mama2

58
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya penganut agama khususnya agama islam tidak luput dengan sejarah-sejarah masuknya suatu agama tersebut, dan juga menurut Bapak proklamator kita Ir. Soekarno mengatakan JAS MERAH, jangan pernah lupa dengan sejaran, karena sejarah kita ada dan dengan sejaralah islampun ada. Menurut perkembangan islam di Arab islam di proklamatori oleh Baginda Nabi Muhammad, SAW, dan bagaimana di Indonesia? Oleh karena itu penulis akan membahas tentang asal mula islam di Indonesia dan para ulama pem-proklamator islam di Indonesia. Dan penulis akan membahas tentang ulama, serta ulama-ulama besar proklamator islam B. Rumusan masalah 1. Apa itu ulama? 2. Bagaimana sejarah asal mujla ulama di Indonesia? 3. Siapa saja ulama besar Indonesia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa itu ulama dan bagaimana asal mula ulama di Indonesia 2. Mengetahui ulama-ulama besar proklamator islam 1

Upload: chayrasyid

Post on 03-Aug-2015

90 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: mama2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya penganut agama khususnya agama islam tidak luput

dengan sejarah-sejarah masuknya suatu agama tersebut, dan juga menurut

Bapak proklamator kita Ir. Soekarno mengatakan JAS MERAH, jangan

pernah lupa dengan sejaran, karena sejarah kita ada dan dengan sejaralah

islampun ada. Menurut perkembangan islam di Arab islam di proklamatori

oleh Baginda Nabi Muhammad, SAW, dan bagaimana di Indonesia? Oleh

karena itu penulis akan membahas tentang asal mula islam di Indonesia dan

para ulama pem-proklamator islam di Indonesia. Dan penulis akan membahas

tentang ulama, serta ulama-ulama besar proklamator islam

B. Rumusan masalah

1. Apa itu ulama?

2. Bagaimana sejarah asal mujla ulama di Indonesia?

3. Siapa saja ulama besar Indonesia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu ulama dan bagaimana asal mula ulama di

Indonesia

2. Mengetahui ulama-ulama besar proklamator islam

1

Page 2: mama2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulama

Ulama (Arab: al-`Ulamā` ) adalah pemuka agama atau pemimpin

agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat

Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang

diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna

sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti

ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang

maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.

B. Asal Mula Ulama Islam di Indonesia

Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan,

pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan

Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga,

Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik

Ibrahim)

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun

dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim

delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama

berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan

Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun

kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan

pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama

penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim

terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri

nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum

secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara,

adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah

kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari

Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692

2

Page 3: mama2

H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula

berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika

singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah

tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang

ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek

makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah

bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475

H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-

makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk

pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M,

penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah

berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran

pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki

kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa

kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak,

Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah

campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.

Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan

oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di

Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The

Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai

penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia

Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut

kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar

menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan

terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan

ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi

semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak.

Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam

Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar

3

Page 4: mama2

sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani

berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di

Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di

abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin

Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena

berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para

penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara,

mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut

berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka

terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari

bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum

kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga

terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab

dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi

ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka

untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk

kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat

Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu

daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-

kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk

memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka

pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda

Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun

maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari

sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada

tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang

putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih

terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga

kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat

berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki

Utsmani.

4

Page 5: mama2

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat

jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman

akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang

mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i.

Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah

dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah

sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih

terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah

orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara

mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat

inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap

perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah

mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran

melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan

17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,

Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang

Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam

Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar). Demikianlah proses asalmula

sebuah ulama-ulama islam di Indonesia.

C. Ulama-Ulama Indonesia

1. Abdurrauf Singkel

ABDURRAUF SINGKEL, SYEIKH nama lengkapnya adalah

Syekh Abdurrauf Ali Al Fansury Al Singkily Al Jawi. Beliau adalah

penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum,

cendikiawan muslim dan seorang Sufi yang sangat terkenal di Nusantara

yang lahir pada tahun 1615 atau 1620 di Singkel, sebuah kabupaten di

Aceh Selatan. Dia berasal dari kalangan keluarga muslim yang taat

beribadah. Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali dan ibunya

seorang wanita berasal dari desa Fansur Barus—sebuah pelabuhan (bandar)

yang sangat terkenal waktu itu. Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf

belajar pada Dayah Simpang Kanan di pedalaman Singkel yang dipimpin

5

Page 6: mama2

Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar

ke Barus di Dayah Teungku Chik yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah

Fansury. Ia sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang

dipimpin oleh Syeikh Samsuddin as-Sumatrani. Setelah Syeikh Samsuddin

pindah ke Banda Aceh lalu diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai

Qadhi Malikul Adil, Abdurrauf pun pergi mengembara. Beliau tidak suka

menetap di kota kelahirannya. Beliau lebih suka memilih mengembara

meninggalkan kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai pelosok

nusantara dan Timur Tengah. Abdurrauf selalu merasa haus terhadap ilmu

pengetahuan. Beliau pernah belajar hampir dua puluh tahun di Mekkah,

Madinah, Yaman dan Turki. Sehingga tidak mengherankan kalau Beliau

menguasai banyak bahasa, terutama bahasa Melayu, Aceh. Arab dan

Persia. Disebutkan selama belajar ilmu agama di Timur Tengah, Syeikh

Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi

termashyur. Tentang pertemuannya dengan para sufu itu, ia berkata

“adapun segala mashyur wilayatnya yang bertemu dengan dengan fakir ini

dalam antara masa itu…”. Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurraur kembali

ke Aceh dengan memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai

Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. Mengenai pendapatnya tentang faham Syeikh Hamzah

Fansuri (Tarekat Wujudiah) nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin

ar-Raniry. Beliau tidak begitu keras, Walaupun Syeikh Abdurrauf termasuk

penganut faham tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap

Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-

gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti

itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan

berbalik kepada dirinya sendiri. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang

dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu—sastra, hukum, filsafat, dan

tafsir, antara lain;

1.‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin; dengan

terjemahannya sendiri; Perpegangan Segala Mereka itu yang

Berkehendak Menjalani Jalan Segala Orang yang Menggunakan

6

Page 7: mama2

Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang

dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masa-

masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri

atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya

khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang

ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana

dengan cara apa ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar Melayu

lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia

menyebut telah berada selama sembilan belas tahun di negeri Arab.

2.  Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-

Wahab. Dalam kitab ini disebutnya ia mengarang atas titah Sultanah

Tajul-Alam Safiatuddin Syah. Isinya ialah ilmu fikah menurut mazhab

Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat al-

Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, dimasukkan disini.

3.  Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini

disebutnya ia dititahkan oleh Sultanah Tajul-Alam untuk mengarang. Isi

kitab ini ialah tentang ilmu tasawuf yang dikembangkan oleh Abdur-

Rauf.

4. Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya ini terdiri atas

lima puluh pengajaran dan ditulis berdasarkan Qur’an, hadith, ucapan-

ucapan sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar.

5. Tafsif al-Jalalain. Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari

Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan surah 10.

6. Tarjuman al-Mustafiq. Merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari

karya bahasa Arab ini. Dalam sebuah naskah Jakarta disebut ada

tambahan dari murid Abdur-Rauf, Abu Daud al-Jawi ibn Ismail ibn

Agha Ali Mustafa ibn Agha al-Rumi (Van Ronkel, Catalogus der

Maleische Handschriften 1909 dalam ibid).

7. Syair Ma’rifat. Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan

Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi.

2. SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

7

Page 8: mama2

Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat

Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu

pengetahuan dan agama.   Belum ada tokoh yang mengalahkan

kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini

tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama

kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung

Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan

untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya

itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan

dengannya. Baik sebagai  keturunan atau muridnya. Sebut saja nama

almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah

keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera,

Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-

murid syaikh.

Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin

Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang

biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin

Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin

Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian

sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti

Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah

keturunan Rasulullah.

Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis,

kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke

Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah

Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah

Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke

Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu,

yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang

jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh

Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah

8

Page 9: mama2

merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau

Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).

Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India

mengembara untuk  menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran

kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat

melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya

mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg

dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-

Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan

al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya

yaitu ;  ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.

Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari,

pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.

Semasa Kecil

Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan

Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan

beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga

siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.

Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-

kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda

berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah

lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan

mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh

di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan

dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil

perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah.

Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama

30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung

oleh sultan.

Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh

`Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-

9

Page 10: mama2

Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi

menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad

bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin

Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh

Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan

Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab

Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-

Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin

Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.Hampir

semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah

mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup

jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang,

Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa

karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat

Banjar atau dunia Melayu. Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah

kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-

Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri

Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal),

Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun

Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang)

yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh

`Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa

Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand

Selatan), dan banyak lagi.

Penulisan

Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di

Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan

Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai

bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang

dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih

mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang

seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika

10

Page 11: mama2

mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan

menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah,

pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat

menghasilkan beberapa buah karangan.

Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-

Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya.

Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa

Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia

mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali

kepada para muridnya.

Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah

ini:

1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa

ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188

H/1774 M

2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-

Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.

3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din,

diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M

4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22

Rabiulawal 1196 H/1781 M.

5. Kitab Bab an-Nikah.

6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi

7. Kanzu al-Ma’rifah

8. Ushul ad-Din

9. Kitab al-Faraid

10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab

11. Mushhaf al-Quran al-Karim

12. Fat-h ar-Rahman

13. Arkanu Ta’lim as-Shibyan

14. Bulugh al-Maram

15. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’

11

Page 12: mama2

16. Tuhfah al-Ahbab

17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan

semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari.

Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa

dinyatakan tarikh cetak.

Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini

sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-

Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang

disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah

Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-

Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang

keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990).

Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut:

1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut

oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani

Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah

Syeikh Muhammad Arsyad.”

2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam

Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab

dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut,

seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan

Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang

Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul

Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi

Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan

lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen al-’Alim

al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin

`Abdullah al-Banjari.”

3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh

Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan

kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim

12

Page 13: mama2

al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di

bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang

daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin

Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di

bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul

fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.

4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-

Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya

cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin

`Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.

Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada

Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman

Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada

hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-

Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh

Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur

Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin

`Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad

bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan

dibicarakan pada kesempatan yang lain.

Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan

kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir,

Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta

Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al

Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih

terpelihara dengan baik.

13

Page 14: mama2

3. Syekh Nawawi al-Bantani

Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah

penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya

termasuk Mekah dan Madinah. Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang

lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-

Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya.

Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan

sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk

para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal.

Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-

Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.

Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar

25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah

penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi,

Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir.

Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di

Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai

Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika

mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan

tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci

itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama

setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di

sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314

H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah

setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi

politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.

Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama

terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni,

Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib

Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan

pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di

balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai

14

Page 15: mama2

Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk

menggantikan kedudukannya.

Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah

orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir

semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai

penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di

bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya.

Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar

di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang

jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang

profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak

orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana

juga. Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana,

pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.(Lihat, Steenbrink, Beberapa

Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122)

Pada tahun 1860-1970, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran.

Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara

tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara murid-

muridnya yang berasal dari Indonesia adalah:

1. KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak

bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

2. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

3. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.

4. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh

Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.

5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan

mantunya (cucu).

6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di

Banten).

7. KH Ilyas, Kragilan, Serang.

8. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.

9. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.

15

Page 16: mama2

10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian

dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger

Cilegon.

Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam,

Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.

 

Karya-karyanya

Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk

mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang

lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya

pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an

– sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar

terdahulu.

Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir,

sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan

Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H):

1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya

Abdullah ibn Umar al-Hadrami.

2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl

al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam

asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.

3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai

hak dan kewajiban suami-istri

4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul

’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi.

5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-

Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid

Ahmad ibn Zein al-Habsyi.

6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib al-

Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i.

16

Page 17: mama2

7. Asy-Syu’ba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah

karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh

Muhammad ibn Ali.

8. Marraqiyyul ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya

Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .

9. Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya

al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi.

10. Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal

sebagai Tafsir Munir.

11. Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh

Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.

12. Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul

Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-

Malibari.

13. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi

Laits.

14. Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya

Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim

Ba’lawi.

15. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh

Salim ibn Sumair al-Hadrami.

Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang

penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib,

yang juga dikenal sebagai Tafsir Munir.

Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di

Mesir (Dhofier, 86):

1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun

1881.

2. Lubab al-Bayan (1884).

3. Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan

merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.

17

Page 18: mama2

4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-

Farid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.

5. Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini

sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan

maulid.

6. Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.

7. Syarah tentang syair Asmaul Husna.

8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.

9. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)

10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan

ibadah.

11. Tafsir Murah Labib.

Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya

menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas

atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan

keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab.

Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut

faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah

Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan

penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.

Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga

pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja

sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-

pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah,

dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang

dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di

dalam maupun luar negeri.

Beberapa karya ilmiah tentang Syekh Nawawi yang ditulis sarjana

kita antara lain:

1. Ahmad Asnawi, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tentang Af’al

al-’Ibad (Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).

18

Page 19: mama2

2. Ahmad Asnawi, Penafsiran Syekh Muhammad nawawi tentang Ayat-

ayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).

3. Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syeikh Muhammad Nawawi, (Tesis

Magister IAIN Jakarta, 1996).

4. MA Tihami, Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-

Bantani, (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).

5. Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi al-Bantani’s

Salalim al-Fudhala, (Tesis Mgister McGill University, Kanada,

1992).

6. Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi:

Hayatuhu wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar

University, Kairo, 1979).

 

Nawawi dan Polotik Kolonialisme

Syekh Nawawi memang tidak seaktif Syekh Nahrawi yang

menyerukan jihad dalam menghadapi kekuasaan asing di Nusantara. Toh

dia merasa bersyukur juga ketika mendengar betapa Belanda menghadapi

banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck

Hurgronje, dia tidak menyetujui pendapat bahwa tanah Jawa harus

diperintah oleh orang Eropa.

“Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau

andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia

akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang

tidak teratur,” kata Hurgronje, yang pernah menetap selama enam bulan di

Mekah (dalam penyamaran), 1884-1885. Tak heran, jika ia memandang

pemberontakan petani di Cilegon (1888) yang dipimpin KH Wasid,

sebagai jihad yang diperintahkan.(suryana sudrajat dan abdul

malik/artikel ini juga bisa dibaca di buku Jejak Ulama Banten, dari Syekh

Nawawi Hingga Abuya Dimyati, penerbit Humas Setda Provinsi Banten,

2004)

19

Page 20: mama2

4. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham

kelompok Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah

adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar

Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil

Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal

abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan

di sana menjadi guru para ulama Indonesia.

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-

Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat,

pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah

hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M)

Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama

terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini

Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.

Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i.

Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia,

seperti

Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;

Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,

Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,

Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,

Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,

Syeikh Khatib Ali Padang,

Syeikh Ibrahim Musa Parabek,

Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan

Syeikh Hasan Maksum, Medan.

Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad

Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam

20

Page 21: mama2

terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,

merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.

Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i

dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai

ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil

Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu

falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa

pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta

peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan

pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.

SANGGAHAN THARIQAT

Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat

terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati

bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam

Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya

terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat

Qadiriyah dan lainnya.

Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan

sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau

yang mendahului pertikaian.

Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan

kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:

`Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu

was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif,

Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan

beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa

kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ?

Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba

lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana

pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga

menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita.

21

Page 22: mama2

Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam.

Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”

Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan

terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu

Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada

malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.

Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut

Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf

daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad

Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah

kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil

Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325

H/1907 M.

Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul

Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab

Mir-atul a-’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan

Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.

Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak

membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius

karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu

ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-

Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.

Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh

Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau

menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil

Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.

Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka

dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam.

Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib

Minangkabau.

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang

berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak

22

Page 23: mama2

bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab

Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut

Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi

dalam akidah/i’tiqad.

Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang

berbeda pendapat.

Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua’, beliau ialah Syeikh

Hasan Ma’sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli,

Sumatera Utara.

Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda’, beliau ialah

Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka).

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh

Hasan Ma’sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh

Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul

Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh

dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang

ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.

Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu

Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh

Abdul Karim Amrullah] adalah sesat.

Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, golongan tersebut

sesat kerana keluar daripada fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan

menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara tulisannya ialah ‘al-

Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh

bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.

Di antara nasihatnya: “Maka betapakah akan batal dengan fikiran

orang muqallid yang semata-mata dengan faham yang salah dengan taqlid

kepada Ibnu al-Qaiyim yang tiada terpakai qaulnya pada Mazhab Syafie.

……………Maka wajiblah atas orang yang hendak selamat pada

agamanya bahawa dia berpegang dengan segala hukum yang telah tetap

pada mazhab kita. Dan janganlah ia membenarkan akan yang menyalahi

demikian itu daripada fatwa yang palsu.”

23

Page 24: mama2

Memang tidak seluruh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah

keliru. Sebagian dari pemahaman beliau turut mempengaruhi dalam

pendirian kalangan Muhammadiyah.

Salah satu yang mengolah dan menfilter pemahaman Syaikh Ibnu

Taimiyah adalah ulama dari kaum “muda” yakni Haji Abdul Malik bin

Abdul Karim Amrullah atau yang kita kenal dengan Buya Hamka.

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik

Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,

beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah

seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti

dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya

sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William

James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan

Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan

tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas

Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus

Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli

pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi

Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun

1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di

Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang

Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan

pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau

menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih

menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh

Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada

tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres

Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan

Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.

24

Page 25: mama2

Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama

Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981

karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Menulis buku mengenai tasawuf bagi Buya Hamka (1908-1981),

semata-mata dilakukan untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang

semakin jauh dari nilai dan ajaran agama.

“Buya Hamka menulis buku yang bertajuk `Tasawuf Modern`

untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang mengalami goncangan

jiwa dan gangguan ruhani,” kata Kepala Kantor Masjid Agung Al Azhar,

Amliwazir Saidi

Amliwazir menjelaskan, tasawuf yang dimaksud oleh Hamka

adalah membicarakan hakekat kebenaran Tuhan dengan cara bahwa

manusia harus mengenal hakekat dirinya sendiri.

Amliwazir menuturkan, Hamka mendefinisikan sufi sebagai

meninggalkan budi pekerti yang tercela dan memasuki budi pekerti yang

terpuji, berakhlak tinggi.

Maka, lanjut Amliwazir, yang dimaksud dengan “Tasawuf

Modern” oleh Hamka adalah mengembalikan akar tasawuf ke asalnya

yang semula yaitu ajaran Al Qur`an dan As Sunnah.

Ketua PBNU Dr Said Agil Shiroj dalam kesempatan terpisah,

Kamis mengatakan, Hamka merupakan sosok yang menjadi pionir dalam

penyebaran ilmu tasawuf secara nasional di Tanah Air.

“Melalui buku `Tasawuf Modern`, Buya Hamka adalah yang

pertama mengangkat tema tasawuf di tingkat nasional,” kata Said.

Menurut Said, melalui karya tersebut tasawuf tidak lagi dikenal

sebagai sekumpulan orang yang kumuh tetapi merupakan suatu pola pikir

yang bisa diaplikasikan dalam zaman modern.

Selain itu, ujar dia, banyaknya kutipan dari pemikiran Imam Al

Ghazali dalam “Tasawuf Modern” juga mengindikasikan bahwa tasawuf

Buya Hamka mengacu kepada Tasawuf Sunni.

“Tasawufnya Buya Hamka adalah Tasawuf Sunni, bukan

Tasawuf Falsafi apalagi Tasawuf Kejawen,” kata Said.

25

Page 26: mama2

5. Hasbi Ash Shiddieqy

Muhammad Hasbi lahir di Lhok Seumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Al

Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad

Mas‘ud dan  Teungku Amrah adalah nama orang tuanya. Ayahnya seorang ulama

terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren) sementara ibunya adalah puteri

Teungku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi

Kesultanan Aceh waktu itu. Ia merupakan keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq

yang ketiga puluh tujuh. Oleh sebab itu gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama

keluarganya. Ketika berusia 6 tahun, ibunya meningggal dunia. Sejak itu ia diasuh

oleh bibinya, Teungku Syamsiah.

Sejak kecil Hasbi belajar agama Islam di dayah milik ayahnya. Kemudian pada

usia delapan tahun ia sudah pergi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya.

Mulanya ia pergi ke dayah Teungku Chik di Piyeung untuk belajar Bahasa Arab.

Setahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Pada tahun

1916 ia kembali pindah ke dayah  Teungku Chik Idris. Di salah satu dayah

terbesar di Aceh ini Hasbi khusus belajar fiqih. Dua tahun kemudian ia pindah ke

dayah Teungku Chik Hasan Krueng Kale untuk memperdalam ilmu hadits dan

fiqih. Setelah dua tahun belajar di dayah ini, Hasbi mendapatkan syahadah

(ijazah) sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri.

Disamping gemar belajar, Hasbi juga gemar membaca, oleh karena itulah

kemampuan otodidaknya sangat bagus.

Sekembalinya dari merantau, Hasbi kemudian menjadi anak didik Syaikh al-

Kalali. Dari tokoh pembaharu asal Singapura yang kemudian menetap di Aceh ini

lah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab para ulama seperti

Fatawa Ibnu Taimiyah, Zâdul Ma’âd Ibnu Qayyim dan ‘Ilamul Muwaqi’in.

Melihat gairah dan kemampuan Hasbi itu, Syaikh al-Kalali kemudian

mengirimnya ke Surabaya untuk belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati. Setelah

dites ia ditempatkan di kelas takhasus. Selama satu setengah tahun belajar di al-

Irsyad, yang paling banyak dipelajari Hasbi adalah kemahiran berbahasa arab dan

pengalaman menyaksikan kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara

26

Page 27: mama2

terorganisir. Akhirnya Syaikh as-Surkati dengan al-Irsyadnya telah memantapkan

sikap Hasbi  untuk bergabung dengan kelompok pembaharu. Berbeda dengan

kebanyakan tokoh pembaharu lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara

pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Kemudian Ia mulai

menyuarakan pembaharuannya di Aceh, masyarakat yang dikenal fanatik. Namun

ia tidak gentar dan surut kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan

diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.

Sikap pembaharuan Hasbi tercermin dalam pemikiran-pemikirannya. Dalam

berpendapat ia merasa bebas, tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia

berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga

anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan

jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia

Pada tahun 1933 Hasbi pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). Kepindahannya ke

ibukota karesidenan ini membuka peluang bagi Hasbi untuk lebih banyak

bergerak. Kemudian ia bergabung dengan organisasi Nadil Ishlahil Islami

(Kelompok Pembarun Islam). Dalam rapat umum organisasi tahun 1933, Hasbi

ditunjuk sebagai wakil redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil

Islami.

Hasbi juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhamadiyyah. Ia pernah menjadi

ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis Wilayah Muhamadiyyah

Aceh.

Di awal kemerdekaan Hasbi ditangkap dan dipenjara oleh Gerakan Revolusi

Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun lebih. Apa yang

menjadi sebab semua ini tidak begitu jelas, karena Hasbi sendiri tidak pernah

diinterogasi maupun diadili. Tapi ada kemungkinan karena sikap

pembaharuannya. Selama di dalam tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan

naskah buku al-Islam setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian

diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Sampai tahun 1982 saja buku

ini telah mengalami tujuh kali cetak ulang.

Hasbi baru dibebaskan dari penjara setelah ada desakan dari Pimpinan

Muhamadiyyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Tetapi ia masih

berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia pulang ke Lhok Seumawe dan

27

Page 28: mama2

menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam di sana. Status tahanan kotanya

kemudian dicabut pada tanggal 28 Februari 1948.

 Pendidik Hebat

Setahun kemudian Hasbi bersama Ali Balwi berangkat ke Yogyakarta untuk

menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV mewakili Persatuan Ulama

Seluruh Aceh (PUSA). Dalam kongres itu Hasbi menyampaikan prasaran yang

berjudul ”Pedoman Perjuangan Ummat Islam  mengenai Soal Kenegaraan”. Ia

juga dikenalkan oleh Abu Bakar Atjeh, ulama asal Aceh, kepada Kiai Wahid

Hasyim, Mentri Agama saat itu, dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi, ketua Panitia

Pendirian PTAIN (cikal bakal IAIN/UIN).

Perkenalannya dengan Kiai Fatchurrahman Kafrawi membawanya kembali ke

Yogyakarta dua tahun kemudian, kali ini untuk menetap, karena ia ditawari

mengajar di Sekolah Persiapan PTAIN.

Karena kepakarannya dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru

Besar dalam bidang ilmu Hadis. Sejak itu ia juga diangkat sebagai dekan di

Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  hingga tahun 1972. Ia juga

diangkat sebagai dekan fakultas Syari’ah IAIN Banda Aceh.

Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah

dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya adalah Anugerah Doctor Honoris

Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah

Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun

1975.

 Aktif Berpolitik dan Produktif Menulis

Semenjak di Aceh Hasbi sudah aktif di Masyumi. Dalam pemilihan umum tahun

1955 Hasbi terpilih sebagai anggota konstituante dari partainya. Ia kemudian

ditempatkan di Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Sebagai anggota konstituante,

pada tahun 1957 Hasbi berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International

Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. Dalam acara

ini Hasbi menyampaikan makalah dalam bahasa Arab dengan judul ”Sikap Islam

terhadap Ilmu Pengetahuan”.

28

Page 29: mama2

Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai disiplin

ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya tulis yang telah

dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel.

Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul.

Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul,

dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Karya

terakhirnya adalah Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum

meninggal dunia.

Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30

juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama

Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.

09 Desember 1975, Hasbi mengikuti karantina guna menunaikan Ibadah haji,

namun Allah swt. menakdirkan memanggilnya dalam usia 71 tahun. Ia kemudian

dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan

Mr. Mohammad Roem turut memberi sambutan pada acara pelepasan dan

pemakamannya.

Beberapa karya Hasbi ash-Shiddieqy:

1.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2.

2.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3.

3.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4.

4.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5.

5.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6.

6.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7.

7.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8.

8.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9.

9.      Mutiara Hadis 1 (Keimanan).

10.  Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).

11.  Mutiara Hadis 3 (Shalat).

12.  Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).

13.  Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar &

Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).

29

Page 30: mama2

14.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi

ash-Shiddieqy. 

15.  Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok

Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958.

16.  Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. 

17.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.

18.  Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.

19.  Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur.

20.  Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2).

6. HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)

“Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah, Dengan agama hidup menjadi terarah“

Masa hidup HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 1908-

1981.  Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf,

dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.

Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera

Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik.Ibunya dari

keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji

Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis

dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada

tahun 1906

Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari

kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, atau seseorang yang

dihormati.

            Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA

dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum

adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak

dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-

hari

30

Page 31: mama2

Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI

Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk

Islam.

Riwayat Pendidikan

            HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia

10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di

situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga

pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama

terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur,

R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo

Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya,

memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk

menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki

Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA

mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo

Pakualaman, Yogyakarta.

Riwayat Karier      

HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan

Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian

dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas

Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau

diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas

Mustopo, Jakarta.

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai

kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid

Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan

tinggi Islam di Tanah Air.

31

Page 32: mama2

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai

Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia.

Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali,

melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau

kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak

dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Riwayat Organisasi        

HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah.

Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan

khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928

beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929

HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun

kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau

terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh

Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun

1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat

Muhammadiyah.

Aktivitas Politik HAMKA

            Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi

anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu

menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan

menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA

diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi

dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah

pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.

Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki

Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA

menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang

32

Page 33: mama2

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub

dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian

besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya

bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden

Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia

pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap

Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya.

Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA.

"Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan,

namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar

hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang

muslim.

            Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden

Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai

menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar

dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan

Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota

Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

            Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan

pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang

sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

            Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama

Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang

perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak

keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan

rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas

meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA

memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.

33

Page 34: mama2

Aktivitas Sastra HAMKA

            Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan

seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA

menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam,

Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi

editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan

menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor

majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel

dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).

            Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara

daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman.

Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi

Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat

roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan

roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia

dan Singapura

            Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang

sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

Aktivitas Keagamaan

            Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA

secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra.

Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang

ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus

penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua

MUI pertama tahun 1975.

            HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau

mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih

34

Page 35: mama2

suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan

moral Islam.

            Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya

memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang

menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi

HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan

fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat

sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja,

HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu

itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno.

Bahkan majalah yang dibentuknya ''Panji Masyarat'' pernah dibredel Soekarno

karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ''Demokrasi Kita'' yang

terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi

Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.

Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA

lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Wafatnya HAMKA

            Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan

pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.

Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di

negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia

dan Singapura, turut dihargai.

Penghargaan

            Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah

penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun

1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun

1958), dan  Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah

Indonesia

35

Page 36: mama2

Pandangan Hamka Tentang Kesastraan

Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh

Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang

kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi

pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki

kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki

kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

Buah Pena Buya Hamka

          Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA.

Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya

HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.

            HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi

banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat

Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera),

budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman &

Amal Salih   ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).

36

Page 37: mama2

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan Ulama (Arab: al-`Ulamā` ) adalah pemuka agama

atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan

membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum

masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial

kemasyarakatan.

Banyak pemuka-pemuka agama di dunia khususnya Indonesia yang

memberikan sebuah perubahan dalam islam. Jadi perubahan-perubahan serta

perkembagan islam sangatlah bergantung pada pemuka islam seperti para

ulama.

B. Saran

Sarannya adalah, budayakan keislaman yang sudah dibina oleh ulama-ulama

pemuka kita, karena tentunya sangatlah sulit suatu perkembangan, jadi

bagaimana kita mempertahankan suatu kejayaan tersebut.

37

Page 38: mama2

DAFTAR PUSTAKA

http://www.wikipedia.org/pengertian-ulama.html diakses pada tanggal 02 juli

2012

http://www.chayrasyid.co.cc/ulama-pemuka-agama.html diakses pada tanggal 02

juli 2012

Abu Faiz. 2005. HAMKA, Berprinsip Tapi Lembut, (Online),

([email protected], diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)

Liputan6. 2007. HAMKA, Ulama yang Penuh Warna, (Online),

(www.udaunisumbar.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)

Muntohar. 2007. Buya Hamka. (Online), (muntohar.wordpress.com, diakses

Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)

Prof. DR. Ir. Zoer'aini. 2002. Artikel tentang Buya, (Online), (rantau-

[email protected], diakses Kamis, 31 Januari 2008, 14.30 WIB)

38