mambie lantang kada nene

11

Click here to load reader

Upload: sanghati

Post on 30-Dec-2014

230 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Mambi sebagai Lantang Kada Nene di Pitu Ulunna Salu

TRANSCRIPT

Page 1: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang

MambiE Lantang Kada Nene

Sejengkal Jejak di Hulu Sungai Mambie

Diissam Masiri’ anna Marea’

Diissam Meimallako Indota anna Ambeta

Page 2: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 2  

Mambie, Lantang Kada Nene

ambi adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Indonesia. bahasa yang digunakan adalah bahasa campuran antara bahasa mandar, bugis, dan bahasa pattae, yang dialeknya

berbeda-beda antara satu dusun (lemba) dengan dusun yang lain. Mambi merupakan satu bagian dari PITU ULUNNA SALU. Ibu kota Kecamatan Mambi berada pada kota Mambi, pusat kegiatan yang ada di kecamatan tersebut seperti pemerintahan, perdagangan, dan transportasi berpusat pada kota Mambi.

Kota Mambi dan sekitarnya tampak dari udara

Mayoritas berpenduduk muslim dengan mata pencaharian

penduduknya adalah bertani, berkebun dan pegawai kantoran. Mambi dikenal sebagai penghasil manggis dan sekarang ditambah dengan tanaman nilam. Mambi juga menghasilkan rotan, kakao, kopi dan beras. Sampai era tahun 90-an Mambi terkenal dengan Kopinya yang khas, “Kopi Mambi”.

Mambi adalah induk pemekaran dari 7 kecamatan yang ada di wilayah Pitu Ulunna Salu. Letak Kecamatan Mambi sangat strategis karena dilalui jalan poros Mamuju-Toraja, Mamuju-Polewali, Mamasa-Majene.

M

Page 3: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 3  

Kecamatan Mambi pasca pemekaran terdiri dari 2 Kelurahan dan 11 Desa, yaitu:

1. Kelurahan Mambi 2. Kelurahan Talippuki 3. Desa Rantebulahan 4. Desa Sondong Lajuk 5. Desa Salubanua 6. Desa Tapalinna 7. Desa Pamoseang 8. Desa Salumakak 9. Desa Bujung Manurung 10. Desa Sendana 11. Desa Indobanua 12. Desa Salualo 13. Desa Saludurian

Luas wilayah kecamatan Mambi kurang lebih 347,95 km2 dengan jumlah penduduk kurang lebih 9.295 jiwa (BPS,2010).

Kecamatan Mambi sebelum pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa terdiri atas 2 Kelurahan 10 Desa, yaitu:

1. Kelurahan Mambi 2. Kelurahan Talippuki 3. Desa Tabulahan 4. Desa Buntu Malangka (BuMal) 5. Desa Aralle 6. Desa Bambang 7. Desa Rantebulahan 8. Desa Mehalaan 9. Desa RalleAnak 10. Desa Rantelemo 11. Desa Sondonglajuk 12. Desa Salu Mokanan

Nama "Mambi" berasal dari kata Mambie, yang berarti "tersembunyi

dari pandangan" (K.M. George, 1996). Dikatakan demikian karena memang letak Mambie (Mambi) yang diapit/dikelilingi oleh gunung-gunung yang tentunya penuh dengan pohon-pohon dan rumput yang tinggi. Selain itu aliran sungai, jurang yang dalam dan puncak gunung yang tinggi membuat wilayah Mambi bisa hilang begitu saja dibawah kafan kabut dan hujan yang curahnya tinggi. Sungai Mambi mengalir dangkal dan dingin di atas bebatuan, hulunya melingkari hutan dari Gunung Messila dan Gunung Mambulilling. Di sepanjang daerah aliran sungai Mambi yang membentang dari hulunya di Bambang ke

Page 4: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 4  

hilirnya di kota Mambi yang subur. Sekilas demikian adanya sebagai bukti dari makna namanya.

Bagi sebagian penduduknya saat ini, Mambi sebagai Lantang Kada Nene dalam Wilayah Pitu Ulunna Salu, adalah tidak lebih sebuah cerita dongeng pengantar tidur bagi anak-anak. Hal ini terjadi karena minimnya catatan sejarah tentang keberadaan dan eksistensi perkembangan budaya di Wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS) yang dapat ditemukan atau dapat diakses oleh generasi abad 20 dan 21.

Berdasarkan sejarah tutur yang diwariskan secara turun temurun, dan beberapa referensi tertulis hasil penelitian dari para peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah Pitu Ulunna Salu (PUS), bahwa Sejarah lahirnya Mambie tidak lepas dari sejarah panjang lahir dan berkembangnya adat budaya Pitu Ulunna Salu (PUS) pada abad kelimabelas, yang dibangun oleh Pongka Padang, seorang bangsawan dari Toraja tepatnya dari Hulu Sa’dan yang melakukan perjalanan panjang dan berakhir di Tabulahan dengan bertemu dengan seorang wanita yang bernama Tori Je’ne’ yang kemudian diperistrikan (KM.George,1996). Dari keturunan Pongka Padang dan Tori Je’ne’ inilah yang kemudian menyebar ke beberapa daerah sekitar Tabulahan dan membangun komunitas baru yang lebih besar menjadi Pitu Ulunna Salu, yang artinya kesatuan adat di tujuh hulu sungai. Para pemimpin adat dari ketujuh daerah tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing, sehingga Sistem kepemimpinan di Wilayah Pitu Ulunna Salu adalah kolektif kolegial, yang diketuai oleh Indona Lita’ di Tabulahan.

Tujuh daerah hulu sungai tersebut yang merupakan wilayah hukum adat, adalah sebagai berikut:

1. Tabulahan (Indona Lita’) 2. Aralle (Indona Kada Nene) 3. Bambang (Su’buan Ada’) 4. Mambie (Indona Lantang Kada Nene) 5. Rantebulahan (To Ma’dua Takin To Ma’tallu Sulekka) 6. Matangnga (Andiri Tatempon Samba’ Tamarapo) 7. Tabang (Bubunganna Ada’)

Mambie sebagai Indona Lantang Kada Nene terdiri atas 3 (tiga)

daerah lembah (baca: lemba) besar (lingkungan) dan beberapa daerah lembah kecil yang merupakan hasil perluasan wilayah garapan. Ketiga daerah lembah (lemba) tersebut adalah:

1. Mambie (Indona Mambie – Tomakaka) 2. Talippuki (Indona Talippuki) 3. Tapalinna (Indona Tapalinna)

Page 5: Mambie Lantang Kada Nene

 

Mambie 

e, Lantang K

Peta Wila

Kada Nene’ ­ 

ayah Pitu U

NRE 

lunna Salu, Pitu Ba’ba

Nurm

ana Binanga

mawansya

a (K.M. Geo

ah Rahman

orge,1996)

n Enang 

Page 5 

Page 6: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 6  

ambie dibangun oleh salah seorang keturunan Pongka Padang yang bernama Daeng Matana, sekitar abab keenam belas. Dan menjadi salah satu pemimpin adat dalam wilayah Pitu Ulunna Salu.

Dari hasil penjanjian kesepahaman para pemimpin adat di wilayah

Pitu Ulunna Salu (PUS), pemimpin adat di Mambie bergelar Tomakaka, Indona Lantang Kada Nene dan Lempo Kurin, Pajai Kandean, yang artinya: a) Di Mambie, tempat bertemunya/berkumpulnya kepala-kepala adat Pitu

Ulunna Salu Pitu Ba’bana Binanga untuk membicarakan pembangunan dan kesejahteraan umat/masyarakat, atau membicarakan perkara-kara yang lain yang patut dibicarakan dalam pertemuan kepala-kepala hadat. Segala pembicaraan itu atau segala keputusannya, harus disampaikan pada Indona lita' (Tabulahan) supaya dimohonkan berkat atas pembicaraan itu, supaya hasil pembicaraan itu mendatangkan bahagia/terealisasi.

b) Tugas dan Tanggung Jawab Indona Mambie yaitu melayani (menjamin/memberi makan) kepala-kepala hadat dalam pertemuannya selama mereka bersidang (ma’limbong) di Mambie.

Hal inilah yang menjadi titik awal Mambie sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan di wilayah Pitu Ulunna Salu. Karena semua hal yang menyangkut kepentingan umum masyarakat Pitu Ulunna Salu, selalu dibawa ke Mambie untuk dibicarakan. Dan secara otomatis, geliat perekonomian, sosial budaya, dan tentunya politik pemerintahan berkembang pesat di Mambie dengan mobilitas penduduk Pitu Ulunna Salu yang keluar masuk Mambie.

Pemimpin adat/Tomakaka di Rante Mambie dari waktu ke waktu

adalah sebagai berikut: 1. Daeng Matana 2. Rondobulahan 3. Daeng Marrapa’ 4. Petampi 5. Dude Daeng Bone 6. Enang Daeng Sumanjang

Adapun perangkat adat yang menjalankan fungsi-fungsi adat di

Mambi sebagai Lantang Kada Nene adalah sebagai berikut: 1. Tomakaka 2. Indo Lemba 3. Pangulu Tau 4. Dapokna Ada’ 5. Bukunna Lita’ (baru dibentuk)

M

Page 7: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 7  

Peninggalan sejarah di Mambie berupa rumah adat Lantang Kada Nene sudah tidak ada lagi, sehingga di era akhir tahun 70-an awal 80-an di Kota Mambi oleh pemerintah Kecamatan Mambi dibantu dengan swadaya Masyarakat Kecamatan Mambi (Pitu Ulunna Salu (PUS)) dibangun gedung pertemuan Mambie berlandaskan semangat Mambie sebagai Lantang Kada Nene. Dan pada era medio tahun 90-an gedung pertemuan Mambi atas swadaya masyarakat Mambi (Pitu Ulunna Salu (PUS)) direhabilitasi/dibangun kembali dengan diberi nama Gedung Lantang Kada Nene – Pitu Ulunna Salu.

Gedung Lantang Kada Nene – Pitu Ulunna Salu (NRE, 2012)

Page 8: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 8  

Mambie, di Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda

Pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, Mambie memiliki peranan penting dalam perkembangan pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial budaya di wilayah Pitu Ulunna Salu. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Mambi yang ditetapkan sebagai ibukota wilayah pemerintahan Kolonial Belanda, sebagaimana catatan sejarah yang ditulis oleh Drs.Adrianus Mandadung dalam bukunya yang berjudul, “Keunikan Budaya Pitu Ulunna Salu, Kondosapata Mamasa”. Kolonial Belanda masuk wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS) pertama kalinya pada tahun 1907. Berdasarkan Staatsbland, No : 43 Tahun 1917, daerah Pitu Ulunna Salu dipecah menjadi dua wilayah adminstrasi, yaitu ONDERAFDELING PITU ULUNNA SALU dengan ibu kotanya di Mambie dan ONDERAFDELING BOVEN BINUANG dengan ibu kotanya di MAMASA. (Sebelumnya ada usulan ibu kotanya di Malabo). Kedua wilayah Administrasi tersebut di bawah naungan pemerintahan AFDELING MANDAR yang ibu kotanya ada di MAJENE.

Dengan pembagian wilayah ini, Belanda melihat tidak membawa dampak kemajuan. Maka berdasarkan Staatsbland No.467 Tahun 1924, Kedua wilayah ondersfdeling ini dilebur kembali menjadi satu dengan nama : 'ONDERAFDELING BOVEN BINUANG EN PITU ULUNNA SALU dengan ibu kota ada di MAMASA. Sebagai catatan tambahan bahwa wilayah Pitu Ulunna Salu juga pernah dipecah-pecah oleh pemerintah Kolonial Belanda menjadi tiga wilayah, yaitu : Pertama, HULF BESTUUR AMTENAR MAMBI, meliputi, enam distrik Sbb : Tabulahan, Aralle, Mambie, Bambang, Rantebulahan, Matangnga dengan ibu kotanya di MAMBIE. Kedua : HULF BESTUUR AMTENAR MAMASA, meliputi tujuh Distrik (Kecamatan), yaitu : Messawa, Tabone, Mala'bo', Osango, Mamasa (Rambusaratu'), Tawalian. Orobua, dengan ibu kotanya di MAMASA.

Ketiga : HULF BESTUUR AMTENAR PANA' meliputi empat Distrik (kecamatan), yaitu : Nosu, Pana', Ulu Salu, Tabang dengan ibu kotanya di PANA'.

Page 9: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 9  

Kepala Distrik Mambie

Berbicara tentang Mambie sebagai Lantang Kada Nene, di Pitu Ulunna Salu, tentu tidak lengkap tanpa membicarakan salah satu dari sekian pemimpin yang pernah memimpin Mambie.

Adalah Enang Daeng Sumanjang yang juga merupakan Tomakaka Rante Mambie yang terakhir, diangkat dan ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Kepala Distrik Mambie. Jabatan Kepala Distrik Mambie diembannya terhitung mulai tanggal 19 Mei 1941 sampai dengan 28 Pebruari 1963. Masyarakat Mambie dan Pitu Ulunna Salu (PUS) lebih mengenalnya dengan sapaan akrab Parengnge’ Mambie.

Enang Daeng Sumanjang (Tomakaka Mambie)

Bersama Sariallo binti Norang (Istri)

Enang Daeng Sumanjang, Lahir di Mambie pada tanggal 30 Agustus 1913. Putra keempat dari pasangan Dude Daeng Bone (Tomakaka Mambie) dan Simburang (Anak Indona Talippuki/Indo Lemba di Pada). Cucu dari pasangan Petampi (Tomakaka Rante Mambie) dan Daeng Marreting (Songko’na Lisuang Ada’). Petampi (Tomakaka Rante Mambie) anak dari Daeng Marrapa yang istrinya bernama Mentang dan merupakan cucu dari Nene’

Page 10: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 10  

Rondobulahan yang merupakan anak dari Nene’ Daeng Matana sebagai penguasa Rante Mambie dan merupakan keturunan langsung dari Nene’ Pongka Padang dan Tori Je’ne sebagai asal muasal Berdirinya Kerajaan Pitu Ulunna Salu (PUS).

Ketokohannya sebagai Tomakaka di Mambie (Lantang Kada Nene) dikenal luas di seluruh wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS). Selain karena beliau adalah Kepala Pemerintahan di Distrik Mambie yang diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda dan Juga oleh Pemerintah Kabupaten Polewali Mamasa Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara kala itu. Pengakuan pemerintah Kolonial Belanda atas gelar Tomakaka yang yang disandang oleh Enang Daeng Sumanjang melalui Surat Keputusan (Acte Van Aanstelling) tanggal 19 Mei 1941 Nomor 314 yang mengangkatnya sebagai Kepala Distrik Mambie, Onderafdeeling Mamasa, Afdeeling Mandar, Residen Celebes.

Pada tanggal 25 Juni 1931, Enang Daeng Sumanjang menamatkan pendidikan di Sekolah Negeri Mambie Afdeeling Mandar sesuai sertifikat ijazah yang di keluarkan oleh INL SCHOOLOPZIENER Madjene Afdeeling Mandar. Terhitung mulai tanggal 01 Pebruari 1932 sampai dengan 30 Juni 1933, Ia Magang di Kantor H.B.A. Mambie. Dan Selanjutnya diserahi tugas oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Teleponis di Mambie, terhitung mulai tanggal 01 Juli 1933 sampai dengan 18 Mei 1941. Setelah itu, Ia diangkat sebagai Kepala Distrik Mambie pada tanggal 19 Mei 1941 sesuai dengan Surat Keputusan (Acte Van Aanstelling) tanggal 19 Mei 1941 Nomor 314 yang ditandatangani oleh Sekretaris Residen Celebes. Jabatan sebagai Kepala Distrik Mambie, Onderafdeeling Mamasa, Afdeeling Mandar, Residen Celebes diembannya selama kurang lebih 21 tahun 9 bulan (19 Mei 1941 sampai dengan 28 Pebruari 1963).

Terhitung mulai tanggal 01 Maret 1963, Enang Daeng Sumanjang diangkat sebagai Pegawai Daerah (Perakit Tata Usaha) pada Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pelewali Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, diperbantukan pada kantor Kepala Kecamatan Mambi di Mambi, sesuai Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Polewali Mamasa, Nomor 40/PD tanggal 05 April 1963, yang ditandatangani oleh A. HASAN MANGGA’ sebagai Bupati/Kepala Daerah Polewali Mamasa.

Page 11: Mambie Lantang Kada Nene

Nurmawansyah Rahman Enang 

 

Mambie, Lantang Kada Nene’ ­ NRE  Page 11  

Makam Enang Daeng Sumanjang – Tomakaka Mambie di Mambie (NRE, 2012)

Enang Daeng Sumanjang, wafat di Mambie pada tanggal 13

Desember 1990 dan di makamkan di Mambi disamping makam istrinya Sariallo Binti Norang yang merupakan putri dari Pangngulu Tau di Rante Mambie.

Referensi: 1. Kenneth M. George – Showing Signs of Violence: The Cultural Politics of

a Twentieth-Century Headhunting Ritual. Berkeley: University of California Press, 1996.

2. Drs.Adrianus Mandadung dalam bukunya yang berjudul, “Keunikan Budaya Pitu Ulunna Salu, Kondosapata Mamasa”

3. Dokumen dan catatan-catatan Enang Daeng Sumanjang – Tomakaka Mambie.

4. Berbagai sumber tertulis dan sumber wawancara.