manajemen birokrasi profesional untuk mengatasi
DESCRIPTION
gfhjjjTRANSCRIPT
1
PENTINGNYA MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM
PELAYANAN PUBLIK
Oleh : Agus Suryono – FIA Unibraw
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern
benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan
mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi
yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan,
melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang
menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu
dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya
manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum,
keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995)
menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan
kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten
terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian
memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur
daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang
termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak
efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah
ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan
umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan
sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993;
Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan
berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan
jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali.
Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk
memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann
2
terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi
atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh
birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy)
dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat
sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-
kewenangan barunya secara optimal.
Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap
konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi
terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa
birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa
alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya
antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk
organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga,
birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian
manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan
sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan
fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.
Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya
hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di
dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada
abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di
dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung
berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita
menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model
birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang
berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan
dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat,
maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota
masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan
kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan
pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy
(1998:7) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan,
pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang
3
dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya
kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak
mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang
dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar
pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin
menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif
yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Menurut Islamy (1998:7), terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan
birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau
orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap
administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah
gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia,
peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic
infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering
terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan
kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di
lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi
aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya. Apakah
birokrasi publik itu alat rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu sendiri?
Guna merespon kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi
harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan
organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu
ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada
masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem
dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern
yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan
kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan
diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu
pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri
4
dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang
strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang
mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada
masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan
lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya
sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek
persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau
aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas
kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah
seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi
professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan
yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada
pencapaian tujuan (goal oriented).
Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan professionalisasi,
Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur
pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan
pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative
dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya,baik sebagai akibat perluasan
kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-
pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama
dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya
pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga,
memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang
menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip
professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat,
menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan
dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju
bentuk akhir profesionalisme.
5
Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional
harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada
pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus,
paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-
praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi yang
hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost
economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape,
rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai
lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa
berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman
kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka
organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street
level bureaucracy) yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-
pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang
lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah
bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi
sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-
program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi
dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-
tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan
berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila
masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
6
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik).
Strategi manajemen birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini
ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain: Pertama, perubahan yang
besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang
lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,
pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan
organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan
dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing,
termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. Keempat, staf pimpinan
yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan
dapat pula bersikap non partisan dan netral. Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa
dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak
ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. Keenam,
mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. Ketujuh,
birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas
pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang
bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik ini telah
banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama
“managerialism” oleh Pollitt (1990), “new public management” oleh Hood
(1991), “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992),
dan “ entrepreneurial government/ Reinventing Government” oleh Osborn dan
Gaebler (1992). Apapun label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan
manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi
birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process”
menuju ke “product”, atau dari “ rule governance” menuju ke “goal governance”.
Tetapi perlu diingat, bahwa dalam perdebatan teoritis dari kedua kutub
orientasi ini, baik rule governance maupun goal governance memiliki segi
kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Kelemahan rule governance,
misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan yang kaku, bercirikan
struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,dan
7
sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin rasional” yang
menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang peka terhadap
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Akibat dari struktur
birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya dis-
fungsional, in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani
karena sifat impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules) sebagai sarana untuk
mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri. Segi kelebihannya,
menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh birokrasi
publik.
Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus utamanya
pada “the achievement of result and taking individual responsibility for their
achievement”.Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip
manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik. Misalnya, sampai
sekarang masih terjadi diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam
entrepreneurial government-nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka
kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu Reinventing Government.
Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba
menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang pemerintahan ternyata
menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik
Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias
pada “ new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada
orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik
yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Oleh
karena itu, Painter menyebutnya bukannya reinventing government melainkan
pemerintahan yang sudah dalam keadaan tertinggal (abandoning government),
karena Osborn dan Gaebler sebenarnya telah menghapuskan atau setidak-tidaknya
telah membelotkan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut (lama
dan baru) bisa disatu padukan. Kritik yang lain, misalnya dari Pollitt (dalam
Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip entrepreneurship di
sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut
dengan mengatakan : “ First, the provider/consumer transactions in the public
services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a
8
normal market; and second, public service consumers are never merely
consumers, they are always citizens too, and they has a set of unique implications
for the transactions”( Pertama, transaksi, provider/ konsumer dalam pelayanan
publik cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada
berhadapan dengan pelanggan di pasar yang normal; Kedua, pengguna pelayanan
publik tidak hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan
mereka adalah bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi).
Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya
repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara
dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes
mengatakan : .....the best parts of the old model professionalism, impartiality, high
ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the
improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model
profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat
korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model
manajerialnya).
Memahami perdebatan persoalan tatanan dan pertikaian (order and
conflict) seperti diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-politik sering
membandingkannya dengan perdebatan hubungan antara struktur dengan
tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan Watson (1988)
mengemukakan sebagai berikut : “What is the relationship between structure and
agency? The two seem inimical: structure apparently means givenness,
constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity, autonomy,
fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it primarily one
or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate agency, does
emphasis on agency dispose of structure?”.
Tampaknya, hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung
digambarkan sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering digambarkan sebagai
suatu ketentuan, kekuatan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan tindakan
cenderung menampakkan daya cipta, otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu,
penting untuk diajukan pertanyaan. Manakah yang lebih mendasar, struktur atau
tindakan? Benarkan bila penekanan diberikan kepada struktur berarti
menghilangkan atau meminggirkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila
9
penekanan diberikan kepada tindakan berarti membuang struktur begitu saja?
Benarkah bahwa tertib yang berlangsung dalam birokrasi selalu bersifat
impersonal? Benarkan bahwa para pejabat birokrasi hanya tunduk kepada suatu
tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya? Mengapa birokrasi
cenderung bertindak berbeda pada setting ruang dan waktu yang berbeda? apakah
perubahan yang dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan fungsi reformasi yang
dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah sekedar formalitas sebagai
kewajiban struktural yang cenderung statusquo; atau hanya sebagai mesin alat
penggerak untuk memanipulasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada
kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy)?.
Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain dapat dijawab melalui pandangan
kelompok: aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi.
Aliran strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa
kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat
dipakai untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi sosial dari kekuasaan adalah
untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaan
sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud kepemimpinan yang
bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat
bagi semua golongan masyarakat. Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut
pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat
memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum
strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo) dengan
mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak mampuannya
mengatasi konflik secara efektif ( Cohen, 1968; Gouldner, 1970; Abrahamson,
1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena birokrasi
profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan gerakan
moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma kinerja
birokrasi.
Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci,
Baran, Coser, dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini justru melihat
tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi
politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai
10
dengan suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda
dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ ras/
budaya yang menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan dominasi ekonomi
ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara
kepentingan kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran
strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan
bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan
menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan
dan kemasyarakatan.
Adapun menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998) mencoba
mencari hubungan antara struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak
memandang struktur dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga
menghasilkan dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan
secara dialektis dan kontinuum sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor
atau agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam meng
konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri.
Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara
rutin dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi
orang terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas
tersebut. Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia
(constraining) tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada
manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus
(the janus face of power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial
yang penting, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur.
Dualitas struktur menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial di
produksi dan juga bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam
kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas.
Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering
dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain : (a) masih sedikitnya bukti
empirik yang bisa memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah
struktur, tetapi justru struktur merubah aktor atau agen. (b) Giddens dipandang
gagal menjelaskan fenomena konflik; (c) diragukan keaslian, kedalaman,
kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of perspectivism), karena
11
berasal dari pinjaman berbagai teori lain; (d) dan dicurigai karena pendirian
politiknya cenderung mendukung statusquo.
Implikasi hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi profesional
diharapkan akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan
pembagian konsep ruang publik (public sphere) dan ruang pribadi (private
sphere) dalam pembaharuan perubahan orientasi tindakan birokrasi.
Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing
wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional
masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia
ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik
(best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.
Dengan tanpa mengurangi rasa optimisme para pembaca penulis akan
mengutip salah satu pernyataan dari Terence J. Johnson (1991) untuk bahan
renungan dan instropeksi diri kita bersama. Beliau mengatakan sebagai berikut:
Benarkah? Sangat boleh jadi,…… pada masa revolusi industri di Eropa,
profesionalisme yang demikian itu sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan
fenomena historis yang sangat konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa
kini nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos. Profesionalisme sejati telah
memudar, dan kaum professional seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah
laku money-mindedness. Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh
birokratisasi pelayanan dan oleh berbagai pengawasan. Betapa lembaga
profesionalisme telah mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat.
Demikian, kata Johnson.
Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan
kemunduran birokrasi dalam hal pelayanan publik sebagai solusi strateginya perlu
memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma
birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih
mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan
kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan
masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan
daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik
dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme
pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan
12
masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong
leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya
pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8)
adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus
menerus dan demokratis, dst.
Malang, Nopember 2002.
SUMBER BACAAN :
Albrow, Martin, 1996, Birokrasi,Yogyakarta, Tiara Wacana. Baert, Patrick, 1998, Social Theory Twentieth Century, Cambridge, Polity Press. Bendix, Reindhard, 1977, Bureaucracy, International Encyiclopedia of the Social
Sciences, New York: Free Press. Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Birokrasi Dalam Masyarakat
Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya. Buchori, Mochtar, 1982, Pola Tingkah Laku Birokrasi sebagai Akibat Pengaruh
Kebudayaan, dalam Prisma, 6 Juni 1982: 70-85. Castles, Lance, 1986, Birokrasi : Kepemimpinan dan Perubahan Sosial di
Indonesia, Surakarta, Hapsara. Crozier, Michael, 1964, The Bureaucratic Phenomenon, London, Tavistock
Publication. Dvorin, Eugene.P dan Simmons, Robert H, 2000, Dari Amoral sampai Birokrasi
Humanisme, Jakarta, Prestasi Pustakaraya. Etzioni-Halevy,Eva, 1983, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma,
London, Boston, Melbourne and Henle, Routledge and Kegan Paul. Evers, Hans Dieter, 1987, The Bureaucratization of Southeast Asia, dalam
Comparative Studies in Society and History, Volume 29, Number 4, 1997. Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press. Hariandja, Denny, BC, 1999, Birokrasi Nan Pongah : Belajar dari Kegagalan
Orde Baru, Yogyakarta, Kanisius.
13
Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (ed), 1994, The Post Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, London, New Delhi: Sage Publications.
Henderson, Keith M, and Dwivedi,O.P, 1999, Bureaucracy and The Alternatives
in World Perspective, London: Macmilland Press Ltd. Hill, Larry.B (ed), 1992, The State of Public Bureaucracy, Armonk, New York,
London, England: M.E.Sharpe,Inc. Hughes, O.E, 1994, Public management and Administration, New York,
St.martin’s Press Inc. Islamy, Muh.Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara,
Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya. Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (eds), 1978, Political Power and
Communication in Indonesia, Berkeley, University of California Press. Johnson, Terence.J, 1991, Profesi Dan Kekuasaan: Merosotnya Peran Kaum
Profesional dalam Masyarakat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti. Kaisiepo, Manuel, 1987, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara:
Birokrasi dan Politik Indonesia, Jurnal Politik 2, Jakarta, Gramedia. Kartasasmita, Ginanjar, 1995, Pembangunan Menuju Bangsa Yang Maju Dan
Mandiri, Pidato Ilmiah penerimaan gelar Dr.HC dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada, 15 April 1995.
Kuntjorojakti,D, 1980, Bureaucracy in the Third World: Instrument of the People,
Instrument of the Rulers or the Ruler?, dalam Prisma (edisi bahasa Inggris), Nomor.19, Desember 1980.
Lane, J.E,1995, The Public Sector, London, SAGE Publication. Michels, Robert, 1984, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkhis dalam
Birokrasi, Jakarta, Rajawali Press. Moertono, Soemarsaid, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa
Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Muhaimin, Yahya, 1980, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No.10,
Jakarta, LP3ES. Ndraha, Taliziduhu, 1986, Birokrasi Pembangunan : Dominasi atau Alat
Demokratisasi, Jurnal Ilmu Politik 1, Jakarta, Gramedia.
14
Osborn, David and Gaebler,Ted, 1996, Mewirausahakan Birokrasi: Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor publik, Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2000, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta, PPM. Painter, Chris, 1994, Public Service Reform: Reinventing or Abonding
Government?, dalam The Political Quartely, Oxford: Blackwell Publishers.
Palombara, La, 1967, Bureaucracy and Political Development, New Jersey,
Princeton. Parkinson,C.Northcote,1962, Parkinson’s Law, Houghton Mifflin, Boston. Perrow, Charles, 1979, Complex Organization, Scott Foresman, Glenview,
Illinois. Putra, Fadillah dan Arif, Saiful, 2001, Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinventing
Government Osborne Gaebler, Yogyakarta, LKiS. Rourke, Francis, 1992, American Exceptionalism: Government without
Bureaucracy, dalam L.B Hill (ed), The State of Public Bureaucracy, New York:M.E, Sharpe, Inc.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural
dan Struktural, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi: Tinjauan dari Aspek Politik dan
Administrasi, Cakung Payangan Bekasi, Gugus Press. Sharrock,W and Watson.R, 1988, Autonomy among Social Theory, dalam Nigel
G.Fielding, ed, Action and Structure: Research Methods and Social Theory, London; Sage Publications.
Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi Dan Terapinya,
Jakarta, Ghalia Indonesia. Steinberg, Sheldon.S dan Austern, David T, Government, Ethics And Managers:
Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Bandung, Remaja Rosda Karya. Sumoprawiro, Hariyoso,2002, Pembaruan Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik,
Jakarta, Peradaban. Surbakti, Ramlan, 1994, Karakteristik Dan Penampilan Birokrasi Perkotaan,
Surabaya, Program Pasca sarjana Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Airlangga.
15
Sutherland, Heather, 1983, Terbentuknya Sebuah Elite Birokasi, Jakarta, Sinar Harapan.
Tjokrowinoto, Moeljarto,2001, Birokrasi dalam Polemik, Saiful Arif (editor),
Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor), 1999, Menyoal Birokrasi Publik,
Jakarta, Balai Pustaka. Turner, Jonathan H, 1974, The Structure of Sociological Theory, Georgetown
Ontario, The Dorsey Press. Vroom,CW, 1982, Pembangunan Organisasi: Sebuah Telaah Ulang tentang Tesis
Birokrasi Patrimonial Rasional di Asia, Jakarta, Prisma 6, LP3ES.
16