melalui gerakan ini juga memanfaatkan dua hal
yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan sosial kyai yang berciri
tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya hubungan antara kyai dan murid
maupun anggota kelompok tani seperti hubungan pertalian darah memiliki peran
strategis sehingga konstruksi ide yang dibangun relatif mudah di implementasikan
karena faktor ketaatan tersebut.
Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido yang memperlihatkan corak
manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi aktor dari luar
Pesantren. Bentuk gerakan ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam
(internal). Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone,
atau zona haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang
tidak boleh dimanfaatkan untuk pembangunan. Adanya ruang ini memunculkan
peluang bagi santri untuk membentuk kelompok pecinta alam yang memiliki
tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut terlibat dalam gerakan mencintai
lingkungan sekitar, terutama alam. Keberadaan Harim zone ini merupakan induksi
pengetahuan dan hasil dialektika dengan aktor dan organisasi luar seperti
Conservation International Indonesia (CI) yang secara khusus memang
mendorong upaya konservasi alam. Dalam konteks tindakan sosial, gerakan yang
berlangsung di kedua pesantren ini memperlihatkan corak tindakan sosial aktor
sebagai tindakan rasional nilai yang bertumpu pada pemahaman nilai masing-
masing aktor tersebut.
Pada wilayah kontinum gerakan, praktik gerakan yang dilakukan oleh
pesantren Al Amin memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada level
(aktor) kyai sedangkan pada level murid maupun masyarakat belum
memperlihatkan kondisi demikian. Sementara itu, di pesantren Daarul Ulum Lido
memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada setiap aktor yang terlibat
dalam gerakan ekologi. Meskipun demikian, gerakan ini memiliki tantangan
tersendiri. Tantang tersebut terletak pada keberlanjutan gerakan tersebut baik pada
sisi pewarisan interpretasi ataupun pemaknaan pada setiap aktor, utamanya pada
kyai serta upaya mobilisasi gerakan tersebut. Kedalam gerakan yang terjadi di
kedua pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari seberapa dalam interpretasi aktor
atas teks teologi yang terdapat dalam Islam serta perumusan dan implementasi
teks praksisnya. Tetapi, yang penting untuk digarisbawahi adalah, kekuatan utama
dalam gerakan ini yaitu karena meletakkan agama Islam sebagai fundamen dari
gerakan tersebut sehingga dapat di serap oleh aktor pesantren, dimaknai, dan
dimanifestasikan dalam potret gerakan masing-masing.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI
(Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor)
HUSNUL KHITAM
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis : Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi Kasus
di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum
Lido Bogor)
Nama : Husnul Khitam
NRP : I353070081
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua
Ir. Said Rusli, MA
Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Sosiologi Pedesaan
Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah MSc.Agr
Tanggal Ujian : 13 Juli 2011 Tanggal Lulus:
Untuk Ibunda (Almh) Hj. Supriyatin
yang selalu menjadi teladan penulis
meskipun beliau telah berada di Surga-Nya
semoga Allah selalu melimpahkan
rahmat dan maghfiroh-Nya
Amin
No peace among the nations without peace among the religions.
No peace among the religions without dialogue between the religions.
No dialogue between the religions without global ethical standards.
No survival of our globe without a global ethic, a world ethic, supported by both
the religious and the non-religious.
│Hans Kung – Islam, Past, Present and Future
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Ilahi, Tuhan semesta alam, atas karunia dan limpahan
rahmat-Nya. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Manifestasi Nilai Teologi dalam
Gerakan Ekologi (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren
Daarul Ulum Lido Bogor).
Karya ini bermula dari keyakinan penulis, bahwa ditengah menyeruaknya
berbagai problematika lingkungan, asa dan harapan untuk berusaha
menyelamatkan lingkungan dan membangun kesadaran manusia tidak pernah
hilang. Secara spesifik, sebagai komunitas beragama, umat Islam, utamanya
pesantren dapat memiliki peran yang sangat besar, terutama dalam
menterjemahkan Islam sebagai nilai dan institusi dalam mendorong penyelamatan
lingkungan tersebut. Keyakinan tersebut kemudian mewujud dalam bentuk karya
yang penulis yakin, masih sangat terbatas, tetapi menjadi langkah awal penulis
menunjukkan bahwa agama (Islam) tidaklah harus berhenti pada persoalan akhirat
semata, tetapi mampu menjawab berbagai persoalan kekinian.
Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan banyak terima
kasih serta penghargaan yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo
Adiwibowo, MS dan Bapak Ir. Said Rusli, MA sebagai pembimbing atas segala
bimbingan, arahan dan masukannya. Keduanya selalu memberikan penulis
pencerahan serta motivasi guna terus berupaya menyelesaikan karya ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS sebagai
penguji luar komisi atas berbagai saran dan kritiknya yang banyak membantu
penulis mengembangkan karya ilmiah ini.
Dalam perjalanan studi penulis di Institut Pertanian Bogor, penulis ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,
MSc.Agr selaku Koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan atas segala saran dan
kritiknya serta Pimpinan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan banyak ilmu serta
mengajarkan banyak hal kepada penulis sehingga dapat memahami secuplik
gambaran tentang bagaimana memahami dinamika perdesaan, utamanya dalam
konteks ekologi manusia.
Dalam perjalanan panjang menuju karya ini, beberapa kolega juga
mewarnai pergulatan penulis. Oleh karenanya, penulis menyampaikan banyak
terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan di Mayor Sosiologi Pedesaan yang
banyak memperkaya khazanah berfikir penulis. rekan-rekan di konsultan yang
juga memberikan warna lain yang olehnya, penulis sangat bersyukur. Penulis juga
menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada sahabat Ahmad Ubaidillah
(Fadil) yang membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini serta kawan-
kawan aktivis pertanian lainnya yang sesekali menjadi sahabat diskusi penulis.
Penulis juga dengan rasa rendah hati mengucapkan banyak terima kasih
kepada Ajengan Abdul Basith dan Ust. Yani serta keluarga besar Pesantren Al
Amin dan Pesantren Daarul Ulum Lido yang sering di sibukkan untuk menjawab
berbagai pertanyaan penulis dan secara langsung maupun tidak, sering terganggu
oleh kepentingan pribadi penulis dalam penyusunan karya ini. Meskipun
demikian, yang mereka lakukan sejatinya banyak memberikan pandangan dan
perspektif baru bagi penulis serta memperkuat keyakinan penulis bahwa sebagai
individu, mengambil peran dan bertanggungjawab atas lingkungan merupakan
suatu langkah untuk menyelamatkan semesta di masa mendatang.
Karya ini juga tidak dapat lahir tanpa dukungan keluarga. Penulis ingin
mengungkapkan rasa syukur, takzim dan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Nurhasan Salim dan Ibunda (Almh)
Hj. Supriyatin yang tidak henti-hentinya mendoakan, mendorong dan menjadi
teladan penulis. Begitu juga Ayahanda H. Amarullah Hamim dan Ibunda Hj.
Nuryati Murtadho yang selalu mendoakan dan mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan karya ini. Ibu Shanti, Ka Lukman, Ka Ana dan Neyra, Kasyfi dan
Hasnah, Puji, Najma, Bang Farhan, Ami, Sopi dan Fadhil yang juga mewarnai
perjalanan hidup penulis selama ini.
Akhirnya, karya ini penulis persembahkan sebagai wujud rasa cinta dan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Istri tercinta, Dian Nurlaily
Amarullah yang selalu sabar dan mendukung penulis dalam segala hal,
mengingatkan penulis disaat rasa malas dan enggan mendera yang tanpanya
penulis merasa sulit untuk dapat menyelesaikan karya ini.
Mudah-mudahan, karya ini dapat memperkaya khazanah intelektualitas
penulis, bermanfaat bagi pribadi dan masyarakat serta makhluk Tuhan lainnya.
Dalam Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Seorang
terpelajar harus sudah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam
perbuatan”. Mudah-mudahan keadilan ekologis selalu hadir dan menjadi
tanggungjawab kita semua. Walllahu a’lam.
i
DAFTAR ISI
Hal
Daftar Isi ……………………………………………………………….… i
Daftar Tabel ……………………………………………………………… iii
Daftar Gambar …………………………………………………………… iv
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah ..…………………………………………..... 6
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 6
1.4. Kegunaan Penelitian ..………………………………………….. 6
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam ……….………….. 8
2.2. Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial ……………………… 10
2.3. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat ……………………... 13
2.4. Pesantren dan Gerakan Ekologi ………………………………... 17
2.5. Kerangka Pemikiran ……………………………………………. 21
III. Metode Penelitian
3.1. Wilayah Analisis ……………………………………………….. 25
3.2. Hipotesis Pengarah …………………………………………….. 25
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian …….…………………………….. 25
3.4. Pendekatan dan Tahapan Penelitian ……………………………. 26
3.5. Metode Pengumpulan Data …………………………………….. 27
3.6. Metode Analisis Data ……...…………………………………… 29
3.7. Definisi Operasional …………………………………………… 30
IV. Potret Umum, Tradisi dan Dinamika Pesantren
4.1. Potret Umum Pesantren Al Amin ……………………………… 32
4.2. Potret Umum Pesantren Daarul Ulum Lido ……………………. 35
4.3. Pola Hubungan Sosial dalam Pesantren ……………………….. 39
4.4. Pola Kepemimpinan di Pesantren ……………………………… 42
4.5. Dinamika Kehidupan di Pesantren …………………………….. 46
V. Basis Teologi dalam Gerakan Ekologi Pesantren
5.1. Basis Teologi Ekologi dalam Islam ……………………………. 49
5.2. Makna Ekologi di Pesantren: Refleksi Para Aktor …………….. 54
VI. Manifestasi Gerakan Ekologi Di Pesantren: Refleksi Individual
atau Induksi Aktor Luar?
ii
6.1. Forma Gerakan Ekologi di Pesantren ………………………….. 68
6.2. Kyai dan Gerakan Ekologi …………………………………….. 90
VII. Kontinum Gerakan Ekologi Di Pesantren
7.1. Gerakan Ekologi di Pesantren: Ekologi Dalam atau Ekologi
Dangkal? ………………………………………………………..
95
7.2. Potensi Masa Depan Gerakan Ekologi di Pesantren …………… 105
VIII. Kesimpulan Dan Saran
8.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 109
8.2. Saran …………………………………………………………… 111
Daftar Pustaka ……………………………………………………………. 113
iii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1. Jumlah Informan Yang di Wawancarai ……………………….. 27
Tabel 3.2. Data dan teknik dalam pengumpulan data …………………….. 28
Tabel 4.1. Penjenjangan Pengajian dan Kitab Yang Digunakan di
Pesantren ………………………………………………………. 33
Tabel 4.2. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Al Amin .. 35
Tabel 4.3. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Salsabilla.. 38
Tabel 4.4. Pola Hubungan Sosial di Lingkungan Pesantren ………………. 40
Tabel 4.5. Pola Kepemimpinan dan Regenerasi di Pesantren …………….. 44
Tabel 6.1. Distribusi Bantuan CI dan Peserta Program …………………… 80
Tabel 6.2. Pengembangan Pokok Bahasan Yang Bertemakan Lingkungan.. 87
Tabel 6.3. Pola Manifestasi Gerakan Ekologi di Pesantren ………………. 89
iv
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran ………….……………………………. 24
Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologis …………………….. 57
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi
model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi
salah satu nilai sosial yang terus dipertahankan dan menjadi identitas masyarakat
tertentu khususnya umat Islam di Indonesia. Kondisi ini menjadi mungkin
dikarenakan Indonesia yang memiliki jumlah pemeluk agama Islam mayoritas
lebih menjadikan pesantren sebagai salah satu penggerak dalam upaya melakukan
gerakan yang terkait dengan permasalahan lingkungan sekitar dimana pesantren
tersebut berdomisili.
Pilihan pesantren tentu berdasarkan alasan-alasan yang sangat relevan
mengingat jumlah pemeluk serta ikatan sosial yang terbangun antara pesantren
dengan masyarakat sekitarnya. Posisi pesantren setidaknya dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu sisi pendidikan yang menjadi ranah utama terutama pendidikan
keagamaan. Sisi lainnya yaitu sisi pengembangan kemasyarakatan. Pemberdayaan
masyarakat ini dapat dilihat dari peran pesantren dalam upaya mendorong
masyarakat melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat seperti gerakan
konservasi lingkungan dan lainnya.
Kedua sisi ini sesuai dengan ungkapan Houben (2003) yang menjelaskan
bahwa sesungguhnya Islam sebagai suatu agama tidak hanya terbatas pada
wilayah teologis saja, tetapi lebih luas menjadi cara hidup (way of life) yang
menjadi petunjuk seluruh umat pemeluknya mulai dari sisi teologis hingga hal-hal
praktis, dari ruang yang sifatnya privat dan individual hingga ruang yang sifatnya
lebih publik. Kondisi ini menjadi dasar kenapa pesantren kemudian melakukan
terobosan dengan mencoba keluar dari pemahaman umum yang hanya berkutat
pada domain pendidikan keagamaan yang kemudian mencoba meluas pada
pendidikan sosial1
1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren
untuk lebih memahami kondisi sosial masyarakat disekitar pesantren. Dalam sejarahnya, model
pendidikan pesantren ini mewujud dalam bentuk aktivitas sosial santri seperti yang banyak
dipraktekkan di beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan, Pesantren An Nuqayah, Pesantren
Tebuireng, Pesantren Maslakul Huda, Pesantren Cipasung, Pesantren Darunnajah dan lainnya.
2
Secara geografis, mayoritas pesantren berada pada wilayah pedesaan yang
sebagian masyarakatnya berpenghidupan secara agraris meskipun terdapat juga
sejumlah pesantren yang berada di perkotaan. Kondisi geografis seperti ini
menyebabkan begitu banyaknya pesantren yang berhubungan langsung dengan
masyarakat baik secara teologis maupun sosial dan secara jelas berimplikasi pada
pengembangan masyarakat disekitarnya. Hal ini karena secara sosiologis banyak
pemimpin pesantren tersebut juga melakukan aktivitas atau memiliki sumber
penghidupan yang sama dengan masyarakat sekitarnya yaitu agraris.
Hermansyah (2003) menyebutkan bahwa peran agama yang secara
kelembagaan seperti pesantren dapat mendorong terwujudnya tindakan sosial
yang penuh dengan nilai dan makna religius. Tindakan sosial ini dapat muncul
apabila ada keterlibatan berbagai macam instrumen masyarakat seperti elit agama,
elit ekonomi dan masyarakat biasa sehingga mendorong terbentuknya kohesivitas
sosial.
Bentuk implementasi nilai teologi yang dilakukan oleh pesantren dapat
dilihat dari pemaparan Abd A’la (2006) yang menjelaskan bahwa pesantren
menyadari bahwa da’wah bi al-aqwal yang telah dilaksanakan perlu
dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam da’wah bi al-hal. Dalam ungkapan
lain, nilai keagamaan tentang keadilan, kesejahteraan, dan sejenisnya yang
diperkenalkan melalui lembaga lokal perlu didorong kearah kerja-kerja yang
konkret. Lebih lanjut A’la menjelaskan bahwa upaya tersebut dapat menimbulkan
kesadaran yang kemudian dibingkai secara teologis yang substansial dan
nondikotomis sehingga dapat mengantarkan pesantren mengembangkan pola
pendekatan baru dalam menyebarkan keberagamaan dalam bentuk kegiatan yang
lebih kontekstual dan lebih bernilai transformatif.
Salah satu bentuk yang diupayakan oleh pesantren adalah upaya
pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Sairin
(2002) dikategorikan menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan mobilisasi yang
menjadikan perencana pembangunan menjadi subjek dan masyarakat sebagai
objek. Pendekatan kedua yaitu pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh
komponen yang terkait dalam pembangunan guna merancang dan memikirkan
pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat. Pendekatan yang ketiga adalah
3
pendekatan akulturatif yaitu pendekatan yang dapat mempertahankan identitas
masyarakat itu sendiri serta mendorong peran lebih besar dari masyarakat itu
sendiri.
Eksistensi pesantren sendiri dalam sejarahnya bukan tanpa perdebatan
sengit. Setidaknya, apa yang ditunjukkan oleh M Dawam Rahardjo dalam
pengantar buku Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah
menyebutkan bagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan Sultan Takdir Alisyahbana
saling kritik. Takdir menyebutkan Ki Hadjar dan beberapa intelektual lain yang
menyerukan penguatan pendidikan khas seperti pesantren, akan tetapi Takdir
justru beranggapan bahwa seruan itu lebih mendorong pada anti intelektualisme,
individualisme, egoisme dan materialisme (Rahardjo, 1985). Premis ini berangkat
dari budaya pesantren yang menurutnya sangat kolot dan terpaku pada wilayah
keagamaan saja serta kedudukan kyai yang sangat tinggi sehingga tidak
menimbulkan semangat modernisasi yang diagungkan oleh Takdir.
Perdebatan tersebut terus bergulir dan menjadi kritik terhadap pesantren itu
sendiri. Dalam perjalanannya, pesantren berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perkembangan zaman dan tidak lagi hanya berkutat pada domain
keagamaan. Kondisi ini mendorong gugurnya dikotomi antara keduniaan dengan
keakhiratan yang selama ini lekat sekali dengan pesantren sehingga mendorong
transformasi besar dalam tubuh pesantren. Meskipun demikian, tidak semua
pesantren yang ada di Indonesia melakukannya. Akan tetapi setidaknya, terdapat
beberapa pesantren yang mencoba melakukan transformasi tersebut dengan
berusaha menempatkan dirinya menjawab berbagai permasalahan yang muncul di
masyarakat sekitarnya seperti permasalahan ekonomi, sosial, budaya, ekologi dan
sebagainya (Yacub, 1983; Rahardjo, 1985; Effendy, 1990; Ghazali, 2003) .
Bentuk pengembangan pesantren yang lebih memasyarakat ini sebenarnya
merupakan jawaban terhadap perdebatan yang selama ini muncul. Dapat dipahami
bahwa meskipun dalam sejarahnya para Kyai sebagai pimpinan pesantren
memiliki kontribusi besar terhadap negara seperti apa yang dilakukan oleh Kyai
Hasyim Asy’ari, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Agus Salim dan lainnya, tetapi secara
lokal perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang peran pesantren tersebut
4
dalam usaha menjawab permasalahan kekinian terutama terkait dengan masalah-
masalah ekologi.
Salah satu bentuk kegiatan yang lebih kontekstual dan transformatif tersebut
dapat terlihat dari munculnya gerakan ekologis yang didorong oleh pesantren
sehingga mampu mendorong masyarakat melakukan upaya perbaikan dan
konservasi lingkungan. Bentuk konservasi lingkungan yang dilakukan beberapa
pesantren di Indonesia setidaknya terlihat pada apa yang dilakukan oleh Pondok
Pesantren Pabelan, Pondok Pesantren An Nuqayah, Pondok Pesantren Maslakul
Huda, Pondok Pesantren Cipasung, Pondok Pesantren Darunnajah dan beberapa
pesantren lainnya pada era 80-an. Beberapa pesantren yang disebutkan didepan
pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah berupa penghargaan Kalpataru
sebagai apresiasi atas kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Capaian yang mereka peroleh bermula pada akhir tahun 70-an, pesantren-
pesantren tersebut pernah mengikuti Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat
(LTPM) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang juga melibatkan beberapa
pesantren serta alumni dan mahasiswa IAIN. Beberapa peserta pelatihan ini
sekembalinya mereka ke pesantren masing-masing, melakukan upaya menjawab
persoalan masyarakat terutama yang terkait dengan ekologi seperti yang dilakukan
oleh pesantren Pabelan, Cipasung, dan lainnya. Begitu juga Pesantren An-
Nuqayah pasca pelatihan tersebut banyak melakukan inisiasi yang mendorong
pemberdayaan masyarakat setidaknya sebagai salah satu upaya mencari solusi atas
permasalahan masyarakat disekitarnya.
Pesantren juga berupaya memformulasi pemecahan kelangkaan air yang
menimpa masyarakat. Sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap karya
besar pesantren tersebut, pemerintah Indonesia kemudian juga menghadiahkan
penghargaan Kalpataru kepada Pesantren An Nuqayah sebagai bentuk
kepeduliannya kepada lingkungan. Sebagai contoh lain, atas inisiasi dan
kepedulian terhadap lingkungan, pesantren lain yaitu pesantren Pabelan juga
mendapatkan penghargaan Aga Khan Award sebagai pengakuan internasional atas
sumbangsihnya terhadap lingkungan.
5
Pada tahun 2008, kegiatan konservasi lingkungan semakin meluas dan
mempengaruhi pesantren untuk kemudian terjun dan berperan aktif. Serupa
dengan apa yang dilakukan oleh pesantren semacam Pabelan dan An Nuqayah, di
Sukabumi juga terdapat beberapa pesantren yang melalukan inisiasi konservasi.
Pondok Pesantren Al Amin di Cidahu Sukabumi sebagai contoh menginisiasi
suatu kegiatan yang mengarah pada terminologi pesantren konservasi. Selain itu
juga terdapat pesantren lain yang menempatkan dalam kurikulum pembelajaran
mereka materi yang menyangkut konsevasi dan lingkungan.
Pesantren lain seperti yang telah di teliti oleh tim peneliti dari LIPI, terdapat
beberapa pesantren di daerah Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bandung, Garut
dan Ciamis yang melakukan aktivitas serupa dengan pesantren diatas (Budiman
dan Arief, 2007; Yamin, 2007). Tentu ini merupakan upaya positif yang terus
terbangun dan saling bersambutan sebagai bentuk tanggungjawab pesantren
terhadap problem sosial di masyarakat. Namun, pertanyaan besar yang kemudian
muncul adalah, hingga sejauh mana aktivitas tersebut mengakar dalam pesantren
maupun masyarakat disekitar pesantren tersebut. Kontradiksi ini menjadi terlihat
ketika muncul beberapa kegiatan dalam pesantren yang justru lebih bernuansa
politis ketimbang memikirkan upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu
pada upaya membangun kesadaran dalam intern pesantren maupun masyarakat.
Upaya berbagai Pesantren tersebut dalam menjawab permasalahan
lingkungan tersebut harus diapresiasi sebagai upaya mencari solusi baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi masyarakat disekitarnya. Munculnya peran besar
lembaga keagamaan ini mempunyai peran tersendiri sehingga pada akhirnya
mewujud pada tindakan sosial yang penuh dengan nilai dan makna religius.
Religiusitas yang muncul akhirnya juga mendorong peran lembaga keagamaan
seperti pesantren menjadi motor penggerak utama masyarakat baik dari sisi
keagamaan maupun sosial ekonomi dan ekologi.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana inisiasi tersebut dapat muncul
pada pesantren-pesantren tersebut dengan latar waktu yang berbeda. Kondisi ini
tentu dilatari oleh kondisi sosio-historis yang berbeda serta pola yang terbangun
pada pesantren itu sendiri. Selain itu, menjadi lebih menarik untuk menyelami
latar teologis yang mendasari masing-masing gerakan tersebut. Hal ini juga terkait
6
dengan upaya pesantren menjembatani dikotomi keagamaan dengan keduniaan
yang dahulu seakan terpisah dan pesantren hanya berkutat pada hal-hal yang
bersifat akhirat.
Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk mengetahui
sejauh mana peran pesantren dalam pengembangan masyarakat pedesaan terutama
kaitannya secara sosiologis maupun teologis dalam memunculkan gerakan ekologi
sebagai upaya mempertahankan lingkungan disekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pesantren memaknai masalah lingkungan dari perspektif eko-
teologi?
2. Bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan ekologi
yang dilakukan oleh pesantren?
3. Bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Merujuk pada beberapa pertanyaan yang diajukan diatas, secara umum
tujuan penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pesantren memanifestasikan
nilai teologi yang mereka yakini sebagai landasan dalam melakukan gerakan
ekologi. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengkaji bagaimana Pesantren melakukan pemaknaan atas masalah
lingkungan dengan menggunakan perspektif eko-teologi.
2. Mengkaji bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan
ekologi yang dilakukan oleh pesantren.
3. Mengkaji bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren
tersebut.
1.4. Kegunaan penelitian
Beberapa kegunaan penelitian yang penulis harapkan dapat dicapai pada
penelitian ini antara lain terbagi pada beberapa aras. Pada aras akademik,
7
penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan khazanah intelektual terutama
yang menghubungkan nilai teologi atau keagamaan yang termanifestasikan dalam
pesantren dan mewujud pada gerakan ekologi sehingga dapat dilihat hubungan
dan peranan agama dengan konstruk sosial yang terbangun di masyarakat.
Kegunaan penelitian lain yang diharapkan adalah pada aras praksis. Pada
aras ini penelitian ini nantinya diharapkan mewujud pada pemahaman bahwa
upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi
masyarakat lokal yang dalam hal ini pesantren serta nilai-nilai keagamaan yang
mereka pahami. Kondisi ini kemudian mengharuskan para pengambil kebijakan
melihat lebih kedalam dan membumi bahwa bagaimanapun peran masyarakat
lokal seperti pesantren tidak dapat dinafikan dalam mempertahankan lingkungan
disekitarnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam
Teologi merupakan istilah yang lekat kaitannya dengan agama dan
ketuhanan. Dalam Kamus Filsafat Istilah teologi berasal dari kata theos yang
berarti Allah dan logos yang berarti wacana atau ilmu. Dalam pengertian lebih
luas teologi berarti ilmu tentang hubungan dunia ilahi atau ideal atau kekal tak
berubah dengan dunia fisik (Bagus, 1996). Teologi tersebut sangat erat kaitannya
dengan dasar-dasar agama sehingga dapat memberikan pemahaman dan
keyakinan mendasar tentang agama yang dianut.
Dalam Islam istilah teologi lebih dikenal dengan Usul ad Din dengan ajaran
dasar berupa aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi ini dalam islam
juga dikenal dengan sebutan ‘ilm al-tauhid (Nasution, 1986). Dimensi teologi
yang selama ini dikenal kemudian semakin meluas seiring dengan semakin
kompleksnya pertautan antara Islam dengan hal lain sehingga teologi tidak lagi
hanya membincangkan tentang ketuhanan akan tetapi semua hal yang berkaitan
dengan-Nya (Fakhry dalam Hermansyah, 2003).
Dalam kaitan dengan lingkungan, teologi ini kemudian diturunkan pada
wilayah yang lebih praksis yaitu melihat bagaimana kaitan antara lingkungan
dengan sang pencipta. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sekedar
lingkungan yang bersifat biofisik tetapi termasuk juga manusia dan makhluk
hidup lainnya. Upaya penggalian nilai spiritual ekologi Islami ini merupakan
pengayaan khazanah ekologi profetis Islam untuk menawarkan konsep ekologi
alternatif atau ekologi transformatif. Teologi lingkungan secara definisi adalah
teologi yang obyek material kajiannya bidang lingkungan dan perumusannya
didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam. Sehingga teologi lingkungan
merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar Islam mengenai lingkungan
(Abdillah, 2001). Ini merupakan jawaban atas semakin berkembangnya peradaban
umat manusia serta jawaban atas semakin kompleksnya permasalah yang dihadapi
dan salah satunya adalah munculnya berbagai masalah lingkungan.
Islam secara transenden mengakui keberadaan seluruh makhluk dimuka
bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan sang khalik sehingga kerusakan yang
9
diakibatkan oleh salah satu makhluk merupakan pengingkaran terhadap ciptaan
Allah (Izzi Deen, 1990; Qardhawi, 2001). Lebih lanjut, Islam sendiri memiliki
prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan
sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut adalah Tauhid, Amanah, Khalifah,
Halal, Haram, Adil, Tawasshur (Kesederhanaan), Ishlah (Pemeliharaan), dan
Tawazun (keseimbangan dan harmoni) (Sardar 2006; Chirzin, 2003).
Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip ideal yang coba ditawarkan oleh
Islam sebagai upaya menjawab persoalan lingkungan tersebut. Inti permasalahan
lingkungan hidup menurut Soemarwoto adalah hubungan mahluk hidup,
khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Dalam pandangannya
Soemarwoto menyebutkan hubungan timbal balik tersebut adalah ekologi. Lebih
lanjut Soemarwoto menjelaskan bahwa konsep sentral dalam ekologi ialah
ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam memandang ekosistem, maka
harus di lihat unsur-unsur dalam lingkungan hidup kita tidak secara tersendiri,
melainkan terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem.
Pendekatan ini dalam Soemarwoto disebut dengan pendekatan ekosistem atau
pendekatan holistik (Soemarwoto, 2004).
Dalam konsep ekologi manusia, terdapat berbagai macam pandangan dalam
memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Varian teori tersebut
antara lain adalah (a) teori determinisme lingkungan (Jabariyah) yang
menempatkan aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh
lingkungan. (b) posibilisme lingkungan (Tahammuliyyah) dimana lingkungan
memiliki peran penting dalam menjelaskan hubungan antara budaya tertentu
dengan lingkungan tertentu. (c) teori ekologi budaya (bi’ah al-hudriy) yang
menjelaskan bahwa budaya dan lingkungan adalah suatu kesatuan dengan suatu
budaya yang menjadi intinya. (d) teori sistem yang merupakan teori ekosistem
yang melihat hubungan antara manusia dengan lingkungan biotik dan abiotik
dilihat secara sistem meskipun pada tingkatan yang lebih kecil yaitu ekosistem
lokal. Selain itu peran ritual juga dimasukkan dalam inti budaya dan memiliki
peran besar dalam pola adaptasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat teori
tersebut kemudian mendapat tanggapan dengan munculnya teori alternatif yaitu
10
(e) teori dialektika ekologis Islam yang merupakan proses dialektis antara nilai-
nilai spiritual religius Islam dengan nilai-nilai ekologis. Proses dialektika yang
terjadi dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap internalisasi, tahap obyektivikasi,
dan tahap eksternalisasi (Rambo, 1983; Abdillah, 2001).
Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa Islam sebagai suatu sistem
kepercayaan memiliki dasar teologi lingkungan yang mengakar. Akan tetapi,
konteks yang dicoba dikedepankan pada penelitian ini tidak pada domain teologis
murni atau hanya mencari nilai-nilai ekologi dalam diktum keagamaan melainkan
mencoba melihat pada aras yang lebih praksis. Meminjam konsepsi Hermansyah
(2003) dalam melihat proses arus balik dari semangat mencari kebenaran dalam
tauhid (tawhid) melalui berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah
(a) faktor biologis dan faktor psikologis karena dalam setiap individu terdapat
keterkaitan biologis seperti keturunan, perkawinan, kekerabatan dan lainnya. (b)
faktor ekonomi karena sesungguhnya faktor ini terkadang menjadi dominan dari
pada faktor sosial. (c) faktor sosiologis-antropologis yang terkait dengan sosio-
budaya, struktur dan hubungan sosial yang terbangun dan terakhir (e) faktor
teologis yang merupakan dasar aktivitas yang transenden dalam diri manusia itu
sendiri.
2.2. Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial
Salah satu teoritikus yang banyak menitikberatkan penelitiannya pada etos
kerja adalah Max Weber. Damsar (2002) menjelaskan bahwa Weber dalam
bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa
ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis barat yang
didorong oleh perkembangan etika protestan yang muncul pada abad keenambelas
dan digerakkan oleh dokrin Calvinisme yaitu doktrin tentang takdir.
Senada dengan Damsar, Mintarti (2001) juga menjelaskan bahwa
pandangan Weber diatas berawal dari keganjilan, penyimpangan yang jelas
terlihat dan identifikasinya serta penjelasnya merupakan orisinalitas sebenarnya
dari The Protestan Ethic. Biasanya, mereka yang hidupnya terpaut dengan
kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh terhadap
agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama karena kegiatan mereka tertuju
11
kepada dunia materil. Akan tetapi agama Protestan bukannya mengendurkan
pengawasan gereja atas kegiatan sehari-hari, malahan menuntut penganutnya
disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik.
Tulisan Weber tersebut menurut Sobary (2007) menyebutkan peran yang
dimainkan oleh agama, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan
tertentu terutama dalam perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya,
kontribusi penting Weber adalah memahami sepenuhnya asal usul kapitalisme
modern. Weber mencoba menjelaskan hakikat dan kemunculan suatu mentalitas
baru, yang disebutnya semangat kapitalisme yang menggantikan tradisionalisme
dalam kehidupan ekonomi. Selain itu, semangat kapitalisme dalam pandangan
weber merupakan aspek sentral dari kapitalisme modern.
Weber membedakan empat aliran utama agama Protestan ascetic:
Calvinisme, Metodisme, Peitisme, dan sekte Baptis. Akan tetapi analisisnya
tentang etika Protestan terpusat pada salah satu dari keempat aliran tersebut, yaitu
Calvinisme. Di dalam Calvinisme terdapat tiga kepercayaan pokok yaitu (1)
semesta diciptakan untuk menunjukkan keagungan Tuhan yang Mahabesar dan
bahwa semua itu harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan,
(2) maksud dan kehendak Tuhan tidak selalu bisa dipahami oleh manusia, dan (3)
kepercayaan kepada takdir, yakni hanya sejumlah kecil manusia akan terpilih
untuk diangkat ke surga (Giddens, 1986).
Tesis utama Weber seperti yang disebutkan oleh Morrison (1995) terletak
pada dua hal yaitu bahwa banyak pusat-pusat komersial di Eropa ketika itu telah
menunjukkan aktivitas komersial yang sangat intens bersamaan dengan
berkembangnya ajaran Protestanisme. Tesis kedua dari Weber adalah bahwa
kapitalisme barat di motivasi atas dua hal yang menurutnya sangat kontradiksi.
Disatu sisi bahwa perilaku menimbun kekayaan sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan individu, akan tetapi disisi lain justru masyarakat eropa menghindari
penggunaan kekayaan mereka untuk tujuan berfoya-foya dan bersenang-senang.
Weber kemudian menyimpulkan bahwa yang mendasari perilaku tersebut adalah
etika agama yang dalam hal ini etika protestan.
Johnson (1986) juga menjelaskan bahwa akar motivasi individu jauh lebih
dalam daripada keputusan rasional yang disengaja mengenai alat dan tujuan atau
12
konformitas terhadap tuntutan dari mereka yang berotoritas. Analisa Weber
mengenai etika Protestan serta pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan
kapitalisme menurutnya menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya
kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk pola motivasional individu serta
tindakan ekonominya. Pengaruh agama terhadap pola perilaku individu serta
bentuk-bentuk organisasi sosial juga dapat dilihat dalam analisa perbandingannya
mengenai agama-agama dunia yang besar.
Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara
ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur yaitu (1) bahwa
tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan
makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).
Weber juga menjelaskan bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri
dari inidivud-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Weber
melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi
individu dan tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber harus
didasari oleh raisonalitas sehingga rasionalitas ini menjadi kunci bagi suatu
analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar
perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986).
Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu
kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat
dinilai secara obyektif. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan
Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok
yang diberikan adalah antara tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan
yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan sedangkan tindakan
irasional adalah sebaliknya (Johnson, 1986).
Dalam Johnson (1986) dijelaskan bahwa Weber membagi tindakan menjadi
empat tipe. Tipe pertama adalah tindakan rasional instrumental. Tipe ini
merupakan tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan
pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-
macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium
menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini.
13
Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang dipilih tadi. Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat
impersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Tipe
tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem
pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia
Barat modern.
Tipe kedua adalah rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasionalitas
yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan
obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Tujuannya sudah ada dalam
hubungannya dengan nilai individu yang bersifat absolute atau merupakan nilai
akhir baginya. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang
berorientasi nilai ini.
Tipe ketiga adalah tindakan tradisional. Tindakan ini merupakan tipe
tindakan sosial yang bersifat non-rasional. Tindakan ini lebih dikarenakan
kebiasaan kemudian diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang
sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa
persoalan. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini telah hilang lenyap karena
meningkatnya rasionalitas instrumental.
Tipe keempat adalah tindakan afektif. Tipe tindakan ini ditandai oleh
dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang
sadar. Tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya
pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya.
2.3. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat
Pesantren merupakan model pendidikan khas yang dimiliki oleh Indonesia.
Selain itu, pesantren juga tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Kondisi ini
dikarenakan pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat
dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terutama dalam
melakukan proses transformasi, sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren
merupakan sistem pendidikan khas yang sarat dengan nilai transformatif yang
sebelumnya berada pada wilayah keagamaan kemudian meluas dalam bentuk
pengabdian sosial (A’la, 2006).
14
Secara terminologis pesantren yang biasa disebut sebagai pondok atau surau
(Azra, 1985) merupakan suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang
menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal
santri yang bersifat permanen (Qomar, 2005). Meskipun demikian, dalam
khazanah pendidikan Islam sendiri pesantren bukanlah satu-satunya model
pendidikan yang lekat dengan Islam. Terdapat berbagai varian model seperti
madrasah, pengajian dan lainnya. Yang menjadi kekhasan pesantren adalah
adanya pondok atau asrama yang menjadi tempat tinggal para santri dalam batas
teritorial tertentu serta pemimpin yang disebut dengan Kyai.
Terdapat berbagai macam kategorisasi pesantren. Kategorisasi ini bisa
berdasarkan keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yaitu
pesantren salafi dan khalafi. Ada juga yang melakukan kategorisasi berdasarkan
kelengkapan komponennya yaitu (a) hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; (b)
masjid, rumah kyai dan asrama; (c) masjid, rumah kyai, asrama dan pendidikan
formal; (d) masjid, rumah kyai, asrama, pendidikan formal dan pendidikan
keterampilan; (e) masjid, rumah kyai, asrama, madrasah dan bangunan fisik
lainnya (Qomar, 2005).
Pesantren setidaknya memiliki elemen-elemen dasar seperti pondok atau
asrama, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai (Dhofier dalam
Hadimulyo, 1985). Kesemuanya menjadi satu entitas yang saling melengkapi dan
terintegrasi dalam suatu teritori. Meskipun demikian, elemen dasar tersebut
memiliki keterbatasan seiring dengan semakin berkembangnya model pesantren
kekinian. Ini disebabkan banyaknya pesantren-pesantren yang bermunculan
dengan tidak lagi menempatkan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai tujuan
utamanya. Selain itu sistem pengajaran yang bersifat sorogan1, bandongan
2 tidak
lagi dianut oleh seluruh pesantren. Beberapa pesantren tidak lagi menggunakan
sistem tersebut tetapi lebih menggunakan sistem yang lebih modern seperti
1 Sorogan merupakan sistem pengajaran konvensional yang dimiliki oleh pesantren. Sistem
sorogan merupakan sistem pengajaran satu arah yang menempatkan kyai sebagai guru yang
menjelaskan maksud dari kitab tersebut. Santri dalam hal ini diharuskan mengajukan kitab apa
yang akan dipelajari kemudian secara mendalam dan dihafal. 2 Bandongan atau juga disebut wetonan merupakan sistem pengajaran yang lain yang dimiliki oleh
pesantren. Sistem ini juga tergolong konvensional dimana Kyai menjelaskan isi kita secara
sistematis perkata yang kemudian menjelaskan arti dan maksud dari kitab tersebut sementara santri
dituntut untut memperhatikan secara seksama.
15
pendidikan fomal. Oleh karena itu kategori lain yang muncul adalah kategori
pesantren tradisional dan pesantren modern.
Secara lebih terperinci akan dicoba dijelaskan elemen-elemen dasar yang
terdapat di pesantren yaitu:
1. Pondok atau asrama. Pondok atau asrama ini merupakan tempat tinggal
santri dimana seluruh aktivitas keseharian santri berada disini. Interaksi sosial
antar santri juga terjalin secara apik di pondok. Tujuan dari adanya asrama ini
adalah selain menjadi tempat tinggal juga dapat memudahkan kyai dalam
mendidik dan mengajarkan segala jenis ilmu pengetahuan sesuai dengan
kurikulum yang ditetapkan. Selain itu juga difungsikan untuk mengulang
kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz (Fadhillah,
2005; Qomar, 2005).
2. Masjid. Masjid ini merupakan pusat aktivitas utama santri yaitu ibadah.
Fungsi lain yang dimiliki adalah juga fungsi pendidikan dimana masjid
terkadang digunakan sebagai tempat pengajian baik formal maupun informal.
Secara umum seluruh aktivitas santri ditandai oleh masjid terutama waktu
shalat.
3. Kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik merupakan salah satu identitas
pesantren terutama pesantren tradisional dimana dikenal dengan kitab kuning.
Kitab ini merupakan karya klasik pemikir Islam pada abad pertengahan.
Secara akademis kitab tersebut memiliki bobot yang cukup serta
komprehensif akan tetapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat
sederhana (Mas’udi, 1985). Pada pesantren yang tergolong modern, kitab-
kitab klasik juga digunakan dan disandingkan dengan sistem pendidikan yang
lebih modern serta literatur dari negara dan kontemporer lainnya.
4. Santri. Santri merupakan individu atau murid yang belajar dan tinggal dalam
lingkungan pesantren. Kata-kata santri ini juga menjadi salah satu varian
yang digunakan oleh Geertz dalam bukunya Religion of Java sebagai orang
yang selalu mengaitkan hidupnya dengan aktivitas beragama dan
perdagangan. Geertz kemudian menempatkan santri pada posisi struktur
ditengah diatas abangan dan dibawah priyayi. Santri sendiri merupakan
individu yang memusatkan perhatiannya pada doktrin agama Islam,
16
khususnya penafsiran moral dan sosialnya (Effendy, 1985). Selain itu, nilai
pokok yang dianut oleh santri adalah bahwa seluruh kehidupan dipandang
sebagai ibadah. Konsep ini merupakan perluasan Bachtiar Effendy dari apa
yang dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid bahwa santri merupakan individu
yang memiliki ciri dan watak tersendiri yang disebut “subkultural“. Santri
juga dibedakan menjadi santri mukim yang bertempat tinggal di pondok atau
asrama serta santri kalong yang tidak tinggal didalam asrama dan biasanya
merupakan masyarakat sekitar pesantren (Ghazali, 2003).
Dalam hubungan dengan kyai, santri juga memiliki variasi yang sangat terkait
dengan tipe pesantren dimana dia bermukim. Fadhillah (2005) menyebutkan
bahwa terdapat hubungan patrimonial antara kyai dengan santri dan
hubungan formal. Kedua hubungan ini sangat terkait dengan sistem pesantren
serta kedudukan kyai menurut pandangan santri tersebut.
5. Kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren dan menjadi figur sentral dari
pesantren. Kehadiran kyai sangat menentukan arah gerak kemajuan
pesantren. Istilah kyai ini lebih banyak dikenal di wilayah Jawa. Di Sumatera
misalnya lebih dikenal dengan sebutan Buya dan di Sulawesi lebih dikenal
dengan sebutan Gurutta. Dalam kondisi yang lebih maju kedudukan seorang
kyai dalam pondok pesantren tetap sebagai tokoh primer dimana kyai tetap
sebagai pemimpin, pemilik dan guru utama (Ghazali, 2003). Dalam beberapa
hal juga kekuasaan kyai dan mitos wali disakralkan dan memiliki kekuasan
yang mutlak sehingga terkadang menimbulkan status quo (Romas, 2003).
Selain itu Geertz juga menempatkan kyai sebagai cultural broker atau
makelar budaya (Geertz, 1960) yang berfungsi menjadi intermediasi baik
dalam pesantren maupun luar pesantren. Pendapat ini kemudian mendapat
tanggapan dan koreksi dari Hiroko Horikoshi yang mencoba menempatkan
Kyai bukan hanya sebagai broker tetapi lebih sebagai transformator yang
dapat mendorong perubahan signifikan baik diinternal pesantren maupun
masyarakat sekitar (Horikoshi, 1986).
Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika dalam masyarakat serta
tuntutan perubahan yang selalu menyeruak, pesantren dihadapkan pada keharusan
17
melakukan transformasi kearah yang lebih luas. Transformasi ini mengejawantah
dalam bentuk pengabdian sosial sebagai perluasan dari sistem yang selama ini
dianut oleh pesantren kebanyakan.
Usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh pesantren secara garis besar dapat
dibedakan atas pelayanan kepada para santri dan pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan usaha memajukan desa dimana
pesantren tersebut berdomisili. Pola ini digunakan sebagai ajang para santri dan
komponen pesantren lainnya memperoleh pengalaman berharga bagi
kehidupannya kelak. Usaha ini bukan berarti menghilangkan corak keagamaan
yang selama ini melekat pada pesantren, tetapi lebih pada upaya membawa
persoalan nyata yang selama ini berada di masyarakat kedalam pesantren,
mencoba memahami persoalan tersebut untuk memudian bersama mencari
pemecahan dan jawaban dari berbagai persoalan tersebut (Suyata, 1985).
Berbagai jawaban yang secara empirik dilakukan adalah seperti yang
dilakukan oleh beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan yang
mentransformasi menjadi learning society (Hidayat, 1985; Arifin dan Hasanah,
2003). Pesantren An-Nuqayah dengan mendirikan BPM sebagai solusi dan
intermediasi antara masyarakat dengan pesantren (Basyuni, 1985; Effendy, 1990;
Ghazali, 2003) dan Pesantren Hidayatullah di Kalimantan (Yacub, 1984) serta
banyak lagi pesantren lainnya yang baik secara langsung bersentuhan dengan
masyarakat maupun yang tidak secara langsung.
2.4. Pesantren dan Gerakan Ekologi
Sebagai salah satu respon terhadap berbagai permasalahan yang muncul
terutama permasalahan lingkungan adalah dengan munculnya gerakan ekologi
(environmental movement). Pengertian gerakan ekologi ini lebih banyak
didominasi oleh gerakan lingkungan seperti lembaga swadaya masyarakat atau
lembaga intermediasi lintas negara serta partai politik. Aras gerakan ini juga
berada pada semua level baik lokal, nasional maupun internasional. Gerakan
lingkungan dalam pengertiannya adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring
yang luas antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri
dalam aksi bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar
18
keuntungan-keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Aksi bersama ini
tentunya sangat dipengaruhi oleh kesamaan ide antar aktor didalamnya. Dalam
konteks Pesantren, nilai teologi yang melekat atau dalam istilah Max Weber
verstehen dapat menjadi dasar bergerak yang nantinya dapat dimanifestasikan
melalui struktur yang terdapat dipesantren tersebut.
Gerakan ekologi dapat dibedakan menjadi tiga variasi yaitu pertama,
gerakan ekologi yang sebagai produk dari faktor-faktor budaya dan struktural
yang muncul secara independen sebagai jawaban atas kondisi lingkungan sekitar.
Kedua, gerakan ekologi yang menempatkan pola dan pengaruh mediasi dalam
lobi-lobi lingkungan, peranan media serta ilmuwan. Ketiga, gerakan ekologi yang
muncul sebagai respon dan meletakkan fokusnya pada semakin memburuknya
kondisi lingkungan dan menjadikannya sebagai fokus utama gerakannya (Garner,
1996).
Selain itu, dalam mengidentifikasi gerakan ekologi tersebut perlu dilihat
dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah melihat dari sisi
perhatian (interests) dan sebab (causes) yang melatar belakangi gerakan tersebut.
Lowe dan Goyder dalam Garner (1996) membuat tipologi menjadi dua yaitu
gerakan yang bersifat menekan (emphasis) dan gerakan yang bersifat promosional
(promotional). Gerakan menekan merupakan gerakan yang telah mendapatkan
kesuksesan atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan selama ini telah
berbuahkan hasil sedangkan gerakan yang bersifat promosi adalah gerakan yang
secara signifikan melakukan upaya promosi dan menyuarakan perubahan. Selain
itu, identifikasi juga bisa dilakukan dengan menempatkan apakah fokus gerakan
tersebut menempatkan gerakannya sebagai gerakan utama (primary) atau hanya
gerakan kedua (secondary). Identifikasi juga bisa dilakukan berdasarkan pengaruh
geografis yang dilakukan apakah bersifat lokal, nasional atau internasional.
Identifikasi terakhir adalah identifikasi pada isu-isu yang diperjuangkan. Varian
isu tersebut dapat berupa isu konservasi (conservation), rekreasi (recreation),
kenyamanan (amenity) dan sumberdaya (resources).
Selain paparan diatas, dalam konsepsi etika lingkungan juga dikenal istilah
Deep Ecology yang merupakan pandangan filosofis yang mendasarkan pada
hubungan yang suci antara bumi dengan makluk lainnya. Deep ecology atau
19
ekologi dalam merupakan gerakan internasional yang mendorong agar
kelangsungan masa depan dapat terjaga dan juga ekologi dalam menjadi penuntun
atau penunjuk arah bagi aktivitas keseharian manusia dan alam sekitarnya sebagai
satu kesatuan ekosistem.
Ekologi dalam mendorong terus dilakukannya penyelidikan dan penelitian
tentang peran manusia di bumi ini dan juga mendorong untuk menganalisa praktik
pembangunan yang tidak berkelanjutan, mendorong untuk menurunkan tingkat
konsumsi manusia, upaya konservasi dan pemulihan ekosistem. Istilah deep
ecology ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970an yang merupakan reaksi
atas terbatasnya konsepsi operasional dan politik yang dipaksakan oleh ideologi
liberal dan institusi konservatif ketika melakukan reformasi lingkungan.
Paradigma baru ini memandang dunia secara holistik yaitu mengatakan
bahwa dunia secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan dan bukan merupakan
satuan-satuan yang terpisah. Aliran filosofis ini didirikan oleh filsuf Norwegia
Arne Naess di awal tahun tujuh puluhan bersama pembedaan yang ia lakukan
antara ekologi yang dangkal (shallow environment) dengan yang dalam (deep
ecology). Sekarang perbedaan ini diterima secara luas sebagai istilah yang sangat
berguna untuk merujuk pada pembagian utama dalam pemikiran kontemporer atas
lingkungan.
Devall dan Sessions dalam Luke (2002) mencoba mengadaptasi dua norma
yang diusulkan oleh Naess yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan
biocentric equality (persamaan atau kesetaraan biosentris). Devall dan Sessions
menempatkan self-realization sebagai visi dari kerja yang sesungguhnya atau
berkerja keras untuk menjadi individu yang penuh daripada menjadi individu yang
terisolasi oleh ego materialistik semata. Bentuk praktis ini mendorong munculnya
etika baru yaitu menjadi atau melakukan dan bukan lagi mencoba atau memiliki.
Norma yang kedua adalah norma biosentrime yang menjelaskan bahwa segala
sesuatu memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang dan mencapai
bentuk individual mereka.
Keraf (2002) menyebutkan beberapa prinsip gerakan lingkungan yaitu
biospheric egalitarianism-in principle yaitu pengakuan bahwa semua organisme
dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan
20
yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Prinsip kedua adalah nin-
antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau
terpisah dari alam. Ketiga yaitu realisasi diri (self-realization). Maksudnya adalah
bahwa manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi diri.
Keempat adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan
kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis dan kelima adalah
perlunya perubahan dalam politik menuju eco-politics.
Platform Deep Ecology tahun 1984 memberi kekhasan pada Deep Ecology
sebagai gerakan politis-sosial-ekofilosofis internasional kontemporer. Platform itu
secara esensial merupakan suatu pernyataan ekosentrisme normatif dan filosofis
bersama dengan suatu seruan bagi aktivis lingkungan (Keraf, 2002). Pernyataan
flatform Deep Ecology yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia diatas
bumi mempunyai nilai dalam diri mereka sendiri, atau dengan kata lain
mempunyai nilai intrinsik (inheren). Nilai-nilai ini terlepas dari kegunaan
dunia non-manusia bagi tujuan-tujuan manusia.
2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan memberikan kesadaran
akan nilai-nilai ini dan juga merupakan nilai-nilai dalam kehidupan mereka
sendiri.
3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman itu
kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok.
4. Perkembangan hidup dan kebudayaan manusia sesuai dengan pengurangan
subtansial dari populasi manusia. Perkembangan kehidupan non-manusia
menuntut pengurangan seperti itu.
5. Campur tangan manusia sekarang terhadap dunia non-manusia bersifat
berlebihan dan situasinya menjadi memburuk dengan cepat.
6. Kebijakan-kebijakan harus diubah. Kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi
tata susunan ekonomi, teknologi dan idiologi dasar.
7. Perubahan idiologis terutama adalah perubahan mengenai penghargaan
terhadap kualitas hidup yang berada didalam situasi-situasi yang inheren dari
pada mempertahankan standar hidup (materilistis) yang semakin tinggi.
21
Dalam kaitan pesantren dengan gerakan ekologi, seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya terdapat gerakan-gerakan ekologi yang berasal dari
komunitas pesantren sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul kekinian.
Gerakan yang muncul dipesantren tersebut tidak terlepas dari narasi yang
berkembang baik pada aras lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga
fokus isu yang berkembang memiliki hubungan dengan fenomena yang terjadi di
dalam tubuh pesantren itu sendiri dan juga nilai teologi keislaman yang lama
mengakar didalamnya.
2.5. Kerangka Pemikiran
Pesantren merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya karena
maju maupun tidaknya pesantren sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu peran kyai
sebagai figur sentral di pesantren serta perannya dalam menjembatani perubahan
baik internal pesantren maupun eksternal pesantren. Hal lain adalah
perkembangan masyarakat sekitarnya, termasuk bagaimana pesantren mampu
menjawab berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Transformasi pesantren
yang sebelumnya hanya berkutat pada diktum keagamaan dan menekankan hanya
pada dakwah bil aqwal melalui metode-metode tradisional seperti mengajar,
pidato dan lainnya dan berkutat hanya pada isu keagamaan, kemudian meluas
menjadi dakwah bil hal yang lebih menekankan pada mencari langkah kongkrit
menjawab permasalahan kontemporer.
Transformasi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari semakin meluasnya
cakupan teologi yang termanifestasi oleh komponen pesantren tersebut. Ini
dikarenakan pesantren yang selama ini dikenal sebagai institusi religius tidak
pernah bisa dilepaskan dari narasi keagamaan dan menjadi sebuah lompatan besar
bagi pesantren apabila dapat menjembatani dikotomi yang selama ini terpatri dan
mengakar. Tentu perluasan ini selaras dengan akar sejarah pesantren itu sendiri.
Pesantren yang selama ini dikenal juga berangkat dan tumbuh dari tuntutan dan
kebutuhan masyarakat disekitarnya.
Transformasi teologi tersebut juga kemudian meluas menjadi teologi
lingkungan dan berkembang dikalangan pesantren. Kyai sebagai pemimpin
spiritual maupun struktural dalam pesantren tentu memiliki peran yang sangat
22
signifikan dalam proses perubahan tersebut. Kondisi ini memungkinkan karena
kedudukan kyai di mata santri maupun masyarakat begitu amat agung dan
kharismatik sehingga apabila secara teologis sang kyai mengalami transformasi
dan meluaskan cakupan teologinya menjadi teologi lingkungan kemudian di
transformasikan kepada santri dan masyarakat yang kemudian menjadi dorongan
untuk melakukan berbagai gerakan pada level praktisnya. Kondisi ini dilatari oleh
semangat ibadah dan integritas terhadap kyai sebagai representasi Nabi dan sang
Khalik.
Struktur sosial yang telah terbangun di pesantren juga menjadi salah satu
faktor bagaimana proses transformasi tersebut dapat berjalan serta bagaimana
penerimaan santri dan masyarakat terhadap pembaruan pemikiran teologis
tersebut. Akan tetapi, kondisi geografis tentunya dapat mempengaruhi proses
transformasi tersebut terutama perbedaan yang cukup mendasar antara pesantren
yang berada di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Budaya yang relatif
homogen di pedesaan dapat menjadi stimulus perubahan tersebut sedangkan
budaya yang relatif heterogen justru dapat menghambat proses perubahan yang
sedang diupayakan oleh pesantren tersebut.
Proses perubahan dalam Pesantren dalam memandang problematika
lingkungan menjadi suatu hal yang unik. Meskipun demikian, dalam literatur
ekologi terdapat istilah yang membedakan mereka yang memiliki perhatian
terhadap lingkungan hanya untuk kepentingan manusia saja yang disebut sebagai
ekologi dangkal, serta mereka yang secara kongkrit merubah cara pandang dengan
menempatkan semua makhluk dalam kesetaraan seperti ekologi dalam. Islam
sendiri memiliki berbagai macam prinsip yang dapat menjadi dasar seluruh
aktivitas keseharian pemeluknya, tidak terkecuali kesadaran dalam menginisiasi
konservasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pesantren tersebut. Tahapan
ini yang disebut sebagai tahapan internalisasi.
Kesadaran ini tentunya melalui proses sublimasi nilai-nilai keagamaan
menjadi suatu landasan eco-spiritualitas dalam gerakan lingkungan. Nilai-nilai
eco-spritualitas maupun eco-teologi tersebut kemudian bergerak
tertransformasikan secara individual melalui proses pemaknaan dalam diri
masing-masing individu. Ini merupakan langkah awal dan sejatinya merupakan
23
langkah terpenting karena proses pengendapan nilai dalam diri yang melibatkan
interaksi, baik dalam pribadi individu tersebut maupun keterlibatan aktor luar
dalam memaknai prinsip-prinsip tersebut. Santri maupun masyarakat yang
memiliki keterlibatan baik secara personal maupun masif, dalam proses memaknai
nilai keIslaman tersebut dapat melalui edukasi dari Kyai sehingga bukan tidak
mungkin, kesalahan pemahaman oleh Kyai dapat menyebabkan kesalahan mereka
dalam memahami fenomena sosial yang menyeruak di masyarakat. Proses yang
terbentuk dalam tahapan ini selaras dengan proses obyektifikasi.
Langkah akhir yang kemudian terbangun adalah bentuk aplikasi pragmatis
dari pemahaman mereka terhadap nilai dan transendensi nilai dalam bentuk
gerakan ekologi. Munculnya gerakan ekologi ini dapat disebabkan adanya
pengetahuan dari aktor luar (eksternal) maupun aktor dalam (internal) yang
bermain dalam ruang kontestasi ekologi yang sebagai perwujudan tahapan
eksternalisasi menjadi sebuah gerakan ekologi. Gerakan ini yang nantinya
diidentifikasi menjadi gerakan ekologi dalam yang mengedepankan etika dan
perubahan cara pandang dalam melihat alam dan manusia, atau justru menjadi
gerakan ekologi dangkal yang meskipun aktivitas ekologi atau lingkungan
dilakukan oleh pesantren, tetapi terbatas hanya pada upaya pencegahan yang
didasari oleh kepentingan pragmatis saja. Individu juga tidak mengalami
perubahan cara pandang dan masih menempatkan manusia menjadi khalifah yang
menguasai seluruh sumberdaya di muka bumi.
Meskipun demikian, ketiga proses diatas dapat berjalan secara evolutif
maupun parsial. Gerakan lingkungan seperti konservasi di Pesantren dan
sekitarnya dapat diidentifikasi dalam area dua kontinum gerakan tersebut.
Permasalahan yang muncul adalah, apakah ketiga tahapan tersebut merupakan
proses yang utuh, yang dilalui oleh pesantren sehingga sejatinya gerakan tersebut
memiliki landasan spiritual dan gerakan tersebut merupakan buah dari proses
evolusi individual dalam memaknai prinsip, kemudian mengendap dalam diri dan
termanifestasikan dalam aktivitas.
Gerakan lingkungan juga dapat bersifat parsial ketika individu melakukan
aktivitas yang terputus satu sama lain. Individu dapat mengetahui dan memahami
prinsip ekologi tersebut, tetapi tidak kemudian termanifestasi dalam bentuk
24
gerakan. Individu juga dalam terlibat dalam gerakan, tetapi sesungguhnya tidak
dilandasi oleh pemahaman atas prinsip ekologi tersebut. Kondisi ini yang
kemudian dapat menempatkan mereka dalam kontinum gerakan yang paling awal
yaitu kontinum gerakan ekologi dangkal. Selebihnya, ketika proses evolusi itu
dilalui dan berujung pada manifestasi gerakan, mereka sejatinya berada dalam
kontinum akhir yaitu gerakan ekologi dalam.
Proses sedemikian rupa yang digambarkan diatas, sejalan dengan
argumentasi yang diberikan oleh Engineer (2007) bahwa sejatinya manifestasi
merupakan bentuk lain dari hikmah (kebijaksanaan) yang merupakan ekstraksi
dan sublimasi dari ‘ilm (pengetahuan). Kedua hal tersebut bersumber pada ‘aql
(akal) dan fikr (pemikiran) yang terbentuk dari pembacaan terhadap fenomena
yang muncul disekitar yang dalam hal ini berbagai problema lingkungan dengan
pemahaman terhadap sumber teologi dalam Islam seperti Al-Quran dan Hadist.
Berdasarkan pemikiran diatas maka secara ringkas dan memperjelas
kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1):
Kerangka Dasar
dan Nilai-nilai
Ekologi Dalam
Islam
Konstruksi Gerakan
Terbentuk Karena
Refleksi Pribadi
Kontinum Gerakan
Ekologi
Konstruksi Gerakan
Terbentuk Karena
induksi Dari Aktor
Luar
Aktor-Aktor Internal
Yang Bermain
Aktor-Aktor Eksternal
Yang Bermain
Refleksi Nilai Dalam
Sistem Pesantren
(Formal dan Informal)
Tahap Internalisasi Tahap Obyektifikasi Tahap Eksternalisasi
Ekologi
Dangkal
Ekologi
Dalam
Kontinum Manifestasi - Aksi
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
III. METODE PENELITIAN
3.1. Wilayah Analisis
Penelitian ini dilakukan pada beberapa wilayah kajian analisis. Kajian utama
yang dilakukan adalah mencoba melihat bagaimana respon pesantren terhadap
berbagai persoalan yang mendera masyarakat saat ini terutama persoalan
lingkungan hidup. Persoalan utama ini bersumber pada bagaimana proses
penafsiran terhadap teks agama dilakukan guna menjawab berbagai persoalan
kekinian seperti problematika lingkungan hidup diatas.
Wilayah analisa dilakukan dengan beberapa batasan analisis yaitu, pertama,
masalah dan fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana Pesantren
memperlihatkan wujud pemaknaan para aktornya, terutama menginterpretasikan
hubungan Pencipta dan makhluknya baik manusia, dan lingkungan hidup sekitar
dalam kerangka sosiologis. Kemudian, secara empiris akan dilihat dalam
pesantren beberapa hal yaitu: (1) bagaimana aktor dalam Pesantren memaknai
lingkungan; (2) bagaimana proses manifestasi nilai teologi tersebut berlangsung;
dan (3) apakah manifestasi nilai tersebut mewujud menjadi gerakan. Pada batasan
ini kemudian dilakukan telaah terhadap bentuk gerakan ekologi, apakah
merupakan satu kesatuan dengan nilai dan merupakan transenden, atau merupakan
suatu hal yang terpisah.
3.2. Hipotesis Pengarah
Guna mengarahkan penelitian ini, maka dirumuskan suatu hipotesis
pengarah yaitu bahwa proses pemaknaan atas nilai teologi ekologi yang dilakukan
oleh aktor pesantren yang kemudian termanifestasikan dalam praktik-praktik
gerakan akan melahirkan suatu gerakan ekologi yang merupakan konvergensi
antara idealita relijiusitas dengan praktik gerakan ekologi.
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi pesantren dengan dua setting
geografis yang berbeda yaitu di Pondok Pesantren Al Amin, Sukabumi dan
Pondok Pesantren Daarul Ulum Lido, Bogor. Kedua pesantren ini dipilih secara
26
sengaja (purposive) karena kedua pesantren ini merupakan pesantren yang terlibat
dalam aktivitas konservasi lingkungan dengan bentuk kegiatan yang berbeda.
Selain itu tipe pesantren juga berbeda satu sama lain, Pesantren Al Amin
merupakan pesantren yang identik dengan sebutan pesantren tradisional,
sementara Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren modern. Secara
lebih jelas, tipe pesantren ini akan dibicarakan pada bab selanjutnya.
Waktu penelitian dan pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan
April hingga Mei 2009. Selain bulan tersebut, juga terdapat beberapa fase
diantaranya fase seperti penyusunan proposal, fase observasi dan pengumpulan
data awal, fase analisa data, fase penulisan, seminar dan sidang hasil penelitian.
3.4. Pendekatan dan Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Metodologi kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian seperti persepsi, perilaku, motivasi dan tindakan
secara holistik dan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,
1995) sehingga informasi yang akan diperoleh nantinya bersifat subyektif dan
historis.
Sementara itu, kegiatan penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu pralapangan, kegiatan lapangan dan analisis intensif (Bogdan, 1972 dalam
Moeleong, 1995). Secara jelas, tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahapan pertama adalah tahap pralapangan yang terdiri dari perancangan
penelitian secara umum mulai dari proposal, pemilihan lokasi penelitian,
finalisasi administrasi penelitian, dan penjajakan awal berupa orientasi
lapangan. Orientasi lapangan ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman dan gambaran tentang pesantren yang akan diteliti. Selain itu juga
dilakukan kajian awal kerangka teologi lingkungan dalam Islam melalui
kajian literatur.
2. Tahapan kedua adalah tahapan pekerjaan lapangan yang terdiri dari beberapa
tahap yaitu melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa aktor kunci
dalam pesantren terutama Kyai. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
27
mendapatkan gambaran bagaimana pemahaman Kyai tersebut terhadap
konteks penelitian serta latar historisnya. Selain itu dilakukan wawancara
terhadap santri dan ustadz (guru) guna melihat bagaimana proses transformasi
pengetahuan terjadi dan relasi yang terbangun di pesantren tersebut.
Kemudian dilakukan pengamatan guna melihat berbagai bentuk manifestasi
yang mungkin muncul sebagai implementasi pemahaman terhadap nilai
teologi tersebut.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data ini
merupakan hasil dari metode kualitatif yang berusaha menyediakan deskripsi
secara mendetail dan analisis atas kualitas terutama dalam hal substansi atau
pengalaman-pengalaman manusia (Marvasti, 2004). Data kualitatif yang
dimaksud juga merupakan deskripsi lisan dan tulisan dari manusia atau perilaku
manusia yang diamati (Taylor dan Bogdan, 1984 dalam Sitorus, 1998).
Data kualitatif ini diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (indepth
interview) guna mendapatkan penjelasan dan kedalaman tineliti dalam memaknai
teologi lingkungan serta bagaimana dorongan teologi tersebut mampu
dimanifestasikan dalam suatu gerakan. Wawancara tersebut difokuskan pada
informan kunci dan beberapa individu yang mewakili komponen pesantren seperti
kyai, guru atau ustadz, santri, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar pesantren
serta informan lain yang berkaitan dengan gerakan di kedua pesantren tersebut
(lihat Tabel 3.1). Proses wawancara dilakukan secara informal sehingga terbangun
suasana dialektik antara peneliti dengan tineliti.
Tabel 3.1. Jumlah Informan Yang di Wawancarai
Informan Jumlah (orang)
Kyai 2
Santri 16
Asatidz atau guru 8
Anggota Tani 6
LSM (Conservation International) 1
PT. Danone 3
Aparatur Pemerintah 2
28
Selain itu juga dilakukan pengamatan atau observasi terhadap aktivitas
keseharian dalam pesantren agar dapat memberikan gambaran yang utuh terutama
dalam hubungannya dengan penelitian ini. Pengamatan berfungsi untuk
mengoptimalkan kemampuan peneliti untuk melihat dunia sesuai dengan yang
dilihat oleh tineliti, menangkap arti fenomena, kehidpan budaya dari pandangan
tineliti serta merasakan dan menghayati apa yang dirasakan oleh tineliti sehingga
memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama (Moleong, 1995).
Data juga dihimpun melalui pengumpulan dokumen. Moleong (1995)
menjelaskan bahwa dokumen merupakan bahan tertulis atau film yang tidak
dipersiapkan karena permintaan seorang. Dokumen tersebut dapat berupa
dokumen pribadi, maupun dokumen resmi. Dalam penelitian ini, penelusuran
dokumen dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur maupun catatan
sejarah pesantren, autobiografi pimpinan pesantren dan pelaku gerakan ekologi,
dokumen resmi seperti risalah rapat, pengumuman tertulis, majalah internal
pesantren maupun eksternal pesantren, buletin, pernyataan dan berita baik
dimedia masa lokal maupun nasional. Selain itu, juga dilakukan pelacakan melalui
media wawancara dengan ahli serta data penunjang lainnya. Secara ringkas, data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 3.2):
Tabel 3.2. Data dan teknik dalam pengumpulan data
Teknik
Pengambilan
Data
Macam Data
Pengamatan
atau
Observasi
Aktivitas kehidupan/keseharian didalam dan luar Pesantren
Aktivitas koservasi/ekologi di Pesantren
Dinamika Kehidupan Pesantren
Aktivitas pendidikan didalam Pesantren
Pola interaksi antara aktor didalam dan luar Pesantren
Aktivitas kehidupan masyarakat disekitar Pesantren
Aktivitas tokoh Pesantren baik didalam Pesantren maupun
diluar Pesantren.
Wawancara
Mendalam Pemahaman aktor dalam pesantren terhadap nilai keagamaan
Pemahaman nilai ekologi dalam Islam pada setiap aktor
didalam Pesantren.
Alasan keterlibatan/partisipasi dalam aktivitas ekologi
Sejarah keterlibatan/partisipasi dalam aktivitas ekologi
Sumber atau nilai ekologi yang mendasari aktivitas ekologi
Struktur kehidupan didalam Pesantren
Alur kegiatan ekologi yang dikembangkan
29
Sikap dan pandangan terhadap problematika lingkungan
disekitar
Respon masyarakat terhadap aktivitas ekologi
Pemaknaan aktor terhadap variasi pengembangan aktivitas
Pemaknaan aktor terhadap induksi pengetahuan dari aktor
diluar pesantren
Studi
Dokumen Sejarah Pesantren
Sejarah aktor utama dalam Pesantren (Kyai)
Sejarah aktivitas/gerakan ekologi dalam Pesantren
Sejarah dan perkembangan wacana dan aktivitas gerakan
ekologi baik lokal, regional dan nasional
Rekam jejak proses adaptasi maupun konflik yang muncul
akibat gerakan ekologi
Dialektika wacana gerakan ekologi didalam Pesantren
3.6. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dengan
mendasarkan pada data-data yang diperoleh dilapang. Metode analisis data
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada
orang lain (Bogdan dan Biklen, 1982 dalam Moleong, 1995). Beberapa langkah
yang akan dilakukan dalam menganalisa secara kualitatif (Huberman dan Miles,
1994 dalam Marvasti, 2004) adalah dengan (a) reduksi data yang merupakan
teknik agar data dapat lebih termanage dengan baik sehingga dapat diperoleh
fokus data yang lebih universal; (b) mendisplay data yaitu suatu representasi
tekstual dari data dengan tujuan melakukan seleksi yang tersegmentasi yang dapat
mengilustrasikan konsepsi-konsepsi yang dikedepankan. Bentuk display data yang
dimaksud adalah dengan melakukan pembacaan terhadap transkripsi data secara
hati-hati, membuat catatan pada sisi-sisi data serta menyoroti bagian-bagian
terpenting yang merepresentasikan konsep-konsep yang diajukan; (c) melukiskan
kesimpulan yaitu mencakup bagaimana membuat pernyataan yang berarti
sehingga data tersebut mengilustrasikan penelitian yang dimaksud. Teknik ini
juga bermaksud untuk melukiskan arti dari proses display data diatas.
30
3.7. Definisi Operasional
Secara operasional, penelitian ini akan ditopang dengan beberapa variabel
yang dalam memahaminya diperlukan suatu definisi operasional. Oleh karena itu,
berikut akan dijelaskan beberapa definisi operasional tersebut:
1. Nilai teologi yaitu nilai yang berkaitan dengan hubungan dasar-dasar agama
atau keyakinan yang memberikan pemahaman dan keyakinan mendasar
terhadap agama yang dianut. Teologi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah teologi lingkungan yang menekankan pada kaitan antara lingkungan
dengan sang pencipta yang secara definisi, teologi ini adalah teologi yang
obyek material kajiannya merupakan bidang lingkungan dan perumusannya
didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam.
2. Pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan
pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri
yang permanen. Pesantren memiliki lima elemen dasar yaitu Kyai, Santri,
asrama masjid dan pengajaran kitab-kitab klasik.
3. Kyai adalah individu yang menjadi pemimpin pesantren dan menjadi figur
sentral. Dalam fungsinya, kyai merupakan agen transformator yang menjadi
pendorong signifikan bagi kehidupan pesantren dan sekitarnya (Horikoshi,
1986).
4. Gerakan Ekologi adalah gerakan yang mengandung jejaring yang luas antar
individu dan oganisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi
bersama untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan-keuntungan bagi
lingkungan yang dipengaruhi oleh kesamaan ide atau nilai.
5. Deep Ecology atau Ekologi Dalam adalah suatu etika yang menekankan
upaya melihat problematika lingkungan dalam perspektif yang lebih luas dan
holistik yang menekankan pada upaya melakukan perubahan secara
fundamental dan radikal, menyangkut transformasi cara pandang dan nilai
(Keraf, 2002).
6. Shallow Ecology atau Ekologi Dangkal adalah suatu etika yang melihat
bahwa solusi atas berbagai problematika kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungan adalah dengan pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan
(Keraf, 2002).
IV. POTRET UMUM, TRADISI DAN DINAMIKA PESANTREN
Pondok Pesantren seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
memiliki sejarah panjang serta memiliki akar sejarah yang dalam pula pada
masyarakat Indonesia. Dalam konteks penelitian ini, pondok pesantren yang
dipilih menjadi lokasi penelitian dan akan digambarkan dibawah ini merupakan
pesantren yang memiliki kontribusi dan program yang berhubungan dengan isu
lingkungan. Kedua pesantren ini, baik Pesantren Al-Amin dan Pesantren Daarul
Ulum Lido memiliki kontribusi dan program yang berbeda-beda yang akan dikaji
lebih dalam pada bab selanjutnya.
4.1. Potret Umum Pesantren Al Amin
Pondok Pesantren Al-Amin merupakan satu dari empat pesantren yang ada
di Desa Nangerang. Pesantren ini terletak di desa Nagerang yang berbatasan
dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di sisi Timur, desa Benda dan
desa Tenjoayo di sisi Utaranya, desa Wangunjaya, kecamatan Ciambar dan desa
Purwasari di sisi Selatannya dan desa Cicurug di sisi Baratnya. Secara geografis,
pesantren ini berada tidak jauh dari jalan utama Sukabumi yaitu persis sebelum
memasuki pasar Cicurug, disisi sebelah kiri, jalan yang tidak begitu besar menjadi
pintu masuk menuju Pesantren Al-Amin tersebut.
Dalam sejarahnya, Pesantren Sukabumi merupakan pesantren yang cukup
berumur. Meskipun demikian, Al-Amin bukanlah pesantren yang mahsyur,
terutama di daerah Sukabumi. Tidak ada data tertulis tentang sejarah pendirian
pesantren ini, tetapi berdasarkan penuturan dari beberapa informan, Pesantren ini
awalnya didirikan pada tahun 1920an dengan nama Ma’hadul Furqon oleh KH.
Kurdi Usmawijaya. KH Kurdi atau dipanggil Mamah Kurdi memiliki satu orang
anak yang bernama KH. Ismatullah yang meneruskan perjuangannya dalam
mengelola pesantren hingga wafat pada tahun 1980. Tampuk kepemimpinan
pesantren kemudian berpindah kepada KH. Hidayatullah atau biasa disebut
sebagai Ajengan Aeh yang merupakan menantu hingga tahun 2005. Ma’hadul
Furqon berubah menjadi Pesantren Al Amin pada tahun 1975.
32
Pesantren Al-Amin saat ini dipimpin oleh seorang Kyai – dalam tradisi
Jawa Barat dikenal dengan sebutan Ajengan – Abdul Basith yang merupakan
putera tertua dari Ajengan Aeh. Ia memimpin pesantren sejak meninggalnya
Ajengan Aeh tersebut. Ajengan Basith juga merupakan mantan ketua PCNU
Kabupaten Sukabumi dan pesantren Al-Amin merupakan salah satu pesantren
yang masuk dalam komunitas NU. Pengelolaan pesantren secara umum
sebenarnya dilakukan melalui Yayasan Al-Amin, tetapi seluruh komponen yang
bernaung di dalam yayasan tersebut masing-masing berdiri sendiri dan otonom.
Ajengan Basith merupakan pemimpin pesantren, tetapi bukanlah merupakan
pemimpin sekolah yang juga dimiliki oleh Yayasan Al-Amin. Ini dikarenakan
pengelolaan masing-masing lembaga didalam yayasan harus berdiri sendiri dan
tidak saling mempengaruhi. Pilihan untuk menerapkan konsepsi semacam ini
dikarenakan alasan untuk menjaga kemurnian pesantren agar tidak
terkontaminasi oleh sistem pendidikan klasikal atau sistem pendidikan formal.
Pesantren Al-Amin merupakan salah satu dari sedikit pesantren yang masih
mempertahankan budaya pendidikan salafi di Indonesia meskipun sedikit
banyaknya telah mengadaptasi sistem pendidikan klasikal. Bentuk pesantren yang
ambivalen ini seperti penggambaran salah satu informan berikut:
“…Kalau disini disebut modern tidak, di sebut salaf juga tidak. Biasanya
yang disebut salaf itukan yang tidak ada sekolah. Seperti ada bantuan dari
Depag itu, yaitu BOS untuk santri, itu kalau yang ada sekolah tidak
diberikan dan kalau tidak ada sekolah, diberikan. Nah itulah yang disebut
sebagai salafi. Tapi kalau disini disebutnya apa? Soalnya disini itu ada
pesantren dan juga ada sekolah. Modern? Tapi perlu diingat, disini bisa
disebut salafi karena ngajinya agak full [padat]. Contoh, setelah subuh
mengaji sampai menjelang sekolah, kemudian setelah dzuhur sampai jam
dua atau jam tiga. Kemudian juga setelah magrib. Kalau malam jumat
biasanya setelah Magrib ada pembacaan Barjanzi, tetapi kalau di hari
biasa, pengajian berlanjut jam delapan…”
Dalam konteks ini, model pendidikan yang dilakukan di pesantren Al-Amin
tidaklah lagi dapat disebut sebagai salafi murni yang hanya menerapkan
pendidikan agama melalui metode wetonan dan bandongan atau sorogan dan
hanya mengajarkan pelajaran agama saja, tetapi, pesantren juga menyediakan
sarana pendidikan pendukung seperti Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
33
bagi mereka yang berniat belajar di pesantren beriringan dengan pemenuhan
formalnya. Meskipun, secara tegas terdapat pemisahan antara aktivitas bersekolah
dengan aktivitas di pesantren. Adaptasi pesantren terhadap sistem pendidikan
klasikal salah satunya terlihat pada pola penjenjangan (kelas) dalam proses
pembelajaran agama di pesantren ini. Penjenjangan dalam kelas ini berkaitan
dengan materi maupun kitab yang dipelajari oleh santri disetiap jenjang tersebut.
Secara detail, materi yang dipelajari dalam pengajian di pesantren dapat dilihat
pada tabel 4.1,
Tabel 4.1. Penjenjangan Pengajian dan Kitab Yang Digunakan di Pesantren
Waktu Kelas Kitab
Ba’da Subuh Ibtida Awal Akhlakul Banin
Do’a-do’a
Ibtida Tsani Matan Bina
Mutawasit dan Muntaha Yakulu
Imriti
Kaelani
Alpiah
I’anatutthalibin
Pagi Muntaha Yakulu
Jurumiah
Dzuhur Ibtida Awal Talaran Tauhid
Ibtida Tsani Sapinatunnaja
Mutawasit dan Muntaha Nasoihul Ibad
Ashar Ibtida Awal Tajwid
Ibtida Tsani Jurumiah
Mutawasit dan Muntaha Tasri Jalalain
Ba’da Magrib Ibtida Awal
Ibtida Tsani
Shalat Sunat dan Hafalan
Mutawasit dan Muntaha Bajuri
Ba’da Isya Ibtida Awal
Ibtida Tsani
Mutawasit
Ta’lim Muta’alim
Sulammu Taufik
Ukudulujaen
Muntaha Tafsir Jalalain
Sulammu Taufik
I’anatuttalibin
Kipayatul Akhyar
Alpiyah
Mutamimah
Jaohan Maknum
Hihayatujjaen Sumber: Data lapangan
34
Di pesantren Al-Amin, secara umum sebenarnya terdapat tiga penjenjangan
dalam pengajian yang diikuti oleh santri. Penjenjangan awal adalah ibtida awal
dan ibtida tsani1, penjenjangan yang kedua adalah mutawasit
2 dan penjenjangan
yang terakhir adalah muntaha3
. Selain pengajian yang diikuti oleh santri,
pesantren Al-Amin juga mengadakan pengajian bagi masyarakat awam yang
setiap minggu diadakan pada malam rabu, pengajian bagi kaum ibu yang diadakan
pada setiap Selasa pagi serta pengajian khusus bagi para asatidz maupun murid-
murid Ajengan Basith yang berada diluar pesantren pada setiap Senin malam.
Pesantren Al Amin adalah pesantren yang saat ini banyak dikenal dengan
pesantren salafi dengan ciri khas sebagai pesantren hikmah. Meskipun demikian,
dalam pesantren tetap diajarkan pondasi utama dalam pelajaran agama seperti
ilmu alat, fikih dan tauhid. Selain itu, Kyai merupakan sosok utama yang
memiliki keahlian dalam ilmu hikmah dengan konsep dasar sedekah yang telah
dipraktikan lama dengan konsepsi khomtsah asnaf4 atau lima asnaf. Aktivitas
kyai, selain menjadi pemimpin utama dalam pesantren dan mengajar (meskipun
dalam prakteknya hanya jenjang tertentu yang diajarkan oleh kyai), juga menjadi
semacam konsultan yang mendorong siapapun yang datang berkonsultasi untuk
bersedekah terhadap lima golongan tersebut dengan besaran dan hitungan tertentu.
Ajengan Basith, selain menjadi pemimpin pesantren, juga menjadi
pemimpin Yayasan Al-Amin. Didalamnya bernaung lembaga pesantren serta
sekolah yang terpisah secara manajerial satu sama lainnya. Yayasan Al-Amin
memiliki fasilitas pendidikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Ketiga jenjang sekolah
ini dikelola oleh adik Ajengan Aeh yang merupakan paman dari Ajengan Basith.
1 Ibtida awal dan ibtida tsani merupakan bahasa arab. Ibtida berarti memulai atau permulaan yang
merupakan titik awal pembelajaran/pengajian di pesantren ini. Pada jenjang ini terbagi menjadi
dua yaitu ibtida awal yang merupakan jenjang bagi mereka yang sama sekali minim pengetahuan
agamanya sehingga diharuskan memulai dari dasar, sementara ibtida tsani merupakan jenjang bagi
mereka yang telah memiliki pengetahuan agama meskipun terbilang minim. 2 Mutawasit berarti ditengah. Pada jenjang ini, telah dipelajari beberapa kitab yang dianggap
sebagai dasar utama dalam mempelajari agama seperti Imriti, Alpiah, dll. 3 Muntaha berarti selesai atau penghabisan. Jenjang ini merupakan jenjang akhir yang dengannya
seorang santri dapat mempelajari beberapa kitab yang dianggap cukup tinggi seperti Alpiah,
Kipayatul Akhyar, dll. 4 Khomtsah asnaf berarti lima golongan. Golongan-golongan ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan sedekah bagi siapapun yang datang berkunjung kepada Ajengan. Golongan tersebut
adalah fakir-miskin, musafir, yatim, orangtua dan guru.
35
Tabel 4.2. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Al-Amin
Jenjang Sekolah Jumlah Siswa/Murid
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah 147
Madrasah Tsanawiyah 319
Madrasah Aliyah 167 Sumber: Data lapangan
Dalam konteks problematika ekologi, pesantren Al Amin sebenarnya tidak
mengalami secara langsung karena setting pesantren yang relatif berjarak dengan
TNGHS yang menjadi lokasi utama gerakannya. Meskipun demikian,
keprihatinan yang diungkapkan oleh kyai yang menggambarkan posisi petani
yang selalu tidak diuntungkan dan berada pada posisi terdesak menjadi potret
problematika yang menjadi keprihatinan pesantren secara umum. Selain itu,
kondisi gunung yang gundul disekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak
yang pada masa sebelumnya merupakan wilayah hutan produksi milik Perhutani
dan kemudian masuk dalam areal taman nasional juga menjadi salah satu
keprihatinan anggota kelompok tani, sehingga areal ini yang kemudian menjadi
perhatian utama gerakan ekologi pesantren Al Amin ini. Berangkat dari
keprihatinan terhadap wilayah ini, pada masa selanjutnya, pesantren Al Amin
dengan beberapa kelompok tani serta kerjasama dengan PT. Danone dan TNGHS
kemudian berusaha untuk menghijaukan kembali dengan pola penanaman Sengon
maupun tanaman lainnya yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
4.2. Potret Umum Pesantren Daarul Ulum Lido
Pesantren Daarul Ulum Lido berlokasi di daerah Muara Cibury,
Cigombong, Kabupaten Bogor. Pesantren ini berada pada wilayah yang relatif
masuk meskipun tidak terlampau jauh dari jalan raya Sukabumi. Pesantren ini
merupakan pesantren yang relatif muda yaitu berdiri pada tanggal 24 Juni pada
tahun 1996 oleh Drs. KH. Ahmad Dimyati. Pesantren ini dinamakan demikian
karena dua hal yaitu karena lokasi pesantren yang bertempat didaerah yang
bernama Lido serta merupakan hasil munajat Kyai Dimyati pada saat di
Multazam (Ka’bah), Mekkah. Ketika itu, beliau memiliki cita-cita untuk
mendirikan sebuah pesantren dan sekembalinya ke tanah air, beliau dengan
mudah mendapatkan tanah untuk didirikan pesantren dan merasa cocok dengan
36
lokasi tersebut. Kyai Dimyati merasa bahwa ini adalah suatu “Limpahan Doa“
yang kemudian dalam sejarahnya disertakan menjadi nama pesantren yang di
dirikannya, yaitu Pondok Pesantren Modern Daarul Ulum Lido. Pesantren Daarul
Ulum Lido ini merupakan pesantren yang memiliki kaitan historis dengan
Pesantren Daarul Ulum, Bogor.
Pendiri pesantren – KH. Ahmad Dimyati - ini merupakan menantu dari
pemimpin pesantren Daarul Ulum yang kemudian memisahkan diri dan berusaha
mendirikan pesantrennya. Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan pesantren
yang menerapkan model pendidikan campuran dan mengadopsi sistem pendidikan
nasional. Artinya, sistem pendidikan yang diajarkan di pesantren ini tidak melulu
merupakan pengajaran agama seperti pesantren salafi, tetapi juga mengajarkan
pelajaran umum yang dilakukan dalam aktivitas bersekolah seperti siswa pada
umumnya. Dibawah naungan Yayasan Salsabila, Pesantren Daarul Ulum Lido
menerapkan model pengembangan pendidikan yang disebut Tarbiyah al-
Mu‟allimin al-Islamiah (TMI). Visi pesantren ini adalah menjadi lembaga iqomah
al-dien yang berupaya mewujudkan generasi mutafaqqih fii-aldien ahli dzikir dan
ahli fikir serta memiliki kompetensi dasar penguasaan ilmu-ilmu agama (al-
'Uluum al-tanziliyah) dan ilmu-ilmu alam (al-'Uluum al-kauniyah). Tujuan
pesantren secara umum tergambar seperti paparan Ust. Drs. Ahmad Yani berikut:
“…Saat ini, sistem pendidikan yang kita miliki adalah Tarbiyatul
Mu‟allimin al Islamiyah (TMI), pendidikan guru-guru Islam. Dari nama itu
kemudian, secara bahasa yang ingin dihasilkan adalah guru-guru Islam,
tetapi sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Yang kita harapkan adalah
bahwa dari Pesantren ini lahir generasi yang mempunyai sifat, karakter
dan watak sebagai seorang guru, tak peduli apapun itu profesinya…”
Saat ini, Pesantren Daarul Ulum Lido dipimpin oleh seorang Kyai yang
bernama Ust. Drs. Ahmad Yani yang disebut Mudir al-Ma„had atau pimpinan
pesantren yang ditunjuk oleh Yayasan Salsabila sebagai lembaga yang menaungi
pesantren. Ust. Drs. Ahmad Yani merupakan seorang alumnus Pondok Pesantren
Al-Amin, Parenduan Madura yang juga merupakan salah satu pesantren modern
37
yang memiliki hubungan historis dengan Pondok Modern Darussalam, Gontor,
Ponorogo.
Dalam aktivitas keseharian santri di pesantren ini, hari-hari mereka diisi
dengan bauran aktivitas yang saling melengkapi antara pengetahuan umum dan
pengetahuan agama serta terlihat terus menerus terimplementasikan dengan baik.
Dengan kata lain, pesantren Daarul Ulum Lido ini dikenal dengan pesantren
khalafi atau pesantren modern. Meskipun demikian, pada bagian tertentu dari
aktivitas keseharian santri, juga diajarkan kitab-kitab kuning yang menjadi ciri
khas pesantren salafi meskipun tidak seintensif pesantren salafi. Ini tampaknya
merupakan perpaduan antara warisan kultural yang dimiliki oleh pendiri pesantren
(Alm) KH. Ahmad Dimyati yang memiliki hubungan historis dengan Pesantren
Daarul Ulum yang merupakan salah satu pesantren dari kalangan NU dengan
model pesantren yang menerapkan sistem pendidikan kelas/modern seperti Al-
Amin maupun Gontor.
Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini merupakan perpaduan antara
kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, melalui penyelenggaraan SMP
(Sekolah Menengah Pertama), kurikulum Departemen Agama, melalui
penyelenggaraan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), MTs (Madrasah
Tsanawiyah) & MA (Madrasah Aliyah), dan kurikulum Pesantren Modern,
melalui penyelenggaraan pola pendidikan mu‟allimin yang bernama TMI
(Tarbiyah al-Mu‟allimiin al-Islaamiyyah). Secara umum terdapat dua model
kurikulum yang diterapkan yaitu kurikulum al-„ulûm al-tanzîliyyah yang
mencakup Qur‟an wa „ulumuhu, Hadits wa Mushthalahuhu, Fiqh wa Qawaiduhu
wa ushuluhu, Tarbiyah, Mantiq, Qawaid (Nahw & Sharf), Balaghah, Mahfuzhat,
Faraid, Tauhid, Tarikh Islam, Muthala‟ah, Insya‟ wa al-Ta‟bir, al-Lughah al-
„Arabiyah. Kurikulum al-„ulûm al-kauniyyah mencakup Fisika, Kimia, Biologi,
Sejarah, Ekonomi, Geografi, Matematika, Kewarganegaraan, Guidance &
Counseling, Psikologi, Sosiologi & Antropologi, Bahasa Inggris & Grammar,
Bahasa dan Sastra Indonesia. Keseluruhan kurikulum tersebut dipadukan di dalam
sebuah sistem pengajaran langsung (direct method / al-thariqah al-mubasyirah)
secara integral dan komprehensif selama 24 jam.
38
Tabel 4.3. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Salsabila
No Nama/Jenis Jumlah Murid
Total Jumlah Guru / Ust L P
Lembaga Pendidikan Formal
1 TPA 25 37 62 7
2 MI /SD - - - -
3 MTs 251 213 464 34
4 SMP 127 119 246 19
5 MA 199 167 366 32
6 Paket – A - - - -
7 Paket – B - - - -
Jumlah 602 536 1.138 92
Lembaga Pendidikan Non-Formal
1 Tahfizh al-Qur’an 47 36 83 3
2 Pengajian Ibu - 58 58 2
3 TMI (Mu‟allimin) 577 499 1.132 85
4 Ma’had Aly 12 9 21 8
Jumah 636 602 1.294 98
Jumlah Total 1.238 1.138 2.432 190 Sumber: Data lapangan
Pesantren Daarul Ulum Lido selain menyelenggarakan pendidikan formal
juga memiliki berbagai macam kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti oleh
sebagian maupun seluruh santri yang bermukim. Kegiatan ekstra kurikuler
tersebut antara lain adalah muhadlarah5
, pendidikan kepramukaan,
keorganisasian, musik, Paskibra, dan lainnya. Selain itu, juga dilakukan pengajian
kitab kuning yang diantaranya mengkaji kitab Ta‟liim al-Muta‟allim, Al-Akhlaaq
li al-Baniin, Ilmu-ilmu alat (Imrithi, Ajrumiyah, Kawakib, dan Alfiah), Nashaaih
al-„Ibad, Fath al-Mu‟in, Fath al-Majiid, Kifaayah al-Atqiyaa‟, Irsyad al-Ibaad,
Tafsir Jalalain, Tafsir Ibn Katsiir, Jawhar Maknun, dan Safinatun Najah.
Dalam perjalanan sejarahnya hingga saat ini, pesantren Daarul Ulum Lido
telah mengalami berbagai macam perkembangan baik dari segi santri maupun
fasilitas. Saat ini jumlah santri yang bermukim di pesantren ini berjumlah 1.138
5 Muhadlarah merupakan suatu kegiatan latihan berpidato yang menggunakan tiga bahasa, yaitu
bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan
yang dapat ditemukan di Pesantren Modern seperti Pesantren Gontor, Pesantren Al-Amin,
Pesantren Darunnajah dan lainnya. Dalam kegiatan ini, setiap santri memiliki kesempatan, bahkan
terkadang diwajibkan untuk berpidato dengan menggunakan salah satu bahasa tersebut dihadapan
santri lain. Pada suatu waktu tertentu, terkadang dilakukan perlombaan pidato maupun debat
dengan tema tertentu sebagai ajang melatih dan menumbuhkan daya kompetisi dikalangan santri.
39
orang. Santri tersebut berasal dari berbagai daerah seperti Bogor, Bekasi,
Tangerang, Jakarta, Sukabumi, Bandung, Banten, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan bahkan ada yang berasal dari Maluku.
Secara umum kedua pesantren ini mengamini konsepsi dasar pesantren yang
terbentuk atas lima komponen utama yaitu kyai, santri, asrama, kitab dan masjid
(Dhofier, 1985). Meskipun pada implementasinya menjadi berbeda karena
tekanan pada kitab yang digunakan berbeda dan sistem pendidikan yang
digunakan juga berbeda. Perbedaan utama adalah sistem pendidikan pesantren
terpisah antara pendidikan formal dan sistem pendidikan pesantren yang terlihat di
pesantren Al Amin, sementara di pesantren Daarul Ulum Lido, sistem pendidikan
terintegrasi dan tidak ada pemisahan antara pendidikan formal dengan pendidikan
pesantren. Dengan kata lain, di pesantren Daarul Ulum Lido, kurikulum pesantren
dimasukkan menjadi satu bagian terintegrasi dengan kurikulum formal.
Selain potret diatas, potret ekologi juga menjadi penting karena menjadi
salah satu fundamen kemunculan gerakan ekologi di pesantren ini. Perhatian
utama pesantren saat ini sebenarnya terletak pada kondisi internal pesantren yang
kurang memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Besarnya porsi biaya yang
dikeluarkan untuk mengelola sampah di pesantren ini juga menjadi salah satu
keprihatinan yang dirasakan oleh pesantren. Meskipun demikian, setting gerakan
yang kemudian muncul justru melihat konteks geografis wilayah pesantren yang
kemudian dimanfaatkan untuk mengimplementasikan salah satu konsepsi
konservasi dalam Islam. Konsepsi inilah yang kemudian diwujudkan dalam
pesantren dan kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan internal
pesantren. Secara mendetail, perjalanan gerakan ini akan dipotret pada bab
selanjutnya.
4.3. Pola Hubungan Sosial Dalam Pesantren
Komponen aktor utama yang terdapat didalam pesantren secara umum
sebenarnya berbeda-beda mengikuti bentuk dan kekhasan pesantren tersebut.
Akan tetapi, dua aktor utama yang terdapat di dalam pesantren adalah Kyai atau
Ustadz/Asatidz dan santri. Baik pesantren salafi, pesantren modern/khalafi
40
maupun pesantren yang menerapkan kedua-duanya memiliki setidaknya dua aktor
ini dalam pesantrennya.
Tradisi hubungan santri dan kyai khususnya pada pesantren tradisional
dijelaskan oleh Sukamto (1999) sebagai hubungan patron-client, suatu hubungan
dimana santri mengakui dan menerima sumber-sumber yang dimiliki oleh kyainya
yaitu berupa tata nilai, struktur organisasi dan kekuasaan kyai.
Pola hubungan santri dengan kyai di pesantren Al-Amin dan pesantren
Daarul Ulum Lido memiliki corak hubungan yang berbeda. Pola hubungan santri
di pesantren Al-Amin mengarah pada pola hubungan informal/bapak anak atau
pola hubungan bapak anak sedangkan pola hubungan santri di pesantren Daarul
Ulum Lido mengarah pada hubungan semi formal/guru murid.
Tabel 4.4. Pola Hubungan Sosial di Lingkungan Pesantren
Pesantren Hubungan Sosial
Pesantren Daarul Ulum Lido Hubungan Semi Formal/Guru Murid
Pesantren Al- Amin Hubungan Informal/Bapak Anak Sumber: Data lapangan
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa hubungan kyai dengan santri di pesantren
memiliki dua pola yaitu pola hubungan informal bapak anak serta hubungan semi
formal guru murid. Pola hubungan informal bapak anak merupakan hubungan
yang terjalin antara kyai dan santri layaknya hubungan bapak anak. Hubungan
yang terbangun diantara keduanya secara umum memperlihatkan bagaimana
seorang santri merasa bahwa pandangan kyai serta tindak tanduknya layak
dipatuhi seperti perintah orang tua mereka dan juga kyai terkadang berperilaku
layaknya orang tua mereka. Pola hubungan seperti ini setidaknya muncul karena
ada dorongan kharismatik yang muncul dari sosok kyai yang menempatkan
dirinya menjadi contoh teladan bagi santri. Pandangan ini sebagaimana terlihat
dalam petikan pernyataan salah satu informan berikut ini:
“…Kepribadian beliau bagus dan mengagumkan, ilmunya jelas. Terlebih
karisma dari Abuya sudah terlihat sekali. Kebanyakan santri berusaha
mencontoh abuya. Terkadang Abuya memberikan uang kepada santri,
padahal seharusnya kan santri yang memberikan shadaqah kepada guru
karena lebih bagus, tetapi Abuya memberikan contoh dahulu. Segala
sesuatu sudah dicontohkan oleh beliau, …makanya kharismanya beda.
Coba kalau tidak dicontohkan, [santri] nurutnya juga beda. Tetapi
41
sekarang ini sedang sibuk Abuyanya, jadi kurang konsentrasi ke santri.
Kalau dahulu sewaktu terjun ke santri [mengajar] banyak santrinya. Tidak
tau beda apanya, tapi memang dari kharismanya sudah beda. Tapi kalau
dewan guru memang masih banyak. Ada yang halus ke santrinya, ada yang
biasa, tapi yang diseganin ya memang Abuya juga…”
Rasa hormat santri kepada kyai ini muncul karena didorong oleh kharisma
yang dimiliki oleh kyai dan rasa ikhlas serta media pembelajaran dan penempaan
dirinya ketika nanti bergelut di masyarakat dengan bermodalkan restu dan ilmu
yang telah diberikan oleh kyai tersebut. di Pesantren Al-Amin, penggambaran
hubungan seperti ini juga terlihat pada sikap para asatidz yang tidak menerima
gaji dari pesantren dari aktivitas mengajarnya dan hanya mengharapkan berkah
dan pengalaman serta pengabdian kepada kyai. Fenomena ini tergambar dari
pernyataan informan sebagai berikut:
“…Guru-guru dan santri senior disini tidak digaji. Digaji tidak, dibayar
juga tidak. Cuma mungkin kalau pesantren ini biasanya salah satunya
hanya dijadikan media pembelajaran. Jadi ketika mereka sudah terbiasa
dengan mengajar di pesantren, ketika mereka pulang ke rumah sudah
terbiasa mengajar dan oleh pihak pesantrenpun tidak digaji, dan dari guru-
gurupun disini tidak ada yang menggaji. Jadi berbeda dengan status
sekolah. Seperti di sini [Al-Amin], sekolah ka nada, pesantren juga ada.
Perbedaannya kalau sekolah, siapapun yang mengajar disana dibayar,
apakah itu dari dalam (pesantren) maupun dari luar. Tapi yang namanya di
pesantren, siapapun yang mengajar, baik lama maupun sebentar, tidak
ada…”
Pada level tertentu, hubungan yang terbangun antara kyai dengan santri
bahkan dapat mempengaruhi pilihan politik santri. Apa yang menjadi pilihan
politik kyai juga secara otomatis menjadi pilihan politik santri dan guru/asatidz
seperti tergambar dari pernyataan informan sebagai berikut:
“…kalau saya ikuti. Karena kebetulan ketika Abuya menaikkan H. Asep
[Salah satu tokoh yang didorong untuk ikut kompetisi Pilkada Kabupaten
Sukabumi], saya sendiri walaupun tidak sebanyak tahu seperti Abuya, saya
sendiri tahu siapa dia. Maka dari itu, ketika Abuya mendorong, saya juga
ikut dan saya condong kesana. Jadi memang saya selalu akan ikut
Abuya…”
42
Kondisi yang sedikit berbeda terlihat pada pola hubungan antara kyai
dengan santri yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido. Pola hubungan antara
kyai dengan santri mengarah pada pola hubungan yang terlihat semi formal
seperti layaknya hubungan guru murid. Pola hubungan seperti ini tidak terlepas
dari sistem dan pola pendidikan yang terbangun di pesantren ini. Tidak seperti di
pesantren Al-Amin, pesantren Daarul Ulum Lido mewajibkan setiap santrinya
memberikan kontribusi dalam bentuk iuran bulanan yang salah satu fungsinya
adalah untuk memenuhi gaji guru/asatidz yang mengajar di pesantren tersebut.
Pola hubungan yang terbentuk juga hanya terjadi pada lingkungan pesantren
dan ketika aktor baik santri maupun kyai berada pada lingkungan pesantren.
Ketika santri berada diluar pesantren atau selesai dan lulus dari pesantren, kondisi
patronase tidak pernah tercipta dan suasana pengabdian tanpa pamrih juga tidak
terwujud seperti halnya yang terjadi di pesantren Al-Amin.
Selain itu, kyai juga memang tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa
tunggal dan pemegang otoritas utama dalam mencetak santri ataupun murid
dengan mentransimisikan ilmunya melalui sistem pengajian, tetapi kyai lebih
berfungsi sebagai pelaksana teknis dari pimpinan kolektif yang disebut Majlis Ar-
riaasah dan kyai hanya menangani bidang pendidikan dan pengajaran.
4.4. Pola Kepemimpinan di Pesantren
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
berhasil atau gagalnya suatu organisasi. Kondisi ini menyebabkan munculnya
pemimpin karena seorang pemimpin tergambar memiliki kepribadian khas, dan
mempunyai kecakapan tertentu yang jarang didapat orang lain (Sukamto, 1999).
Dalam hal kepemimpinan, dalam ilmu sosial, kepemimpinan tidak dapat
diterangkan terlepas dari kolektivitas sosial dimana pemimpin bertindak
(Kartodirjo, 1984). Max Weber menjelaskan kepemimpinan dalam konteks
otoritas dan dominasi. Weber menjelaskan tiga tipe legitimasi yaitu (i) dominasi
kharismatik; (2) dominasi tradisional yang mencakup bentuk patriarki maupun
patrimonial; dan (3) dominasi rasional-legal (Morrison, 1995).
Pola kepemimpinan di dua pesantren ini memiliki perbedaan sesuai dengan
konteks sosial yang terjadi di pesantren tersebut. Terdapat dua pola
43
kepemimpinan di pesantren, yaitu pola kepemimpinan tradisional yang terdapat di
pesantren salafi dan pola kepemimpinan rasional-legal yang terdapat di pesantren
modern. Pesantren Al-Amin, seperti umumnya pesantren salafi merupakan
pesantren yang memiliki pola kepemimpinan tradisional. Meskipun demikian,
pada beberapa kasus, terdapat pola kepemimpinan kharismatik yang terlihat pada
sosok-sosok kyai zaman dahulu seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di
Jawa Timur atau Ajengan Sanusi di Sukabumi.
Pola kepemimpinan yang tergambar di pesantren Al-Amin lebih mencirikan
pola kepemimpinan tradisional dikarenakan aturan dan otoritas yang diciptakan
bermuara pada sosok kyai atau ajengan sebagai pemimpin yayasan sekaligus
pemimpin pesantren. Kepemimpinan yang terbangun merupakan hasil dari
loyalitas yang terbangun dari guru atau asatidz dan santri. Kondisi ini
menggambarkan bagaimana otoritas tradisional semacam ini memang berangkat
dari tradisi atau adat istiadat serta sebangun dengan pelaksanaan kewajiban secara
sukarela dan loyalitas personal mereka yang berada dalam kekuasaannya
(Morrison, 1995). Selain itu, unsur kharisma tetap tidak bisa dipungkiri memiliki
peran yang cukup signifikan dalam kepemimpinan di pesantren Al-Amin.
Kharisma ini yang secara personal membedakan Ajengan Basith dengan kyai lain
yang terdapat di pesantren Al-Amin meskipun secara genealogis merupakan
saudara kandung, tetapi posisinya sebagai pimpinan pesantren dan pewaris
tampuk kepemimpinan pesantren semakin menguatkannya.
Meskipun demikian, tidak berarti kepemimpinan tradisional semacam ini
merupakan kepemimpinan yang kolot dan terbelakang. Dalam beberapa hal,
khususnya usaha ajengan untuk mempertahankan tradisi pesantren
memperlihatkan pilihannya menerapkan pola kepemimpinan tradisional sebagai
usaha untuk mempertahankan kemurnian pesantren serta menjaga agar tidak
terjadi pembauran dengan sistem sekolah. Artinya, pesantren secara sengaja
dipisahkan baik dari pengelolaan maupun sistem yang dilakukan agar terjaga
kemurniannya meskipun santri yang bermukim juga bersekolah.
44
Tabel 4.5. Pola Kepemimpinan dan Regenerasi di Pesantren
Pesantren Pola Kepemimpinan Pola Regenerasi
Pesantren Daarul Ulum Lido Rasional-Legal Ditunjuk
Pesantren Al- Amin Tradisional Turun
Temurun/Ascribed Sumber: Data lapangan
Dalam hal regenerasi kepemimpinan pesantren, pesantren Al-Amin
memperlihatkan pola regenerasi dengan sistem turun temurun atau sistem warisan
(ascribed) yang bersumber dari hubungan genealogis atau hubungan
kekeluargaan. Ajengan Basith saat ini merupakan generasi keempat sejak awal
didirikannya pesantren Al-Amin ini. Sejak dipimpin oleh KH. Kurdi,
kepemimpinan pesantren ini terus terwariskan kepada anaknya KH. Ismatullah
dan seturut kemudian kepada menantunya Ajengan Aeh dan saat ini kepada putera
tertuanya yaitu Ajengan Basith. Sistem regenerasi semacam ini seperti gambaran
pernyataan informan berikut ini:
“…Yang mendirikan adalah Kyai Kurdi. Turun ke H. Ismatulloh. Dari H.
ismatulloh, mestinya turun ke Pak Baden. Tetapi turunnya ke menantu,
ayahnya Buya Basith, KH. Hidayatullah ( Ajengan Aeh)…”
Hingga saat ini, pola kepemimpinan dan regenerasi kepemimpinan terlihat
terus diupayakan berlangsung. Abuya terlihat mempersiapkan putera maupun
keponakannya untuk menjadi calon pemimpin pesantren dimasa mendatang.
Selain itu, pesantren ini terlihat melakukan pewarisan keahlian spesifik yang
menjadi ciri khas pesantren yaitu keahlian berhikmah atau “berasnaf”. Tradisi
berhikmah ini diwariskan oleh Ajengan Aeh kepada beberapa anaknya yang saat
ini melakukan praktek-praktek tersebut.
Berbeda dengan pesantren Al-Amin, pesantren Daarul Ulum Lido
memperlihatkan pola kepemimpinan yang cenderung rasional-legal. Artinya,
kepemimpinan dalam pesantren ditetapkan melalui berbagai ketentuan yang telah
disepakati dan ditetapkan. Ketentuan tersebut terbangun melalui suatu sistem yang
diharapkan dapat membentuk dan menghasilkan suatu figure kyai yang tidak
hanya muncul karena kharisma personal maupun posisi turun temurun, tetapi
karena proses yang telah ditetapkan oleh pesantren. Gambaran pola
kepemimpinan seperti ini terlihat dari pernyataan informan berikut:
45
“…Membangun figure, tapi diharapkan dari sistem itu lahirlah seorang
figure pada waktunya. Jadi Daarul Ulum ini sedang pada masa transisi ini
ceritanya. Jadi ketika Pak Kyai tidak ada, maka kita tidak punya “orang
sepuh”. Makanya sistem itu dibangun. Salah satu tujuan dari sistem itu
adalah bagaimana suatu saat lahir seorang Kyai. Kemudian dari sistem ini
juga diharapkan bagaimana pesantren ini berjalan tidak berdasar kepada
figure, tapi berdasar kepada sistem itu. Jadi berjalan atau tidaknya bukan
karena figure tetapi karena sistem tersebut. Maka sekarang walaupun tidak
ada kyainya, tetap berjalan…”
Pimpinan pesantren atau Mudir al-ma‟had merupakan seorang yang
ditunjuk oleh Majlis Ar-riaasah dan kyai tersebut hanya menangani bidang
pendidikan dan pengajaran saja. Meskipun demikian, sejak meninggalnya KH.
Ahmad Dimyati yang merupakan pendiri pesantren ini, tampuk kepemimpinan
saat ini merupakan pemimpin yang ditunjuk oleh majelis diatas dan
bertanggungjawab kepada Yayasan sebagai lembaga tertinggi dan menaungi
pesantren. Gambaran posisi kyai serta kualifikasi yang ditentukan terlihat seperti
gambaran informan berikut ini:
“…Mudir al ma‟had itu sebenarnya adalah kyainya itu sendiri. Jadi
pimpinan pesantren itu, kalau di Daarul Ulum disebut sebagai Mudir al
ma‟had bukan disebut Direktur. Jadi disini dibakukan dengan sebutan
demikian. Jadi salah satu wujud dari sistem tadi kemudian melahirkan
seorang Kyai. Kenapa? karena kyai itu adalah suatu gelar cultural yang
tidak bisa dilahirkan begitu saja, tetapi dengan sistem itu kita berupaya.
Maka kemudian bisa jadi lewat sistem itu seseorang dibentuk sedemikian
rupa, tetapi akhirnya tidak jadi. Jadi kondisi demikian dimungkinkan
terjadi. Karena suatu hal. Tetapi paling tidak kita sudah punya alur dan
sistem itu melahirkan seorang Mudir al ma‟had. Ketika seseorang dijadikan
Mudir al ma‟had maka dia itu sudah harus belajar bahwa dirinya itu
memang oleh lingkungannya itu akan dijadikan seorang Kyai Sepuh.
Mestinya harus mulai menyiapkan diri. Cuma kan seperti itu tadi, jadi Kyai
kan tidak bisa serta merta [ada proses didalamnya]… Seorang Kyai itu,
kalau dikalangan kita (Daarul Ulum Lido) secara intern dicirikan oleh tiga
hal (1) keilmuan; (2) usia; (3) konsistensi dalam ibadah. Karena seorang
Kyai itu tidak bisa lepas dari masalah ibadah. Selain itu unsur senioritas
juga berpengaruh. Makanya, dahulu ketika pak Kyai masih hidup,
umumnya disini memanggil beliau dengan sebutan Kyai. Jadi, meskipun
seseorang ilmunya sudah setinggi apapun, tapi karena umurnya masih
muda, tetap tidak nyaman memanggilnya dengan sebutan Kyai… Jadi Kyai
itu bagi kami disini (Daarul Ulum Lido) harus dilihat dari sisi keilmuannya,
usianya dan ubudiahnya…”
Predikat pimpinan pesantren adalah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan fungsi dan visi yang ditetapkan oleh
46
pesantren. Penetapan ini tidak terlepas dari kompetensi personal baik dari sisi
intelektualitas maupun dari sisi rohaniah atau ubudiyahnya. Pernyataan diatas
menggambarkan bahwa dalam pesantren Daarul Ulum Lido setidaknya
diharuskan memiliki tiga kriteria yang saling melengkapi yaitu baik pada sisi
keilmuannya, senioritasnya (usia) serta ubudiahnya.
Perbedaan kedua pola kepemimpinan pesantren antara pesantren Al-Amin
dan pesantren Daarul Ulum Lido juga tidak terlepas dari kultur dan tipe
pesantrennya. Pesantren Al-Amin yang merupakan pesantren salafi menerapkan
pola kepemimpinan tradisional dengan regenerasi kepemimpinan sistem waris
(ascribed) dan pesantren Daarul Ulum Lido yang merupakan pesantren modern
lebih menekankan pada pola kepemimpinan rasional-legal dengan pola regenerasi
yang ditunjuk.
4.5. Dinamika Kehidupan di Pesantren
Dinamika kehidupan di pesantren tidak dapat dilepaskan dari peran kultural
yang terbentuk didalamnya. Pesantren seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman
Wahid merupakan suatu sub kultur. Sebuah subkultur yang terlihat di pesantren
memperlihatkan keunikan dari beberapa aspek pesantren bila dibandingkan
dengan kehidupan diluarnya. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah cara hidup
yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti serta hirarki kekuasaan
intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya (Wahid, 1995;2001).
Cara hidup yang dianut oleh kedua pesantren ini memperlihatkan
keterkaitan erat dengan waktu sholat. Di pesantren Al-Amin seluruh aktivitas
pengajian terkait dengan jadwal waktu sholat dari semenjak waktu Subuh hingga
Isya. Seluruh aktivitas pengajian dilaksanakan setelah waktu sholat tersebut.
Demikian pula dengan pesantren Daarul Ulum Lido yang juga menerapkan
seluruh aktivitas pesantrennya mengikuti waktu sholat. Sejak sebelum fajar
Subuh, seluruh santri memulai aktivitasnya seperti melaksanakan shalat Tahajud
dan mengaji, setelah shalat Subuh melaksanakan pengajian kitab kuning dan
berlanjut kepada kegiatan sekolah formal. Kegiatan sekolah formal ini juga
kemudian berhenti ketika mendekati waktu sholat zuhur dan seluruh aktivitas
pesantren juga berhenti seketika dan mereka menuju ke Masjid untuk menunaikan
47
ibadah shalat tersebut. begitupun aktivitas setelahnya hingga malam hari, selalu
merujuk pada waktu shalat tersebut. Kondisi ini menggambarkan situasi yang
berbeda dengan kehidupan diluar pesantren yang aktivitas masyarakatnya tidak
terkait dengan waktu shalat.
Selain tata cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang melandasi
kehidupan pesantren juga memperlihatkan posisi pesantren sebagai subkultur.
Pandangan hidup seorang kyai selalu menjadi rujukan dasar seorang santri dan
seluruh tingkah lakunya juga dilandasi oleh figur kyai tersebut. Tata nilai yang
melandasi kehidupan pesantren juga selalu direferensikan kepada nilai Islami
yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist. Meskipun demikian, ada sedikit
perbedaan pada pandangan hidup dan tata nilai yang terbangun antara pesantren
Al-Amin dengan Daarul Ulum Lido. Perbedaan ini terletak pada perbedaan tipe
pesantren diatas. Pesantren Daarul Ulum Lido misalkan memperlihatkan sistem
pendidikan modern yang menitikberatkan pada penciptaan santri yang memiliki
karakter, sifat dan watak seorang guru. Sementara itu di Al-Amin mendorong
lahirnya atau minimal embrio santri yang memiliki kemampuan dasar dengan
pemahaman ilmu alat (nahwu dan sharaf) serta ilmu tauhid dan fikih. Pandangan
dan tata nilai di pesantren Daarul Ulum Lido diatas tergambar dari pernyataan
informan sebagai berikut:
“…Saat ini, sistem pendidikan yang kita miliki adalah Tarbiyatul
Mu‟allimin al Islamiyah (TMI), pendidikan guru-guru Islam. Dari nama itu
kemudian, secara bahasa yang ingin dihasilkan adalah guru-guru Islam,
tetapi sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Yang kita harapkan adalah
bahwa dari Pesantren ini lahir generasi yang mempunyai sifat, karakter
dan watak sebagai seorang guru, tak peduli apapun itu profesinya. Jadi
apakah mutlak harus menjadi Kyai? Tidak. Disini pernah ada santri yang
menjadi Mojang Bogor, namanya Fitri, orang Bantar Kemang. Bahkan dia
mewakili Bogor untuk ke tingkat Jawa Barat. Yang hafal Al Qur‟an ada,
yang jadi Polisi, Tentara, Dokter dan lain sebagainya juga ada.
Jadi mau jadi profesi apapun terserah, tetapi profesi apapun yang dia
tekuni, dia harus memiliki sifat, watak dan karakter sebagai seorang
muallim, seorang guru. Itu penekanannya kita. Tentu, idealnya kita itu
sesuai dengan visi pesantren ini yang tertera di brosur itu adalah
melahirkan Ahli Dzikr dan Ahli Fikr, dan mempunyai potensi dasar,
penguasaan Al Ulum Al Tandziliyah dan Al Ulum Al Kauliyah. Jadi,
kompetensinya baru kompetensi dasar…”
Dalam hal dinamika pesantren, terutama relasi dengan aktor diluar
pesantren, kondisi yang berseberangan terkadang terlihat dari sikap pesantren
48
dengan pemerintah. Dalam beberapa hal, pesantren terkadang berada pada posisi
yang berseberangan dengan pemerintah, bahkan terkadang berjarak dang bersikap
oposan. Untuk beberapa kasus tertentu, terkadang pesantren melakukan
demonstrasi guna menyuarakan aspirasinya. Demonstrasi semacam ini
memperlihatkan dinamika yang terjadi di dalam pesantren terutama dalam
menanggapi berbagai isu yang relevan dengan aktivitas syiar dan dakwah.
Penggambaran dinamika tersebut terlihat pada pernyataan informan berikut ini:
“…Kalau di Sukabumi, saya sedikit jadi provokator dulu. Provokator
dengan pemerintah. Maksudnya kalau mau Ramadhan, kita undang Kyai di
pendopo. Kita bayar, maksudnya bayar sewa sound system, kita bawa snack
dan tidak meminta dari pemerintah. Kita undang Bupati, Dandim seluruh
Muspida. Ceramah, meminta menutup diskotik pada bulan Ramadhan dan
macam-macam lainnya. Juga masalah minuman keras (miras). Biasa,
ngotot-ngototlah begitu. Saat itu, banyak orang yang bilang, “mo jadi apa
sih?”… Saya bilang, saya tidak mau jadi apa-apa. Kenapa begitu? Di
Sukabumi ini, mungkin di Al-Amin agak tegang. Kenapa saya berani
dengan pemerintah? Sebab saya belum pernah makan uang dari
pemerintah. Soalnya saya marah dulu, pernah ada seorang yang bilang.
“Ah, Kyai dikasih uang juga diam”. Saya tersinggung, makanya saya cari
sensasi aja lalu saya press [maksudnya menekan] pemerintah. Saya bawa
pasukan [santri dan murid-murid] untuk demonstrasi…”
Dinamika yang paling mutakhir yang terjadi di pesantren saat ini adalah
perluasan isu yang terdapat di pesantren, yaitu masuknya isu lingkungan hidup
sebagai salah satu perhatian khusus di pesantren. Ini menunjukkan bahwa
kehidupan pesantren berlangsung secara dinamis dan hidup dan pesantren tidaklah
stagnan dan statis serta apatis terhadap isu diluar isu keagamaan. Secara khusus
dan mendalam, penelitian ini akan menggali dinamika di pesantren, terutama
dalam merespon berbagai isu lingkungan hidup yang terjadi di masyarakat yang
akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya.
V. BASIS TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI PESANTREN
5.1. Basis Teologi Ekologi Dalam Islam
Teologi dalam Islam selama ini dipahami terlalu sempit hanya pada urusan
ketuhanan atau hanya berkutat pada relasi manusia dengan Tuhannya. Namun
demikian, sesungguhnya, konstruksi teologis tidaklah hanya berkutat pada
wilayah tersebut. Teologi dapat diperluas hingga mencakup wilayah lain seperti
isu lingkungan yang akan dibahas selanjutnya pada bab ini dan pada bab
berikutnya.
Islam merupakan agama yang didalamnya mencakup berbagai macam hal,
Bennett (2005) menyatakan bahwa Islam secara inheren didalamnya memiliki
seluruh pengetahuan. Jadi, dalam segi apapun baik yang dibicarakan itu masalah
etika atau masalah proteksi dan perlindungan lingkungan, ataupun ilmu
pengetahuan, jawabannya akan ditemukan dalam Islam.
Seperti banyak dipahami bahwa sesungguhnya Islam merupakan salah satu
agama yang sangat komprehensif yang didalamnya mengatur kehidupan seluruh
makhluk dimuka bumi ini dan kehadiran Islam melalui Nabi Muhammad SAW
merupakan rahmat bagi semesta alam seperti disebutkan dalam Al-Quran:
Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Al-Qur‟an) ini, benar-benar
menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah
(Allah) ۞ dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam ۞ (Q.S. Al Anbiya: 106-107).
Ayat diatas menjelaskan bahwa, manusia yang direpresentasikan oleh
Muhammad SAW serta para pengikutnya memiliki kewajiban yang sebenarnya
sangat agung, yaitu kewajiban untuk menjaga alam karena kedudukannya yang
merupakan rahmat bagi seluruh makhluk. Kewajiban ini memiliki relevasi dengan
kedudukan manusia sebagai khalifah atau sebagai pemimpin di muka bumi yang
pada kondisi tertentu sering disalahartikan sebagai penguasa diatas muka bumi
atau bahkan menjadi pemiliknya. Padahal, meskipun manusia memiliki
kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya, sebenarnya disisi lain terdapat
kewajiban untuk menjaganya.
Secara umum, berbagai problematika lingkungan yang muncul harusnya
dilihat dan dikaji akar persoalannya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Lynn
50
White yang menjelaskan bahwa akar problematika ekologi berakar pada agama –
yang dalam kajiannya adalah agama Kristen. White menjelaskan bahwa karakter
agama Kristen yang menjadi fokus kajiannya adalah merupakan agama yang
antroposentrik (White, 1974). Dalam Islam, kajian White ini sejalan dengan
ungkapan Kaveh L Afrasiabi (2003) sebagai berikut:
“…the criticism begins from the argument that Islam, much like other
monotheistic religions, is anthropocentric, and concludes that the pursuit of
an ecologically minded theology must necessarily transcend these religion
in search of alternative traditions and belief systems…”
Islam dalam konteks ini dikritisi karena mendorong nilai-nilai humanitas
serta pentingnya nilai tersebut sebagai titik awal. Manusia diberikan otoritas untuk
menguasai alam serta makhluk lain karena kedudukannya sebagai khalifah.
Padahal, seharusnya kedudukan sebagai seorang khalifah tersebut menuntut
manusia untuk menjadi pemimpin dan bertanggungjawab atas makhluk hidup
lainnya baik dari sisi kontinuitas maupun pemanfaatannya. Dalam Al-Quran,
kedudukan manusia disebutkan sebagai berikut:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui. (Q.S. Al Baqarah: 30)
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan (Q.S. Al Isra : 70)
Posisi manusia tersebut kemudian secara kosmis mengharuskannya
mendapatkan tugas untuk menjalankan kepercayaan (amanat) sekaligus juga
tanggungjawab. Amanat untuk mengelola alam dengan segenap potensi dan
ketersediaan bahan yang diperlukan bagi kehidupan serta tanggungjawab terhadap
kehidupan nabati dan hewan. Selain itu alam adalah titipan tuhan yang harus
dijaga serta penciptaannya juga tidak sia-sia dan memiliki tujuan (Muhammad,
2007).
51
Oleh karena itu, hak yang diberikan kepada manusia untuk bertindak dan
memanfaatkan alam diatur dalam kerangka etis. Kebebasan yang diberikan Tuhan
kepada manusia untuk mengelola alam dibatasi dan terikat dengan aturan-aturan
moral dan etika kemanusiaan seperti keadilan, kemaslahatan, martabat manusia,
kesejahteraan dan kerahmatan semesta. Ini yang kemudian mengharuskan
manusia menjaga alam, dengan kata lain apabila manusia melakukan tindakan
merusak alam, berarti juga merusak bahkan membunuh manusia karena alam
tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk manusia di masa mendatang (Muhammad,
2007).
Dalam kaitan dengan peranan manusia tersebut, Qardhawi (2002)
menjelaskan tiga tujuan dari peran manusia terhadap lingkungan. Peran pertama
adalah mengabdi kepada Allah SWT, peran kedua adalah menjadi wakil atau
khalifah di atas bumi dan ketiga adalah membangun peradaban di muka bumi.
Ketiga tujuan ini erat kaitannya dengan peranan manusia dalam perspektif
teologis atau ushuluddin.
Pemahamanan dan penjagaan lingkungan serta tanggungjawab dan amanah
menjadi potret dan refleksi iman individual seseorang. Ketika perilaku seseorang
adalah bertindak merusak, memanfaatkan alam secara berlebihan dan bertindak
semena-mena, hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks teologi dan keimanan
yang dimiliki individu tersebut menjadi sangat rapuh. Selain itu, tindakan
semacam itu menunjukkan bahwa sosok manusia tersebut menjadi tidak amanah
dan berpotensi merusak kehidupan speciesnya dimasa yang akan datang.
Mahmudunnasir (1991) mendeskripsikan kewajiban manusia terhadap alam
dengan menjelaskan bahwa Allah telah mengaruniai manusia dengan kekuasaan
atas makhluk-makhluk-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Dia telah diberi
kekuasaan segala sesuatu. Dia telah diberi kekuatan untuk menundukkan mereka
dan membuat mereka melayani tujuan-tujuannya. Manusia menikmati hak untuk
menggunakan makhluk-makhluk itu sesuka mereka. Akan tetapi, Allah tidak
memberikan hak itu tanpa batas. Dikatakan bahwa semua makhluk mempunyai
hak tertentu atas manusia. Manusia tidak boleh memubazirkan mereka ataupun
menyakiti atau membahayakan mereka tanpa guna. Apabila mereka menggunakan
makhluk-makhluk itu harus sesedikit mungkin. Manusia harus menggunakan
52
cara-cara yang terbaik dan paling sedikit akibat buruknya dalam memanfaatkan
mereka.
Selain pandangan tentang kedudukan dan tanggungjawab manusia secara
kosmis diatas, konstruksi ekologi teologi Islam juga memperlihatkan bagaimana
setiap ciptaan Tuhan memiliki nilai yang sejatinya merupakan bukti dari
kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, seluruh ritual Islam berkaitan dengan
fenomena alam dan secara umum umat Islam memandang alam dunia sebagai
wahyu Tuhan yang pertama sebelum kitab suci diturunkan (Nasr, 2003).
Selain itu, kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan erat
kaitannya dengan pandangan mendudukkan Islam tidak hanya sebagai agama an
sich, tetapi menjadi panduan hidup (way of life). Agama ini mewujud tidak hanya
dalam bentuk kelembagaan, tetapi juga mewujud dalam bentuk nilai. Dien (2003)
merangkum lima hal yang menjadi dasar kewajiban manusia yaitu, pertama,
lingkungan juga merupakan ciptaan Tuhan sehingga memiliki kedudukan yang
sama dengan manusia. Kedua, proses penciptaan bumi serta sumberdaya alam
lainnya merupakan tanda dari kebesaran-Nya, sehingga menuntut kesadaran
manusia dan pemahamannya tentang Pencipta. Ketiga, lingkungan karena
posisinya sebagai ciptaan Tuhan, patut mendapatkan perlindungan (hurma).
Keempat, Islam sebagai jalan hidup atau panduan hidup. Dalam konteks ini,
kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan menunjukkan suatu
konsepsi kebaikan. Kelima, seluruh relasi manusia dalam Islam harus berdasarkan
pada konsepsi keadilan („adl) dan kebaikan (ihsan) serta tidaklah berdasarkan
pada landasan materil dan ekonomi.
Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan merupakan bagian
dari eksistensi sosial yang merupakan suatu wujud eksistensi bahwa apapun yang
berada diatas muka bumi ini memiliki kewajiban untuk menyembah kepada
Tuhan. Penyembahan ini tidak semata-mata hanya ritus yang bersifat simbolik,
tetapi lebih pada manifestasi manusia dalam ketundukannya kepada Sang
Pencipta.
Selain menyangkut tentang nilai dan kedudukan, baik manusia maupun
alam. Konstruksi lain yang menarik adalah menyangkut tentang perdamaian
53
(peace). Nasr (1990) menjelaskan bahwa perdamaian pada umat manusia tidak
akan pernah terwujud tanpa adanya perdamaian dengan alam.
“…Peace in human society and the preservation of human values are
impossible without peace with the natural and spiritual orders and respect
for the immutable supra-human realities which are the source of all that is
called „human values‟…” (Nasr, 1990)
Perdamaian semacam ini juga menyangkut penghargaan terhadap perbedaan
serta keragaman (pluralitas) baik terhadap manusia dengan manusia maupun
manusia dengan makhluk lainnya. Penghargaan ini merupakan bentuk
pemahaman bahwa sesungguhnya, terdapat nilai esoteris pada masing-masing
makhluk dan perbedaan tersebut menjadi rahmat bagi semesta alam. Perbedaan ini
kemudian tidak saling menegasikan dan meniadakan, tetapi saling mengisi dan
memahami satu sama lain serta berupaya untuk selalu memperbanyak kebajikan.
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu
perselisihkan itu. (Q.S. Al Maidah:48)
Selain konstruksi diatas, kritik yang dialamatkan kepada agama, yang
dianggap menjadi salah satu sumber etis dan praksis manusia dalam
mengeksploitasi sumber daya dan lingkungan juga mendapatkan batasan yang
tegas dan jelas. Larangan pola hidup yang berlebihan dan cenderung melakukan
kapitalisasi bagi kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengorbankan
makhluk lain menjadi salah satu bukti teologi praksis yang menjadi dasar bagi
umat Muslim. Oleh karena itu, sikap askestis yang mempraktikan kesederhanaan
menjadi prinsip dasar dalam kehidupan umat Muslim. Ini dijelaskan dalam Al
Quran
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
Masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
54
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
(Q.S. Al Araf: 31)
Pada ayat lain, Al Quran juga menjelaskan penolakan Islam pada sifat dan
perilaku berlebih-lebihan di satu sisi, juga perilaku kikir di sisi yang lainnya. Ini
berarti bahwa Islam sebenarnya memberikan penggambaran praktis bahwa
manusia harus terus mencari titik keseimbangan dalam hidup serta bersikap
proporsional dengan tidak berlebihan serta tidak pula bersikap kikir.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian. (Q.S. Al Furqan: 67)
5.2. Makna Tindakan Ekologi di Pesantren: Refleksi Para Aktor
Secara umum, gerakan ekologi di kedua pesantren tersebut dalam
sejarahnya belum berlangsung begitu lama. Di satu sisi, pesantren Al Amin
menginisiasi dan menerapkan gerakan ekologi sejak lima tahun belakangan.
Sementara itu, gerakan ekologi di pesantren Daarul Ulum Lido telah berlangsung
pada kurun periode yang tidak berbeda jauh.
Aktor yang dimaksud dalam gerakan ekologi di pesantren ini secara umum
merujuk pada Dhofier (1985) dan Sukamto (1999). Keduanya merujuk aktor
utama pesantren antara lain adalah Kyai dan Santri serta Khadam. Meskipun
demikian, dalam konteks penelitian ini, tidak berarti aktor yang disebutkan diatas
terlibat dalam kegiatan ekologi. Oleh karena itu, aktor-aktor yang terlibat dalam
gerakan ekologi ini kemudian diperluas dan tidak hanya berhenti pada kyai dan
santri, tetapi juga masyarakat yang terlibat dalam model gerakan yang diusung
oleh pesantren maupun aktor lain selain kyai dan santri yang terdapat di dalam
pesantren seperti Asatidz atau guru.
Meskipun demikian, lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan
ekologi di pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu
Al Quran. Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan
dicoba di kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren
maupun masyarakat pada umumnya.
Basis teologi yang melandasi gerakan secara khusus merujuk pada kekhasan
dan ciri utama dari pesantren yang bersangkutan terutama bagaimana sosok Kyai
55
merefleksikan fenomena sekitar dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan
pesantren secara umum serta memadukannya dengan kekhasan yang dimiliki oleh
pesantren. Meskipun rujukan utama antara kedua pesantren ini sama yaitu Al
Quran, tetapi sudut pandang dan cara mengartikannya jauh berbeda. Kondisi ini
jelas terefleksikan atau bahkan termanifestasikan dalam bentuk gerakan yang
mereka lakukan.
Kedua pesantren ini merujuk pada ayat Al Quran yang mengatakan bahwa
sesungguhnya, manusia dilarang melakukan perusakan setelah Allah SWT
menciptakannya. Selain itu, jargon umum yang banyak diterapkan di pesantren
seperti kebersihan itu menjadi bagian dari Iman juga berlaku di dua pesantren ini.
Pesantren Al Amin, seperti terefleksikan dari Kyai Basith yang menjelaskan
bahwa sesungguhnya kerangka dasar teologi yang terbangun di pesantren Al
Amin adalah upaya untuk menjalankan tiga hubungan transenden. Hubungan yang
pertama adalah hubungan dengan pencipta, hablu mina Allah. Hubungan yang
kedua adalah hubungan dengan manusia, hablu mina an naas. Dan hubungan
yang ketiga adalah hubungan dengan alam, hablu mina al alam. Hubungan ketiga
inilah yang menjadi kunci dari implementasi gerakan ekologi yang dilakukan oleh
pesantren. Ketiga hubungan ini merupakan terobosan pandangan kyai dari
pandangan konvensional selama ini yang hanya mendudukkan relasi manusia
hanya pada dua hal yaitu hubungan dengan Allah serta hubungan dengan sesama
manusia. Pandangan seperti ini tergambar dalam pernyataan Kyai sebagai berikut:
“…Kadang-kadang kita ini suka lupa, didalam hubungan yang disebut
Hablu mina Allah, Hablu mina An-nas. Orang berhubungan dengan Allah,
itu sering. Mungkin dalam satu hari itu lima kali, dengan ditambah
malamnya mungkin, sering sekali. Kedua, Hablu mina An-Nas, manusia
hubungan dengan manusia, dengan kemasyarakatan, cara jual beli, itu
hablu mina an-nas. Cuma agak dilalaikan selama ini itu Hablu mina al-
alam. Padahal kita ini sepertinya dari alam ini tidak ada apa-apanya,
justru kita ini hidup dari alam…”
Ajengan juga menyadari bahwa sesungguhnya problem lingkungan yang
muncul belakangan merupakan akibat dari sifat dan tangan manusia yang tidak
bisa menjaga amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu,
dorongan untuk merubah diri dengan tindakan konkrit dengan cara menanam
56
menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Pandangan ini terlihat dari pernyataan
Kyai berikut:
“…Didalam Al-Quran diterangkan, dzoharo al fasaad fi al barri wa al
bahri bima kasabat aidi an naas. Kerusakan lautan dan daratan itu
sebetulnya dengan ulah-ulah manusia. Halaman atau gunung yang gundul,
itulah manusia. Mungkin yang akan menjadi kerusakan-kerusakan yang ada
di lautan. Cuma, kalau di darat sudah rusak, lalu (laut) ikut-ikutan.
Buktinya, kekurangan oksigen saja, kutub bisa mencair. Makanya, hablu
mina al alam ini harus di tonjolkan. Insya Allah kalau kita sudah
melakukan dengan cara menyuruh nanam, kita harus menanam dahulu.
Insya Allah masyarakat akan ikut.
Kami menghimbau kepada pemuda, ikut dengan hablu mina al alam
tersebut dengan cara menanam. Yuk, kita sama-sama bershadaqah oksigen
untuk siapa? Untuk kita. Kita ini kalau hanya ingin rajin saja, menanam.
Dulu kalau tidak salah, setiap orang yang nikah itu diwajibkan menanam
dua (pohon) didepan rumahnya itu. Kelapa kek, atau apa saja. Sekarang,
saya kira sudah tidak ada seperti itu. Nah, itu akan lebih bagus. Kenapa
maksudnya? Hablu mina al alam ini justru kita harus dihimbau terhadap
masyarakat sekarang.
Allah SWT didalam Al-Qur‟an mengatakan, wama min daabbatin fi al ard
illa „ala Allahi rizquha. Sebetulnya, Allah itu sudah menanggungjawab
terhadap rizqi semua hambanya. Apa yang disebut rizqi itu? Sesuatu yang
masuk ke dalam perut. Itu rizqi namanya. Yang dicari ini bukan rizqi
sebetulnya, lebihnya, yang disebut apa? Milik. Kita jangan merasa diri
kekuatan kita diri. Kita banyak uang, kita punya tenaga yang baik, itu tetap
kita harus berhadapan dengan Allah SWT yang diharuskan orang itu harus
memohon kepada Allah SWT setiap malam (tahajjud – HK), sesuai Al-
Quran mengatakan “ud‟uuni astadjib lakum”. Berdoalah kamu, Aku yang
akan mengabulkan. Diantaranya rohaniahnya, rohaninya kita meminta
kepada Allah SWT, jadi kita harus bekerja keras, mau tidak mau. Didalam
Al-Quran disebutkan “inna ma‟a al usri yusro”. Orang tidak akan senang
kalau sebelum apa dulu? Repot dulu, bekerja dulu. Orang tidak akan
langsung memakan apa, nasi kalau tidak menanam dahulu. Tetap semua
juga harus ada proses…”
Konstruksi teologis yang terbangun di pesantren Al Amin ini
memperlihatkan pergeseran dalam mendudukkan alam seperti tergambar dalam
tafsir Kyai atas hubungan diatas. Dalam perspektif Islam, etika atas lingkungan
seperti yang digambarkan oleh Abedi-Sarvestani dan Shahvali (2008) sebenarnya
mencoba merekonstruksi dua hubungan antara manusia dengan alam yaitu mode
pemeliharaan (nurturing mode) dan mode intervensi (interventionist mode). Abedi
dan Shahvali kemudian menjelaskan bahwa Islam dalam hal relasi antara Tuhan,
57
manusia dan alam memahami bahwa sesungguhnya hubungan tersebut meliputi
kepada tuhan sehingga seluruhnya menjadi terintegrasi.
Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologi Ekologi
Basis teologi yang diperlihatkan oleh kyai diatas memperlihatkan
pergeseran pemaknaan kyai atas alam dari yang sebelumnya hanya dilihat sebagai
makhluk sekunder, dan hanya mengedepankan hubungan manusia dengan
manusia serta manusia dengan Tuhan, kemudian bergeser dan menjadikan alam
sebagai entitas yang sama dengan manusia dan memiliki implikasi teologis
dengan penafsiran hubungan triangulatif antara Tuhan, manusia dan alam.
Landasan teologi lain yang mengemuka adalah konsepsi tentang kutubul
awliaa yang menjadi kerangka dasar untuk menjaga keseimbangan alam. Ketika
kondisi kutub tidak seimbang, maka dipercaya akan muncul berbagai bencana.
Landasan teologi semacam ini merupakan refleksi dari corak pesantren tradisional
semacam Al-Amin. Pendekatan tasawuf menjadi pewarna dari tafsir yang
dilakukan oleh pesantren atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar
pesantren, terutama fenomena kerusakan lingkungan. Ini terlihat dari pernyataan
kyai berikut:
“…Dua tahun belakang, Tahun 2008 atau tahun 2007, saya lihat TV
bahwa kutub sudah mencair, wah kata saya ini bahaya, kalau dalam bahasa
kan kutub itu, kan kutub es itu, padahal itu kutubul aulia, bahasa na kutub
teh naon? pancer, itu kata ahli tata bahasa kalau ulama meninggal dunia
paku dunianya hilang, apalagi kutub, apalagi kutub itu bukan paku lagi.
Kutubul aulia di atas ulama aulia itu, makanya kalau kutubul aulia sudah
tidak ada nah sekarang masih ada Nabi Hidir. Kalau pancernya sudah
tidak ada, otomatis kegoyangan dunia ini akan terjadi seperti kalau kutub
itu, ALLAH menciptakan kutub ini untuk mengikat dunia ini kalau mencair
yah begitulah sudah banjir dimana-mana sekarang udah ketahuan. Pada
saat itu saya mendengar apa sih akibatnya dikarenaka kekurangan oksigen
padahal Indonesia, brazil itu paru-paru dunia. Adanya oksigen itu dari
mana yaitu pohon. Saya harus menanam pohon. Saya lihat di beberapa
kitab, apa sih manfaatnya pohon itu…”
Allah
Alam Manusia
Allah
Alam Manusia
58
Konsepsi lain adalah konsepsi sedekah yang menjadi ciri utama pesantren
ini. Konsepsi sedekah yang digulirkan adalah seperti sedekah oksigen maupun
sedekah kepada makhluk lainnya dengan kepercayaan bahwa seluruh pepohonan
yang ditanam selalu bertasbih kepada Allah SWT. Konsepsi sedekah seperti yang
dijelaskan pada bab sebelumnya, terutama seperti yang menyangkut khomtsah
atsnaf tampaknya menjadi basis dari upaya reflektif yang dilakukan oleh kyai.
Oleh karena itu, konsepsi yang muncul, yang menjadi basis gerakan ekologi
adalah sedekah (shodaqoh) yang mencakup sedekah kepada hewan melalui daun
yang ditanam sehingga menjadi salah satu sumber pangan mereka, juga menjadi
sumber hidup. Selain itu, kyai juga memaknai bahwa tanaman bukanlah benda
mati yang tidak memiliki tugas dan fungsi apapun di bumi ini. Salah satu tugas,
yang juga merupakan tugas dan kewajiban manusia adalah selalu mengingat dan
berzikir kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kyai memaknai bahwa salah satu
manfaat utama dari menanam adalah memperbanyak kesempatan untuk berzikir
dan bertasbih dengan adanya tanaman tersebut. Hal ini terlihat dalam pernyataan
kyai berikut ini:
“…Malah kadang-kadang saya menjelaskan di luar dari pada orang di
dalam Al-Quran itu ada hablumminallah ada hablumminannas, saya
tambahkan habluminal alam (sambil tertawa) kan ga ada yah kurang. Itu
manfaatnya banyak. Itu shodaqoh yang tidak sengaja, apa
diantaranya:Pertama, daunnya saja kita sedang bershodaqoh kepada
hewan ternak, kambing domba. Kedua, kita lihat lagi kita itu sedang
bershodaqoh terhadap burung, satu tempat untuk burung yang kedua
adalah untuk makanan burung karena pada pepohonan itu hidup ulat, biji.
Ketiga, menahan arus banjir, banjir bandang. Keempat, Kita bershodaqoh
air karena di bawah pepohonan itu kan ada air karena dalam pepohonan
itu berfungsi menyimpan air, apabila waktu hujan dia simpan apabila
waktu kemarau dia itu buka sendiri. Kelima itu bertasbih, pohon itu
membaca tasbih (membaca surah atau hadist) tiada mahluk yang ada di
muka bumi ini semua itu bertasbih, kodok itu bertasbih dengan suaranya
kokokok, kambing. Saya tersentuh pada waktu itu, karena kita ini malas
bertasbih maka kita menyuruh pohon untuk bertasbih dengan menanam
pohon tersebut. Yang paling celaka itu bertasbih malas nanamnya juga
engga nah itu celaka. Keenam, yaitu oksigen kita ini bershodaqoh oksigen.
Kata ilmu peneliti kalau ada pohon 80 cm itu akan menyimpan oksigen
kalau di rumah sakit 2 tabung, berapa tuh harganya sebab kita kan ada
CO2 dari mulut termasuk racun, terus dari mobil, knalpot mobil, motor,
pabrik. itu kan CO2 akan diserap oleh pohon diolah oleh pohon nanti
59
keluarnya oksigen, kita tidak sadar, kita punya racun juga kan racunnya
hawa keluar racun kita akan menghisap oksigen
Kalau seandainya CO2nya terlalu banyak untuk menyangkutkan O2 nya
tidak ada nah itu akan timbal balik CO2 nya keluar dan tidak ada tempat
yang mengolah maka akan balik dihisap oleh kita makanya pada saat ini
penyakit kebanyakan itu adalah penyakit pernafasan. Terus kalau diisap
lagi oleh kita mungkin karena penyakit, iya kan? terus naik ke atas yang
akan merusak atmosfer yang merusak bintik bintik hujan. Mungkin suatu
saat nanti kalau ada batu jatuh dari planet yang besarnya sebesar rumah
maka akan jatuh sebesar itu lagi.
Sekarang kan masih dibakar dulu oleh atmosfer, dibakar dulu makanya di
jawa itu ada ponari yang mendapat batu kecil itu kan dari angkasa
sebetulnya dari sana pecahan-pecahan dari planet.Ceuk urang mah gelap
kang, kan aya tah batu gelap kang disananya mah itu besar tetapi sudah
dibakar oleh atmosfir bolong nah kalau tidak ada atmosfher mungkin kalau
itu akan datang dari sana itu akan rusak.
Itu diantara oksigen, dengan kurangnya oksigen nah itu kutub kan
akibatnya menjadi mencair akibat global panas. saya lebih ngeri lagi
kemaren kemaren kan ada gunung es belah sekarang menuju Australia,
makanya lamunan saya waktu saya di Mekkah rame rame ada kiamat di
Indonesia katanya 2012, isu kan? itu bukan kiamat sebenernya tapi dengan
mencairnya gunung es, permukaan laut akan naik 6-7 meter maka Jakarta
akan lebih dulu makanya kalau rumah di Jakarta harus pindah yah harus
punya rumah di desa.
Sekarang kan permukaan laut, sudah tidak hujan tidak apa, udah 2 meter,
sumatera termasuk jawa, nelayan nelayan sudah bingung mencari ikan
dikarenakan arusnya besar. Itu akibat kekurangan oksigen…”
Selain konstruksi teologis yang telah dipaparkan diatas, baik menyangkut
hubungan dengan alam, fungsi sedekah serta kedudukan tanaman yang juga
bertasbih, kyai juga mengkonstruksikan permasalahan fundamental yang
menghinggapi masyarakat disekitarnya. Salah satu problem terbesar dari
masyarakat adalah problematika ekonomi yaitu karena terbatasnya akses terhadap
sumberdaya sehingga tidak terbuka ruang mereka untuk berdaya. Oleh karena itu,
meskipun basis teologis melingkupi gerakan ekologi di pesantren Al Amin, tetapi
kyai juga mengintrodusir pendekatan ekonomi kepada masyarakat guna menarik
simpati masyarakat sehingga tergerak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kyai
juga mengkonseptualisasikan manfaat ekonomi tersebut untuk jangka pendek,
jangka menengah serta jangka panjang. Solusi semacam ini tergambar dari
pemaparan kyai berikut ini:
60
“… Manfaat terakhir adalah ekonomi, kenapa disebut ekonomi, pohon itu,
sebab sekarang itu orang bisanya nebang tapi nanamnya tidak. Ada. Yang
nanam sepuluh orang yang nebang seratus orang. Nah sekarang sengon itu,
kenapa saya ikut sengon padahal ada jenis pepohonan yang lain banyak.
Tetapi kita melihatnya kehidupan itu ada tiga versi, yakni ada jangka
pendek ada jangka menengah ada jangka panjang.
Jangka pendek itu nanamnya tumpang sari, jagung, pepaya, ubi, sayur
mayur. Jangka menengah itu termasuk kita nanam sengon, jabon, suren, itu
diantaranya. Kalau jangka panjangnya itu mahoni, jati, terus rasamala dan
lain lain, itu dua puluh tahun ke atas.
Kenapa saya memilih sengon sebab kalau saya memilih jati, masyarakat
tidak akan ikut karena 20 tahun keburu mati, akhirnya kesanakan, ah
keburu mati. kalau sengon itu 5 tahun dan kita bisa produksi kayu dan
waktunya sedikit lah. Pada waktu itu saya menanam 30 ribu pohon sewa 12
hektar sekarang sudah 2 tahun lumayan juga sudah besar. Apa sebab
sengon itu kalau 5 tahun jeleknya 1 pohon seratus ribu kalau punya 30 ribu
3 milyar, itu jeleknya. Malam ada tukang kayu dari bogor kalau sengon
gelondongan ukuran 3 meter 750 ribu. Sebab kalau 5 tahun itu satu
kubiknya itu paling 5 pohon kalau dijual per gelondongan itu 700ribu.
Belum dahannya, dahannya bisa dijual untuk bahan bakar ke pabrik
pabrik250 sampai 300 perak per kilo. Terus daunnya itu manfaat buat
pakan kambing dan akan menjadi pupuk. Dan istimewanya lagi kalau sudah
ditebang bawahnya tunas akan timbul lagi ini yang akan lebih cepat lagi
pertumbuhannya, makanya kalau ingin kaya maka menanamlah tapi lima
tahun…”
Pilihan untuk mengintrodusir manfaat ekonomi ini bukan tanpa alasan.
Menurutnya, meskipun problematika mendasar terletak pada kesadaran untuk
memahami pentingnya membangun hubungan alam, tetapi, apabila persoalan
ekonomi tidak terselesaikan, kondisi ini menjadi penghambat dan dapat menjadi
salah satu masalah dalam menjaga kelangsungan gerakan tersebut.
Selain kyai, gerakan yang dilakukan oleh pesantren Al Amin juga
melibatkan aktor lain. Meskipun demikian, aktor yang dimaksud bukanlah santri
maupun khadam. Aktor utama lain yang terlibat dalam gerakan adalah masyarakat
yang terlibat dalam gerakan dan sebagian tergabung dalam kelompok Hejo Daun.
Kelompok ini.
Makna ekologi yang terefleksikan pada masyarakat dapat dilihat dari
individu maupun kelompok tani. Petani secara umum memahami kompleksitas
masalah ekologi yang terjadi di daerah tersebut setelah menyaksikan kondisi
gundulnya gunung disekitar lokasi tinggalnya. Kondisi yang terjadi seperti yang
digambarkan oleh salah satu informan sebagai berikut:
61
“…Kalau disini biasanya yang ada itu kuli tani. Kalau petani asli itu ya
punya lahan dan punya modal. Pas musim kemarau kemarin, yang
namanya petani itu sangat membutuhkan air, apalagi untuk mengairi
sawah. Sayur mayur juga tetap tidak bisa jalan kalau tidak ada air. Nah,
baru aja satu sampai dua bulan kemarau air sumur kita sudah pada kering.
Mulai dari situlah terbuka. Akhirnya kita pergi ke gunung. Ternyata
gunung-gunung di Cidahu ini, mungkin bisa dibilang sekitar 40 persen
gundul. Setahu saya gundulnya itu karena tidak ada penanaman kembali
setelah ditanam. Maksudnya, kalau hutan itu kan ada hutan lindung dan
hutan produksi. Nah, hutan produksi itu dahulu dikelola oleh Perum
Perhutani. Setelah penebangan, bukan tidak ditanam (lagi), tetapi tidak
diurus. Makanya berlomba dengan rumput. Akhirnya karena kalah dengan
rumput, ya tanamannya mati. Ada sedikit yang tumbuh, tetapi justru kena
penebangan liar…”
Melalui interaksi antara kyai dengan masyarakat, proses transfer pemaknaan
atas problematika lingkungan serta konstruksi teologis yang dimiliki oleh kyai
kemudian di diseminasikan melalui forum pengajian yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya. Disinilah makna teologi ekologi ditransfer kepada
masyarakat sesuai dengan pemaknaan yang dilakukan oleh kyai. Proses ini
sebagaimana digambarkan oleh pernyataan informan berikut ini:
“…Pertama kita dalam pengajian, kan kalau ini diperlukannya segera, jadi
kalau anak-anak santri majelis taklim, nanti kita tahap kedua. Untuk tahap
pertama itu pengajian bapak-bapak malam mingguan. Itu saya masukin, ya
seperti itu tadi, program penyampaian Abuya kita sampaikan juga, dari
mulai hablu mina Allah, hablu mina an naas, ternyata dibutuhkan juga
hablu mina al alam. Ya seperti itu tadi, untuk ekonomi dibuat paling ujung.
Selain itu karena memang kondisi alam sudah seperti ini…”
Potret yang serupa atas makna ekologi yang terbangun dalam gerakan yang
di lakukan pesantren Al Amin juga tergambar dari pernyatan informan berikut ini:
“…Kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan niat kita ibadah, ada
nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon menghasilkan oksigen itu hingga
dewasa menghasilkan oksigen hingga dua orang. Dengan alam lain,
dengan burung menghasilkan makanan, tempat berlindung, dengan tanah
bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu diterangkan, masyarakat mau
dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan ekonomi, nah kebutuhan mereka itu
tidak hanya dengan ibadah saja, apalagi diterima dengan kondisi keimanan
seperti tadi mereka tidak begitu saja menerima, dengan jarak satu hingga
lima tahun…”
Kondisi ini memperlihatkan, sebenarnya, potret pemaknaan ekologi yang
dilakukan oleh aktor di pesantren Al Amin bergantung pada proses pemaknaan
yang terjadi pada diri kyai. Artinya, refleksi individual kyai atas makna ekologi
62
akan menjadi landasan dan pijakan teologis mereka yang berada dibawahnya,
baik murid maupun masyarakat yang terlibat dalam gerakan tersebut.
Lain halnya dengan pesantren Daarul Ulum Lido yang membangun
kerangka teologi gerakannya pada konsepsi Fiqh Al-Bī‟ah di dunia pesantren.
Konsepsi ini merupakan turunan dari filosofi dasar pesantren yang menjelaskan
bahwa pesantren berupaya “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang lebih baik” serta filosofi “ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang
tingkah laku, dan pekerjaan yang paling utama adalah menjaga tingkah laku”.
Filosofi ini mendorong adanya pertanggungjawaban manusia sebagai
khalifah yang bertugas menjaga kesinambungan hidup baik manusia maupun alam
tempatnya tinggal. Selain itu, pesantren juga mendorong tumbuhnya kecintaan
terhadap makhluk ciptaan yang lain selain manusia, juga sebagai bukti
tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas bumi. Landasan teologi lain adalah
upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam dengan tujuan menjaga
kesinambungan hidup generasi manusia dimasa mendatang.
Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa konstruksi teologis yang
muncul dan mendasari gerakan lingkungan ini berangkat dari sumber utama dan
rujukan kehidupan di pesantren yaitu Al Quran. Kyai di pesantren ini, yaitu Ust.
Yani melakukan konstruksi individual atas makna ekologi dengan paparan yang
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang di paparkan oleh Kya Basith.
Kyai di pesantren ini juga mendorong perluasan hubungan transenden yang tidak
lagi hanya antara manusia dengan manusia serta manusia dengan Sang Pencipta,
tetapi kemudian meluas menjadi hubungan dengan alam. Ini tergambar dari
pernyataan kyai sebagai berikut:
“…Pertama, memang konsep Islam itu kita memiliki hubungan vertikal
dengan Allah SWT, hubungan horizontal dengan manusia dan ada
hubungan diagonal dengan alam. Secara normatif, ayat-ayat yang
memerintahkan kita untuk memelihara alam banyak, mulai dari dzoharo al
fasaadu fi al barri, walaa tufsidu fi al ardi dan macam-macam lainnya. Itu
secara normatif...”
Tidak hanya masalah perluasan hubungan yang menjadi perhatian utama
kyai, tetapi tanggungjawab manusia sebagai khalifah menjadi salah satu perhatian
utamanya. Manusia memiliki tanggungjawab untuk selalu menjaga lingkungan
63
serta mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk tidak membuat kerusakan
diatas muka bumi. Selain itu, hubungan mutualistik serta interdependensi juga
tergambar antara manusia dengan alam sehingga peran masing-masing menjadi
sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup keduanya.
Makna ekologi lainnya, dan menjadi sangat fundamental adalah ungkapan
bahwa kondisi lingkungan menggambarkan kondisi keimanan seseorang. Pada
titik inilah kemudian, praktik-praktik pemeliharaan lingkungan mencerminkan
kondisi teologi seseorang. Kondisi ini dimaknai kyai sebagai kondisi refleksi
keimanan yang merupakan potret dari seberapa dalam seorang manusia memaknai
titah Pencipta serta Rasulnya, khususnya dalam menjaga lingkungan. Dalam
konteks ini pula, tujuan utama kyai adalah berupaya melakukan penanaman ide
kepada santri untuk memahami esensi dari gerakan ekologi yang dibangun di
pesantren ini. Beberapa alasan pokok yang mendasari kyai tersebut tergambar
dalam pernyataan berikut ini:
“…Alasan pokok, bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari lingkungan
bahkan ada ungkapan yang saya sangat setuju sekali bahwa
“alam/lingkungan bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa
hidup tanpa alam/lingkungan”. Kedua, alasan yang paling penting adalah
menjaga lingkungan itu adalah cermin dari kemampuan seorang muslim
dalam menjaga hati. Karena kepedulian kepada lingkungan itu bukan
berhubungan dengan otak, tetapi hati. Walaupun otaknya bagus, tetapi
hatinya belum menerima ya tidak bisa. Nah, ketika berbicara hati,
sebetulnya kita sedang berbicara dengan iman masing-masing orang. itulah
sebabnya ketika kita mendorong orang untuk memperbaiki lingkunan pada
dasarnya kita sedang mendorong dia untuk memperbaiki hati dan imannya.
Itulah sebabnya kemudian Rasul mengatakan “annadzofatu min al iman”,
kebersihan sebagian dari iman. Karena memang kaitannya dengan hati.
Jadi orang yang peduli dengan yang tidak peduli itu tidak ada kaitannya
dengan cerdas atau tidak cerdas. Itu alasan yang paling mendasar bagi
saya kenapa santri di dorong untuk peduli lingkungan walaupun pada
praktiknya, menjadikan mereka terlibat itu tidak mudah. Butuh dorongan,
butuh pengertian dsb. Tetapi yang paling penting adalah sudah terdapat
untuk melakukan itu, yang penting itu.
Jadi kedepan itu bagaimana pesantren itu rindang, hijau, nyaman. Nah,
setelah itu, setelah tertanam konsep-konsep lingkungan pada diri mereka,
maka harapan terkahir pesantren ini pada diri mereka-mereka itu adalah
bagaimana kemudian mereka itu memiliki kepedulian yang sama nantinya
ketika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing. Sebab,
kepedulian itu tidak tumbuh sekonyong-konyong, tetapi harus
ditanamkan…”
64
Makna lain yang dikemukakan oleh kyai adalah sifat kasih sayang. Sifat ini
merupakan sifat yang penting untuk selalu memperlakukan alam sebagai bagian
dari dirinya. Kedua cerita yang diungkapkan oleh kyai dibawah ini menjadi potret
bagaimana nilai kasih sayang yang coba ditanamkan oleh kyai serta implikasinya,
terutama di hari akhir kelak. Selain itu, kyai juga melakukan revolusi penafsiran
atas konsepsi haji dalam konteks lingkungan. Haji yang selama ini hanya
dipahami sebagai ritus tahunan ummat Islam dengan berbagai tahapan
didalamnya, seringkali tidak dimaknai secara mendalam dan hanya bertumpu pada
beberapa ritual seperti tawaf, wukuf dan lainnya. Titik perhatian kyai yang melihat
bahwa konsepsi larangan mencederai, melukai ataupun membunuh dalam suatu
tahapan ritus haji menjadi penggambaran yang sangat imajinatif dan penuh
dengan makna yang dalam dalam upaya menjaga lingkungan. Menurutnya,
apabila nilai tersebut dipertahankan, dan diaplikasikan dalam keseharian manusia
– setelah kembali ke tanah air – maka, suatu keniscayaan bahwa alam akan selalu
diperlakukan dengan sangat baik dan adil. Ini tergambar secara jelas dalam
pernyataan kyai berikut ini:
“…Sifat kasih sayang itu adalah sifat yang harus ditularkan kepada
makhluk tuhan, bukan hanya sebatas pada manusia. Kita mengajarkan
kepada anak bahwa salah satu yang sering kita ungkap ada dua kisah yg
beredar di Pesantren.
Kisah pertama, yang sering di gembar gemborkan adalah kisah tentang
Pelacur yang masuk surga hanya karena menolong Anjing.
Kisah yang lain, adalah bagaimana seorang ulama meninggal dunia.
Kemudian temannya bermimpi bahwa dia masuk surga bukan karena rajin
ibadah/shalat dsb, tetapi karena ketika dia berjalan dalam suatu gang, dia
melihat ada seorang anak muda yang sedang mempermainkan burung
hingga akan mati kemudian dia beli dan diterbangkannya (dilepaskan).
Yang kedua yang sering kita tanamkan, dalam salah satu rukun Islam yaitu
berhaji, dalam proses berhaji itu ada pelajaran yang sangat berharga,
yaitu saat berihram, dimana manusia semuanya sama dan pada posisi yang
hina. Salah satu larangan dalam berihram itu merusak tanaman, kita
memetik pohon saja kita kena dam (sangsi), apalagi membunuh merpati
disekitar Masjid Al Haram. Islam itu begitu mengagungkan tentang
bagaimana mestinya manusia itu memelihara alam, Cuma memang
seringkali beberapa orang analisa Fiqihnya hanya sampai Bab Tharah
(bersuci). Padahal kalau kita kaji seluruh kitab Fiqih dalam Islam itu
dimulai dari Kitab Thaharah. Bab pertama yang dibaca tentang air.
Sebenarnya kalau kita bicara air itu bukan hanya tentang berwudhu, tetapi
harusnya dari A sampai Z. Mestinya seperti itu Islam itu. Jadi ulama dulu
itu sudah menjadikan air sebagai bahasan pertama dalam Fiqih karena
65
fiqih itu ilmu tentang perilaku, baik perilaku kepada Tuhan, manusia
maupun alam. Karena dalam fiqih itu ada bab tentang jual beli dan
lainnya. Itu sebenarnya sudah cukup kalau kita betul-betul. Jadi kalau
konsepsi Islam menjadikan air sebagai bab paling awal menjadi sangat
fundamental dan sangat signifikan dijadikan sebagai alasan kenapa
manusia harus memperhatikan lingkungan dan alam sekitar. Cuma
masalahnya, terkadang sebagian ulama misalnya menetapkan wudhu
menggunakan air sebanyak dua kullah, ini menjadi pertanyaan, kenapa
tidak satu? Sehingga perlu ditopang oleh kajian ilmu modern. Tetapi yang
jelas konsep dasar seperti itu dan tinggal pengembangannya…”
Dalam paparan diatas juga, kyai memperlihatkan bagaimana seharusnya
dilakukan pemaknaan lebih mendalam atas fikih sehingga tidak hanya menjadi
pengetahuan yang bersifat ritualistik, tetapi lebih pada makna transenden yang
lebih bersifat universal. Perhatian kepada bab awal kitab-kitab fikih yang coba
dikontekstualisasikan pada hal lain sererti lingkungan, dan tidak sebatas urusan
berwudlu memperlihatkan kondisi demikian. Dari sudut pandang perluasan
hukum juga dimaknai oleh salah satu aktor di pesantren sebagaimana terlihat
dalam penyataan berikut;
“…Konsep ekologi dalam Islam itu harusnya menjadi wajib. Bukan hanya
Tauhid yang wajib kita imani atau shalat lima waktu yang wajib kita
lakukan, tetapi menjaga lingkungan juga hukumnya wajib. Sebenarnya
lingkungan juga termasuk amanah yang harus kita jaga kelestariannya.
Jadi saya katakan itu wajib...”
Kondisi semacam diatas memperlihatkan bagaimana ekologi telah coba
ditafsirkan dan dikontekstualisasikan melalui teropong teologi. Berbagai
problematika yang terjadi belakangan maupun sudut pandang dalam melihat
problematika tersebut selalu dikaitkan dengan fundamen teologis yang dipercayai
oleh kyai maupun aktor lain dalam pesantren tersebut.
Namun demikian, penting untuk dilihat bagaimana pandangan aktor lain
yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini. Santri yang merupakan salah
satu aktor kunci dalam pesantren dan gerakan ekologi khususnya menjadi penting
untuk digali, terutama bagaimana mereka memaknai ekologi dalam kerangka pikir
mereka sendiri.
Ekologi secara sederhana dimaknai oleh santri sebatas lingkungan tempat
tinggal mereka saja. Lingkungan yang mereka pahami inipun dimaknai berbeda
66
dalam konteks kultural dan teritorial. Santri berpandangan bahwa lingkungan
pesantren merupakan suatu teritori yang memiliki kekhasan karena terjaga dari
lingkungan diluar pesantren. Seperti pernyataan informan berikut ini:
“…Lingkungan di pesantren lebih terjaga karena tidak ada kendaraan lalu
lalang di dalam pesantren sehingga udara menjadi lebih sehat dan tidak
ada polusi. Lingkungan di pesantren itu berbeda dengan lingkungan diluar,
lingkungan di pesantren itu lebih mudah menjaga karena santri atau siswa
yang ada di pesantren itu bisa mempunyai disiplin. Berbeda dengan anak
diluar. Kalau anak diluar itu asal main corat coret, terus terkadang
menyebabkan pohon rusak. Untuk membuang sampah, bisa dilihat
perbedaannya dalam hal kebersihan antara di pesantren dengan diluar.
Yang membedakan yaitu rasa kesadaran siswa itu, yaitu rasa kesadaran
yang didorong karena awalnya dipaksa, kemudian menjadi bisa dan
kemudian menjadi biasa…”
Dalam konteks kepedulian lingkungan, santri juga memiliki pandangan
yang mendalam tentang makna Islam itu sendiri. Islam yang dimaknai sebagai
potret dan landasan hidup yang mengajarkan untuk tidak merusak dan
melestarikan alam sehingga kondisi ini menjadi pijakan santri untuk memahami
bahwa kewajiban mereka untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan
dimuka bumi seperti pernyataan informan berikut ini:
“…Konsepsi lingkungan sebenarnya banyak, sebagai contoh “walaa
tufsidu fi al ardh”, janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi. Ayat itu
sudah menjadi dasar dan pondasi yang mengatakan bahwa Islam itu bukan
perusak alam, islam itu orang yang suka dengan alam dan mencintai alam.
Jadi itu sudah dikenal dalam Al-Quran. Masih banyak juga ayat-ayat lain
yang membahas tentang bagaimana sebagai muslim melestarikan alam dan
jangan merusak alam…”
Selain konsepsi diatas, konsepsi keimanan seperti yang dikemukakan oleh
kyai di muka, tergambarkan juga oleh salah seorang santri. Santri juga mencirikan
keimanan seorang berkorelasi dengan sikapnya terhadap lingkungan yang dalah
konteks ini adalah pada urusan kebersihan dan kesehatan.
“…sebenarnya untuk lingkungan itu lebih identik dengan kebersihan dan
kesehatan. Disana juga terdapat “annadzofatu min al-iman”. Cerminan
dari iman itu bisa dilihat dari kebersihannya dan bagaimana dia menjaga
dan memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya dan lingkungannya.
Jadi, biasanya orang yang sadar akan lingkungan, orang yang sadar akan
kebersihan memiliki iman yang tinggi…”
67
Pemaknaan lainnya juga diperlihatkan oleh salah seorang Ustadz (guru)
yang juga senada dengan pandangan diatas.
“…klo saya banyak bergerak bukan atas dasar latar belakang saya sebagai
aktivis dibidang lingkungan, tapi sebagai dorongan hati, sekaligus kita
punya tanggung jawab moral dipesantren itu, harus berdiri paling depan
berbicara masalah lingkungan, mungkin saya punya dasarnya disitu aja.
Tentu lingkungan ini cukup besar juga cakupannya. Terutama tentang
kebersihan, kesehatan saya fikir menjadi satu pokok di pesantren ini,
sehingga pesantren mempunyai slogan “annazofatul minal iman”.
Itu barangkali sudah familiar ditelinga siapapun, tetapi kenapa bgitu sulit
untuk mengimplementasikan, mengaplikasikannya sulitlah. Berangkat dari
situ saya pribadi ini hanya sebagai dorongan moral, mungkin saya banyak
bergerak sekaligus juga menanamkan kepada anak-anak (santri) bahwa
hidup bersih itu bukan sekedar slogan-slogan belaka, tapi bagaimana kita
harus terapkan, mungkin pesantren adalah satu caranya untuk
menjawab…”
Paparan diatas memperlihatkan bagaimana para aktor baik di dalam
pesantren maupun di luar pesantren yang terlibat dalam gerakan ekologi
melakukan pemaknaan berdasarkan beberapa faktor. Faktor kultural menjadi salah
satu faktor yang utama karena kultur yang terbangun di pesantren tersebut
menjadi sangat berpengaruh terhadap proses pemaknaan yang dilakukan oleh
aktor-aktor tersebut.
Selain itu, faktor kepemimpinan dan pola pendidikan di pesantren menjadi
faktor lainnya. Tafsir yang dilakukan oleh kyai di maknai menjadi tafsir tunggal
dan menjadi pemahaman umum bagi mereka yang terlibat dalam gerakan
pesantren, seperti yang terjadi di pesantren Al Amin. Oleh karena itu, kyai
kemudian merumuskan solusi yang tidak hanya bersifat idealistik yang bertumpu
pada pemahaman teologis saja, tetapi memperluas pada solusi praktis seperti
pemanfaatan dari sisi ekonomi. Interpretasi yang dilakukan oleh kedua pesantren
tersebut juga mencirikan dua konstruksi teologi ekologi yang berbeda. Pesantren
Al Amin memperlihatkan upaya membangun interpretasi ekologi keseimbangan
dan pesantren Daarul Ulum Lido memperlihatkan upaya membangun interpretasi
ekologi lingkungan.
VI. MANIFESTASI GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN: REFLEKSI
INDIVIDUAL ATAU INDUKSI AKTOR LUAR?
6.1. Forma Gerakan Ekologi di Pesantren
Gerakan ekologi adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring yang luas
antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi
bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan-
keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Dalam konteks ini, forma gerakan
ekologi yang berlangsung di kedua pesantren ini merupakan bentuk suatu gerakan
sosial yang juga merupakan gerakan aksi bersama yang bertujuan mendapatkan
keuntungan baik dari sisi ekologi atau lingkungan maupun dari sisi ekonomi
dengan kerangka bangun yang mendasari adalah teologi Islam seperti yang
dipaparkan pada bab sebelumnya.
Selain itu, kerangka gerakan yang dilakukan kedua pesantren ini juga
merujuk pada pandangan Bell (2004) yang meletakkan pemecahan masalah
ekologi pada dialog ekologis yang melibatkan dua komponen yaitu komponen
material dan komponen ideal. Berangkat dari dua komponen tersebut, kemudian
dapat dilihat bagaimana upaya praktis yang dapat dilakukan sebagai upaya
memahami hubungan manusia secara individu dan kelompok dengan lingkungan.
6.1.1. Kelompok Tani Hejo Daun: Suatu Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Gerakan lingkungan yang berbasis pada institusi yang bercorak agama
semacam pesantren memang belum terlalu banyak terpublikasikan secara luas.
Kesimpulan ini yang kemudian mengemuka disampaikan oleh Bank Dunia
melalui Country Environmental Analysis yang diterbitkan pada tahun 2009.
Dalam laporan tersebut disebutkan sebagai berikut:
"...religious institutions are not traditionally known to play a role in
representing public aspirations or forming public opinion in the
environment1...“
Padahal, sejatinya gerakan tersebut telah berlangsung dalam kurun waktu
yang cukup lama. Beberapa pesantren pada tahun 1980an telah melakukan
1 Dalam laporan ini, World Bank mengakui bahwa tidak banyak penelitian atapun survei yang
dilakukan untuk mendalami munculnya gerakan ini. World Bank memotret gerakan ekologi yang
dilakukan oleh institusi agama melalui metode literatur dan wawancara kepada beberapa informan.
69
berbagai macam gerakan, meskipun tidak secara spesifik dalam mengatasi
problematika lingkungan, tetapi upaya pemberdayaan masyarakat terus dilakukan.
Sebagai contoh, pesantren An Nuqayah di Guluk-guluk Madura, pesantren
Pabelan di Magelang, dan sebagainya.
Seiring dengan semakin menyeruaknya berbagai problematika lingkungan,
Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia kemudian
pada tahun 2007 membentuk suatu gerakan yang bernama Gerakan Nasional
Kehutanan dan Lingkungan (GNKL). Gerakan ini kemudian meluas secara
bertahap dari mulai Jawa Tengah, Jawa Timur kemudian Jawa Barat. Hingga saat
ini, gerakan ini telah menjadi gerakan nasional dan terus menyebar ke seluruh
Indonesia.2
Salah satu mitra dari gerakan tersebut adalah pesantren Al Amin. Saat itu,
posisi KH. Abdul Basith yang juga merupakan ketua PCNU Kabupaten Sukabumi
ikut berperan dalam mendorong pelaksanaan program GNKL tersebut. Beberapa
bantuan berupa bibit pohon, didistribusikan kepada beberapa pondok pesantren di
sekitar Sukabumi. Salah satu kegiatan yang kemudian bersanding berbarengan
antara pesantren Al Amin dengan GNKL adalah forum bahsul matsaail atau
semacam forum diskusi yang membahas berbagai permasalahan seperti masalah
lingkungan. Berikut pernyataan salah satu informan tentang kegiatan tersebut:
“…Sebenarnya diawali dengan program kita, pesantren konservasi itu.
GNKL PBNU punya satu misi yaitu mengenai lingkungan dan salah
satunya itu konservasi. Kebetulan ketemu dengan kita, kita juga satu misi.
Jadi di pertemuan tersebut, beberapa item kita bahas…”
Potret gerakan di pesantren Al Amin yang sebenarnya sudah berlangsung
sebelum persinggungan dengan GNKL terebut sebenarnya terlihat dari
karakteristik kyai yang memang memiliki pandangan yang merakyat dan berusaha
membangun program-program yang memiliki manfaat untuk masyarakat. Salah
satu potret kegiatan diluar kegiatan lingkungan yang dilakukan oleh Kyai Abdul
Basith antara lain:
2 Untuk lebih jelasnya, potret kegiatan GNKL-PBNU ini selalu terekam di www.nu.or.id
70
PCNU Sukabumi Adakan Program Bagi-Bagi Takjil Gratis
Sukabumi - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten
Sukabumi mengadakan program bagi-bagi takjil (menu berbuka puasa)
secara gratis di empat kecamatan di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Program yang secara khusus diadakan pada bulan suci Ramadhan ini
dimaksudkan selain sebagai bukti kepedulian PCNU terhadap masyarakat
sekitar dan para musyafir (orang yang dalam perjalanan), program ini juga
punya arti penting, yaitu sebagai bentuk pendekatan kepada Nahdliyin
(sebutan warga NU).
"Program ini terselenggara murni dari PCNU (Sukabumi) sebagai bukti
kepedulian NU terhadap warga sekitar and para musyafir juga sebagai
pendekatan kepada para Nahdliyin," kata Ketua PCNU Kab. Sukabumi, KH
Abdul Basith belum lama ini.
Selain memberikan paket takjil, PCNU juga membagikan buku saku
"Ahlussunnah wal Jama'ah, Sejarah & Perkembangannya serta Sebab
Timbulnya Firqoh-Firqoh Lainnya."
Menurut Koordinator Wilayah Cicurug, Mumuh Muhtar, setidaknya setiap
harinya tidak kurang dari 200 paket dibagikan kepada masyarakat dengan
lokasi yang berpindah-pindah. (wil/dar).3
Forma gerakan ekologi yang dilakukan di Pesantren Al Amin sebenarnya
memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi pesantren yang lebih keluar
(eksternal) yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam pesantren,
khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan penanaman
pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar maupun dengan
murid kyai. Kegiatan ekologi ini tidak terkait langsung dengan pesantren secara
sistem. Artinya, tidak ada keterlibatan pesantren Al Amin secara langsung dengan
gerakan ekologi baik atas nama pesantren maupun santri pada umumnya.
Mereka yang terlibat dalam gerakan ini hanyalah sebagian kecil yang
dikomandoi oleh Ajengan Basith. Ini memperlihatkan konsistensi pesantren yang
sedari awal memang memisahkan dengan tegas aktivitas pengajaran agama
didalam pesantren dengan aktivitas diluar pesantren, bahkan kegiatan belajar
mengajar formal baik SMP maupun SMA terpisah dari kegiatan agama, meskipun
dilangsungkan dalam satu kompleks pesantren.
Pesantren Al Amin merupakan salah satu pesantren di Kabupaten Sukabumi
yang dalam setiap tahunnya selalu memiliki aktivitas utama yaitu mengelola
3
Sumber: http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/10125/Warta/PCNU_Sukabumi_Adakan_
Program_Bagi_Bagi_Takjil_Gratis.html, tanggal 30/09/2007
71
pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Pengeolaan ibadah ini tampaknya telah
dilakukan secara turun temurun sehingga terkadang peserta dan jamaah yang
bergabung dalam KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh) Al Amin
ini dapat berjumlah ratusan yang berasal tidak hanya dari Sukabumi, tetapi daerah
lain seperti Bogor, Jakarta, Bekasi, dan lainnya. Kyai Abdul Basith, yang
merupakan pimpinan pesantren Al Amin menjadi salah satu daya tarik kenapa
begitu tingginya animo jamaah untuk ikut bergabung melaksanakan ibadah.
Proses refleksi yang fundamental, yang dialami oleh kyai, berproses dalam
proses ibadah ketika itu, ia melihat bagaimana kerawanan iklim mempengaruhi
keseimbangan alam hingga mencairnya es di kutub. Kejadian ini mendorong
Ajengan melakukan refleksi yang mendalam hingga memunculkan konsepsi
kutubul awliaa. Konsepsi ini menjelaskan bagaimana dunia ini perlu
keseimbangan sehingga perlu dijaga keberadaan masing-masing kutub tersebut.
Salah satu aspek yang penting adalah keseimbangan alam dengan upaya menanam
pohon .
Pola penanaman pohon sengon ini yang pada awalnya diinisiasi oleh
Ajengan Basith setelah kembali dari haji pada tahun 2008. Meskipun demikian,
pola penanaman pohon tidak dilakukan sendiri oleh Ajengan Basith. Ia kemudian
mengajak masyarakat disekitar yang sebagian adalah muridnya untuk ikut serta
dalam kegiatan ini. Dari sinilah, kegiatan yang kemudian belakangan di sebut
sebagai Model Pesantren Konservasi ini mulai menarik perhatian masyarakat.
Model Pesantren Koservasi (MPK) yang dinisbahkan kepada gerakan yang
dilakukan oleh pesantren Al Amin ini tampaknya merupakan model adopsi
dengan apa yang telah diciptakan sebelumnya, seperti Model Desa Konservasi
(MDK) yang dikembangkan oleh Balai Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango
(TNGGP) atau Model Kampung Konservasi (MKK) oleh Balai Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Model pesantren seperti ini merupakan
penamaan yang dilakukan oleh pihak luar pesantren untuk menyebut gerakan
yang dilakukan oleh pesantren ini sejalan dengan konsepsi konservasi. Kombinasi
gerakan yang dilakukan, dilatari oleh pandangan keseimbangan diatas antara
aspek ekonomi dengan aspek ekologi sebagaimana pernyataan berikut ini:
“…model pesantren konservasi ini akan memberi manfaat positif baik dari
sisi ekonomi maupun ekologi bag ipesanren maupun petani dan warga
72
sekitarnya. Model pesantren konservasi merupakan konsep yang unik,
karena menggabungkan tugas mulia menjaga keseimbangan alam dengan
pemberdayaan masyarakat pesantren dan masyarakat desa…”
Pilihan untuk mencari solusi atas berbagai problematika ekologi yang
terjadi di sekitar pesantren Al Amin dilakukan kyai dengan mendasari pada
konsepsi yang ia telaah dari berbagai sumber dan literatur klasik yang terdapat di
pesantren. Hasil pergumulan tersebut kemudian mengarah pada kesimpulan untuk
melakukan tindakan penghijauan yang harus memberikan manfaat berimbang baik
pada alam maupun pada manusia. Kemanfaatan yang dikonseptualisasikan oleh
kyai antara lain adalah (a) menyimpan air dan menahan erosi; (b) menjadi tempat
bernaungnya burung-burung; (c) mengeluarkan oksigen dan menjadi sedekah bagi
individu yang menanam; (d) dedaunan bermanfaat sebagai humus dan makanan
ternak; (e) pepohonan tersebut bertasbih; dan (f) dari segi ekonomi, dapat
membantu meningkatkan ekonomi masyarakat (petani).
Selain menghasilkan rumusan teologis, refleksi yang dilakukan oleh kyai ini
yang juga merupakan pergumulan dari pemahamannya terhadap kondisi
masyarakat sekitar yang membuatnya kemudian merumuskan manfaat dari sisi
ekonomi sebagai pintu masuk memperkenalkan program yang ia usung kepada
masyarakat. Ada dua hal yang mendasari hal ini. Hal pertama adalah tafsir dan
pemahaman kyai atas keprihatinannya terhadap kondisi petani yang selalu
berhadapan dengan tengkulak dan terus di eksploitasi serta selalu dalam posisi
yang dirugikan. Selain itu, dari sisi historis, kyai merasa bahwa dahulu dunia
pertanian dengan kyai tidak bisa dipisahkan. Geertz (1960) bahkan menyebutkan
bahwa posisi status sosial serta ekonomi kyai dimasa itu begitu tinggi karena
memiliki superioritas ekonomi.
“…Itu gini yah, saya ini lagi mengangkat sedikit petani, Sebetulnya saya ini
engga ada akses petani engga ada keturunan lagi. Cuma pertama itu saya
melihat kepada awal kyai itu dulu tani kalau engga tani perikanan itu kyai
yang dari dulu seperti itu dilihat sekarang sudah tidak ada lagi.
Yang kedua, dulu itu yang kaya bukan orang kota tapi orang desa. Haji
hektaran sawahnya kebun, Nah sekarang itu sudah tidak ada, satu kyai
sudah tidak tani lagi apa sebab yang wakafnya sudah tidak ada. Yang
kedua yang tadi itu bahwa apa namanya petani sekarang ini sudah tidak
mau tani itu dikarenakan sudah pada dijual tanahnya yang akhirnya dia
juga garap tanahnya yang punya tanah tersebut. Dia jual tanahnya tapi dia
73
garap lagi tanah itu. Model kan itu. Padahal tanah itu diibaratkan sebagai
modal. Itu alasan saya yah kenapa saya masuk ke petani…”
Upaya pemecahan problem ekologi selain melalui aspek ideal seperti
dipaparkan diatas, juga membutuhkan aspek material serta upaya praktis yang
dilakukan. Aspek material dapat terlihat dari keberadaan kelompok tani Hejo
Daun Al-Amin. Kelompok tani ini merupakan implementasi dari ajaran fikih
lingkungan (fiqh al bi‟ah) yang bertujuan melaksanakan kegiatan konservasi dan
penghijauan dengan model pesantren konservasi. Melalui kegiatan seperti ini,
komunitas pesantren secara umum terlibat secara langsung dalam kegiatan
pelestarian alam, antara lain melalui bebeapa kegiatan semacam gerakan santri
menanam, rumah bibit pesantren, pelatihan membuat pupuk kompos dan organik
serta kampanye peduli lingkungan. Selain itu, sebenarnya aspek material yang
terlihat adalah pilihan untuk menanam pohon seperti dijelaskan diatas melalui
wadah kelompok tani ini.
“…Kita langsung menanam, salah satunya adalah diwilayah ini yang
pertama yaitu Pakopen, dengan tersendiri dan tidak mempunyai nama Hejo
Daun. Kita kumpulkan beberapa kelompok tani, dan penanaman kedua di
Cicurug yaitu di Tenjolaya, kita juga kumpulkan. Ketika itu kita terpikir
bahwa, kita ini ingin menghijaukan, dan ketika itu langsung tersirat ada
satu kata yaitu Hejo Daun. Kita laporkan langsung ke Ajengan (Abuya).
“Buya bagaimana kalau penanaman kita ini, kita namakan Kelompok Tani
Hejo Daun…Ada beberapa kecamatan, hanya kecamatan Cicurug,
Kecamatan Cidahu, kecamatan Ciambar, kecamatan Parung Kuda, dan
mungkin ini termasuk kecamatan Caringin. Dan dari 6 (enam) kecamatan
ini, kita menyebar, kita alokasikan khusus di kecamatan yang ada di
wilayah Kabupaten Sukabumi. Dan seluruhnya Kabupaten Sukabumi ini
terdiri dari 47 kecamatan dalam Kabupaten dan Kota Sukabumi. Pada
waktu itu kita kasih (berikan) pada setiap kecamatan yang didalamnya kita
salurkan ke Pesantren. Dengan nama, atas nama Pesantren. Karena kita,
selain kita mengadakan penghijauan ini, dan kita mempunyai jalur-jalur
pesantren.…”
Rumusan praktis kemudian dibutuhkan untuk kesinambungan ide dan
materi yang mewujud pada dialog ekologis. Rumusan praktis yang dimaksud
adalah sistem pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Pola yang
diperkenalkan oleh kyai Abdul Basith dengan kelompok tani Hejo Daun adalah
melakukan penanaman pohon dengan menggunakan sistem tumpang sari sehingga
74
petani yang membudidayakan sengon ini bisa juga menikmati hasil lain diluar
pohon sengon yang akan dipanen nanti.
“…Ya kalau ingin panjang umur, kalau ngomong lama pengen pendek
umur yah? Ga terlalu lama dong lima tahun itu, saya menjawabnya seperti
itu saja. Justeru kalau ada sesuatu itu kita mengharapkan pada Allah
supaya panjang umur, makanya dalam hadist diterangkan bahwa nanam itu
kalaupun besok akan kiamat disunahkan menanam pohon hari ini padahal
besok hari kiamat.
Terus yang kedua saya pakai sistem, menanamnya, kalau orang lain itu
nanamnya begini. Seseorang punya tanah 1 hektar. Kemudian dia tanam
2.500 pohon. sesudah tanam, setelah itu dibiarkan, paling disuruh yang
punya kebun ke petani, “hey petani tolong jaga yang penting saya minta
jaga sengonnya kalau mau tumpang sari mah silahkan saja”. Itu justru
merugikan masyarakat.
Saya yang disana yang sewa kalau sewa kan 100 persen oleh kita, kita buat
perjanjian dengan petani bahwa petani yang pertama akan diberi 10 persen
dari panen akhir. Disana itu ada 9 orang petani dari 30.000 pohon, yang
5.000 ada yang 2.000 pohon diurus per orang. Kalau dia ngurus 5.000 saja,
hasil semuanya jadi semuanya dia dapat 500 pohon (10 persen). Itu kita
pakai perjanjian. Apa sebab? jangan sampai kita panen “manehna
ngalamot curuk”, kasian kan. Yang kedua, itu tumpang sari itu hadiah aja,
Tumpang sari 2 juta per hektar, mau nanam apa terserah mereka. Sebab
dalam penanaman sengon itu jaraknya 2 x 2 meter dan diantaranya untuk
tumpang sari. Kita kasih modal dan hasilnya untuk dia, sepertinya rugi
yah? padahal tidak. Kalau kita memberi tumpang sari otomatis di
tengahnya akan dia bersihkan. Contoh, untuk menanam jagung, dia tidak
akan minta ke kita, dia bersihkan, dia pupuk terus nanam jagung, sebulan,
2 bulan, 3 bulan. Kita sudah untung tuh pertama. Apa? Kalo dia mupuk
jagung, maka pupuknya ke sengon yang dipinggirnya, yang kedua kita tidak
perlu membersihkan. Coba kalau satu hektar kita bersihkan, kan kalo per 3
bulan harus dibersihkan kebunnya, itu berapa duit kalau dikali sepuluh
orang sudah berapa coba? Panen jagung. otomatis dia bersihkan lagi terus
modalnya ditanamin lagi untuk kedua kali, dipupuk lagi dibersihkan lagi.
Saya yang paling pokoknya 1 tahun saja 3 kali panen kalo sudah tiga kali
panen kan sudah ke atas pokoknya pohon itu yang rawan itu masih balita
itu kalau sudah setahun udah enak engga diurus juga ga masalah. Jadi 2
juta itu untuk membersihkan hakikatnya apa? Lahan selama 1 tahun
padahal dia ga terasa padahal hakikatnya seperti itulah, oh dia senang
gembira.
Yang kedua, saya gaji per pohon itu 100 rupiah tapi yang hidup bukan
yang mati, misalnya dalam 1 hektar saja ada 2.500 pohon itu kali seratus
250 ribu cuman ngasihnya pertiga bulan sekali, bukan satu bulan sekali.
Pas tiga bulan dia akan dating ke kita bukan kita yang datang ke mereka.
Laporan, cuma ada syarat jangan bohong yah, itu aja sebelum seminggu
kesini hitung dulu dong, akan saya bayar per pohon 100, otomatis ada yang
mati dong misalnya yang hidup Cuma 2.300 contoh kita bayar 230 ribu kali
tiga bulan. Itu sampai berapa lama sampai lima tahun? Kalau dalam
75
pikiran kita itu rugi yah, ko belum apa-apa sudah mengeluarkan uang,
justru kita ngangkat petani yah, dari tumpang sarinya mereka ada
keuntungan pas dari panen sengonnya mereka mendapatkan 10 persen dari
hasil.
Meskipun demikian, sistem seperti ini bukan berarti sistem yang beku dan
tidak bisa dimodifikasi dalam pelaksanaan lapangannya. Kondisi sosio
masyarakat sekitar tentu berbeda sehingga masing-masing kelompok dapat
memformulasikan sistem mereka sendiri dengan tetap berprinsip pada aturan dan
rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Kalau di masyarakat masalah tidak ada. Tapi ketika ditawarkan untuk
menanam, mereka tidak mau. Alasannya, pertama karena jarak tanam
hingga masa panen itu sekitar lima tahun. Mereka kan kebutuhannya
mungkin tiap hari kalau begitu yang bisa dihasilkan tiga bulanan atau
seperti singkong sekitar enam bulan. Ya memang untuk pertama tanam
awal bisa dengan tumpang sari. Saya pertama tanam, tumpang sari dengan
ketimun, kemudian diganti dengan jagung. Tetapi setelah satu tahun tidak
bisa karena sudah tinggi. Kalau bisa, kalau masih kuat bisa dengan cabe
rawit atau papaya. Tapi kalau untuk saya biasanya menanam bunga. Nah,
masyarakat komplainnya disisi itu. Kalau komplain masalah lingkungan
tidak ada, tetapi justru bersyukur karena bisa menyerap tenaga kerja. Tidak
ingin menanam itu karena memang jarak tanam yang relatif lama.
Saya disini pertama setiap penggarap kebagian satu pohon itu Rp50. Jadi
misalkan, dari seratus persen, jadi 45 untuk pihak Al Amin dan Aqua
sebagai penanam modal, kemudian 45 untuk penggarap dan untuk yang
punya lahan. Nah yang 45 ini awalnya itu 15 untuk yang penggarap, 30
untuk yang punya lahan. Kemudian penggarap tidak mau kalau seperti itu.
Kenapa 30 karena, 10nya lagi sebenarnya untuk majelis, untuk lingkungan.
Akhirnya, disamakan dengan yang punya lahan dengan konsep fifty-fifty,
karena memang yang cape itu yang menggarap. Tetapi, saya minta untuk
yang Rp50 itu untuk saya, untuk kesana-kemari. Itu yang saya gunakan
disini. Jadi berbeda dengan yang lain. Bagaimana kalau seperti itu? Ok,
mereka setuju. Jadi mereka mengambil dari bagian tersebut. karena saya
jujur tidak mengambil keuntungan, dari sana sekian ya sekian. Kalau dari
sana A, ya kebawah terus A. Cuma saya ambil yang Rp50 perbulan, itu
saya mohon ridhonya karena posisi anda sudah saya rubah dari 15 menjadi
misalkan 50. Ngambilnya dari yang punya tanah, hasil dari kesepakatan.
Ya memang, menurut mereka untuk awal itu hanya Rp50. Tapi kalau kita itu
kan tiga tahun. Ya wajarlah kalau menurut saya karena mereka tidak tahu
apa-apa, tahu terima jadi. Sementara kalau ada complain itu selalu ke
saya. Minimalkan setiap bulan saya keliling kebun mereka untuk control.
76
Pola pemberdayaan semacam ini, yang bertujuan untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat (petani) seperti cita-cita kyai sedikit banyaknya telah
memperlihatkan hasil seperti pernyataan berikut:
“…Alhamdulillah saya merawat dari mulai awal. Pertama saya merawat,
tahun 2008 bulan 5 (lima atau Mei – red), sampai sekarang tahun 2009,
bulan 11 (November). Alhamdulillah, sudah menikmati. Secara saya
didukung oleh Abuya, istilahnya dengan petani, dengan rekan-rekan saya
ada 9 (Sembilan) orang disini. Tumbuhnya, Alhamdulillah, hampir 90
persen kalau diwilayah ini karena cocok dengan lahan. Kalau lahan
istilahnya, dari selain semacam wilayah ini, memang saya lihat, kuranglah
istilahnya, kurang bagus. Kalau yang sudah kita laksanakan disini, hampir
70 persen, sampai kita hampir berhasillah istilahnya sekarang…”
Kemudian dalam perjalanannya, kelompok tani Hejo Daun ini memperluas
cakupan gerakannya hingga ke masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS). Taman nasional ini berasal dari kawasan Cagar Alam
Gunung Halimun yang awalnya seluas 40.000 ha. Sejak tahun 1953 kawasan ini
pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan SK
Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992. Kemudian,
dalam perjalanannya, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003,
yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan
lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan
penambahan luas kawasan menjadi 113.357 ha4.
Perluasan kawasan taman nasional ini memiliki dampak yang cukup
signifikan bagi masyarakat disekitarnya. Terutama menyangkut akses untuk
mengelola lahan yang dahulu masih dapat digunakan, kemudian menjadi tertutup
karena penetapan tersebut.
Pesantren Al Amin kemudian mencoba memperluas ide pemberdayaan
masyarakat yang dilakukannya dengan berupaya mendorong terbukanya akses
masyarakat untuk mengelola sebagian wilayah yang termasuk dalam cakupan
wilayah taman nasional. Pesantren Al Amin kemudian bekerjasama dengan PT.
Danone (Aqua Golden Misissipi) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS) untuk menggunakan sebagian areal taman nasional untuk digunakan
4 www.tnhalimun.go.id
77
sebagai areal budidaya bagi masyarakat sekitar tanam nasional yang tergabung
dalam kelompok tani Hejo Daun tersebut. Potret program yang dilakukan seperti
pernyataan salah satu informan dari Aqua sebagai berikut:
“…Kalau ini harus dilihat dalam konteks program jangka panjang.
Program ini adalah program gunung salak lestari, jadi ini dibawah payung
Aqua Lestari, yang tujuannya adalah melestarikan lingkungan dan
memberdayakan masyarakat. Jadi acara ini, dalam konteks program ini
adalah penanaman kedua pada tahun ini (2009). Penanaman pertama
bulan Februari, menanam 37.000 pohon, dan acara ini, kita dalam minggu
yang lalu (kemaren) dan minggu depan, kita akan menanam 70.000 pohon.
40.000 pohon sengon diwilayah hutan produksi yang diluar kawasan
Taman Nasional, terus 30.000 pohon puspa di lokasi ini, areal Al-Amin
bersama mitra-mitranya. Jadi kita punya target bersama-sama setiap
tahunnya menanam 100.000 pohon. Jadi mitranya gabungan antara Taman
Nasional, Pesantren Al-Amin, Aqua dan kelompok-kelompok masyarakat,
termasuk semua karyawan Aqua yang bersemangat menanam-nanam…”
Pada tataran praksis program tersebut, berbagai problematika kemudian
muncul. Perbedaan pandangan, terutama menyangkut insentif kemudian menjadi
problem yang mewarnai dinamika gerakan ini. Para petani yang berada di sekitar
taman nasional dan terlibat dalam gerakan terkadang mengeluhkan persoalan
insentif ini sehingga implementasi menjadi banyak terhambat. Kondisi seperti ini
memunculkan pertanyaan, terutama menyangkut keberlanjutan upaya
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pesantren Al Amin. Sebagai misal
pernyataan salah satu informan yang terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai
berikut:
“…Saya pernah juga ke Taman Nasional. Coba dong, tolong kerjasamanya.
Saya bilang, apakah memang kalau Aqua kemudian menanam, tanaman
tersebut dapat tumbuh begitu saja tanpa di urus? Tanpa dipelihara?
Cobalah ikut andil dalam pemeliharaannya meskipun disitu ada
masyarakat yang juga tumpang sari. Kan terbatas masyarakat yang mau
ikut ke gunung. Karena menyangkut biaya. Dari bawah itu ke gunung,
setiap hari sekitar Rp10.000. Kalau jalan kaki, cape dulu sebelum kerja.
Jadi bukan kita meminta gaji setiap bulan, tapi semacam kompensasilah.
Sampai sekarang belum ada tanggapan [Aqua]. Jadi kalau masyarakat
yang tumpang sari, kan itu yang datar/landai saja. Tapi yang kami tanami
itu kan yang miring-miring atau di gunung. Itu kan dibiarkan. Makanya,
rumput dengan kayu, lebih cepat rumput [tumbuhnya]. Saya juga sudah
laporkan ke Al-Amin supaya diajukan ke Aqua. Tapi sampai sekarang
belum ada realisasinya. Anggaran untuk yang program kedua saja seperti
ini, tersendat-sendat… Bahkan sebenarnya ini sudah saya ajukan. Ini
jangan hanya sebatas menanam. Ini kan pernah ditanam untuk yang 260
78
Ha, cuma karena tidak pernah dipelihara, ya habis. Jadi dari Desember,
Januari, Februari dan Maret belum ada realisasi. Padahal ini sudah empat
bulan dan harus dibersihkan kembali...”
Berdasarkan paparan diatas, kyai/ajengan melalui gerakan ini terlihat
memanfaatkan dua hal yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan
sosial kyai yang berciri tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya
hubungan antara kyai dan murid maupun anggota kelompok tani seperti hubungan
pertalian darah memiliki peran strategis sehingga konstruksi ide dan pemaknaan
yang dibangun oleh kyai relatif mudah di implementasikan karena faktor ketaatan
tersebut. Salah satu contohnya adalah tafsir yang dikembangkan oleh kyai,
bergerak searah dalam hal interpretasi oleh murid maupun petani lain yang terlibat
dalam gerakan. Selain itu, proporsi bagi hasil yang disepakati baik oleh pemilik
lahan, pesantren yang direpresentasikan oleh kyai, penggarap lahan, serta
kewajiban untuk mengeluarkan sedekah merupakan inisiasi dari kyai dan secara
utuh dijalankan oleh kelompok tani maupun beberapa individu yang terlibat di
pesantren meskipun pada beberapa kasus mengalami modifikasi dalam hal
proporsi, tetapi sistem dan aturan main tetap menggunakan konstruksi yang
diusulkan oleh kyai.
6.1.2. Harim Zone dan Gerakan Santri Pecinta Alam
Harim merupakan salah satu konsepsi konservasi alam yang dikenal dalam
sejarah Islam. Al-Harim merupakan zona terlarang, jadi merupakan ketetapan
Islam dalam membatasi melarang pembangunan atau membatasi bangunan
rekayasa manusia yang menggangu sumber-sumber alam. Menurut hukum Islam,
hari merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan
sumber-sumber air seperti halnya sumur, danau, sumber mata air, sungai, aliran
air. Zona harim juga berlaku untuk kemaslahatan yang lain, misalnya jalan,
perempatan, dan fasilitas publik yang lain yang diperuntukkan guna mencegah
kerusakan terhadap fasilitas tersebut dan melindungi kawasan tersebut dari
bahaya. Islam menetapkan zonasi dalam harim antara lain (a) kawasan terlarang
untuk sebuah sungai adalah meliputi ukuran setengah dari lebar sungai pada
kedua tepinya; (b) kawasan terlarang untuk sebatang pohon meliputi jarak dua
79
setengah hingga tiga meter di sekeliling pohon tersebut; (c) untuk sumur
ditetapkan kawasan zona larangan sekurang-kurangnya sejauh 20 meter keliling;
(d) kawasan terlarang untuk mata air didasarkan pada keadaan air dengan
memberikan pertimbangan yang memadai tentang saluran, ukuran kolam yang
akan dibuat, tempat yang dibutuhkan bagi orang dan binatang untuk bergerak di
sekitarnya dan tipe tanah di mana air itu mengalir (Mangunjaya dan Abbas, 2009).
Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren yang menerapkan
konsep Harim Zone dan merupakan yang pertama kalinya di Indonesia. Pondok
Pesantren Modern Daarul Ulum Lido menjadi pilot project pertama, hasil
kerjasama antara Pesantren dengan Conservation International Indonesia,
Yayasan Owa Jawa dan Rutford. Lahan seluas 1,5 hektar sepanjang bantaran kali
Cilengsir dijadikan kawasan Harim Zone dan telah ditanami berbagai jenis pohon
seperti Mangga, Durian, Jambu dan Rambutan. Para santri memanfaatkan
kawasan Harim Zone sebagai laboratorium alam sehingga mereka bisa belajar
secara langsung di alam terbuka. Para santri juga diajak untuk terlibat secara aktif
untuk menjaga alam dan lingkungan, diantaranya dengan membersihkan sampah
di sungai dan menanam pohon. Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren
yang memiliki topografi yang berbukit-bukit dan cukup rindang dengan berbagai
pepohonan. Pondok Pesantren ini diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Gede
Pangrango dan Gunung Salak.
Gerakan ekologi yang berlangsung di Pesantren Daarul Ulum Lido
memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi
aktor dari luar Pesantren yang memperkenalkan gerakan ekologi. Bentuk gerakan
ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam (internal). Pesantren yang
memiliki luas sekitar 8 hektar ini memanfaatkan sebagian lahannya untuk
didiamkan dan menjadikan lahan tersebut sebagai lahan pembelajaran santri.
Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone, atau zona
haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang tidak
boleh dimanfaatkan untuk pembangunan, tetapi menjadi tempat hidup vegetasi
dan menjadi paru-paru pesantren. Lahan atau zona ini juga menjadi areal
pembelajaran santri dan miniatur alam dalam lingkungan pesantren. Zona ini
80
berada dalam kompleks pesantren dan menjadi satu-satunya wilayah yang tidak
boleh digunakan kecuali untuk aktivitas pendidikan yang berkaitan dengan alam.
Harim zone ini mendapat dorongan dan pengembangan dari aktor dan
organisasi lain seperti Conservation International Indonesia (CI) yang secara
khusus memang mendorong upaya konservasi alam serta beberapa jejaring
pesantren modern lainnya.
Persinggungan pesantren Daarul Ulum Lido dengan kegiatan konservasi
sebenarnya telah terjadi pada tahun 2005. Saat itu, pesantren ini menjadi salah
satu mitra kegiatan Conservation International Indonesia dalam suatu proyek the
World Bank – Faith and Environment Initiative Agreement No 7133121.
Kerjasama ini memberikan fondasi gerakan awal dan perkenalan pesantren
dengan konstruksi gerakan lingkungan seperti konservasi. Proyek ini memberikan
bantuan kepada pesantren untuk melakukan aktivitas lapangan yang berkaitan
dengan hutan serta konservasi keanekaragaman hayati. Saat itu, pesantren Daarul
Ulum Lido, bersama dengan lima pesantren lainnya yang tersebar dari Bogor,
Sukabumi dan Cianjur yaitu pesanten Al Furqaniyah, pesantren Riyadhutholibin,
pesantren Al Basyariah, pesantren Attanwiriyah dan Pesantren Gelar memperoleh
bantuan berupa pohon yang ditanam disekitar wilayah pesantren.
Tabel 6.1. Distribusi Bantuan CI dan Peserta Program
Pesantren Peserta Program Jumlah Bantuan Pohon
PP. Daarul Ulum Lido 754 orang 400 pohon
PP. Al Furqaniyah 150 orang 425 pohon
PP. Riyadhutholibin 100 orang 550 pohon
PP. Al Basyariah 572 orang 500 pohon
PP. Attanwiriyah 650 orang 500 pohon
PP. Gelar 350 orang 450 pohon
Sumber: Final Report Islamic Boarding Schools and Conservation, 2005
Keterlibatan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga diluar pesantren
membuka jalan untuk mengimplementasikan ide konservasi yang selama ini
mengendap. Kondisi ini diuntungkan oleh geografi serta akses yang berdekatan
81
dengan salah satu home base lembaga tersebut. Ini seperti yang diungkapkan oleh
informan sebagai berikut:
“…Jadi kalau di flash back, Almarhum KH. Ahmad Dimyati, setelah
melihat beberapa tempat, beliau memilih daerah disini. Kenapa, karena
alasan pertama adalah yang paling beliau perhatikan adalah air.
Ketemulah di daerah disni. Jadi beginilah kontur pesantren kita yang naik
turun. Selain itu, kita juga memang dekat dengan PPK (Pusat Pendidikan
Alam Konservasi) Bodogol. Terus kita juga sering kerjasama dengan
Conservation International , pak Fachruddin khususnya. Jadi kalau ada
pelatihan-pelatihan di Bodogol, kita ikut kesana. Vice presidentnya mereka
juga pernah kesini. Pak Jatna Supriatna juga pernah kesini. Jadi, beliau
tertarik.
Sebelum adanya konferensi internasional eco-pesantren itu, gerakan kita
sudah lebih awal. Kenapa, karena memang kerjasama kita erat dengan CI
walaupun tidak dalam bentuk MoU ataupun kerjasama paten, kita
jugadekat dengan pelesetarian lingkungan. Akhrinya, sebenarnya ada
beberapa pesantren yang dipertimbangkan untuk kegiatan harim zone,
tetapi karena kita lebh memiliki lahan yang memang pasdan memiliki
daerah yang cocok untuk harim zone, maka dipilihlah daerah tersebut.
Karena memang dibawah, pembangunan tidak terlalu cepat dan dipilihlah
tempat yang memang tidak terpakai untuk lahan konservasi. Untuk 10 tahun
kedepan masih memungkinkan program tersebut.
Pada tahun 2005 kita mendapatkan sumbangan sebanyak 1000 pohon,
waktu itu saya masih santri. Pohonnya itu pohon produksi buah, kayu dan
lain sebagainya, kita tanam disekitar pondok peantren kita untuk
penghijauan. Juga untuk penghijauan atau reforestasi di sekitar taman
nasional gede pangrango juga. Untuk sekitaran ini, jati yang kita tanam,
kita konsentrasikan di satu tempat. Sebenarnya untuk proyek harim zone ini
disemua (area pesantren), tetapi yang dibawah itu seperti show room…”
Meskipun gerakan awal yang dilakukan masih sebatas program, tetapi
pengembangan model gerakan tersebut terus dilakukan hingga saat ini, pesantren
tersebut telah memiliki dan mengimplementasikan konsepsi harim zone. Konsepsi
yang digali dari khazanah sejarah Islam tentang konservasi ini (Mangunjaya dan
Abbas, 2009) dilakukan melalui pelaksanaan workshop pada Mei, 2009.
Workshop tersebut dilakukan untuk mengintroduksi dan mengindusir pengetahuan
serta memperdalam pemahaman tentang koservasi, sekaligus
mengimplementasikan harim zone di pesantren Daarul Ulum Lido tersebut.
Meskipun demikian, sebenarnya, selain konsepsi harim zone diatas, terdapat juga
82
konsepsi hima yang belum dapat diimplementasikan dilapangan karena berbagai
faktor5.
Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa proses kesadaran yang terbangun dalam
gerakan ekologi di pesantren ini sebenarnya merupakan suatu induksi
pengetahuan, khususnya tentang konservasi yang berasal dari pengetahuan yang
dimiliki oleh aktor diluar pesantren yaitu Conservation International Indonesia
sebagai lembaga maupun Fachruddin M Mangunjaya sebagai personal. Proses
induksi pengetahuan ini seperti dipahami aktor didalam pesantren sebagai
konstruksi realitas di pesantren yang dikawinkan dengan ide dan konsepsi yang
dimiliki aktor diluar pesantren.
“…Kalau saya melihat, harim zone ini kan memang konsep modifikasi dari
kenyataan yang ada di pesantren dengan keinginan orang-orang
lingkungan hidup. Jadi di sisi lain pesantren punya lokasi, kemudian punya
visi kedepan mengenai lingkungan hidup. Tiba-tiba ada aktivis lingkungan
masuk dan melihat lokasi tersebut. Oleh karenanya, digodoklah, maka
dijadikanlah ini sebuah percontohan untuk Indonesia,yang pertama...”
Secara tegas, proses induksi pengetahuan yang dilakukan oleh aktor luar
pesantren juga dirasakan dan memiliki implikasi yang besar seperti tergambar
oleh pernyataan informan berikut ini:
“…Dorongan untuk terlibat di isu lingkungan itu, pertama pada tahun
2005, saya ikut pendidikan dasar interpretasi alam dan konservasi alam di
PPKA Bodogol yang di fasilitasi oleh CI. Disitu saya kenal dengan Pak
Fachruddin. Kemudian saya juga secara berkala, tiap bulan saya mendapat
tropika (majalah yang terbitkan oleh CI), lalu ada juga kawan dari LSM
dan saya juga mendirikan kelompok pencinta alam lainnya diluar. Selain
itu background saya yang banyak terlibat di pramuka…”
Harim zone yang dilakukan dan dikembangkan, juga dinilai sebagai salah
satu tanda kebangkitan model konservasi syariah yang dirasa dapat menjadi solusi
mutakhir dari problematika yang dihadapi oleh dunia belakangan ini. Ini juga
menjawab kritik yang digulirkan oleh White dan pemikir lainnya, yang merasa
bahwa konstruksi teologi agama banyak memberikan andil pada kerusakan
5
Informasi secara komprehensif tertuang dalam Final Report the Rufford Small Grants
Foundation yang merupakan proyek yang dikerjakan oleh Fachruddin M Mangunjaya dengan
judul kegiatan Introducing the Islamic Hima and Harim System for New Approach to Nature
Conservation in Indonesia. Proyek ini dilaksanakan sejak Juni 2008 hingga Juni 2009.
83
lingkungan. Padahal, agama jika dilihat secara positif justru memberikan
argumentasi konsepsional untuk menyelamatkan lingkungan.
Indonesian Islamic School Revives Shariah Conservation Model
An Islamic Boarding school near Bogor, Java is pioneering the
establishment of the harim model of river conservation in Indonesia. The
chairman of the Pondok pesantren Modern Daarul Ulum, Ustadz Dr. H.
Ahmad Yani explains, “This pilot program is a practical arena for studnets
to get close to nature and start caring about the environment.” Enabling
students to respect and safeguard water resources in accordance with
Islamic teachings is an innovative and practical way of raising
environmental awareness in Indonesia.
In today‟s climate of uncontrolled extraction and destruction of the Earth‟s
resources, preserving the environment is a priority that requires creative
solutions, including the revival of traditional way of conserving our natural
surroundings. In order to preserve its surrounddings, the Daarul Ulum is
utilising the wisdom of Islamic traditions which provide a method for
environmental management. This particular project addresses the stresses
put on rivers and water systems by human habitations and uses the harim
systems that lays down a code of behavior for those living in or near
threatened habitats. For example, creating a harim zone in a river system
requires that hal of the width of the river on each side of the river bank is
designated as a pristine area where all human activity is prohibited. This
untouched zone of natural habitat acts as a buffer, thus preventing the soil
eroding into the river...“ (Eco Islam/www.ifees.org.uk)
Meskipun demikian, keberadaan harim zone ini tidak terlepas dari kritik,
terutama dari internal pesantren tersebut. Kritik terbesar pada terletak pada
konsistensi dan kontinuitas pelaksanaan program yang dinilai hanya pada wilayah
seremonial belaka. Tampaknya, ketergantungan yang cukup tinggi terhadap
organisasi diluar pesantren ini menjadi salah satu batu sandungan pemahaman
yang komprehensif. Selain itu, konstruksi dasar pesantren yang tidak memiliki
kyai sebagai simbol dan pemimpin pesantren menjadi proses regeneratif ide
kepada aktor lain menjadi tersendat dan bahkan terkadang berseberangan. Ini
tergambar dari pernyataan salah satu aktor berikut ini:
“…Sebenarnya konsep yang diajukan CI sudah cukup matang buat kita,
cuma terkadang CI melakukan supervisi yang terkadang kendor, tidak tahu
kenapa. Kita juga merasa bahwa diserahkan kita terima, di tanam secara
simbolis. Jadi hanya berjalan seperti itu yang sudah-sudah. Kalaupun ada
konsep-konsep penghijauan hanya berjalan secara seremonial dan tidak
implementatif dan tidak kontinu. Tapi Ahlamdulillah sudah banyak. Sebab
saya juga tidak mengerti, pelestarian alam dari sisi yang mana karena kita
tidak ada penyuluhan dari orang-orang yang expert di bidang itu. Kita
84
hanya mengenal bahwa pelestarian alam dan sebagainya berjalan sepert
iyang kita pahami saja, tidak secara konseptual, menyeluruh kita pahami.
Kalau yang kita gerakkan sehari-hari adalah menuju Darul Ulum bersih
dan sehat, itupun tidak maksimal karena kita secara jujur butuh orang-
orang yang punya kepedulian kepada lingkungan. Tidak hanya reforestasi,
reboisasi dan sebagainya atau hanya sekedar tanam pohon. Kita ingin lebih
detail, lebih fokus bahwa orang-orang ini bisa fokus bagaimana melakukan
penyuluhan kepada santri untuk sadar akan kebersihan dan kesehatan
lingkungan. Sanitasi intinya. Dan ini yang minim…”.
Selain konsepsi dan implementasi harim zone sebagai manifestasi nilai
teologi di pesantren ini, santri yang juga merupakan aktor utama berusaha
mengaktualisasikan ide dan gagasannya melalui organisasi tersendiri. Organisasi
ini juga mengalami persentuhan ide dengan CI-Indonesia dengan berbagai
keterlibatan dalam kegiatan yang dilakukan oleh CI tersebut.
Adanya ruang ini memunculkan peluang bagi santri untuk membentuk
kelompok pecinta alam yang dinamakan IKAPALA – Ikatan Santri Pencinta
Alam Salsabilla – yang memiliki tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut
terlibat dalam gerakan mencintai lingkungan sekitar, terutama alam. Yang
menarik adalah, kelompok ini tidaklah merupakan inisiasi top-down. Organisasi
ini pada awalnya merupakan organisasi yang tidak diperbolehkan oleh pesantren,
tetapi karena memiliki implikasi positif, maka pesantren kemudian membolehkan
aktivitas organisasi ini. Organisasi ini yang kemudian menjadi motor gerakan
yang melibatkan beberapa santri yang peduli terhadap isu konservasi dan
lingkungan.
“…Terutama pendorong utamanya adalah IKAPALA (Ikatan Pecinta Alam
Salsabila), mereka itu yang punya interest tinggi untuk lingkungan. Dahulu
peresmiannya adalah Direktur CI untuk Indonesia dan Filipina…”
Potret keterlibatan CI dalam proses pembentukan, penyadaran dan
menggerakkan santri dalam Ikapala ini secara simbolik terlihat dalam berita
berikut ini:
Menanam Pohon dan Mencintai Alam
PP daarul Ulum mewajibkan siswa tingkat akhir menanam pohon
Vice President (VP) Conservation International untuk Indonesia dan
Phillipines, Dr. David Hess didampingi oleh Regional VP CI Indonesia, Dr.
Jatna Supriatna dan Kepala Litbang Kehutanan Ir. Wahjudi Wardojo, Msc
serta Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Dr. Noviar Andayani
85
berkesempatan mengunjungi Pondok Modern Darul Ulum (DU) Lido, Sabtu
(18/11). Dalam kunjungan tersebut, Dr. Hess diberikan penghormatan
untuk memberikan sambutan dan penanam pohon di lokasi halaman
pesantren dan melantik Ikatan Pencinta Alam Salsabila (IKAPALA) klub
pencinta alam santri Darul Ulum. “Kami dari Conservation International
sangat senang melihat kegiatan lingkungan yang ada di pesantren. Terlebih
karena anda adalah generasi penerus yang harus mulai sadar akan
lingkungan dan mencintai alam Indonesia,” kata Hess.
Pesantren Darul Ulum Lido merupakan salah satu mitra CI Indonesia
dalam kegiatan konservasi dan pondok pesantren yang dibiayai oleh The
World Bank. Beberapa waktu yang lalu pesantren yang mempunyai jumlah
santri 920 orang ini telah terlibat aktif dalam membantu proyek
agroforestri dengan mendapatkan hibah 500 pohon tanaman buah-buahan,
pupuk dan pohon tanaman keras terkait dengan upaya memperkaya
keanekaragaman hayati di sekitar kawasan TN Gunung Gede Pangrango.
Selanjutnya, pihak pesantren memulai membuat program „wajib menanam
pohon‟ untuk para siswa kelas tiga (di tingkat akhir) dan mendorong para
siswa supaya memiliki dan memelihara satu pohon selama berada dalam
pembelajaran di Darul Ulum. “Kami sangat berterima kasih dengan
adanya dorongan dari CI dalam memberikan semangat kepada para siswa
untuk mencintai alam sebagai ciptaan Allah dan memelihara kebersihan
lingkungan,” kata Ust Drs. Ahmad Yani, Direktur PM. Darul Ulum.
Dalam sambutannya Ir. Wahjudi Wardojo, Msc juga memberikan appalus
gembira atas inisiatif PM Darul Ulum, dan mengatakan bahwa upaya PM
Darul Ulum adalah sejalan dengan pemerintah khususnya Departemen
Kehutanan yang telah mencanangkan program Indonesia Menanam dengan
slogan: Kecil Menanam Dewasa Memanen”. /fm (Tropika Vol. 10 – 2006)
Santri yang terlibat dalam organisasi ini memiliki motivasi yang berbeda-
beda dari mulai hanya ingin terlibat dalam kegiatan alam saja hingga dorongan
dan kesadaran yang inheren yang dirasakan oleh mereka. Tetapi sebenarnya,
kesamaan pandangan dan saling mengikat diri dalam suatu aksi bersama secara
rutin kemudian menyadarkan mereka untuk berusaha mengejar keuntungan secara
paralel, baik keuntungan individual maupun keuntungan bagi lingkungan.
Konsepsi semacam ini senada dengan konstruksi gerakan ekologi oleh Rootes.
“Sejak kelas 2 (MTs), saya sudah masuk kegiatan IKAPALA. Kita sering
menanam pohon karena kita punya lahan dibawah (harim zone)...
sebenarnya, kita banyak punya planning kedepan. Kita ingin IKAPALA itu
memiliki lahan sendiri dan menanam pohon buah-buahan misalkan,
sehingga kita bisa mengirimkan ke dapur. Jadi kita tidak selamanya beli di
pasar karena sebenarnya bisa dihasilkan sendiri. Dari tahun ke tahun kita
lakukan meskipun hasilnya belum bisa dinikmati, jadi hanya dinikmati
sendiri saja...”
86
Organisasi semacam ini merupakan instrumen yang mampu mengikat
karena didasari oleh kesamaan ide dan pandangan, meskipun tetap diperlukan
kesadaran individual untuk terus menggerakkan ide tersebut.
“IKAPALA sebenarnya hanya pengikat, hanya ikatan untuk seorang
kelompok pemuda yang cinta akan kebersihan dan lingkungan. Tetapi
semua itu harus disadari oleh kita sendiri. Tanpa IKAPALA sebenarnya
bersih itu harus datang dari kita. Jadi sebenarnya IKAPALA hanya sekedar
ikatan bagi mereka yang cinta kebersihan dan lingkungan. Dan kita akan
mencontohkan kepada adik-adik kelas kita bahwa ini loh IKAPALA. Selain
itu kita akan merekrut terus anggota baru hingga bisa menularkan ide
mencintai lingkungan...“
Penuturan informan lain tentang IKAPALA,
“...IKAPALA itu adalah sebuah contoh untuk gerakan yang lain. Alam itu
punya kita, semua manusia yang punya alam. Kita yang akan
menggerakkan hal tersebut karena alam itu ingin hidup dan sama seperti
manusia juga ingin hidup [maka harus dijaga]...“
Selain kedua gerakan diatas, pesantren juga berupaya menerapkan materi-
materi yang berkaitan dengan lingkungan (bi‟ah) dan beberapa aspek di dalamnya
serta bagaimana berperilaku yang benar dengan alam pada semua materi
pelajaran, baik negeri (al-mawâd al-hukûmiyah) maupun pesantren (al-mawâd al-
ahliyah). Upaya memasukkan tema lingkungan dalam proses belajar mengajar
merupakan pilihan yang menjadi perdebatan didalam pesantren karena sebagian
masih mempertanyakan urgensinya. Meskipun demikian, pada beberapa hal, tema
lingkungan telah menjadi mata pelajaran wajib. Pesantren kemudian hanya
mencari justifikasi teologis guna mendukung materi pelajaran tersebut sehingga
berwarna keagamaan.
“…Kalau pelajaran lingkungan, di SMP sudah wajib, karena sudah ada
pelajaran PLH. Kalau untuk yang lain seperti Tafsir misalnya, kita mencari
ayat-ayat yang bercerita tentang lingkungan, dipelajari ke anak-anak.
Ketepatan kita sudah punya itu, dan ketepatan pemerintah mewajibkan. Ya
sudah di masukkan sekalian. Kita jadikan pelajaran untuk anak-anak. Dan
sekarang itu jadi Mulok (Muatan Lokal) untuk Jawa Barat dan sebelum-
sebelumnya tidak ada karena sebelumnya, muatan lokal hanya Bahasa
Sunda. Oleh karena itu sekarang ada PLH…”
87
Secara lebih jelas, beberapa mata pelajaran yang diformulasikan untuk
diberikan perluasan materi dan mencakup substansi lingkungan seperti terlihat
pada tabel 6.2,
Tabel 6.2. Pengembangan Pokok Bahasan Yang Bertemakan Lingkungan
NO BIDANG
STUDI
POKOK
BAHASAN/TEMA
SUMBER
RUJUKAN UTAMA
1 Tafsir - Tauhid (Aqidah)
- Sains (ilmu modern)
- Akhlaq
- Lingkungan alam (bi’ah)
Kitab-kitab Tafsir:
- Ibn Katsir
- Shafwah al-Tafasir
- Tafsir Ayat Ahkam
2 Hadits - Muamalah
- Thaharah
- Jinayat
- Lingkungan (hima &
harim)
- Sains
Kitab-kitab Hadits:
- Bulughul Maram
- Al-Lu’lu’ wa Al-
Marjan
- Shahih Bukhari &
Muslim
- Al-Muwaththa’
3 Insya’
(Composition) - Perkenalan
- Urgensi Bahasa Arab
- Indahnya Pemandangan
Alam (al-manazhir)
- Pemakaian لـ, على, من ,
- Al-Qira’ah al-Rasyidah
- An-Nushush al-
Adabiyah
- Buku modul intern
4 Biologi - Biotik dan a-Biotik
- Konservasi & Reboisasi
- Lingkaran Kehidupan
- Fungsi Hutan Lindung
- Buku-buku standar
sesuai KTSP yang
ditetapkan oleh
Depdiknas & Depag
5 Geografi - Alam Indonesia
- Perpindahan (Migrasi)
- Hutan dan Laut
- Buku-buku standar
sesuai KTSP yang
ditetapkan oleh
Depdiknas & Depag
Selain itu, beberapa program juga dilakukan oleh pesantren seperti
mewajibkan kepada santri kelas akhir (kelas enam) untuk menanam pohon dan
menjadi dasar penilaian pada akhir semester nantinya. Pada tahun 2009 dan 2010,
dalam setiap perayaan kelulusan murid (haflatul ikhtitam), setiap santri kelas
akhir yang telah menyelesaikan proses pembelajaran di pesantren, kemudian
diwajibkan menanam pohon sebagai sumbangsih mereka untuk masa depan.
Pergumulan pesantren dengan isu ekologi hingga saat ini terus berlanjut dan
mengalami perkembangan yang signifikan. Baru-baru ini Conservation
88
International juga mengadakan program dengan pesantren. Ini semakin
memperteguh bahwa, induksi pengetahuan dari aktor luar pesantren, setidaknya
memberikan implikasi positif dengan semakin meningkatnya kesadaran aktor
pesantren terhadap problematika ekologi. Berikut ungkapan Fachruddin
Mangunjaya:
"...Saya tidak sekali ke pesantren ini, tapi telah beberapa kali, dan PP
Daarul Ulum, karena sudah tercatat menjadi mitra organisasi kami
Conservation International, dalam upaya menyadarkan lingkungan melalui
agama (Islam) sejak tahun 2003. Perlahan, saya melihat perubahan
penataan kampus dan visi pimpinannya yang demikian maju tentang
lingkungan, setelah mereka bergaul dengan banyak partner yang terkait
lingkungan. Di kawasan pesantren ini, sekarang telah ada harim zone, yang
merupakan contoh integrasi perawatan bantaran sungai dan upaya
melestarikan keanekaragaman hayati6...“
Kesemua program yang dibangun, baik oleh santri maupun pesantren secara
umum merupakan gerakan ekologi yang berciri kedalam. Artinya, gerakan yang
dilakukan secara umum merupakan gerakan yang diciptakan untuk menumbuhkan
kesadaran ekologis di dalam lingkungan pesantren baik itu oleh kyai, ustadz
maupun guru serta santri. Gerakan yang dilakukan juga merupakan gerakan yang
senada dengan idealita dan visi utama dari aktor luar yang banyak mengintrodusir
pemahaman ekologi kepada pesantren ini.
Oleh karena itu, terbangunnya gerakan harim zone dan gerakan lainnya
yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini dapat dilihat karena beberapa
faktor. Pertama, faktor geografis yang merupakan faktor pra-kondisi, yang
banyak memberikan keuntungan dan kelebihan dalam mengimplementasikan
konsepsi program yang telah direncanakan. Kedua, faktor organisasi dan
kelembagaan pesantren yang terlihat juga berpengaruh karena keleluasaan sistem
pesantren yang tidak terpaku pada otoritas tunggal pimpinannya (kyai) dan
memiliki sistem yang relatif lebih terbuka. Ketiga, faktor pemimpin pesantren
(kyai) yang mampu menggulirkan ide yang terbangun dari hasil dialektika dengan
aktor diluar pesantren kepada struktur sosial yang ada di pesantren.
6 Fachruddin Mangunjaya menjadi aktor utama yang berperan dalam memperkenalkan ide ekologi
dan Islam serta banyak memngintrodusir pengetahuan tentang lingkungan hidup di pesantren
Daarul Ulum Lido. Beberapa potret kegiatannya dapat dilihat di website http://nature-of-
indonesia.blogspot.com atau http://agamadanekologi.blogspot.com
89
Berangkat dari potret teologi ekologi yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya serta karakteristik pesantren. Hal itu semua kemudian
termanifestasikan dengan dua pola. Pola manifestasi yang pertama adalah pola
manifestasi yang terbangun karena adanya refleksi individual kyai sementara yang
kedua adalah karena adanya induksi pengetahuan aktor luar pesantren.
Tabel 6.3. Pola Manifestasi Gerakan Ekologi di Pesantren
Pesantren Tipe Pesantren Bentuk Gerakan Pola Manifestasi
Al Amin Salafi Penanaman Pohon
(Pemberdayaan
Masyarakat)
Refleksi Individual
Kyai
Daarul Ulum
Lido
Modern Harim Zone dan
Santri Pencinta Alam
Induksi
Pengetahuan Aktor
Luar Sumber: Sintesa Data lapangan
Manifestasi gerakan ekologi di kedua pesantren ini memperlihatkan suatu
potret tindakan sosial yang oleh Weber digolongkan pada empat tipe yaitu
tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan rasional nilai dan tindakan rasional
instrumental. Potret gerakan yang terjadi di kedua pesantren ini secara umum
memperlihatkan gejala suatu tindakan rasional nilai. Tindakan ini merupakan
penjabaran dari orientasi tindakan rasional yang secara langsung menempatkan
orientasinya pada suatu tata nilai. Aktor kemudian menempatkan tindakan mereka
sebagai suatu tugas, kehormatan, tugas keagamaan atau yang lainnya (Morrison,
1995).
Tindakan aktor dalam pesantren baik dalam konteks penanaman pohon
maupun implementasi harim zone merupakan bentuk tindakan rasional nilai.
Aktor yang terlibat dalam kedua gerakan ini mendasarkan motif keterlibatan
mereka pada konstruksi nilai Islam yang melatari ide dan praksis gerakan mereka.
Munculnya ide penanaman pohon yang lahir dari refleksi Ajengan Basith serta
pergumulan dan dialektika antara CI dengan Ust. Yani secara umum dilatari oleh
pemahaman dan penafsiran mereka atas teks-teks keagamaan seperti kedudukan
manusia sebagai Khalifah serta fungsi dan tanggungjawabnya dalam menjaga
alam memperlihatkan bahwa tindakan tersebut memiliki orientasi pada nilai
keIslaman. Oleh karena itu, secara individual, tindakan tersebut dimaknai sebagai
90
suatu tanggungjawab etis dan bagian dari cara mereka mewujudkan interpretasi
atas teks teologis mereka menjadi teks praksis. Meskipun demikian, perlu
dipahami bahwa tindakan yang mewujud ini memiliki ketergantung pada seberapa
jauh penafsiran aktor atas nilai yang menjadi landasan gerakan mereka. Pada
beberapa aktor lain diluar kyai, misalnya, meskipun memperlihatkan perhatian
dan keterlibatan dalam gerakan ekologi di kedua pesantren ini, tetapi tetap tidak
mencirikan karakter tindakan kyai mereka. Para anggota kelompok tani Hejo
Daun, secara umum tetap menempatkan isu ekonomi sebagai basis tindakan
mereka meskipun warna nilai keagamaan yang diperkenalkan oleh kyai juga
mengemuka, tetapi tidak sedominan yang terjadi pada kyai. Begitu juga para
santri yang terlibat dalam kelompok santri pecinta alam, memperlihatkan corak
tindakan rasional nilai yang berbeda dengan Ust. Yani dengan konstruksi nilai dan
pemahaman serta kedalaman yang berbeda pula.
Kondisi ini memberikan suatu pandangan bahwa dari beberapa tipe tindakan
sosial, secara umum tipe tindakan yang terlihat dalam kedua gerakan ekologi ini
merupakan tindakan rasional nilai dengan variasi nilai yang berbeda antar aktor.
Variasi nilai semacam ini yang kemudian mempengaruhi kedalaman dan
penghayatan mereka atas gerakan ekologi tersebut. Artinya, ketika konstruksi
teologi yang menjadi landasan nilai tersebut sangat dalam seperti terlihat pada
sosok kyai, secara umum tindakan yang mewujud juga memiliki kekukuhan nilai
yang ajeg. Sementara, ketika sandaran nilai tersebut masih di permukaan seperti
terlihat pada sikap para anggota kelompok tani dan santri, maka wujud tindakan
juga belum menyerupai apa yang terjadi pada kyai.
6.2. Kyai dan Gerakan Ekologi
Berangkat dari teori yang di kedepankan oleh Weber yang mengatakan
bahwa kyai merupakan salah satu bentuk kepemimpinan kharismatik yang
mempunyai kekuasan secara tradisional. Potret ini menggambarkan bagaimana
peran kyai yang mempunyai kekuasaan secara informal terhadap masyarakat
karena kemampuan individualnya terutama dalam bidang keagamaan juga dengan
varian lembaga yang dimiliki oleh kyai seperti pesantren, majlis taklim, dan
kelompok pengajian lainnya.
91
Di masyarakat Cicurug, Kabupaten Sukabumi, terutama mereka yang
mayoritas merupakan petani, kepemimpinan kyai justru menjadi salah satu media
transformasi masyarakat dari masyarakat – buruh tani – yang tidak pernah
memiliki peluang untuk berpindah dari posisi paling dasar dari struktur
masyarakat menuju posisi yang lebih baik atau setidaknya berusaha menjauh dari
jurang subsisten yang dalam hal ini, pada taraf minimal memiliki akses untuk
melakukan pengolahan lahan di kawasan taman nasional. Lantas bagaimana cara
kyai memposisikan dirinya guna menjawab permasalahan masyarakat ini?
Perubahan peran kyai tersebut dapat dilakukan setelah regenerasi pesantren Al
Amin berpindah kepada Kyai Abdul Basith. Kyai Abdul Basith berperan
meletakkan pondasi dasar pembangunan pesantren sebagai pusat aktivitas
pesantren yang beriringan dengan masyarakat. Upaya yang dilakukan beliau
seperti yang telah diperlihatkan diatas, merupakan bukti empirik bagaimana
sebenarnya telah terjadi pergeseran makna kyai dan pesantren yang tidak hanya
berkutat pada urusan transformasi keagamaan, menjaga kemurnian akidah dan
sebagainya menjadi transformasi sosial seperti yang diungkapkan oleh Abd A’la
(2006). Di satu sisi, kyai berusaha untuk tetap mempertahankan nilai dan pola
kehidupan masyarakat relijius di dalam pesantren dengan tetap bertahan pada
tradisi salafi, tetapi disisi lain kyai juga berperan dalam mendorong transformasi
sosial sehingga merubah pandangan masyarakat menjadi masyarakat yang agamis
disatu sisi, juga mampu berdikari dengan pencarian sumber nafkah alternatif
melalui program Sengon tersebut.
Saat ini, dengan meningkatnya kompleksitas masyarakat Cicurug kondisi ini
mendorong perlunya kyai mentransformasi perannya yang dahulu hanya bertahan
pada wilayah keagamaan, saat ini kyai yang memiliki kedudukan kultural yang
relatif lebih tinggi dan kuat ketimbang unsur-unsur lain dalam masyarakat. Posisi
kyai sebagai pemimpin akhirnya mengharuskan ia bergelut dengan persoalan
masyarakat pada umumnya yang mayoritas merupakan buruh tani. Tampilnya
kyai maupun pesantren dalam pesoalan masyarakat mampu membuat perubahan
meskipun masih terbilang panjang. Meskipun demikian, kondisi ini sedikit
banyaknya menguntungkan masyarakat pada struktur terbawah karena kyai tidak
mempunyai batasan dan dapat menembus sekat struktural tersebut sehingga
92
program yang dijalankan pun relatif borderless dan dapat menyentuh mereka yang
memang membutuhkan.
Menangani problem masyarakat terutama yang berkaitan dengan ekonomi
sebenarnya bukan wilayah kerja kyai. Akan tetapi melihat dominasi yang terjadi
di masyarakat serta tidak bergeraknya ekonomi rakyat pada lapisan terbawah
menjadi satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Transformasi yang dilakukan
mendorong kyai berhadapan dengan tradisi yang dianggap mapan seperti pola
peminjaman oleh pemodal ataupun tengkulak. Namun demikian, kyai Abdul
Basith ini mempunyai modal dasar yang sangat dibutuhkan yaitu kedudukan
kultural kyai dalam masyarakat dan sejumlah infrastruktur seperti lembaga
pengajian yang dapat dipergunakan sebagai sarana penyaluran ide dan gagasan
baik pengajian rutin mingguan di pesantren maupun pengajian lain di masyarakat
sekitar.
Kedudukan kultural tersebut dapat secara optimal dimanfaatkan oleh kyai
dengan berperan dalam memberikan stimulan program penanaman tersebut
kepada petani yang terlibat dalan kelompok tani Hejo Daun sehingga mampu
menjauh dari problem ekonomi yang melanda mereka. Kekuatan kharismatik kyai
yang menjadi simbol kultural pesantren maupun masyarakat mampu mendorong
terjaganya sistem penanaman yang digulirkan oleh kyai. Selain itu, terlihat bahwa
anggota kelompok tani tersebut enggan untuk berperilaku negatif yang
menyebabkan terganggunya implementasi program tersebut.
Sebenarnya, pesantren Al Amin juga memiliki program pembibitan yang
kemudian hasil dari pembibitan yang mereka lakukan itu sebagian dimanfaatkan
untuk penghijauan yang melibatkan pesantren lainnya. Akan tetapi, ketika
penelitian ini dilaksanakan, program pembibitan tersebut tidak lagi dilaksanakan.
Meskipun demikian, dampak dari program penanaman sengon ini, masyarakat
disekitar pesantren semakin menyadari akan pentingnya pelestarian alam dan
lingkungan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Potret gerakan serupa dengan
karakteristik pesantren tradisional-salafi ini sebenarnya juga terlihat dalam
gerakan yang dilakukan oleh Pesantren An Nuqayah, Guluk-guluk Madura yang
melalui Kyai Abdul Basit juga mampu menyelesaikan problem ekologis serta
sosial yang terdapat pada masyarakat sekitar (Effendy, 1990). Contoh kyai
93
tradisional lain yang juga mencoba mendobrak problem sosial di masyarakat,
seperti yang dilakukan oleh Kyai Sahal Mahfudz yang merupakan pimpinan
pondok pesantren Maslakul Huda. Kyai Sahal melakukan reformulasi fiqih
dengan menggeser dari yang awalnya fiqih tekstual menjadi fiqih kontekstual
yang disebut dengan fiqih sosial. Bentuk kontekstualisasi yang dilakukan seperti
dalam pelestarian lingkungan hidup. Kyai Sahal mendorong fungsi ganda
pesantren yaitu sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan
pengetahuan, penalaran, keterampilan, kepribadian dan merupakan sumber
referensi tata nilai Islami bagi masyarakat sekitar serta sebagai lembaga sosial di
pedesaan yang menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat untuk perbaikan
lingkungan (Zubaedi, 2007).
Pesantren Daarul Ulum Lido, sejak mengalami kekosongan figur kyai,
berupaya melakukan reformulasi konsep kepemimpinan di pesantren. Pendekatan
sistem yang digunakan untuk menjaga stabilitas pesantren menjadi pilihan terbaik
sehingga pesantren berupaya mencari figur yang dapat memimpin pesantren
layaknya kyai di pesantren lain. Meskipun demikian, patut di apresiasi bahwa
pendekatan sistem ini meskipun kemudian tidak memunculkan figur kyai yang
kharismatik, tetapi justru memunculkan figur yang terlihat egaliter dan relatif
tidak berjarak dengan aktor lain disekitar pesantren.
Ust. Ahmad Yani, (sebagaimana biasa disebut) menjadi bukti bahwa
meskipun posisinya sebagai pimpinan pesantren, mudir al ma‟had, tetapi justru
nuansa yang terbangun memperlihatkan dirinya seperti layaknya guru ataupun
asatidz yang lain. Kondisi ini yang menyebabkan, transfer pengetahuan yang
dilakukan tidak berjalan berundak dan birokratik. Meskipun, sebagian ada yang
merindukan kehadiran sosok kyai sebagaimana lazimnya pesantren lain, tetapi
keinginan tersebut hanya dorongan emosional-individual dan tidak pernah
terangkat ke permukaan. Seluruh civitas pesantren justru mendukung pelaksanaan
sistem yang telah terbangun tersebut.
Dalam konteks gerakan ekologi, peran kyai menjadi sangat sentral
meskipun tidak memiliki peranan yang relatif absolut dibanding pesantren Al
Amin. Peranan kyai disini justru karena mampu menyerap ide yang diperkenalkan
oleh aktor luar pesantren dan di kontekstualisasikan pada khazanah dan
94
lingkungan pesantren. Peranan seperti ini tidaklah mudah karena tentu mengalami
pergulatan dan pergumulan di kalangan internal pesantren, terutama bagi mereka
yang menganggap sinis pelaksanaan program tersebut.
Ide kultural yang dibangun dengan mengimplementasikan berbagai program
seperti harim zone pada dasarnya adalah untuk membumikan idealita teologi
Islam tentang ekologi yang telah dikenal dalam khazanah keilmuan dan sejarah
Islam, tetapi tidak pernah terbuka dan dibuka, serta menjadi konsumsi
masyarakat, khususnya pesantren. Tentu, ketika awal di dirikannya pesantren ini,
tidak ada mimpi untuk memiliki beberapa program diatas, tetapi dalam
perjalanannya, proses kontekstualisasi pesantren dengan ide yang datang dari
lembaga lain dan pergumulan yang berlangsung baik di luar maupun didalam
semakin mematangkan pilihan pesantren untuk bergerak secara konsisten pada
isu-isu ekologi.
Kedua kyai yang disebutkan diatas ini jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya
tidak lagi hanya menjadi broker budaya seperti yang di sintesakan oleh Geertz
(1960), seorang yang memiliki peran penyambung antara tradisi besar (great
traditions) dengan tradisi kecil (little traditions) dan menjadi broker karena
menyaring berbagai informasi maupun budaya bagi komunitasnya, tetapi berperan
sebagai mediator atau perantara digagas oleh Horikoshi (1987) ataupun agen
perubahan (agent of change) (Iskandar, 2001) yang dalam bahasa Abdurrahman
Wahid (1987) kyai berperanan kreatif dalam perubahan sosial, bukan karena sang
kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justeru karena
memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan
penyaringan informasi, tetapi menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya
sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya atau disekitarnya.
VII. KONTINUM GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN
7.1. Gerakan Ekologi di Pesantren: Ekologi Dalam atau Ekologi Dangkal?
Barnhill dan Gottlieb (2001) menjelaskan konsepsi ekologi dalam dengan
agama. Konsepsi ekologi dalam menjelaskan pertanyaan yang mendalam tentang
etika lingkungan dan penyebab mendasar dari problematika lingkungan.
Kemudian, ekologi dalam menunjukkan fundamen yang menjadi basis nilai yang
tentu beragam dan menjadi nilai yang dibagi kepada sesama pegiat lingkungan.
Konsepsi ekologi dalam berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ecosophies
meskipun konsepsi ini selalu berkaitan dengan kekhasan dan dibedakan sesuai
dengan konteks dan tradisi agama masing-masing. Barnhill dan Gottlieb
kemudian menyebutkan kualitas yang menunjukkan karakteristik dari ekologi
dalam sebagai berikut:
“… (a) an emphasis on the intrinsic value of nature (biocentrism or
ecocentrism); (b) a tendency to value all things in nature equally (biocentric
egalitarianism); (c) a focus on wholes, e.g., ecosystems, species, or the
earth itself, rather than simply individual organisms (holism); (d) an
affirmation that humans are not separate from nature (there is no
“ontological gap” between humans and the natural world); (e) an emphasis
on interrelationships; (f) an identification of the self with the natural world;
(g) an intuitive and sensuous communion with the earth; (h) a spiritual
orientation that sees nature as sacred; (i) a tendency to look to other
cultures (especially asian and indigenous) as source of insight; (j) a
humility toward nature, in regards to our place in the natural world, our
knowledge of it, and our ability to manipulate nature in a responsible way
(“nature knows best”); (k) A stance of “letting nature be,” and a
celebration of wilderness and hunter-gatherer societies…”
Dari beberapa karakteristik ekologi dalam ini, beberapa hal kemudian
mendapatkan kritik yang dianggap tidak relevan dengan kondisi Islam. Dalam
diskursus etika lingkungan Islam, kedudukan Sang Pencipta adalah absolut,
sebagai pemilik tunggal dari seluruh makluk hidup di jagat semesta. Sementara
itu, kedudukan makhluk adalah sama yang bertugas untuk menyembah Allah
SWT dan menjadi tanda keagungannya. Oleh karena itu, dalam konsepsi Islam,
Manusia di dudukkan sebagai khalifah yang bertugas menjaga amanat Tuhan
sebagai wakilnya dibumi. Wakil yang tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi
sumberdaya yang ada untuk kepentingan dirinya, tetapi mempergunakannya untuk
96
kemaslahatan manusia dan makhluk lainnya. Ammar (2001) menjelaskan secara
rinci pandangannya sebagai berikut:
“… Islam has in common with deep ecology its respect for nature and
earth. Both Islam and deep ecology view humans as part of this creation
and not superior to it. Beyond this commonality the Islamic vision of linking
humans to nature, nature and humans to God, and the protection of nature
become complex and at many points difficult to compare with deep ecology.
Islam, for example does not view creation as sacred in itself. Rather, it
respected as a reflection of sacredness, because it I the creation of God… in
contrast to some deep ecologist who view action in nature as undesired
intervention and corruption, I argue that in Islam action is the only course
that fulfills the charge humans were given by God, namely to keep the
equilibrium of use and protection of earth…”
Menjadi pertanyaan besar adalah sejauhmana gerakan yang muncul dari
pesantren ini, seperti yang tergambar diatas memiliki pengaruh hingga mampu
merubah perilaku mereka yang terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan ini pada
akhirnya dapat dilihat apakah telah mewujud sebagai gerakan ekologi dalam
ataukah masih berada pada gerakan ekologi dangkal. Artinya, konstruksi teologis
seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya, yang kemudian dimanifestasikan
dalam bentuk gerakan, pada fase terakhir harusnya mampu merubah pandangan
aktor yang inheren dengan nilai teologi yang dipahaminya.
Inti ekologi dalam sebenarnya terletak pada platform yang diusungnya
(McLaughlin, 1995). Platform ini lah yang membedakan antara ekologi dalam
dengan ekologi dangkal. Ekologi dangkal yang cenderung antroposentrik yang
meneropong problem lingkungan hanya dari kacamata ilmu pengetahuan dan
teknologi dan cenderung mencari solusi teknis, sedangkan ekologi dalam
mendorong perubahan fundamental dan radikal yang menyangkut transformasi
cara pandang dan nilai, baik secara pribadi dan budaya, yang kemudian
mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik (Adiwibowo, 2008).
Jadi, terlepas dari persoalan dan kritik diatas, persoalan perubahan paradigmatik
dan nilai menjadi sesuatu yang wajib dalam konstruksi ekologi dalam.
Perwujudan gerakan ekologi di pesantren ini setidaknya dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Devall dan Sessions dengan melihat
apakah pesantren secara umum telah mengadaptasi dua norma dalam ekologi
dalam yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan biocentric equality
97
(persamaan atau kesetaraan biosentris) yang bermuara pada perubahan
paradigmatik tersebut. Keraf (2002) juga menyebutkan beberapa prinsip dalam
ekologi dalam yaitu (a) biospheric egalitarianism; (b) non-antroposentrime; (c)
realisasi diri (self-realization); (d) pengakuan dan penghargaaan terhadap
keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis; dan
(e) eco-politics.
Meskipun demikian, sebagaimana digambarkan pada bab sebelumnya,
dalam melihat gerakan yang dilakukan di dua pesantren ini, penting untuk
memisahkan antara kyai dengan santri dan masyarakat, terutama dalam konteks
kesadarannya. Ini tidak terlepas dari peran mereka sebagai pemimpin baik secara
formal, kultural maupun keagamaan. Artinya, proses pergeseran dapat terjadi
secara parsial, yaitu hanya terjadi pada kyai, sementara pada masyarakat maupun
santri, proses pergeseran dan gerak perubahan pandangan tersebut dapat
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Gerakan ekologi yang dilakukan di pesantren Al Amin secara umum
memperlihatkan bahwa gerakan ini berada pada dua wilayah yang berbeda. Pada
satu sisi, Kyai Basith memiliki kesadaran bahwa pada prinsipnya manusia
memiliki tanggungjawab untuk membangun hubungan yang baik dengan alam
(hablu mina al alam), akan tetapi dua norma diatas tampak kurang terlihat dalam
praktik gerakan mereka. Secara diametris, justru motif ekonomi yang menjadi
tekanan dalam upaya memperluas gerakan ekologi tersebut. Alasan ini sebenarnya
yang menjadi dasar utama kenapa sebagian murid Kyai mau terlibat dalam
gerakan tersebut.
Artinya, dalam konteks pergeseran pemahaman relasi yang awalnya hanya
memahami relasi Tuhan-Manusia dan Manusia-Manusia, kemudian memmperluas
cakupannya menjadi Tuhan-Manusia, Manusia-Manusia, Manusia-Alam, menjadi
potret awal bahwa sebenarnya ide kyai dalam gerakan ini telah memperlihatkan
adanya kesetaraan biosentris. Konstruksi semacam ini sebenarnya merupakan
perubahan fundamental dalam tafsir teologi yang dilakukan oleh seorang muslim,
karena dalam berbagai kesempatan, sulit ditemukan individu yang memahami
bahwa manusia juga harusnya memiliki hubungan yang bersifat teologis dan
98
egaliter terhadap alam, tetapi justru menjadi sumber perusak dan mendominasi
alam dengan konstruksi berpikir antroposentrik.
Kyai Basith sebenarnya telah mengalami pergeseran paradigmatik. Ia
memandang alam – dalam kasus gerakannya ini adalah penanaman pohon –
memiliki nilai intrinsik yang lebih penting, daripada hanya sekedar kepentingan
ekonomi. Nilai intrinsik yang diungkapkan semacam peran pohon dalam
ekosistem, fungsi teologisnya dengan bertasbih serta sedekah oksigen yang selalu
menjadi kepercayaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya pergeseran tersebut
telah terjadi. Kyai kemudian menempatkan aspek ekonomi pada urutan terakhir
dari konsepsi yang diusungnya. Kemudian, pada praktiknya, kyai meyakini,
bahwa sulit untuk memperkenalkan ide tersebut kepada masyarakat, karena
problem utama di masyarakat adalah sebenarnya pada aspek ekonomi. Setelah
masyarakat diperkenalkan dengan pendekatan ekonomi, secara perlahan, pintu
penyadaran akan nilai yang dimiliki oleh kyai di introdusir dan di diseminasikan
kepada anggota kelompok tani tersebut.
Pendekatan ekonomi yang dibangun kyai, bukanlah semata-mata karena
problem untung-rugi, tetapi tekanan pada aspek ekonomi ini memiliki alasan kuat
karena ini menyangkut kebutuhan dasariah masyarakat. Dalam pandangan kyai,
problematika ekologi yang terjadi belakangan ini merupakan hasil kulminasi
keserakahan manusia dan juga problem ekonomi yang menghimpit mereka
sehingga memunculkan beberapa kasus seperti penggundulan hutan dan
kekeringan. Tekanan ekonomi ini memperlihatkan perhatian kyai pada aspek
keadilan sosial (social justice) yang belakangan ini menjadi kabur dan tidak
mendapat perhatian dari banyak pemimpin negara. Kritik terbesar yang kyai
lakukan dalam suatu kasus dialamatkan kepada negara, yang dalam hal ini
pemerintah Kabupaten Sukabumi. Kyai selalu berada pada posisi oposisi dan
mengkritisi kebijakan pemerintah karena dua alasan. Alasan pertama adalah
alasan kultural, yang memang antara pemerintah dengan pesantren Al Amin
berbeda secara kultural. Alasan kedua adalah alasan kepemimpinan. Alasan ini
yang menjadi perhatian utama sehingga pada Pemilu lalu, kyai mendorong
muridnya yang juga teman diskusinya untuk maju, bertarung lewat jalur
independen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan terjadinya
99
kolaborasi antara pesantren Al Amin dengan pemerintah karena perbedaan prinsip
tersebut sehingga jalan satu-satunya adalah dengan memunculkan kandidat yang
secara kultural dan emosional sejalan dengan pesantren.
Contoh yang paling aktual adalah dalam pelaksanaan kerjasama antara
pesantren Al Amin dengan Aqua, tidak ada keterlibatan dan peranan pemerintah
disana. Pemerintah hanya didudukkan pada konteks seremonial. Bahkan, pada
beberapa kesempatan, aparatur desa justru merasa bahwa apa yang dilakukan oleh
pesantren Al Amin ini justru lebih dulu dibanding dengan apa yang dilakukan
pemerintah pusat dengan program one man one tree. Pengakuan aparatur desa
seperti terlihat pada pernyataan berikut ini:
“…Pada prinsipnya, pemerintah Desa menyambut baik. Jadi program kyai
(abuya) ini yang dipelopori dari desa, pesantren konservasi, model
pesantren konservasi ini baru kali ini terjadi di Kabupaten Bogor. Jadi
mudah-mudahan 45 (empat puluh lima) pesantren yang ada di Desa
Tangkil, mungkin ini akan menjadi contoh atau sebagai Pilot Project. Jadi
program pemerintah yang selama ini, yang disebut program one man one
tree, ternyata dari Hejo Daun ini sudah duluan (lebih dahulu), jadi
program pemerintah belum berjalan, malah sudah mendahului. Nah, satu
itu. Keduanya, faktor secara ekonomis, masyarakat kami merasa sangat
terbantu. Jadi untuk kedepannya, lahan masyarakat ini sejumlah 168
hektar, mudah-mudahan dengan gagasan buya ini, seperti awal tadi bilang,
pondok-pondok pesantren yang ada khususnya di wilayah Desa Tangkil,
minimal harus berguru kepada Al-Amin ini, ke Hejo Daun ini, untuk
meningkatkan, untuk ekspansi perluasan…”
Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Kyai selalu mendorong dan
mengajarkan murid-muridnya untuk bertindak secara seimbang baik pada sisi
konteks maupun teks. Sikap terhadap alam ataupun lingkungan seperti pohon juga
memiliki hak hidup sehingga harus dihargai layaknya hak azasi manusia serta
posisinya yang juga sebagai makhluk Allah SWT yang harus dijaga juga
mengemuka sebagai kerangka pikir Kyai. Manusia menurutnya harus bersikap
sama dengan ketika dia bersikap kepada sesama manusia. Pluralitas sikap
demikian penting karena memperlihatkan bagaimana kesejajaran antara makhluk
yang menjadi fundamen teologi dan menyadari bahwa kesemuanya merupakan
bukti kebesaran Allah SWT.
Kyai Basith memperlihatkan corak pandangan ekologi dalam baik dalam
konstruksi teologis yang dimilikinya, maupun alasan pemberdayaan masyarakat
100
yang dilakukannya. Meskipun demikian, corak pandangan ini dirasa masih pada
taraf awal karena meskipun perubahan pandangan secara individual telah terjadi,
tetapi pada taraf yang masih dini. Sebagian flatform lain yang menjadi indicator
kedalam belum terlihat seperti sikap kyai terhadap upaya pengurangan populasi
manusia masih belum terdeksi apakah menunjukkan pergeseran paradigmatik
menjadi ekologi dalam. Meskipun demikian, pada derajat yang minimal, dalam
upaya menyelamatkan lingkungan, kyai tidak lagi menempatkan solusinya pada
kerangka dasar ekologi dangkal yang mengandalkan upaya modernisasi dan
penggunaan teknologi, tetapi mendorong terbangunnya kesadaran dan pemaknaan
atas nilai esoteris makhluk selain manusia.
Kondisi yang berbeda justru terjadi pada level teknis anggota kelompok tani
Hejo Daun. Persoalan perubahan paradigmatik yang menjadi tekanan di level
kyai, ternyata belum terlihat optimal terjadi. Kondisi ini dilatari oleh fokus
mereka yang lebih pada upaya mencari solusi ekonomi, keluar dari himpitan dan
keterbatasan akses atas sumberdaya. Sebagian anggota kelompok merasa bahwa
apa yang dilakukan oleh kyai dengan penanaman Sengon ini memiliki manfaat
keekonomian yang bisa mendongkrak taraf hidup mereka. Meksipun demikian,
secara bertahap, mereka menyadari dan memahami nilai-nilai transenden yang
dimaksud oleh kyai, bahwa gerakan ini bukan hanya gerakan ekonomi an sich,
tetapi lebih dari itu merupakan gerakan moral dan gerakan sosial. Kondisi ini
tergambar dari pernyataan informan berikut:
“…Abuya menyampaikan, kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan
niat kita ibadah, ada nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon
menghasilkan oksigen itu hingga dewasa menghasilkan oksigen hingga dua
orang. Dengan alam lain, dengan burung menghasilkan makanan, tempat
berlindung, dengan tanah bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu
diterangkan, masyarakat mau dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan
ekonomi, nah kebutuhan mereka itu tidak hanya dengan ibadah saja,
apalagi diterima dengan kondisi keimanan seperti tadi mereka tidak begitu
saja menerima, dengan jarak satu hingga lima tahun…”
Lambatnya pergeseran ini, secara umum bisa dilihat dari tesis Abdurrahman
Wahid yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu sub kultur.
Kontruksi kultural yang terbangun di pesantren, yang berbeda dengan masyarakat
pada umumnya memperbesar peluang transfer pengetahuan kepada aktor-aktor
101
yang ada didalamnya. Akan tetapi, kondisi sub kultural ini tidak terjadi di
pesantren Al-Amin dalam konteks gerakan ekologi (penanaman sengon). Ini
dikarenakan, hampir seluruh anggota kelompok tani tidaklah secara intens dan
terpola hidup dalam kultur pesantren. Poros utama pesantren pada nilai
keagamaan tidaklah sama dengan kehidupan mereka di lingkungan masing-
masing sehingga, internalisasi nilai teologi menjadi hal yang kedua, setelah
pemenuhan hajat ekonomi.
Rasa syukur atas pencapaian ekonomi – hasil dari penanaman – seperti yang
dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan salah satu contoh yang paling nyata
bagaimana sebenarnya faktor ekonomi menjadi sangat dominan. Meskipun makna
syukur tersebut mencerminkan kesadaran teologisnya, tetapi ternyata tidak
memperlihatkan kesadaran ekologi teologi yang menjadi cita luhur kyai Abdul
Basith. Oleh karena itu, di pesantren Al Amin, meskipun pada level kyai, ekologi
dalam tercermin dalam pandangan kyai, tetapi pada level murid maupun
masyarakat, ekologi dalam belum tercermin.
Sementara itu, gerakan ekologi yang terbangun di pesantren Daarul Ulum
Lido memperlihatkan sikap terhadap lingkungan yang terefleksikan dari sikap
Kyai yang mendorong kecintaan terhadap alam sebagai bagian dari kecintaan
terhadap Allah SWT. Selain itu, sebagian santri juga memperlihatkan sikap dan
ungkapan kecintaan terhadap alam merupakan kesatuan sehingga upaya
merusaknya merupakan upaya merusak kehidupan.
Pandangan kyai yang menempatkan posisi manusia dengan alam setara dan
manusia juga memiliki ketergantungan terhadap alam memperlihakan bagaimana
sebenarnya cara pandang yang merefleksikan ekologi dalam. Hubungan dengan
alam bukanlah hubungan menguasai seperti konstruksi yang dibangun oleh
ekologi dangkal, melainkan hubungan kasih sayang, hubungan kecintaan.
“…Manfaat yang bisa diambil oleh mereka bahwa kita selama ini
menanamkan kepada anak-anak kita (santri) itu agar mereka mencintai
makhluk tuhan. Ketika kita bicara mengenai mencintai makhluk tuhan, tidak
hanya sebatas manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam
sekitarnya, karena kita meyakini bahwa alam bisa hidup tanpa kita, tetapi
kita tidak bisa hidup tanpa alam…”
102
Pola hubungan ini kemudian tidak di letakkan hanya pada tataran ideal dan
hanya sebagai konstruksi moralitas-etik, melainkan diletakkan pada aras praktik.
Pilihan untuk menetapkan salah satu wilayah dalam pesantren sebagai zona harim
memperlihatkan bagaimana kesadaran individual tersebut harus tertular secara
kultural dan melembaga dalam pesantren. Pada taraf minimal, simbolisasi
konservasi menurut konsepsi Islam ini memperteguh bahwa setiap santri harus
turut menjaga keberlangsungan alam. Dengan adanya harim zone kemudian,
santri bisa mempelajari banyak hal. Dengan harim zone pula, santri bisa
mengaplikasikan ilmu yang selama ini dipelajari di kelas secara praktis.
Kesadaran dan cara pandang yang senada juga diungkapkan oleh ustadz
yang menjadi staf pengajar di pesantren ini. Bahkan, sebelum adanya harim zone,
ia telah melakukan kegiatan penanaman yang menurutnya merupakan dorongan
moral sebagai seorang muslim. Contoh kasus lain adalah, adanya sikap seorang
santri senior yang ketika itu memiliki posisi strategis, memberikan hukuman
kepada santri lain yang mencabut tanaman secara sembarangan dengan sikap yang
sangat baik, yaitu dengan memerintahkan untuk membersihkan sampah sejumlah
tertentu. Pilihan hukuman semacam ini menurutnya adalah upaya untuk
mendorong kesadaran santri tersebut untuk mencintai dan menghargai
lingkungan. Sikap ini merefleksikan usaha untuk menumbuhkan pandangan
biospheric egalitarianism yang memandang kesetaraan seluruh makhluk sehingga
harus diperlakukan dan didudukkan pada martabat yang sama
Pola hidup yang berlangsung dalam kehidupan pesantren juga
memperlihatkan pola hidup yang egaliter, yang mengusung ide kesederhanaan.
Dalam pesantren terdapat nilai yang coba dibangun dengan sebutan Panca Jiwa.
Nilai ini merupakan nilai yang dibangun oleh KH. Imam Zarkasyi, Gontor yang
banyak ditularkan dan di implementasikan oleh pesantren, terutama pesantren
modern. Prinsip kesederhanaan ini terlihat dari larangan untuk menggunakan hal-
hal yang mencolok dan membedakan antar masing-masing santri, sikap yang tidak
berlebihan, asketis serta juga tidak kikir. Pada sisi fisik, pesantren juga memiliki
infrastruktur yang tidak membedakan satu santri dengan santri lainnya sehingga
harapan untuk tidak terjadi kesenjangan antara satu dengan lainnya terus
dilakukan oleh pesantren. Ini merupakan salah satu potret realisasi nilai aksetisme
103
yang diajarkan oleh Islam. Kondisi demikian diharapkan mampu memupuk rasa
tenggang rasa serta budaya jujur dan sederhana. Berikut potret pernyataan
tersebut:
“…Saya pikir, di pesantren Modern termasuk di Pesantren Daarul Ulum
Lido itu mempunyai ruh yang kita sebut dengan panca jiwa pesantren.
Semua pesantren modern itu sama. Panca jiwa pesantren ini dilahirkan
oleh (Alm) KH. Imam Zarkasyi, Gontor. Panca jiwa pesantren itu antara
lain Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah dan
Kebebasan. Saya pikir, kerakusan tadi itu adalah memang salah satu sifat
yang ada pada manusia, tetapi dengan adanya kesederhanaan itu kita
berusaha menanamkan kepada mereka untuk tidak rakus. Mereka
sederhana yang artinya memanfaatkan sesuatu itu sesuai dengan kebutuhan
dan fungsinya dan selama ini yang terjadi di daarul ulum lido sifat
kerakusan hingga merusak lingkungan belum pernah terjadi, bahkan kita
sebaliknya…”
Selain itu, harim zone menjadi arena simbolis dan praksis yang dapat
memupuk prinsip pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan
kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis karena disatu sisi, santri
dan komponen pesantren lainnya memiliki kesadaran dan kewajiban untuk
merawat zona tersebut, minimal pada setiap Jumat bagi seluruh santri dan Ikapala
setiap waktu sebagai penanggungjawab sehari-harinya. Sementara itu, harim zone
menjadi zona dan lahan pembelajaran mereka untuk memperkaya khazanah
ekologi serta pengetahuan biosferik mereka. Ini menunjukkan, bahwa pesantren
mengedepankan hak hidup tanaman dan makhluk lainnya, sementara manusia
juga bisa belajar dari tanaman tersebut. Ini terlihat dari pernyataan berikut ini:
“…Manfaatnya harim zone, ilmu-ilmu yang dahulu bisa diperlebih disini,
bisa lebih diperdalam. Terus juga, tidak cuma diperdalam saja, tapi juga
mengenal. Selain mengenal juga lebih mendekatkan diri kepada alam
bebas…”
Jika ditilik dengan norma diatas, prinsip dasar ekologi dalam terlihat
mengemuka di pesantren ini meskipun masih pada tahap embrio. Perubahan cara
pandang, dari kebanyakan pesantren lainnya serta perhatian besar terhadap isu
lingkungan, meskipun umur pesantren yang relatif muda menjadi salah satu faktor
tumbuhnya gerakan ekologi dalam tersebut. Selain itu, Conservation International
yang banyak memberikan penyadaran, juga bermain pada upaya memantik
kesadaran kalangan pesantren tersebut. Selain itu, Kyai melihat bahwa upaya
104
menyikapi dan melihat problem lingkungan serta upaya mencari solusi
pemecahannya bukan pada wilayah teologis semata, tetapi juga menyelesaikannya
dengan melihatnya sebagai problem kemanusiaan.
Selain itu, gerakan yang dilakukan di internal pesantren, yang menggunakan
media formal maupun informal di dalam pesantren, serta pesantren yang terlihat
seperti enclave, mampu menjaga putaran ide serta gerakan ekologi tersebut. Sub
kultur pesantren mampu mempertahankan gerakan tersebut secara baik karena
ritual dan aktivitas yang dilakukan dalam kompleks pesantren secara terus
menerus sehingga gagasan dan gerakan terus di reproduksi dan diwariskan dan
meluas meskipun tidak terlepas dari tantangan dan problematika yang
dihadapinya.
Meskipun demikian, sebenarnya gerakan harim zone ini juga tidaklah
menjawab persoalan mendasar yang terjadi di pesantren ini. Dalam beberapa
aspek, sebenarnya pesantren Daarul Ulum Lido dihadapkan pada beberapa
persoalan seperti belum mewabahnya kesadaran santri dalam menjaga kesehatan
dan kebersihan. Ini menunjukkan bahwa, gerakan yang dilakukan selain masih
bersifat simbolik, juga masih didominasi oleh segelintir aktor dalam pesantren.
Sifat gerakan yang masih eksklusif menjadi penghambat perluasan ide dan upaya
mendorong terbangunnya kesadaran yang lebih masif di kalangan pesantren. Pada
tataran tertentu, gerakan ekologi ini harus didorong pada upaya mewujudkan
gerakan ekologi yang inklusif, terbuka dan mampu membangun kesadaran seluruh
santri dalam pesantren, yang pada gilirannya meluas keluar lingkungan pesantren.
Artinya, jika dilihat dalam jenjang munculnya gerakan ekologi, tahapan yang
dilalui oleh pesantren ini juga tidak berlangsung secara tuntas. Jenjang saat ini
yang penulis rasakan di pesantren tersebut adalah upaya melakukan internalisasi
teologi ekologi, meskipun masih berlangsung pada pusaran aktor yang terlibat
saja dan belum meluas pada santri lainnya. Jenjang perluasan gerakan untuk
membangun kesadaran masyarakat diluar pesantren belum dilakukan dan perlu
mendapat perhatian sehingga gerakan yang berlangsung di pesantren tidak bersifat
eksklusif milik pesantren, tetapi menjadi milik bersama antara pesantren dengan
masyarakat sekitarnya.
105
7.2. Potensi Masa Depan Gerakan Ekologi di Pesantren
Gerakan ekologi di pesantren yang terjadi di dua pesantren diatas, baik yang
merupakan refleksi individual maupun hasil induksi pengetahuan aktor luar
pesantren perlu dilihat dalam kerangka yang lebih besar sehingga dapat
diproyeksikan kontinuitas gerakan tersebut. Bagi pesantren yang merupakan
komunitas supra-sosial (meminjam istilah Hermansah), konstruksi teologi ekologi
yang dibangun perlu dijaga kesinambungannya, proses pewarisannya maupun
kontinuitas idenya, sehingga keberlanjutan gerakannya menjadi terjamin dan
terarah.
Keberlanjutan ini perlu diteropong baik dari sisi konstruksi teologi ekologi,
proses manifestasi gerakannya maupun kontinum gerakan ekologi tersebut.
Kontinum merupakan suatu kondisi dimana proses perubahan dari satu kondisi
kepada kondisi yang lain berjalan secara gradual serta tanpa menumbulkan
perubahan mendadak1. Dalam filsafat, kontinum merupakan suatu konsep tentang
suatu realitas, atau suatu dimensi realitas yang tidak terpecah-pecah. Whitehead
memandang peristiwa-peristiwa dalam ruang-waktu sebagai terjadi dalam suatu
kontinum yang ekstensif (Bagus, 1996).
Dari sisi kontruksi ideologi, tafsir yang dilakukan oleh kyai yang terdapat di
pesantren tradisional menjadi rentan tergerus oleh waktu. Tafsir dan penafsir
tunggal semacam ini menjadi terkendala ketika pewaris kepemimpinan pesantren
tidak memiliki kemampuan sepadan atau bahkan lebih baik dari kyai Abdul
Basith. Artinya, faktor kapasitas dan kapabilitas dalam memaknai teologi ekologi
serta melakukan kontekstualisasi dengan problematika yang dihadapi dapat
menjadi ganjalan besar apabila pewarisan ide tersebut tidak berjalan. Disisi lain,
proses pewarisan ide yang terjadi di pesantren modern, yang memiliki sistem
pengkaderan dan regenerasi yang lebih baik memungkinkan kontinuitas program
tersebut tetap terjaga.
Selain itu, bagi pesantren tradisional semacam pesantren Al Amin, relasi
sosial yang terbangun memiliki peranan paling besar, karena kekuasaan besar,
terutama otoritas penafsir keagamaan yang dimiliki oleh kyai menjadi salah satu
kekuatan utamanya, yang mendorong tumbuhnya inovasi berbagai gerakan baik
1 http://en.wikipedia.org/wiki/Continuum
106
gerakan sosial maupun gerakan ekologi. Relasi yang terbangun, baik antara kyai
dengan murid maupun kyai dengan masyarakat disekitar, sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh kharisma yang dimiliki oleh kyai tersebut. Sistem pewarisan
secara genealogis, menjadi ujian pertama karena bukan tidak mungkin kondisi ini
menyebabkan masalah. Kualifikasi yang dimiliki oleh kyai merupakan hasil
pengujian dalam kurun ruang dan waktu yang relatif panjang. Artinya, relasi yang
terbangun antar kyai dengan murid maupun masyarakat yang mengikutinya itu
telah terbangun selain karena warisan relasi secara genealogis, juga merupakan
pengakuan atas kapasitas yang dimilikinya. Pewaris tahta selanjutnya, haruslah
memiliki kemampuan yang sama dan kondisi ini secara bertahap dilakukan oleh
kyai saat ini. Proses pengkaderan sedang dilakukan, meskipun belum terlibat
dalam konteks gerakan, tetapi pengenalan terhadap sistem pesantren telah
dilakukan. Riset yang dilakukan di pesantren Luhur Al Wasilah (Yamin, 2007)
memperlihatkan pola gerakan yang sama seperti di pesantren Al Amin. Poros
gerakan bertumpu pada sosok kyai yang mampu menggerakkan sebagian
masyarakat Garut untuk ikut dalam kegiatan konservasi. Akan tetapi, pertanyaan
terbesarnya, bagaimana kondisi gerakan tersebut selanjutnya?
Dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia, praktik pemberdayaan
masyarakat dapat dilacak pada kurun 70 hingga 90an. Pondok Pesantren An-
Nuqayah, Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pondok Pesantren Pabelan banyak
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat, mulai
dari pengembangan ekonomi pedesaan, perbaikan sanitasi, penghijaun dan lainnya
telah mereka lakukan. Hal yang menarik adalah, ketiga pesantren ini memiliki
lembaga tersendiri yang bertugas secara khusus mengorganisir dan mengelola
praktik pemberdayaan masyarakat (Effendy, 1980; Rahardjo, 1985). Potret ini
yang belum ditemukan dalam gerakan di pesantren Al Amin, sehingga potensi
tergerus menjadi terbuka ketika pola pewarisan kepemimpinan dan pemaknaan
akan gerakan tidak berjalan secara baik. Sementara itu, sejarah telah
membuktikan, praktik gerakan di pesantren diatas justru memperlihatkan
konsistensi dan kontinuitas yang relatif baik meskipun tetap dilakukan adaptasi
seiring dengan perubahan generasi dalam pesantren masing-masing.
107
Kemudian, manifestasi gerakan yang melibatkan masyarakat sebagai aktor
gerakan dengan stimulan ekonomi memperlihatkan symptom atau gejala yang juga
berpotensi menahan laju perkembangannya. Proses penanaman Sengon yang
dilakukan saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal karena baru memasuki
tahun-tahun pertengahan, sehingga ketika penanaman tersebut tidak memberikan
keuntungan bagi mereka, yang dimungkinkan hanyalah distrust dan erosi
kepercayaan terhadap kyai. Selain itu, tersendatnya kerjasama pesantren Al Amin
dengan Aqua seringkali menjadi pertanyaan bagi masyarakat akan nasib aktivitas
mereka. Kondisi ini dapat menyebabkan tidak bergeraknya posisi masyarakat
yang saat ini dirasa masih berada pada titik ekologi dangkal, kemudian mampu
menggeser paradigma berfikirnya menjadi ekologi dalam karena terpaku pada
aspek ekonomi saja. Padahal, praktik ekonomi tersebut hanya stimulan yang
dilakukan oleh kyai Basith. Praktik primer yang diperkenalkan sebenarnya jauh
lebih besar meskipun terkesan normatif seperti pengenalan nilai intrinsik pohon,
dan sebagainya.
Selain itu, transfer ide, yang harusnya dilakukan secara repetitif, dilakukan
berulang-ulang, hingga saat ini tidak dilakukan secara konsisten dan teratur.
Pengajian yang dilakukan oleh kyai, yang dapat dimaknai sebagai salah satu
sarana yang dimiliki oleh pesantren dan masyarakat perlu di revitalisasi dan di
kontekstualisasikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengajian tidak hanya berkutat
pada pembahasan keagamaan saja, tetapi diperluas menjadi pembahasan sosial
keummatan. Praktik ini telah dilakukan oleh pesantren An Nuqayah melalui bek-
rembek (Effendy, 1980).
Sementara itu, pada pesantren Daarul Ulum Lido, gerakan ekologi yang
dilakukan hingga saat ini dapat bertahan karena tafsir terhadap gerakan tersebut
tidak di monopoli oleh seorang kyai atau sekelompok orang. Proses pergumulan
ide yang dilakukan secara dialektik antara aktor di pesantren dengan diluar
pesantren setidaknya mampu menjaga kesegaran ide tersebut sehingga pesantren
dapat terus melakukan interpretasi atas teologi ekologi. Namun, tafsir yang
dilakukan tersebut bukan merupakan tafsir tunggal sehingga memungkinkan
disparitas struktur kognisi yang berbeda antara masing-masing individu. Hal ini
menyebabkan sulitnya menyatukan pandangan karena masing-masing memiliki
108
sudut pandang yang berbeda. Disitulah posisi sistem harusnya berperan. Sistem
harus mampu mensintesakan berbagai struktur kognisi tersebut sehingga
menghasilkan rumusan yang disepakati oleh seluruh pihak. Harim zone, meskipun
diapresiasi, tetapi tetap menimbulkan kritik dan riak di dalam internal pesantren
karena perbedaan struktur tersebut. Artinya, meskipun terdapat keleluasaan dalam
mengadopsi interpretasi luar, perlu ditetapkan aturan main sehingga ketika
jejaring tidak hanya pada satu simpul dan meluas, pesantren tidak mengalami
destruksi ide gerakan. Langkah pengembangan gerakan dengan meningkatkan
relasi dari sekedar bouding capital, tetapi menjadi bridging capital atau bahkan
linking capital (Woolcock dan Narayan, 2006) menjadi penting dilakukan
sehingga kontinuitas gerakan dapat terus dilakukan tanpa bergantung pada satu
aktor luar pesantren.
Selain pada level pesantren, pada level komunitas santri, mobilisasi ide
yang selama ini hanya berputar dalam struktur kognisi anggota-anggota
kelompok, perlu ditularkan dan didiseminasikan kepada kepada santri lainnya
sehingga, memperbanyak pengaruh dan pemahaman atas prinsip-prinsip ekologi
dalam seperti yang telah disebutkan diatas.
Pertarungan gagasan baik pada level santri maupun pada level pesantren,
meskipun terjadi, tetapi tidak sampai menihilkan tafsir yang dilakukan
sebelumnya. Bahkan, pada titik tertentu justru memperkaya khazanah gerakan
serta menjadi pandang kritis bagi keberlangsungan gerakan tersebut. Pertarungan
gagasan ini lah yang dirasa akan terus mendinamisir gerakan yang terjadi di
pesantren Daarul Ulum Lido.
Penting untuk digarisbawahi, bahwa meskipun praktik gerakan telah
dilakukan, baik pada pesantren Al Amin maupun pesantren Daarul Ulum Lido,
peran besar pengetahuan agama masing-masing aktor dalam menafsirkan teologi
ekologi harus terus diperhatikan sebagai instrumen dasar dalam mendorong
perubahan karena bagaimanapun konteks gerakan yang akan dilakukan, aktor
tersebut akan selalu menginterpretasikan sesuai kadar pengetahuan mereka.
Sementara, disisi lain, aktor di pesantren akan terus mengakutalisasikan
problematika yang berkembang dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka
pahami.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa hal yang saling terkait satu
sama lain. Dalam hal lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan ekologi di
pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Al Quran.
Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan dicoba di
kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren maupun
masyarakat pada umumnya. Basis teologi yang melandasi gerakan secara khusus
merujuk pada kekhasan dan ciri utama dari pesantren yang bersangkutan terutama
bagaimana sosok Kyai merefleksikan fenomena sekitar dan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan pesantren secara umum serta
memadukannya dengan kekhasan yang dimiliki oleh pesantren tetapi berbeda
dalam sudut pandang dan cara mengartikannya.
Aktor dalam kedua pesantren ini merujuk pada ayat Al Quran yang
mengatakan bahwa sesungguhnya, manusia dilarang melakukan perusakan setelah
Allah SWT menciptakannya. Pesantren Al Amin, memiliki kerangka dasar teologi
yang terbangun yaitu untuk menjalankan tiga hubungan transenden (Allah-
Manusia-Alam). Landasan teologi lain yang mengemuka adalah konsepsi tentang
kutubul awliaa yang menjadi kerangka dasar untuk menjaga keseimbangan alam
serta konsepsi sedekah yang menjadi ciri utama pesantren ini. Sementara itu,
Pesantren Daarul Ulum Lido membangun kerangka teologi gerakannya pada
konsepsi Fiqh Al-Bī’ah serta filosofi yang menempatkan manusia sebagai khalifah
yang bertugas menjaga kesinambungan hidup baik manusia maupun alam.
Pesantren juga mendorong tumbuhnya kecintaan terhadap makhluk ciptaan yang
lain selain manusia, juga sebagai bukti tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas
bumi. Landasan teologi lain adalah upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam
dengan tujuan menjaga kesinambungan hidup generasi manusia dimasa
mendatang.
Pesantren Al Amin memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi
pesantren yang lebih keluar yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam
pesantren, khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan
110
penanaman pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar
maupun dengan murid kyai. Kyai melalui gerakan ini juga memanfaatkan dua hal
yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan sosial kyai yang berciri
tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya hubungan antara kyai dan murid
maupun anggota kelompok tani seperti hubungan pertalian darah memiliki peran
strategis sehingga konstruksi ide yang dibangun relatif mudah di implementasikan
karena faktor ketaatan tersebut.
Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido yang memperlihatkan corak
manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi aktor dari luar
Pesantren. Bentuk gerakan ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam.
Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone, atau zona
haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang tidak
boleh dimanfaatkan untuk pembangunan. Adanya ruang ini memunculkan
peluang bagi santri untuk membentuk kelompok pecinta alam yang memiliki
tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut terlibat dalam gerakan mencintai
lingkungan sekitar, terutama alam. Keberadaan Harim zone ini merupakan induksi
pengetahuan dan hasil dialektika dengan aktor dan organisasi luar seperti
Conservation International Indonesia (CI) yang secara khusus memang
mendorong upaya konservasi alam. Dalam konteks tindakan sosial, gerakan yang
berlangsung di kedua pesantren ini memperlihatkan corak tindakan sosial aktor
sebagai tindakan rasional nilai yang bertumpu pada pemahaman nilai masing-
masing aktor tersebut.
Pada wilayah kontinum gerakan, praktik gerakan yang dilakukan oleh
pesantren Al Amin memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada level
(aktor) kyai sedangkan pada level murid maupun masyarakat belum
memperlihatkan kondisi demikian. Sementara itu, di pesantren Daarul Ulum Lido
memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada setiap aktor yang terlibat
dalam gerakan ekologi. Meskipun demikian, gerakan ini memiliki tantangan
tersendiri. Tantang tersebut terletak pada keberlanjutan gerakan tersebut baik pada
sisi pewarisan interpretasi ataupun pemaknaan pada setiap aktor, utamanya pada
kyai serta upaya mobilisasi gerakan tersebut. Kedalam gerakan yang terjadi di
kedua pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari seberapa dalam interpretasi aktor
111
atas teks teologi yang terdapat dalam Islam serta perumusan dan implementasi
teks praksisnya. Tetapi, yang penting untuk digarisbawahi adalah, kekuatan utama
dalam gerakan ini yaitu karena meletakkan agama Islam sebagai fundamen dari
gerakan tersebut sehingga dapat di serap oleh aktor pesantren, dimaknai, dan
dimanifestasikan dalam potret gerakan masing-masing.
8.2. Saran
Konstruksi gerakan yang bersumber dari nilai ke-Islaman memperlihatkan
bahwa, agama tidaklah beku dan dapat dikontekstualisasikan dalam menjawab
problematika disekitar. Oleh karena itu, dalam kerangka mencari jalan keluar
permasalahan lingkungan, terutama yang bermuara pada pemahaman ekosentrik,
Islam dirasa kompatibel dan sejalan dengan pandangan tersebut meskipun tidak
terlepas dari berbagai kritik.
Berangkat dari hasil penelitian ini, dirasa perlu dirumuskan saran yang
konstruktif sebagai sumbangsih penulis terhadap upaya perumusan solusi krisis
ekologi yang tengah berlangsung.
Pertama, pada sisi makna teologi ekologi, perlu terus didorong interpretasi
yang lebih mendalam dan luas atas teks-teks keagamaan sehingga, landasan yang
dimiliki tidak hanya berbicara pada tataran relasi manusia dengan makhluk
lainnya, tetapi juga terefleksikan pada sikap inklusif relasi manusia dengan
manusia. Model interpretasi semacam ini dapat diperluas tidak hanya di pesantren,
tetapi dapat di implementasikan pada lembaga-lembaga keagamaan lainnya.
Kedua, pada sisi manifestasi gerakan, pesantren dapat terus didorong untuk
menjadi salah satu lembaga yang selain menciptakan kader agama, juga dapat
menciptakan kader ekologi. Gerakan yang dibangun di pesantren, tanpa harus
mendestruksi akar kulturalnya, dapat dijadikan agent of change untuk mendorong
perbaikan dan penyelamatan ekologi. Ini ditopang oleh semakin terbukanya
pesantren serta menuju kepada transformasi sosial sebagai wujud pengabdian
sosial.
Ketiga, gerak perubahan perlu terus diperhatikan baik oleh pesantren
maupun aktor lain diluar mereka sehingga, upaya untuk terus menggerakkan
perubahan cara pandang menjadi ekosentris dapat terus melembaga dalam
112
pesantren. Secara praksis, model gerakan ini dapat dijadikan model pesantren
ekologis dengan segala evolusi bentuk gerakannya dimasa mendatang.
Keempat, pada aras akademik, perlu dilakukan studi lanjut untuk melihat
gerak perubahan gerakan ekologi di pesantren dalam suatu kontinum waktu yang
lebih panjang sehingga diperoleh gambaran yang komprehensif dan implikasinya
bagi pesantren maupun masyarakat diluar pesantren.
113
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Pustaka Pesantren: Yogyakarta
Abdillah, Mujiyono. 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an.
Paramadina: Jakarta
Abedi-Sarvestani, Ahmad dan Mansoor Shahvali. 2008. Environmental Ethics:
Toward an IslamicPerspective. American-Eurasian J. Agric. & Environ.
Sci., 3 (4): 609-617
Adiwibowo, Soeryo. 2008. Paradigm, Perspektif dan Etika Ekologi dalam
Ekologi Manusia, editor Dr. Soeryo Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia-
IPB: Bogor.
Afrasiabi, Kaveh L. 2003. Toward an Islamic Ecotheology dalam Islam and
Ecology Editor Richard C Foltz, Frederick M Denny dan Azizan
Baharuddin. Center for the Study of World Religions, Harvard Divinity
School: Cambridge
Al-Qardhawi, Yusuf. 2001. Islam Agama Ramah Lingkungan. Pustaka Al-
Kautsar: Jakarta
Ammar, Nawal. 2001. Islam and Deep Ecology dalam Deep Ecology and World
Religions: New Essays on Sacred Ground, editor David Landis Barnhill dan
Roger S Gottlieb. State University of New York: Albany
Arifin, Zainal dan Ida Uswatun Hasanah. 2003. K.H. Hamam Dja’far; Pesantren
Sebagai Learning Society dalam Transformasi Otoritas Keagamaan. Editor
Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi. PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta
Azra, Azyumardi. 1985. Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif
Masyarakat dalam Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun Dari Bawah.
Editor M Dawam Rahardjo. P3M: Jakarta
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Barnhill, David Landis dan Roger S Gottlieb. 2001. Deep Ecology and World
Religions: New Essays on Sacred Ground. State University of New York:
Albany
114
Basyuni, Ison. 1985. Da’wah Bil Hal Gaya Pesantren dalam Pergulatan Dunia
Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:
Jakarta
Bell, Michael Mayerfeld. 1998. An Invitation to Environmental Sociology. Pine
Forge Press: California
Bennett, Clinton. 2005. Muslims and Modernity: an Introduction to the Issues and
Debates. Continuum: New York
Brand, Karl-Werner. 1997. Environmental Consciousness and Behaviour: the
Greening of Lifestyles dalam The International Handbook of Environmental
Sociology Editor Michael Redclift dan Graham Woodgate. Edward Elgar
Publishing Limited: Cheltenham
Budiman, Arie dan Ahmad Jauhar Arief. 2007. Konservasi Berbasis Keimanan;
Contoh Kasus di Tiga Pondok Pesantren di Jawa Barat dalam Menanam
Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain Heriyanto dan
Reza Gholami. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. LP3ES: Jakarta
Dien, Mawil Izzi. 2003. Islam and the Environment: Theory and Practice dalam
Islam and Ecology Editor Richard C Foltz, Frederick M Denny dan Azizan
Baharuddin. Center for the Study of World Religions, Harvard Divinity
School: Cambridge
Effendy, Bachtiar. 1985. Nilai-nilai Kaum Santri dalam Pergulatan Dunia
Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:
Jakarta
Effendy, Bisri. 1990. An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura. P3M:
Jakarta
Engineer, Asghar Ali. 2007. Islam dan Pembebasan. LkiS: Yogyakarta.
Fadhilah, Amir. 2005. Budaya Politik Kyai di Pedesaan. Thesis tidak
dipublikasikan. IPB: Bogor
Garner, Robert. 1996. Environmental Politics. Prentice Hall: Maylands Avenue
115
Geertz, Clifford. 1960. The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural
Broker. Comparative Studies in Society and History, Vol. 2. Hal. 228-249.
Cambridge University Press
Ghazali, M Bahri. 2003. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Prasasti: Jakarta
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Hadimulyo. 1985. Dua Pesantren, Dua Wajah Budaya dalam Pergulatan Dunia
Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:
Jakarta
Hermansyah, Tantan. 2003. Hubungan dan Refleksi Teologi Terhadap Kehidupan
Sosial Masyarakat Pesantren Pedesaan Kampung Garogol Garut. Thesis
tidak dipublikasikan. IPB: Bogor
Hidayat, Komaruddin. 1985. Pesantren dan Elit Desa dalam Pergulatan Dunia
Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:
Jakarta
Horikoshi, Hiroko. 1986. Kyai dan Perubahan Sosial. Terj. Umar Basalim dan
Andi Mualy Sunrawa. P3M: Jakarta
Houben, Vincent J. 2003. Southeast Asia and Islam. The ANNALS of American
Academy of Political and Social Science
Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran
Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Mata Bangsa: Yogyakarta
Izzi Deen, Mawil Y. 1990. Islamic Environmental Ethics: Law and Society dalam
Ethic of Environment and Development. Engel and Engel (ed). The
University of Arizona Press: Tucson
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan
oleh Robert M Z Lawang. Jakarta: PT. Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. LP3ES;
Jakarta.
Keraf, A Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas: Jakarta
Luke, Timothy W. 2002. Deep Ecology: Living as if Nature Matered: Deval and
Sessions on Defending the Earth. Organization and Environment Journal.
116
Mahmudunnasir, Syed. 1991. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Penerbit PT.
Remaja Rosdakarya: Bandung
Mangunjaya, Fachruddin M dan Ahmad Sudirman Abbas. 2009. Khazanah Alam:
Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Mangunjaya, Fachruddin M, Hesain Heriyanto, dan Reza Gholami (ed). 2007.
Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan
Hidup. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology. Sage Publications:
London
McLaughlin, Andrew. 1995. The Hearth of Deep Ecology dalam Deep Ecology
for the 21st Century: Reading on the Pholosophy and Practice of the New
Environmentalism, editor George Sessions. Shambhala Publications:
Massachusetts
Mintarti. 2001. Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi di Kalangan NU dan
Muhammadiyah. Yogyakarta: Jurnal Sosiohumanika.
Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Morrison, Ken. 1995. Marx, Durkheim, Weber; Formations of Modern Social
Thought. Sage Publications: London
Muhammad, Husein. 2007. Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam dalam
Menanam Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain
Heriyanto dan Reza Gholami. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Naess, Arne. 1995. The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements:
A Summary dalam Deep Ecology for the 21st Century: Reading on the
Pholosophy and Practice of the New Environmentalism, editor George
Sessions. Shambhala Publications: Massachusetts
Naess, Arne. 1995. Deep Ecology for the Twenty-second Century dalam Deep
Ecology for the 21st Century: Reading on the Pholosophy and Practice of the
New Environmentalism, editor George Sessions. Shambhala Publications:
Massachusetts
Nasr, Seyyed Hossein. 1990. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man. Unwim Paperbacks: London.
117
Nasr, Seyyed Hossein. 1996. Religion and the Order of Nature. Oxford University
Press: New York
Nasr, Seyyed Hossein. 2003. The Heart of Islam: Pesan-pesan Universial Islam
Untuk Kemanusiaan. Penerbit Mizan: Bandung
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan. UI-Press: Jakarta
Ozdemir, Ibrahim. 2003. Toward an Understanding of Environmental Ethics from
a Qur’anic Perspective dalam Islam and Ecology Editor Richard C Foltz,
Frederick M Denny dan Azizan Baharuddin. Center for the Study of World
Religions, Harvard Divinity School: Cambridge
Rahardjo, M Dawam (ed). 1985. Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari
Bawah. P3M: Jakarta
Rambo, Terry A. 1981. Conceptual Approaches to Human Ecology: A
Sourcebook on Alternative Paradigms For The Study of Human Interactions
With The Environment. East-West Environment and Policy Institute: Hawaii
Romas, Chumaidi Syarief. 2003. Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Kreasi
Wacana: Yogyakarta
Rootes, Christopher. 2002. Environmental Movements Local, National and
Global. Frank Cass Publishers: London
Sairin, Safri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif
Antropologis. Pustaka Pelajar: Jogyakarta
Sardar, Ziauddin. 2006. How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam,
Science and Cultural Relations. Pluto Press: London.
Sitorus, Felix MT. 1998. Penelitian Kualitatif; Suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial IPB: Bogor.
Sobary, Mohammad. 2007. Kesalehan Sosial. Yogyakarta: LKis.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Djambatan: Jakarta
Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. LP3ES; Jakarta
Suyata. 1985. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial yang Hidup dalam Pergulatan
Dunia Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo.
P3M: Jakarta
118
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Erlangga: Jakarta
Wahid, Abdurrahman. 1985. Pesantren Sebagai Subkultur dalam Pesantren dan
Pembaharuan ed. M Dawam Rahardjo. LP3ES: Jakarta
Wahid, Abdurrahman. 1987. Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial?
Sebuah Pengantar dalam Kyai dan Perubahan Sosial, Hiroko Horikoshi.
P3M: Jakarta
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. LKiS:
Yacub, M. 1984. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa.
Angkasa: Bandung
Yamin, Kafil. 2007. Nyala Kecil Revolusi Hijau di Tungku Al- Wasilah dalam
Menanam Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain
Heriyanto dan Reza Gholami. Obor: Jakarta
Zubaedi. 2007. Pemberdayaan Masyarakat BerbasisPesantren: Kontribusi Fiqh
Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta
Website
www.nu.or.id
www.tnhalimun.go.id
www.nature-of-indonesia.blogspot.com
www.agamadanekologi.blogspot.com