malignant hyperthermia fix
DESCRIPTION
tutorrrrTRANSCRIPT
LAPORAN
TUTORIAL BLOK 12 SKENARIO B
Disusun oleh:
KELOMPOK B5
AnggotaKelompok:
Ivandra Septiadi Tama Putra (04111401028)
Retno Tharra H (04111401029)
Eliya (04111401031)
M. Addien Prima Nanda (04111401037)
Nyimas Irina Silvani (04111401057)
Niken Kasatie (04111401065)
Keyshia Nur Yazid (04111401070)
Janeva Septiana Sihombing (04111401072)
Ferina Auliasari Pohan (04111401083)
Kristian Sudana Hartanto (04111401085)
Prabashni Ramani (04111401093)
Tutor: dr. Ika Kartika, Sp. PA
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTAS SRIWIJAYA
TAHUN 2012
1
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen
pembimbing yang telah membimbing tutorial pertama di blok 12 ini sehingga proses
tutorial dapat berlangsung dengan sangat baik.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada
kedua orang tua, yang tela hmemberi dukungan baik berupa materil dan moril yang tidak
terhitung jumlahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario B
di blok 12 ini hingga selesai.
Ucapan terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat di Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya atas semua semangat dan dukungannya sehingga
perjalanan blok per blok yang seharusnya sulit dapat dilewati dengan mudah.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata mendekati
sempurna.Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan di penyusunan laporan berikutnya. Mudah-mudahan laporan
ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Desember 2012
Penyusun Kelompok
5
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
……………………………………………………………………………. 2
DaftarIsi ………………………………………………………………………………..
… 3
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 4
1.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………….... 4
BAB II Pembahasan
2.1 Data Tutorial………………………………………………………… 5
2.2 Skenario Kasus…… ……………………………………………….. 5
2.3 Paparan
I. Klarifikasi Istilah.............………………………………….... 6
II. Identifikasi Masalah...........…………………………………...7
III. Analisis Masalah...............................……………………... 8
IV. Keterkaitan Antar Masalah .............................................. 22
V. Learning Issues ...………………...………………………… 23
VI. Kerangka Konsep..................………………………………..36
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan ...............................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 38
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Blok mengenai Biomolekuler adalah blok yang berad adalam blok 12 pada
semester 3 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran
untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis
memaparkan kasus yang diberikan mengenai pengaruh pemberian anestesi halothane
terhadap Malignant hyperthermia dari segi farmakologi.
1.2 Maksud danTujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari
scenario ini.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Ika Kartika, Sp. PA
Moderator : Ivandra Septiadi Tama Putra
Sekretaris Papan : Janeva Septiana Sihombing
Sekretaris Meja : Keyshia Nur Yazid
Hari, Tanggal : Selasa, 11 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
Rule Peraturan : 1. Alat komunikasi di nonaktifkan.
2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat (aktif).
3. Dilarang makan dan minum.
2.2. Skenario Kasus
Tn. Aceng, umur 35 tahun, akan menjalani herniotomi dekstra. Spesialis Anastesi
(SpAn) berencana memberikan anastesi umum berupa inhalasi halothane. Sebelumnya
telah dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit Dalam yang menyatakan tidak
ditemukan adanya kelainan jantung dan paru.
Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine intravena, dilakukan intubasi
dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane. Pada saat pembedahan berlangsung,
Tn. Aceng mengalami kekakuan otot, suhu tubuh meningkat sampai 40°C, tekanan darah
menjadi 170/90 mmHg, dan denyut jantung 120 kali/menit. Dokter SpB dan dokter SpAn
menduga terjadinya suatu Malignant hyperthermia.
Hasil laboratorium darah cito :
Base deficit > 8mEq/L, pH < 7.25, konsentrasi creatine kinase serum > 20000/L units,
cola-colored urine, excess myoglobin in urine and serum, plasma K+ > 6mEq/L.
Jelaskan apa yang terjadi pada Tn. Aceng dalam tinjauan farmakologi sehubungan
dengan obat-obat yang diberikan!
5
2.3 Paparan
I. Klarifikasi Istilah
1. Herniotomi dekstra : insisi hernia inguinalis dengan pembedahan dan memperkuat
defek menggunakan jala (mesh).
2. Anestesi : hilangnya sensasi atau kemampuan merasakan nyeri yang
disebabkan oleh pemberian obat atau intervensi medis lain.
3. Inhalasi halothane : suatu anestetik inhalasi poten dipakai secara luas untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi umum, induksi dan
pemulihan cepat dan lancar.
4. Succinylcholine : zat penyekat neuromuscular yang menyebabkan relaksasi otot
rangka melalui penghambatan transmisi pada taut
neuromuscular, tindakan seperti intubasi endotrakeal dan
endoskopi, dan sebagai tambahan untuk anestesi bedah
diberikan secara intravena atau intramuscular.
5. Intubasi : penempatan pipa ke dalam saluran endotrakeal melalui mulut.
6. Malignant hyperthermia : gangguan autosomal dominan yang diturunkan, timbul pada
pasien yang menjalani anestesi umum, dan menyebabkan
kenaikan suhu tubuh yang cepat, peningkatan metabolisme
otot, tachycardia, tachypnea, berkeringat, sianosis, kekakuan
otot.
7. Base deficit : defisiensi kandungan basa dalam jaringan tubuh.
8. Creatine kinase serum : enzim yang diaktifkan oleh Mg2+ untuk mengkatalisis
fosforilasi keratin oleh ATP untuk membentuk fosfokreatin di
otot untuk mempertahankan konsentrasi ATP di otot.
9. Cola-colored urine : urine berwarna seperti cola atau hitam.
10. Myoglobin : pigmen otot pengangkut oksigen lalu membawanya ke
mitokondria tempat oksigen menghasilkan energy melalui
metabolisme glukosa, sejenis hemoprotein yang menyerupai
satu subunit hemoglobin terdiri dari satu rantai polipeptida
globin dan satu gugus heme dengan satu atom besi.
11. Plasma K+ : kation utama dalam sel otot dan cairan intraseluler dan
ekstraseluler.
6
II. Identifikasi Masalah
KENYATAAN KESESUA
IANKONSEN
Tn. Aceng, umur 35 tahun, akan
menjalani herniotomi dekstra. Spesialis
Anastesi (SpAn) berencana memberikan
anastesi umum berupa inhalasi halothane.
Sebelumnya telah dilakukan konsultasi
dengan bagian Penyakit Dalam yang
menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan
jantung dan paru
Tidak
Sesuai HarapanV
Keesokan harinya, setelah pemberian
succinylcholine intravena, dilakukan intubasi
dilanjutkan dengan pemberian inhalasi
halothane
Tidak
sesuai HarapanVVV
Pada saat pembedahan berlangsung, Tn.
Aceng mengalami kekakuan otot, suhu tubuh
meningkat sampai 40°C, tekanan darah
menjadi 170/90 mmHg, dan denyut jantung
120 kali/menit. Dokter SpB dan dokter SpAn
menduga terjadinya suatu Malignant
hyperthermia
Tidak
sesuai harapanVVV
Hasil laboratorium darah cito :
Base deficit > 8mEq/L, pH < 7.25,
konsentrasi creatine kinase serum > 20000/L
units, cola-colored urine, excess myoglobin
in urine and serum, plasma K+ > 6mEq/L
Tidak
Sesuai HarapanVV
7
III. Analisis Masalah
1. Tn. Aceng, umur 35 tahun, akan menjalani herniotomi dekstra. Spesialis
Anastesi (SpAn) berencana memberikan anastesi umum berupa inhalasi
halothane. Sebelumnya telah dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit
Dalam yang menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan jantung dan paru.
1.1. Jelaskan patofisiologi hernia!
Pada pria, kanalis inguinalis berisi facikulus spermatikus, vasa spermatika,
nervus spermatikus, m. cremaster, processus vaginalis peritonei, dan ligamentum
rotundum, pada wanita berisi ligamentum rotundum.
Kongenital kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan
ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis
tersebut akan menarik peritoneum kedaerah skrotum sehingga terjadi penonjolan
peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah
lahir, umumnya prosesus ini sudah mengalami obliterasi sehingga isi perut tidak
dapat melalui kanal tersebut. Namun dalam beberapa hal, sering kali kanalis ini tidak
menutup. Karena testis kiri turun lebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih
sering terbuka. Bila kanalis kiri terbuka biasanya yang kanan juga terbuka.Dalam
keadan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila
prosesus terbuka terus karena tidak mengalami obliterasi, akan timbul hernia
inguinalis lateralis kongenital.
Adapun beberapa penyebab dari terjadinya hernia adalah :
a) Annulus inguinalis internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong
dan isi hernia.
b) Peninggian tekanan intraabdomen kronik yang dapat mendorong isi hernia melewati
annulus internus yang cukup lebar, seperti batuk kronik, pekerjaan
mengangkat benda berat, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites. Peninggian
tekanan intra abdomen juga dapat membuka kembali kanalis inguinalis.
c) Kelemahan otot dinding perut karena usia sehingga insiden hernia meningkat
dengan bertambahnya umur, mungkin karena meningkatnya penyakit yang
meninggikan tekananintra abdomen dan jaringan penunjang berkurang kekuatannya.
d) Pada orang yang sehat ada tiga mekanisme yang dapat menegah terjadinya hernia
inguinalis yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur m.oblikus
internus abdominis yang menutup annulus inguinalis internus ketika berkontraksi,
dan adanya facia transversal yang kuat yang menutupi trigonum Hasselbach yang
8
umumnya hampir tidak berotot. Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan
terjadinya hernia.
1.2. Sebutkan macam- macam golongan obat anestesi umum!
Obat anestesi umum terbagi menjadi 3 golongan yang dikelompokkan menurut
cara pemakaiannya yaitu obat anestesi inhalasi, obat anestesi yang menguap (volatile),
dan obat anestesi yang diberikan melalui intravena.
1.3. Jelaskan mekanisme kerja obat anestesi secara umum!
Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara bertahap, mula-
mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medulla
oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat control sistem limbic tubuh.
Adapun tahap-tahap proses anestesi yang terjadi pada pasien adalah sebagai berikut :
1. Stadium I (analgesia) yaitu stadium mulai dari saat pemberian zat anestesi hingga
hilangnya kesadaran. Pada stadum ini penderita masih bisa mengikuti perintah tetapi
rasa sakit sudah hilang.
2. Stadium II (delirium/eksitasi) yaitu hilangnya kesadaran hinggapermulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak seperti gerakan pernafasan yang tak teratur, takikardia, hipertensi.
3. Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga hilangnya
pernafasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernafasan spontan,
hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan ke kanan
dengan mudah. Stadium ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu
a. Tingkat I : pernafasan teratur, spontan, gerakan bola mata tak teratur, miosis,
pernafasan dada dan perut seimbang. Belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna
b. Tingkat II : pernafasan teratur tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat I, bola
mata tak bergerak, pupil melebar, relaksasi ototsedang, refleks laring hilang.
c. Tingkat III: pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada karena otot
interkostal mulai mengalami paralisis, relaksasi otot lurik sempurna, pupil
lebih lebar tetatpi belum maksimal.
d. Tingkat IV: pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal
sempurna, tekanan darah mulai menurun dan refleks cahaya hilang.
9
4. Stadium IV (Paralisis mediula oblongata) : stadium dimulai dengan melemahnya
pernafasan perut dibanding stadium III tingkat IV, tekanan darah tak terukur, jantung
berhenti berdenyut dan akhirnya penderita meninggal.
1.4. Jelaskan farmakologi halothane dari segi farmakokinetik, farmakodinamik,
indikasi & kontraindikasi, dosis, cara pakai, interaksi obat, dan efek samping!
Kimia dan Formulasi: Halotan (Fluothane) adalah 2-bromo-2-kloro-1,1,1-
trifluoroetan. Halotan merupakan cairan volatile (mudah menguap) pada suhu kamar
dan harus disimpan dalam wadah tertutup rapat
Farmakokinetik : Cukupnya efek anestetik inhalasi di otak memerlukan transfer
zat anestesi tersebut dari dalam darah ke otak. Cepat lambatnya proses ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor.
a. Kelarutan. Jika anestetik dengan kelarutan dalam darah rendah, jumlah molekul
yang diperlukan untuk meningkatkan tekanan parsialnya antara alveolus dan arteri
akan relative lebih sedikit sehingga tegangan arterinya akan meningkat dengan
cepat. Halothane memiliki kelarutan yang sedang sehingga membutuhkan lebih
banyak molekul terlarut agar tekanan parsialnya berubah dan tegangan arterinya
meningkat relative lebih lama. Semakin larut halothane dalam darah, semakin
tinggi derajat pengisian kompartemen tubuh, semakin lama waktu yang
dibutuhkan oleh halothane untuk meningkatkan tekanan parsial darah hingga sama
dengan tekanan parsial alveoli. Transfer zat anestetik je otak juga akan lebih
lambat. Berikut adalah tingkat kelarutan halothane di berbagai partisi tubuh.
Koefisien partisi darah : gas : 2,30
Koefisien partisi darah : otak : 2,9
Konsentrasi alveolar minimum (%)2 : 0,75
(konsentrasi yang menyebabkan imobilitas pada 50% pasien yang mendapat
rangsang nyeri)
Metabolisme : > 40%
b. Konsentrasi anestetik dalam udara inspirasi. Semakin tinggi konsentrasi zat
anestetik yang terlarut dalam udara yang diinhalasi pasien, semakin cepat difusi
zat anestetik dari alveolus ke darah. Halothane juga dicampur dengan zat anestetik
yang kelarutannya lebih rendah seperti dinitrogen oksida untuk mempercepat efek
anestesi.
10
c. Ventilasi paru. Kecepatan dan dalamnya ventilasi permenit mempercepat
peningkatan tegangan gas anestesi di dalah darah arteri. Peningkatan empat kali
lipat kecepatan ventilasi meningkatkan tegangan halothane arteri hampir dua kali
lipat dalam waktu 10 menit disbanding zat anestetik lain yang memiliki kelarutan
lebih besar daripada halothane.
d. Aliran darah paru. Peningkatan cardiac output ikut menigkatakn aliran darah
paru. Hal ini akan meningkatkan tegangan arteri darah lebih lama karena akan ada
lebih banyak darah yang terpajan dengan zat anestetik. Kombinasi efek penurunan
cardiac ouput dengan hiperventilasi dapat mempercepat induksi anestesi
halothane.
e. Gradien konsentrasi arteri-vena. Darah vena yang kembali ke paru bisa saja
mengandung zat anestetik yang yang jauh lebih sedikit dibanding kandungan yang
terdapat dalam darah arteri. Semakin besar perbedaan ini, semakin lama pula
tercapai kesetimbangan dengan jaringan otak. Halothane dengan tingkat kelarutan
yang tinggi akan lebih mudah larut di jaringan-jaringan tubuh yang menerima
75% cardiac ouput istirahat (jantung, otak, hati) dibanding jaringan lain (lemak,
otot) dan justru menumpuk di situ sehingga kesetimbangan zat anestetik dalam
tubuh sukar dicapai.
f. Pembuangan dan waktu pemulihan. Sementara transfer gas anestesi dari paru
ke darah dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi gas dalam udara
inspirasi, proses pembuangn tidak dapat ditingkatkan karena konsentrasi gas
dalam paru tidak bisa diturunkan di bawah nol. Pada awal pemulihan pula,
tegangan zat anestesi dalam berbagai jaringan tubuh berbeda-beda sementara pada
awal induksi anestesi, tegangan awal anestetik di semua jaringan adalah nol.
Halothane yang lebih larut dalam jaringan otak dan darah akan lebih lambat
waktu pembuangannya sehingga waktu pemulihan akan lebih lama juga.
Penimbunan obat dalam jaringan otot, kulit, dan lemak dikarenakan pajanan
terhadap zat anestetik yang lama menyebabkan waktu pemulihan lebih lama. Jalur
utama pembuangan zat anestetik memang melalui paru tetapi lebih dari 40%
halothane dimetabolisme di hati selama anestesi berlangsung. Mentabolisme
oksidatif halothane membentuk asam trifluoroasetat serta melepaskan ion klorida
dan bromide. Halothane akan dimetabolisme menjadi radikal bebas
klorotrifluoroetil yang akan bereaksi dengan komponen membrane hati dan
menyebabkan hepatitis-halothane yang jarang terjadi.
11
Farmakodinamik : Sasaran molekuler anestetik umum yang utama adalah
GABAA receptor chloride-channel, suatu perantara utama proses transmisi sinaps
inhibitori. Anestetik umum juga menyebabkan hiperpolarisasi membrane sebagai
efek inhibitori melalui aktivitasnya pada calcium channel. Kanal ini banyak
terdapat pada susunan saraf pusat dan memiliki hubungan dengan
neurotransmitter seperti asetilkolin, dopamine, norepinefrin, dan serotonin.
Halothane mengurangi lamanya pembukaan kanal-kanal kation yang diaktifkan
oleh reseptor nikotinik, suatu aktivitas yang menurunkan efek-efek eksitatori
asetilkolin pada sinaps kolinergik.
Indikasi : Halothane digunakan sebagai anestetik umum baik untuk induksi
maupun pemeliharaan anestetik.
Kontraindikasi : Halothane tidak boleh digunakan oleh orang yang
sebelumnya pernah bereaksi dengan halothane atau paparan dengan halothane 3
bulan terakhir. Halothane juga meningkatkan kontraksi pada uterus sehingga tidak
bisa diberikan pada wanita hamil. Halothane juga tidak boleh diberikan pada
anak-anak di bawah usia 18 tahun karena efek samping yang diberikan akan
meningkat.
Cara pakai dan dosis : Halothane merupakan anestetik volatile dan jarang
digunakan sebagai obat tunggal baik untuk induksi maupun pemeliharaan.
Halothane biasa dikombinasikan penggunaanya dengan relaksan otot
succinylcholine. Dosisnya 125-250 ml untuk inhalasi.
Penggunaan Klinis : Halotan merupakan anestetik inhalasi berhalogen
modern yang pertama kali digunakan dalam praktis klinis. Halotan merupakan
senyawa poten yang biasanya digunakan untuk mempertahankan anesthesia.
Senyawa ini tidak berbau tajam dank arena itu ditoleransi dengan baik untuk
induksi anesthesia inhalasi. Anestesi dihasilkan oleh halotan pada konsentrasi
tidak-akhir 0,7%-1.0% halotan. Konsentrasi tidak-akhirnya akan sangat berkurang
jika diberikan bersama dinitrogen monoksida.
Efek samping :
a. Sistem kardiovaskuler : Efek sampingnya ialah penurunan tekanan darah arteri
yang tergantung-dosis. Tekanan arteri rata-rata menurun sekitar 20%-25% pada
konsentrasi MAC halotan. Penurunan ini akibat depresi miokardial langsung yang
menyebabkan berkurangnya curah jantung. Miokardial itu diduga terjadi akibat
pengurangan sementara kalsium intraselular yang diinduksi oleh depolarisasi,
12
Hipotensi yang diinduksi halotan biasanya disertai bradikardi yang normal. Tidak
adanya respon takikardi terhadap penurunan tekanan darah ini diduga akibat
ketidakmampuan jantung untuk merespon lengan efektor pada reflex baroreseptor.
Halotan tidak menyebabkan perubahan berarti pada resistensi vaskuler
sistemik, namun, senyawa ini menyebabkan perubahan resistensi dan autoregulasi
pada jaringan pembuluh darah spesifik yang mengakibatkan redistribusi aliran
darah. Jaringan pembuluh darah pada kulit dan otak didilatasi secara langsung
oleh halotan, sehingga terjadi peningkatan aliran darah serebral dan perfusi kulit.
Sebaliknya Autoregulasi aliran darah renal, organ, viscera, dan serebral dihambat
oleh halotan, mengakibatkan berkurangnya perfusi organ ini untuk melawan
penurunan aliran darah. Selanjutnya halotan menghambat vasokonstriksi pulmonal
hiposik, yang mengakibatkan meningkatnya perfusi ke daerah paru-paru yang
berventilasi rendah dan peningkatan gradient oksigen alveolar;arterial
Halotan mempunyai efek bermakna terhadap ritme jantung. Bradikardia sinus
dan ritme atrioventrikular sering terjadi selama anesthesia halotan, tapi biasanya
tidak berbahaya ritme ini terutama diakibatkan oleh efek depresif langsung halotan
pada pelepasan nodus sinoatrial. Halotan juga dapat mensensitisasi otot jantung
terhadap efek aritmogenik epinefrin. Aritmia yang diinduksi-epinefrin selama
anesthesia halotan diduga diperantai oleh efek sinergistik terhadap reseptor alfa
satu dan beta satu adrenergic.
b. Sistem pernafasan : Pernapasan spontan terjadi cepat dan pendek selama
anesthesia halotan. Hal ini menyebabkan peningkatan tensi CO2 arteri dari 40
mmHg ->50 mmHg pada 1 MAC. Meningkatnya CO2 tidak memicu peningkatan
kompensasi dalam ventilasi, karena halotan menyebabkan penghambatan respon
ventilasi terhadap CO2 yang tergantung konsentrasi. Kerja halotan diperantarai
oleh penekanan mekanisme kemoreseptor. Halotan menghambat respon
kemoseptor perifer terhadap hiposemia arteri. Halotan juga merupakan
bronkodilator yang efektif, menghasilkan relaksasi otot polos bronchial secara
langsung.
c. Sistem saraf : Halotan mendilatasi pembuluh darah serebral, meningkatkan aliran
darah serebral paa hampir semua kondisi. Peningkatan dalam aliran darah ini
dapat meningkatkan tekanan intracranial pada pasien dengan massa intracranial
yang menduduki-ruang, edema otak, atau hipertensi intracranial yang sebelumnya
sudah ada. Halotan relative kontraindikasi pada pasien yang berisiko mengalami
13
peningkatan tekanan intracranial. Hlotan juga mengurangi autoregulasi aliran
darah serebral. Untuk itu, aliran darah serebral dapat turun jika tekanan darah
arteri menurun.
d. Otot : Halotan menyebabkan beberapa relaksasi otot rangka melalu efek depresan
pusat. Halotan mempotensiasi kerja relaksan otot yang tidak mendepolarisasi,
meningkatkan durasi kerjanya maupun besarnya efek. Halotan juga merupakan
salah satu pemicu hipertermia malignan. Sindrom ini sering fatal dan ditangani
dengan penghentian segera anestetik tersebut serta pemberian dantrolen. Halotan
tidak digunakan sebagai analgesic atau anastetik untuk persalinan melalui vagina
karena halotan menghambat kontraksi uterus selama proses melahirkan,
memperlama persalinan dan meningkatkan kehilangan darah
e. Ginjal : biasanya akan menghasilkan sedikit volume urin pekat, akibat penurunan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang diinduksi oleh halotan
Hati dan saluran gastrointestinal : Halothane dimetabolisme di hati saat
anestesi berlangsung dan menghasilkan asal trifluoroasetat dan ion klorida dan
bromide. Kedua senyawa tersebut membentuk radikal bebas klorotrifluoroetil
yang bereaksi dengan sel hepatosit hati atau merangsang sistem autoimun yang
merusak sel-sel hati. Hal ini menyebabkan hepatitis-halothane.
1.5. Jelaskan berbagai macam cara pemberian obat anestesi!
I.Parenteral
Anastesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intra
muscular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat/ untuk tindakan yang
singkat atau untuk indikasi anesthesia. Keuntungan pemberian anestetik intravena
adalah cepat dicapai induksi dan pemulihan, sedikit komplikasi pasca anestetikjarang
terjadi, tetapi efek analgesic dan relaksasi otot rangka sangat lemah. Obat yang umum
dipakai adalah thiopental, barbiturat, ketamin, droperidol dan fentanil. Kecuali untuk
kasus-kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang
lama biasanya dikombinasi dengan obat anestetika lain.
II.Perektal
Anastesi umum yang diberikan melalui rectal kebanyakan dipakai pada anak,
terutama untuk induksi anesthesia atau tindakan singkat.
14
III. Perinhalasi, melalui pernafasan
Anastesia inhalasi ialah anesthesia dengan menggunakan gas atau cairan
anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui dara
pernafasan. Zat anestetika yang dipergunakan berupa suatu campuran gas (dengan
O2) dan konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan parsial dalam
jaringan otak menentukan kekuatan daya Anastasia, zat anastetika disebut kuat bila
dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberi anastesia yang adekuat.
Anestetik inhalasi berbentuk gas atau cairan yang menguap berbeda-beda dalam hal
potensi, keamanan dan kemampuan untuk menimbulkan analgesia dan relaksasi otot
rangka. Anastesia inhalasi masuk dengan inhalasi atau inspirasi melalui peredaran
darah sampai ke jaringan otak.
2. Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine intravena, dilakukan
intubasi dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane.
2.1. Jelaskan farmakologi succinylcholine dari segi farmakokinetik,
farmakodinamik, indikasi & kontraindikasi, dosis, cara pakai, interaksi obat, dan efek
samping!
Farmakokinetik: Dihidrolisis oleh pseudokolinesterase dan butirilkolinesterase
yang banyak terdapat dalam hepar dan plasma.
Farmakodinamik: Depolarisasi – Desensitasi : digunakan sebagai tambahan
untuk anastesi umum, untuk intubasi trakeal, dan merelaksasikan otot untuk
pembedahan. Suksinilkolin berikatan dengan receptor kolinergik di motor end plate
untuk mendepolarisasi. Ikatan ini terjadi dalam waktu yang lama, terutama
dikarenakan resistensi mereka terhadap asetilkolinesterase, menimbulkan eksitasi otot
yang berulang dan sementara.Setelah itu terjadi blok neuromuscular dan flaccid
paralysis. Blok ini terjadi karena setelah pembukaan channel, perijunctional sodium
channel tidak akan membuka lagi sampai repolarisasi end plate. Penutupan channel
ini mencegah sisa otot untuk tereksitasi. Setelah eksposur yang cukup lama, maka
akan terjadi repolarisasi membrane sel lagi. Namun membrane sel sulit untuk
mengalami depolarisasi lagi karena sudah mengalami desensitasi ( mekanismenya
belum jelas )
Indikasi: Succinylcholine digunakan sebagai :
Surgical relaxant dan neuromuscular blockers pada intracavitary surgery terutama
pada prosedur intra-abdominal dan intrathoracic.
15
Tracheal intubation dengan merelaksasikan otot faring dan laring, mengurangi
resiko pulmonary aspiration selama anastesi umum.
Control of Ventilation : pada pasien sakit parah dengan ventilatory failure (severe
bronchospasm, pneumonia, chronic obstructive airway disease / PPOK), penting
untuk mengontrol ventilasi untuk menyediakan pertukaran gas yang adekuat dan
mencegah atelectasis.
Penanganan konvulsi : pada epilepticus atau keracunan local anesthetic .
Dosis : Penggunaan suksinilkolin adalah untuk intubasi trachea. Dosisnya adalah
1mg/kgBB dan dapat ditingkatkan sampai dengan 1,5 – 2.0 mg/kgBB. Intubasi
dilakukan pada saat optimal yaitu 1 – 1,5 menit setelah pemberian obat.
Suksinilkolin juga dapat digunakan untuk rumatan relaksasi sampai 3 jam
dalam bentuk infusan sampai blockade 90 -95 % digunakan dosis 50 – 100
mg/kgBB/menit dan dapat dinaikan setelah 30 – 60 menit. Untuk anak kecil dosis 1 –
2 mg/kgBB dan pada infant dosis 2 – 3 mg/kgBB.
Untuk penggunaan relaksasi otot skelet, dosisnya 0,7 – 1 mg/kgBB (1,5mg/kg
dengan pra pengobatan non depolarisator) intravena. Neonatus dan bayi : 2 – 3
mg/kgBB, anak – anak : 1 – 2 mg/kgBB.
Kontraindikasi : obat antikolinesterase
Efek samping obat :
1. Nyeri otot pasca pemberian : Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan
relaxant otot non-depolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%,
selain itu dapat terjadi mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular : akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat
dicegah seperti nyeri otot.
3. Peningkatan tekanan intrakranial.
4. Peningkatan kadar kalium plasma.
5. Peningkatan tekanan intragastrik.
6. Aritmia jantung : bradikardi atau “ventricular premature beat”.
7. Salivasi : akibat efek muskarinik.
8. Alergi anafilaksis : akibat efek muskarinik.
9.Apnea : dikarenakan adanya defisiensi kolinesterase plasma
16
2.2. Jelaskan interaksi antara obat halothane dan succinylcholine!
Bersifat sinergistik sehingga dosis pelumpuh otot kompettif diberikan 1/3-1/2
dari dosis seharusnya dan dapat saling berinteraksi menyebabkan Malignant
Hyperthermia pada individu yang mengalami mutasi pada gen ryanodine.
3. Pada saat pembedahan berlangsung, Tn. Aceng mengalami kekakuan otot, suhu
tubuh meningkat sampai 40°C, tekanan darah menjadi 170/90 mmHg, dan
denyut jantung 120 kali/menit. Dokter SpB dan dokter SpAn menduga
terjadinya suatu Malignant hyperthermia.
3.1. Jelaskan patofisiologi dari Malignant hyperthermia!
Pada kromosom 19q13.1-13.2 terjadi mutasi dalam bentuk substitusi asam amino
arginine menjadi cystein pada posisi pasangan basa ke-614 pada RYR1 Ryanodine
receptor gene yang mengkode sarcoplasmic reticulum Ca2+ channel pada otot skeletal.
17
3.2. Sebutkan faktor pemicu timbulnya berbagai indikasi Malignant hyperthermia!
Halothane (anesthesia agent) atau anestesi lain yang digunakan dengan cara
menghirup.
Succinylcholine (neuromuscular blocker)
Phenothiazine
Haloperidol
Obat-obat lain seperti ketamine, catecholamines, phenothiazines, dan monoamine
oxidase inhibitors.
Faktor pemicu timbulnya berbagai indikasi malignant hyperthermia adalah obat-
obatan anestesi umum dengan senyawa volatile dan relaksan otot pada pasien yang
rentan dengan kelainan genetic dominan autosomal yang mengenai otot rangka.
Pada episode akut terjadi peningkatan kalsium intraselular dalam otot rangka
sehingga terjadi kekakuan otot. Kekakuan otot menyebabkan takikardia, peningkatan
CO2 tidal dan peningkatan suhu tubuh yang cepat (0.50 – 1.00 C tiap 5 - 10 menit, suhu
dapat mencapai 440C)
3.3. Mengapa saat pembedahan timbul kekakuan otot, suhu tubuh menigkat
sampai 40°C, tekanan darah 170/90 mmHg, dan denyut jantung 120 kali/menit?
Mekanisme yang mendasari Malignant hyperthermia adalah kerusakan pada
distribusi ion kalsium myoplasma di mana terjadi peningkatan konsentrasi ion
kalsium pada myoplasma yang menjelaskan terjadinya kontraksi otot yang tidak
terkoordinasi dan terus-menerus sehingga terjadi kekakuan otot, asidosis metabolik
dan meningkatnya temperatur tubuh.
Peningkatan konsentrasi ion kalsium mengikuti protein kontraktil troponin dan
tropomiosin. Molekul tropomiosin ditempatkan kembali sebagai hasil ikatan ion
kalsium dengan troponin sehingga kepala-kepala miosin dapat menyentuh molekul
aktin, fibril otot memendek dan otot berkontraksi. Ketika konsentrasi ion kalsium
pada myoplasmik berkurang ke konsentrasi awalnya, relaksasi otot terjadi.
Pengambilan kalsium dalam sarkoplasmik retikulum rendah setelah pemaparan
dengan halothane. Kerusakan otot pada Malignant hyperthermia adalah
ketidakmampuan sarkoplasmik retikulum untuk menyimpan kalsium. Hal ini berarti
bahwa konsentrasi ion kalsium pada sitoplasma tinggi dan fibril otot tetap
berkontraksi. Halothane meningkatkan konsentrasi ion kalsium dengan bertindak
18
langsung pada membran sel. Succinylcholine meningkatkan konsentrasi ion kalsium
melalui faskulasi otot.
Kerentanan pada penyakit ini diturunkan sebagai gangguan autosomal
dominan, yang mana ada paling sedikit 6 bagian dari gen, terutama gen reseptor
ryanodin (RYR1), yang berada pada sarkoplasmik retikulum, organela dalam sel otot
skeletal yang menyimpan kalsium.
Konsekuensi dari peningkatan ion kalsium intraseluler ini adalah penyerapan
kembali ion kalsium yang berlebihan. Hal ini mengaktivasi ATP-ase karena
memerlukan banyak ATP, memerlukan oksigen, menginteraksi aktin-miosin yang
menyebabkan peningkatan tonus otot, menghasilkan kontraksi otot yang akan
mengurai glikogen dan glukosa dan terbentuknya asam laktat sehingga
mengakibatkan asidosis metabolik dan panas yang berlebihan. Sel otot rusak
karena kehabisan ATP dan juga suhu yang tinggi dan unsur pokok dari sel otot
keluar menuju sirkulasi termasuk kalium, mioglobin, kreatin, fosfat, dan
kreatinkinase.
Asidosis laktat yang terjadi pada Malignant hyperthermia dihasilkan dari
aktivasi fosforilase oleh kalsium, sehingga glikogen dipecah menjadi asam laktat.
Aktivasi fosforilase membantu memenuhi fruktosa 1,6-difosfat untuk menghasilkan
ATP dengan glikolisis. Panas dihasilkan selama sintesa yang berkelanjutan dan
penggunaan ATP selama glikolisis pada otot dan hati.
Reaksi simpatik dan asidosis menimbulkan takikardi dan disritmia jantung
diikuti dengan hipotensi, pengurangan curah jantung dan akhirnya berhenti denyut
jantung. Peningkatan temperatur, asidosis, hiperkalemia, dan hipoksia menimbulkan
gejala seperti koma pada sistem saraf pusat.
3.4. Apa saja cara penanggulangan timbulnya indikasi Malignant hyperthermia?
Penatalaksanaan malignant hyperthermia terbagi ke dalam beberapa kelompok
menurut kecepatan dan ketepatan tindakan sebagai berikut,
a. Segera hentikan pemberian zat anestetik yang diberikan. Tingkatkan respiratory
rate pasien dengan menggunakan ventilator mekanik untuk membuang kelebihan
karbon dioksida dari sistem tubuh. Informasikan kepada dokter bedah untuk
menunda berjalannya operasi pembedahan. Gunakan zat anestetik lain yang tidak
memicu terjadinya malignant hyperthermia misalnya zat anestetik intravena
lainnya.
19
b. Berikan datrolene 2mg/kg BB intravena. Lanjutkan pemberian datrolene sampai
sistem pernafasan dan kardiovaskular berlangsung normal.
c. Terus lakukan monitoring rutin pembedahan seperti EKG. Ukur suhu tubuh inti
pasien. Lakukan pemeriksaan darah segera terhadap kadar creatine kinase serum,
K+ , kadar myoglobin, fungsi hati dan hepar, serta tanda-tanda sindrom
kompartemen.
d. Hyperthermia : Turunkan temperature ruangan bedah. Suntikkan 2000-3000ml
larutan NaCl 0.9% dingin (4°C). Letakkan ice packs di sekeliling badan pasien.
e. Hyperkalaemia : Infus dektrosa 50% (50 ml dektrosa dan 50 IU insulin), suntik
CaCl2 0.01mol/kg BB intravena.
f. Acidosis respiratorik : lakukan hiperventilasi dengan ventilator, suntikkan sodium
carbonate pH < 7.2.
g. Arythmia : berikan amiodarone 300mg dan obat golongan β-blocker.
Adapun cara yang dapat dilakukan untuk menghindari penggunaan obat anestesi
yang menyebabkan Malignant hyperthermia adalah uji kontraktur kafein-halotan
secara in vitro atau in vitro muscle contracture test (IVCTs) dapat dilakukan dengan
melakukan biopsi jaringan otot skeletal.
4. Hasil laboratorium darah cito :
Base deficit > 8mEq/L, pH < 7.25, konsentrasi creatine kinase serum >
20000/L units, cola-colored urine, excess myoglobin in urine and serum, plasma
K+ > 6mEq/L.
4.1. Jelaskan interpretasi dari berbagai hasil laboratorium darah di atas!
pH normal 7,0-7,24
Clinical finding: asidosis metabolik
Creatine kinase serum
Perempuan < 190 U/L
Pria <235 U/L
Clinical Finding : terjadinya Muscle breakdown
Potassium [ K+] normal : 3,5-5.0 mEq/L
Clinical Finding : terjadinya muscle breakdown
Warna urine normal : urin kuning jernih
20
Clinical Finding : suatu tanda klasik rhabdomyolisis terjadi akibat myocyte
masuk kedalam plasma sehingga urine berubah menjadi coklat kemerahan
(myoglobinuria)
Base deficit terjadi karena pasien mengalami acidosis sehingga kadar basa
dalam tubuhnya rendah.
4.2. Jelaskan patofisiologi dari hasil laboratorium darah yang abnormal!
Kekakuan otot terjadi karena peningkatan kalsium myoplasma.
Peningkatan suhu tubuh terjadi karena hipermetabolisme sel
Takikardi dan peningkatan tekanan darah terjadi karena
Myoglobin dalam urin karena terjadi rhabdomyolis
Urin berwarna cola karena urin mengandung myoglobin
Hiperkalemia ditangani dengan pemberian kalsium klorida intravena
4.3. Apa saja pemeriksaan yang seharusnya dilakukan sebelum melakukan
prosedur anestesi?
Uji kontraktur kafein-halotan secara in vitro atau in vitro muscle contracture test
(IVCTs) dapat dilakukan dengan melakukan biopsi jaringan otot skeletal.
IV. Keterkaitan Antar Masalah
21
V. Learning Issues
22
Tuan Aceng, 35 tahun, menjalani herniotomi dekstra
Pemberian succinylcholine intravena
Intubasi endotracheal
Pemberian inhalasi anestesi halothane
Pembedahan herniotomi dekstra
Kekakuan ototSuhu tubuh meningkat sampai 40°C
Tekanan darah 170/90 mmHg
Detak jantung 120 kali/ menit
Malignant hyperthermia
1. Anestesi Umum
a. Anestetik gas
Pada umumnya anestetik gas berpotensi rendah, sehingga hanya digunakan untuk
induksi dan operasi ringan. Anestetik gas tidak mudah larut dalam darah sehingga
tekanan parsial dalam darah cepat meningkat. Batas keamanan antara efek anesthesia
dan efek letal cukup lebar.
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan
tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai
efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% dalam oksigen efeknya seperti efek 15
mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% . Gas
ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus
sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada
waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2o digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan
Pencabutan gigi.
Siklopropan merupakan anestetik gas yang kuat, berbau spesifik, tidak berwarna,
lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi. Gas ini
mudah terbakar dan meledak karena itu hanya digunakan dengan close method.
Siklopropan relative tidak larut dalam darah sehingga menginduksi dengan cepat (2-3
menit). Stadium III tingkat 1 dapat dicapai dengan kadar 7-10% volume, tingkat 2
dicapai dengan kadar 10-20% volume, tingkat 3 dapat dicapai dengan kadar 20-35%,
tingkat 4 dapat dicapai dengan kadar 35-50% volume. Sedangkan pemberian dengan 1%
volume dapat menimbulkan analgesia tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah
delirium yang kadang-kadang timbul, diberikan pentotal IV sebelum inhalasi
siklopropan. Siklopropan menyebabkan relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali
mengiritasi saluran nafas. Namun depresi pernafasan ringan dapat terjadi pada anesthesia
dengan siklopropan.
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung, curah jantung dan tekanan
arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga siklopropan merupakan anestetik terpilih
pada penderita syok. Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu fibrilasi
atrium, bradikardi sinus, ekstrasistole atrium, ritme atrioventrikular, ekstrasistole
ventrikel dan ritme bigemini. Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga
23
mudah terjadi perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak menimbulkan hambatan
terhadap sambungan saraf otot. Setelah waktu pemulihan sering timbul mual, muntah
dan delirium. Absorpsi dan ekskresi siklopropan melalui paru. Hanya 0,5%
dimetabolisme dalam badan dan diekskresi dalam bentuk CO2 dan air. Siklopapan dapat
digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek analgesic digunakan
1,2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapi induksi siklopropan digunakan 25-
50% dengan oksigen, sedangkan untuk dosis penunjang digunakan 10-20% oksigen.
b. Anestetik yang menguap
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar yang sama
yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sIfat anestetik kuat pada kadar
rendah dan relative mudah larut dalam lemak, darah dan jaringan. Kelarutan yang baik
dalam darah dan jaringan dapat memperlambat terjadinya keseimbangan dan
terlewatinya induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar lebih tinggi dari kadar
yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah tercapai kadar disesuaikan untuk
mempertahankan stadium tersebut. Untuk mempercepat induksi dapat diberika zat
anestetik lain yang kerjanya cepat kemudian baru diberikan anestetik yang menguap.
Umumnya anestetik yang menguap dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan eter
misalnya eter (dietileter) dan golongan hidrokarbon halogen misalnya halotan,
metoksifluran, etil klorida, trikloretilen dan fluroksen.
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau mudah terbakar,
mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Eter merupakan anestetik yang sangat
kuat sehingga penderita dapat memasuki setiap tingkat anesthesia. Sifat analgesic kuat
sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg % sudah terjadi analgesia tetapi
penderita masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot
karena efek sentral dan hambatan neuromuscular yang berbeda dengan hambatan oleh
kurare, sebab tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini meningkatkan hambatan
neuromuscular oleh antibiotic seperti neomisin, streptomisin, polimiksin dan kanamisin.
Eter dapt merangsang sekresi kelenjar bronkus.
Efluran merupakan anestetik eter berhalogen yang tidak mudah terbakar dan cepat
melewati stadium induksi tanpa atau sedikit menyebabkan eksitasi. Kecepatan induksi
terhambat bila penderita menahan nafas atau batuk. Sekresi kelenjar saliva dan bronkus
hanya sedikit meningkat sehingga tidak perlu menggunakan medikasi preanestetik yaitu
atropin. Kadar yang tinggi menyebabkan depresi kardiovaskuler dan perangsangan SSP,
24
untuk menghindari hal ini enfluran diberikan dengan kadar kadar rendah bersama N2O.
Efluran kadar rendah tidak banyak mempengaruhi system kardiovaskuler, meskipun
dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan frekuensi nadi. Efluran
menyebabkan sensitisasi jantung terhadap ketekolamin yang lebih lemah dibandingkan
dengan halotan tetapi efluran membahayakan penderita penyakit ginjal. Pada anestesi
yang dalam dan hipokapnia, efluran dapat menyebabkan kejang tonik-klonik pada otot
muka dan ekstremitas. Hal ini dapat dihentikan tanpa gejala sisa dengan mengganti obat
anestesi, melakukan anestesi yang tidak terlalu dalam dan menurunkan ventilasi semenit
untuk mengurangi hipokapnia. Efluran jangan digunakan pada anak dengan demam
berumur kurang dari 3 tahun.
Isofluran merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium
induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan
O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia
amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardi adihilangkan dengan pemberian propanolol
0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah
hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi
dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi
perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah
otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan
meningkatkan tekanan intracranial.
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan
perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam
halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus
dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotanlemah tetapi relaksasi
otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi
sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk
anestesi adalah 0,76% volume.
Metoksifluran merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau manis seperti buah,
tidak mudah meledak, tidak mudah terbakar di udara atau dalam oksigen. Pada kadar
25
anestetik, metoksifluran mudah larut dalam darah. Anestetik yang kuat dengan kadar
minimal 0,16 volume % sudah dapat menyebabkan anestesi dalam tanpa hipoksia.
Metoksifluran tidak menyebabkan iritasi dan stimulasi kelenjar bronkus, tidak
menyebabkan spasme laring dan bronkus sehingga dapat digunakan pada penderita
asma. Metoksifluran menyebabkan sensitisasi jantung terhadap ketokolamin tetapi tidak
sekuat kloroform, siklopropan, halotan atau trikloretilan. Metoksifluran bersifat
hepatoksik sehingga sebaiknya tidak diberikan pada penderita kelainan hati.
Etilklorida merupakan cairan tak berwarna, sangat mudah menguap, mudah terbakar
dan mempunyai titik didih 12-13°C. Bila disemprotkan pada kulit akan segera menguap
dan menimbulkan pembekuan sehingga rasa sakit hilang. Anesthesia dengan etilklorida
cepat terjadi tetapi cepat pula hilangnya. Induksi dicapai dalam 0,5-2 menit dengan
waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian anesthesia dihentikan. Karena itu
etilkloretilen sudah tidak dianjurkan lagi untuk anestetik umum, tetapi hanya digunakan
untuk induksi dengan memberikan 20-30 tetes pada masker selama 30 detik. Etilkloroda
digunakan juga sebagai anestetik local dengan cara menyemprotkannya pada kulit
sampai beku. Kerugiannya, kulit yang beku sukar dipotong dan mudah kena infeksi
Karena penurunan resistensi sel dan melambatnya penyembuhan.
Trikloretilen merupakan cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas
seperti kloroform, tidak mudah terbakardan tidak mudah meledak. Induksi dan waktu
pemulihan terjadi lambat karena trikloretilen sangat larut dalam darah. Efek analgesic
trikloretilen cukup kuat tetapi relaksasi otot rangka yang ditimbulkannya kurang baik ,
maka sering digunakan pada operasi ringan dalam kombinasi dengan N2O. untuk
anestesi umum, kadar trikloretilen tidak boleh lebih dari 1% dalam campuran 2:1 dengan
N2O dan oksigen. Trikloretilen menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin
dan sensitisasi pernafasan pada stretch receptor. Sifat lain trikloretilen tidak mengiritasi
saluran nafas.
c. Anestetik yang diberikan secara intravena (anestetik perenteral)
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan
pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau
analgesia local, dan sedasi pada beberapa tindakan medic. Anestesi intravena ideal
membutuhkan criteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu cepat
menghasilkan efek hypnosis,mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia
pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya,
26
cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi restirasi dan
kardiovasculer, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ. Untuk
mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara
anestesi lain. Kebanyakan obat anestetik intravena dipergunakan untuk induksi.
Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat
menutupi pengaruh obat yang lain.
Barbiturate menghilangkan kesadaran dengan blockade system sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Pada pemberian barbiturate dosis kecil terjadi
penghambatan system penghambat ekstra lemnikus, tetapi bila dosis ditingkatkan system
perangsang juga dihambat sehingga respons korteksmenurun. Pada penyuntikan
thiopental. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medulla oblongata. Tidal
volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturattetapi tonus
vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit
menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
Natrium thiopental dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan
anestesi tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita. Untuk
induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5% secara intermitten setiap 30-60
detik sampai tercapai efek yang diinginkan. Untuk anak digunakan larutan pentotal 2%
dengan interval 30 detik dengan dosis 1,5 ml untuk berat badan 15 kg,3 ml untuk berat
badan 30 kg, 4 ml untuk berat badan 40 kg dan 5 ml untuk berat badan 50 kg. Untuk
mempertahankan anesthesia pada orang dewasa diberikan pentotal 0,5-2 ml larutan
2,5%, sedangkan pada anak 2 ml larutan 2%. Untuk anesthesia basal pada anak, biasa
digunakan pentotal per rectal sebagai suspensi 40% dengan dosis 30 mg/kgBB.
Natrium tiamilal dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4 ml larutan 2,5%,
diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik sampai efek yang diinginkan
tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml larutan 2,5% a tau digunakan larutan 0,3% yang
diberikan secara terus menerus.
Natrium metoheksital dosis induksi pada orang dewasa adalah 5-12 ml larutan 1%
diberikan secara intravena dengan kecepatan 1 ml/5 detik, dosis penunjang 2-4 ml
larutan 1% atau bila akan diberikan secara terus menerus dapat digunakan larutan larutan
0,2%.
Ketamin merupakan larutan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan
relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesic, anestetik dan kataleptik dengan kerja
singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk system somatik, tetapi lemah untuk sistem
27
visceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya
sedikit meninggi. Ketamin akan meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah
jantung sampai ± 20%. Ketamin menyebabkan reflek faring dan laring tetap normal.
Ketamin sering menimbulkan halusinasi terutama pada orang dewasa.
Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan dihidrolisis dalam hati, kemudian
diekskresi terutama dalam bentuk utuh. Untuk induksi ketamin secara intravena dengan
dosis 2 mm/kgBB dalam waktu 60 detik, stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit.
Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula.
Ketamin intramuscular untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB, stadium operasi terjadi
dalam 12-25 menit.
Droperidol dan fentanil tersedia dalam kombinasi tetap, dan tidak diperguna-kan
untuk menimbulkan analgesia neuroleptik. Induksi dengan dosis 1 mm/9-15 kg BB
diberikan perlahan-lahan secara intravena (1 ml setiap 1-2 menit) diikuti pemberian N2O
atau O2 bila sudah timbul kantuk. Sebagai dosis penunjang digunakan N2O atau fentanil
saja (0,05-0,1 mg tiap 30-60 menit) bila anesthesia kurang dalam. Droperidol dan
fentanil dapat diberikan dengan aman pada penderita yang dengan anestesi umum
lainnya mengalami hiperpireksia maligna.
Diazepam menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan
bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesic. Juga tidak menimbulkan potensiasi
terhadap efek penghambat neuromuscular dan efekanalgesik obat narkotik. Diazepam
digunakan untuk menimbulkan sedasi basal pada anesthesia regional, endoskopi dan
prosedur dental, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovascular. Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate, efek anestesi diaz-
epam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi
yang disebabkan obat anestesi local.
Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk induksi anestesi.
Obat ini tidak berefek analgesic tetapi dapat digunakan untuk anestesi dengan teknik
infuse terus menerus bersama fentanil atau secara intermiten. Dosis induksi eto-midat
menurunkan curah jantung , isi sekuncup dan tekanan arteri serta meningkat-kan
frekuensi denyut jantung akibat kompensasi. Etomidat menurunkn aliran darah otak (35-
50%), kecepatan metabolism otak, dan tekanan intracranial, sehingga anestetik ini
mungkin berguna pada bedah saraf.Etomidat menyebabkan rasa nyeri ditempat nyeri di
28
tempat suntik yang dapat diatasi dengan menyuntikkan cepat pada vena besar, atau
diberikan bersama medikasi preanestetik seperti meperidin.
Propofol secara kimia tak ada hubungannya dengan anestetik intravena lain. Zat ini
berupa minyak pada suhu kamar dan disediakan sebagai emulsi 1%. Efek pemberian
anestesi umum intravena propofol (2 mg/kg) menginduksi secara cepat seperti tiopental.
Rasa nyeri kadang terjadi ditempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan thrombosis.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini lebih
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
2. Malignant Hyperthermia
Hipertermia ganas (MH) atau hiperpireksia ganas adalah suatu kondisi yang
mengancam jiwa langka yang biasanya dipicu oleh paparan obat-obatan tertentu yang
digunakan untuk anestesi umum , khususnya volatil anestesi agen dan agen memblokir
neuromuskuler , succinylcholine . Pada individu yang rentan, obat ini dapat
menyebabkan peningkatan drastis dan tidak terkendali di otot rangka oksidatif
metabolisme , yang menguasai kemampuan tubuh untuk memasok oksigen ,
menghilangkan karbon dioksida , dan mengatur suhu tubuh , akhirnya menyebabkan
peredaran darah kolaps dan kematian jika tidak ditangani dengan cepat.
Kerentanan terhadap MH sering diturunkan sebagai autosomal dominan gangguan,
yang setidaknya ada 6 lokus genetik yang menarik, yang paling menonjol pada reseptor
ryanodine gen (RYR1). MH kerentanan yang fenotipik dan genetik berhubungan dengan
penyakit inti pusat (CCD), gangguan autosomal dominan ditandai oleh gejala MH dan
miopati . MH biasanya diungkapkan oleh anestesi, atau ketika seorang anggota keluarga
mengembangkan gejala. Tidak ada tes, sederhana mudah untuk mendiagnosa kondisi.
Ketika MH berkembang selama prosedur, pengobatan dengan natrium dantrolene
biasanya dimulai, dantrolene dan menghindari anestesi pada orang yang rentan telah
nyata mengurangi angka kematian dari kondisi ini.
Gejala khas hipertermia ganas karena hypercatabolic negara, yang menyajikan
sebagai suhu yang sangat tinggi , suatu peningkatan denyut jantung dan laju pernapasan ,
meningkatkan produksi karbon dioksida, konsumsi oksigen meningkat, asidosis , otot
kaku , dan rhabdomyolysis.
Gejala biasanya berkembang dalam waktu satu jam setelah terpapar zat memicu, tapi
bahkan dapat terjadi beberapa jam kemudian dalam kasus-kasus langka. Hipertermia
29
ganas yang paling sering disebabkan oleh gas anestesi volatil, seperti halotan ,
sevofluran , desflurane , isoflurane , enflurane atau otot depolarizing relaksan
succinylcholine , decamethonium , dan suksametonium digunakan terutama dalam
anestesi umum. Obat lain yang telah diduga menyebabkan MH termasuk ketamin ,
katekolamin , fenotiazin , dan monoamine oxidase inhibitors . Ada juga beberapa
laporan dari MH yang dipicu oleh administrasi nitrous oxide. Dalam kasus yang jarang
terjadi, tekanan biologis latihan fisik atau panas mungkin menjadi pemicunya. Otot
nondepolarizing relaksan pankuronium , cisatracurium , atracurium , mivacurium ,
vecuronium dan rocuronium juga tidak menyebabkan MH.
Hipertermia ganas adalah autosomal dominan. Cacat ini biasanya terletak pada lengan
panjang dari kromosom 19 (19q13.1) yang melibatkan reseptor ryanodine . Lebih dari 25
mutasi yang berbeda dalam gen ini terkait dengan hipertermia ganas. Mutasi ini
cenderung mengelompok dalam salah satu dari tiga domain dalam protein, ditunjuk
MH1-3. MH1 dan MH2 terletak di ujung N-dari protein, yang berinteraksi dengan L-
jenis saluran kalsium dan Ca 2 +. MH3 terletak di transmembran membentuk C-
terminus. Wilayah ini penting untuk memungkinkan Ca 2 + bagian melalui pembukaan
protein berikut. Kromosom 7q dan kromosom 17 juga telah terlibat. Ia juga telah
mendalilkan bahwa MH dan penyakit pusat inti mungkin alelik dan dengan demikian
dapat diwariskan.
Dalam sebagian besar (50-70%) kasus, kecenderungan untuk hipertermia ganas
karena mutasi dari reseptor ryanodine (tipe 1), terletak di retikulum sarkoplasma (SR),
yang organel dalam otot rangka sel yang menyimpan kalsium . RYR1 terbuka dalam
menanggapi kenaikan intraseluler Ca 2 + tingkat dimediasi oleh L-jenis saluran kalsium ,
sehingga mengakibatkan peningkatan drastis kadar kalsium intraseluler dan kontraksi
otot. RYR1 memiliki dua situs diyakini penting untuk bereaksi terhadap perubahan Ca 2
+ konsentrasi: A-situs dan I-situs. The A-situs adalah tinggi afinitas Ca 2 + situs
pengikatan yang menengahi RYR1 pembukaan. I-situs adalah situs afinitas yang lebih
rendah yang memediasi penutupan protein. Kafein , halotan, dan agen memicu lainnya
bertindak dengan drastis meningkatkan afinitas dari situs A-untuk Ca 2 + dan secara
bersamaan mengurangi afinitas dari situs I-in mutan protein. Mg 2 + juga mempengaruhi
aktivitas RYR1, menyebabkan protein untuk menutup dengan bertindak baik pada A-
atau saya-situs. Dalam protein mutan MH, afinitas untuk Mg 2 + pada salah satu dari
situs-situs tersebut sangat berkurang. Hasil akhir dari perubahan ini sangat meningkat Ca
2 + karena aktivasi menurunkan dan ambang penonaktifan tinggi rilis. Proses eksekusi
30
ini kelebihan Ca 2 + mengkonsumsi sejumlah besar adenosin trifosfat (ATP), yang
utama pembawa energi sel, dan menghasilkan panas yang berlebihan (hyperthermia)
yang merupakan ciri khas dari penyakit ini. Sel otot rusak oleh penurunan ATP dan
mungkin suhu tinggi, dan konstituen seluler "kebocoran" ke dalam sirkulasi, termasuk
potasium , mioglobin , creatine , fosfat dan kreatin kinase. Gen penyebab lain yang
dikenal untuk MH adalah CACNA1S, yang mengkode dan L-jenis tegangan-gated
calcium channel α-subunit. Ada dua mutasi dikenal dalam protein ini, baik
mempengaruhi residu yang sama, R1086. Residu ini terletak di lingkaran besar yang
menghubungkan domain intraseluler 3 dan 4, domain mungkin terlibat dalam mengatur
negatif RYR1 aktivitas. Ketika saluran ini mutan dinyatakan dalam ginjal embrio
manusia ( HEK 293 ) sel, saluran yang dihasilkan lima kali lebih sensitif terhadap
aktivasi oleh kafein (dan mungkin halotan) dan aktifkan 5-10mV lebih hyperpolarized.
Selain itu, sel-sel mengekspresikan saluran ini memiliki basal meningkat sitosol Ca 2 +
konsentrasi. Sebagai saluran ini berinteraksi dengan dan mengaktifkan RYR1, perubahan
ini menghasilkan peningkatan drastis Ca intraseluler 2 +, dan, dengan demikian,
rangsangan otot. Mutasi lain yang menyebabkan MH telah diidentifikasi, meskipun
dalam kebanyakan kasus gen yang relevan masih harus diidentifikasi.
Tanda-tanda awal yang awal masseter otot contracture setelah pemberian
suksinilkolin, peningkatan end-tidal konsentrasi karbon dioksida (meskipun ventilasi
menit meningkat), takikardia dijelaskan, dan kekakuan otot. Meskipun nama, elevasi
suhu tubuh sering merupakan akhir tanda. Tanda-tanda lain mungkin termasuk asidosis,
tachypnea (pada pasien bernapas spontan), sianosis, hipertensi, detak jantung tak
beraturan dan hiperkalemia . Inti suhu tubuh harus diukur dalam setiap pasien menjalani
anestesi umum lebih dari 20 menit.
Hipertermia ganas didiagnosis berdasarkan gejala klinis, namun berbagai investigasi
umumnya dilakukan. Ini termasuk tes darah , yang dapat menunjukkan tingkat kreatin
kinase mengangkat, kalium tinggi, fosfat meningkat (menyebabkan kalsium menurun)
dan-jika myoglobin ditentukan-mengangkat, ini adalah hasil dari kerusakan sel-sel otot.
asidosis metabolik dan asidosis pernafasan (dibangkitkan keasaman darah) mungkin
keduanya terjadi. Rhabdomyolysis yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal akut ,
sehingga fungsi ginjal umumnya diukur secara sering. Pasien juga bisa mendapatkan
arrythmias jantung (PVC) karena meningkatnya kadar potasium dilepaskan dari otot
selama episode.
31
Para calon utama untuk pengujian adalah mereka dengan kerabat dekat yang telah
mengalami episode MH atau telah terbukti rentan. Prosedur standar adalah "kafein
halotan kontraktur test", CHCT. Otot biopsi dilakukan pada pusat penelitian disetujui, di
bawah anestesi lokal. Biopsi segar bermandikan solusi yang mengandung kafein atau
halotan dan diamati untuk kontraksi, dalam kondisi baik, sensitivitas adalah 97% dan
spesifisitas 78%. bi biopsi negatif tidak definitif, sehingga setiap pasien yang diduga MH
oleh mereka riwayat medis atau kerabat darah umumnya diobati dengan ianestesi
nontriggering, bahkan jika biopsi negatif. Beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
tes "kalsium-diinduksi pelepasan kalsium" di samping CHCT untuk membuat tes lebih
spesifik.
Teknik diagnostik kurang invasif telah diusulkan. Injeksi intramuskular halotan 6%
vol telah terbukti menghasilkan lebih tinggi dari kenaikan normal dalam lokal 2 PCO
antara pasien dengan kerentanan diketahui hipertermia ganas. Sensitivitas adalah 100%
dan spesifisitas 75%. Untuk pasien dengan risiko serupa dengan yang dalam penelitian
ini, ini mengarah ke nilai prediksi positif 80% dan nilai prediksi negatif dari 100%.
Metode ini dapat memberikan alternatif yang cocok untuk teknik invasif lebih. Sebuah
studi 2002 meneliti tes lain metabolik mungkin. Dalam tes ini, injeksi intramuskular
kafein diikuti dengan pengukuran lokal dari PCO 2, orang-orang dengan kerentanan MH
dikenal memiliki PCO signifikan lebih tinggi 2 (63 vs 44 mmHg).
Sebuah konferensi konsensus 1994 menyebabkan perumusan seperangkat kriteria
diagnostik. Semakin tinggi skor (di atas 6), semakin besar kemungkinan merupakan
reaksi MH:
Pernapasan asidosis (end-tidal CO2 di atas 55 mmHg/7.32 kPa atau PCO2 arteri di atas
60 mmHg/7.98 kPa)
Keterlibatan jantung (dijelaskan sinus takikardia , takikardia ventrikular atau fibrilasi
ventrikel )
Metabolik asidosis (kelebihan dasar atau base deficit lebih rendah dari -8, pH <7,25)
Kekakuan otot (kekakuan umum termasuk kekakuan otot masseter parah)
Kerusakan otot (CK> 20.000 unit / L, cola urine berwarna atau mioglobin berlebihan
dalam urin atau serum, kalium atas 6 mmol / l)
Kenaikan suhu (suhu meningkat pesat, T> 38,8 ° C)
3. Halothane
32
a.Kegunaan Terapeutik
Baunya yang enak dan tak merangsang jalan napas , maka sering digunakan sebagaiinduksi
anesthesia kombinasi dengan N2O. Agen ini dapat menginduksi keadaan anestesidan pemulihan dengan
cepat. Halotan adalah anestesi yang poten dan kesan analgesicyang relatif lemah. Oleh itu halotan selalu
dikombinasi dengan nitrous oxide, opiod dananestesi local.. Halotan merelaksasi otot rangka dan otot
uterin dan agen ini bolehdigunakan pada obstetric apabila relaksasi uterin diindikasikan.. Halotan
tidak hepatotoksik pada pasien anak-anak.
b.Farmakokinetik
Halotan dimetabolisir secara oksidatif dalam tubuh ke tisu hidrokarbon toksik danion bromid. Agen
ini bertanggungjawab dalam reaksi toksik pada beberapa pasien( terutama pada wanita) yang terjadi
setelah dianestesi dengan halotan. Reaksi bermuladengan demam, diikuti dengan anoreksia, nausea dan
muntah, dan pasien juga bisamengalami gejala hepatitis. Untuk menghindari kondisi ini, anestesi dengan
halotan tidak diulang dengan interval kurang dari dua hingga 3 minggu.
c. Efek samping
Efek pada jantungHalotan adalah vagomimetik dan menyebabkan atropine sensitive
bradycardia. Tambahan halotan mempunyai sifat yang tidak diinginkan yaitu aritmia jantung.
Halotan seperti halogen anestesi yang lain, menghasilkan konsentrasi hipotensi dependen.
Direkomendasikan untuk memakai direct acting vasoconstrictor seperti phenylephrine
untuk mengatasi efek samping dari halotan.
4. Succinylcholine
Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapatdibagi
menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot non-
depolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi 3 grup
lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot
fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau non-depolarisasi. Struktur kimia semua obat
pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin. Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua
molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya.
33
Muscle relaxant depolarisasi
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah suksinilkolin. Suksinilkolin
memiliki 2 ciri unik dan penting yaitu menyebabkan paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan
berkurangsebelum pasien yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 ± 1 mg/kgBB IV,
memiliki onset kerja cepat (30 ± 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 ± 5 menit). Ciri ini membuat
suksinilkolinobat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin
memiliki beberapa efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
Dosis Succinylcholine
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Pernafasan spontan terjadi
dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Dengan demikian, diperkirakan orang
dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri
menurun ke 90%. Dosis dapat bervariasi antara 0,5 ± 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB tidak
mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di
mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat. Durasi kerja
suksinilkolin yang singkat (3 ± 5 menit) disebabkan hidrolisis oleh kolinesterase plasma
(pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis di hati. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi
kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu
singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai maksimum.
Efek samping
1. Aritmia Jantung
Efek cardiac ini mencerminkan efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat
ini memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia jantung paling sering terjadi setelah
pemberian dosis kedua yang kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja
metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek
34
fisiologis asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi ganglionik, yaitu
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada pasien dengan
(a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis
(b) luka bakar tingkat tiga yang tidak sembuh
(c) atrofi otot skeletalakibat denervasi
(d) trauma otot skeletal berat, dan
(e) lesi neuron motorik atas.
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher, punggung dan abdomen, dapat
terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor.
Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan dihubungkan dengan
intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak
sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi
mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria, khususnya pasien pediatrik.Dugaan
mioglobinuria menggambarkan kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas fasikulasi otot skeletal yang
dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuhotot
nondepolarisasi dosis nonparalisis.
6. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2 ± 4 menit setelah pemberian.
Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien hanya berlangsung selama 5 ± 10 menit. Mekanisme
terjadi peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi otot ekstraokuler dengan
distorsi dan kompresi bola mata telah lama dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan
tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang anterior
dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid
dan peningkatan tekanan vena sentral.
7. Peningkatan Tekanan Intrakranial
35
Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada pasien dengan
tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati secara konsisten.
8. Kontraksi Otot Terus Menerus
Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter setelah pemberian halotan-
suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan
dianggapsebagai respons normal. Kesulitanyang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons
normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan. Spasme otot
skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau
distrofi miotonia.
36
VI. KERANGKA KONSEP
37
Kelainan kongenital kegagalan penutupan kanalis inguinalis
Peningkatan tekanan intra abdominal
Hernia
Intervensi herniotomi
Pemberian anestetik Halothane Pemberian muscle relaxant succinylcholine
Pengeluaran ion Ca2+ yang tidak terkendali dari sarcoplasmi reticulum
Point mutation pada RYR1 receptor di kromosom 19
Eksitasi dan kontraksi otot skeletal terus-menerus
Kekakuan pada otot
Rhabdomyolysis Hipermetabolisme sel Peningkatan produksi panas
Temperature sampai 40°CPelepasan myoglobulin
Peningkatan creatine kinase serum
HiperkalemiaPeningkatan kebutuhan ATP
Cola-colored urine O2 darah turun, CO2 darah naik Aktivasi glikogenolisis
Tachycardia (detak jantung 120 kali/menit)
Hipertensi End-tidal volume CO2 meningkat
Ion H+ dalam darah meningkatCyanosis
Lactate acidosis
pH tubuh rendah <7,25
Base deficit
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Tn. Aceng, 35 tahun, mengalami Malignant Hyperthermia yang disebabkan oleh
mutasi reseptor RYR1 diinduksi oleh pemberian anestesi halothane dan muscle
relaxant succinylcholine.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan.
2. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. 2012. Jakarta : EGC.
3. Chaniago, Amran Y.S. 2007. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka
Setia.
4. Kamus Kedokteran Dorland. 2011. Jakarta: EGC.
39