managemen laba dan gcg

44
14 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Manajemen Laba II.1.1 Pengertian Manajemen Laba Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh pihak eksternal. Manajemen laba (earning management) didefinisikan oleh beberapa peneliti akuntansi secara berbeda-beda sbb : 1. Widyaningdyah (2001 :92) membagi definisi manajemen laba menjadi dua yaitu:

Upload: kireta14

Post on 17-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Managemen Laba dan GCG

TRANSCRIPT

Page 1: Managemen Laba dan GCG

14 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Manajemen Laba

II.1.1 Pengertian Manajemen Laba

Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai

dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan.

Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial

Accounting Concept (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan

keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena

memiliki nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha

untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh

pihak eksternal.

Manajemen laba (earning management) didefinisikan oleh beberapa

peneliti akuntansi secara berbeda-beda sbb :

1. Widyaningdyah (2001 :92) membagi definisi manajemen laba menjadi dua

yaitu:

Page 2: Managemen Laba dan GCG

15 

 

a. Definisi sempit

Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan

metode akuntansi. Earning management dalam artian sempit ini

didefinisikan sebagai perilaku manager untuk “bermain” dengan

komponen discretionary accruals dalam penentuan besarnya laba.

b. Definisi luas

Earning management merupakan tindakan manajer untuk

meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas unit

dimana manager bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan

peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit

tersebut.

2. Healy dan Wahlen (1999: 368) memberikan definisi manajemen laba yang

ditinjau dari sudut pandang penetap standar, yaitu manajemen laba terjadi

ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan

keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan

sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi

yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang

menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.

3. Schipper (1989: 92) mengartikan manajemen laba dari sudut pandang fungsi

pelaporan pada pihak eksternal, sebagai disclosure management, dalam

pengertian bahwa manajemen melakukan intervensi terhadap proses

Page 3: Managemen Laba dan GCG

16 

 

pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh

keuntungan pribadi.

4. Menurut Assih dan Gundono (2000: 37) mengartikan manajemen laba sebagai

suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted

Accounting Pincipples (GAAP) untuk mengarah pada suatu tingkat yang

diinginkan atas laba yang dilaporkan.

Meskipun sudut pandang definisi manajemen laba yang telah

dikemukakan oleh beberapa peneliti akuntansi berbeda, namun pada dasarnya

definisi manajemen laba yang dikemukakan mengarah pada perspektif

opportunist.

Scott (2000: 351) membagi cara pemahaman atas manajemen laba

menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer

untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,

kontrak uang, dan political cost (opportunistic Earnings Management).

Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting

(efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer

suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam

mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-

pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian manajer dapat

mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melakukan manajemen laba,

misalnya dengan membuat perataan laba dan pertumbuhan laba sepanjang

Page 4: Managemen Laba dan GCG

17 

 

waktu. Selain itu, dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tidak hanya dengan cara

memaksimalkan laba tetapi juga dengan meminimalkan laba.

II.1.2 Bentuk-bentuk Manajemen Laba

Bentuk-bentuk pengaturan laba yang dikemukakan oleh Scott (2003:

383) yaitu :

1. Taking a bath

Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan

dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya penggantian direksi.

Jika teknik ini digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang

akan datang diakui pada periode berjalan. Ini dilakukan jika kondisi yang

tidak menguntungkan tidak bisa dihindari. Akibatnya, laba pada periode

yang akan datang menjadi tinggi meskipun kondisi tidak menguntungkan.

2. Income minimization

Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau

motif meminimunkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan

memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat

perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa

penghapusan (write off) atas barang-barang modal dan aktiva tak

berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset, dan pengembangan yang

cepat.

Page 5: Managemen Laba dan GCG

18 

 

3. Income maximization

Maksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar,

selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran

atas kontrak hutang jangka panjang (debt covenant).

4. Income smoothing

Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend

pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang

meningkat atau menurun secara drastis.

5. Timing Revenue dan Expenses Recognation.

Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan

dengan timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas

pendapatan.

II.1.3 Motivasi Manajemen Laba

Menurut Scott (2003: 377), motivasi manajemen melakukan tindakan

pengaturan laba adalah sebagai berikut :

1. Rencana Bonus (bonus scheme)

Manajer perusahaan yang mendapatkan rencana bonus akan memilih

kebijakan akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan

manajer perusahaan tanpa rencana bonus. Manajer dengan rencana bonus

akan menghindari metode akuntansi yang mungkin melaporkan net

income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk

Page 6: Managemen Laba dan GCG

19 

 

menentukan besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi

yang dapat memaksimumkan laba.

Dalam rencana bonus ada istilah bogey dan capbogey merupakan

tingkat laba minimum untuk memperoleh bonus. Sedangkan cap adalah

tingkat laba maksimum untuk memperoleh bonus. Jika laba ada di atas

cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dilakukan antara

pemegang saham dan manajer. Manajemen laba dapat dilakukan dengan

menggeser laba ke periode berikutnya. Jika laba berada dibawah bogey

maka manajer akan semakin mengurangi laba bersih. Dengan demikian

kemungkinan untuk mendapatkan bonus di periode berikutnya akan

meningkat.

2. Kontrak utang jangka panjang (Debt Covenant)

Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian

untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakan-

tindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang

berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan

kekayaan pemilik berada dibawah tingkat yang telah ditentukan yang

mana semuanya menurunkan keamanan atau menaikkan risiko bagi

kreditur yang telah ada.

Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori

akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan dengan

pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih

Page 7: Managemen Laba dan GCG

20 

 

metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke

periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan

mengalami pelanggaran kontrak.

3. Motivasi Politis (political motivation)

Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya

perusahaan besar dan strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup

orang banyak. Perusahaan yang berkecimpung dibidang penyediaan

fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti listrik, air, telekomunikasi,

dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat perhatian dari

pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung menurunkan

laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode

kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh

kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.

4. Motivasi Perpajakan (taxation motivation)

Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan

mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang

dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besarnya pajak yang

harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang dilakuan

misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba

bersih yang dihasilkan rendah.

Page 8: Managemen Laba dan GCG

21 

 

5. Pergantian Direksi

Beragam motivasi timbul disekitar waktu pergantian direksi sebagai

contoh, direksi yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan

melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.

Demikian juga dengan direksi yang kurang berhasil memperbaiki kinerja

perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau

membatalkan pemecatannya.

6. Penawaran Perdana (initial public offering)

Ketika perusahaan dinyatakan telah go public, informasi keuangan yang

ada didalam prospektus merupakan sumber informasi penting. Informasi

ini dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai

perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka

manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Selain itu, motivasi

pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba.

Penggunaan informasi secara luas oleh investor dan analisi keuangan

untuk melindungi nilai sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer

untuk memanipulasi laba dalam usahanya untuk mempengaruhi kinerja

sekuritas jangka pendek.

II.1.4 Teknik Manajemen Laba

Teknik dan pola manajemen laba menurut Asyik (2000: 23) dapat

dilakukan dengan tiga teknik yaitu :

Page 9: Managemen Laba dan GCG

22 

 

1. Perubahan metode akuntansi

Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode

sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba.

Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat

suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, misalnya :

a) Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka

tahun (sum of the year digit) ke metode depresiasi garis lurus (straight

line).

b) Mengubah periode depresiasi.

2. Memainkan kebijakan perkiraan akuntansi.

Manajemen mempengaruhi laporan keuangan dengan cara memainkan

judgment (kebijakan) perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan

peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam

menyusun estimasi, misalnya :

a) Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih

b) Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi

c) Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum

terputuskan.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Manejemen menggeser periode biaya atau pendapatan (sering disebut

manipulasi keputusan operasional), misalnya :

Page 10: Managemen Laba dan GCG

23 

 

a) Mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan

pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya.

b) Mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode

berikutnya.

c) Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat/menunda pengiriman

tagihan sampai periode akuntansi berikutnya.

d) Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba.

e) Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.

II.1.5 Model-Model Pendeteksian Manajemen Laba

Terdapat beberapa metode pendeteksian manajemen laba. Jones

(1991) memberikan sebuah model untuk membantu mengidentifikasi

perusahaan yang melakukan manajemen laba. Tujuan model jones adalah

untuk memisahkan akrual kelolaan dan non kelolaan. Model modifikasi Jones

mengestimasi tingkat akrual yang diharapkan (akrual non kelolaan) sebagai

fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan dalam piutang

dagang serta aktiva tetap (Thomas dan Zhang, 2000:347).

Perhitungan total akrual dengan pendekatan arus kas dan laporan rugi

laba dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sloan.1996) :

Tat = Earnt - CFOt

Dimana :

Tat = total akrual

Page 11: Managemen Laba dan GCG

24 

 

Earn = earnings

CFO = Arus kas operasi

Seluruh persamaan di atas dibagi dengan menggunakan total aktiva awal

tahun pada perusahaan yang diobservasi.

Menurut Sulistyanto (2008: 211) model-model pemisahan akrual

menjadi kelolaan dan non kelolaan yang dibandingkan oleh Dechow, dkk

adalah sebagai berikut :

1. The Healy Model

Pengujian Healy untuk manajemen laba dengan cara membandingkan

rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy

(1985) menganggap non discretionary accrual (NDA) tidak dapat

diobservasi. Model untuk non discretionary accrual adalah sebagai

berikut :

NDA = 0 sehingga TA = NDA

2. The De Angelo Model

Model De Angelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung

perbedaan awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa perbedaan

pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak ada manajemen laba.

Model ini menggunakan total akrual periode terakhir (dibagi total aktiva

periode sebelumnya) untuk mengukur non discretionary accrual.

NDAt = TAt-1

Page 12: Managemen Laba dan GCG

25 

 

Keterangan :

NDAt = estimasi non discretionary accrual

TAt-1 = total accrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t

3. The Jones Model

Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non

discretionary accrual adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol

pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non discretionary

accrual sebagai berikut :

NDAt = α1 1/ TAt-1 + α2 ∆ REVt / TAt-1 + α3 PPEt / TAt-1

Keterangan :

∆ REVt = revenue pada tahun t dikurangi revenue pada tahun t-1

dibagi total aktiva tahun t-1.

PPEt = gross property plan and equipment pada tahun t dibagi total

aktiva tahun t-1

At-1 = total aktiva tahun t-1

α1, α2, α3 = Firm-spesific parameters

4. The Modified Jones Model

Model ini dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat

dalam the jones model.

NDAt = α1 1 + α2 (∆ REVt - ∆ RECt ) + α3 (PPEt)

At-1

Page 13: Managemen Laba dan GCG

26 

 

Keterangan :

∆ RECt = net receivable (piutang bersih) pada tahun t dikurangi piutang

bersih pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1.

5. Industry Adjusted Model

Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan,1991) mengasumsikan

bahwa variasi determinan dari non discretionary accrual adalah sama

dalam jenis industry yang sama. Non discretionary accrual dari model ini

diperoleh dengan :

NDAt = γ1 + γ1 median1 (TAτ)

6. Akrual Khusus (Beaver dan Engel, 1996)

NDAit = α0 + α1 COit + α3 NPAit + α4 ∆NPAit+1 + e

Keterangan :

COit : loan charge-off (pinjaman yang dihapus bukukan)

LOAN : loans outstanding (pinjaman yang beredar)

NPAit : nonperforming assets (aktiva produktif yang bermasalah)

terdiri dari aktiva produktif berdasarkan tingkatan

kolektibilitasnya yaitu

a) Dalam perhatian khusus (DPK)

b) Kurang lancer (KL)

c) Diragukan (D)

d) Macet (M)

Page 14: Managemen Laba dan GCG

27 

 

∆NPAit+1 : selisih nonperforming assets t+1 dengan nonperforming

assets t

Semua variable dideflasi dengan nilai buku ekuitas ditambah cadangan

kerugian pinjaman.

Jadi perhitungan akrual kelolaan yaitu :

DAit = TAit - NDAit

Keterangan :

TAit : total akrual (untuk yang model akrual khusus, total akrual

dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan

aktiva produktif

(PPAP))

DAit : akrual kelolaan

NDAit : akrual non kelolaan

7. The Cross-Sectional Models

Baik model Jones cross-sectional dan model Jones modifikasi cross-

sectional adalah sama dengan model Jones dan model Jones modifikasi,

kecuali bahwa parameter model diestimasi dengan menggunakan data

cross-sectional bukan data time series. Model cross-sectional dan time

series berbeda asumsi. Model cross-sectional mengasumsikan bahwa

korelasi antara akrual non kelolaan dan penentuan akrual, seperti

perubahan dalam pendapatan dan PPE (bruto), ditentukan oleh kelompok

industri dan situasi ekonomi sekarang sedangkan model time-series

Page 15: Managemen Laba dan GCG

28 

 

mengasumsikan bahwa korelasi ditentukan oleh karakteristik spesifik

perusahaan.

Pada penelitian ini digunakan model modifikasi Jones dalam mendeteksi

manajemen laba. Penggunaan model modifikasi Jones dikarenakan model

ini runtun waktu dan secara statistik paling baik dibandingkan model-

model lainnya.

II.1.6 Teori Keagenan

Penjelasan konsep manajemen laba menurut Salno dan Baridwan

(2000: 19) menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang

menyatakan bahwa “praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik

kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul

karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat

kemakmuran yang dikehendakinya.” Dalam hubungan keagenan, manajer

memiliki informasi asimetri terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti

kreditor dan investor. Informasi asimetri terjadi ketika manajer memiliki

informasi internal perusahaan yang relative lebih banyak dan mengetahui

informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Dalam

kondisi demikian pihak manajer dapat menggunakan informasi yang

diketahuinya untuk membuat laporan keuangan dalam usaha memaksimalan

kemakmurannya. Intervensi manajemen mengandung kejahatan moral (moral

hazard) apabila memanfaatkan informasi asimetri tersebut debgan manajemen

Page 16: Managemen Laba dan GCG

29 

 

laba. Kesenjangan informasi antara kedua belah pihak menimbulkan/memicu

munculnya manajemen laba. Masing-masing pihak dalam hubungan keagenan

terdorong oleh motivasi yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Teori

keagenan menggambarkan perusahaan sebagai fokus (titik temu) hubungan

keagenan antara pemilik perusahaan (principal) dan manajemen perusahaan

(agent) dan berusaha memberi suatu pemahaman prilaku organisasi dengan

mengungkapkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan

keagenan dalam perusahaan untuk memaksimalkan utilitas usahanya. Usaha

memaksimalkan utilitas ini mendorong timbulnya konflik kepentingan antara

pemilik (principal) dan manajemen (agency), karena setiap perusahaan

memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya melalui

kontrak kompensasi.

Pemilik menempatkan fungsi pemantauan (monitoring) untuk

mengatasi konflik. Menurut Salno dan Baridwan (2000: 19), bentuk

pemantauan yang umum digunakan diantaranya adalah :

1. Penyusunan laporan keuangan periodic untuk kepentingan pemilik

(stewardships, accountability).

2. Adanya fungsi auditing yang bersifat auditor independen dalam

menyatakan pendapatan mereka atas kewajiban laporan keuangan

perusahaan.

Page 17: Managemen Laba dan GCG

30 

 

II.1.7 Discretionary Accrual

Menurut Surifah (2001: 95) discretionary accrual (kebijakan

akuntansi akrual) adalah suatu cara untuk mengurangi pelaporan laba yang

sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan

akrual, misalnya dengan cara menaikkan biaya amortisasi dan depresiasi,

mencatat kewajiban yang besar atas jaminan produk (garansi), kontinjensi dan

potongan harga, dan mencatat persediaan yang sudah usang. Lebih lanjut,

akrual adalah semua kejadian yang bersifat operasional pada suatu tahun yang

berpengaruh terhadap arus kas. Perubahan piutang dan hutang merupakan

akrual, juga perubahan persediaan. Biaya depresiasi merupakan akrual negatif.

Akuntan memperhitungkan akrual untuk menandingkan biaya dengan

pendapatan, melalui perlakuan transaksi yang berkaitan dengan laba bersih

sesuai dengan yang diharapkan.

II.2 Corporate Governance

II.2.1 Pengertian Corporate Governance

Perhatian terhadap corporate governance kian meningkat seiring

dengan banyaknya masalah skandal keuangan yang muncul di lingkungan

bisnis. Krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diyakini muncul

karena kegagalan penerapan good corporate governance (Daniri, 2005: 6).

Konsep corporate governance telah banyak dikemukakan oleh banyak

pakar dan badan sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja

Page 18: Managemen Laba dan GCG

31 

 

manajemen. Banyak pakar yang telah mendefinisikan istilah corporate

governance secara berbeda-beda. Darmawati (2003: 7) mendifinisikan

corporate governance sebagai keseluruhan set aransement legal, kebudayaan,

dan institusional yang menentukan apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan

publik, siapa yang mengendalikan, bagaimana pengendalian dilakukan dan

bagaimana resiko dan return dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh

perusahaan tersebut dialokasikan.

Lang (1999: 153) mendifinisikan corporate governance berkenaan

dengan cara untuk meyakinkan para penyedia dana perusahaan untuk

mendapatkan return pada investasi mereka. Sedangkan menurut Boediono

(2005: 6) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu

mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier

keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau

return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer atau dengan kata lain

bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap

manajer. Kalihatu (2006: 6) mengemukakan corporate governance sebagai

sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai

tambah untuk semua stakeholder.

Sedangkan definisi corporate governance menurut beberapa badan

diantaranya FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (2001)

dalam publikasi yang pertamnya mempergunakan definisi Cadbury

Committee, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara

Page 19: Managemen Laba dan GCG

32 

 

pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,

pemerintah karyawan serta para pemegang kepentingan intern, dan ekstern

lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan

kata lain system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Darmawati (2003: 7) dalam makalahnya menyertakan berbagai definisi

corporate governance yang dikemukakan oleh beberapa badan corporate

governance yaitu :

1. OECD Principles of Corporate Governance mendefinisikan corporate

governance sebagai sistem mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

2. PWC-ADB SOE Reform Project mengemukakan corporate governance

berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif bersumber pada

budaya perusahaan, etika, nilai, system, proses bisnis, kebijakan dan

struktur organisasi untuk mendorong dan mendukung pengembangan

perusahaan, pengelolaan sumberdaya, dan risiko secara lebih efisien dan

efektif dan pertanggungjawaban kepada pemegang saham dan

stakeholder lainnya.

3. CalPERS mengemukakan corporate governance merujuk pada hubungan

diantara berbagai pihak yang berperan serta dalam menentukan arah dan

kinerja perusahaan. Pemeran serta utama adalah pemegang saham,

pengurus (yang dipimpin oleh Direktur Utama/CEO) dan pengawas.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa

pakar dan badan corporate governance di atas, meskipun berbeda-beda namun

Page 20: Managemen Laba dan GCG

33 

 

memiliki maksud yang sama. Dapat disimpulkan bahwa corporate

governance merupakan mekanisme pengendalian perusahaan yang mengatur

tidak hanya shareholder tetapi juga stakeholder. Corporate governance tidak

hanya sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban saja namun juga

meningkatkan nilai perusahaan.

II.2.2 Prinsip-Prinsip Corporate Governance

Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) ada lima.

Prinsip-prinsip tersebut adalah :

1. Hak-hak pemegang saham. Rerangka kerja corporate governance harus

melindungi hak-hak pemegang saham.

2. Perlakuan yang adil kepada pemegang saham. Rerangka kerja corporate

governance harus meyakinkan adanya kesetaraan perlakuan kepada seluruh

pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh

pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan

perbaikan yang efektif atas penyimpangan dari hak-hak mereka.

3. Peranan stakeholder dalam corporate governance. Rerangka kerja

corporate governance harus mengakui adanya hak-hak stakeholder seperti

yang ditentukan oleh hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara

perusahaan dan stakeholder dalam penciptaan kesejahteraan, pekerjaan-

pekerjaan, dan kemampuan untuk mempertahankan perusahaan yang sehat

secara financial.

Page 21: Managemen Laba dan GCG

34 

 

4. Pengungkapan dan transparansi. Rerangka kerja corporate governance

harus meyakinkan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah

dilakukan atas seluruh hal-ha yang material berkenaan dengan perusahaan,

termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan ketaatan perusahaan.

5. Tanggung jawab dewan (direksi). Rerangka kerja corporate governance

harus meyakinkan pedoman strategik perusahaan, pemonitor yang efektif

pada manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan

dan pemegang saham.

Kelima prinsip tersebut dilandasi oleh empat unsur penting dalam

corporate governance yaitu keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan

pertanggungjawaban.

1. Fairness (keadilan)

Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak

pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta

menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.

2. Transparency (transparansi)

Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas,

dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan,

pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.

Page 22: Managemen Laba dan GCG

35 

 

3. Accountability (Akuntabilitas)

Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk

menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham,

sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris.

4. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai

cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.

II.3 Dewan Komisaris

Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua

tingkat (two tiers system) yang menganut sistem hukum continental Eropa

(FCGI). Di sini perusahaan mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan

pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan

direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan

pengawasan dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh

dewan komisaris. Sehingga dewan komisaris bertanggungjawab untuk

mengawasi tugas-tugas manajemen serta tidak boleh melibatkan diri dalam

tugas-tugas manajemen serta tidak boleh mewakii perusahaan dalam

transaksi-transaksi dengan pihak ketiga.

Dewan komisaris memegang peranan penting dalam mewujudkan

corporate governance. Menurut FCGI (2001) dewan komisaris, merupakan

inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan

Page 23: Managemen Laba dan GCG

36 

 

strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan,

serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Lebih lanjut tugas-tugas utama

dewan komisaris meliputi :

1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana

kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana

usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja

perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi

dan penjualan asset.

2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan

pengganjian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses

pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.

3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat

manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris

termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi

perusahaan.

4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan dimana

perlu.

5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam

perusahaan.

Untuk memastikan dewan komisaris independen dapat menjalankan

tugasnya secara independen, komisaris independen harus memenuhi beberapa

kriteria sebagai berikut :

Page 24: Managemen Laba dan GCG

37 

 

1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan

pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali perusahaan

tercatat yang bersangkutan.

2. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada

perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang

bersangkutan.

3. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di

pasar modal.

4. Komisaris indenpenden harus mengerti peraturan perundang-undangan di

pasar modal.

5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham

minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Wedari (2004: 7) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba yang

terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris eksternal

(komisaris independen). Komisaris independen adalah anggota dewan

komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,

kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan

komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau

hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak

independen.

Page 25: Managemen Laba dan GCG

38 

 

Keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia telah diatur

dengan berbagai peraturan. Menurut peraturan Pencatatan Nomor IA tentang

Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di bursa yaitu jumlah

komisaris independen minimum 30%. Lebih lanjut dalam rangka

penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate

governance), perusahaa tercatat wajib memiliki komisaris independen yang

jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh

bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris

independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris.

Dalam mewujudkan good corporate governance di lingkungan

perbankan, Bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia

Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi

Bank Umum. Berdasarkan peraturan tersebut, paling kurang 50% (lima puluh

per seratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris

independen.

Kusumaning (2004) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba

yang terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris

eksternal (komisaris independen). Proporsi dewan komisaris eksternal yang

tinggi dalam perusahaan dapat menurunkan manajemen laba.

Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan Paket Kebijakan

Perbankan Januari 2006 sebagai bagian dari upaya membuka ruang gerak

perbankan agar terus berperan dalam pembiayaan pembangunan sekaligus

Page 26: Managemen Laba dan GCG

39 

 

memperkuat fondasi indstri perbankan sesuai arah dalam Arsitektur

Perbankan Indonesia (API) (Kompas,2006). Peraturan BI No.8/4/PBI/2006

tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum

merupakan salah satu paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Dalam peraturan tersebut salah satu pasal yang penting dalam PBI

No.8/4/PBI/2006 adalah pasal 5 ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan

keharusan bagi bank agar memiliki komisaris independen sedikitnya 50% dari

jumlah anggota dewan komisaris.

Ketentuan tentang kewajiban adanya komisaris independen minimal

50% ini tidak melihat apakah bank bersangkutan telah go public atau belum.

Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan di pasar modal, di mana kewajiban

adanya komisaris independen hanya diberlakukan bagi perusahaan go public

dan jumlahnya pun hanya mensyaratkan minimal 30% dari jumlah anggota

dewan komisaris.

II.4 Keberadaan Komite Audit

Dalam rangka penerapan good corporate governance yang baik

Bapepam melalui surat edaran Bapepam No.SE-03/PM/2000

merekomendasikan imbauan perusahaan publik untuk membentuk komite

audit. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa komite audit bertugas

untuk membantu dewan komisaris dengan memberikan pendapat professional

yang independen untuk meningkatkan kualitas kerja serta mengurangi

penyimpangan pengelolaan perusahaan. Komite audit lebih lanjut diatur

Page 27: Managemen Laba dan GCG

40 

 

dalam KEP-339/BEJ/07-2001, yang mengharuskan semua perusahaan yang

listed di Bursa Efek Jakarta memiliki komite audit.

Di Indonesia komite audit merupakan salah satu komite yang berperan

penting dalam pelaksanaan corporate governance, selain komite kompensasi

dan komite nominasi. Dewan Komite Audit bertugas memberikan suatu

pandangan tentang masalah akuntansi, pelaporan keuangan dan

penjelasannya, sistem pengawasan internal, serta auditor independen

(FCGI,2000).

Tujuan dan manfaat dibentuknya komite audit adalah sebagai berikut :

1) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses

penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit ekstern.

2) Komite audit memberikan pengawasan independen atas proses

pengelolaan risiko dan kontrol.

3) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses

pelaksanaan corporate governance.

Mekanisme corporate governance yang baik penting dalam mempengaruhi

kualitas pelaporan keuangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas

laba.

Menurut Baridwan (2004 :9) komite audit dapat menjembatani

masalah keagenan. Beberapa penelitian emperis menjelaskan bahwa

keberadaan komite audit dapat menurunkan tindakan manajemen laba

(Fleming,2002; Klien,2002; Sanjaya,2004; Wendari,2004).

Page 28: Managemen Laba dan GCG

41 

 

II.5 Struktur kepemilikan dengan Manajemen Laba

Organisasi memiliki kemampuan untuk bertahan apabila terdapat

pemisahan antara pemilik dan pengendalinya. Hal ini sesuai dengan penelitian

Fama dan Jensen (1983: 192) yang menganalisa bahwa organisasi yang

mampu bertahan tidak mendasarkan pengambilan keputusan pada pemegang

saham yang terbesar, tetapi terdapat pemisahan antara pemilik dengan

pengendali. Struktur kepemilikan saham dalam suatu perusahaan terdiri atas

kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusi dan kepemilikan saham oleh

manajerial. Institusi sebagai pemilik saham dianggap lebih mampu

mendeteksi kesalahan yang terjadi. Hal ini dikarenakan investor institusi lebih

berpengalaman dibandingkan dengan investor individual. Institusi sebagai

investor yang sophisticated karena mempunyai kemampuan dalam memproses

informasi dibandingkan dengan investor individual. Dengan demikian, akan

semakin membatasi manajemen dalam memainkan angka-angka dalam

laporan keuangan.

Wedari (2004: 12) menyatakan bahwa investor institusional mempunyai

waktu yang lebih banyak untuk melakukan analisis investasi dan memiliki

akses informasi yang mahal dibandingkan dengan investor individual. Oleh

karenanya, memiliki kemampuan mengawasi tindakan manajemen yang lebih

baik dibandingkan dengan investor individual. Dari beberapa teori tersebut

dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh institusi maka akan

Page 29: Managemen Laba dan GCG

42 

 

semakin kecil peluang manajemen melakukan manipulasi angka-angka dalam

bentuk manajemen laba.

Demikian halnya dengan kepemilikan saham oleh manajerial, yaitu

dengan semakin banyaknya saham yang dimiliki oleh manajer maka akan

cenderung tidak mengatur labanya dalam bentuk akrual diskresioner.

Penelitian Jensen dan Meckeling (1976) menyatakan bahwa terdapat

kesejajaran antara kepentingan manajer dan pemegang saham pada saat

manajer memiliki saham perusahaan dalam jumlah yang besar. Dengan

demikian, keinginan untuk membodohi pasar modal berkurang karena

manajer ikut menanggung baik dan buruknya akibat dari setiap keputusan

yang diambil.

Penelitian Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa dewan direksi

adalah mekanisme pengendali internal yang paling tinggi yang bertanggung

jawab untuk memonitor tindakan top manajemen dalam melakukan tindakan

manipulasi laba atau kecurangan dalam laporan keuangan. Pendapat tersebut

sejalan dengan dengan penelitian Beasley (1996) yang juga menyatakan

bahwa dewan direksi sebagai mekanisme pengendalian intern untuk mencegah

kecurangan dalam penyajian laporan keuangan.

Jensen (1986) menemukan bukti bahwa tekanan pasar modal

menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan

memilih metode akuntansi yang dapat membuat peningkatan laba sehingga

tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan yang sebenarnya.

Page 30: Managemen Laba dan GCG

43 

 

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut tampak semakin besar

proporsi saham yang dimilki oleh manajer sehingga cenderung mengurangi

tindakan manajemen laba.

II.6. Leverage dengan Manajemen Laba

Kata leverage menurut ensiklopedia manejemen berarti kemampuan

untuk mengadakan operasi dengan suatu rasio yang berarti dari hutang-hutang

terhadap kekayaan kotor (Komaruddin, 1994: 492). Mengukur tingkat

leverage berarti mengukur efisiensi penggunaan dana suatu perusahaan.

Semakin efisien penggunaan dana suatu perusahaan, maka tingkat leverage

akan semakin menguntungkan. Sebaliknya, semakin tidak efisien penggunaan

dana, maka menunjukkan besarnya kewajiban/hutang yang diemban

perusahaan. Dengan demikian, leverage dapat diartikan sebagai

hutang/kewajiban.

Rasio leverage merupakan rasio untuk mengukur sampai seberapa jauh

aktiva perusahaan dibiayai dengan hutang. Selain itu rasio leverage digunakan

dalam menentukan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan modal dengan

berbagi alternative pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi

financial yang ada pada perusahaan, apakah memungkinkan bila ditambah lagi

hutang-hutangnya. Karena penggunaan financial leverage selain dapat

meningkatkan pendapatan bagi pemilik juga dapat menambah ketidakpastian

dan resiko. Semakin tinggi nilai rasionya menunjukkan alokasi yang terlalu

besar (berlebihan) pada pos ini (hutang) akan berakibat buruk bagi perusahaan

Page 31: Managemen Laba dan GCG

44 

 

karena kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Sebaliknya, semakin rendah

nilai rasionya, menunjukkan alokasi yang terlalu sedikit pada pos hutang juga

akan menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan untuk mengalokasikan

dana tersebut pada pos lain yang dapat memberikan keuntungan melebihi

bunga yang harus dibayar oleh perusahaan (Helfert, 1996: 97)

Lai (2005) menyatakan perusahaan yang dekat dengan pelanggaran

perjanjian hutang lebih memungkinkan melakukan manajemen laba. Hal ini

sesuai dengan hipotesis hutang atau ekuitas (debt/equity hypothesis). Makin

tinggi rasio hutang/ekuitas perusahaan, makin besar kemungkinan bagi

manajer untuk memilih metode akuntasi yang dapat menaikkan laba. Makin

tinggi rasio utang/ekuitas, makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian

atau peraturan kredit. Makin tinggi batasan kredit, makin besar kemungkinan

penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan

memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat

mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis

(Masodah, 2007: 19).

Leverage didefinisikan sebagai total utang terhadap total aktiva.

Menurut Widyaningdyah (2001: 9) perusahaan yang memiliki rasio leverage

yang lebih tinggi diduga melakukan manajemen laba, karena perusahaan

terancam gagal dalam memenuhi kewajiban utang pada waktunya. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001) memberikan hasil

emperis bahwa hanya leverage yang terbukti positif mempengaruhi

Page 32: Managemen Laba dan GCG

45 

 

manajemen laba. Andriyani (2004) memberikan bukti emperis tentang adanya

manajemen laba yang lebih besar pada perusahaan yang terikat perjanjian

utang dengan perusahaan yang tidak terikat perjanjian utang. Watt dan

Zimmerman (1978), dan Magnan dan Cormer (1997) membuktikan bahwa

variable debt to quity ratio berpengaruh terhadap pemilihan metode

menaikkan atau menurunkan pelaporan laba. Variable total debt to equity

ratio, total debt to total equity, long term debt to total equity,dan komposisi

modal kerja berpengaruh positif terhadap earning management.

II.7 Kualitas Auditor

Untuk mengatasi terjadinya konflik kepentingan antara agen dan

principal yang terjadi dalam perusahaan termasuk mengurangi perilaku

manipulasi laba oleh manajemen, maka diperlukan beberapa mekanisme

pengawasan dan kontrak. Salah satunya adalah dengan audit atas laporan

keuangan. Manajemen perusahaan sebagai agen memerlukan jasa pihak ketiga

agar tingkat kepercayaan pihak eksternal perusahaan terhadap

pertanggungjawaban semakin tinggi, begitu pula sebaliknya pihak eksternal

perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga untuk meyakinkan dirinya bahwa

laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan dapat dipercaya

sebagai dasar pengambilan keputusan. Auditor merupakan salah satu

mekanisme untuk mengendalikan perilaku manajemen, dengan demikian

proses pengauditan memiliki peranan penting dalam mengurangi biaya

keagenan dengan membatasi perilaku opportunistik manajemen. Penelitian

Page 33: Managemen Laba dan GCG

46 

 

terdahulu yang dilakukan oleh Becker (1998) menemukan bahwa manajemen

laba besar dalam perusahaan dengan kualitas auditor yang lebih rendah

daripada perusahaan dengan kualitas auditor lebih tinggi. Penelitian yang

dilakukan oleh Teoh dan Wong (1993) menunjukkan bahwa auditor yang

berskala besar lebih dapat dipercaya, hal ini dibuktikan dengan earnings

respon coefficient untuk perusahaan yang diaudit oleh auditor Big Six lebih

besar dibandingkan dengan klien auditor non big six.

Praptitorini (2006) telah melakukan penelitian mengenai analisis

pengaruh kualitas audit, debt default, dan opinion shopping terhadap

penerimaan opini going concern. Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan

bahwa hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa variable kualitas

audit yang diproksikan dengan auditor industry specialization tidak

berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.

Tetapi, arah koefisiennya menunjukkan arah positif sesuai dengan hipotesis,

berarti bahwa auditor spesialis berusaha mempertahankan reputasinya dengan

bersikap obyektif terhadap opini yang dikeluarkannya, serta pengklasifikasian

auditor spesialis di Indonesia belum ada, sehingga pengaruh terhadap kualitas

audit belum dapat dibuktikan.

II.8 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan dapat diketahui dari total aktiva perusahaan,

semakin besar jumlah aktiva perusahaan maka semakin besar ukuran

perusahaan tersebut (Jin dan Machfoedz, 1998: 180). Menurut Jin dan

Page 34: Managemen Laba dan GCG

47 

 

Machfoedz (1998: 180), besaran perusahaan dapat diketahui dari rata-rata

nilai pasar saham. hasil penelitian Jin dan Machfoedz menunjukkan ukuran

perusahaan merupakan faktor yang mendorong adanya praktik manajemen

laba.

Menurut Mardiyah dan Indriantoro (2001:289) menyatakan bahwa

‘asset size perusahaan yang besar dianggap mempunyai resiko yang lebih

kecil dibandingkan dengan perusahaan yang kecil, karena perusahaan yang

besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal sehingga dianggap

mempunyai beta yang lebih kecil.” Watt dan Zimmerman (1978) sebagimana

dikutip Mardiyah dan Indriantoro (2001:280) mencoba dengan teori akuntansi

positif (positive accounting theory) yang menghipotesakan bahwa perusahaan

besar cenderung menginvetasikan dananya ke proyek yang mempunyai varian

lebih rendah dengan beta yang rendah pula guna menghindari laba yang

berlebihan. Disamping itu, Hartono (2000: 254) menyebutkan bahwa

perusahaan besar merupakan subyek dari tekanan politik sehingga jika

melaporkan laba yang berlebihan nantinya akan menarik perhatian politikus

dan dapat dicurigai melaksanakan monopoli.

Semakin besar total asset suatu perusahaan, berarti resiko yang akan

ditanggung oleh para investor juga semakin kecil. Oleh karena itu diharapkan

ukuran perusahaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen

laba.

Page 35: Managemen Laba dan GCG

48 

 

II.9. Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan

metode pengolahan data secara elektronik (electronic data processing) dengan

bantuan software EViews 5.1. Kelebihan penggunaan software Eviews 5.1

adalah output dari EViews 5.1 dapat menampilkan hasil dari pengolahan data

dan pengujian hipotesis secara bersamaan. Menurut Winarno dalam Analisis

Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews (2007) teknik pengolahan data

dilakukan dengan :

1. Uji Statistik Deskriptif

Analisis ini berguna sebagai alat untuk menganalisa data dengan cara

menggambarkan sampel yang telah ada tanpa maksud membuat

kesimpulan yang berlaku umum. Analisis ini digunakan untuk

menggambarkan karakteristik sampel yang diujikan. Analisis ini

menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar deviasi, dan

keterangan lainnya.

2. Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik untuk menguji kelayakan penggunaan model

regresi dan kelayakan variabel bebas. Tujuan pengujian asumsi klasik

adalah agar dapat menghasilkan nilai parameter yang baik sehingga

hasil penelitian dapat lebih diandalkan. Menurut Winarno (2007,

Page 36: Managemen Laba dan GCG

49 

 

p51), pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini, yang dilakukan

dengan bantuan EViews 5, terdiri dari tiga jenis, yaitu:

a. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model

regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen,

model regresi yang baik seharusnya tidak mengandung

multikolinearitas. Jika korelasi kuat terjadi antara variabel

independen maka terjadi masalah multikolinearitas. Dalam

penelitian ini uji multikolinearitas dilakukan dengan correlation

matrix test. Suatu data dikatakan tidak mengalami atau bebas dari

multikolinearitas jika memiliki koefisien korelasi antarvariabel

lebih kecil dari 0,5. Jika terjadi multikolinearitas maka akan dibuat

pemodelan khusus untuk setiap variabel independen.

b. Uji Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam

suatu model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual

dari suatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dan

residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap

maka disebut homoskedastisitas, dan jika berbeda disebut

heteroskedastisitas. Suatu model regresi yang baik adalah regresi

yang tidak terjadi heteroskedastisitas.

Page 37: Managemen Laba dan GCG

50 

 

Untuk mendeteksi terdapat heteroskedastisitas pada model regresi

dapat dilakukan uji white. Dasar pengambilan keputusan dapat

dilihat dari nilai probabilitas untuk Obs*R-squared, jika nilai

probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa

data tersebut bersifat heteroskedastis.

Untuk pengolahan dengan software EViews 5 masalah

heteroskedastisitas dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan

menggunakan pemodelan ARCH (Auto Regressive Conditional

Heteroscedasticity) atau GARCH (Generalized Auto Regressive

Conditional Heteroscedasticity). Pemodelan dengan

ARCH/GARCH secara langsung dapat mengatasi

heteroskedastisitas.

c. Uji Autokorelasi

Pengujian Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam

suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada

periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada masalah

autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang

berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini

timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari

satu pengamatan ke pengamatan lainnya.

Page 38: Managemen Laba dan GCG

51 

 

Hal ini sering ditemukan pada data time series atau urutan waktu

karena gangguan pada satu individu atau kelompok cenderung

mempengaruhi gangguan pada individu atau kelompok yang sama

pada periode berikutnya. Model regresi yang baik adalah regresi

yang bebas dari autokorelasi. Panduan yang digunakan untuk

mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi akan dipakai besaran

Durbin-Watson (D-W). Secara umum dapat diambil patokan :

1) angka D – W; 0 - 1,10 berarti ada autokorelasi yang positif

2) angka D-W; 1,54 - 2,46 berarti tidak ada autokorelasi

3) angka D-W; 2,90 – 4 berarti ada autokorelasi yang negatif.

II.9. Hipotesis

Menurut Dr. Hj. Dewi L. Badriah, M.Kes. dalam jurnalnya yang

berjudul “Studi Kepustakaan/Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis

Penelitian, Dan Jenis Penelitian” (2005, p4), menyusun landasan teori juga

merupakan langkah penting untuk membangun suatu hipotesis. Landasan teori

yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang akan

menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada saat menentukan

suatu hipotesis penelitian.

Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan

kesimpulan terdahulu baik yang memperkuat maupun yang bertentangan

dengan prediksinya. Jadi, dalam hal ini telaah teoritik dan temuan penelitian

Page 39: Managemen Laba dan GCG

52 

 

yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi

akan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Kesimpulan yang diambil adalah hipotesis penelitian dapat

dirumuskan melalui jalur:

1. Membaca dan menelaah ulang (review) teori dan konsep-konsep yang

membahas variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses

berfikir deduktif.

2. Membaca dan menelaah ulang (review) temuan-temuan penelitian

terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir

induktif.

Menurut Ghozali (2007, p84) hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris.

Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari.

Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena

yang kompleks. Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting

dalam sebuah penelitian.

Menurut Ghozali (2007, p84) ada dua jenis hipotesis yang digunakan

dalam penelitian antara lain :

1. Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)

Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y,

atau adanya perbedaan antara dua kelompok.

Page 40: Managemen Laba dan GCG

53 

 

2. Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)

Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau

tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y

II.10. Teknik Pengujian Hipotesis

Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh

adalah analisis kuantitatif. Teknik pengujian hipotesis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Granger Causality Test

Uji kausalitas granger adalah pengujian untuk melihat bentuk hubungan

antar variabel (searah atau simultan). Pengujian ini dilakukan antara

masing-masing variabel independen dengan variabel dependen.

2. Perumusan Model

a. Model VAR

Merupakan model yang digunakan jika hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen adalah simultan atau saling

mempengaruhi.

b. Model regresi

Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji analisa regresi linier

berganda dengan model interaksi metode Least Squares. Selanjutnya

dari output software Eviews 5, perlu diperhatikan nilai dari probabilitas

dari setiap variabel independen untuk mengetahui apabila semua

Page 41: Managemen Laba dan GCG

54 

 

variabel independen yang dimasukkan ke dalam model mempunyai

pengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel dependen. Dasar

pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas > 0,05 maka Ho

ditolak, jika probabilitas < 0,05 maka Ho diterima.

Selain melihat nilai probabilitas di atas, untuk menentukan apakah

suatu model sudah baik maka perlu diperhatikan nilai koefisien determinasi

(adjusted R2). Koefisien korelasi (R) sendiri digunakan untuk melihat hubungan

antara variabel independen dengan variabel dependen. Nilai dari R berkisar dari

0 sampai dengan 1. Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan yang terjadi

semakin kuat. Tetapi jika R semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi

semakin lemah. Hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1) 0,00 – 0,199 = sangat lemah

2) 0,20 – 0,399 = lemah

3) 0,40 – 0,599 = sedang

4) 0,60 – 0,799 = kuat

5) 0,80 – 1,000 = sangat kuat.

Analisis koefisien determinasi (adjusted R2) dilakukan untuk mengetahui

berapa besar presentase dari variabel independen dapat menjelaskan variabel

dependen. Nilai adjusted R2 yang mendekati seratus persen berarti variabel-

variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan

untuk memprediksi variasi variabel dependen.

Page 42: Managemen Laba dan GCG

55 

 

II.11 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Terakhir dari bab ini mencoba untuk meringkas hasil-hasil penelitian

relevan sebelumnya, termasuk hasil penelitian ini untuk membantu para

pembaca dalam memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel-variabel

yang diteliti terhadap praktik manajemen laba di suatu perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Agnes utari widyaningdyah dalam

jurnal akuntansi dan keuangan mengenai analisis faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap earning management pada perusahaan go public di

Indonesia mengunakan reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage,

presentase yang ditawarkan pada saat IPO sebagai variabel bebas dan

manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil penelitian bahwa

hanya variabel leverage yang terbukti berpengaruh terhadap manajemen laba.

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deni Darmawati

dalam jurnal bisnis dan akuntansi dengan judul corporate governance dan

manajemen laba yang menggunakan komite audit, Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS), dewan direksi, kualitas hubungan perusahaan dengan

pemegang saham, kepemilikan institusional dan transparansi sebagai variabel

bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil tidak

ditemukannya hubungan negatif antara variabel corporate governance dengan

manajemen laba.

Page 43: Managemen Laba dan GCG

56 

 

Penelitian mengenai manajemen laba oleh Sri H Sulistyanto yang

berjudul analisis pengaruh proporsi dewan komisaris dan keberadaan komite

audit terhadap aktivitas manajemen laba yang menggunakan perubahan

penjualan, perubahan piutang dagang, perubahan gross plant property and

equipment sebagai variabel terikat dan manajemen laba sebagai variabel bebas

memberikan hasil penelitian semua variabel memberikan pengaruh terhadap

manajemen laba kecuali variabel leverage.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Zaki Baridwan

yang berjudul pengaruh asimetri informasi perbankan dan ukuran perusahaan

pada manajemen laba dengan model akrual khusus perbakan dalam jurnal

akuntansi dan bisnis dengan menggunakan asimetri informasi, regulasi

tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang

kehati-hatian dan ukuran bank sebagai variabel bebas dan manajemen laba

sebagai variabel bebas memberikan hasil penelitian semua variabel secara

signifikan terbukti mempengaruhi manajemen laba.

Veronica, Sylvia dan Siddharta Utama melakukan penelitian mengenai

pengaruh struktur kepemilikan yang diukur dengan proporsi kepemilikan

keluarga dan kepemilikan institusional, ukuran perusahaan yang diukur

dengan leverage dan pertumbuhan penjualan dan praktek corporate

governance yang dukur dengan kualitas audit, proporsi dewan komisaris

independen, keberadaan komite audit memberikan hasil penelitian hanya

proporsi kepemilikan keluarga, ukuran perusahaan dan leverage yang terbukti

Page 44: Managemen Laba dan GCG

57 

 

memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh

Rahmawati yang meneliti mengenai proporsi kepemilikan manajer dan

determinan-determinan yang berhubungan dengan akrual kelolaan dengan

menggunaan proporsi kepemilikan manajer, pertumbuhan perusahan, ukuran

perusahaan, resiko sistematis saham, variansi laba tahunan dan persistensi

laba sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat

memberikan hasil penelitian hanya resiko sistematis saham, pertumbuhan

perusahaan dan variansi laba tahunan yang terbukti berpengaruh terhadap

manajemen laba.