manajemen birokrasi profesional untuk mengatasi

16
1 PENTINGNYA MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK Oleh : Agus Suryono – FIA Unibraw Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3). Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ? Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann

Upload: saiiankk

Post on 26-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

gfhjjj

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

1

PENTINGNYA MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM

PELAYANAN PUBLIK

Oleh : Agus Suryono – FIA Unibraw

Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern

benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan

mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi

yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan,

melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang

menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).

Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu

dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya

manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum,

keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995)

menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan

kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten

terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian

memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur

daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?

Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang

termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak

efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah

ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan

umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan

sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.

Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993;

Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan

berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan

jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali.

Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk

memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann

Page 2: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

2

terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi

atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh

birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy)

dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat

sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-

kewenangan barunya secara optimal.

Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap

konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi

terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa

birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa

alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya

antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk

organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga,

birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian

manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan

sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan

fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.

Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya

hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di

dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada

abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di

dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung

berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita

menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model

birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang

berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan

dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat,

maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota

masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan

kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan

pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy

(1998:7) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan,

pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang

Page 3: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

3

dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya

kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak

mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang

dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar

pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin

menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif

yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.

Menurut Islamy (1998:7), terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan

birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau

orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap

administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah

gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia,

peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic

infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering

terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan

kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di

lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi

aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya. Apakah

birokrasi publik itu alat rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu sendiri?

Guna merespon kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu

melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi

harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal

pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan

kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan

organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang

mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu

ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada

masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem

dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern

yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan

kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan

diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu

pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri

Page 4: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

4

dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang

strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang

mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada

masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada

tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan

lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh

masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya

sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek

persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau

aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas

kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency

atau coherency).

Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah

seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi

professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan

yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada

pencapaian tujuan (goal oriented).

Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan professionalisasi,

Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur

pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan

pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative

dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya,baik sebagai akibat perluasan

kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-

pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama

dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya

pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga,

memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang

menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip

professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat,

menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan

dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju

bentuk akhir profesionalisme.

Page 5: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

5

Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional

harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada

pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus,

paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-

praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi yang

hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost

economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape,

rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai

lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.

Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk

memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai

tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa

berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman

kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat

dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka

organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street

level bureaucracy) yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-

pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang

lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah

bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam

rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi

sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-

program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi

dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-

tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan

berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas

pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan

pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila

masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur

pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak

Page 6: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

6

menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal

pelayanan publik).

Strategi manajemen birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini

ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain: Pertama, perubahan yang

besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang

lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.

Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,

pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan

organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan

dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing,

termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. Keempat, staf pimpinan

yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan

dapat pula bersikap non partisan dan netral. Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa

dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak

ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. Keenam,

mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. Ketujuh,

birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas

pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang

bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism.

Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik ini telah

banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama

“managerialism” oleh Pollitt (1990), “new public management” oleh Hood

(1991), “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992),

dan “ entrepreneurial government/ Reinventing Government” oleh Osborn dan

Gaebler (1992). Apapun label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan

manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi

birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process”

menuju ke “product”, atau dari “ rule governance” menuju ke “goal governance”.

Tetapi perlu diingat, bahwa dalam perdebatan teoritis dari kedua kutub

orientasi ini, baik rule governance maupun goal governance memiliki segi

kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Kelemahan rule governance,

misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan yang kaku, bercirikan

struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,dan

Page 7: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

7

sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin rasional” yang

menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang peka terhadap

terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Akibat dari struktur

birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya dis-

fungsional, in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani

karena sifat impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules) sebagai sarana untuk

mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri. Segi kelebihannya,

menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh birokrasi

publik.

Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus utamanya

pada “the achievement of result and taking individual responsibility for their

achievement”.Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip

manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik. Misalnya, sampai

sekarang masih terjadi diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam

entrepreneurial government-nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka

kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu Reinventing Government.

Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba

menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang pemerintahan ternyata

menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik

Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias

pada “ new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada

orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik

yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Oleh

karena itu, Painter menyebutnya bukannya reinventing government melainkan

pemerintahan yang sudah dalam keadaan tertinggal (abandoning government),

karena Osborn dan Gaebler sebenarnya telah menghapuskan atau setidak-tidaknya

telah membelotkan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut (lama

dan baru) bisa disatu padukan. Kritik yang lain, misalnya dari Pollitt (dalam

Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip entrepreneurship di

sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut

dengan mengatakan : “ First, the provider/consumer transactions in the public

services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a

Page 8: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

8

normal market; and second, public service consumers are never merely

consumers, they are always citizens too, and they has a set of unique implications

for the transactions”( Pertama, transaksi, provider/ konsumer dalam pelayanan

publik cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada

berhadapan dengan pelanggan di pasar yang normal; Kedua, pengguna pelayanan

publik tidak hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan

mereka adalah bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi).

Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya

repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara

dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes

mengatakan : .....the best parts of the old model professionalism, impartiality, high

ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the

improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model

profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat

korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model

manajerialnya).

Memahami perdebatan persoalan tatanan dan pertikaian (order and

conflict) seperti diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-politik sering

membandingkannya dengan perdebatan hubungan antara struktur dengan

tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan Watson (1988)

mengemukakan sebagai berikut : “What is the relationship between structure and

agency? The two seem inimical: structure apparently means givenness,

constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity, autonomy,

fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it primarily one

or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate agency, does

emphasis on agency dispose of structure?”.

Tampaknya, hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung

digambarkan sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering digambarkan sebagai

suatu ketentuan, kekuatan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan tindakan

cenderung menampakkan daya cipta, otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu,

penting untuk diajukan pertanyaan. Manakah yang lebih mendasar, struktur atau

tindakan? Benarkan bila penekanan diberikan kepada struktur berarti

menghilangkan atau meminggirkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila

Page 9: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

9

penekanan diberikan kepada tindakan berarti membuang struktur begitu saja?

Benarkah bahwa tertib yang berlangsung dalam birokrasi selalu bersifat

impersonal? Benarkan bahwa para pejabat birokrasi hanya tunduk kepada suatu

tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya? Mengapa birokrasi

cenderung bertindak berbeda pada setting ruang dan waktu yang berbeda? apakah

perubahan yang dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan fungsi reformasi yang

dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah sekedar formalitas sebagai

kewajiban struktural yang cenderung statusquo; atau hanya sebagai mesin alat

penggerak untuk memanipulasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada

kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy)?.

Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain dapat dijawab melalui pandangan

kelompok: aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi.

Aliran strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa

kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat

dipakai untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi sosial dari kekuasaan adalah

untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaan

sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud kepemimpinan yang

bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat

bagi semua golongan masyarakat. Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya

tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut

pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat

memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum

strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo) dengan

mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak mampuannya

mengatasi konflik secara efektif ( Cohen, 1968; Gouldner, 1970; Abrahamson,

1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena birokrasi

profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan gerakan

moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma kinerja

birokrasi.

Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci,

Baran, Coser, dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini justru melihat

tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi

politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai

Page 10: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

10

dengan suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda

dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ ras/

budaya yang menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan dominasi ekonomi

ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara

kepentingan kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran

strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan

bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan

menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan

dan kemasyarakatan.

Adapun menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998) mencoba

mencari hubungan antara struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak

memandang struktur dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga

menghasilkan dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan

secara dialektis dan kontinuum sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor

atau agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam meng

konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri.

Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara

rutin dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi

orang terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas

tersebut. Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia

(constraining) tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada

manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus

(the janus face of power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial

yang penting, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur.

Dualitas struktur menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial di

produksi dan juga bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam

kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas.

Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering

dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain : (a) masih sedikitnya bukti

empirik yang bisa memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah

struktur, tetapi justru struktur merubah aktor atau agen. (b) Giddens dipandang

gagal menjelaskan fenomena konflik; (c) diragukan keaslian, kedalaman,

kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of perspectivism), karena

Page 11: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

11

berasal dari pinjaman berbagai teori lain; (d) dan dicurigai karena pendirian

politiknya cenderung mendukung statusquo.

Implikasi hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi profesional

diharapkan akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan

pembagian konsep ruang publik (public sphere) dan ruang pribadi (private

sphere) dalam pembaharuan perubahan orientasi tindakan birokrasi.

Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing

wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional

masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia

ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik

(best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.

Dengan tanpa mengurangi rasa optimisme para pembaca penulis akan

mengutip salah satu pernyataan dari Terence J. Johnson (1991) untuk bahan

renungan dan instropeksi diri kita bersama. Beliau mengatakan sebagai berikut:

Benarkah? Sangat boleh jadi,…… pada masa revolusi industri di Eropa,

profesionalisme yang demikian itu sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan

fenomena historis yang sangat konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa

kini nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos. Profesionalisme sejati telah

memudar, dan kaum professional seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah

laku money-mindedness. Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh

birokratisasi pelayanan dan oleh berbagai pengawasan. Betapa lembaga

profesionalisme telah mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat.

Demikian, kata Johnson.

Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan

kemunduran birokrasi dalam hal pelayanan publik sebagai solusi strateginya perlu

memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma

birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih

mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan

kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan

masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan

daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik

dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme

pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan

Page 12: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

12

masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong

leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya

pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8)

adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus

menerus dan demokratis, dst.

Malang, Nopember 2002.

SUMBER BACAAN :

Albrow, Martin, 1996, Birokrasi,Yogyakarta, Tiara Wacana. Baert, Patrick, 1998, Social Theory Twentieth Century, Cambridge, Polity Press. Bendix, Reindhard, 1977, Bureaucracy, International Encyiclopedia of the Social

Sciences, New York: Free Press. Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Birokrasi Dalam Masyarakat

Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya. Buchori, Mochtar, 1982, Pola Tingkah Laku Birokrasi sebagai Akibat Pengaruh

Kebudayaan, dalam Prisma, 6 Juni 1982: 70-85. Castles, Lance, 1986, Birokrasi : Kepemimpinan dan Perubahan Sosial di

Indonesia, Surakarta, Hapsara. Crozier, Michael, 1964, The Bureaucratic Phenomenon, London, Tavistock

Publication. Dvorin, Eugene.P dan Simmons, Robert H, 2000, Dari Amoral sampai Birokrasi

Humanisme, Jakarta, Prestasi Pustakaraya. Etzioni-Halevy,Eva, 1983, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma,

London, Boston, Melbourne and Henle, Routledge and Kegan Paul. Evers, Hans Dieter, 1987, The Bureaucratization of Southeast Asia, dalam

Comparative Studies in Society and History, Volume 29, Number 4, 1997. Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press. Hariandja, Denny, BC, 1999, Birokrasi Nan Pongah : Belajar dari Kegagalan

Orde Baru, Yogyakarta, Kanisius.

Page 13: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

13

Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (ed), 1994, The Post Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, London, New Delhi: Sage Publications.

Henderson, Keith M, and Dwivedi,O.P, 1999, Bureaucracy and The Alternatives

in World Perspective, London: Macmilland Press Ltd. Hill, Larry.B (ed), 1992, The State of Public Bureaucracy, Armonk, New York,

London, England: M.E.Sharpe,Inc. Hughes, O.E, 1994, Public management and Administration, New York,

St.martin’s Press Inc. Islamy, Muh.Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara,

Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya. Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (eds), 1978, Political Power and

Communication in Indonesia, Berkeley, University of California Press. Johnson, Terence.J, 1991, Profesi Dan Kekuasaan: Merosotnya Peran Kaum

Profesional dalam Masyarakat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti. Kaisiepo, Manuel, 1987, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara:

Birokrasi dan Politik Indonesia, Jurnal Politik 2, Jakarta, Gramedia. Kartasasmita, Ginanjar, 1995, Pembangunan Menuju Bangsa Yang Maju Dan

Mandiri, Pidato Ilmiah penerimaan gelar Dr.HC dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada, 15 April 1995.

Kuntjorojakti,D, 1980, Bureaucracy in the Third World: Instrument of the People,

Instrument of the Rulers or the Ruler?, dalam Prisma (edisi bahasa Inggris), Nomor.19, Desember 1980.

Lane, J.E,1995, The Public Sector, London, SAGE Publication. Michels, Robert, 1984, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkhis dalam

Birokrasi, Jakarta, Rajawali Press. Moertono, Soemarsaid, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa

Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Muhaimin, Yahya, 1980, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No.10,

Jakarta, LP3ES. Ndraha, Taliziduhu, 1986, Birokrasi Pembangunan : Dominasi atau Alat

Demokratisasi, Jurnal Ilmu Politik 1, Jakarta, Gramedia.

Page 14: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

14

Osborn, David and Gaebler,Ted, 1996, Mewirausahakan Birokrasi: Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor publik, Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo.

Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2000, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi

Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta, PPM. Painter, Chris, 1994, Public Service Reform: Reinventing or Abonding

Government?, dalam The Political Quartely, Oxford: Blackwell Publishers.

Palombara, La, 1967, Bureaucracy and Political Development, New Jersey,

Princeton. Parkinson,C.Northcote,1962, Parkinson’s Law, Houghton Mifflin, Boston. Perrow, Charles, 1979, Complex Organization, Scott Foresman, Glenview,

Illinois. Putra, Fadillah dan Arif, Saiful, 2001, Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinventing

Government Osborne Gaebler, Yogyakarta, LKiS. Rourke, Francis, 1992, American Exceptionalism: Government without

Bureaucracy, dalam L.B Hill (ed), The State of Public Bureaucracy, New York:M.E, Sharpe, Inc.

Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural

dan Struktural, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi: Tinjauan dari Aspek Politik dan

Administrasi, Cakung Payangan Bekasi, Gugus Press. Sharrock,W and Watson.R, 1988, Autonomy among Social Theory, dalam Nigel

G.Fielding, ed, Action and Structure: Research Methods and Social Theory, London; Sage Publications.

Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi Dan Terapinya,

Jakarta, Ghalia Indonesia. Steinberg, Sheldon.S dan Austern, David T, Government, Ethics And Managers:

Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Bandung, Remaja Rosda Karya. Sumoprawiro, Hariyoso,2002, Pembaruan Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik,

Jakarta, Peradaban. Surbakti, Ramlan, 1994, Karakteristik Dan Penampilan Birokrasi Perkotaan,

Surabaya, Program Pasca sarjana Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Airlangga.

Page 15: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

15

Sutherland, Heather, 1983, Terbentuknya Sebuah Elite Birokasi, Jakarta, Sinar Harapan.

Tjokrowinoto, Moeljarto,2001, Birokrasi dalam Polemik, Saiful Arif (editor),

Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor), 1999, Menyoal Birokrasi Publik,

Jakarta, Balai Pustaka. Turner, Jonathan H, 1974, The Structure of Sociological Theory, Georgetown

Ontario, The Dorsey Press. Vroom,CW, 1982, Pembangunan Organisasi: Sebuah Telaah Ulang tentang Tesis

Birokrasi Patrimonial Rasional di Asia, Jakarta, Prisma 6, LP3ES.

Page 16: Manajemen Birokrasi Profesional Untuk Mengatasi

16